Efektivitas Penggunaan Pajak Rokok Untuk Pendanaan Defisit Program JKN-KIS
Efektivitas Penggunaan Pajak Rokok Untuk Pendanaan Defisit Program JKN-KIS
Abstrak
Ketika program JKN-KIS pertama kali di implementasi pada 2014, jumlah peserta yang
terdaftar dalam BPJS Kesehatan sebanyak 133,4 juta jiwa atau 53 persen jumlah penduduk
Indonesia. Empat tahun kemudian, jumlah tersebut meningkat menjadi 207,8 juta jiwa atau 78
persen jumlah penduduk Indonesia. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa layanan
kesehatan di Indonesia semakin mudah dijangkau serta kesadaran masyarakat Indonesia akan
pentingnya pemanfaatan layanan kesehatan semakin meningkat. Akan tetapi, dibalik
pencapaian tersebut, Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan mengalami tantangan yang
sangat krusial berupa defisit yang terjadi secara berkelanjutan. Salah satu sumber penyebab
defisitnya DJS Kesehatan ialah dikarenakan rokok. Hal ini disebabkan karena setiap tahunnya
DJS Kesehatan harus membiayai perawatan penyakit katastropik akibat rokok dalam jumlah
besar. Lebih lanjut, Wakabid Penelitian Lembaga Demografi FEUI, Abdillah Ahsan,
menyebutkan bahwa setiap tahun pemerintah rugi 44 triliun dikarenakan rokok.
Adanya defisit yang berkelanjutan dalam DJS Kesehatan menyebabkan Pemerintah
Indonesia harus menyusun strategi guna meningkatan pendapatan DJS Kesehatan. Salah satu
strategi tersebut ialah dengan menetapkan kebijakan penggunaan Pajak Rokok guna
mengurangi beban defisit DJS Kesehatan. Akan tetapi, kebijakan tersebut menuai berbagai pro-
kontra dari masyarakat. Salah satunya disampaikan oleh Mouhamad Bigwanto, Wakil
Sekretaris Jenderal IAKMI, yang menyebutkan bahwa penggunaan pajak rokok untuk menutup
defisit DJS Kesehatan sebagai ironi karena Pemerintah menggunakan dana pencegahan
penyakit katastropik dari pajak rokok untuk menutup defisit penyakit katastropik akibat
konsumsi rokok.
Tujuan dari kajian ini adalah untuk melihat efektifitas penggunaan pajak rokok dalam
pengurangan beban defisit DJS Kesehatan serta merumuskan strategi inovasi pendanaan defisit
Program JKN-KIS melalui pungutan atas rokok selain melalui pajak rokok. Metode yang
digunakan adalah metode deskriptif komparatif menggunakan studi literatur dan informasi dari
wawancara mendalam dengan BPJS Kesehatan. Target publikasi pada “Isoquant: Jurnal
Ekonomi, Manajemen dan Akuntansi” Universitas Muhammadiyah Ponorogo.
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sejak BPJS Kesehatan beroperasi sejak 2014, pelayanan kesehatan peserta BPJS terus
meningkat. Peningkatan pemanfaatan fasilitas kesehatan sebanyak 92,3 juta dengan jumlah
peserta program JKN-KIS di puskesmas sebesar 66,8 juta orang, di poliklinik rawat jalan
sebesar 21,3 juta orang, dan jumlah peserta yang menggunakan fasilitas Rawat Inap RS sebesar
4,2 juta orang. Hingga sekarang terus meningkat setiap tahunnya. Walaupun jumlah peserta
JKN-KIS terus meningkat, akan tetapi sejak awal beroperasi BPJS Kesehatan terus mengalami
defisit anggaran hingga saat ini. Defisit tersebut disebabkan dari pembiayaan untuk peserta
JKN-KIS Mandiri dengan penyakit katastropik. Selain itu besaran iuran program JKN yang
sedang dalam kondisi underprice.
Pengalokasian pajak rokok tersebut diterapkan sejak tahun 2018 yang mana telah
membantu pendapatan DJS Kesehatan hingga saat ini. Adapun pada penelitian kali ini akan
meneliti lebih dalam bagaimana Efektivitas Penggunaan Pajak Rokok untuk Pendanaan Defisit
Program JKN-KIS yang telah berjalan beberapa tahun ini.
2. TEORITIS
2.1 Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Di Indonesia
Sejak berjalanya BPJS Kesehatan pada Januari 2014, melalui program JKN-KIS telah
memberikan pelayanan kesehatan yang cukup baik. Untuk mendapatkan jaminan pelayanan
kesehatan tersebut, masyarakat diharapkan mendaftar secara mandiri dengan pilihan kelas yang
diinginkan
Sesuai Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, dasar pengenaan pajak rokok adalah
cukai yang yang telah ditetapkan oleh pemerintah terhadap rokok. Berdasarkan undang-undang
tersebut, setiap provinsi dan kabupaten/kota menerima pajak rokok sesuai dengan proporsi
jumlah penduduk.
Berdasar pada PMK Nomor 128 Tahun 2018 tentang tata cara pemotongan pajak rokok,
menyatakan bahwa dalam mengatasi defisit DJS Kesehatan pemerintah mengeluarkan
kebijakan untuk meningkatkan pendapatan DJS Kesehatan melalui pemotongan pajak rokok
3. METODE PENELITIAN
3.1 Metode Kerangka Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif komparatif dengan pendekatan
kuantitatif. Metode deskriptif merupakan suatu metode untuk meneliti status kelompok
manusia, objek, kondisi, sistem pemikiran maupun kelas peristiwa pada masa sekarang.
Komparatif adalah penelitian yang membandingkan satu atau lebih pada dua atau lebih variabel
yang berbeda. Oleh karena itu penggunaan metode deskriptif komparatif dalam penelitian ini
ialah dengan membandingkan data defisit anggaran BPJS Kesehatan dengan alokasi
pendapatan pajak rokok untuk kesehatan. Jenis data yang dikumpulan berasal dari sekunder.
Data sekunder didapat melalui melalui studi literatur yang berkaitan dengan topik penelitian
seperti buku teks, artikel, jurnal, karya ilmiah, tesis, skripsi, serta dokumen dari pemerintah.
3.2 Objek Penelitian
Objek penelitian merupakan permasalahan apa yang sedang dipecahkan yang menjadi
pokok bahasan (Hs dan Suciati, 2017: 445). Objek yang digunakan dalam penelitian ini ialah
efektivitas penggunaan pajak rokok untuk pendanaan defisit program JKN-KIS.
3.3 Metode Pengumpulan Data
Metode yang digunakan dalam pengumpulan data ialah dengan menggunakan studi
literatur. Studi literatur dilakukan dengan membaca, menganalisis, dan mengkaji informasi
melalui buku teks, artikel, jurnal, karya ilmiah, tesis, skripsi, serta dokumen dari pemerintah
3.4 Metode Pengolahan Data
Pengolahan data atau analisis data adalah pengolahan data yang diperoleh dengan
menggunakan rumus atau aturan-aturan yang ada sesuai pendekatan penelitian (Sekaran, 2006:
175). Beberapa tahapan pengolahan data terdiri dari:
a. Reduksi Data
Reduksi data merupakan tahapan memilah data yang relevan untuk memperkuat
penelitian.
b. Kategorisasi Data
Kategorisasi data merupakan pemisahan data berdasarkan kebutuhan peneliti.
c. Display Data
d. Display data dapat berupa tabel, naratif, bagan, flowchart, matrik, dan sebagainya.
3.5 Metode Penarikan Kesimpulan
Kesimpulan merupakan hasil akhir dari penelitian ini. Kesimpulan dapat berupa
evaluasi maupun saran terhadap studi kasus yang diambil. Evaluasi merupakan penilaian atau
perbaikan terhadap kasus tersebut, sedangkan saran ialah pendapat penulis terkait dengan
masalah yang diteliti.
Dari total pajak rokok yang diterima oleh Pemerintah, 30 persen merupakan bagian dari
provinsi dan 70 persen merupakan bagian kabupaten kota. 50 persen total penerimaan pajak
rokok yang diterima oleh provinsi maupun kabupaten/kota akan dialokasikan (earmarked)
untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum oleh aparat. Dari 50
persen dana yang di-earmarked tersebut 75 persen akan dialokasikan untuk pelayanan progra m
kesehatan. Dengan dialokasikannya pajak rokok dalam anggaran kesehatan maka diharapkan
dapat meringankan dan memelihara kesehatan masyarakat atas bahaya dari rokok. Selain
Indonesia, terdapat beberapa negara lain yang juga menerapkan pajak tembakau sebagai
sumber pembiayaan jaminan kesehatan. Berikut merupakan tabel skema pengalokasian dana
tersebut.
Tabel 2. Skema Pengalokasian Pajak Tembakau untuk Jaminan Kesehatan di Beberapa Negara
Negara Alokasi Dana Dampak
Filipina 85% pendapatan cukai digunakan untuk pelayanan Prevalensi merokok
UHC, program kesadaran kesehatan dan menurun menjadi 25%
peningkatan fasilitas kesehatan (faskes). Sedangkan
15% untuk program mata pencaharian alternatif bagi
petani tembakau
Rumania Pendanaan dari rokok dan tembakau digunakan Prevalensi merokok
untuk infrastruktur dan program kesehatan menurun menjadi
masyarakat (pengendalian tembakau) 24,3% di tahun 2011
Mesir Digunakan untuk layanan kesehatan dan rehabilitasi Belum ada data
preventif anak usia sekolah dasar
Islandia 0,9% gross income penjualan tembakau untuk Angka merokok di
pengendalian tembakau bawah 15%
Botswana Dana belum digunakan tetapi akan digunakan untuk Belum ada data
promosi kesehatan
Panama 50% pendapatan cukai tembakau digunakan untuk Penggunaan tembakau
peningkatan kesehatan turun menjadi 6,4%
Thailand Rencana strategis ThaiHealth, 36% untuk penurunan Pada 2009, prevalensi
risiko kesehatan utama merokok menurun
menjadi 20,7%
Vietnam 47% dialokasikan untuk peningkatan kesadaran Belum ada data
terhadap tembakau serta hukum pengendalian
tembakau, 36% untuk promosi bebas rokok, 6%
untuk peningkatan dan penguatan layanan stop
tembakau
Indonesia Penggunaan pajak rokok dan tembakau (daerah) Belum ada data
sebesar 75% dari 50% dialokasikan untuk
pendanaan JKN.
Sumber: Djamhari, Eka Afrina (2020)
Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) memproyeksikan defisit JKN terus bertambah
setiap tahunnya. Menurut Mundiharno, Němec, Rabovskaja, & Spatz, n.d defisit JKN pada
2019 sebesar 28 triliun rupiah dan akan naik menjadi 86 triliun rupiah pad 2024. Pendapatan
BPJS Kesehatan bersumber dari iuran peserta, aset dari badan jaminan sosial sebelumnya, hasil
investasi dan sumber lain serta hasil dari pemerintah daerah yang wajib menyisihkan 75 persen
dari 50 persen pendapatan pajak rokok untuk pendanaan JKN dengan perkiraan sebesar 1,48
triliun rupiah sesuai dengan Peraturan Presiden No. 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan
pada pasal 99 dan 100.
Tabel 3. Pendapatan dan Beban BPJS Kesehatan (dalam juta rupiah)
2018 2019 2020
Pendapatan
Pendapatan Iuran 85.439.880 111.754.163 139.852.375
Pendapatan dari 10.256.466 - -
Pemerintah
Pendapatan Pajak Rokok 682.387 - 1.239.491
Pendapatan Investasi 20.387 13.956 145.106
Pendapatan Lain 266.600 301.773 241.217
Jumlah Pendapatan 96.665.720 112.069.892 141.478.189
Beban
Beban Jaminan Kesehatan 94.296.845 108.459.688 95.511.820
Sosial
Beban Cadangan Teknis 6.324.221 9.506.116 (6.853.783)
Beban Operasional BPJS 3.768,829 4.091.143 4.098.664
Kesehatan
Beban Investasi 2.075 - -
Badan Cadangan 2.776.257 5.788.981 2.958.574
Penurunan Nilai Piutang
Iuran
Beban Lain 432.885 1.260.726 450.853
Jumlah Beban 107.601.112 129.106.654 96.166.128
Surplus (Defisit) (10.935.392) (17.036.762) 45.312.061
Total Penghasilan (10.935.392) (17.036.762) 45.312.061
Komprehensif
Sumber: Diolah dari Laporan BPJS Kesehatan
Dalam tabel tersebut di atas terlihat jumlah realisasi pendapatan dan beban Jaminan
Kesehatan Nasional serta selisih pendapatan dan beban yang dikelola oleh BPJS Kesehatan
pada tahun 2018 sampai dengan 2020. Sumber pendapatan yang berkontribusi paling banyak
dalam total pendapatan BPJS Kesehatan ialah iuran peserta sedangkan pendapatan dari sumber
lain seperti pendapatan dari pemerintah, pajak rokok, pendapatan investasi dan pendapatan lain
masih belum maksimal.
Persoalan defisit BPJS kehatan yang terus terjadi dan semakin besar setiap tahunnya
menunjukkan bahwa terdapat kegagalan dalam strategi kebijakan yang dilakukan oleh BPJS
Keshatan. Berdasarkan penelitian Prakarsa (2019) terdapat beberapa permasalahan yang
menyebabkan defisit JKN, diantaranya: 1) beban layanan yang melebihi pendapatan; 2)
kontribusi iuran yang lebih rendah dibandingkan dengan klaim jaminan yang disediakan; 3)
kurangnya transparansi pengelolaan BPJS Kesehatan; 4) cakupan peserta yang belum
maksimal; 5) beban penaan untuk penyakit katastropik terus meningkat setiap tahunnya; 6)
FKTP belum berfungsi maksimal; 7) adanya inefisiensi di FKRTL. Pemerintah pusat telah
berupaya untuk menangani defisit JKN dengan berbagai cara. Salah satunya ialah dengan
meningatkan peran pemerintah daerah melalui penggunaan pajak rokok yakni sebesar 75
persen dari 50 persen dana earmarked.
BPJS Kesehatan, cakupan peserta yang belum maksimal, beban persoalan defisit BPJS
Kesehatan disebabkan oleh hal hal sebagai berikut: beban layanan yang melebihi pendapatan,
kontribusi iuran rendah dibandingkan dengan klaim jaminan yang disediakan, kurangnya
transparansi pengelolaan penahan untuk penyakit katastropik terus meningkat, FKTP belum
berfungsi maksimal, dan adanya inefisiensi di FKRTL
Kebijakan penggunaan pajak rokok untuk program JKN dari 50 persen dana yang di-
earmarked tersebut 75 persen akan dialokasikan untuk pelayanan program kesehatan. Dengan
dialokasikannya pajak rokok dalam anggaran kesehatan maka diharapkan dapat meringankan
dan memelihara kesehatan masyarakat atas bahaya dari rokok. Pemotongan pajak rokok
tersebut diatur dalam PMK Nomor 28 Tahun 2018. Meskipun telah terbantu oleh pemotongan
pajak rokok, hal tersebut belum memiliki dampak yang signifikan dalam rangka menutup
defisit JKN Kesehatan.
5.2 Saran
Kebijakan pengguna pajak rokok masih belum efektif dalam pemberian sumber dana
untuk mengurangi beban defisit DJS Kesehatan. Dalam upaya peningkatan pendapatan DJS
kesehatan sebaiknya lebih efektif meningkatkan jumlah peserta Jamkesda yang didaftarkan
pemda dan juga meningkatkan kepatuhan pemda dalam membayar iurannya.
DAFTAR PUSTAKA
BPJS Kesehatan, 2016. Kajian Usulan Suntikan Dana Pemerintah untuk DJS Kesehatan 2016.
Jakarta.
BPJS Kesehatan. Laporan Pengelolaan Program. Berbagai Tahun.
Kementerian Keuangan. Nota Keuangan beserta Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara. Berbagai tahun.
Republik Indonesia, 2011. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah . Menteri hukum dan hak asasi manusia. Jakarta.
Republik Indonesia, 2013. Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan
Kesehatan. Menteri hukum dan hak asasi manusia. Jakarta.
Republik Indonesia, 2018. Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 Tentang Jaminan
Kesehatan. Menteri hukum dan hak asasi manusia. Jakarta.
Republik Indonesia, 2018. PMK Nomor 128 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pemotongan Pajak
Rokok sebagai Kontribusi Dukungan Program Jaminan Kesehatan. Menteri
Keuangan. Jakarta