Anda di halaman 1dari 6

Anggaran Kesehatan 2018 Capai Rp.

59,1 Triliun
Dipublikasikan Pada : Jumat, 18 Agustus 2017 00:00:00, Dibaca : 4.988 Kali Jakarta, 18 Agustus 2017

Staf Ahli Bidang Hukum Kesehatan, Kemenkes RI Barlian, SH, M.Kes, mengatakan pagu
anggaran Kementerian Kesehatan tahun 2018 sebesar Rp.59,1 Triliun. Hal ini
disampaikan pada pertemuan Forum Merdeka Barat, Jumat (18/8) di Gedung
Kemenkominfo, Jakarta.

Menurut Barlian, anggaran tersebut digunakan untuk pelaksanaan kegiatan prioritas


nasional sebesar Rp.33,9 Triliun (57,4%), yang terdiri dari Anggaran untuk JKN sebesar
Rp. 25,5 T dan Rp 8,4 T Anggaran Non JKN.

Anggaran ini dialokasikan pula untuk belanja prioritas bidang termasuk Penerima
Negara Bukan Pajak/Badan Layanan Umum (PNBP/BLU) sebesar Rp.17,2Triliun (29,1%)
serta belanja gaji termasuk insentif untuk Tenaga Kesehatan (dokter, dokter spesialis,
dokter gigi, bidan, dan Nakes lainnya) yang ditugaskan di daerah terpencil, perbatasan
dan kepulauan terluar, serta biaya operasional sebesar Rp.7,9 Triliun (13,4%).

Terkait akses pelayanan kesehatan, jumlah peserta penduduk termiskin yang


dibayarkan iurannya oleh pemerintah (PBI) sebesar Rp. 16,9 Triliun untuk 92,2 juta jiwa
yang sudah dibayarkan pada Juli 2017.

''Besaran tersebut meningkat dari tahun sebelumnya yang mencapai Rp. 19,8 Triliun
untuk 87,8 juta jiwa pada 2015 dan Rp. 24,8 Triliun untuk 91,1 juta jiwa pada 2016,''
kata Barlian.

Dari sisi SDM Kesehatan, upaya pemenuhannya dapat dilihat dari capaian penempatan
Nusantara Sehat berbasis tim sebanyak 694 orang (2015), meningkat menjadi 728
orang (2016). Sementara sampai dengan Juli 2017 sebanyak 347 orang.

Capaian pembangunan fisik sarana dan prasarana instalasi farmasi untuk sarana fisik
sebanyak 49 unit dibangun pada tahun 2016 menjadi 28 unit pada tahun 2017.
Rehabilitasi atas Istalasi Farmasi sebanyak 590 unit (2016) sementara pada tahun 2017
sebanyak 90 unit. Untuk pengadaan sarana pendukung pada tahun 2016 sebanyak
4.288 unit, sementara pada tahun 2017 sebanyak 821 unit.

Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Kementerian
Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Halo Kemkes melalui
nomor hotline 1500-567,SMS 081281562620, faksimili (021) 5223002, 52921669, dan
alamat email kontak[at]kemkes[dot]go[dot]id.
WORLD Health Organization (WHO) mendefinisikan pembiayaan kesehatan sebagai
”fungsi sistem kesehatan berkaitan dengan mobilisasi, akumulasi dan alokasi uang
untuk menutupi kebutuhan kesehatan masyarakat, baik secara individu maupun kolektif
dalam sistem kesehatan’’.

Tujuan pembiayaan kesehatan membuat dana tersedia untuk mengatur insentif


keuangan yang tepat untuk provider kesehatan. Hal ini berfungsi memastikan semua
individu memiliki akses terhadap kesehatan masyarakat yang efektif dan pelayanan
kesehatan individu (WHO, 2000).

Kerangka pendanaan penguatan pelayanan kesehatan meliputi peningkatan


pendanaan dan efektivitas pendanaan. Peningkatan pendanaan kesehatan dilakukan
melalui peningkatan proporsi anggaran kesehatan secara signifikan sehingga mencapai
5 persen dari APBN pada tahun 2019.

APBN tahun 2018 telah ditetapkan dan disahkan melalui Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2017. Salah satu kebijakan pokok dalam APBN 2018 yaitu akan diarahkan untuk
mendukung pembangunan infrastruktur dan perlindungan sosial untuk pembangunan
yang lebih merata dan berkeadilan di seluruh pelosok Tanah Air. Anggaran
perlindungan sosial untuk memenuhi kebutuhan dasar salah satunya bidang kesehatan.

Anggaran kesehatan meningkat Rp 6,1 triliun dari outlook tahun 2017 sehingga total
anggaran untuk tahun ini sebesar Rp 111 triliun dengan alokasi untuk pusat sebesar Rp
81,5 triliun dan Rp 29,5 triliun transfer ke daerah.

Anggaran ini untuk kebijakan kesehatan yang menjadi prioritas yaitu meningkatkan dan
memperbaiki distribusi fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan, penguatan program
promotif dan preventif yang diarahkan untuk penyakit tidak menular dan program untuk
ibu hamil dan menyusui, meningkatkan efektivitas dan keberlanjutan program JKN,
serta meningkatkan peran pemda untuk supply side dan peningkatan mutu layanan.

Kesenjangan
Secara global, terdapat ketidakseimbangan yang sangat besar antara kebutuhan
pembiayaan kesehatan dengan pengeluaran kesehatan di banyak negara. Negara-
negara berkembang yang penduduknya berjumlah 84 persen dari penduduk dunia dan
menanggung 90 persen dari beban penyakit dunia hanya mengadakan 12 persen dari
pengeluaran kesehatan dunia. Anggaran kesehatan berdampak luas pada pelayanan
kesehatan di Indonesia dan hal ini menimbulkan problem antara lain minimnya
anggaran untuk program preventif.

Sebanyak 60 persen pasien berobat ke rumah sakit bukan pasien rujukan, adanya
perbedaan kuota terkait obat-obatan yang dibutuhkan oleh pasien, sistem anggaran
yang tidak berasal dari satu sumber / tidak terintegrasi, komitmen Pemda dan DPRD
dalam pemberian anggaran untuk isu kesehatan. Strategi untuk mengatasi kesenjangan
pembiayaan kesehatan yakni memperbaiki dan atau meningkatkan pendapatan.

Ada tiga kelompok utama sumber pembiayaan pelayanan kesehatan, pertama elalui
Pemerintah (pajak langsung dan pajak tidak langsung). Kedua, skema pihak ketiga
(asuransi sosial dan asuransi swasta) serta pembayaran langsung tunai masyarakat
(OOP). Strategi kedua, meningkatkan efisiensi pengeluaran. Fasilitas kesehatan tidak
terlepas dari perencanaan dana untuk penyelenggaraan pelayanan kesehatan.

Salah satu perencanaan yang memerlukan perhatian, penerapan konsep cost of


quality, yaitu upaya mencegah buruknya kualitas atau kegagalan dalam memenuhi
kebutuhan customer atau biaya yang terjadi karena buruknya kualitas produk/- jasa
fasilitas pelayanan kesehatan. Indonesia dapat mengikuti sistem securite sociale yang
berlaku di Perancis.

Di sana sistem kesehatan Couverture Maladie Universelle (CMU), yaitu sistem asuransi
wajib berbasis kontribusi. Artinya, seseorang harus berkontribusi sebesar 8 persen dari
net income tahunannya. Ada banyak hal yang dapat diadopsi agar pelayanan
kesehatan publik benar-benar maksimal dan berkeadilan. Perlu komitmen dan kerja
keras dari semua pemangku kepentingan untuk mengatasi kesenjangan dalam
penguatan pelayanan kesehatan agar dapat mencapai derajat kesehatan masyarakat
setinggi-tingginya. (34)

- Sulistyaningsih SKM MHKes, dosen Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Aisyiyah


Yogyakarta
Terbitnya Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan beberapa waktu lalu
yang mengatur penjaminan pelayanan operasi katarak, bayi baru lahir, dan
rehabilitasi medik, merupakan langkah BPJS Kesehatan untuk memastikan
peserta program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS)
memperoleh manfaat pelayanan kesehatan yang bermutu, efektif dan efisien
dengan tetap memperhatikan keberlangsungan Program JKN-KIS.
Menurut Deputi Direksi Bidang Jaminan Pembiayaan Kesehatan
Rujukan BPJS Kesehatan Budi Mohammad Arief, hal ini dilakukan sebagai
tindak lanjut dari Rapat Tingkat Menteri awal tahun 2018 yang membahas
tentang sustainibilitas Program JKN-KIS, dimana BPJS Kesehatan harus fokus
pada mutu layanan dan efektivitas pembiayaan.
“Faktanya, BPJS Kesehatan tetap menjamin biaya persalinan, operasi katarak,
dan rehabilitasi medik. Hanya saja, kami ingin menyempurnakan sistem yang
sudah ada agar pelayanan kesehatan bisa berjalan lebih efektif dan efisien, serta
memperhatikan kemampuan finansial BPJS Kesehatan,” kata Budi yang
dilansir melalui wesite resmi www.jamkesnews.com.

Ia menjelaskan, BPJS kesehatan telah melakukan analisa pelayanan kesehatan


berbiaya tinggi pada tahun 2017 diantaranya pelayanan jantung, kanker, cuci
darah, termasuk pelayanan bayi baru lahir yang mencapai Rp1,17 triliun, katarak
Rp2,65 triliun, dan rehabilitasi medik sebesar Rp965 miliar.
Dari analisa tersebut, maka untuk memenuhi prinsip ekuitas dalam
penyelenggaraan JKN, BPJS kesehatan melakukan prioritas prosedur
penjaminan pada pelayanan katarak, bayi baru lahir dan rehabilitasi medik
menyesuaikan dengan kapasitas dana jaminan sosial melalui implementasi 3
peraturan.
"BPJS Kesehatan sama sekali tidak mengatur ranah medis. Misalnya dalam
kasus bayi lahir sehat. Kami setuju bahwa semua kelahiran harus mendapatkan
penanganan yang optimal dari tenaga medis. Namun mekanisme penjaminan
biaya untuk bayi sehat dan bayi yang sakit atau butuh penanganan khusus,
tentunya berbeda," kata Budi.
Ia pun menekankan bahwa dengan diimplementasikan 3 peraturan ini, bukan
dalam artian ada menghilangkan manfaat pelayanan kesehatan yang diberikan
kepada peserta JKN-KIS, manfaat tetap diberikan, disesuaikan dengan kondisi
keuangan saat ini. Dalam peraturan tersebut pun ditegaskan pentingnya standar
pelayanan yg diberikan kepada peserta JKN-KIS.
Ia melanjutkan, tentunya peraturan tersebut adalah dalam rangka menjamin
kesinambungan program, agar masyarakat Indonesia termasuk peserta yang
harus segera mendapatkan pelayanan kesehatan berbiaya tinggi lainnya dapat
terus merasakan manfaat dari adanya program JKN-KIS.
Budi pun berharap, ke depannya mitra fasilitas kesehatan juga dapat menjadikan
efektivitas dan efisiensi sebagai prinsip utama dalam memberikan pelayanan
kesehatan. Jika hal tersebut diimplementasikan dengan optimal, maka seluruh
pihak akan merasakan masing-masing benefitnya. Peserta JKN-KIS puas karena
terlayani dengan baik, fasilitas kesehatan kian sejahtera, dan program JKN-KIS
dapat terus sustain berputar memberi manfaat dan meningkatkan derajat
kesehatan penduduk Indonesia.
Sampai dengan 1 Agustus 2018, terdapat 200.290.408 jiwa penduduk Indonesia
yang telah menjadi peserta JKN-KIS. Dalam memberikan pelayanan kesehatan,
sampai dengan akhir Juli 2018. BPJS Kesehatan telah bekerja sama dengan
22.365 Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP), 2.418 rumah sakit dan
klinik utama, 1.579 apotek, dan 1.081 optik. 
 

Anda mungkin juga menyukai