Anda di halaman 1dari 26

Kebijakan Pembiayaan Kesehatan

Selama tiga hari pada akhir bulan September 2011 lalu, para peneliti kebijakan kesehatan
dan pengambil kebijakan kesehatan seluruh Indonesia berkumpul di Makassar. Pertemuan rutin
tahunan kali ini membahas berbagai penelitian kebijakan kesehatan terkini di Indonesia dengan
fokus utama pada pelaksanaan kebijakan pembiayaan kesehatan yakni Jampersal dan BOK.

Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) diluncurkan pada tahun 2010 untuk puskesmas dan
jaringannya. Selama berjalan dua tahun, BOK diragukan efektifitasnya dan keberlanjutannya
karena menggunakan istilah “bantuan”. Bisa jadi pada masa datang, dana BOK sebagai dana
Tugas Pembantuan (TP) untuk kesehatan dialihkan ke Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana Tugas
Pembantuan (TP) biasanya bersifat dana pelimpahan wewenang pusat ke propinsi untuk
didistribusikan pada level pemerintahan lebih rendah. Kalau demikian, mengapa dana BOK tidak
langsung menjadi DAK? Apakah ada motif lain dibalik peluncuran skema dana BOK agar lebih
popular seperti halnya dana BOS untuk sektor pendidikan?

Selain itu, ada empat kegiatan penunjang lain yang tidak kalah pentingnya dilakukan
selama tiga hari yakni mendiskusikan perkembangan keberpihakan dan ideologi kebijakan
kesehatan di Indonesia; melakukan diskusi antara peneliti dan penetap keputusan (policy makers)
tentang pertimbangan dalam memutuskan suatu kebijakan dan bagaimana memutuskan
kebijakan tersebut; mendiskusikan metode penelitian di bidang kebijakan kesehatan, teknik
penyampaian penelitian kebijakan, dan aspek etika publikasi hasil penelitian kebijakan
kesehatan; serta mengembangkan jaringan kebijakan kesehatan di Indonesia.

Pembiayaan Kesehatan

Pengertian biaya kesehatan adalah besarnya dana yang harus disediakan untuk
menyelenggarakan dan/atau memanfaatkan berbagai upaya kesehatan yang diperlukan oleh
perorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat (Azrul A, 1996). Dari defenisi di atas, ada dua
pihak yang terlibat yakni penyelenggara pelayanan kesehatan (provider) dan pemakai jasa
pelayanan kesehatan. Bagi penyelenggara, terkait besarnya dana untuk menyelenggarakan upaya
kesehatan yang berupa dana investasi serta dana operasional, sedangkan bagi pemakai jasa
layanan berhubungan dengan besarnya dana yang dikeluarkan untuk dapat memanfaatkan suatu
upaya kesehatan.

Pembiayaan kesehatan suatu negara mempertimbangkan adanya sektor swasta selain


pemerintah sebagai penyelenggaraan layanan kesehatan. Total biaya dari sisi pemerintah
dihitung dari besarnya dana yang dikeluarkan oleh pemerintah (expence) untuk penyelenggaraan
pelayanan kesehatan, bukan berdasarkan besarnya dana yang dikeluarkan oleh pemakai jasa
(income pemerintah). Jadi total biaya kesehatan adalah penjumlahan biaya dari sektor
pemerintah dengan besarnya dana yang dikeluarkan pemakai jasa pelayanan untuk sektor swasta.

Secara umum biaya kesehatan dibedakan atas biaya pelayanan kedokteran dan biaya
pelayanan kesehatan masyarakat. Biaya pelayanan kedokteran adalah biaya untuk
menyelenggarakan dan atau memanfaatkan pelayanan kedokteran dengan tujuan utama lebih ke
arah pengobatan dan pemulihan (aspek kuratif-rehabilitatif) dengan sumber dana dari sektor
pemerintah maupun swasta. Sementara biaya pelayanan kesehatan masyarakat adalah biaya
untuk menyelenggarakan dan/atau memanfaatkan pelayanan kesehatan masyarakat dengan
tujuan utama lebih ke arah peningkatan kesehatan dan pencegahan (aspek preventif-promotif)
dengan sumber dana terutama dari sektor pemerintah. Sumber pembiayaan dari pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah (propinsi dan kabupaten/kota) berasal dari pajak (umum dan
penjualan), deficit financial (pinjaman luar negeri) serta asuransi sosial. Sedang pembiayaan dari
sector swasta bersumber dari perusahaan, asuransi kesehatan swasta, sumbangan sosial,
pengeluaran rumah tangga serta communan self help.

Setidaknya ada empat skema pengembangan jaminan kesehatan yakni : pertama, jaminan
kesehatan penerima bantuan iuran (PBI) dalam SJSN; kedua, pengembangan Jaminan Kesehatan
(JK) non PBI sebagai bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN); ketiga,
pengembangan jaminan kesehatan berbasis sukarela seperti asuransi kesehatan komersial atau
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) sukarela; keempat, pengembangan
jaminan kesehatan sektor informal seperti jaminan kesehatan mikro/microfinancing (dana sehat)
dan dana sosial masyarakat.
Dari berbagai pengalaman diberbagai negara, ada tiga model sistem pembiayaan kesehatan
bagi rakyatnya yang diberlakukan secara nasional yakni model asuransi kesehatan sosial (Social
Health Insurance), model asuransi kesehatan komersial (Commercial/Private Health Insurance),
dan model NHS (National Health Services). Model Social Health Insurance berkembang di
beberapa Negara Eropa sejak Jerman dibawah Bismarck pada tahun 1882 kemudian ke Negara-
negara Asia lainnya yakni Philipina, Korea, Taiwan. Kelebihan sistem ini memungkinkan
cakupan 100 persen penduduk dan relatif rendahnya peningkatan biaya pelayanan kesehatan.

Sedangkan model Commercial/Private Health Insurance berkembang di AS. Sistem ini


gagal mencapai cakupan 100% penduduk sehingga Bank Dunia merekomendasikan
pengembangan model Regulated Health Insurance. Amerika Serikat adalah negara dengan
pengeluaran untuk kesehatannya paling tinggi (13,7% GNP) pada tahun 1997 sementara Jepang
hanya 7% GNP tetapi derajat kesehatan lebih tinggi Jepang. Indikator umur harapan hidup
didapatkan untuk laki-laki 73,8 tahun dan wanita 79,7 tahun di Amerika Serikat sedang di Jepang
umur harapan hidup laki-laki 77,6 tahun dan wanita 84,3 tahun. Terakhir model National Health
Services dirintis pemerintah Inggris sejak usai perang dunia kedua. Model ini juga membuka
peluang cakupan 100% penduduk, namun pembiayaan kesehatan yang dijamin melalui anggaran
pemerintah akan menjadi beban yang berat.

Kondisi Indonesia

Jaminan kesehatan sebagai amanah UU SJSN sebagai solusi untuk mengatasi masalah
pembiayaan kesehatan yang semakin meningkat. Pengembangan jaminan untuk meniadakan
hambatan pembiayaan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan terutama kelompok miskin dan
rentan. Solusi masalah pembiayaan kesehatan mengarah pada peningkatan pendanaan kesehatan
untuk mendukung pembangunan kesehatan. Peningkatan biaya pemeliharaan kesehatan
menyulitkan akses sebagian besar masyarakat dalam memenuhi layanan kesehatan. Banyak
faktor penyebab meningkatkannya pembiayaan kesehatan seperti penggunaan teknologi
kesehatan yang semakin canggih, inflasi, pola penyakit kronik dan degeneratif, dan sebagainya
sementara kemampuan penyediaan dana pemerintah maupun masyarakat sangat terbatas.
Arah pencapaian kepesertaan semesta (Universal Coverage) Jaminan Kesehatan pada akhir
2014  telah ditetapkan menurut Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN). Pada
RPJMN yang ditetapkan tahun 2010 itu pemerintah telah membuat kebijakan pembiayaan
kesehatan terkait target Universal Coverage 2014 ketika 100 persen penduduk terjamin. Salah
satu elemen target Universal Coverage, yaitu Jampersal (jaminan kesehatan persalinan). Meski
penerapan UU No 40 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) masih belum maksimal
diimplementasikan, target tersebut perlu didukung sebagai political will pemerintah dalam
menjamin pemenuhan kesehatan masyarakat. Realitas yang ada, baru sekitar 50 persen penduduk
yang terjamin asuransi kesehatan atau skema jaminan kesehatan lainnya dan sebagian besar
(sekitar 75 persen) dijamin melalui anggaran pemerintah bagi warga miskin.

Anggaran kesehatan Indonesia relatif sangat kecil yakni hanya 1.7 persen dari total belanja
pemerintah, baik melalui APBN maupun APBD (Propinsi dan Kabupaten Kota). Padahal UU No
36 tahun 2009 tentang kesehatan mengatur besaran anggaran kesehatan pusat adalah 5 persen
dari APBN di luar gaji, sedangkan APBD Propinsi dan Kab/Kota 10 persen di luar gaji, dengan
peruntukannya 2/3 untuk pelayanan publik. Meski terlihat kecil, justru ditemukan masih ada sisa
anggaran yang tidak terserap di kementrian kesehatan. Kenyataan tersebut mengundang
pertanyaan: apakah anggaran kesehatan sudah cukup atau masih kurang?

Masalah efektif dan efisien dari pembiayaan kesehatan adalah hal yang paling penting. Suatu
kebijakan pembiayaan kesehatan yang efektif dan efesien, apabila jumlahnya mencukupi untuk
menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan dengan penyebaran dana sesuai
kebutuhan serta pemanfaatan yang diatur secara seksama sehingga tidak terjadi peningkatan
biaya yang berlebihan. Dengan demikian, aspek ekonomi dan sosial dari kebijakan pembiayaan
kesehatan dapat berdaya guna dan berhasil guna bagi seluruh masyarakat yang
membutuhkannya.

http://yantigobel.wordpress.co

http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2011/10/16/kebijakan-pembiayaan-kesehatan/
Sistem Pembiayaan Kesehatan Indonesia
Sistem pembiayaan kesehatan Indonesia secara umum terbagi dalam 2 sistem yaitu:

1.      Fee for Service ( Out of Pocket )

Sistem ini secara singkat diartikan sebagai sistem pembayaran berdasarkan layanan, dimana
pencari layanan kesehatan berobat lalu membayar kepada pemberi pelayanan kesehatan (PPK). PPK
(dokter atau rumah sakit) mendapatkan pendapatan berdasarkan atas pelayanan yang diberikan,
semakin banyak yang dilayani, semakin banyak pula pendapatan yang diterima.

Sebagian besar masyarakat Indonesia saat ini masih bergantung pada sistem pembiayaan
kesehatan secara Fee for Service ini. Dari laporan World Health Organization di tahun 2006 sebagian
besar (70%) masyarakat Indonesia masih bergantung pada sistem, Fee for Service dan hanya 8,4% yang
dapat mengikuti sistem Health Insurance (WHO, 2009). Kelemahan sistem Fee for Service adalah
terbukanya peluang bagi pihak pemberi pelayanan kesehatan (PPK) untuk memanfaatkan hubungan
Agency Relationship , dimana PPK mendapat imbalan berupa uang jasa medik untuk pelayanan yang
diberikannya kepada pasien yang besar-kecilnya ditentukan dari negosiasi. Semakin banyak jumlah
pasien yang ditangani, semakin besar pula imbalan yang akan didapat dari jasa medik yang ditagihkan ke
pasien. Dengan demikian, secara tidak langsung PPK didorong untuk meningkatkan volume
pelayanannya pada pasien untuk mendapatkan imbalan jasa yang lebih banyak.

2.      Health Insurance

Sistem ini diartikan sebagai sistem pembayaran yang dilakukan oleh pihak ketiga atau pihak
asuransi setelah pencari layanan kesehatan berobat. Sistem health insurance ini dapat berupa system
kapitasi dan system Diagnose Related Group (DRG system).

Sistem kapitasi merupakan metode pembayaran untuk jasa pelayanan kesehatan dimana PPK
menerima sejumlah tetap penghasilan per peserta untuk pelayanan yang telah ditentukkan per periode
waktu. Pembayaran bagi PPK dengan system kapitasi adalah pembayaran yang dilakukan oleh suatu
lembaga kepada PPK atas jasa pelayanan kesehatan dengan pembayaran di muka sejumlah dana
sebesar perkalian anggota dengan satuan biaya (unit cost) tertentu. Salah satu lembaga di Indonesia
adalah Badan Penyelenggara JPKM (Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat). Masyarakat yang
telah menajdi peserta akan membayar iuran dimuka untuk memperoleh pelayanan kesehatan paripurna
dan berjenjang dengan pelayanan tingkat pertama sebagai ujung tombak yang memenuhi kebutuhan
utama kesehatan dengan mutu terjaga dan biaya terjangkau.

Sistem kedua yaitu DRG (Diagnose Related Group) tidak berbeda jauh dengan system kapitasi di
atas. Pada system ini, pembayaran dilakukan dengan melihat diagnosis penyakit yang dialami pasien.
PPK telah mendapat dana dalam penanganan pasien dengan diagnosis tertentu dengan jumlah dana
yang berbeda pula tiap diagnosis penyakit. Jumlah dana yang diberikan ini, jika dapat dioptimalkan
penggunaannya demi kesehatan pasien, sisa dana akan menjadi pemasukan bagi PPK.

Kelemahan dari system Health Insurance adalah dapat terjadinya underutilization dimana dapat
terjadi penurunan kualitas dan fasilitas yang diberikan kepada pasien untuk memperoleh keuntungan
sebesar-besarnya. Selain itu, jika peserta tidak banyak bergabung dalam system ini, maka resiko
kerugian tidak dapat terhindarkan. Namun dibalik kelemahan, terdapat kelebihan system ini berupa PPK
mendapat jaminan adanya pasien (captive market), mendapat kepastian dana di tiap awal periode
waktu tertentu, PPK taat prosedur sehingga mengurangi terjadinya multidrug dan multidiagnose. Dan
system ini akan membuat PPK lebih kea rah preventif dan promotif kesehatan.

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menilai, pembiayaan kesehatan dengan sistem kapitasi dinilai lebih
efektif dan efisien menurunkan angka kesakitan dibandingkan sistem pembayaran berdasarkan layanan
(Fee for Service) yang selama ini berlaku. Namun, mengapa hal ini belum dapat dilakukan sepenuhnya
oleh Indonesia? Tentu saja masih ada hambatan dan tantangan, salah satunya adalah sistem kapitasi
yang belum dapat memberikan asuransi kesehatan bagi seluruh rakyat tanpa terkecuali seperti yang
disebutkan dalam UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Sampai saat ini,
perusahaan asuransi masih banyak memilah peserta asuransi dimana peserta dengan resiko penyakit
tinggi dan atau kemampuan bayar rendah tidaklah menjadi target anggota asuransi. Untuk mencapai
terjadinya pemerataan, dapat dilakukan universal coverage yang bersifat wajib dimana penduduk yang
mempunyai resiko kesehatan rendah akan membantu mereka yang beresiko tinggi dan penduduk yang
mempunyai kemampuan membayar lebih akan membantu mereka yang lemah dalam pembayaran. Hal
inilah yang masih menjadi pekerjaan rumah bagi sistem kesehatan Indonesia.

Memang harus kita akui, bahwa tidak ada sistem kesehatan terutama dalam pembiayaan
pelayanan kesehatan yang sempurna, setiap sistem yang ada pasti memiliki kelebihan dan
kekurangannya masing-masing. Namun sistem pembayaran pelayanan kesehatan ini harus bergerak
dengan pengawasan dan aturan dalam suatu sistem kesehatan yang komprehensif, yang dapat
mengurangi dampak buruk bagi pemberi dan pencari pelayanan kesehatan sehingga dapat terwujud
sistem yang lebih efektif dan efisien bagi pelayanan kesehatan di Indonesia.

Sumber: World Health Organization 2009

http://siskes-dan-manj-bencana.blogspot.com/2011/02/sistem-pembiayaan-kesehatan-indonesia.html

Masalah Pembiayaan Kesehatan di Indonesia

Kesehatan adalah unsur vital dan merupakan elemen konstitutif dalam proses kehidupan
seseorang. Tanpa kesehatan, tidak mungkin bisa berlangsung aktivitas seperti biasa. Dalam
kehidupan berbangsa, pembangunan kesehatan sesungguhnya bernilai sangat investatif. Nilai
investasinya terletak pada tersedianya sumber daya yang senatiasa “siap pakai” dan tetap
terhindar dari serangan berbagai penyakit. Namun, masih banyak orang menyepelekan hal ini.
Negara, pada beberapa kasus, juga demikian.

Di Indonesia, tak bisa dipungkiri, trend pembangunan kesehatan bergulir mengikuti pola
rezim penguasa. Pada zaman ketika penguasa negeri ini hanya memandang sebelah mata kepada
pembangunan kesehatan, kualitas hidup dan derajat kesehatan rakyat kita juga sangat
memprihatinkan. Angka Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) negara kita
selalu stagnan pada kisaran 117-115 dari sekitar 175 negara Sebagai catatan, HDI adalah ukuran
keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa yang dilihat dari parameter pembangunan
ekonomi, kesehatan dan pendidikan. Ironisnya, rentetan pergantian tampuk kekuasaan selama
beberapa dekade terakhir, pun tak kunjung membawa angin perubahan. Apa pasal?

Belum terbitnya kesadaran betapa tercapainya derajat kesehatan optimal sebagai syarat
mutlak terwujudnya tatanan masyarakat bangsa yang berkeadaban, serta di pihak lain masih
lekatnya anggapan bahwa pembangunan bidang kesehatan semata terkait dengan penanganan
sejumlah penyakit tertentu dan penyediaan obat-obatan.

Sudut pandang yang teramat sempit memang, ditambah dengan kecenderungan untuk
mendahulukan hal lain yang sesungguhnya masih bisa ditunda. Variabel tadi menemukan titik
singgung dengan belum adanya keinginan politik dari pemerintah, rezim boleh berganti namun
modus operandi dan motifnya masih serupa; bahwa isu-isu kesehatan hanya didendangkan
sekedar menyemarakkan janji dan program-program politik tertentu dalam tujuan jangka pendek.

Untuk kasus Indonesia, belum ada grand strategy yang terarah dalam peningkatan kualitas
kesehatan individu dan masyarakat, yang dengan tegas tercermin dari minimnya pos anggaran
kesehatan dalam APBN maupun APBD. Belum lagi jika kita ingin bertutur tentang program
pengembangan kesehatan maritim yang semestinya menjadi keunggulan komparatif negeri kita
yang wilayah perairannya dominan. Pelayanan kesehatan di tiap sentra pelayanan selalu jauh dari
memuaskan.

Minimnya Anggaran Negara yang diperuntukkan bagi sektor kesehatan, dapat dipandang
sebagai rendahnya apresiasi kita akan pentingnya bidang ini sebagai elemen penyangga, yang
bila terabaikan akan menimbulkan rangkaian problem baru yang justru akan menyerap keuangan
negara lebih besar lagi. Sejenis pemborosan baru yang muncul karena kesalahan kita sendiri.

Kabar menarik sesungguhnya mulai terangkat ketika Departemen Kesehatan pada beberapa
waktu lalu, mengelurkan konsep pembangunan kesehatan berkelanjutan, dikenal sebagai Visi
Indonesia Sehat 2010. Berbagai langkah telah ditempuh untuk mensosialisasikan keberadaan
VIS 2010 tersebut, tetapi kemudian menjadi lemah akibat kebijakan desentralisasi dan akhirnya
“terpental” dengan diberlakukannya UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Konsepsi Visi Indonesia Sehat 2010, pada prinsipnya menyiratkan pendekatan sentralistik
dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan, sebuah paradigma yang nyatanya cukup
bertentangan dengan anutan desentralisasi, dimana kewenangan daerah menjadi otonom untuk
menentukan arah dan model pembangunan di wilayahnya tanpa harus terikat jauh dari pusat.

Sistem Kesehatan Nasional

Kebijakan desentralisasi, pada beberapa sisi, telah ikut menggerus pola lama
pembangunan, termasuk di bidang kesehatan. Relatif “berkuasanya” kembali daerah-daerah
dalam menentukan kebijakan pembangunannya, membuat konsepsi Visi Indonesia Sehat seakan
tidak menemukan relung untuk dapat diwujudkan. Impian untuk mewujudkan tangga-tangga
pencapaian “sehat”, mulai dari Indonesia sehat 2010, Propinsi Sehat 2008, Kabupaten Sehat
2006 dan Kecamatan Sehat 2004, menjadi miskin makna.

Pada kenyataannya, masih sangat banyak wilayah-wilayah di negeri ini yang sangat jauh
dari jangkauan pelayanan kesehatan berkualitas. Padahal pada saat yang sama, kecenderungan
epidemiologi penyakit tak kunjung berubah yang diperparah lemahnya infrastruktur promotif dan
preventif di bidang kesehatan.

Kali terakhir, ini juga dapat dipandang sebagai sebuah “terobosan” baru, pemerintah
menerbitkan dokumen panduan pembangunan kesehatan yang dikenal sebagai “Sistem
Kesehatan Nasional”. Dokumen ini antara lain disusun berdasarkan pada asumnsi bahwa
pembangunan kesehatan merupakan pembangunan manusia seutuhnya untuk mencapai derajat
kesehatan yang tertinggi, sehingga dalam penyelenggaraannya tidak bisa menafikkan peran dan
kontribusi sektor lainnya. Singkatnya, pembangunan kesehatan menjadi bagian integral dari
pembangunan bangsa.

Sistem Kesehatan Nasional (SKN) terdiri atas :


• Upaya Kesehatan
• Pembiayaan Kesehatan
• Sumber Daya Manusia Kesehatan
• Sumber Daya Obat dan Perbekalan Kesehatan
• Pemberdayaan Masyarakat
• Manajemen Kesehatan

Jika kita runut, maka subsistem yang cukup fundamental adalah pembiayaan kesehatan.
Ketiadaan atau tidak optimalnya pembiayaan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan dan
program lainnya, merupakan salah satu penyebab utama tidak tercapainya tujuan pembangunan
kesehatan yang kita inginkan. Betapa tidak, hamper semua aktivitas dalam pembangunan tak
dapat dipungkiri, membutuhkan dana dan biaya.
Pembiayaan Kesehatan

Sebagai subsistem penting dalam penyelenggaraan pembanguan kesehatan, terdapat


beberapa faktor penting dalam pembiayaan kesehatan yang mesti diperhatikan. Pertama, besaran
(kuantitas) anggaran pembangunan kesehatan yang disediakan pemerintah maupun sumbangan
sektor swasta. Kedua, tingkat efektifitas dan efisiensi penggunaan (fungsionalisasi) dari anggaran
yang ada.

Di Negara kita, proporsi anggaran pembangunan kesehatan tidak pernah mencapai angka
dua digit dibanding dengan total APBN/APBD.Padahal, Badan Kesehatan Dunia (WHO) jauh-
jauh hari telah menstandarkan anggaran pembangunan kesehatan suatu Negara pada kisaran
minimal 5% dari GDP (Gross Domestic Product/Pendapatan Domestik Bruto). Pada tahun 2003,
pertemuan para Bupati/Walikota se-Indonesia di Blitar telah juga menyepakati komitmen
besarnya anggaran pembangunan kesehatan di daerah-daerah sebesar 15% dari APBD.
Kenyataannya, Indonesia hanya mampu mematok anggaran kesehatan sebesar 2,4% dari GDP,
atau sekitar 2,2-2,5% dari APBN.

Terbatasnya anggaran kesehatan di negeri ini, diakui banyak pihak, bukan tanpa alasan.
Berbagai hal bias dianggap sebagai pemicunya. Selain karena rendahnya kesadaran pemerintah
untuk menempatkan pembangunan kesehatan sebagai sector prioritas, juga karena kesehatan
belum menjadi komoditas politik yang laku dijual di negeri yang sedang mengalami transisi
demokrasi ini.

Ironisnya, kelemahan ini bukannya tertutupi dengan penggunaan anggaran yang efektif dan
efisien. Beberapa tahun yang lalu, lembaga transparansi internasional mengumumkan tiga besar
intansi pemerintah Indonesia yang paling korup. Nomor satu adalah departemen agama,
selanjutnya departemen kesehatan dan terakhir adalah departemen pendidikan.

Temuan ini semakin menguatkan dugaan adanya tindak “mafia” anggaran pembangunan
kesehatan pada berbagai instansi kesehatahn di seantero negeri ini. Praktek korupsi, kolusi dan
nepotisme – seperti juga dialami di intansi lainnya – tetap berurat akar dengan subur di
departemen kesehatan.
Akibatnya, banyak kita jumpai penyelenggaraan program-program kesehatan yang hanya
dilakukan secara asal-asalan dan tidak tepat fungsi.

Relatif ketatnya birokrasi di lingkungan departemen kesehatan dan instansi turunannya,


dapat disangka sebagai biang sulitnya mengejar transparansi dan akuntabilitas anggaran di
wilayah ini. Peran serta masyarakat dalam pembahasan fungsionalisasi anggaran kesehatan
menjadi sangat minim, jika tak mau disebut tidak ada sama sekali.

Pada sisi lain, untuk skala Negara sedang berkembang, Indonesia yang masih berkutat
memerangi penyakit-penyakit infeksi tropik akibat masih buruknya pengelolaan lingkungan,
seharusnya menempatkan prioritas pembangunan kesehatan pada aspek promotif dan preventif,
bukan semata di bidang kuratif dan rehabilitatif saja. Sebagai catatan, rasio anggaran antara
promotif dan preventif dengan kuratif-rehabilitatif selama ini berkisar pada 1:3, suatu
perbandingan yang tidak cukup investatif untuk bangsa sedang berkembang seperti Indonesia.

Akibatnya, sejumlah program kesehatan di negeri ini masih berputar-putar pada upaya
bagaimana mengobati orang yang sakit saja, bukannya mencari akar permasalahan yang menjadi
penyebab mereka jatuh sakit kemudian meneyelesaikannya.

Beberapa Pemikiran

Pertanyaan yang mengemuka ialah model kebijakan kesehatan seperti apa yang layak
diterapkan di negeri kita, sistem pembiayaan yang bagaimana yang cocok dengan kehidupan
masyarakat kita. Depkes sebagai pengemban pertama tanggung jawab konstitusi kita ternyata
dalam banyak kasus terbukti tak dapat/ tak mau berbuat banyak.

Anggaran kesehatan yang teramat minim, terlepas basis argumentasinya seperti apa; setidaknya
menjadi isyarat akan kenyataan teguh, bahwa memang hal-hal yang berkaitan langsung dengan
hajat hidup orang banyak selalu dianggap sepele.

Hal ini didukung pula oleh sifat apatis sebagian besar rakyat kita, dalam mengkritisi
kebijakan kesehatan. Pun itu diperparah dengan belum transparannya penggunaan anggaran, dan
dana yang ada lebih dialokasikan pada pos-pos yang bukan menjadi kebutuhan mendesak
masyarakat, sebagai contoh; beberapa puskesmas di Indonesia memiliki fasilitas mobil ambulans
yang lengkap namun di puskesmas tersebut, tenaga medis yang ada hanya sebatas paramedis,
tanpa tenaga dokter, sarjana kesehatan masyarakat dan tenaga medis lainnya, jadi proses
pemenuhan dan penyediaan kebutuhan masyarakat akan kesehatan tidak berbasis pada analisa
kebutuhan tetapi lebih sebagai resultan dari tarik-menarik kepentingan politik nasional maupun
lokal.

Dalam lokus kajian spesifik, membengkaknya biaya kesehatan ternyata secara langsung
atau tidak juga disebabkan oleh tingginya biaya pendidikan perguruan tinggi atau sekolah-
sekolah yang berlatar belakang kesehatan. Indonesia menjadi contoh dari mahalnya biaya yang
harus ditanggung oleh para peserta didik dari fakultas kedokteran, akademi maupun sekolah
tenaga kesehatan lainnya. Hal ini sangat kontras jika kita bandingkan dengan kasus negara
tetangga seperti Singapura atau Malaysia; dimana negara bertanggung jawab mengucurkan dana
besar bagi institusi pendidikan.

Dominasi Negara berlebih-lebihan dalam banyak hal termasuk mewajibkan pegawai negeri
sipil, polisi atau militer untuk masuk hanya pada perusahaan asuransi tertentu yang dikelola oleh
negara membuka peluang terjadinya praktek korupsi. Model itu sudah selayaknya ditinjau ulang.

Reformasi Kesehatan

Reformasi bidang kesehatan bukan lagi bahasa yang baru. Hanya saja agendanya perlu
dipertegas kembali sebagai landasan pembangunan selanjutnya. Jika disederhanakan, agenda
reformasi kesehatan akan lebih mengedepankan partisipasi masyarakat dalam menyusun dan
menyelenggarakan aspek kesehatannya dengan sesedikit mungkin intervensi pemerintah.
Pemberdayaan masyarakat menjadi tolok ukur keberhasilan dan pemihakan terhadap kaum
miskin menjadi syarat penerimaan universalitasnya.

Gunawan Setiadi, seorang dokter dan master bidang kesehatan, mengungkapkan beberapa
alasan mengapa masyarakat dapat menyelenggarakan kesehatannya, dan lebih baik dari
pemerintah, antara lain:
(a) komitmen masyarakat lebih besar dibandingkan pegawai yang digaji;
(b) masyarakat lebih paham masalahnya sendiri;
(c) masyarakat dapat memecahkan masalah, sedangkan kalangan profesional/pemerintah sekadar
memberikan pelayanan;
(d) masyarakat lebih fleksibel dan kreatif;
(e) masyarakat mampu memberikan pelayanan yang lebih murah; dan
(f) standar perilaku ditegakkan lebih efektif oleh masyarakat dibandingkan birokrat atau
profesional kesehatan.

Pandangan-pandangan di atas menjadi cukup beralasan muncul dengan melihat


kecenderungan rendahnya etos kerja birokrat dan profesional kesehatan selama ini. Sudah
saatnya penyelenggaraan kesehatan diprakarsai oleh masyarakat sendiri, sehingga pemaknaan
atas hidup sehat menjadi sebuah budaya baru, di mana di dalamnya terbangun kepercayaan,
penghargaan atas hak hidup dan menyuburnya norma-norma kemanusiaan lainnya. Model
penyelenggaraan kesehatan berbasis pemberdayaan (empowerment) harus disusun secara
rasional dengan sedapat mungkin melibatkan semua stakeholder terkait.

Jadi, prioritas pembangunan kesehatan sedapat mungkin lebih diarahkan untuk


masyarakat miskin – mereka yang jumlahnya mayoritas dan telah banyak terampas haknya
selama ini. Untuk itu, sasaran dari subsidi pemerintah di bidang kesehatan perlu dipertajam
dengan jalan antara lain :

Pertama, meningkatkan anggaran bagi program-program kesehatan yang banyak berkaitan


dengan penduduk miskin. Misalnya program pemberantasan penyakit menular, pelayanan
kesehatan ibu dan anak, serta peningkatan gizi masyarakat.

Kedua, meningkatkan subsidi bagi sarana pelayanan kesehatan yang banyak melayani
penduduk miskin, yaitu Puskesmas dan Puskesmas Pembantu, ruang rawat inap kelas III di
rumah sakit. Untuk itu, subsidi bantuan biaya operasional rumah sakit perlu ditingkatkan untuk
menghindari praktik eksploitasi dan ‘pemalakan’ pasien miskin atas nama biaya perawatan.
Ketiga, mengurangi anggaran bagi program yang secara tidak langsung membantu
masyarakat miskin mengatasi masalah kesehatannya. Contohnya adalah pengadaan alat
kedokteran canggih, program kesehatan olahraga dan lain sebagainya.

Keempat, mengurangi subsidi pemerintah kepada sarana pelayanan kesehatan yang jarang
dimanfaatkan oleh masyarakat miskin, misalnya pembangunan rumah sakit-rumah sakit stroke.

http://astaqauliyah.com/2007/02/masalah-pembiayaan-kesehatan-di-indonesia/
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BIDANG KESEHATAN

Indonesia masih mengalami keterlambatan dalam proses realisasi pencapaian Tujuan


Pembangunan Millenium (TMP) / Millenium Development Goals (MDG’s). Terlihat pada masih
tingginya angka kematian ibu melahirkan, masih rendahnya kualitas sanitasi & air bersih, laju
penularan HIV/AIDS yang kian sulit dikendalikan, serta meningkatnya beban utang luar negeri
yang kian menumpuk. Permasalahan tersebut jelas memberikan pengaruh pada kualitas hidup
manusia Indonesia yang termanifestasi pada posisi peringkat Indonesia yang kian menurun pada
Human Development Growth Index.  Pada tahun 2006 Indonesia menyentuh peringkat 107 dunia,
2008 di 109, hingga tahun 2009 sampai dengan 2010 masih di posisi 111. Posisi Indonesia
ternyata selisih 9 peringkat dengan Palestina yang berada di posisi 101. Sulit dipungkiri, dan
sungguh ironis.(Progres Report in Asia & The Pacific yang diterbitkan UNESCAP)

 Khusus masalah pembiayaan kesehatan per kapita. Indonesia juga dikenal paling rendah di
negara-negara ASEAN. Pada tahun 2000, pembiayaan kesehatan di Indonesia sebesar Rp.
171.511, sementara Malaysia mencapai $ 374. Dari segi capital expenditure (modal yang
dikeluarkan untuk penyediaan jasa kesehatan) untuk sektor kesehatan, pemerintah hanya mampu
mencapai 2,2 persen dari GNP sementara Malaysia sebesar 3,8 persen dari GNP. Kondisi ini
masih jauh dibanding Amerika Serikat yang mampu mencapai 15,2 persen dari GNP pada 2003
(Adisasmito, 2008:78).

Untuk mencapai Millenium Development Goals (MDG’s) tahun 2015, perlu upaya kerja
keras dalam pembangunan kesehatan, termasuk penyediaan SDM kesehatan.Ketidakseimbangan
kualifikasi, jumlah dan distribusi SDM kesehatan menyebabkan rendahnya jumlah SDM
kesehatan berkualitas terutama di daerah terpencil. Hal itu disebabkan karena SDM kesehatan
berkualitas enggan ditempatkan di daerah terpencil dan sangat terpencil. Karena itu, pemerintah
memberikan perhatian serius pada pengembangan dan pemberdayaan tenaga kesehatan melalui
Inpres No: 1 Tahun 2010, yang mengamanatkan Kemenkes berkewajiban menyebarkan lebih
banyak staf medis di daerah terpencil. Selain itu, dengan Inpres  No: 3 tahun 2010, Kemenkes
harus mengembangkan pemetaan kebutuhan tenaga kesehatan sedangkan Kementerian PAN 
menjamin 30% total formasi tenaga kesehatan untuk ditempatkan di daerah terpencil dan sangat
terpencil.
Dalam konteks sederhana ini,  terlihat peran hukum dibidang kesehatan sangat penting
dalam pembangunan kesehatan di Indonesia khususnya di daerah terpencil dan sangat terpencil.

Relevansi hukum dalam bidang kesehatan memiliki fungsi yang sangat strategis. Oleh
karena itu perumusan peraturan perundang-undangan dalam bidang kesehatan yang baik dan
responsif, yang memenuhi rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat, telah menjadi
bagian integral dalam Rencana Strategis Kementerian  Kesehatan (RENSTRA) Tahun 2010 –
2014.

Berbicara tentang Peraturan perundang-undangan sangatlah luas karena pengertian


peraturan perundang-undangan menurut Undang-Undang  No 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mencakup UUD 1945, Undang-Undang, Peraturan
Pemerintah/Perpu, Peraturan Presiden dan Peraturan Daerah (Pasal 7 ayat 1) serta berbagai jenis
peraturan perundang-undangan lainnya sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi (Pasal 7 ayat 4). Khusus Peraturan perundang-undangan dalam
bidang kesehatan kita ketahui ada UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU No 44 Tahun
2009 tentang Rumah Sakit, UU No 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, dll. Begitupun
dalam bentuk Peraturan Pemerintah juga sangat banyak diantaranya  PP No 32 Tahun 1996
tentang Tenaga Kesehatan, PP No.51 Tahun 2009 tentang Tenaga Kefarmasian, dll

Mengingat waktu yang diberikan sangat singkat maka pada kesempatan ini secara sekilas
pandang akan lebih difokuskan hanya pada UU Kesehatan yang baru yakni UU No 36 Tahun
2009, LN Tahun 2009 No. 144, TLN No.5063

1. Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan adalah undang-undang yang relatif cukup
lengkap

Undang-Undang Kesehatan merupakan landasan utama dan merupakan payung hukum


bagi setiap penyelenggara pelayanan kesehatan. Oleh karena itu ada baiknya setiap orang yang
bergerak dibidang pelayanan kesehatan mengetahui dan memahami apa saja yang diatur didalam
undang-undang tersebut.
Undang-undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, memiliki landasan hukum yang
telah disesuaikan dengan UUD 1945 hasil amandemen, seperti dalam konsideran mengingat;
sebagaimana dicantumkannya  Pasal 20, Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 34 ayat (3) Undang-
Undang Dasar 1945. Selain itu, undang-undang ini juga memiliki jumlah pasal yang sangat
banyak yaitu terdiri dari  205 pasal dan 22 bab, serta penjelasannya. Jika dibandingan dengan
UU Kesehatan yang lama yaitu UU No 23 Tahun 1992, hanya terdiri dari 12 Bab dan 90 Pasal.

Undang-Undang kesehatan yang lama dari sisi substansi juga diaggap terlalu sentralistik,
disamping itu sudah tidak sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, dan dinamika
masyarakat serta dunia kesehatan kontemporer.

Meskipun disadari, UU Kesehatan yang baru 2009 dalam pembahasannya di DPR RI,
melahirkan beragam polimik di masyarakat, karena banyak pasal krusial yang sangat sensitif,
namun oleh beberapa kalangan diakui pula telah melahirkan terobosan baru dalam pembangunan
kesehatan di Indonesia. Pembahasannya dilakukan melalui pendekatan yang multidisipliner,
dengan kerangka pemikiran yang lebih mendalam baik dari sisi substansi maupun dari sisi
cakupan pengaturannya yang lebih merespon tuntutan pelayanan kesehatan untuk menjawab
perkembangan dunia kesehatan di masa depan, seperti mengutamakan prinsip jaminan
pemenuhan hak asasi manusia di bidang kesehatan, pemberdayaan masyarakat, pelaksanaan
otonomi daerah yang nyata, implementasi hak dan kewajiban berbagai pihak serta meningkatkan
peran organisasi profesi.

2. Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan membawa Paradigma Baru

Jika kita melihat 5 dasar pertimbangan perlunya dibentuk undang-undang kesehatan yang
baru yaitu pertama; kesehatan adalah hak asasi dan salah satu unsur kesejahteraan, kedua;
prinsip kegiatan kesehatan yang nondiskriminatif, partisipatif dan berkelanjutan. Ketiga;
kesehatan adalah investasi. Keempat; pembangunan kesehatan adalah tanggung jawab
pemerintah dan masyarakat, dan yang Kelima adalah bahwa Undang-Undang Kesehatan No 23
tahun 1992 sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan, tuntutan dan kebutuhan hukum dalam
masyarakat.
Berdasarkan pertimbangan diatas maka salah satu poin penting yang diatur dalam UU
kesehatan yang baru adalah adanya pengakuan yang lebih tegas tentang pentingnya melihat
kesehatan sebagai bagian dari HAM yang harus dipenuhi oleh pemerintah (Pasal 4-8).
Pemenuhan hak masyarakat atas kesehatan tercermin dalam alokasi anggaran Negara
(APBN/APBD) Dalam UU Kesehatan 2009  diatur secara konkrit, yaitu pemenuhan alokasi
anggaran kesehatan untuk pusat (APBN) sebesar 5% (Pasal 171 ayat 1) dan untuk daerah (APBD
Provinsi/Kabupaten/Kota) menyiapkan 10% dari total anggaran setiap tahunnya diluar gaji
pegawai (Pasal 171 ayat 2). Besaran anggaran kesehatan tersebut diprioritaskan untuk
kepentingan pelayanan publik (terutama bagi penduduk miskin, kelompok lanjut usia, dan anak
terlantar) yang besarannya sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari anggaran kesehatan dalam
anggaran pendapatan dan belanja negara dan anggaran pendapatan dan belanja daerah (Pasal 171
ayat 3). Bahkan lebih jauh lagi, ruang lingkup pelayanan kesehatan harus mencakup setiap upaya
kesehatan yang menjadi komitmen komunitas global, regional, nasional maupun lokal.

Hal ini sebetulnya sudah memenuhi harapan organisasi kesehatan dunia (WHO) yang
menyebutkan, jumlah alokasi anggaran di sektor kesehatan yaitu minimal sekitar lima persen
dari anggaran suatu negara. Mudah-mudahan dengan semakin membaiknya perekonomian
Indonesia, anggaran kesehatan di Indonesia bisa sama dengan di Amerika Serikat yang sudah
diatas 10 persen.

Dari sisi pelayanan kesehatan, Profesi tenaga kesehatan memang banyak berkaitan dengan
problema etik yang dapat berpotensi menimbulkan sengketa medik. UU Kesehatan 2009 lebih
memberikan perlindungan dan kepastian hukum baik pada pemberi layanan selaku tenaga
kesehatan (Pasal 21-29) maupun penerima layanan kesehatan (Pasal 56-58).

Pada satu sisi, setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga
kesehatan, dan/atau  penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau
kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya. Namun disisi lain Bilamana dalam hal
tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, maka kelalaian
tersebut menurut UU harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi (Pasal 29). Untuk itu
tenaga kesehatan sebaiknya juga mulai memahami tentang sistem Alternative Dispute Resolution
(ADR). Efektifitas sistem ini cukup dapat diandalkan mengingat 90 % kasus malpraktik yang
dimediasi oleh Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) dapat
diselesaikan dengan baik.

 UU ini juga menjamin keterjangkaun pembiayaan kesehatan bagi semua pasien. Pasal 23
ayat 4 menentukan bahwa Penyelenggara pelayanan kesehatan selama memberikan pelayanan
kesehatan dilarang mengutamakan kepentingan yang bernilai materi.

Pasal 32 UU Kesehatan 2009 secara tegas melarang seluruh fasilitas pelayanan kesehatan
baik milik pemerintah maupun swasta untuk menolak pasien dan atau meminta uang muka
apalagi dalam kondisi Bencana (Pasal 85). Selama ini memang kerap terjadi adanya layanan
kesehatan yang menolak untuk mengobati karena pasien tidak mampu menyediakan sejumlah
uang. Aturan semacam ini dibuat untuk mencegah cara-cara tidak manusiawi dalam
memperlakukan pasien.

Selain itu, bila kita melihat dari sisi perkembangan teknologi kesehatan yang berjalan
seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan munculnya fenomena globalisasi telah
menyebabkan banyaknya perubahan yang sifat dan eksistensinya sangat berbeda jauh dari
Undang-Undang Kesehatan yang lama. Pesatnya kemajuan teknologi kesehatan dan teknologi
informasi dalam era global ini ternyata belum terakomodatif secara baik oleh Undang-Undang
kesehatan yang lama seperti pengaturan mengenai teknologi kesehatan dan produk teknologi
kesehatan (Pasal 42-45), transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh, implan obat dan/atau alat
kesehatan, bedah plastik dan rekonstruksi, serta penggunaan sel punca untuk tujuan
penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan (Pasal 64-70). Hal-hal tersebut mengharuskan
pemerintah mengkaji ulang konsep pembangunan kesehatan dan menuangkannya dalam
Undang-Undang Kesehatan yang baru.

Undang-Undang Kesehatan yang lama lebih menitikberatkan pada pengobatan (kuratif),


menyebabkan pola pikir yang berkembang di masyarakat adalah bagaimana cara mengobati bila
terkena penyakit. Hal itu tentu akan membutuhkan dana yang lebih besar bila dibandingkan
dengan upaya pencegahan. Konsekuensinya, masyarakat akan selalu memandang persoalan
pembiayaan kesehatan sebagai sesuatu yang bersifat konsumtif/pemborosan. Selain itu, sudut
pandang para pengambil kebijakan juga masih belum menganggap kesehatan sebagai suatu
kebutuhan utama dan investasi berharga di dalam pembangunan. Untuk itu, dalam pandangan
UU kesehatan yang baru, persoalan kesehatan telah dijadikan sebagai suatu faktor utama dan
investasi berharga yang pelaksanaannya didasarkan pada sebuah paradigma baru yang biasa
dikenal dengan paradigma sehat, yakni paradigma kesehatan yang mengutamakan upaya
promotif dan preventif tanpa mengabaikan kuratif dan rehabilitatif. Dalam rangka implementasi
paradigma sehat tersebut, dibutuhkan sebuah undang-undang yang berwawasan sehat, bukan
undang-undang yang berwawasan sakit, mengingat upaya pencegahan adalah jauh lebih murah
dan lebih baik, olehnya itu sangat tepat jika pemerintah lebih menekankan kepada segi preventif
karena 80 persen masalah kesehatan sebenarnya bisa diatasi melalui pencegahan.

UU Kesehatan yang baru juga telah merubah wajah baru sistem kesehatan di tanah air, dari
yang tadinya sangat sentralistik menuju desentralisasi. Porsi peran pemerintah daerah terasa lebih
seimbang dengan pemerintah pusat, seperti dalam hal tanggung jawab atas penyelenggaraan
upaya kesehatan, yang dilaksanakan secara aman, bermutu, serta merata dan nondiskriminatif.
Begitupun juga dari segi pengawasan terhadap penyelenggaraan pelayanan kesehatan dan
meningkatan tenaga kesehatan yang bermutu melalui pendidikan dan pelatihan dan
mendayagunakannya sesuai dengan kebutuhan daerah. Disamping itu pemerintah dan pemerintah
daerah juga bersama-sama menjamin dan menyediakan fasilitas untuk kelangsungan upaya
peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit. Ketersediaan sumber daya, fasilitas, dan
pelaksanaan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan berkesinambungan, bukan hanya dalam
kondisi aman tetapi juga pada saat bencana, tanggap darurat dan pascabencana.

Pemerintah daerah juga diberi hak untuk menentukan jumlah dan jenis fasilitas pelayanan
kesehatan serta pemberian izin beroperasi di daerahnya.Pemerintah dan pemerintah daerah wajib
menjamin ketersediaan tenaga, fasilitas pelayanan, alat dan obat kesehatan gigi dan mulut dalam
rangka memberikan pelayanan kesehatan gigi dan mulut yang aman, bermutu, dan terjangkau
oleh masyarakat. Termasuk penanggulangan gangguan penglihatan dan gangguan pendengaran.

Pemerintah daerah juga wajib menetapkan kawasan tanpa rokok di wilayahnya seperti pada
fasilitas pelayanan kesehatan; tempat proses belajar mengajar; tempat anak bermain;. tempat
ibadah; angkutan umum; tempat kerja; dan tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan.
Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab atas identifikasi mayat yang tidak
dikenali, tersedianya pelayanan bedah mayat forensik di wilayahnya serta menangung biaya
pemeriksaan kesehatan terhadap korban tindak pidana dan/atau pemeriksaan mayat untuk
kepentingan hukum, Menjamin terselenggaranya perlindungan bayi dan anak dan menyediakan
pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan mereka, kemudian wajib menyediakan tempat dan
sarana lain yang diperlukan untuk bermain anak yang memungkinkan anak tumbuh dan
berkembang secara optimal serta mampu bersosialisasi secara sehat, melakukan upaya
pemeliharaan kesehatan remaja termasuk untuk reproduksi remaja agar terbebas dari berbagai
gangguan kesehatan yang dapat menghambat kemampuan menjalani kehidupan reproduksi
secara sehat. Wajib menjamin ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan memfasilitasi
kelompok  lanjut usia dan penyandang cacat untuk dapat tetap hidup mandiri dan produktif
secara sosial dan ekonomis. Bertanggung jawab atas pemenuhan kecukupan gizi masyarakat.
Menjamin upaya kesehatan jiwa secara preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif, termasuk
menjamin upaya kesehatan jiwa di tempat kerja, Memberikan layanan edukasi dan informasi
tentang kesehatan jiwa, termasuk mempermudah akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan
jiwa. Wajib melakukan pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan bagi
penderita gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang, mengancam keselamatan dirinya
dan/atau orang lain, dan/atau mengganggu ketertiban dan/atau keamanan umum,  termasuk
pembiayaan pengobatan dan perawatan penderita gangguan jiwa untuk masyarakat miskin.

Selain itu, bertanggung jawab juga dalam melakukan upaya pencegahan, pengendalian, dan
pemberantasan penyakit menular serta akibat yang ditimbulkannya dengan berbasis wilayah
melalui koordinasi lintas sektor.

Secara berkala menetapkan dan mengumumkan jenis dan persebaran penyakit yang
berpotensi menular dan/atau menyebar dalam waktu yang singkat, serta menyebutkan daerah
yang dapat menjadi sumber penularan, Melakukan surveilans terhadap penyakit menular,
Menetapkan jenis penyakit yang memerlukan karantina, tempat karantina, dan lama karantina.
Melakukan upaya penanggulangan keadaan wabah, letusan, atau kejadian luar biasa. Demikian
juga melakukan upaya pencegahan, pengendalian, dan penanganan penyakit tidak menular
beserta akibat yang ditimbulkannya dan bertanggung jawab untuk melakukan komunikasi,
informasi, dan edukasi yang benar tentang faktor risiko penyakit tidak menular yang mencakup
seluruh fase kehidupan.

Menjamin ketersediaan lingkungan yang sehat dan tidak mempunyai risiko buruk bagi
kesehatan. Menyelenggarakan pengelolaan kesehatan melalui pengelolaan administrasi
kesehatan, informasi kesehatan, sumber daya kesehatan, upaya kesehatan, pembiayaan
kesehatan, peran serta dan pemberdayaan masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang
kesehatan, serta pengaturan hukum kesehatan secara terpadu dan saling mendukung guna
menjamin tercapainya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

Menyiapkan sumber pembiayaannya selain dari pemerintah pusat, masyarakat swasta dan
sumber lain. Untuk itu semua maka pemerintah daerah berwenang melakukan pembinaan
terhadap masyarakat dan terhadap setiap penyelenggara kegiatan yang berhubungan dengan
sumber daya kesehatan di bidang kesehatan dan upaya kesehatan.

Dapat memberikan penghargaan kepada orang atau badan yang telah berjasa dalam setiap
kegiatan mewujudkan tujuan kesehatan.

Mengangkat tenaga pengawas dengan tugas pokok untuk melakukan pengawasan terhadap
segala sesuatu yang berhubungan dengan sumber daya di bidang kesehatan dan upaya kesehatan.
Serta mengambil tindakan administratif terhadap tenaga kesehatan dan fasilitas pelayanan
kesehatan yang melanggar ketentuan.

3. Hal Kontorversial

Ada beberapa hal menarik dari UU Kesehatan yang mengundang kontroversil misalnya
yang berkaitan dengan hak untuk melakukan tindakan aborsi. Dengan latar belakang angka
kematian ibu di Indonesia yang masih tinggi atau berada di kisaran 228 per 100.000 angka
kelahiran hidup melahirkan pada tahun 2007 (SDKI 2007). Jumlah ini, lima kali lebih tinggi dari
negara tetangga seperti Malaysia dan Vietnam. “Malaysia yang dulu pada tahun 1970-an sering
dibantu Indonesia dalam bidang kesehatan kini angka kematian ibu melahirkan sudah menurun
40 per 100.000 angka kelahiran hidup melahirkan. Masih tingginya angka kematian ibu hamil di
Indonesia, selain sebagai hasil dari kondisi yang terkait dengan kehamilan, persalinan, dan
komplikasi. Aborsi ternyata memberikan kontribusi 15 persen dari jumlah kematian ibu
melahirkan, bahkan menurut sumber lain bahwa jumlah sebenarnya bisa mencapai 20-25 persen.
Hal tersebut, disebabkan pelaku aborsi kerap tidak mendapatkan pertolongan medis secara baik
dan profesional.

Dalam UU Kesehatan, tindakan aborsi dilarang (Pasal 75) Larangan dapat dikecualikan
berdasarkan:

a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang
mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau
cacat bawaan, yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di
luar kandungan; atau
b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban
perkosaan

Semuanya ini hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra
tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang
kompeten dan berwenang.

Selanjutnya aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan:

a. sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid
terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis;
b. oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki
sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;
c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;
d. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan
e. penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri.

Isu lainnya yang cukup mendapat perhatian diantaranya, mengenai rokok. Dalam UU
Kesehatan ini rokok dimasukan sebagai zat adiktif yang penggunaannya diarahkan agar tidak
mengganggu dan membahayakan kesehatan perorangan, keluarga, masyarakat dan lingkungan.
Oleh karena itu, produksi, peredaran dan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif seperti
tembakau harus memenuhi standar dan/atau persyaratan yang ditetapkan (Pasal 113).

Sedangkan bagi industry farmasi, UU Kesehatan 2009 pada beberapa pasalnya membatasi
ruang gerak bisnisnya. Pada pasal 40 ayat 6 disebutkan “Perbekalan kesehatan berupa obat
generik yang termasuk dalam daftar obat essensial nasional harus dijamin ketersediaan dan
keterjangkauannya sehingga penetapan harganya dikendalikan oleh Pemerintah”. Adanya pasal
ini memaksa industri farmasi untuk menjual obat generik dengan harga yang telah ditetapkan
pemerintah, Namun apabila pemerintah tidak bijak dalam menetapkan harga obat generik maka
kemungkinan kelangkaan beberapa obat generik seperti yang terjadi belakangan ini bisa terulang
kembali.

4. Tantangan Hukum Bidang Kesehatan

Berbagai keberhasilan yang telah dicapai tidak lantas harus membuat kita cepat puas,
karena ada pula tantangan dan masalah kesehatan yang harus disikapi.

Menkes dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, Dr.PH pada Rapat Kerja Kesehatan
Nasional (Rakerkesnas) 21- 23 Februari 2011, di Jakarta mengatakan bahwa meskipun berbagai
keberhasilan yang telah dicapai, namun ada pula tantangan dan masalah kesehatan yang harus
disikapi. Tantangan tersebut diantaranya semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat pada
pelayanan kesehatan yang bermutu; beban ganda penyakit (di satu sisi, angka kesakitan penyakit
infeksi masih tinggi namun di sisi lain penyakit tidak menular mengalami peningkatan yang
cukup bermakna); disparitas status kesehatan antar wilayah cukup besar, terutama di wilayah
timur (daerah terpencil, perbatasan dan kepulauan/DTPK); peningkatan kebutuhan distribusi obat
yang bermutu dan terjangkau; jumlah SDM Kesehatan kurang, disertai distribusi yang tidak
merata; adanya potensi masalah kesehatan akibat bencana dan perubahan iklim, serta integrasi
pembangunan infrastruktur kesehatan yang melibatkan lintas sektor di lingkungan pemerintah,
Pusat-Daerah, dan Swasta.

Agenda penting lainnya adalah Penguatan Peran Provinsi/Kabupaten/Kota dalam rangka


menuju good governance. Oleh karena itu pemerintah daerah khususnya jajaran Dinas Kesehatan
diharapkan lebih mampu memahami UU Tipikor agar dapat mengikis praktik-praktik korupsi,
kolusi dan penyalahgunaan kekuasaan terhadap pengelolaan anggaran kesehatan mulai dari
proses perencanaan dan penganggaran serta monitoring dan evaluasi dalam berbagai program
kesehatan di wilayah kerjanya.

Selain itu, untuk mendukung percepatan pencapaian target MDGs; perlu dilakukan
pemberdayaan masyarakat, penanggulangan bencana dan krisis kesehatan melalui perluasan
penerapan sistem peringatan dini untuk penyebaran informasi terjadinya wabah, KLB dan
peningkatan kesiapsiagaan masyarakat. Peningkatan upaya kesehatan yang menjamin
terintegrasinya pelayanan kesehatan primer, sekunder, dan tersier. Peningkatan kualitas
manajemen, pembiayaan kesehatan, sistem informasi, dan ilmu pengetahuan serta teknologi
kesehatan melalui peningkatan kualitas perencanaan, penganggaran, serta monitoring dan
evaluasi pembangunan kesehatan

Pemantapan rancangan arah kebijakan pembangunan kesehatan 2012 dan realisasinya,


telah ditetapkan sembilan rancangan meliputi peningkatan kesehatan ibu, bayi, balita yang
menjamin continuum of care. Perbaikan status gizi masyarakat pada pencegahan stunting.
Melanjutkan upaya pengendalian penyakit menular serta penyakit tidak menular, diikuti
penyehatan lingkungan. Pengembangan SDM kesehatan dengan pemantapan standar kompetensi.
Peningkatan ketersediaan, keterjangkauan, pemerataan, mutu dan penggunaan obat serta
pengawasan obat dan makanan melalui e-logistic, erta perluasan cakupan jaminan kesehatan
melalui jaminan kelas III RS.

Mengingat begitu banyak agenda yang harus dilaksanakan maka dukungan penguatan
peraturan perundangan bidang kesehatan, menjadi prioritas utama. Sebaiknya Kemenkes juga
mau berkaca pada kasus sebelumnya bahwa Indonesia dulu sudah mempunyai UU disektor
kesehatan yaitu UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, namun UU tersebut sulit dijalankan
disebabkan tidak diterbitkannya peraturan pemerintah sebagai petunjuk operasional. Untuk itu
tantangan berikutnya setelah disahkannya UU Kesehatan yang baru ini dan agar pelaksanaannya
berjalan dengan baik, perlu segera diterbitkan peraturan pelaksanaannya. Kurang lebih ada 29
PP, 2 Perpres dan 19 Permenkes yang harus segera dibuat untuk melaksanakan UU Kesehatan
dimaksud. Sebuah UU mesti memperhatikan aspek teknis pelaksanaan. Tanpa memperdulikan
aspek teknis operasional pelaksanaan, Undang Undang menjadi mandul dan tidak bisa berjalan
dengan baik.

Semoga komitmen Kementerian Kesehatan untuk merumuskan peraturan perundang-


undangan dimaksud, sebagaimana telah tertuang dalam Kepmenkes No
021/MENKES/SK/1/2011 tentang Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kesehatan
Tahun 2010 – 2014, yaitu terealisasinya setiap tahun, 9 buah Rancangan Undang-Undang,
Rancangan Peraturan Pemerintah, Rancangan Peraturan/Keputusan Presiden, Dan
Peraturan/Keputusan Menkes sebanyak 45 buah, bisa tercapai sehingga Visi Kementerian
Kesehatan “MASYARAKAT SEHAT YANG MANDIRI DAN BERKEADILAN “, dapat
terlaksana dengan baik. 

http://fhukum-unpatti.org/artikel/umum/85-peraturan-perundang-undangan-bidang-kesehatan.html

Anda mungkin juga menyukai