Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesehatan tidak hanya merupakan hak warga tetapi juga merupakan barang
investasi yang menentukan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi negara,
karena itu negara berkepentingan agar seluruh warganya sehat (“Health for All”),
sehingga ada kebutuhan untuk melembagakan pelayanan kesehatan universal, ada
dua isu mendasar untuk mewujudkan tujuan pelayanan kesehatan dengan cakupan
universal, yaitu bagaimana cara membiayai pelayanan kesehatan untuk semua
warga, dan bagaimana mengalokasikan dana kesehatan untuk menyediakan
pelayanan kesehatan dengan efektif, efisien, dan adil. (Bisma Murti: 2010)

Dalam Undang Undang No. 23 Tahun 1992 Tentang: Kesehatan juga


disebutkan bahwa kesehatan sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum harus
diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 melalui pembangunan nasional
yang berkesinambungan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Kesehatan adalah unsur vital dan merupakan elemen konstitutif dalam proses
kehidupan seseorang tanpa adanya kesehatan yang baik maka tidak akan ada
masyarakat yang produktif. Dalam kehidupan berbangsa, pembangunan
kesehatan merupakan suatu hal yang bernilai sangat insentif. Nilai investasinya
terletak pada tersedianya sumber daya yang senantiasa “siap pakai” dan terhindar
dari ancaman penyakit. Di Indonesia sendiri tak bisa dipungkiri bahwa trend
pembangunan kesehatan bergulir mengikuti pola rezim penguasa. Ketika
pemerintah negeri ini hanya memandang sebelah mata pada pembangunan
kesehatan, maka kualitas hidup dan derajat kesehatan masyarakat akan menjadi
sangat memprihatinkan. (Delfi Lucy Stefani: 2013)

Salah satu sub sistem kesehatan nasional adalah subsistem pembiayaan


kesehatan. Jika ditinjau dari dari defenisi sehat, sebagaimana yang dimaksud oleh
WHO, maka pembiayaan pembangunan perumahan dan atau pembiayaan
pengadaan pangan, yang karena juga memiliki dampak terhadap derajat
kesehatan, seharusnya turut pula diperhitungkan. Pada akhir akhir ini, dengan
makin kompleksnya pelayanan kesehatan serta makin langkanya sumber dana
yang tersedia, maka perhatian terhadap sub sistem pembiayaan kesehatan makin
meningkat. Pembahasan tentang subsistem pembiayaan kesehatan ini tercakup
dalam suatu cabang ilmu khusus yang dikenal dengan nama ekonomi
kesehatan.(Delfi Lucy Stefani: 2013)

Oleh karena itu, diperlukan juga adanya upaya untuk meningkatkan derajat
kesehatan masyrakat yang setinggi-tingginya, peranan masyarakat juga sangat
diperlukan dalam hal ini karena dengan peran tersebut upaya-upaya untuk
meningkatkan derajat kesehatan tersebut dapat terlaksana dengan baik.Upaya-
upaya seperti promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif yang bersifat
menyeluruh terpadu dan berkesinambungan juga harus terus di terapakan dalam
hal ini agar derajat kesehatan masyarakat dapat terus terjaga dan
meningkat.Selain upaya-upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat
tersebut diperlukan juga adanya managemen ulang terhadap sistem pembiyayaan
kesehatan dan penyusunan program anggaran kesehatan agar subsistem dalam
sistem kesehatan nasional dapat terlaksana dengan baik.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah definisi pembiayaan kesehatan Nasional?

2. Apa sajakah macam sistem pembiayaan kesehatan Nasional?

3. Darimana sajakah sumber pembiayaan kesehatan Nasional?

4. Bagaimana syarat pokok pembiayaan kesehatan?

5. Bagaimana fungsi pembiayaan kesehatan?

6. Bagaimana masalah pokok pembiayaan Nasional?


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Pembiyaan Kesehatan

Biaya Kesehatan ialah besarnya dana yang harus di sediakan untuk menyelenggarakan
dan atau memanfaatkan berbagai upaya kesehatan yang diperlukan oleh perorangan,
keluarga, kelompok dan masyarakat. (Azrul Azwar : 1996)

Sistem pembiayaan kesehatan didefinisikan sebagai suatu sistem yang mengatur


tentang besarnya alokasi dana yang harus disediakan untuk menyelenggarakan dan
atau memanfaatkan berbagai upaya kesehatan yang diperlukan oleh perorangan,
keluarga, kelompok dan masyarakat. (Helda : 2011)

Sedangkan, Subsistem Pembiayaan Kesehatan adalah tatanan yang menghimpun


berbagai upaya penggalian, pengalokasian dan pembelanjaan sumber daya keuangan
secara terpadu dan saling mendukung untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan
pembangunan kesehatan guna meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya. (Ana Faiza : 2013)

Dari beberapa pendapat mengenai Pembiayaan Kesehatan diatas, terlihat bahwa biaya
kesehatan dapat ditinjau dari beberapa sudut, yaitu :

1. Penyedia Pelayanan Kesehatan

Yang dimakasud biaya kesehatan dari sudut penyedia pelayanan (Health Provider)
adalah besarnya dana yang harus disediakan untuk dapat menyelenggarakan upaya
kesehatan.Dengan pengertian yang seperti ini tampak bahwa kesehatan dari sudut
penyedia pelayanan adalah persoalan utama pemerintah dan atau pun pihak swasta,
yakni pihak-pihak yang akan menyelenggarakan upaya kesehatan.

2. Pemakai Jasa Pelayanan

Yang dimakasud biaya kesehatan dari sudut pemakai jalan pelayanan (Health
Consumer) adalah besarnya dana yang harus disediakan untuk dapat memanfaatkan
jasa pelayanan. Berbeda dengan pengertian pertama, maka biaya kesehatan di sini
menjadi persoalan utama para pemakai jasa pelayanan. Dalam batas-batas tertentu,
pemerintah juga turut mempersoalkannya, yakni dalam rangka terjaminnya
pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang membutuhkannya.

Dari batasan biaya kesehatan yang seperti ini segera dipahami bahwa pengertian biaya
kesehatan tidaklah sama antara penyedia pelayanan kesehatan (health provider)
dengan pemakai jasa pelayanan kesehatan (health consumer). Bagi penyedia
pelayanan kesehatan, pengertian biaya kesehatan lebih menunjuk pada dana yang
harus disediakan untuk dapat menyelenggarakan upaya kesehatan. Sedangkan bagi
pemakai jasa pelayanan kesehatan, pengertian biaya kesehatan lebih menunjuk pada
dana yang harus disediakan untuk dapat memanfaatkan upaya kesehatan. Sesuai
dengan terdapatnya perbedaan pengertian yang seperti ini, tentu mudah diperkirakan
bahwa besarnya dana yang dihitung sebagai biaya kesehatan tidaklah sama antara
pemakai jasa pelayanan dengan penyedia pelayanan kesehatan. Besarnya dana bagi
penyedia pelayanan lebih menunjuk pada seluruh biaya investasi (investment cost)
serta seluruh biaya operasional (operational cost) yang harus disediakan untuk
menyelenggarakan upaya kesehatan. Sedangkan besarnnya dana bagi pemakai jasa
pelayanan lebih menunjuk pada jumlah uang yang harus dikeluarkan (out of pocket)
untuk dapat memanfaatkan suatu upaya kesehatan.

Secara umum disebutkan apabila total dana yang dikeluarkan oleh seluruh pemakai
jasa pelayanan, dan arena itu merupakan pemasukan bagi penyedia pelayan kesehatan
(income) adalah lebih besar daripada yang dikeluarkan oleh penyedia pelayanan
kesehatan (expenses), maka berarti penyelenggaraan upaya kesehatan tersebut
mengalami keuntungan (profit). Tetapi apabila sebaliknya, maka berarti
penyelenggaraan upaya kesehatan tersebut mengalami kerugian (loss).

Perhitungan total biaya kesehatan satu negara sangat tergantung dari besarnya dana
yang dikeluarkan oleh kedua belah pihakk tersebut. Hanya saja, karena pada
umumnya pihak penyedia pelayanan kesehatan terutama yang diselenggrakan oleh
ihak swasta tidak ingin mengalami kerugian, dan karena itu setiap pengeluaran telah
diperhitungkan terhadap jasa pelayanan yang akan diselenggarakan, maka
perhitungan total biaya kesehatan akhirnya lebih banyak didasarkan pada jumlah dana
yang dikeluarkan oleh para pemakai jasa pelayanan kesehatan saja.
Di samping itu, karena di setiap negara selalu ditemukan peranan pemerintah, maka
dalam memperhitungkan jumlah dana yang beredar di sektor pemerintah. Tetapi
karena pada upaya kesehatan pemerintah selalu ditemukan adanya subsidi, maka cara
perhitungan yang dipergunakan tidaklah sama. Total biaya kesehatan dari sektor
pemerintah tidak dihitung dari besarnya dana yang dikeluarkan oleh para pemakai
jasa, dan karena itu merupakan pendapatan (income) pemerintah, melainkan dari
besarnya dana yang dikeluarkan oleh pemerintah (expenses) untuk menyelenggarakan
pelayanan kesehatan.

Dari uraian ini menjadi jelaslah untuk dapat menghitung besarnya total biaya
kesehatan yang berlaku di suatu negara, ada dua pedoman yang dipakai. Pertama,
besarnya dana yang dikeluarkan oleh para pemakai jasa pelayanan untuk sektor
swasta. Kedua, besarnya dana yang dikeluarkan oleh para pemakai jasa pelayanan
kesehatan untuk sektor pemerintah. Total biaya kesehatan adalah hasil dari
penjumlahan dari kedua pengeluaran tersebut.

2.2 Macam-macam Sistem Pembiayaan Kesehatan Nasional

Sistem pembiayaan kesehatan Indonesia secara umum terbagi dalam 2 sistem yaitu:

1. Fee for Service ( Out of Pocket )

Sistem ini secara singkat diartikan sebagai sistem pembayaran berdasarkan layanan,
dimana pencari layanan kesehatan berobat lalu

membayar kepada pemberi pelayanan kesehatan (PPK). PPK (dokter atau rumah sakit)
mendapatkan pendapatan berdasarkan atas pelayanan yang diberikan, semakin banyak
yang dilayani, semakin banyak pula pendapatan yang diterima.

Sebagian besar masyarakat Indonesia saat ini masih bergantung pada sistem
pembiayaan kesehatan secara Fee for Service ini. Dari laporan World Health
Organization di tahun 2006 sebagian besar (70%) masyarakat Indonesia masih
bergantung pada sistem Fee for Service dan hanya 8,4% yang dapat mengikuti sistem
Health Insurance (WHO, 2009). Kelemahan sistem Fee for Service adalah terbukanya
peluang bagi pihak pemberi pelayanan kesehatan (PPK) untuk memanfaatkan
hubungan Agency Relationship, dimana PPK mendapat imbalan berupa uang jasa
medik untuk pelayanan yang diberikannya kepada pasien yang besar-kecilnya
ditentukan dari negosiasi. Semakin banyak jumlah pasien yang ditangani, semakin
besar pula imbalan yang akan didapat dari jasa medik yang ditagihkan ke pasien.
Dengan demikian, secara tidak langsung PPK didorong untuk meningkatkan volume
pelayanannya pada pasien untuk mendapatkan imbalan jasa yang lebih banyak.

2. Health Insurance

Sistem ini diartikan sebagai sistem pembayaran yang dilakukan oleh pihak ketiga atau
pihak asuransi setelah pencari layanan kesehatan berobat. Sistem health insurance ini
dapat berupa system kapitasi dan system Diagnose Related Group (DRG system).

Sistem kapitasi merupakan metode pembayaran untuk jasa pelayanan kesehatan


dimana PPK menerima sejumlah tetap penghasilan per peserta untuk pelayanan yang
telah ditentukkan per periode waktu. Pembayaran bagi PPK dengan system kapitasi
adalah pembayaran yang dilakukan oleh suatu lembaga kepada PPK atas jasa
pelayanan kesehatan dengan pembayaran di muka sejumlah dana sebesar perkalian
anggota dengan satuan biaya (unit cost) tertentu. Salah satu lembaga di Indonesia
adalah Badan Penyelenggara

JPKM (Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat).

Sistem kedua yaitu DRG (Diagnose Related Group) tidak berbeda jauh dengan system
kapitasi di atas. Pada system ini, pembayaran dilakukan dengan melihat diagnosis
penyakit yang dialami pasien. PPK telah mendapat dana dalam penanganan pasien
dengan diagnosis tertentu dengan jumlah dana yang berbeda pula tiap diagnosis
penyakit. Jumlah dana yang diberikan ini, jika dapat dioptimalkan penggunaannya
demi kesehatan pasien, sisa dana akan menjadi pemasukan bagi PPK.

Kelemahan dari system Health Insurance adalah dapat terjadinya underutilization


dimana dapat terjadi penurunan kualitas dan fasilitas yang diberikan kepada pasien
untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Selain itu, jika peserta tidak banyak
bergabung dalam system ini, maka resiko kerugian tidak dapat terhindarkan. Namun
dibalik kelemahan, terdapat kelebihan system ini berupa PPK mendapat jaminan
adanya pasien (captive market), mendapat kepastian dana di tiap awal periode waktu
tertentu, PPK taat prosedur sehingga mengurangi terjadinya multidrug dan
multidiagnose. Dan system ini akan membuat PPK lebih kearah preventif dan
promotif kesehatan.

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menilai, pembiayaan kesehatan dengan sistem kapitasi
dinilai lebih efektif dan efisien menurunkan angka kesakitan dibandingkan sistem
pembayaran berdasarkan layanan (Fee for Service) yang selama ini berlaku. Hal ini
belum dapat dilakukan sepenuhnya oleh Indonesia. Tentu saja karena masih ada
hambatan dan tantangan, salah satunya adalah sistem kapitasi yang belum dapat
memberikan asuransi kesehatan bagi seluruh rakyat tanpa terkecuali seperti yang
disebutkan dalam UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
(SJSN). Sampai saat ini, perusahaan asuransi masih banyak memilah peserta asuransi
dimana peserta dengan resiko penyakit tinggi dan atau kemampuan bayar rendah
tidaklah menjadi target anggota asuransi. Untuk mencapai terjadinya pemerataan,
dapat dilakukan universal coverage yang bersifat wajib dimana penduduk yang
mempunyai resiko kesehatan rendah akan membantu mereka yang beresiko tinggi dan
penduduk yang mempunyai kemampuan membayar lebih akan membantu mereka
yang lemah dalam pembayaran. Hal inilah yang masih menjadi pekerjaan rumah bagi
sistem kesehatan Indonesia.

Memang harus kita akui, bahwa tidak ada sistem kesehatan terutama dalam
pembiayaan pelayanan kesehatan yang sempurna, setiap sistem yang ada pasti
memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Namun sistem pembayaran
pelayanan kesehatan ini harus bergerak dengan pengawasan dan aturan dalam suatu
sistem kesehatan yang komprehensif, yang dapat mengurangi dampak buruk bagi
pemberi dan pencari pelayanan kesehatan sehingga dapat terwujud sistem yang lebih
efektif dan efisien bagi pelayanan kesehatan di Indonesia.

Contoh health insurance yang di berada dibawah naungan Badan

Penyelenggara Jaminan Sosial diantaranya :

1. Askes

2. Jamkesmas

3. ASBRI
4. Taspen

5. Jamsostek

6. Dan lain sebagainya.

2.3 Sumber Pembiayaan Kesehatan Nasional

Telah kita ketahui bersama bahwa sumber pembiayaan untuk penyediaan


fasilitas-fasilitas kesehatan melibatkan dua pihak utama yaitu pemerintah (public) dan
swasta (private). Kini masih diperdebatkan apakah kesehatan itu sebenarnya barang
public atau private mengingat bahwa fasilitas- fasilitas kesehatan yang dipegang oleh
pihak swasta (private) cenderung bersifat komersil. Di sebagian besar wilayah
Indonesia, sektor swasta mendominasi penyediaan fasilitas kesehatan, lebih dari
setengah rumah sakit yang tersedia merupakan rumah sakit swasta, dan sekitar 30-50
persen segala bentuk pelayanan kesehatan diberikan oleh pihak swasta (satu dekade
yang lalu hanya sekitar 10 persen). Hal ini tentunya akan menjadi kendala terutama
bagi masyarakat golongan menengah ke bawah. Tingginya biaya kesehatan yang
harus dikeluarkan jika menggunakan fasilitas-fasilitas kesehatan swasta tidak
sebanding dengan kemampuan ekonomi sebagian besar masyarakat Indonesia yang
tergolong menengah ke bawah.

Sebelum desentralisasi alokasi anggaran kesehatan dilakukan oleh pemerintah pusat


dengan menggunakan model negosiasi ke provinsi-provinsi. Ketika sifat big-bang
kebijakan desentralisasi mengenai sektor kesehatan, tiba- tiba menjadi alokasi
anggaran pembangunan yang disebut dana alokasi umum (DAU). Dan yang
mengejutkan bahwa anggaran kesehatan eksplisit tidak dimasukan di dalam formula
DAU. Akibatnya, dinas kesehatan berjuang mendapatkan anggaran untuk sektor
kesehatan sendiri. Pemerintah di sektor kesehatan harus merencanakan dan
menganggarkan program kesehatan, dan bersaing untuk mendapatkan dana dengan
sektor lain.

Secara umum sumber biaya kesehatan dapat dibedakan sebagai berikut :

1. Bersumber dari anggaran pemerintah


Pada sistem ini, biaya dan penyelenggaraan pelayanan kesehatan sepenuhnya
ditanggung oleh pemerintah. Pelayanannya diberikan secara cuma-cuma oleh
pemerintah sehingga sangat jarang penyelenggaraan pelayanan kesehatan disediakan
oleh pihak swasta. Untuk negara yang kondisi keuangannya belum baik, sistem ini
sulit dilaksanakan karena memerlukan dana yang sangat besar.

Anggaran yang bersumber dari pemerintah ini dibagi juga menjadi :

- Pemerintahan pusat dan dana dekonsentrasi, dana program kompensasi BBM dan
ABT

- Pemerintah provinsi melalui skema dana provinsi (PAD ditambah dana


desentralisasi DAU provinsi dan DAK provinsi)

- Pemerintah kabupaten atau kota melalui skema dana kabupaten atau kota (PAD
ditambah dana desentralisasi DAU kabupaten atau kota dan DAK kabupaten atau
kota)

- Keuntungan badan usaha milik daerah

- Penjualan aset dan obligasi daerah

- Hutang pemerintah daerah

2. Bersumber dari anggaran masyarakat

Dapat berasal dari individual ataupun perusahaan. Sistem ini mengharapkan agar
masyarakat (swasta) berperan aktif secara mandiri dalam penyelenggaraan maupun
pemanfaatannya. Hal ini memberikan dampak adanya pelayanan-pelayanan kesehatan
yang dilakukan oleh pihak swasta, dengan fasilitas dan penggunaan alat-alat
berteknologi tinggi disertai peningkatan biaya pemanfaatan atau penggunaannya oleh
pihak pemakai jasa layanan kesehatan tersebut. Contohnya CSR atauCorporate Social
Reponsibility) dan pengeluaran rumah tangga baik yang dibayarkan tunai atau melalui
sistem asuransi.

Dana yang bersumber dari swasta anatara lain :

- Perusahaan swasta

- Lembaga swadaya masyarakat

- Dana kemanusiaan (charity)


3. Bantuan biaya dari dalam dan luar negeri

Sumber pembiayaan kesehatan, khususnya untuk penatalaksanaan penyakit-penyakit


tertentu cukup sering diperoleh dari bantuan biaya pihak lain, misalnya oleh
organisasi sosial ataupun pemerintah negara lain. Misalnya bantuan dana dari luar
negeri untuk penanganan HIV dan virus H5N1 yang diberikan oleh WHO kepada
negara-negara berkembang (termasuk Indonesia).

4. Gabungan anggaran pemerintah dan masyarakat

Sistem ini banyak diadopsi oleh negara-negara di dunia karena dapat mengakomodasi
kelemahan-kelemahan yang timbul pada sumber pembiayaan kesehatan sebelumnya.
Tingginya biaya kesehatan yang dibutuhkan ditanggung sebagian oleh pemerintah
dengan menyediakan layanan kesehatan bersubsidi. Sistem ini juga menuntut peran
serta masyarakat dalam memenuhi biaya kesehatan yang dibutuhkan dengan
mengeluarkan biaya tambahan.

Dengan ikut sertanya masyarakat menyelenggarakan pelayanan kesehatan, maka


ditemukan pelayanan kesehatan swasta. Selanjutnya dengan diikutsertakannya
masyarakat membiayai pemanfaatan pelayanan kesehatan, maka pelayanan kesehatan
tidaklah cuma-cuma. Masyarakat diharuskan membayar pelayanan kesehatan yang
dimanfaatkannya. Sekalipun pada saat ini makin banyak saja negara yang
mengikutsertakan masyarakat dalam pembiayaan kesehatan, namun tidak ditemukan
satu negara pun yang pemerintah sepenuhnya tidak ikut serta. Pada negara yang
peranan swastanya sangat dominan pun peranan pemerintah tetap ditemukan. Paling
tidak dalam membiayai upaya kesehatan masyarakat, dan ataupun membiayai
pelayanan kedokteran yang menyangkut kepentingan masyarakat yang kurang
mampu.

2.4 Syarat Pokok Pembiayaan Kesehatan

Suatu biaya kesehatan yang baik haruslah memenuhi beberapa syarat pokok yakni :

1. Jumlah
Syarat utama dari biaya kesehatan haruslah tersedia dalam jumlah yang cukup. Yang
dimaksud cukup adalah dapat membiayai penyelenggaraan semua upaya kesehatan
yang dibutuhkan serta tidak menyulitkan masyarakat yang ingin memanfaatkannya.

2. Penyebaran

Berupa penyebaran dana yang harus sesuai dengan kebutuhan. Jika dana yang tersedia
tidak dapat dialokasikan dengan baik, niscaya akan menyulitkan penyelenggaraan
setiap upaya kesehatan.

3. Pemanfaatan

Sekalipun jumlah dan penyebaran dana baik, tetapi jika pemanfaatannya tidak
mendapat pengaturan yang optimal, niscaya akan banyak menimbulkan masalah, yang
jika berkelanjutan akan menyulitkan masyarakat yang membutuhkan pelayanan
kesehatan.

Untuk dapat melaksanakan syarat-syarat pokok tersebut maka perlu dilakukan


beberapa hal, yakni :

1) Peningkatan Efektifitas

Peningkatan efektifitas dilakukan dengan mengubah penyebaran atau alokasi


penggunaan sumber dana. Berdasarkan pengalaman yang dimiliki, maka alokasi
tersebut lebih diutamakan pada upaya kesehatan yang menghasilkan dampak yang
lebih besar, misalnya mengutamakan upaya pencegahan, bukan pengobatan penyakit.

2) Peningkatan Efisiensi

Peningkatan efisiensi dilakukan dengan memperkenalkan berbagai mekanisme


pengawasan dan pengendalian. Mekanisme yang dimaksud untuk peningkatan
efisiensi antara lain:

a. Standar minimal pelayanan. Tujuannya adalah menghindari pemborosan. Pada


dasarnya ada dua macam standar minimal yang sering dipergunakan yakni:

- Standar minimal sarana, misalnya standar minimal rumah sakit dan standar minimal
laboratorium.

- Standar minimal tindakan, misalnya tata cara pengobatan dan perawatan penderita,
dan daftar obat-obat esensial.
Dengan adanya standard minimal pelayanan ini, bukan saja pemborosan dapat
dihindari dan dengan demikian akan ditingkatkan efisiensinya, tetapi juga sekaligus
dapat pula dipakai sebagai pedoman dalam menilai mutu pelayanan.

b. Kerjasama. Bentuk lain yang diperkenalkan untuk meningkatkan efisiensi ialah


memperkenalkan konsep kerjasama antar berbagai sarana pelayanan kesehatan.
Terdapat dua bentuk kerjasama yang dapat dilakukan yakni:

1) Kerjasama institusi, misalnya sepakat secara bersama-sama membeli peralatan


kedokteran yang mahal dan jarang dipergunakan. Dengan pembelian dan pemakaian
bersama ini dapat dihematkan dana yang tersedia serta dapat pula dihindari
penggunaan peralatan yang rendah. Dengan demikian efisiensi juga akan meningkat.

2) Kerjasama sistem, misalnya sistem rujukan, yakni adanya hubungan kerjasama


timbal balik antara satu sarana kesehatan dengan sarana kesehatan lainnya.

2.6 Masalah Pokok Pembiayaan Nasional

Jika diperhatikan syarat pokok pembiayaan kesehatan sebagaimana dikemukakan di


atas, segera terlihat bahwa untuk memenuhinya tidaklah semudah yang
diperkirakan.Sebagai akibat makin meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap
kesehatan dan juga karena telah dipergunakannya berbagai peralatan canggih,
menyebabkan pelayanan kesehatan makin bertambah komplek.

Kesemuanya ini disatu pihak memang mendatangkan banyak keuntungan yakni


makin meningkatnya derajat kesehatan masyarakat, namun dipihak lain ternyata juga
mendatangkan banyak masalah, adapun berbagai masalah tersebut jika ditinjau dari
sudut pembiayaan kesehatan secara sederhana dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Kurangnya dana yang tersedia

Dibanyak Negara, terutama di Negara yang sedang berkembang, dana yang


disediakan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan tidaklah memadai.
Rendahnya alokasi anggaran ini kait berkait dengan masih berkurangnya kesadaran
mengambil keputusan akan pentingnya arti kesehatan. Kebanyakan dari pengambilan
keputusan menganggap pelayanan kesehatan tidak bersifat produktif melainkan
bersifat konsumtif dank arena itu kurang diprioritaskan. Ambil contoh untuk
Indonesia misalnya, jumlah dana yang disediakan hanya berkisar antara 2-3% dari
total anggaran belanja Negara dalam setahun.

2. Penyebaran dana yang tidak sesuai

Masalah lain yang dihadapi ialah penyebaran dana tidak sesuai, karena kebanyakan
justru beredar di daerah perkotaan. Padahal jika ditinjau dari penyebaran penduduk,
terutama di Negara yang berkembang, kebanyakan tempat tinggal di daerah pedesaan.

3. Pemanfaatan dana yang tidak tepat

Pemanfaatan dana yang tidak tepat juga merupakan satu masalah yang dihadapi dalam
pembiayaan kesehatan ini. Adalah mengejutkan bahwa di banyak Negara ternyata
biaya pelayanan kedokteran jauh lebih tinggi daripada biaya pelayanan kesehatan
masyarakat.Padahal semua pihak telah mengetahui bahwa pelayanan kedokteran
dipandang kurang efektif daripada pelayanan kesehatan masyarakat.

4. Pengelolaan dana yang kurang sempurna

Seandainya dana yang tersedia amat terbatas, penyebaran dan pemanfaatannya belum
begitu sempurna, namun jika apa yang dimiliki tersebut dapat dikelola dengan baik
dalam batas-batas tertentu, tujuan dari pelayanan kesehatan masih dapat dicapai.
Sayangnya kehendak yang seperti ini sulit diwujudkan, penyebab utamanya ialah
karena pengelolaannya belum sempurna, yang kait berkait tidak hanya dengan
pengetahuan dan ketrampilan yang masih terbatas, tetapi juga ada kaitannya dengan
sikap mental para pengelola.

5. Biaya kesehatan yang makin meningkat

Masalah lain yang dihadapi oleh pembiayaan kesehatan ialah makin meningkatnya
biaya pelayanan kesehatan itu sendiri. Banyak penyebab yang berperan disini,
beberapa yang terpenting adalah (Cambridge Research Institute, 1976; Sorkin, 1975
dan Feldstein, 1988):

a. Tingkat Inflasi

Meningkatnya biaya kesehatan sangat dipengaruhi oleh tingkat inflasi yang terjadi di
masyarakat. Demikianlah apabila terjadi kenaikan harga di masyrakat, maka secara
otomatis biaya infestasi dan juga biaya operasional pelayanan kesahatan akan
meningkat pula.

Ambil contoh di Amerika Serikat misalnya, sebagai akibat inflasi yang terjadi
sepanjang periode januari 1973- juli 1974, maka setiap rumah sakit di Negara tersebut
harus mengeluarkan biaya tambahan sebesar

15% lebih tinggi untuk pembelian bahan makanan dan 17% lebih tinggi untuk
pembelian bahan bakar. Bertamabhnya pengeluaran yang seperti ini, tentu akan besar
pengaruhnya terhadap peningkatan biaya kesehatan secara keseluruhan.

b. Tingkat Permintaan

Meningkatnya biaya kesehatan sangat dipengaruhi oleh tingkat permintaan yang


ditemukan di masyarakat.Untuk bidang kesehatan peningkatan permintaan tersebut
dipengaruhi setidak-tidaknya oleh dua factor. Pertama, karena meningkatnya kuantitas
penduduk yang memerlukan pelayanan kesehatan, yang karena jumlah orangnya lebih
banyak menyababakan biaya yang harus disediakan dan untuk menyelenggarakan
pelayanan kesehatan akan lebih baik pula. Kedua, karena meningkatnya kualitas
penduduk, yang karena pendidikan dan penghasilannya lebih baik, membutuhkan
pelayanan kesehatan yang lebih baik pula. Kedua keadaan yang seperti ini, tentu akan
besar pengaruh pada peningkatan biaya kesehatan.

c. Kemajuan Ilmu dan Teknologi

Meningkatnya biaya kesehatan sangat dipengaruhi oleh pemanfaatan berbagai ilmu


dan teknologi, yang untuk pelayanan kesehatan yang ditandai dengan makin banyak
dipergunakan berbagai peralatan modern dan canggih.Kesemua kemajuan ini tentu
alkan berpengaruh terhadap pengeluaran yang dilakukan, baik terhadap biaya infestasi,
ataupu biaya operasional. Tidak mengherankan jika kemudian biaya kesehatan
meningkat dengan tajam oleh Waldman (1972) diperkirakan bahwa kontribusi
pemakaian berbagai peralatan canggih terhadap kenaikan biaya kesehatan tidak
kurang dari 31% dari total kenaikan harga. Suatau jumlah yang memang tidak kecil.

Lebih dari pada itu, dengan kemajuan ilmu dan teknologi ini juga berpengaruh
terhadap penyembuhan penyakit.Jika dahulu banyak dari penderita yang meninggal
dunia, tetapi denga telah dipergunakannnya berbagai peralatan canggih, penderita
dapat diselamatkan.Sayangnya penyelamat nyawa manusia tersebut sering diikuti
dengan keadaan cacat, yang untuk pemulihannya (rehabilitation) sering dibutuhkan
biaya yang tidak sedikit, yang kesemuanya juga mendorong makin meningkatnya
biaya kesehatan.

d. Perubahan Pola Penyakit

Meningkatnya biaya kesehatan sangat dipengaruhi oleh terjadinya pola penyakit


dimasyarakat.Jika dahulu banyak ditemukan berbagai penyakit yang bersifat akut,
maka pada saat ini telah banyak ditemukan berbagai penyakit yang bersifat
khonis.Dibandingkan dengan penyakit akut, perawatan berbagai penyakit khronis ini
ternyata lebih lama. Akibatnya biaya yang dikeluarkan untuk perawatan dan
penyembuhan penyakit akan lebih banyak pula. Apabila penyakit yang seperti ini
banyak ditemukan, tidak mengherankan jika kemudian biaya kesehatan akan
meningkat dengan pesat.

e. Perubahan Pola Pelayanan Kesehatan

Meningkatnya biaya kesehatan sangat dipengaruhi oleh perubahan pola pelayanan


kesehataan. Pada saat ini sebagai akibat dari perkembangan spesialisasi dan
subspesialisasi menyebabakan pelayanan kesehatan tekotak-kotak (fragmented health
services) dan satu sama lain tidak berhubungan. Akibatnya tidak mengherankan jika
kemudian sering dilakukan pemeriksaan yang sama secara berulang-ulang yang pada
akhirnya akan membebani pasien.

Lebih dari pada itu sebagai akibat banyak dipergunakan para spesialis dan
subspesialis menyebabakan hari perawatan juga akan meningkat. Penelitian yang
dilakukan Feldstein(1971) menyebutkan jika Rumah Sakit lebih banyak
mempergunakan dokter umum, maka Rumah Sakit tersebut akan berhasil menghemat
tidak kurang dari US$ 39.000 per tahun per dokter umum, dibandingkan jika Rumah
Sakit tersebut mempergunakan dokter spesialis atau subspesialis.

f. Perubahan Pola Hubungan Dokter-Pasien

Meningkatnya biaya kesehatan sangat dipengaruhi oleh pola hubungan antara


dokter-pasien (doctor-patient relationship).Pada saat ini sebagai akibat perkembangan
spesialisasi dan subspesialisasi serta penggunaan berbagai kemajuan ilmu dan
teknologi, menyebabakan hubungan dokter-pasien tidak begitu erat lagi.Tidak
mengherankan jika kebetulan sampai terjadi perselisihan paham, dapat mendorong
munculnya sengketa dan bahkan tuntutan hukumke pengadilan.Untuk menghindari
hal yang seperti ini, para dokter melakukan dua hal.

Pertama, mengasuransikan praktek kedokterannya, yang ternyata sebagai akibat


makin seringnya tuntutan hukum atas dokter menyebabakan premi yang harus dibayar
oleh dokter dari tahun ke tahun tampaknya semakin meningkat. Menurut penelitian
AMA Law Departemant(1958) jumlah uang yang beredar untuk asuransi profesi pada
tahun 1958 tidak kurang dari US$ 45 sampai US$ 50 juta setahun. Pada tahap-tahap
selanjutnya, sejalan dengan makin sering diajukannya tuntutan hukum atas dokter,
maka jumlah premi yang harus dibayar tampak makin meningkat.Altman (1975)
memperkirakan setiap Rumah Sakit di Amerika Serikat pada tahun 1975 harus
mengeluarkan biya asuransi tidak kurang dari US$ 850 per tahun per tempat tidur
yang dimilikinya.

Kedua, melakukan pemeriksaan yang berlebihan oleh Rubin ( 1973) dilaporkan


pemeriksaan yang berlebihan ini telah ditemukan di hampir semua aspek pelayanan
kedokteran. Penelitian yang dilakuakn menyimpulkan bahwa 95% dari rekam medis
yang diperiksa dari klinik- klinik yang tergabung dalam Kaiser permanente plan di
Northen California mencatat berbagai pemeriksaan kedokteran yang berlebihan
tersebut.

Adanya kedua keadaan yang seperti ini yakni asuransi profesi disatu pihak serta
pemeriksaan yang berlebihan dipihak lain, jelas akan berperan besar pada peningkatan
biaya kesehatan, yang akhirnya membebani masyarakat.

g. Lemahnya Mekanisme Pengendalian Biaya

Untuk mencegah peningkatan biaya kesehatan, sebenarnay telah tersedia barbagai


mekanisme pengendalian biaya (cost containment).Mekanisme pengendalian biaya
yang dimaksud banyak macamnya.Mulai dari certificate of need, feasibility study,
development plan, professional standard, medical audit, sampai dengan rate regulation
yang semunay dituangkan dalam peraturan perundang-undangan yang
jelas.Sayangnya dalam banyak hal, mekanisme pengendalian harga ini sering telambat
dikembangkan. Akibatnya, tidaklah mengherankan jika kemudian biya kesehatan
menjadi tidak terkendali, yang akhirnya akan memebebani masyarakat secara
keseluruhan.
h. Penyalahgunaan Asuransi Kesehatan

Asuransi kesehatan ( health insurance ) sebenarnya adalah salah satu mekanisme


pengendalian biaya kesehatan. Tetapi jika diterapkan secara tidak tepat sebagaimana
yang lazim ditemukan pada bentuk yang konvensional (third party system) dengan
system mengganti biaya (reimbursement) justru akan mendorong naiknya biaya
kesehatan.

2.7 Tarif Pelayanan Kesehatan

Batasan

Pengeritian tarif tidaklah sama dengan harga. Sekalipun keduanya merujuk pada
besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh konsumen, tetapi pengertian tarif ternyata
lebih terkait pada besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk memperoleh jasa
pelayanan, sedangkan pengertian harga lebih terkait pada besarnya biaya yang harus
dikeluarkan untuk memperoleh barang. Oleh masyarakat pemakai jasa pelayanan
kesehatan, tarif diartikan sama dengan seluruh biaya yang harus dikeluarkan untuk
memperoleh pelayanan kesehatan. Adanya pengertian yang seperti ini jelas tidak
sesuai. Karena dalam pengertian seluruh biaya tersebut, telah termasuk harga barang,
yang untuk

Indonesia misalnya obat-obatan, yang memeng penggolahannya sering dilakukan


terpisah dengan pengelolaan sarana pelayanan kesehatan.

Namun, terlepas dari adanya perbedaan pengertian tersebut, peranan tarif dalam
pelayanan kesehatan memang amat penting. Untuk dapat menjamin kesinambungan
pelayanan, setiap sarana kesehatan harus dapat menetapkan besarnya tarif yang dapat
menjamin total pendapatan yang lebih besar dari total pengeluaran.

Sesungguhnya pada saat ini sebagai akibat dari mulai berkurangnya pihak-pihak yang
mau menyumbang dana pada pelayanana kesehatan (misal Rumah Sakit), maka
sumber keuangan utama kebanyakan sarana kesehatan hanyalah dari pendapatan saja.
Untuk ini jelas bahwa kecermatan menentukan tarif memegang peran yang amat
penting. Apabila tarif tersebut terlalu rendah, dapat menyebabkan total pendapatan
(income) yang rendah pula, yang apabila ternyata juga lebih rendah dari total
pengeluaran (expenses), pasti akan menimbulkan kesulitan keuangan.

Faktor yang mempengaruhi

Untuk dapat menetapkan tarif pelayanan yang dapat menjamin total pendapatan yang
tidak lebih rendah dari total pengeluaran, banyak factor yang perlu diperhitungkan.
Faktor-faktor yang dimaksud untuk suatu sarana pelayanan, secara umum dapat
dibedakan atas empat macam:

1. Biaya investasi

Untuk suatu rumah sakit, biaya investasi (investment cost) yang terpenting adalah
biaya pembangunan gedung, pembelian berbagai peralatan medis, pembelian berbagai
peralatan non-medis serta biaya pendidikan dan pelatihan tenaga pelaksana.
Tergantung dari besarnya biaya investasi, rencana titik impas (break event point),
jangka waktu pengembalian modal (return of investment), serta perhitungan masa
kedaluwarsa (depreciation period) maka tariff pelayanan suatu sarana kesehatan dapat
berbeda dengan sara kesehatan lainnya. Secara umum disebutkan jika biaya investasi
tersebut adalah besar, rencana titik impas, jangka waktu pengembalian biaya investasi
serta perhitungan masa kedaluwarsa terlalu singkat, maka tariff pelayanan yang
diterapkan akan cenderung mahal.

2. Biaya kegiatan rutin

Untuk suatu sarana kesehatan, biaya kegiatan rutin (operational cost) yang
dimaksudkan di sini mencakup semua biaya yang dibutuhkan untuk
menyelenggarakan berbagai kegiatan. Jika ditinjau dari kepentingan pemakai jasa
pelayanan, maka biaya kegiatan rutin ini dapat dibedakan atas dua macam:

a. Biaya untuk kegiatan yang berhubungan langsung dengan kebutuhan pelayanan


kesehatan (direct cost)

Pelayanan kesehatan yang dapat dimanfaatkan sangat bervariasi sekali.Tidak hanya


pada tindakan yang dilakukan, tetapi juga pada peralatan yang
dipergunakan.Demikianlah jika pelayanan kesehatan tersebut memerlukan tindakan
yang lebih sulit serta peralatan yang lebih canggih, maka tariff yang ditetapkan untuk
jenis pelayanan kesehatan tersebut umumnya lebih tinggi.

Dalam membicarakan biaya pelayanan kesehatan ini, perlulah diperhatikan adanya


peranan pengetahuan, sikap dan perilaku penyelenggara dan pemakai jasa pelayanan
kesehatan. Jika pengetahuan, sikap dan perilaku tersebut tidak sesuai dengan standar
yang telah ditetapkan dan atau „berlebihan‟ pasti akan mendorong pemakaian
pelayanan yang berlebihan pula, yang dampak akhirnya akan meningkatkan total
tariff yang dibayarkan ke Rumah Sakit.

b. Biaya untuk kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan kebutuhan


pelayanan kesehatan (indirect cost).

Ke dalam biaya ini termasuk gaji karyawan, pemeliharaan bangunan dan peralatan,
pemasangan rekening listrik dan air dan lain sebagainya yang seperti ini. Secara
umum disebutkan jika biaya kegiatan tidak langsung ini tinggi, misalnya karena
pengelolaan yang tidak efisien, pasti akan berpengaruh terhadap tingginya tariff
pelayanan.

3. Biaya rencana pengembangan

Untuk suatu sarana kesehatan, biaya rencana pengembangan yang dimaksudkan disini
mencakup hal yang amat luas sekali.Mulai dari rencana perluasan bangunan,
penambahan peralatan, penambahan jumlah dan peningkatan pengetahuan serta
ketrampilan karyawan dan ataupun penambahan jenis pelayanan. Untuk sarana
kesehatan yang tidak mencari keuntungan, besarnya biaya pengembangan ini
lazimnya sama dengan semua kelebihan hasil usaha.

4. Besarnya target keuntungan

Tergantung dari filosofi yang dianut oleh pemilik sarana kesehatan besarnya target
keuntungan yang diharapkan tersebut amat bervariasi sekali. Tetapi betapapun
bervariasinya presentase keuntungan tersebut, seyogyanya keuntungan suatu sarana
kesehatan tidak boleh sama dengan keuntungan berbagai kegiatan usaha lainnya.

Upaya Pengendalian

Dari uraian tentang kee mpat factor yang harus diperhitungkan dalam menetapkan
tarif pelayanan yang seperti ini, segeralah mudah dipahami bahwa esarnya tarif
pelayanan tersebut sangat dipengaruhi serta bersifat sensitive terhadap besarnya biaya
infestasi, biaya rutin, biaya rencana pembangunan serta target perolehan keuntungan.
Jika biaya untuk keempat factor ini tinggi maka tarif pelayanan pasti akan tinggi pula.

Untuk mencegah tingginya tarif pelayanan kesehatan tersebut, maka biaya untuk
keempat factor ini haruslah dapat dikendalikan.Bertitik tolak dari berbagai kegiatan
yang dapat diakuakan pada program pengendalian biaya

24

kesehatan, maka hal yang dapat dilakukan pada program pengendalian tarif pelayanan.
Secara sederhana dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Biaya Investasi

Untuk mencegah biaya investasi yang terlalau besar dan jangka waktu pengembalian
yang terlalu singkat, mekanisme pengendalian yang lazim diperlakukan adalah
menerapkan ketentuan yang dikenal sebagai certificate of need, serta kewajiban
melakukan feasibility studyyang bersifat social.

2. Biaya Kegiatan Rutin

Untuk mencegah biaya kegiatan rutin yang terlautinggi, terutama yang berhubungan
langsung dengan kebutuhan pemakai jasa pelayanan kesehatan, mekanisme
pengendalian yang lazim diperlakuakn adalah menerapkan ketentuan pelayanan
kesehatan yang etis dan sesuai standart, yang imbal jasa doctor (doctor fee) sering
termasuk didalamnya.Untuk menjamin efektifitas pelaksanaannya, penerapan etis dan
standar ini harus diikuti oleh medical audit secara berkala oleh suatu badan yang
bersifat netral yang di Amerika Serikat disebut sebagai professional standard review
organization.

3. Biaya rencana pengembangan

Untuk mencegah biaya rencana pengembangan yang berlebihan, mekanisme


pengendalian yang lazim diperlakukan ialah menerapkan ketentuan development plan
yang pada dasarnya hanya membenarkan program pengembangan apabila telah
direncanakan dan disetujui sebelumnya.

4. Keuntungan

Untuk mencegah tingginya perhitungan target keuntungan, yang terutama ditemukan


pada sarana kesehatan swasta, tidak ditemukan mekanisme pengendalian khusus,
kecuali menerapkan berbagai ketentuan sebagaimana dikemukakan di atas. Dengan
perkataan lain apabila semua ketentuan biaya (cost containtment) yang telah
disebutkan

25

dapat terlaksana, maka secara otomatis perhitungan target keuntungan yang terlalu
tinggi akan dapat dicegah.

Tarif pelayanan di Indonesia

Sayangnya, berbagai mekanisme pengendalian biaya yang seperti ini belumlah secara
tuntas ditetapkan di Indonesia. Yang baru ditetapkan hanyalah tentang ketentuan tariff
tertinggi saja. Akibatnya, tentu mudah dipahami, karena yang diatur hanyalah resultan
akhir dari interaksi berbagai factor (tariff), bukan masing-masing factor yang
mempengaruhi tariff, menyebabkan apabila suatu sarana kesehatan kebetulan telah
terlanjur menanamkan investasi yang besar, maka untuk mengejar target pemasukan,
sering dilakukan berbagai penyimpangan. Tentu tidak sulit dipahami bahwa
penyimpangan yang dimaksudkan disini tidak terhadap pagu tariff yang tujuannya
adalah untuk memperbesar pemasukan.

Demikianlah karena tariff tertinggi telah ditetapkan, maka untuk rumah sakit swasta,
apalagi yang baru berdiri, untuk mengejar target pemasukan, dilakukanlah berbagai
pelayanan kesehatan yang sebenarnya tidak diperlakukan. Satuan tariff yang
dipergunakan memang tidak berubah, tetapi pemakaiannya yang ditingkatkan (over
utilization). Dampak akhirnya tidak sulit dipahami akan menyebabkan total tariff
yang dibayarkan akan menjadi tinggi. Masalah tariff pelayanan makin berdampak
kompleks jika diketahui besarnya imbal jasa dokter belumlah diatur secara
tuntas.Kelaziman yang berlaku di Indonesia yang menyerahkan sepenuhnya kepada
kebijakan dokter ternyata sering disalah artikan.Ada anggapan bahwa orang yang
membutuhkan pelayanan rawat inap memiliki kemampuan keuangan yang lebih tinggi
daripada pelayanan rawat jalan.

Sesungguhnya pelayanan kesehatan tersebut memang spesifik.Sekalipun telah


diperlakukan sebagai suatu kegiatan usaha, namun dunia usaha tidak sepenuhnya
dapat berlaku. Benar bahwa hukum permintaan (demand)

26

berpengaruh terhadap kenaikan tariff, karena apabila permintaan terhadap pelayanan


kesehatan meningkat, akan meningkatkan tariff pelayanan pula.
Tetapi untuk hukum penawaran (supply) tidaklah demikian. Sekalipun penawaran
berlebihan, tariff pelayanan tidak otomatis akan turun. Penyebabnya adalah karena
pada pelayanan kesehatan, apalagi yang agak mengabaikan standard dan etika profesi,
berlakunya hukum supplyinduces demand. Akibatnya, sekalipun berbagai pelayanan
tersedia secara berlebihan serta sebenarnya kurang dibutuhkan oleh pasien,
pemanfaatan pelayanan kesehatan tersebut tetap saja dapat tinggi dan bahkan karena
ada unsur ketidaktahuan pasien (consumer ignorance), sering secara berlebihan
(Sorkin, 1975). Akibatnya tentu mudah dipahami, akan berdampak negative terhadap
tingginya tariff pelayanan.

2.8 Biaya Pelayanan Kedokteran

Batasan

Yang dimaksud dengan biaya pelayanan kedokteran ialah bagian dari biaya kesehatan
yang menunjuk pada besarnya dana yang harus disediakan untuk menyelenggarakan
dan atau memanfaatkan pelayanan kedokteran yang dibutuhkan oleh perorangan,
keluarga, kelompok atau masyarakat. Sekalipun dalam batasan terkandung pengertian
dana yang harus disediakan untyk menyelenggarakan pelayanan kedokteran, namun
dalam praktek sehari-hari yang sering dibicarakan adalah besarnya dana yang harus
disediakan untuk dapat memanfaatkan pelayanan kedokteran. Dengan demikian jika
membicarakan biaya pelayanan kedokteran perhatian utama tidaklah dari sudut
penyedia pelayanan kedokteran melainkan dari sudut pemakaia jasa pelayanan.

Mekanisme Pembiayaan

Telah disebutkan bahwa pada Negara-negara yang mengikut sertakan masyarakat


dalam pembiayaan pelayaan kedokteran, maka masyarakat diharuskan membayar
pelayanan kedokteran yang dimanfaatkannya.Mekanisme pembiayaan yang berlaku
banyak macamnya. Secara sederhana mekanisme pembiayaan tersebut dapat
dibedakan atas dua macam yakni:

1. Pembayaran Tunai
Mekanisme pembiayaan yang diterapkan mengikuti mekanisme pasar. Setiap
penderita yang membutuhkan pelayanan kedokteran diharuskan membayar tunai
pelayanan yang diperolehnya. Mekanisme pembiayaan yang seperti ini dikenal
dengan nama fee for service.

2. Pembayaran di muka

Bentuk lain yang banyak dipergunakan ialah melalui system pembayaran di muka
(prepayment) yang lazimnya dilakukan melalui program asuransi kesehatan (health
insurance).

Biaya pelayanan kedokteran di Indonesia

Untuk Indonesia mekanisme pembiayaan yang berlaku umum ialah melalui system
pembiayaan tunai (out of pocket).Setiap anggota masyarakat yang membutuhkan
pelayanan kedokteran diharuskan memiliki sejumlah uang tertentu.Mudah dipahami,
system ini dapat memberatkan masyarakat, terutama bagi mereka yang tergolong
kurang mampu.Diperkirakan dari sekitar Rp.

28.000 biaya pelayanan kedokteran perorang/pertahun.Rp. 19.000 diantaranya

(70%) berasal dari anggota masyarakat.Dan dari jumlah Rp.19.000 ini, sekitar

75% di antaranya melalui system pembayaran tunai.

Jika diperhatikan penggunaan dana yang berasal dari masyaakat ini, terutama yang
dibayarkan melalui system pembayaran tunai (out of pocket), 43% (Rp.9.000
perorang/pertahun) dipergunakan untuk membayar biaya obat, 37% (Rp.8.000
perorang/pertahun) untuk biaya pelayanan Rumah Sakit. Sisanya,

13% untuk praktek swasta serta 3% untuk pelayanan biaya pelayanan

Puskesmas.

Sekalipun mekanisme pembiayaan tersebut mengikuti system pembayaran tunai,


namun untuk pelayanan kedokteran yang dikelola oleh pemerintah, tarif yang
dikenakan tidaklah mencerminkan biaya kesehatan yang sebenarnya.Pelayanan
kedokteran di PUSKESMAS dan di Rumah Sakit Pemerintah mendapat subsidi.
Diperkirakan dana yang berasal dari dari pemerintah adalah sekitar Rp. 9.000
perorang/pertahun. Jumlah ini secara keseluruhan adalah sekitar 2,3- 2,5% dari
anggaran belanja pemerintah atau hanya 0.7-0,9% dari product domestic bruto (PDB).
Jika dibandingkan dengan Negara lain, jumlah dana yang berasal dari pemerintah ini
tergolong kecil. Misalnya untuk malaisya sebesar 1,3%, untuk Filipina sebesar 1,0%,
untuk Thailand sebeasar 1,1%, serta untuk india sebesar 1,3 persen adri PDB.

Mekanisme pembiayaan dengan system asuransi masih dalam tahap


perkembangan.Pada saat ini sostem asuransi kesehatan tersebut baru ditemuka pada
pagawai negeri sipil, kalangan militer beserta keluarga dan pensiunannya, serta pada
beberapa karyawan swasta saja. Diperkirakan jumlah dana yang beredar baru sekitar 6%
dari seluruh biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat.

2.9 Biaya Pelayanan Kesehatan Masyarakat

Yang dimaksud dengan biaya pelayanan kesehatan masyarakat ialah bagian dari biaya
kesehatana yang menunjuk pada besarnya dana ynag harus disediakan untuk
menyelenggarakan dan atau memanfaatnkan pelayanan kesehatan masyarakat yang
dibutuhkan oleh perorangan, keluarga, kelompok dan ataupun masyarakat. Berbeda
hanya dengan biaya kedokteran yang lebih mementingkan kalangan pemakai jasa
pelayanan dan karena itu pembahasan lebih diarahkan agar pelayanan kedokteran
tersebut dapat dimanfaatkan, maka pada biaya kesehatan masyarakat yang
dipentingkan adalah dari sudut penyedia pelayanan kesehatan. Dengan demikian jiak
membicarakan biaya kesehatan masyarakat yang terpenting adalah bagaimana agar
pelayanan kesehatan masyarakat tersebut dapat diselenggarakan.

Mekanisme Pembiayaan

Sekalipun keikut sertaan masyarakat pada pembiayaan kesehatan masyarakat adalah


penting, namun jika ditinjau dari kompleksitas masalah kesehatan masyarakat, tampak
sumber biaya yang terpenting adalah Pemerintah.
Sejalan dengan besarnya peranan pemerintah dalam pembiayaan kesehatan
masyarakat, maka mekanisme pembiayaan yang diterapkan, umumnya mengikuti
system dan atau mekanisme pemerintahan.Untuk ini, tergantung dari system
pemerintah yang dianut, mekanisme pembiayaan yang berlaku dapat beraneka macam.
Jika disederhanakan, secara umum dapat dibedakan atas dua macam yakni:

1. Mekanisme Pembiayaan Sentralisasi

Pada Negara yang menganut asas sentralisai, semua biaya pelayanan kesehatan
ditanggung oleh pemerintah pusat. Dana tersebut sesuai dengan hirarki pemerintahan
yang berlaku, disalurkan secara berjenjang ke institusi yang diserahkan tanggung
jawab menyelengarakan pelayanan kesehatan masyarakat.

2. Mekanisme pembiayaan desentralisasi

Pada Negara yang menganut asas desentralisasi, semua biaya pelayanan kesehatan
masyarakat ditanggung oleh pemerintah daerah. Tergantung pula dari system
pemerintah yang dianut, maka peranan pemerintah daerah ini dapat dibedakan pula
atas dua macam yakni:

a. Otonom

Disini tanggung jawab pemerintah daerah adalah sepenuhnya termasuk dalam hal
melakukan hal kebijakan.

b. Semi Otonom

Disini tanggung jawab pemerintah daerah besifat terbatas karena lazimnya sepanajng
yang bersifat kebijakan masih mendapat pengaturan adri pemerintah pusat.

Biaya Pelayanan Kesehatan Masyarakat di Indonesia

Untuk Indonesia sesuai denagn undang-undang No.5 tahun 1974 tentang


Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, tanggung jawab, penyelenggaraan pelayanan
kesehatan masyarakat, dank arena itu juga pembiayaannya, berada ditangan
pemerintah daerah. Hanya saja karena banyak hal, kemampuan yang dimiliki oleh
pemerintah daerah masih terbatas, menyebabakan uluran tangan pemerintah pusat
masih banyak ditemukan. Sesuai dengan keadaan yang seperti ini, maka mekanisme
pembiayaan pelayanan kesehatan masyarakat di Indonesia secara umum dapat
dibedakan atas tiga macam yakni:

1. Mengikuti Asas Desentralisasi

Disini, sesuai dengan UU No.5 tahun 1974 , biaya pelayanan kesehatan masyarakat
sepenuhnya menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah.

2. Mengikuti Asas Dekonsentrasi

Karena kemampuan pemerintah daerah masih terbatas, maka beberapa program


tertentu masih menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat. Mekanisme pembiayaan
yang seperti ini dikenal dengan asas dekonsentralisasi.

3. Mengikuti Asas Perbantuan

Sama halnya dengan asas dekonsentrasi, sebagai akiabt ketidak-mampuan,


menyebabkan Pemerintah Daerah belum dapat melaksanakan beberapa program
tertentu. Upaya penyelesainnya bukan menarik tanggung jawab tersebut ke
Pemerintah Pusat melainkan Pemerintah Pusat memberikan bantuan kepada
Pemerintah Daerah. Mekanisne pembiayaan yang seperti ini dikenal dengan nama
asas perbantuan ( medebewind )

Secara sederhana, ketiga mekanisme pembiayaan tersebut dapat digambarkan dalam


bagan :

2.10 Definisi Anggaran Program Kesehatan

Definisi Anggaran Kesehatan UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan di awali


dengan Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat- Bappenas yang mengadakan
Pertemuan Pembahasan Definisi Anggaran Kesehatan Sesuai UU No. 36 Tahun 2009
Tentang Kesehatan pada (04/06) di Bappenas. Deputi Bidang SDM dan Kebudayaan,
Bappenas dan Biro Perencanaan dan Anggaran, Staf Ahli Menteri Kesehatan Bidang
Pembiayaan dan Pemberdayaan Masyarakat, Pusat Pembiayaan dan Jaminan
Kesehatan (Kementerian Kesehatan), Direktur Perimbangan Keuangan, Direktur
Anggaran I (Kementerian Keuangan), Biro Perencanaan dan Keuangan (Badan POM),
Dit. Pengembangan Wilayah, Dit. Otonomi Daerah, Dit. Alokasi Pendanaan
Pembangunan (Bappenas).

Pertemuan tersebut diadakan dengan tujuan untuk Menyamakan persepsi terhadap


definisi alokasi anggaran kesehatan yang tercantum dalam UU No. 36

Tahun 2009 tentang Kesehatan; Mendapatkan masukan terkait ruang lingkup dan
komponen anggaran kesehatan (Pusat dan Daerah); dan Mengidentifikasi langkah
tindak lanjut implementasi UU No. 36 Tahun 2009. Poin penting dalam pertemuan
tersebut antara lain:

1) Perlu penjelasan lebih jauh tentang pasal 171 ayat (1) dan (2) UU No. 36 Tahun
2009;

2) Struktur anggaran saat ini (UU APBN) adalah 26% untuk daerah, 26% untuk
subsidi, 20% untuk pendidikan, apabila untuk kesehatan dialokasikan 5% maka untuk
sektor lainnya (infrastruktur, pertanian, hankam,dll) menjadi 23%. Hal ini perlu
mendapat perhatian khusus karena dalam konstitusi (UUD) tidak menyebut nominal
persentase untuk anggaran kesehatan, sehingga jika masuk dalam pembahasan MK,
posisi UU Kesehatan menjadi sulit karena sejajar dengan UU APBN.Dengan
demikian, proses untuk memenuhi amanat UU No. 36 Tahun 2009 ini, perlu dibahas
di tingkat Eselon I (DJA, Kepala BKF, Ditjen Perimbangan Keuangan) untuk
selanjutnya dibahas di Sidang Kabinet;

3) Anggaran kesehatan 5% dihitung berdasarkan anggaran langsung terkait program


kesehatan karena apabila anggaran di sektor lain juga dihitung, kemungkinan alokasi
anggaran kesehatan akan melebihi 5%;

4) Perhitungan pemanfaatan anggaran kesehatan sebesar 2/3 untuk pelayanan publik


dapat mengacu pada pelaksanaan SPM kesehatan. Namun saat ini, SPM kesehatan
masih berada pada tataran kabupaten, harus dipikirkan untuk diturunkan sampai
dengan tingkat pelayanan, yaitu puskesmas dan RS;

5) Tata cara alokasi anggaran kesehatan perlu diatur dengan PP tentang pembiayaan
kesehatan. Dengan ditetapkannya PP, maka upaya pemenuhan alokasi anggaran
Pemerintah sebesar 5% dapat segera dilakukan. Penyusunan PP sedapat mungkin
melibatkan seluruh stakeholder terkait dalam Tim Sinkronisasi/Harmonisasi lintas
sektor.
Sebagai tindak lanjutnya yaitu dibentuk Tim Kecil yang terdiri dari Dir. KGM
Bappenas, Dir. Otda Bappenas, Dir. Pengembangan Wilayah Bappenas, Dir. Alokasi
Pendanaan Pembangunan Bappenas, Dir. Penyusunan APBN Kemenkeu, Kepala
Pusat Kebijakan Belanja Negara Kemenkeu, Dir. Anggaran I Kemenkeu, Dir. Dana
Perimbangan Kemenkeu, Kepala Biro Perencanaan & Anggaran Kemenkes, Kepala
Biro Keuangan Kemenkes, Kepala Biro Hukum dan Organisasi Kemenkes, Kepala
Pusat Pembiayaan Kesehatan Kemenkes, Staf Ahli Menkes Bidang Pembiayaan dan
Pemberdayaan Masyarakat. Dengan tugas Tim Kecil antara lain untuk Mendefinisikan
alokasi anggaran kesehatan Pemerintah dan memberikan masukan utama dalam
penyusunan PP Pembiayaan Kesehatan.

Anggaran kesehatan nasional menggunakan dana Alokasi Khusus, selanjutnya disebut


DAK, adalah dana perimbangan dan bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai
kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional

1. Anggaran tersebut digunakan rata-rata digunakan untuk pengadaan infrastruktur


kesehatan, dan obat dan perbekalan kesehatan dalam rangka memenuhi kebutuhan
obat dan perbekalan kesehatan pada pelayanan kesehatan primer. Pengadaan
infrastruktur kesehatan, meliputi:

a. Pembangunan Puskesmas;

b. Pembangunan Puskesmas Perawatan;

c. Pembangunan Pos Kesehatan Desa;

d. Pengadaan Puskesmas Keliling Perairan;

e. Pengadaan Kendaraan roda dua untuk Bidan Desa.

2. Peningkatan pelayanan kesehatan rujukan, dapat dimanfaatkan untuk peningkatan


fasilitas rumah sakit provinsi, kabupaten/kota, antara lain:

a) Peningkatan fasilitas tempat tidur kelas III RS;

b) Pemenuhan peralatan unit transfusi darah RS dan bank darah RS;

c) Peningkatan fasilitas instalasi gawat darurat RS;


d) Peningkatan sarana prasarana dan pengadaan peralatan kesehatan untuk program
pelayanan obstetric neonatal emergency komprehensif (PONEK) di RS; dan

e) Pengadaan peralatan pemerksaan kultur M.tuberculosis di BLK provinsi.

3. Untuk kabupaten/kota, alokasi DAK 2010 ditujukan 2 (dua) kegiatan, yaitu:


pemenuhan pelayanan dasar dan pelayanan rujukan. Pelayanan dasar berupa
pemenuhan kesehatan dasar dan pengadaan obat dan perbekalan kesehatan. Untuk
pemenuhan kesehatan dasar, DAK diberikan kepada 405 kabupaten/kota dengan total
anggaran sebesar Rp1,22 triliun, sementara untuk obat dan perbekalan kesehatan
diberikan kepada 378 kabupaten/kota dengan total anggaran sebesar Rp 1 triliun.

Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang ditransfer oleh pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN). Transfer DAK merupakan konsekuensi lahirnya Ketetapan MPR No.
XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah ; Pengaturan, Pembagian
dan Pemanfaatan Sumberdaya Nasional yang Berkeadilan serta Perimbangan
Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kemudian dilanjutkan dengan lahirnya UU No.22/1999 tentang Pemerintah Daerah
dan UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah. Yang kemudian disempurnakan melalui penerbitan UU No.32 Tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah sebagai pengganti dari UU No.22 Tahun 1999 dan UU
No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Keuangan Negara dan
Keuangan Daerah sebagai pengganti UU No.25 Tahun 1999.

Pengertian DAK diatur dalam Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 33 Tahun


2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Keuangan Pusat dan Keuangan Daerah,
yang menyebutkan bahwa: “Dana Alokasi Khusus, selanjutnya disebut DAK adalah
dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah
tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan
urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.” Pasal 162 UU No.32/2004
menyebutkan bahwa DAK dialokasikan dalam APBN untuk daerah tertentu dalam
rangka pendanaan desentralisasi untuk (1) membiayai kegiatan khusus yang
ditentukan Pemerintah Pusat atas dasar prioritas nasional dan (2) membiayai kegiatan
khusus yang diusulkan daerah tertentu
Dalam menjalankan Kebijakan DAK, langkah kebijakan yang dijalankan oleh
pemerintah dibagi menjadi 4 kelompok besar yaitu (i) penetapan program dan
kegiatan, (ii) penghitungan alokasi DAK, (iii) arah kegiatan dan penggunaan DAK,
dan (iv) administrasi pengelolaan DAK. Pada tulisan ini, penulis hanya akan mencoba
membahas proses penetapan program dan kegiatan serta perhitungan alokasi DAK.

2.11 Tahapan Penyusunan anggaran Program Kesehatan

2.11.1 Penyusunan Anggaran Kesehatan adalah sebagai berikut:

a. Teknik Perencanaan dan Penggunaan Anggaran

Sumber Pembiayaan Teknik Perencanaan Penggunanan Anggaran Pendapatan asli


daerah Kondisi kapasitas fiskal daerah dan pemasukan retribusi Program dan kegiatan
oprasional Dana alokasi umum Formulasi DAU Program dan administrasi kesehatan

Dana alokasi khusus bidang kesehatan Tergantung dari pusat (sisa dana reboisasi)
dibagi berdasarkan kapasitas fiskal daerah

Infrastruktur (fisik) kesehatan

Dana bagi hasil Tergantung dari kesediaan SDA

Program dan kegiatan (operasional dan

administrasi)

Dana dekonsentrasi dan dana pembantuan


Anggaran biaya tambahan

Tergantung dari pusat (berbasis anggaran taun sebelumnya)

Lobby, advokasi dan negosiasi

Kebutuhan fisik dan infrastruktur

Kebutuhan mendesak darurat dan kejadian luar

biasa

Program kompensasi pengurangan subsidi BBM

Biaya lain (sisa dana anggaran taun lalu, hutang, penjualan obligasi)

Dana perusahaan swasta

Jumlah penduduk miskin

Tergantung dari kondisi kapasitas aset dan financial daerah

Tergantung proposal (memberikan keuntungan normsl

ekonomi)

Untuk jaminan dan untuk kesehatan

Kebutuhan mendesak darurat dan kejadian luar biasa


Untuk pelayanan langsung/tidak langsung

Dana LSM Tergantung proposal (memberikan keuntungan sosial)

Dana kemanusiaan Tergantung sosio

kemasyarakatan

Untuk pelayanan langsung/tidak langsung

Untuk pelayanan

langsung

b. Penetapan Program dan Kegiatan

Dalam proses penetapan program dan kegiatan DAK, penetapannya diatur dalam
Pasal 52 PP No. 55 Tahun 2005 berbunyi:

Program yang menjadi prioritas nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50


ayat (2) dan Pasal 51 ayat (1) dimuat dalam Rencana Kerja Pemerintah tahun
anggaran bersangkutan.

Menteri teknis mengusulkan kegiatan khusus yang akan


didanai dari DAK dan ditetapkan setelah berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri,
Menteri Keuangan, dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional, sesuai

38

dengan Rencana Kerja Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Menteri teknis menyampaikan ketetapan tentang kegiatan

khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Menteri

Keuangan.

Pasal 52 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun

2005 jelas dikatakan bahwa program dan kegiatan yang akan didanai dari Dana
Alokasi Khusus merupakan program yang menjadi prioritas nasional yang dimuat
dalam Rencana Kerja Pemerintah. Kegiatan dan program yang akan didanai tersebut
merupakan program yang diusulkan oleh kementerian teknis yang melalui proses
koordinasi dengan Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, dan Menteri Negara
Perencanaan Pembangunan Nasional, sebelum ditetapkan dan sesuai dengan RKP.
Tahapan berikutnya adalah ketetapan program tersebut disampaikan kepada Menteri
Keuangan untuk dilakukan penghitungan alokasi DAK.

c. Penghitungan Alokasi DAK


Pasal 54 PP Nomor 55 Tahun 2005 mengatur bahwa perhitungan alokasi DAK
dilakukan melalui 2 tahap, yaitu:

 penentuan daerah tertentu yang menerima DAK; dan

 penentuan besaran alokasi DAK masing-masing daerah.

Penentuan daerah tertentu menurut pasal 54 Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2005
tersebut harus memenuhi kriteria umum, kriteria khusu dan kriteria teknis
sebagaimana sudah diatur didalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Keuangan Pusat dan Keuangan Daerah.

2.11.2 Kriteria yang harus dipenuhi dalam penyusunan

a. Kriteria Umum

Menurut Pasal 33 PP No. 55 Tahun 2005, Kriteria umum dirumuskan berdasarkan


kemampuan keuangan daerah yang tercermin dari penerimaan umum APBD setelah
dikurangi belanja Pegawai Negeri Sipil. Dalam bentuk formula, kriteria
umumtersebut dapat ditunjukkan pada beberapa persamaan di bawah ini:

Dimana :

Penerimaan Umum = PAD + DAU + (DBH – DBHDR) Belanja Pegawai Daerah =


Belanja PNSD

PAD = Pendapatan Asli Daerah

APBD = Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

DAU = Dana Alokasi Umum

DBH = Dana Bagi Hasil

DBHDR = Dana Bagi Hasil Dana Reboisasi

PNSD = Pegawai Negeri Sipil Daerah

Kemampuan keuangan daerah dihitung melalui indeks fiskal neto (IFN) tertentu yang
ditetapkan setiap tahun.Dalam tahun 2011, arah kebijakan umum DAK adalah untuk
membantu daerah-daerah yang kemampuan keuangan daerahnya relatif rendah.Hal ini
diterjemahkan bahwa DAK dialokasikan untuk daerah-daerah yang kemampuan
keuangan daerahnya berada di bawah rata-rata nasional atau IFN-nya kurang dari 1
(satu).Dalam hal ini, rata-rata kemampuan keuangan daerah secara nasional dihitung
dengan menggunakan rumus di bawah ini.

Selanjutnya, perhitungan IFN dilakukan dengan membagi kemampuan keuangan


daerah dengan rata-rata nasional kemampuan keuangan daerah. Jika IFN < 1, atau
dengan kata lain daerah tersebut memiliki kemampuan keuangan daerah lebih kecil
dibandingkan dengan rata-rata nasional, maka daerah tersebut mendapatkan prioritas
dalam memperoleh DAK

b. Kriteria Khusus

Ditetapkan dengan memperhatikan peraturan perundang- undangan, dan karakteristik


daerah.

1. Aturan perundangan-undangan, untuk daerah yang termasuk dalam pengaturan


otonomi khusus atau termasuk dalam 199 kabupaten tertinggal diprioritaskan
mendapatkan alokasi DAK

2. Karakteristik Daerah, daerah yang diperioritaskan mendapatkan alokasi DAK


dilihat dari karakteristik daerah yang meliputi :

Untuk Provinsi : (1) Daerah tertinggal, (2) Daerah pesisir dan/atau kepulauan, (3)
Daerah perbatasan dengan negara lain, (4) Daerah rawan bencana, (5) Daerah
ketahanan pangan, (6) Daerah pariwisata

Untuk Kabupaten dan Kota : (1) Daerah tertinggal, (2)

Daerah pesisir dan/atau kepulauan, (3) Daerah perbatasan dengan negara lain, (4)
Daerah rawan bencana, (5) Daerah ketahanan pangan, (6) Daerah pariwisata

c. Kriteria Teknis

Kriteria Teknis disusun berdasarkan indikator-indikator yang dapat menggambarkan


kondisi sarana dan prasarana, dan tingkat kinerja pelayanan masyarakat serta
pencapaian teknis pelaksanaan kegiatan DAK di daerah. Kriteria teknis kegiatan DAK
dirumuskan oleh masing-masing menteri teknis terkait, yakni :

Bidang Pendidikan dirumuskan oleh Menteri Pendidikan;

Bidang Kesehatan dirumuskan oleh Menteri Kesehatan;

Bidang Infrastruktur Jalan, Infrastruktur Irigasi dan Infrastruktur Air Minum dan
Senitasi dirumuskan oleh Menteri Pekerjaan Umum;

Bidang Prasarana Pemerintahan dirumuskan oleh Menteri

Dalam Negeri;

Bidang Kelautan dan Perikanan dirumuskan oleh Menteri

Kelautan dan Perikanan;

Bidang Pertanian dirumuskan oleh Menteri Pertanian;

Bidang Lingkungan Hidup dirumuskan oleh Menteri

Lingkungan Hidup;

Bidang Keluarga Berencana dirumuskan oleh Kepala Badan

Koordinator Keluarga Berencana Nasional;

Bidang Kehutanan dirumuskan oleh Menteri Kehutanan;

Bidang Sarana dan Prasaranan Pedesaan dirumuskan oleh Menteri Negara


Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal; dan

Bidang Perdagangan dirumuskan oleh Menteri Perdagangan.


BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil pembahasan makalah ini antara
lain :

1. Pembiayaan kesehatan merupakan salah satu bidang ilmu dari ekonomi kesehatan
(health economy). Yang dimaksud dengan biaya kesehatan adalah besarnya dana
yang harus disediakan untuk menyelenggarakan dan atau memanfaatkan berbagai
upaya kesehatan yang diperlukan oleh perorangan, keluarga, kelompok dan
masyarakat.

2. Sumber biaya kesehatan dapat berasal dari anggaran pemerintah, anggaran


masyarakat, bantuan dari dalam dan luar negeri, serta gabungan dari anggaran
pemerintah dan masyarakat.

3. Secara umum biaya kesehatan dapat dibedakan menjadi dua, yakni biaya
pelayanan kedokteran dan biaya pelayanan kesehatan masyarakat.

4. Syarat pokok pembiayaan kesehatan adalah jumlah, penyebaran dan pemanfaatan.


Sedangkan fungsi pembiayaan kesehatan adalah penggalian dana, pengalokasian
dana dan pembelanjaan.

5. Masalah pokok pembiayaan kesehatan antara lain seperti kurangnya dana yang
tersedia, penyebaran dana yang tidak sesuai, pemanfaatan dana yang tidak tepat,
pengelolaan dana yang belum sempurna serta biaya kesehatan yang makin
meningkat. Sedangkan upaya penyelesaian yang dapat ditempuh seperti
meningkatkan jumlah dana, memperbaiki penyebaran, pemanfaatan dan
pengelolaan dana, serta mengendalikan biaya kesehatan.

6. Definisi anggaran kesehatan dapat diatur dalam Anggaran Kesehatan UU No. 36


Tahun 2009 Tentang Kesehatan.

7. Anggaran kesehatan nasional menggunakan dana Alokasi Khusus, selanjutnya


disebut DAK.
3.2 Saran

1) Diharapkan dengan adanya makalah ini dapat membantu pembaca dalam


memahami sistem pembiayaan kesehatan nasional dan penyusunan anggaran program
kesehatan

2) Perlu diadakan penelitian dan penulisan lebih lanjut mengenai kajian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Lucy Stefani, Delfi. 2013. Pembiayaan Kesehatan, (Online),


http://delfistefani.wordpress.com/2013/06/19/makalah-pembiayaan- kesehatan/,
diakses 7 Desember 2013

Undang Undang No. 23 Tahun 1992 Tentang : Kesehatan

Murti, Bhisma. 2010. Strategi untuk Mencapai Cakupan Universal Pelayanan


Kesehatan di Indonesia,
(Online),http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&c
d=2&cad=rja&ved=0CC4QFjAB&url=http%3A%2F%2Ffk.uns.ac.id%2Find
ex.php%2Fdownload%2Ffile%2F36&ei=OaqiUqGrGIiGrQex9YCACw&usg

=AFQjCNHsop2zHgd_eULMnAD_9nVr979Fsw diakses 7 Desember 2013


Helda, 2011. Pembiayaan Kesehatan, (Online),
http://heldaupik.blogspot.com/2011/11/pembiayaan-kesehatan.html?m=1, diakses
pada 7 Desember 2013

Sulastomo, 2000.Manajemen Kesehatan. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama

Aswar, Azrul. 1998.Administrasi Kesehatan. Jakarta:Bina Aksara.

Tanpa nama, 2010.Pertemuan Pembahasan Definisi Anggaran Kesehatan,


(Online),http://kgm.bappenas.go.id/index.php?hal=fi1&keyIdHead=36,diakses 8

Dsember 2013

Ghufron, Ali dkk.2008.Kesmas : Administrasi dan Praktik.Jakarta:EGC

Anda mungkin juga menyukai