Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

SKEMA DAN SUMBER PEMBIAYAAN KESEHATAN

Disusun Oleh :

1. OKTI INDAH SARI


2. DERIA LAURA
3. AKBAR SETIAWAN

Dosen Pembimbing :

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BENGKULU
2018
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kesehatan merupakan kebutuhan mendasar dari setiap manusia untuk
dapat hidup layak, produktif, serta mampu bersaing untuk meningkatkan taraf
hidupnya. Perkembangan teknologi dalam bidang kesehatan berjalan dengan
pesat dalam abad terakhir ini, yang manfaatnya dapat dinikmati oleh
masyarakat luas. Namun demikian jangkauan pelayanan kesehatan ini masih
terbatas; artinya masih banyak masyarakat yang belum mampu menikmati
pelayanan kesehatan yang bermutu. Hal ini sangat ditentukan oleh sistem
pelayanan kesehatan yang berlaku di suatu negara.
Badan Kesehatan Dunia WHO (World Health Organitation) untuk
pertama kalinya telah mengadakan analisis terhadap sistim kesehatan di 191
negara di dunia, yang hasilnya telah dipublikasikan pada tanggal 21 Juni 2000
pada "The World Health Report 2000 - Health Systems Improfing
performance". Analisis yang dilaksanakan dengan menggunakan 5
performance indecator ini, menunjukkan bahwa Perancis mempunyai sistem
kesehatan yang baik, diikuti oleh Italia, Spanyol, Oman, Austria, dan Jepang.
USA yang proporsi biaya pelayanan kesehatan terhadap GDP-nya tinggi
(dibanding negara lain) hanya menduduki rangking ke 37, sedangkan biaya
kesehatannya hanya 6 persen dari GDP, menduduki rangking ke 18.
Hal ini menunjukkan bahwa mutu sistem pelayanan kesehatan tidak
semata- mata ditentukan oleh besarnya biaya yang dikeluarkan untuk
pembiayaan kesehatan tersebut. Director General WHO Dr Gro Harlem
Brundtland menyatakan, pesan utama dari laporan ini adalah bahwa kesehatan
dan kesejahteraan masyarakat dunia sangat tergantung pada sistem kesehatan
yang diberlakukan bagi masyarakat. Walaupun perkembangan telah terjadi
dengan pesat dalam dekade terakhir ini, namun hampir di semua negara terjadi
underutilisasi dari resoucrces yang ada. Dampak dari sistem kesehatan yang
tidak tepat paling dirasakan oleh masyarakat miskin, yang akan semakin
terdorong kepada kemiskinan akibat tidak adanya perlindungan finansial
terhadap kesehatan.
Salah satu rekomendasi kunci dari laporan tersebut adalah agar negara-
negara mengembangkan asuransi kesehatan dengan cakupan populasi yang
luas. Agar dapat mempunyai cakupan populasi yang luas, maka sistem
kesehatan dalam suatu negara harus disusun dalam suatu tatanan yang
terintegrasi antara sistem pelayanan itu sendiri dengan sistem pembiayaan.

B. Tujuan
Mahasiswi diharapkan dapat mengerti dan memahami teori yang telah
didapat selama proses belajar mengajar sehingga dapat menerapkan secara
nyata sesuai tugas dan wewenang Bidan tentang penatalaksanaan masalah yg
didapat sehingga dapat dijadikan bekal dalam memberi wawasan yang
bermanfaat kemudian hari.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Tentang Pembiayaan Kesehatan


Pembiayaan kesehatan yang kuat, stabil dan berkesinambungan
memegang peranan yang amat vital untuk penyelenggaraan pelayanan
kesehatan dalam rangka mencapai berbagai tujuan penting dari pembangunan
kesehatan di suatu negara diantaranya adalah pemerataan pelayanankesehatan
dan akses (equitable access to health care) dan pelayanan yang berkualitas
(assured quality) . Oleh karena itu reformasi kebijakan kesehatan di suatu
negara seyogyanya memberikan fokus penting kepada kebijakan pembiayaan
kesehatan untuk menjamin terselenggaranya kecukupan (adequacy),
pemerataan (equity), efisiensi (efficiency) dan efektifitas (effectiveness) dari
pembiayaan kesehatan itu sendiri. Perencanaan dan pengaturan pembiayaan
kesehatan yang memadai (health care financing) akan menolong pemerintah di
suatu negara untuk dapat memobilisasi sumber-sumber pembiayaan kesehatan,
mengalokasikannya secara rasional serta menggunakannya secara efisien dan
efektif.
Kebijakan pembiayaan kesehatan yang mengutamakan pemerataan serta
berpihak kepada masyarakat miskin (equitable and pro poor health policy)
akan mendorong tercapainya akses yang universal. Pada aspek yang lebih luas
diyakini bahwa pembiayaan kesehatan mempunyai kontribusi pada
perkembangan sosial dan ekonomi. Pelayanan kesehatan itu sendiri pada
akhir-akhir ini menjadi amat mahal baik pada negara maju maupun pada
negara berkembang. Penggunaan yang berlebihan dari pelayanan kesehatan
dengan teknologi tinggi adalah salah satu penyebab utamanya. Penyebab yang
lain adalah dominasi pembiayaan pelayanan kesehatan dengan mekanisme
pembayaran tunai (fee for service) dan lemahnya kemampuan dalam
penatalaksanaan sumber-sumber dan pelayanan itu sendiri (poor management
of resources and services).
Meskipun tiap-tiap negara mempunyai perbedaan dalam reformasi
pembiayaan kesehatannya bergantung dari isu-isu dan tantangannya sendiri,
akan tetapi pada dasarnya dalam banyak hal karakteristiknya sama karena
kesemua hal itu diarahkan untuk mendukung pencapaian tujuan pembangunan
kesehatan nasional, regional dan internasional. Organisasi kesehatan se-dunia
(WHO) sendiri memberi fokus strategi pembiayaan kesehatan yang memuat
isu-isu pokok, tantangan, tujuan utama kebijakan dan program aksi itu pada
umumnya adalah dalam area sebagai berikut:
1. Meningkatkan investasi dan pembelanjaan publik dalam bidang kesehatan,
2. Mengupayakan pencapaian kepesertaan semesta dan penguatan
permeliharaan kesehatan masyarakat miskin,
3. Pengembangan skema pembiayaan praupaya termasuk didalamnya
asuransi kesehatan sosial (SHI),
4. Penggalian dukungan nasional dan internasional,
5. Penguatan kerangka regulasi dan intervensi fungsional,
6. Pengembangan kebijakan pembiayaan kesehatan yang didasarkan pada
data dan fakta ilmiah, serta
7. Pemantauan dan evaluasi.
Implementasi strategi pembiayaan kesehatan di suatu negara diarahkan
kepada beberapa hal pokok yakni; kesinambungan pembiayaan program
kesehatan prioritas, reduksi pembiayaan kesehatan secara tunai perorangan
(out of pocket funding), menghilangkan hambatan biaya untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan, pemerataan dalam akses pelayanan, peningkatan
efisiensi dan efektifitas alokasi sumber daya (resources) serta kualitas
pelayanan yang memadai dan dapat diterima pengguna jasa.
Sejalan dengan itu, dalam rencana strategik Depkes 2005-2009 secara jelas
disebutkan bahwa meningkatkan pembiayaan kesehatan merupakan salah satu
dari empat strategi utama departemen kesehatan disamping menggerakkan dan
memberdayakan masyarakat untuk hidup sehat, meningkatkan akses
masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas serta
meningkatkan sistem surveilans, moitoring dan informasi kesehatan. Strategi
utama itu dijabarkan dalam 17 sasaran pembangunan. Selanjutnya sasaran dari
strategi utama meningkatkan pembiayaan kesehatan itu adalah; 1)
pembangunan kesehatan mendapatkan penganggaran yang memadai oleh
pemerintah pusat dan daerah (sararan 15), 2) anggaran kesehatan pemerintah
lebih diutamakan untuk pencegahan dan promosi kesehatan (sasaran 16) dan
3) terciptanya sistem jaminan pembiayaan kesehatan terutama bagi
masyarakat miskin (sasaran 17).
Tujuan pembiayaan kesehatan adalah tersedianya pembiayaan
kesehatan dengan jumlah yang mencukupi, teralokasi secara adil dan
termanfaatkan secara berhasil-guna dan berdaya-guna, untuk menjamin
terselenggaranya pembangunan kesehatan guna meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

B. Mencari Model Sistem Pembiayaan Kesehatan


Gizi.net - INDONESIA adalah salah satu negara dari sedikit negara-
negara di dunia, yang belum memiliki sistem pembiayaan kesehatan yang
mantap. Padahal kita telah merdeka lebih dari 50 tahun. Banyak negara yang
lebih muda, yang merdeka setelah Indonesia, justru telah memiliki sistem
pembiayaan kesehatan yang lebih mantap, yang menjadi “model” dan berlaku
secara nasional. Dampaknya, jelas terkait dengan kemampuan menyediakan
dana kesehatan bagi seluruh rakyat. Ini terlepas, status kesehatan rakyat tidak
semata-mata tergantung besarnya biaya yang dikeluarkan.
Menurut survei PriceWaterhouse Coopers (1999), sebelum krisis ekonomi
(1997), Indonesia membelanjakan 19,1 dollar AS per kapita per tahun untuk
pemeliharaan kesehatan, atau sekitar 1,7 persen GDP. Bandingkan dengan
Malaysia (97,3 dollar AS atau 2,4 persen GDP), Thailand (108,5 dollar AS
atau 4,3 persen GDP), Singapura (667 dollar AS atau 3,5 persen GDP),
Taiwan (623,8 dollar AS atau 4,8 persen GDP). Pada waktu itu, GDP per
kapita Indonesia diperhitungkan sebesar 1.080 dollar AS.
Laporan itu juga mengatakan, harapan untuk hidup (life expectancy) Indonesia
adalah terendah dibanding negara-negara itu, yaitu 68 tahun. Ratio tempat
tidur dibanding jumlah penduduk juga terendah, yaitu 0,6 per 1000. Penyebab
kematian, di Indonesia ternyata justru penyakit-penyakit yang sebenarnya
telah diketahui cara diagnosa dan terapinya, yaitu infeksi alat pernafasan
(15,15 persen) dan TBC (11,5 persen). Sedangkan di negara-negara tetangga
kita, penyebab kematian utama adalah kanker atau cardio vaskuler, yang
merupakan penyakit-penyakit yang lebih sulit pengobatannya.
Juga dilaporkan, cakupan kepesertaan penduduk Indonesia dalam program
jaminan sosial sektor kesehatan (compulsory coverage, semacam asuransi
kesehatan wajib/sosial) juga terendah, yaitu sekitar 15 persen. Bandingkan
dengan Thailand, yang telah mencapai 56 persen dan Taiwan 96 persen.
Rendahnya cakupan kepesertaan dalam program asuransi kesehatan, ternyata
juga menyebabkan inefisiensi dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan.
Meski Indonesia hanya membelanjakan sekitar 10 dollar AS per kapita per
tahun untuk obat-obatan, sedangkan Taiwan membelanjakan sekitar 83 dollar
AS per kapita per tahun, pemakaian obat generik di Indonesia hanya mencapai
sekitar 10 persen, sedangkan di Taiwan, pemekaian obat generik mencapai
sekitar 70 persen. Sebabnya, dengan kepesertaan sekitar 96 persen penduduk
dalam program asuransi kesehatan (sosial) Taiwan dapat menyelenggarakan
standardisasi pelayanan, termasuk obat, sehingga dana yang tersedia dapat
dimanfaatkan lebih efisien.
Itulah sedikit gambaran, mengapa belanja kesehatan Indonesia adalah
yang terendah. Dampaknya, ada keterbatasan membangun sarana kesehatan
bagi rakyat dan sudah tentu berpengaruh pada status kesehatan rakyat. Meski
status kesehatan tidak semata-mata ditentukan kemampuan dana, masalah
mobilisasi dana untuk pembiayaan kesehatan (di Indonesia) pada hemat saya,
semakin mendesak.

C. Berbagai Pilihan
Dengan memperhatikan model-model yang dianut banyak negara,
misalnya, model asuransi kesehatan komersil (AS) atau National Health
Service/NHS model Inggris, Indonesia sebenarnya pernah menetapkan
pilihan, yaitu ketika tahun 1968 melancarkan program asuransi kesehatan bagi
pegawai negeri dan penerima pensiun, diprakarsai Menteri Kesehatan saat itu
– Prof GA Siwabessi- melalui Keputusan Presiden No 230/1968 itu (nantinya)
diharapkan menjadi “embrio” asuransi kesehatan semesta/nasional yang
diberlakukan bagi seluruh penduduk.
Model ini mirip “Bismarek model”, diberlakukan di Jerman tahun 1882,
yang di dalam khasanah ekonomi kesehatan dikenal sebagai asuransi
kesehatan sosial. Namun, setelah itu, sampai sekarang, perkembangannya
sangat lamban. Berbagai upaya, dengan memperkenalkan berbagai konsep
untuk memperluas cakupan program, sejauh ini belum menampakkan hasil
yang menggembirakan, baik dalam bentuk konsep Dana Upaya Kesehatan
Masyarakat (DUKM) atau Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) yang
diprakarsai Departemen Kesehatan ataupun Jaminan Pemeliharaan Tenaga
Kerja (JPTK) yang merupakan bagian program Jamsostek. Cakupan seluruh
program itu, baru mencapai sekitar 13 persen penduduk, dimana peserta yang
terbesar adalah peserta PT Askes Indonesia (sekitar 14 juta orang)%0.
Kini, dengan semakin meningkatnya biaya pelayanan kesehatan, ada
kebutuhan makin mendesak, untuk segera memiliki suatu sistem jaminan
pemeliharaan kesehatan, yang dapat mencakup seluruh penduduk Indonesia,
meski pelaksanaannya harus bertahap. Hal ini perlu guna mengantisipasi era
globalisasi, di mana keterbukaan kita atas pasar komoditas kesehatan juga
makin terbuka, sehingga ada kebutuhan untuk melindungi rakyat dari praktik
kedokteran yang mungkin hanya akan mengeruk kantung kita. Model apa
yang layak dan dapat mempercepat cakupan program jaminan pemeliharaan
kesehatan-kesehatan?
Dari berbagai model yang telah dikembangkan di berbagai negara,
“Bismarek” model (asuransi kesehatan sosial), agaknya lebih mendekati
kebutuhan untuk mengejar ketertinggalan kita di bidang ini, karena model ini
ternyata mampu mencapai cakupan 100 persen penduduk di banyak negara.
Hal ini juga mempertimbangkan kelayakan model ini, yang ternyata telah
diberlakukan di banyak negara, khususnya di Eropa (selain Inggris), Asia
(Jepang, Korea, Taiwan, dan lain sebagainya). Dalam kaitan ini, ada prinsip-
prinsip universal yang perlu memperoleh perhatian.

D. Prinsip - Prinsip Universal


Prinsip-prinsip Universal itu adalah :
1. Kepesertaan bersifat wajib, terhadap penduduk sesuai perundangan.
Jerman dan Jepang memulai dari kelompok tenaga kerja tertentu,
untuk kemudian berkembang ke kelompok-kelompok lain sampai tenaga
kerja nonformal dan mencapai 100 persen penduduk. Korea Selatan
memulai dari sektor formal dengan jumlah tenaga kerja yang besar (500
tenaga kerja) untuk secara bertahap menurun, 400, 300, 200, 100 dan
kahirnya mencakup kelompok nonformal. Korea mencapai cakupan
kepesertaan 100 persen penduduk hanya dalam waktu beberapa tahun,
karena kuatnya political will dari pemerintah (Dekrit Presiden, 1976).
2. Iuran ditanggung bersama, ditetapkan secara proporsional, sesuai tingkat
pendapatan, antara pemberi kerja dan penerima kerja. Pendekatan seperti
ini, sebenarnya mengantisipasi perkembangan masa-depan, di mana biaya
pelayanan kesehatan akan menjadi amat mahal, sehingga tidak mampu
ditanggung penerima kerja (sendiri) atau pemberi kerja (sendiri).
“Kekeliruan” dalam sistem pembiayaan yang telah kita laksanakan adalah,
di dalam pembiayaan kesehatan Askes seluruh iuran ditanggung penerima
kerja, sedang pada Jamsostek seluruhnya ditanggung pemberi kerja. Untuk
Askes, telah dilakukan perubahan, di mana pemberi kerja (pemerintah)
harus ikut memberi iuran dan subsidi, namun belum terlaksana (UU No
43/1999)
3. Jenis santunan/benefit package berupa pelayanan kesehatan, sesuai
kebutuhan medis. Ruang lingkupnya ditetapkan berdasar peraturan
(pemerintah). Badan penyelenggara akan membangun sebuah sistem
pembiayaan dan pelayanan kesehatan, untuk dapat memperoleh tingkat
efisiensi yang tinggi, yang kini sering dikenal sebagai Managed healtheare
concept.
4. Kegotongroyongan di antara peserta, dengan demikian amat lengkap.
Antara kaya miskin, tua muda, sehat sakit, bahkan yang memiliki resiko
sakit tinggi dan rendah. Kegotongroyongan seperti ini sesuai dengan sifat
pelayanan kesehatan itu sendiri, yang selayaknya bobot wajah sosial masih
dapat dipertahankan.
5. Kelima, berdasar studi perbandingan di banyak negara, negara-negara
yang menganut prinsip ini, ternyata juga membelanjakan biaya kesehatan
yang lebih rendah dibanding negara yang menganut prinsip asuransi
kesehatan komersial. Jepang hanya membelanjakan sekitar 50 persen biaya
kesehatan dibanding AS. Demikian juga peningkatan pembiayaan
kesehatan setiap tahunnya, AS lebih tinggi dibanding Jepang.
6. Badan penyelenggara juga harus bersifat not for profit, sehingga lebih
menguntungkan peserta. Sisa hasil usaha diperuntukkan bagi peningkatan
pelayanan kesehatan, misalnya, pembangunan sarana kesehatan. Dengan
luasnya kepesertaan dalam sisetm ini, badan penyelenggara juga
memperoleh peluang menikmati harga komoditas kesehatan, misalnya
obat-obatan dengan harga lebih murah. Dampaknya, tentu amat luas pada
ekonomi kesehatan.
Demikianlah, prinsip-prinsip universal dalam asuransi kesehatan sosial
yang banyak dianut. Satu hal yang perlu ditegaskan, dalam prinsip asuransi
sosial, sudah tentu pemerintah banyak berperanan, khususnya di dalam
regulasi dan dorongan politis.

E. Pembiayaan Kesehatan Melalui Asuransi Kesehatan Sosial


Pembiayaan kesehatan semakin meningkat dari waktu ke waktu dan
dirasakan berat baik oleh pemerintah, dunia usaha terlebih-lebih masyarakat
pada umumnya. Untuk itu berbagai Negara memilih model sistem pembiayaan
kesehatan bagi rakyatnya, yang diberlakukan secara nasional. Berbagai model
yang dominan yang implementasinya disesuaikan dengan keadaan di Negara
masing-masing.
Beberapa model yang dominan adalah:
1. Model asuransi kesehatan sosial (Social Health Insurance). Model ini
dirintis sejak Jerman dibawah Bismarck pada tahun 1882. Model inilah
yang berkembang di beberapa Negara Eropa, Jepang (sejak 1922) dan
kemudian ke Negara-negara Asia lainnya yakni Philipina, Korea, Taiwan
dll. Kelebihan sistem ini memungkinkan cakupan 100% penduduk dan
relatif rendahnya peningkatan biaya pelayanan kesehatan.
2. Model asuransi kesehatan komersial (Commercial/Private Health
Insurance). Model ini berkembang di AS. Namun sistem ini gagal
mencapai cakupan 100% penduduk. Sekitar 38% penduduk tidak tercakup
dalam sistem. Selain itu terjadi peningkatan biaya yang amat besar karena
terbukanya peluang moral hazard. Sejak tahun 1993; oleh Bank Dunia
direkomendasikan pengembangan model Regulated Health Insurance
dimana kepesertaan berdasarkan kelompok dengan syarat jumlah minimal
tertentu sehingga mengurangi peluang moral hazard
3. Model NHS (National Health Services) yang dirintis pemerintah Inggris
sejak usai perang dunia kedua. Model ini juga membuka peluang cakupan
100% penduduk. Namun pembiayaan kesehatan yang dijamin melalui
anggaran pemerintah akan menjadi beban yang berat.

Anda mungkin juga menyukai