IKM B 2018
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2020
DAFTAR ISI 1
BAB I PENDAHULUAN 3
1.1 Latar Belakang 3
1.2 Rumusan Masalah 4
1.3 Tujuan 4
1.3.1 Tujuan Umum 4
1.3.2 Tujuan Khusus 4
1.4 Manfaat 5
1.4.1 Manfaat pengetahuan 5
1.4.2 Manfaat untuk penelitian 5
1
3.9.2 Pemberian Nomor Spesimen Laboratorium 34
3.9.3 Penyimpanan Spesimen (Selama di Lapangan) 35
3.9.4 Pengiriman Spesimen dari Lokasi Sentinel 35
3.9.5 Penerimaan Sampel Serum di Laboratorium 36
3.9.6 Pemeriksaan Spesimen dan Penyimpanan Setelah Pemeriksaan 36
3.9.7 Tahap-Tahap Pemeriksaan Anti-HIV 36
3.9.8 Penyimpanan Spesimen Hasil Pemeriksaan Laboratorium 38
3.9.9 Keamanan Biologis Surveilans Sentinel HIV (SSH) 38
3.9.10 Kendali Mutu 39
3.10 Monitoring dan Evaluasi 40
3.10.1 Monitoring 40
3.10.2 Evaluasi 41
3.11 Diseminasi Informasi, Advokasi dan Alur Pelaporan 44
3.11.1 Diseminasi Informasi dan Advokasi 44
3.11.2 Alur Pelaporan 45
BAB IV PENUTUP 46
4.1 Kesimpulan 46
DAFTAR PUSTAKA 47
2
BAB I PENDAHULUAN
HIV atau Human Immunodeficiency Virus merupakan salah satu penyakit menular yang
menyerang sistem kekebalan tubuh sehingga tubuh menjadi mudah lemah dan mudah
terserang penyakit infeksi. HIV dapat memasuki tahap AIDS (Acquired Immune Deficiency
Syndrome) apabila tidak mendapatkan perawatan. Pada tahap ini tubuh akan mudah terserang
oleh beberapa infeksi dan kanker. Menurut Kemenkes (infodatin, 2018) Indonesia merupakan
negara urutan ke 5 sebagai paling berisiko HIV/AIDS di Asia.
Laporan kasus baru HIV meningkat setiap tahunnya sejak pertama kali dilaporkan pada
tahun 1987. lonjakan peningkatan paling banyak adalah pada tahun 2016 dibandingkan pada
tahun 2015, yaitu sebesar 10.315 kasus. Terdapat 5 provinsi dengan jumlah infeksi HIV
terbesar yaitu salah satunya Jawa Timur sebesar 8.204 kasus pada tahun 2017.
Tanda dan gejala segera setelah beberapa seseorang terinfeksi HIV akan merasakan flu
dengan gejala demam, sakit kepala, kelelahan dan ruam-ruam merah. Beberapa orang lainnya
juga tidak menunjukan gejala sehingga ada beberapa orang yang tidak tahu bahwa mereka
telah terinfeksi. Orang dengan HIV masih terlihat sehat, hal ini berisiko penularan ke orang
lain misalnya pasangannya.
HIV menular melalui darah, ada tiga cara utama penularannya, yaitu melakukan seks
yang tidak aman dengan penderita, transfusi darah dengan penderita, dan dari wanita kepada
anaknya. Berdasarkan jenis kelamin persentase pada tahun 2017 penderita HIV berjenis
kelamin laki-laki sebesar 62% dan perempuan sebesar 38%
3
7. Apa itu pengolahan dan analisis data surveilans HIV?
8. Apa itu manajemen spesimen HIV/AIDS?
9. Apa itu monitoring dan evaluasi pada surveilans HIV?
1.3 Tujuan
1.4 Manfaat
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
5
menular dan faktor risiko untuk mendukung upaya pemberantasan penyakit tidak
menular.
6
2.4 Tujuan Surveilans
Tujuan khusus surveilans menurut (Last, 2001; Giesecke, 2002; JHU, 2002) yaitu:
7
2.5 Manfaat Surveilans
8
2. Surveilans pasif, adalah penyelenggaraan surveilans epidemiologi dimana unit surveilans
mengumpulkan data dengan cara menerima data tersebut dari unit pelayanan kesehatan,
masyarakat atau sumber data lainnya.
1. Pola kedaruratan, adalah kegiatan surveilans yang mengacu pada ketentuan yang berlaku
untuk penanggulangan KLB dan atau wabah dan atau bencana
2. Pola selain kedaruratan, adalah kegiatan surveilans yang mengacu pada ketentuan yang
berlaku untuk keadaan di luar KLB dan atau wabah dan atau bencana.
1. Bukti klinis atau tanpa peralatan pemeriksaan, adalah kegiatan surveilans dimana data
diperoleh berdasarkan pemeriksaan klinis atau tidak menggunakan peralatan pendukung
pemeriksaan.
2. Bukti laboratorium atau dengan peralatan khusus, adalah kegiatan surveilans dimana data
diperoleh berdasarkan pemeriksaan laboratorium atau peralatan pendukung pemeriksaan
lainnya.
Prinsip umum surveilans epidemiologi adalah sebagai berikut (Eko Budiarto, 2003) :
· Survei khusus
9
pemeriksaan. Tujuan pengumpulan data adalah menentukan kelompok high
risk.
· Menentukan reservoir
· Transmisi
2. Pengelolaan data
Data yang diperoleh biasanya masih dalam bentuk data mentah (row data) yang
masih perlu disusun sedemikian rupa sehingga mudah dianalisis. Data yang
terkumpul dapat diolah dalam bentuk tabel, bentuk grafik maupun bentuk peta atau
bentuk lainnya. Kompilasi data tersebut harus dapat memberikan keterangan yang
berarti.
Data yang telah disusun dan dikompilasi, selanjutnya dianalisis dan dilakukan
interpretasi untuk memberikan arti dan memberikan kejelasan tentang situasi yang
ada dalam masyarakat.
Setelah analisis dan interpretasi data serta telah memiliki keterangan yang cukup
jelas dan sudah disimpulkan dalam suatu kesimpulan, selanjutnya dapat
disebarluaskan kepada semua pihak yang berkepentingan, agar informasi ini dapat
dimanfaatkan sebagaimana mestinya.
5. Evaluasi
Hasil evaluasi terhadap data sistem surveilans selanjutnya dapat digunakan untuk
perencanaan, penanggulangan khusus serta program pelaksanaannya, untuk kegiatan
tindak lanjut (follow up), untuk melakukan koreksi dan perbaikan-perbaikan
10
program dan pelaksanaan program, serta untuk kepentingan evaluasi maupun
penilaian hasil kegiatan.
Pendekatan surveilans dapat dibagi menjadi dua jenis: (1) Surveilans pasif; (2)
Surveilans aktif (Gordis, 2000).Surveilans pasif memantau penyakit secara pasif, dengan
menggunakan data penyakit yang harus dilaporkan (reportable diseases) yang tersedia di
fasilitas pelayanan kesehatan. Kelebihan surveilans pasif, relatif murah dan mudah untuk
dilakukan. Negara-negara anggota WHO diwajibkan melaporkan sejumlah penyakit infeksi
yang harus dilaporkan, sehingga dengan surveilans pasif dapat dilakukan analisis
perbandingan penyakit internasional. Kekurangan surveilans pasif adalah kurang sensitif
dalam mendeteksi kecenderungan penyakit.
11
BAB III PEMBAHASAN
Jawa Timur yang dapat digolongkan sebagai daerah yang perkembangan transportasi
interinsuler dan internasional nya sangat cepat, maka memungkinkan jika HIV/AIDS/PMS
meningkat terus. Berdasarkan waktu, maka nampak sekali pesatnya peningkatan jumlah
penderita HIV/AIDS di Jawa Timur dari waktu ke waktu. Kalau tahun 1989 hanya 1 orang
penderita yang dilaporkan maka mulai tahun 1999 meningkat tajam sekali dari tahun ke tahun
dan jumlahnya terus bertambah hingga Desember 2017. Penambahan kasus AIDS dari tahun
ke tahun sebagian besar berasal dari faktor seksual. Sampai Desember 2016 berdasarkan
faktor risiko penularan secara seksual berdasarkan kasus AIDS sebesar 80,22%.
Ditinjau dari cara penularan pada kasus AIDS dari data laporan Surveilans nampak
bahwa, faktor risiko yang tertinggi adalah heteroseksual 926 (83,4%) kasus, kemudian
penggunaan narkoba suntik (Penasun) 91 (8,2%) kasus dan Perinatal sebanyak 53 (4,8%).
Surveilans Sentinel HIV (SSH) adalah suatu cara pengamatan terhadap epidemi HIV
melalui pengumpulan data HIV dan juga melalui pemeriksaan serum darah. Surveilans
Sentinel HIV ini merupakan salah satu komponen utama dalam surveilans HIV generasi
kedua di Indonesia. surveilans ini menggunakan suatu cara dengan pengamatan melalui
proses pengumpulan dan analisis data untuk melacak perjalanan epidemic HIV dengan
12
mengidentifikasi pada populasi apakah infeksi baru dapat muncul dan dengan menilai beban
masalah kesehatan akibat epidemi pada saat ini.
Pelaksanaan kegiatan surveilans sentinel HIV ini dilakukan oleh Surveilans Sentinel
HIV tingkat pusat, dan berada di bawah tanggungjawab Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan lingkungan (Ditjen PP dan PL). Meskipun kegiatan surveilans HIV
ini berada dalam kewenangan pemerintah pusat, namun, upaya penanggulangan dan
pemanfaatan data lainnya dapat dilakukan bersama dengan pemerintah daerah. Kegiatan
surveilans ini dilakukan karena masih banyaknya tingkat HIV
Data dan informasi yang dihasilkan dari kegiatan Surveilans Sentinel HIV dapat
dimanfaatkan sebagai dasar untuk melakukan estimasi jumlah orang yang telah terinfeksi
HIV dan berapa yang akan menjadi kasus HIV stadium lanjut di masa mendatang. Selain
itu, hasil analisis surveilans sentinel ini dapat digunakan untuk melakukan perencanaan dan
evaluasi upaya penanggulangan HIV/AIDS oleh pemangku kebijakan, petugas kesehatan
maupun pihak terkait lainnya di wilayah kerja masing-masing.
Kasus AIDS pertama kali di Jawa Timur ditemukan tahun 1989 di sebuah rumah sakit
swasta. Sampai dengan Desember 2016, jumlah kasus AIDS yang dilaporkan adalah 17.394
orang, dan 36.881 kasus HIV. Dari jumlah tersebut 3.679 (21,1%) diantaranya meninggal
dunia. Angka tersebut sesungguhnya jauh lebih kecil dibandingkan angka yang sebenarnya
terjadi, dan dari hasil estimasi sampai dengan tahun 2012 diperkirakan jumlah ODHA di
Jawa Timur mencapai 57.321 orang. Dan sejak September 2003, Provinsi Jawa Timur
ditetapkan sebagai wilayah dengan prevalensi HIV yang terkonsentrasi bersama 5 (lima)
provinsi lainnya, yaitu DKI Jakarta, Papua, Bali, Riau dan Jawa Barat.
Berdasarkan jenis kelamin, kasus AIDS pada tahun 2017 didominasi kelompok
laki-laki sebesar 500 (67,5%) dan wanita sebesar 241 kasus (32,5%). Namun proporsi
perempuan cenderung mengalami peningkatan secara tajam dari tahun ke tahun. Dan dari
segi kelompok umur, maka kasus AIDS didominasi oleh kelompok umur seksual aktif, yang
tertinggi adalah kelompok usia 25-49 tahun sebanyak 506 (68,2%) kasus. Disamping itu
13
kasus HIV sudah ada yang manifestasi menjadi AIDS di kalangan anak-anak (0-14 tahun)
sebanyak 22 anak.
Virus HIV akan menyerang Limfosit T yang mempunyai marker permukaan seperti
sel CD4+, yaitu sel yang membantu mengaktivasi sel B, killer cell, dan makrofag saat
terdapat antigen target khusus. Sel CD4+ adalah reseptor pada limfosit T yang menjadi target
utama HIV. HIV menyerang CD4+baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara
langsung, sampul HIV yang mempunyai efek toksik akan menghambat fungsi sel T. secara
tidak langsung, lapisan luar protein HIV yang disebut sampul gp120 dan anti p24 berinteraksi
dengan CD4+ yang kemudian akan menghambat aktivasi sel yang mempresentasikan antigen.
Setelah HIV menginfeksi seseorang, kemudian dimulailah infeksi HIV asimtomatik yaitu
masa tanpa gejala. Dalam masa ini terjadi penurunan CD4+ secara bertahap. Mula - mula
penurunan jumlah CD4+ sekitar 30-60 sel/tahun, tetapi pada 2 tahun berikutnya penurunan
menjadi cepat, 50-100 sel/tahun, sehingga tanpa pengobatan, rata-rata masa dari infeksi HIV
menjadi AIDS adalah 8-10 tahun, dimana jumlah CD4+akan mencapai < 200 sel/mm3.
Seorang dengan HIV/AIDS (ODHA) maka partikel virus yang ada didalam tubuhnya
akan bergabung dengan DNA sel, sehingga sekali dia terinfeksi HIV maka seumur hidup ia
akan tetap terinfeksi. Pada 3 tahun pertama, akan ada sebagian yang sudah berkembang
masuk ke tahap AIDS, dan setelah 10 tahun, 50% akan berkembang menjadi penderita AIDS
dan setelah 13 tahun, hampir semua orang yang terinfeksi HIV akan menunjukkan gejala
AIDS, dan kemudian meninggal. Perjalanan penyakit itu menunjukkan gambaran penyakit
yang kronis, sesuai dengan perusakan sistem kekebalan tubuh yang juga bertahap.
Ketiga fase epidemic dan kebutuhan surveilans dapat dijelaskan sebagai berikut :
Ciri-ciri :
14
1) HIV baru saja dikenal
Ciri-ciri :
1) Penularan HIV terjadi dengan cepat dan mulai mengakar pada populasi
beresiko tinggi tertentu, seperti WPS, waria LSL, dll.
5) Pada fase ini aktivitas surveilans masih difokuskan dan diperkuat pada
populasi yang berisiko tinggi. Namun, disamping itu, surveilans pada
15
populasi/masyarakat umum dapat mulai dilakukan, khususnya pada
wilayah perkotaan.
Ciri-ciri :
3) Risiko penularan HIV pada populasi umum cukup tinggi (di luar konteks
perilaku seksual komersial, penggunaan napza suntik, maupun konteks
seksual laki-laki dengan laki-laki).
5) Yang menjadi indikasi pada fase ini adalah prevalensi HIV di kalangan ibu
hamil pengunjung klinik KIA di wilayah perkotaan, secara konsisten selalu
berada diatas 1%
6) Pada fase ini, aktivitas surveilans pada populasi yang berisiko tinggi masih
dilanjutkan, namun lebih difokuskan pada surveilans rutin di
populasi/masyarakat umum.
16
3) Memantau kecenderungan prevalensi infeksi HIV berdasarkan tempat
dan waktu.
4) Menyediakan data untuk estimasi dan proyeksi kasus HIV dan AIDS di
Indonesia.
Selain butir-butir di atas, tujuan SSH adalah untuk menyediakan data dan informasi bagi
pengambil keputusan dalam pengendalian HIV/AIDS sebagai dasar untuk:
3.4.1 Kebijakan
Pemerintah Indonesia selalu berusaha menekan angka penyebaran HIV, salah satunya
dengan melalui kegiatan surveilans. Hal ini terdapat dalam Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 45 tahun 2014 tentang penyelenggaraan surveilans kesehatan.
Surveilans yang pertama dirasa kurang mampu menangkap keberagaman dan menjelaskan
perubahan pada status epidemi maka dibuatlah surveilans generasi kedua untuk memperkuat
kemampuan menjelaskan epidemi (kasus baru). Surveilans generasi kedua merupakan suatu
cara pengamatan melalui proses pengumpulan dan analisis data untuk melacak perjalanan
epidemi HIV dengan mengidentifikasi dimana (pada populasi apa) infeksi baru kemungkinan
besar akan muncul dan dengan menilai beban masalah kesehatan akibat epidemi pada saat ini.
Metode surveilans generasi kedua mencakup survei untuk memperkirakan besarnya populasi
kunci (orang yang beresiko terkena HIV) yang memiliki risiko biologis dan perilaku yang
tinggi, surveilans berbasis fasilitas kesehatan, dan pelaporan dan monitoring data yang rutin.
3.4.2 Strategi
17
a. Daerah dengan epidemi meluas seperti Papua dan Papua Barat, penawaran tes HIV
perlu dilakukan kepada semua pasien yang datang ke pelayanan kesehatan baik rawat
jalan atau rawat inap serta semua populasi kunci setiap 6 bulan sekali.
b. Daerah dengan epidemi terkonsentrasi maka penawaran tes HIV rutin dilakukan pada
ibu hamil, pasien TB, pasien hepatitis, warga binaan pemasyarakatan (WBP), pasien
IMS, pasangan tetap ataupun tidak tetap ODHA dan populasi kunci seperti WPS,
waria, LSL dan penasun.
c. Kabupaten/kota dapat menetapkan situasi epidemi di daerahnya dan melakukan
intervensi sesuai penetapan tersebut, melakukan monitoring & evaluasi serta
surveilans berkala.
d. Memperluas akses layanan KT HIV dengan cara menjadikan tes HIV sebagai standar
pelayanan di seluruh fasilitas kesehatan (FASKES) pemerintah sesuai status epidemi
dari tiap kabupaten/kota.
e. Dalam hal tidak ada tenaga medis dan/atau teknisi laboratorium yang terlatih, maka
bidan atau perawat terlatih dapat melakukan tes HIV.
f. Memperluas dan melakukan pelayanan KTHIV sampai ke tingkat Puskesmas.
g. Bekerja sama dengan populasi kunci, komunitas dan masyarakat umum untuk
meningkatkan kegiatan penjangkauan dan memberikan edukasi tentang manfaat tes
HIV dan terapi ARV.
h. Bekerja sama dengan komunitas untuk meningkatkan upaya pencegahan melalui
layanan PIMS dan PTRM
1. Pengumpulan data
Data kasus hiv diperoleh melalui laporan laboratorium. Laporan balai laboratorium
kesehatan akan dikirimkan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/kota, laporan hasil
pemeriksaan HIV dan sifilis dikirim dengan memakai formulir HIV-2. Kemudian Kepada
Dinas Kesehatan kabupaten/kota mengirimkan laporan tersebut daru kepada Kepala Dinas
Kesehatan Provinsi.
18
2. Kompilasi Data
Semua data dikumpulkan dari lapangan (dari masing masing sub-populasi sentinel)
diolah dengan menggunakkan SSHIV oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/kota dan provinsi.
3. analisis data
4. interpretasi data
Direktorat P2ML Subdit AIDS & PMS akan memantau pelaporan pelaksanaan
kegiatan surveilans HIV di seluruh wilayah yang melaksanakan kegiatan surveilans sentinel
HIV. Kemudian akan dibuat laporan singkat hasil surveilans sentinel. Kemudian laporan akan
dikirimkan kepada semua pihak baik di tingkat nasional maupun tingkat
Kabupaten/kota/provinsi. Dinas kesehatan Provinsi juga membuat laporan yang berasal dari
Dinas Kabupaten/Kota setempat, dan mengirimkan kepada pihak yang terkait di provinsi
tersebut.
6. Monitoring
7. evaluasi
Kegiatan surveilans sentinel dilakukan pada tahap input, proses pelaksanaan dan
output.
19
3.5.2 pelaksanaan di tingkat provinsi
1. pengumpulan data
Surveilans serologi HIV kurang bermanfaat pada situasi dimana
tingkat epidemi HIV masih sangat rendah, Angka HIV yang rendah berate
populasi dan sampel yang diambil tidak berperilaku resiko tinggi karena
keberhasilan program, sampai pada tingkat yang memadai untuk terdeteksi
dengan mudah. Dengan adanya dasar perilaku yang terdokumentasi, maka
data akan dipakai untuk perencanaan program penurunan resiko pada saat
penyebaran belum luas.
20
Berguna untuk perencanaan, manajemen, dan evaluasi program, karena
data ini dapat mengidentifikasi dua sub populasi tertentu yang berisiko tertular
5. penentuan etiologi dan surveilans resistensi antibiotika
Data ini bermanfaat untuk mendukung rekomendasi bagi pengobatan
dan untuk memberikan konseling pada beberapa suspek penderita. Kemudian
tujuan pemantauan resistensi antibiotika terhadap neisseria gonorrhea adalah
untuk pengobatan dan mendeteksi resistensi yang baru muncul.
Sasaran: Kabupaten/Kota
A. P2 PMS
ditetapkan adalah penemuan penderita dengan keluhan sakit pada organ genital
21
c. Pengobatan penderita dilakukan dengan memberikan pengobatan yang tepat pada
semua penderita IMS serta penanganan HIV/AIDS yang bertujuan menurunkan angka
insiden HIV/AIDS. Kegiatan ini dilaksanakan oleh dokter dan paramedis dengan
sasaran penderita.
d. Penyuluhan atau konseling dilaksanakan oleh dokter, petugas P2 PMS, dan promkes.
Sasarannya adalah penderita untuk berkonsultasi dan pemberian penyuluhan.
e. Pencatatan , pelaporan, dan monev meliputi dokumentasi semua kegiatan pada
register, rekapitulasi, pengolahan data, analisis data, evaluasi, dan pelaporan oleh
petugas P2 PMS. Sasarannya adalah semua kegiatan P2 PMS.
Saat ini penderita penyakit menular yang dirawat d rumah sakit jumlahnya masih
cukup besar. Suatu keadaan khusus dimana faktor lingkungan, secara bermakna dapat
mendukung terjadinya risiko mendapatkan penyakit infeksi, sehingga teknik surveilans
termasuk kontrol penyakit pada rumah sakit rujukan pada tingkat provinsi dan regional
memerlukan perlakuan tersendiri. Pada rumah sakit tersebut, terdapat beberapa penularan
penyakit dan dapat menimbulkan infeksi nosokomial. Selain itu, rumah sakit mungkin dapat
menjadi tempat berkembangbiaknya serta tumbuh suburnya berbagai jenis mikro-organisme.
Untuk mengatasi masalah penularan penyakit infeksi di rumah sakit maka telah
dikembangkan sistem surveilans epidemiologi yang khusus dan cukup efektif untuk
menanggulangi kemungkinan terjadinya penularan penyakit (dikenal dengan infeksi
nosokomial) di dalam lingkungan rumah sakit
1. Definisi
Dapat dikatakan KLB HIV apabila dilihat dari jumlah kasus HIV/AIDS dari tahun ke
tahun mengalami kenaikan yang signifikan. Sebagian penduduk yang merupakan kelompok
seksual aktif yang paling beresiko terhadap penularan HIV/AIDS dan juga termasuk tempat
rawan terhadap penyebaran HIV/AIDS.
22
Penyelidikan KLB HIV bertujuan untuk mengetahui besar masalah KLB dan
gambaran epidemiologi KLB berdasarkan waktu kejadian, umur, status imunisasi penderita,
wilayah terjangkit maupun faktor risiko terjadinya KLB.
b. Persiapan Penyelidikan
23
2) Persiapan formulir penyelidikan
4) Persiapan obat-obatan
c. Penyelidikan Epidemiologi
1) Identifikasi Kasus
24
· Bentuk/ jenis kontak
· Lama (durasi) kontak
· Frekuensi kontak
c) Tatalaksana Kasus
Tatalaksana kasus di lapangan dilakukan oleh tim investigasi
yang meliputi:
A. Identifikasi kelompok berisiko HIV/AIDS dengan tanda
dan gejala klinis curiga AIDS
· Kehilangan BB hingga >10% dari BB dasar
· Demam yang lebih dari satu bulan
· Diare yang lebih dari satu bulan
· Limfadenopati meluas
· PPE dan kulit kering yang luas
· Gangguan pernafasan
· Terjadi gangguan neurologis
B. Edukasi pada kelompok yang tidak beresiko HIV/AIDS
· Pencegahan bagi yang belum menikah dianjurkan
untuk tidak melakukan hubungan seksual
· Pencegahan dapat dilakukan dengan saling setia
pada pasangan yang tidak terjangkit HIV
· Pencegahan dapat dilakukan dengan
menggunakan kondom pada saat melakukan sexs
yang beresiko
· Pencegahan dapat dilakukan dengan menghindari
penggunaan jarum secara bergantian dan tidak steril
e. Penanggulangan awal
Melakukan terapi ARV yang bertujuan untuk menurunkan jumlah
virus dalam darah sampai tidak terdeteksi dan mempertahankannya,
memperbaiki kualitas hidup, mengurangi transmisi pada yang lain.
f. Pengolahan dan Analisa Data
Setiap selesai melakukan penyelidikan KLB dilakukan pengolahan dan
analisa data untuk mengambil kesimpulan dan rekomendasi tindak lanjut.
25
g. Penulisan Laporan
Setelah selesai melakukan penyelidikan KLB maka membuat laporan
tertulis tentang hasil investigasi dan perkembangan KLB yang mencakup:
· Latar belakang
· Metodologi
· Analisis kasus HIV/AIDS
· Upaya yang sudah dilakukan
· Outbreak response bila ada
· Kesimpulan dan rekomendasi
2. Langkah-langkah Penanggulangan
26
3.8 Pengolahan Data dan Analisis Data
Ada beberapa komponen yang harus diperhatikan dalam melakukan analisis data, yaitu :
1. WHO (person): orang yang terserang dapat didasarkan kepada kelompok umur,
jenis kelamin, status imunisasi, atau status gizi penderita HIV/AIDS.
4. WHY (kenapa) : mengapa terjadi peningkatan kasus, hal ini lebih mengarah pada
analisis faktor risiko seperti masalah program pencegahan, keterjangkauan
fasilitas kesehatan oleh masyarakat, dll
27
Kasus HIV/AIDS 2005-2017
Area map lebih bermanfaat untuk menentukan daerah yang menjadi prioritas,
dengan membandingkan besar masalah antara satu wilayah dengan wilayah lainnya,
sebaiknya menggunakan angka insiden. Data dan informasi yang dihasilkan dari
kegiatan Surveilans Sentinel HIV dapat dimanfaatkan sebagai dasar untuk melakukan
28
estimasi jumlah orang yang telah terinfeksi HIV dan berapa yang akan menjadi kasus
HIV stadium lanjut di masa mendatang.
Dalam pembuatan spot map atau area map, diupayakan dapat menggambarkan
wilayah pelayanan yang lebih kecil, seperti distribusi kasus per desa, per kecamatan,
per kota atau per kabupaten, tergantung kebutuhan analisis atau di tingkat mana
analisis dilakukan.
Proporsi Kelompok Umur yang Menderita HIV di Jawa Timur pada Tahun 2018
(Gambar 3. Contoh Analisis Data berdasarkan Orang (person) dengan Diagram Pie)
29
(Gambar 4. Contoh Analisis Data berdasarkan Orang (person) dengan Grafik Batang)
Distribusi kasus campak menurut kelompok umur atau jenis kelamin dapat
digambarkan dalam bentuk grafik batang maupun pie diagram. Keuntungan
menggunakan grafik batang adalah dapat diketahui kecenderungan kasus dari tahun
ke tahun berdasarkan kelompok umur, pergeseran kelompok umur dan kelompok
umur yang paling tinggi terserang HIV. Sedangkan pie diagram hanya dapat
mengetahui kelompok umur yang paling tinggi terserang HIV pada waktu tertentu.
Analisis data sentinel hampir sama dengan analisis data rutin, prinsip time,
place dan person yang akan menjawab pertanyaan siapa, kapan, dimana, mengapa,
dan bagaimana suatu kejadian dapat memberikan masukan kepada program
pencegahan. Oleh sebab itu tidak boleh ada dari komponen diatas yang tidak dijawab
agar hasil investigasi secara tepat dapat mengarahkan program dalam upaya
penanggulangan. Oleh sebab itu penyajian data dalam bentuk tabel, grafik, dan area
map akan membantu analisis yang akan dilakukan.
Pengolahan data perilaku pada Wanita Pekerja Seks (WPSL dan WPSTL)
yang diperlukan untuk menilai risiko HIV contohnya adalah sebagai berikut:
2. Upaya pencegahan:
30
Frekuensi penggunaan kondom dalam 1 minggu terakhir.
· Nama lokasi
· Alamat lokasi, jalan, gang, dsb., dituliskan di belakang nama jalan/gang dan
diupayakan keseragaman dalam menuliskan jalan yang sama.
1. WPS L
- Lokalisasi/rumah bordil
31
- Jalan/taman/kuburan
- Warung “remang-remang”
- Hotel/motel/cottage
- Lainnya
2. WPS TL
- Panti pijat/salon/spa
- Karaoke/diskotik/cafe/bar/pub
- Lainnya
3. Waria
- Jalanan/pojok jalan/taman
- Bar/diskotik/pub/café
- Salon/spa
- Organisasi/tempat pertemuan
4. Penasun
- Lainnya
32
3.9 Manajemen Spesimen HIV/AIDS
33
3.9.2 Pemberian Nomor Spesimen Laboratorium
Penentuan kode spesimen mencakup semua informasi yang dibutuhkan untuk SSH,
yaitu: 2 digit kode provinsi, 2 digit kode kabupaten/kota, 2 digit kode populasi sentinel, dan 3
digit nomor urut, serta menjamin dilaksanakannya prinsip linked anonymous.
Untuk kode provinsi dan kode kabupaten/kota dapat menggunakan kode menurut
BPS. Contoh cara penulisannya sesuai petunjuk adalah sebagai berikut: Bila pewawancara
berada di Kota Surabaya, Jawa Timur, maka isikan kode provinsi 35 dan kode kota tersebut
78. Selanjutnya kode populasi sentinel diisi sesuai dengan yang sudah ditentukan, misalnya:
WPS L, maka untuk kode WPS diisi 01. Untuk nomor urut diisi dengan urutan responden
yang dikunjungi, misalnya: responden yang dikunjungi adalah responden yang pertama.
Contoh: 3 5 78 01 001
34
3.9.5 Penerimaan Sampel Serum di Laboratorium
Setibanya di laboratorium, lakukan serah terima spesimen dengan petugas
laboratorium (menggunakan Formulir SENTINEL 03 dan Formulir SENTINEL 04). Ketika
spesimen diserahterimakan di laboratorium, petugas laboratorium mengeluarkan rak dan
tabung dari cool box, kemudian mencocokkan kode spesimen dengan daftar yang ada di
Formulir SENTINEL 02, termasuk jumlah spesimen yang diterima, serta memeriksa kondisi
spesimen dan mencatatnya kedalam log book penerimaan spesimen. Kemudian, simpan
semua spesimen di rak tabung yang memenuhi persyaratan ke dalam refrigerator bersuhu
2-8°C.
35
Semua spesimen yang diterima, harus dilakukan pemeriksaan sesegera mungkin agar
hasil pemeriksaan dapat segera dikirim dan diterima di layanan yang ditunjuk tidak lebih dari
1 bulan. Untuk menjaga kerahasiaan, formulir hasil pemeriksaan tetap menggunakan kode
dan tidak mencantumkan nama, namun tetap dapat dihubungkan (linked anonymous).
Prinsip : lakukan pemeriksaan sesuai prosedur dalam kit insert reagen yang digunakan
Contoh :
1. Pemeriksaan dengan reagen pertama: SD Bioline HIV ½.3.0
Metode : Rapid Test
Bahan Pemeriksaan : Serum
Peralatan : Mikropipet adjustable ukuran 5 – 50 μl.
36
2. Pemeriksaan dengan reagensia kedua :
Metode : Rapid Test
Bahan Pemeriksaan : Serum
Peralatan : Mikropipet adjustable ukuran 5 – 50 μl.
3.9.8 Penyimpanan Spesimen Hasil Pemeriksaan Laboratorium
Setelah selesai melakukan pemeriksaan, semua sisa spesimen harus tetap
disimpan dalam rak tabung dengan rapi, lalu masukkan kedalam freezer bersuhu
-70°C atau -20°C (bagi laboratorium yang tidak memiliki suhu -70°C) sampai ada
pemberitahuan dari Kementerian Kesehatan RI bahwa spesimen sudah dapat
dimusnahkan.
• Pelatihan petugas kesehatan tentang risiko kerja, cara pencegahan infeksi, dan tata
cara Profilaksis Pasca Pajanan (PPP).
• Penyediaan alat pelindung, seperti: sarung tangan.
37
• Penyediaan wadah penampung limbah benda tajam.
• Menjaga agar beban kerja tidak terlalu berlebihan.
• Menjamin bahwa kewaspadaan universal diterapkan (misalnya: penggunaan
sarung tangan).
• Menjalankan tatalaksana yang aman, seperti: membuang jarum suntik tanpa
menutupnya kembali (dianjurkan), atau menutupnya dengan meletakkan tutup
jarum suntik di tepi meja dan memasukkan jarum kembali dengan satu tangan.
Setelah seluruh jarum tertutup, gunakan tangan yang lain untuk mengencangkan
tutupnya (tidak dianjurkan).
• Memberikan konseling pasca pajanan, pengobatan, tindak lanjut, dan perawatan.
• Menerapkan upaya untuk mengurangi stress, diskriminasi, dan kejenuhan.
3.9.10 Kendali Mutu
Keberhasilan kegiatan SSH sangat bergantung pada mutu pemeriksaan
laboratorium. Pemeriksaan darah di laboratorium yang dapat dipercaya, akan
menunjukan hasil yang sama meskipun tes dilakukan berulang kali. Penggunaan
reagen yang bermutu belum tentu menjamin kualitas hasil pemeriksaan laboratorium.
Terdapat 2 (dua) kesalahan yang dapat terjadi, yaitu: kesalahan teknis dan kesalahan
administratif dalam hal:
• Penerimaan spesimen
• Penyimpanan reagen
• Pemeriksaan laboratorium sendiri
• Pencatatan hasil
Oleh karena itu, diperlukan suatu proses pemantauan yang berkesinambungan,
baik dari dalam laboratorium sendiri (internal), maupun dari luar (eksternal). Proses
kendali mutu adalah proses yang dinamik dan berkesinambungan yang
memungkinkan tindakan perbaikan bila kriteria yang telah ditentukan tidak tercapai.
38
B. Jaminan Mutu Eksternal
3.10.1 Monitoring
1. Indikator Proses:
· Semua kegiatan yang tercantum pada petunjuk teknis harus dimasukkan kedalam
daftar tilik pada saat supervisi, dan menjadi indikator proses.
2. Indikator Output:
39
3.10.2 Evaluasi
Evaluasi program dilakukan pada akhir suatu kegiatan, akan tetapi karena SSH
merupakan kegiatan yang berkesinambungan, maka evaluasi diadakan pada setiap akhir tahun
anggaran, bersamaan dengan penyusunan rencana aksi tahun berikutnya. Evaluasi kegiatan
SSH dilakukan pada tahap input, proses pelaksanaan, dan output.
Evaluasi menyeluruh terhadap sistem surveilans ini meliputi 10 aspek evaluasi sistem,
yaitu:
1. Sensitivitas
40
• Penting untuk mendapatkan gambaran tren/kecenderungan dan besaran masalah
yang tepat.
• Ketepatan teknik skrining dan diagnostik, alat tes dan bahan reagensia, serta
instrumen pengumpulan data sangat mempengaruhi sensitivitas.
2. Ketepatan waktu
3. Keterwakilan (Representativeness)
• Kasus yang dilaporkan tidak berbeda dengan kasus yang tidak dilaporkan.
• Nilai prediksi positif yang tinggi merupakan indikator yang penting untuk
efisiensi.
5. Daya terima
41
6. Fleksibilitas
• Sistem yang lentur dan mudah diubah sesuai dengan perkembangan yang
relevan.
• Dalam ruang lingkup sistem surveilans nasional generasi kedua, aspek ini juga
penting untuk diperhatikan.
7. Kesederhanaan
8. Untung rugi
9. Penyebaran hasil
• Hasil disebar luaskan kepada Pemangku kepentingan, serta pihak yang tepat dan
berwenang dalam mengambil keputusan.
42
3.11 Diseminasi Informasi, Advokasi dan Alur Pelaporan
43
Advokasi kepada : Menjelaskan Untuk mendapatkan
kecenderungan dukungan
1. Bupati/Pemda kasus dan dana,politis,penggerak
permasalahan an masyarakat.
2. DPRD
program.
3. Camat
Dukungan yang
diharapkan
masing-masing
program
44
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan
45
DAFTAR PUSTAKA
DCP2 (2008). Public health surveillance. The best weapon to avert epidemics. Disease
Control Priority Project. www.dcp2.org/file/153/dcpp-surveillance.pdf, diakses
pada 7 Maret 2020 pukul 18.32.
JHU (=Johns Hopkins University) (2006). Disaster epidemiology. Baltimore, MD: The
Johns Hopkins and IFRC Public Health Guide for Emergencies.
Last, JM (2001). A dictionary of epidemiology. New York: Oxford University Press, Inc
46