Anda di halaman 1dari 47

MAKALAH SURVEILANS EPIDEMIOLOGI

SURVEILANS EPM HIV/AIDS

IKM B 2018

Disusun oleh Kelompok 1 :


Salma Aristawidya 101811133083
Ika Marta Nia 101811133088
Nely Sintia 101811133093
Rachma Wenidiyanti P 101811133108
Siti Nur Hidayah 101811133110
Salvany Zahra 101811133113
Milistia Kristi Prastika 101811133114
Alifiah Rizky Rosydah 101811133116
Nurazizzi Setya Nadia 101811133118
Lama’ah Azzahra’ 101811133131
Nabila Safira Khairina 101811133132
Shahira Putriprimarani 101811133156
Pawestri Pandu Negari 101811133161

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS AIRLANGGA

2020
DAFTAR ISI 1

BAB I PENDAHULUAN 3
1.1 Latar Belakang 3
1.2 Rumusan Masalah 4
1.3 Tujuan 4
1.3.1 Tujuan Umum 4
1.3.2 Tujuan Khusus 4
1.4 Manfaat 5
1.4.1 Manfaat pengetahuan 5
1.4.2 Manfaat untuk penelitian 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5


2.1 Definisi Surveilans 5
2.2 Definisi Surveilans Kesehatan Masyarakat 5
2.3 Skema Sistem Surveilans 6
2.4 Tujuan Surveilans 7
2.5 Manfaat Surveilans 8
2.6 Jenis Surveilans 8
2.7 Prinsip Surveilans Secara Umum 10
2.8 Pendekatan Surveilans 11

BAB III PEMBAHASAN 12


3.1 Latar Belakang Konsep Surveilans HIV di Jawa Timur 12
3.2 Epidemiologi Penyakit HIV 14
3.3 Tujuan Surveilans Sentinel HIV 17
3.4 Kebijakan dan Strategi Surveilans HIV 18
3.4.1 Kebijakan 18
3.4.2 Strategi 18
3.5 Kegiatan surveilans HIV 19
3.5.1 Pelaksanaan tingkat kabupaten/kota 19
3.5.2 pelaksanaan di tingkat provinsi 20
3.5.3 Surveilans epidemiologi hiv puskesmas 22
3.5.4 Surveilans epidemiologi di rumah sakit 23
3.6 KLB HIV dan Penanggulangannya 23
3.7 Penanggulangan KLB HIV/AIDS 27
3.8 Pengolahan Data dan Analisis Data 27
3.8.1 Pengolahan dan Analisis Data Rutin 28
3.8.2 Pengolahan dan Analisis Data Sentinel 31
3.9 Manajemen Spesimen HIV/AIDS 33
3.9.1 Pengambilan Spesimen 33

1
3.9.2 Pemberian Nomor Spesimen Laboratorium 34
3.9.3 Penyimpanan Spesimen (Selama di Lapangan) 35
3.9.4 Pengiriman Spesimen dari Lokasi Sentinel 35
3.9.5 Penerimaan Sampel Serum di Laboratorium 36
3.9.6 Pemeriksaan Spesimen dan Penyimpanan Setelah Pemeriksaan 36
3.9.7 Tahap-Tahap Pemeriksaan Anti-HIV 36
3.9.8 Penyimpanan Spesimen Hasil Pemeriksaan Laboratorium 38
3.9.9 Keamanan Biologis Surveilans Sentinel HIV (SSH) 38
3.9.10 Kendali Mutu 39
3.10 Monitoring dan Evaluasi 40
3.10.1 Monitoring 40
3.10.2 Evaluasi 41
3.11 Diseminasi Informasi, Advokasi dan Alur Pelaporan 44
3.11.1 Diseminasi Informasi dan Advokasi 44
3.11.2 Alur Pelaporan 45

BAB IV PENUTUP 46
4.1 Kesimpulan 46

DAFTAR PUSTAKA 47

2
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

HIV atau ​Human Immunodeficiency Virus merupakan salah satu penyakit menular yang
menyerang sistem kekebalan tubuh sehingga tubuh menjadi mudah lemah dan mudah
terserang penyakit infeksi. HIV dapat memasuki tahap AIDS (​Acquired Immune Deficiency
Syndrome)​ apabila tidak mendapatkan perawatan. Pada tahap ini tubuh akan mudah terserang
oleh beberapa infeksi dan kanker. Menurut Kemenkes (infodatin, 2018) Indonesia merupakan
negara urutan ke 5 sebagai paling berisiko HIV/AIDS di Asia.

Laporan kasus baru HIV meningkat setiap tahunnya sejak pertama kali dilaporkan pada
tahun 1987. lonjakan peningkatan paling banyak adalah pada tahun 2016 dibandingkan pada
tahun 2015, yaitu sebesar 10.315 kasus. Terdapat 5 provinsi dengan jumlah infeksi HIV
terbesar yaitu salah satunya Jawa Timur sebesar 8.204 kasus pada tahun 2017.

Tanda dan gejala segera setelah beberapa seseorang terinfeksi HIV akan merasakan flu
dengan gejala demam, sakit kepala, kelelahan dan ruam-ruam merah. Beberapa orang lainnya
juga tidak menunjukan gejala sehingga ada beberapa orang yang tidak tahu bahwa mereka
telah terinfeksi. Orang dengan HIV masih terlihat sehat, hal ini berisiko penularan ke orang
lain misalnya pasangannya.

HIV menular melalui darah, ada tiga cara utama penularannya, yaitu melakukan seks
yang tidak aman dengan penderita, transfusi darah dengan penderita, dan dari wanita kepada
anaknya. Berdasarkan jenis kelamin persentase pada tahun 2017 penderita HIV berjenis
kelamin laki-laki sebesar 62% dan perempuan sebesar 38%

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa itu konsep surveilans HIV di Jawa Timur?


2. Bagaimana Epidemiologi penyakit HIV?
3. Apa tujuan surveilans sentinel HIV?
4. Bagaimana kebijakan dan strategi surveilans HIV?
5. Bagaimana kegiatan surveilans HIV?
6. Apa itu KLB HIV dan cara penanggulangannya?

3
7. Apa itu pengolahan dan analisis data surveilans HIV?
8. Apa itu manajemen spesimen HIV/AIDS?
9. Apa itu monitoring dan evaluasi pada surveilans HIV?

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Makalah ini dibuat untuk menganalisis tentang epidemiologi penyakit menular


mengenai HIV yang ada di Indonesia khususnya provinsi Jawa Timur.

1.3.2 Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui konsep surveilans HIV.

b. Untuk mengetahui kebijakan dan strategi yang ada mengenai HIV.

c. Untuk mengetahui kegiatan-kegiatan surveilans HIV.

d. Untuk mengetahui KLB HIV dan cara penanggulangannya.

e. Untuk mengetahui cara pengolahan dan analisis data surveilans HIV.

f. Untuk mengetahui manajemen spesimen HIV/AIDS.

g. Untuk mengetahui proses monitoring dan evaluasi HIV.

1.4 Manfaat

1.4.1 Manfaat pengetahuan

Makalah ini diharapkan dapat menambah pengetahuan pembaca mengenai surveilans


HIV.

1.4.2 Manfaat untuk penelitian

Makalah ini diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan untuk penelitian


khususnya dalam epidemiologi penyakit menular HIV/AIDS.

4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Surveilans

Menurut WHO (2004), surveilans merupakan proses pengumpulan, pengolahan,


analisis dan interpretasi data secara sistemik dan terus menerus serta penyebaran
informasi kepada unit yang membutuhkan untuk dapat mengambil tindakan. Berdasarkan
definisi diatas dapat diketahui bahwa surveilans adalah suatu kegiatan pengamatan
penyakit yang dilakukan secara terus menerus dan sistematis terhadap kejadian dan
distribusi penyakit serta faktor-faktor yang mempengaruhinya pada masyarakat sehingga
dapat dilakukan penanggulangan untuk dapat mengambil tindakan efektif.

2.2​ ​Definisi Surveilans Kesehatan Masyarakat

Surveilans kesehatan masyarakat adalah pengumpulan, analisis, dan analisis data


secara terus- menerus dan sistematis yang kemudian didiseminasikan (disebarluaskan)
kepada pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam pencegahan penyakit dan masalah
kesehatan lainnya (DCP2, 2008). Surveilans memantau terus-menerus kejadian dan
kecenderungan penyakit, mendeteksi dan memprediksi outbreak pada populasi,
mengamati faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit, seperti
perubahan-perubahan biologis pada agen, vektor, dan reservoir. Selanjutnya surveilans
menghubungkan informasi tersebut kepada pembuat keputusan agar dapat dilakukan
langkah-langkah pencegahan dan pengendalian penyakit (Last, 2001).

Dapat disimpulkan bahwa surveilans kesehatan masyarakat adalah proses


pengumpulan data, analisis, dan diseminasi informasi yang dilakukan untuk menjadi
basis pengambilan keputusan dalam program-program kesehatan yang juga melakukan
kegiatan pencegahan dan pengendalian secara efektif.

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2014


pasal 4 ayat 1, lingkup surveilans epidemiologi penyakit menular merupakan analisis
terus menerus dan sistematika terhadap penyakit menular dan faktor risiko untuk upaya
pemberantasan penyakit menular. Sedangkan, surveilans epidemiologi penyakit tidak
menular merupakan analisis terus menerus dan sistematis terhadap penyakit tidak

5
menular dan faktor risiko untuk mendukung upaya pemberantasan penyakit tidak
menular.

2.3 Skema Sistem Surveilans

Surveilans memungkinkan pengambil keputusan untuk memimpin dan mengelola


dengan efektif. Surveilans kesehatan masyarakat memberikan informasi kewaspadaan
dini bagi pengambil keputusan dan manajer tentang masalah-masalah kesehatan yang
perlu diperhatikan pada suatu populasi. Surveilans kesehatan masyarakat merupakan
instrumen penting untuk mencegah outbreak penyakit dan mengembangkan respons
segera ketika penyakit mulai menyebar. Informasi dari surveilans juga penting bagi
kementerian kesehatan, kementerian keuangan, dan donor, untuk memonitor sejauh mana
populasi telah terlayani dengan baik (DCP2, 2008).

Surveilans berbeda dengan pemantauan (monitoring) biasa. Surveilans dilakukan


secara terus menerus tanpa terputus (kontinu), sedang pemantauan dilakukan intermiten
atau episodik. Dengan mengamati secara terus-menerus dan sistematis maka
perubahan-perubahan kecenderungan penyakit dan faktor yang mempengaruhinya dapat
diamati atau diantisipasi, sehingga dapat dilakukan langkah-langkah investigasi dan
pengendalian penyakit dengan tepat.

6
2.4 Tujuan Surveilans

Surveilans bertujuan memberikan informasi tepat waktu tentang masalah


kesehatan populasi, sehingga penyakit dan faktor risiko dapat dideteksi dini dan dapat
dilakukan respons pelayanan kesehatan dengan lebih efektif. Tujuan dari surveilans
kesehatan menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 45 Tahun 2014 yaitu:

1. Tersedianya informasi tentang situasi, kecenderungan penyakit, dan faktor


risikonya serta masalah kesehatan masyarakat dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya sebagai bahan pengambilan keputusan.

2. Terselenggaranya kewaspadaan dini terhadap kemungkinan terjadinya


KLB/Wabah dan dampaknya.

3. Terselenggaranya investigasi dan penanggulangan KLB/Wabah.

4. Dasar penyampaian informasi kesehatan kepada para pihak yang berkepentingan


sesuai dengan pertimbangan kesehatan.

Tujuan khusus surveilans menurut (Last, 2001; Giesecke, 2002; JHU, 2002) yaitu:

1. Memonitor kecenderungan (trends) penyakit

2. Mendeteksi perubahan mendadak insidensi penyakit, untuk mendeteksi dini


outbreak

3. Memantau kesehatan populasi, menaksir besarnya beban penyakit (disease


burden) pada populasi

4. Menentukan kebutuhan kesehatan prioritas, membantu perencanaan,


implementasi, monitoring, dan evaluasi program kesehatan

5. Mengevaluasi cakupan dan efektivitas program kesehatan

6. Mengidentifikasi kebutuhan riset

7
2.5 Manfaat Surveilans

1. Mengamati kecenderungan dan memperkirakan besar masalah


2. Mendeteksi serta memprediksi adanya KLB
3. Menentukan program penanggulangan wabah
4. Memperkirakan dampak program penanggulangan
5. Mengevaluasi program penanggulangan
6. Mempermudah perencanaan program pemberantasan penyakit
7. Mengamati kemajuan suatu program pencegahan dan pemberantasan suatu
penyakit.

2.6​ ​Jenis Surveilans

A. Penyelenggaraan berdasarkan metode pelaksanaan

1. Surveilans epidemiologi rutin terpadu, adalah penyelenggaraan surveilans epidemiologi


terhadap beberapa kejadian, permasalahan dan atau faktor resiko kesehatan.

2. Surveilans epidemiologi khusus, adalah penyelenggaraan surveilans epidemiologi


terhadap suatu kejadian, permasalahan , faktor resiko atau situasi khusus kesehatan

3. Surveilans sentinel, adalah penyelenggaraan surveilans epidemiologi pada populasi dan


wilayah terbatas untuk mendapatkan sinyal adanya masalah kesehatan pada suatu
populasi atau wilayah yang lebih luas.

4. Studi epidemiologi, adalah penyelenggaraan surveilans epidemiologi pada periode


tertentu serta populasi atau wilayah tertentu untuk mengetahui lebih mendalam gambaran
epidemiologi penyakit, permasalahan dan atau faktor risiko kesehatan.

B. Penyelenggaraan berdasarkan aktivitas pengumpulan data

1. Surveilans aktif, adalah penyelenggaraan surveilans epidemiologi dimana unit surveilans


mengumpulkan data dengan cara mendatangi unit pelayanan kesehatan, masyarakat atau
sumber data lainnya.

8
2. Surveilans pasif, adalah penyelenggaraan surveilans epidemiologi dimana unit surveilans
mengumpulkan data dengan cara menerima data tersebut dari unit pelayanan kesehatan,
masyarakat atau sumber data lainnya.

C. Penyelenggaraan berdasarkan pola pelaksanaan

1. Pola kedaruratan, adalah kegiatan surveilans yang mengacu pada ketentuan yang berlaku
untuk penanggulangan KLB dan atau wabah dan atau bencana

2. Pola selain kedaruratan, adalah kegiatan surveilans yang mengacu pada ketentuan yang
berlaku untuk keadaan di luar KLB dan atau wabah dan atau bencana.

D. Penyelenggaraan berdasarkan kualitas pemeriksaan

1. Bukti klinis atau tanpa peralatan pemeriksaan, adalah kegiatan surveilans dimana data
diperoleh berdasarkan pemeriksaan klinis atau tidak menggunakan peralatan pendukung
pemeriksaan.

2. Bukti laboratorium atau dengan peralatan khusus, adalah kegiatan surveilans dimana data
diperoleh berdasarkan pemeriksaan laboratorium atau peralatan pendukung pemeriksaan
lainnya.

2.7​ ​Prinsip Surveilans Secara Umum

Prinsip umum surveilans epidemiologi adalah sebagai berikut (Eko Budiarto, 2003) :

1. Pengumpulan data Pencatatan insidensi terhadap population at risk

· Pencatatan insidensi berdasarkan laporan rumah sakit, puskesmas, dan


sarana pelayanan kesehatan lain, laporan petugas surveilans di lapangan,
laporan masyarakat, dan petugas kesehatan lain

· Survei khusus

· Pencatatan jumlah populasi berisiko terhadap penyakit yang sedang


diamati. Teknik pengumpulan data dapat dilakukan dengan wawancara dan

9
pemeriksaan. Tujuan pengumpulan data adalah menentukan kelompok high
risk.

· Menentukan jenis dan karakteristik (penyebabnya)

· Menentukan reservoir

· Transmisi

· Pencatatan kejadian penyakit dan KLB

2. Pengelolaan data

Data yang diperoleh biasanya masih dalam bentuk data mentah (row data) yang
masih perlu disusun sedemikian rupa sehingga mudah dianalisis. Data yang
terkumpul dapat diolah dalam bentuk tabel, bentuk grafik maupun bentuk peta atau
bentuk lainnya. Kompilasi data tersebut harus dapat memberikan keterangan yang
berarti.

3. Analisis dan interpretasi data untuk keperluan kegiatan

Data yang telah disusun dan dikompilasi, selanjutnya dianalisis dan dilakukan
interpretasi untuk memberikan arti dan memberikan kejelasan tentang situasi yang
ada dalam masyarakat.

4. Penyebarluasan data dan keterangan termasuk umpan balik

Setelah analisis dan interpretasi data serta telah memiliki keterangan yang cukup
jelas dan sudah disimpulkan dalam suatu kesimpulan, selanjutnya dapat
disebarluaskan kepada semua pihak yang berkepentingan, agar informasi ini dapat
dimanfaatkan sebagaimana mestinya.

5. Evaluasi

Hasil evaluasi terhadap data sistem surveilans selanjutnya dapat digunakan untuk
perencanaan, penanggulangan khusus serta program pelaksanaannya, untuk kegiatan
tindak lanjut (follow up), untuk melakukan koreksi dan perbaikan-perbaikan

10
program dan pelaksanaan program, serta untuk kepentingan evaluasi maupun
penilaian hasil kegiatan.

2.8​ ​Pendekatan Surveilans

Pendekatan surveilans dapat dibagi menjadi dua jenis: (1) Surveilans pasif; (2)
Surveilans aktif (Gordis, 2000).Surveilans pasif memantau penyakit secara pasif, dengan
menggunakan data penyakit yang harus dilaporkan (reportable diseases) yang tersedia di
fasilitas pelayanan kesehatan. Kelebihan surveilans pasif, relatif murah dan mudah untuk
dilakukan. Negara-negara anggota WHO diwajibkan melaporkan sejumlah penyakit infeksi
yang harus dilaporkan, sehingga dengan surveilans pasif dapat dilakukan analisis
perbandingan penyakit internasional. Kekurangan surveilans pasif adalah kurang sensitif
dalam mendeteksi kecenderungan penyakit.

Surveilans aktif menggunakan petugas khusus surveilans untuk kunjungan


berkala ke lapangan, desa-desa, tempat praktek pribadi dokter dan tenaga medis lainnya,
puskesmas, klinik, dan rumah sakit, dengan tujuan mengidentifikasi kasus baru penyakit atau
kematian, disebut penemuan kasus (case finding), dan konfirmasi laporan kasus indeks.
Kelebihan surveilans aktif, lebih akurat daripada surveilans pasif, sebab dilakukan oleh
petugas yang memang dipekerjakan untuk menjalankan tanggung jawab itu. Selain itu,
surveilans aktif dapat mengidentifikasi outbreak lokal. Kelemahan surveilans aktif, lebih
mahal dan lebih sulit untuk dilakukan daripada surveilans pasif.

11
BAB III PEMBAHASAN

3.1 Latar Belakang Konsep Surveilans HIV di Jawa Timur

Jawa Timur yang dapat digolongkan sebagai daerah yang perkembangan transportasi
interinsuler dan internasional nya sangat cepat, maka memungkinkan jika HIV/AIDS/PMS
meningkat terus. Berdasarkan waktu, maka nampak sekali pesatnya peningkatan jumlah
penderita HIV/AIDS di Jawa Timur dari waktu ke waktu. Kalau tahun 1989 hanya 1 orang
penderita yang dilaporkan maka mulai tahun 1999 meningkat tajam sekali dari tahun ke tahun
dan jumlahnya terus bertambah hingga Desember 2017. Penambahan kasus AIDS dari tahun
ke tahun sebagian besar berasal dari faktor seksual. Sampai Desember 2016 berdasarkan
faktor risiko penularan secara seksual berdasarkan kasus AIDS sebesar 80,22%.

Ditinjau dari cara penularan pada kasus AIDS dari data laporan Surveilans nampak
bahwa, faktor risiko yang tertinggi adalah heteroseksual 926 (83,4%) kasus, kemudian
penggunaan narkoba suntik (Penasun) 91 (8,2%) kasus dan Perinatal sebanyak 53 (4,8%).

Menurut laporan direktorat jenderal pencegahan dan pengendalian penyakit


Kemenkes pada tahun 2017 ada beberapa kendala yang dihadapi dalam hal penanggulangan
HIV/AIDS antara lain: jumlah kasus HIV yang ditemukan dan dilaporkan masih jauh dari
yang diperkirakan, belum semua penderita HIV mendapat terapi ARV, masih tinggi angka
putus obat ARV, belum semua fasilitas pelayanan kesehatan melakukan layanan perawatan,
dukungan dan pengobatan HIV, belum semua Ibu hamil yang terdiagnosa HIV mendapat
pengobatan, stigma masyarakat terhadap penderita HIV/AIDS masih tinggi. Sehingga, peran
surveilans sangat penting karena dapat menentukan cara pencegahan dan penanggulangan
HIV melalui analisa data dan rekomendasi yang diberikan kepada pihak yang berwenang.

Surveilans Sentinel HIV (SSH) adalah suatu cara pengamatan terhadap epidemi HIV
melalui pengumpulan data HIV dan juga melalui pemeriksaan serum darah. Surveilans
Sentinel HIV ini merupakan salah satu komponen utama dalam surveilans HIV generasi
kedua di Indonesia. surveilans ini menggunakan suatu cara dengan pengamatan melalui
proses pengumpulan dan analisis data untuk melacak perjalanan epidemic HIV dengan

12
mengidentifikasi pada populasi apakah infeksi baru dapat muncul dan dengan menilai beban
masalah kesehatan akibat epidemi pada saat ini.

Pelaksanaan kegiatan surveilans sentinel HIV ini dilakukan oleh Surveilans Sentinel
HIV tingkat pusat, dan berada di bawah tanggungjawab Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan lingkungan (Ditjen PP dan PL). Meskipun kegiatan surveilans HIV
ini berada dalam kewenangan pemerintah pusat, namun, upaya penanggulangan dan
pemanfaatan data lainnya dapat dilakukan bersama dengan pemerintah daerah. Kegiatan
surveilans ini dilakukan karena masih banyaknya tingkat HIV

Data dan informasi yang dihasilkan dari kegiatan Surveilans Sentinel HIV dapat
dimanfaatkan sebagai dasar untuk melakukan estimasi jumlah orang yang telah terinfeksi
HIV dan berapa yang akan menjadi kasus HIV stadium lanjut di masa mendatang. Selain
itu, hasil analisis surveilans sentinel ini dapat digunakan untuk melakukan perencanaan dan
evaluasi upaya penanggulangan HIV/AIDS oleh pemangku kebijakan, petugas kesehatan
maupun pihak terkait lainnya di wilayah kerja masing-masing.

3.2 Epidemiologi Penyakit HIV

Kasus AIDS pertama kali di Jawa Timur ditemukan tahun 1989 di sebuah rumah sakit
swasta. Sampai dengan Desember 2016, jumlah kasus AIDS yang dilaporkan adalah 17.394
orang, dan 36.881 kasus HIV. Dari jumlah tersebut 3.679 (21,1%) diantaranya meninggal
dunia. Angka tersebut sesungguhnya jauh lebih kecil dibandingkan angka yang sebenarnya
terjadi, dan dari hasil estimasi sampai dengan tahun 2012 diperkirakan jumlah ODHA di
Jawa Timur mencapai 57.321 orang. Dan sejak September 2003, Provinsi Jawa Timur
ditetapkan sebagai wilayah dengan prevalensi HIV yang terkonsentrasi bersama 5 (lima)
provinsi lainnya, yaitu DKI Jakarta, Papua, Bali, Riau dan Jawa Barat.

Berdasarkan jenis kelamin, kasus AIDS pada tahun 2017 didominasi kelompok
laki-laki sebesar 500 (67,5%) dan wanita sebesar 241 kasus (32,5%). Namun proporsi
perempuan cenderung mengalami peningkatan secara tajam dari tahun ke tahun. Dan dari
segi kelompok umur, maka kasus AIDS didominasi oleh kelompok umur seksual aktif, yang
tertinggi adalah kelompok usia 25-49 tahun sebanyak 506 (68,2%) kasus. Disamping itu

13
kasus HIV sudah ada yang manifestasi menjadi AIDS di kalangan anak-anak (0-14 tahun)
sebanyak 22 anak.

Virus HIV akan menyerang Limfosit T yang mempunyai marker permukaan seperti
sel CD4+, yaitu sel yang membantu mengaktivasi sel B, killer cell, dan makrofag saat
terdapat antigen target khusus. Sel CD4+ adalah reseptor pada limfosit T yang menjadi target
utama HIV. HIV menyerang CD4+baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara
langsung, sampul HIV yang mempunyai efek toksik akan menghambat fungsi sel T. secara
tidak langsung, lapisan luar protein HIV yang disebut sampul gp120 dan anti p24 berinteraksi
dengan CD4+ yang kemudian akan menghambat aktivasi sel yang mempresentasikan antigen.
Setelah HIV menginfeksi seseorang, kemudian dimulailah infeksi HIV asimtomatik yaitu
masa tanpa gejala. Dalam masa ini terjadi penurunan CD4+ secara bertahap. Mula - mula
penurunan jumlah CD4+ sekitar 30-60 sel/tahun, tetapi pada 2 tahun berikutnya penurunan
menjadi cepat, 50-100 sel/tahun, sehingga tanpa pengobatan, rata-rata masa dari infeksi HIV
menjadi AIDS adalah 8-10 tahun, dimana jumlah CD4+akan mencapai < 200 sel/mm3.

Seorang dengan HIV/AIDS (ODHA) maka partikel virus yang ada didalam tubuhnya
akan bergabung dengan DNA sel, sehingga sekali dia terinfeksi HIV maka seumur hidup ia
akan tetap terinfeksi. Pada 3 tahun pertama, akan ada sebagian yang sudah berkembang
masuk ke tahap AIDS, dan setelah 10 tahun, 50% akan berkembang menjadi penderita AIDS
dan setelah 13 tahun, hampir semua orang yang terinfeksi HIV akan menunjukkan gejala
AIDS, dan kemudian meninggal. Perjalanan penyakit itu menunjukkan gambaran penyakit
yang kronis, sesuai dengan perusakan sistem kekebalan tubuh yang juga bertahap.

Pendekatan dan pelaksanaan surveilans HIV ditentukan oleh perkembangan dan


tingkat epidemi HIV. Menurut WHO, secara fase epidemiologis, perkembangan dan tingkat
epidemi HIV di seluruh dunia dapat dibagi menjadi 3 fase, dimana setiap fasenya memiliki
fokus kegiatan surveilans.

Ketiga fase epidemic dan kebutuhan surveilans dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Fase awal – epidemic derajat/tingkat rendah (Low level epidemic)

Ciri-ciri :

14
1) HIV baru saja dikenal

2) HIV belum menyebar secara bermakna kepada sub-populasi tertentu,


seperti WPS (Wanita Pekerja Seks), pengguna napza suntik, dll. Umumnya
prevalensi HIV di populasi yang memiliki perilaku berisiko tinggi untuk
lebih mudah terpapar/terinfeksi HIV masih di bawah 5%

3) Penyebaran HIV berjalan lambat karena rendahnya tingkat kontak


penularan yang berulang

4) Pada fase ini dibutuhkan aktivitas surveilans yang difokuskan pada


populasi yang memiliki perilaku risiko tinggi untuk terpapar HIV

2. Fase menengah-epidemi terkonsentrasi (contracted epidemic)

Ciri-ciri :

1) Penularan HIV terjadi dengan cepat dan mulai mengakar pada populasi
beresiko tinggi tertentu, seperti WPS, waria LSL, dll.

2) Prevalensi HIV di salah satu populasi yang beresiko tinggi secara


konsisten selalu diatas 85%

3) Penularan HIV jarang terjadi diluar lingkaran jejaring populasi beresiko


tinggi dan pasangan tetap mereka

4) Besarnya populasi yang beresiko dan tingkat perilaku berisiko menentukan


seberapa cepat tumbuhnya infeksi baru (incidence) HIV. Sebagian besar
kasus infeksi baru HIV pada populasi umum terkait dengan kontak seksual
dengan WPS (Wanita Pekerja Seks) dan LSL (Laki-laki Seks dengan
Laki-laki), serta jarum suntik yang tidak steril di kalangan pemakai
narkoba suntik. Penularan yang tercepat adalah melalui napza suntik atau
kontak seks (baik vaginal maupun anal) yang tidak aman

5) Pada fase ini aktivitas surveilans masih difokuskan dan diperkuat pada
populasi yang berisiko tinggi. Namun, disamping itu, surveilans pada

15
populasi/masyarakat umum dapat mulai dilakukan, khususnya pada
wilayah perkotaan.

3. Fase lanjut-epidemi yang meluas (generalized/extended epidemic) :

Ciri-ciri :

1) Penularan HIV stabil di populasi umum

2) Tingkat frekuensi kontak seksual dengan mitra seks ganda dikalangan


populasi umum cukup tinggi, sehingga laju epidemic dapat bertahan di
populasi umum

3) Risiko penularan HIV pada populasi umum cukup tinggi (di luar konteks
perilaku seksual komersial, penggunaan napza suntik, maupun konteks
seksual laki-laki dengan laki-laki).

4) Populasi yang berisiko tinggi dapat menyumbangkan lebih banyak lagi


kasus infeksi baru HIV, walaupun populasi yang berisiko tinggi itu
berjumlah sedikit

5) Yang menjadi indikasi pada fase ini adalah prevalensi HIV di kalangan ibu
hamil pengunjung klinik KIA di wilayah perkotaan, secara konsisten selalu
berada diatas 1%

6) Pada fase ini, aktivitas surveilans pada populasi yang berisiko tinggi masih
dilanjutkan, namun lebih difokuskan pada surveilans rutin di
populasi/masyarakat umum.

3.3​ ​Tujuan Surveilans Sentinel HIV

Tujuan Surveilans Sentinel HIV


adalah:

1) Memperkirakan laju epidemi dan kecenderungan infeksi HIV di suatu


wilayah.

2) Memantau seroprevalensi HIV pada sub-populasi tertentu.

16
3) Memantau kecenderungan prevalensi infeksi HIV berdasarkan tempat
dan waktu.

4) Menyediakan data untuk estimasi dan proyeksi kasus HIV dan AIDS di
Indonesia.

Selain butir-butir di atas, tujuan SSH adalah untuk menyediakan data dan informasi bagi
pengambil keputusan dalam pengendalian HIV/AIDS sebagai dasar untuk:

1. Menentukan target dan prioritas program pencegahan dan pengobatan.


2. Advokasi kepada pihak terkait.
3. Monitoring dan evaluasi program pencegahan dan pengobatan.
4. Menyelaraskan program pencegahan dengan perencanaan pelayanan
kesehatan

3.4 Kebijakan dan Strategi Surveilans HIV

3.4.1 Kebijakan

Pemerintah Indonesia selalu berusaha menekan angka penyebaran HIV, salah satunya
dengan melalui kegiatan surveilans. Hal ini terdapat dalam Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 45 tahun 2014 tentang penyelenggaraan surveilans kesehatan.
Surveilans yang pertama dirasa kurang mampu menangkap keberagaman dan menjelaskan
perubahan pada status epidemi maka dibuatlah surveilans generasi kedua untuk memperkuat
kemampuan menjelaskan epidemi (kasus baru). Surveilans generasi kedua merupakan suatu
cara pengamatan melalui proses pengumpulan dan analisis data untuk melacak perjalanan
epidemi HIV dengan mengidentifikasi dimana (pada populasi apa) infeksi baru kemungkinan
besar akan muncul dan dengan menilai beban masalah kesehatan akibat epidemi pada saat ini.
Metode surveilans generasi kedua mencakup survei untuk memperkirakan besarnya populasi
kunci (orang yang beresiko terkena HIV) yang memiliki risiko biologis dan perilaku yang
tinggi, surveilans berbasis fasilitas kesehatan, dan pelaporan dan monitoring data yang rutin.

3.4.2 Strategi

1. Meningkatkan penemuan kasus HIV secara dini :

17
a. Daerah dengan epidemi meluas seperti Papua dan Papua Barat, penawaran tes HIV
perlu dilakukan kepada semua pasien yang datang ke pelayanan kesehatan baik rawat
jalan atau rawat inap serta semua populasi kunci setiap 6 bulan sekali.
b. Daerah dengan epidemi terkonsentrasi maka penawaran tes HIV rutin dilakukan pada
ibu hamil, pasien TB, pasien hepatitis, warga binaan pemasyarakatan (WBP), pasien
IMS, pasangan tetap ataupun tidak tetap ODHA dan populasi kunci seperti WPS,
waria, LSL dan penasun.
c. Kabupaten/kota dapat menetapkan situasi epidemi di daerahnya dan melakukan
intervensi sesuai penetapan tersebut, melakukan monitoring & evaluasi serta
surveilans berkala.
d. Memperluas akses layanan KT HIV dengan cara menjadikan tes HIV sebagai standar
pelayanan di seluruh fasilitas kesehatan (FASKES) pemerintah sesuai status epidemi
dari tiap kabupaten/kota.
e. Dalam hal tidak ada tenaga medis dan/atau teknisi laboratorium yang terlatih, maka
bidan atau perawat terlatih dapat melakukan tes HIV.
f. Memperluas dan melakukan pelayanan KTHIV sampai ke tingkat Puskesmas.
g. Bekerja sama dengan populasi kunci, komunitas dan masyarakat umum untuk
meningkatkan kegiatan penjangkauan dan memberikan edukasi tentang manfaat tes
HIV dan terapi ARV.
h. Bekerja sama dengan komunitas untuk meningkatkan upaya pencegahan melalui
layanan PIMS dan PTRM

3.5​ ​Kegiatan surveilans HIV

3.5.1 Pelaksanaan tingkat kabupaten/kota

1. Pengumpulan data

Data kasus hiv diperoleh melalui laporan laboratorium. Laporan balai laboratorium
kesehatan akan dikirimkan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/kota, laporan hasil
pemeriksaan HIV dan sifilis dikirim dengan memakai formulir HIV-2. Kemudian Kepada
Dinas Kesehatan kabupaten/kota mengirimkan laporan tersebut daru kepada Kepala Dinas
Kesehatan Provinsi.

18
2. Kompilasi Data

Semua data dikumpulkan dari lapangan (dari masing masing sub-populasi sentinel)
diolah dengan menggunakkan SSHIV oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/kota dan provinsi.

3. analisis data

Di kabupaten/Kota dan Provinsi pengelola program PMS dan HIV/AIDS melakukan


analisis sederhana untuk bias menunjukkan tren/kecenderungan prevalensi HIV di setiap
sub-populasi. Sentinel menurut waktu dan tempat dengan menggunakkan grafik sederhana.

4. interpretasi data

Data surveilans sentinel HIV diinterpretasikan untuk menilai seberapa cepat


peningkatan atau penurunan prevalensi HIV pada berbagai sub-populasi sasaran di daerah
masing masing (populasi sentinel)

5. umpan balik data

Direktorat P2ML Subdit AIDS & PMS akan memantau pelaporan pelaksanaan
kegiatan surveilans HIV di seluruh wilayah yang melaksanakan kegiatan surveilans sentinel
HIV. Kemudian akan dibuat laporan singkat hasil surveilans sentinel. Kemudian laporan akan
dikirimkan kepada semua pihak baik di tingkat nasional maupun tingkat
Kabupaten/kota/provinsi. Dinas kesehatan Provinsi juga membuat laporan yang berasal dari
Dinas Kabupaten/Kota setempat, dan mengirimkan kepada pihak yang terkait di provinsi
tersebut.

6. Monitoring

Merupakan pengawasan rutin terhadap informasi dari kegiatan surveilans sentinel


yang sedang dilaksanakan dan hasil hasil program yang harus dicapai.

7. evaluasi

Kegiatan surveilans sentinel dilakukan pada tahap input, proses pelaksanaan dan
output.

19
3.5.2 pelaksanaan di tingkat provinsi

1. pengumpulan data
Surveilans serologi HIV kurang bermanfaat pada situasi dimana
tingkat epidemi HIV masih sangat rendah, Angka HIV yang rendah berate
populasi dan sampel yang diambil tidak berperilaku resiko tinggi karena
keberhasilan program, sampai pada tingkat yang memadai untuk terdeteksi
dengan mudah. Dengan adanya dasar perilaku yang terdokumentasi, maka
data akan dipakai untuk perencanaan program penurunan resiko pada saat
penyebaran belum luas.

Dalam upaya mengumpulkan data dan informasi perilaku


kelompok-kelompok beresiko, Badan Pusat Statistik (BPS) selaku lembaga yang
diberikan wewenang dalam mengelola statistic pada tahun 200/2003 telah
mendapatkan kepercayaan dari Departemen Kesehatan, Direktorat Jenderal
Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (PPM & PL),
untuk melakukan survei surveilans perilaku atas biaya USAID dengan Family
Health International Dalam program Aksi Stop AIDS.
2. Surveilans generasi ke 2
Dengan tujuan untuk memantau tre dari waktu ke waktu berdasarkan prinsip
surveilans kasus AIDS yang dikombinasi dengan surveilans IMS dan surveilans
perilaku beresiko, sehingga bermanfaat untuk pengembangan intervensi atas
evaluasi dampak dari program yang dijalankan. Data surveilans IMS harus secara
aktif digunakan untuk memperbaiki mutu dan efektivitas pelaksanaan program
pencegahan IMS dan HIV serta program kesehatan reproduksi.
3. Pelaporan kasus
Hasil pengumpulan data dianalisis secara rutin untuk memantau jumlah kasus
secara keseluruhan menurut variable wilayah, jenis kelamin, kelompok umur,
jenis pelayanan, dan tempat pelaporan.
Data minimal yang diperlukan dalam pemantauan prevalesnadalah nomor sampel,
lokasi survey, tanggal pengumpulan spesimen, jenis kelamin, dan umur.
4. Penentuan dan pemantauan prevalensi

20
Berguna untuk perencanaan, manajemen, dan evaluasi program, karena
data ini dapat mengidentifikasi dua sub populasi tertentu yang berisiko tertular
5. penentuan etiologi dan surveilans resistensi antibiotika
Data ini bermanfaat untuk mendukung rekomendasi bagi pengobatan
dan untuk memberikan konseling pada beberapa suspek penderita. Kemudian
tujuan pemantauan resistensi antibiotika terhadap neisseria gonorrhea adalah
untuk pengobatan dan mendeteksi resistensi yang baru muncul.

6. Umpan balik dan penyebarluasan informasi

Sasaran: Kabupaten/Kota

Data hasil surveilans dilakukan penyebarluasan informasi kepada pihak terkait


sebagai acuan dalam menentukan target dan melakukan evaluasi terhadap
penanggulangan HIV.

3.5.3 Surveilans epidemiologi hiv puskesmas

A. P2 PMS

PMS (Penyakit Menular Seksual) merupakan penyakit yang dapat

ditularkan melalui hubungan seksual yang berisiko. Beberapa target yang

ditetapkan adalah penemuan penderita dengan keluhan sakit pada organ genital

serta pengobatan dan konseling. Adapun kegiatan yang dilaksanakan program P2

PMS di Puskesmas yaitu:

a. Perencanaan berisikan kegiatan menganalisis data dan identifikasi masalah yang


digunakan untuk menyusun rencana kegiatan oleh petugas P2 PMS. Kegiatan ini
dilaksanakan pada bulan Januari dengan sasaran adalah semua kegiatan P2 PMS.
b. Penemuan penderita melalui anamnesa, pemeriksaan fisik, pengambilan spesimen,
serta pemeriksaan laboratorium oleh dokter, paramedis, dan petugas laboratorium.
Sasarannya adalah masyarakat.

21
c. Pengobatan penderita dilakukan dengan memberikan pengobatan yang tepat pada
semua penderita IMS serta penanganan HIV/AIDS yang bertujuan menurunkan angka
insiden HIV/AIDS. Kegiatan ini dilaksanakan oleh dokter dan paramedis dengan
sasaran penderita.
d. Penyuluhan atau konseling dilaksanakan oleh dokter, petugas P2 PMS, dan promkes.
Sasarannya adalah penderita untuk berkonsultasi dan pemberian penyuluhan.
e. Pencatatan , pelaporan, dan monev meliputi dokumentasi semua kegiatan pada
register, rekapitulasi, pengolahan data, analisis data, evaluasi, dan pelaporan oleh
petugas P2 PMS. Sasarannya adalah semua kegiatan P2 PMS.

3.5.4 Surveilans epidemiologi di rumah sakit

Saat ini penderita penyakit menular yang dirawat d rumah sakit jumlahnya masih
cukup besar. Suatu keadaan khusus dimana faktor lingkungan, secara bermakna dapat
mendukung terjadinya risiko mendapatkan penyakit infeksi, sehingga teknik surveilans
termasuk kontrol penyakit pada rumah sakit rujukan pada tingkat provinsi dan regional
memerlukan perlakuan tersendiri. Pada rumah sakit tersebut, terdapat beberapa penularan
penyakit dan dapat menimbulkan infeksi nosokomial. Selain itu, rumah sakit mungkin dapat
menjadi tempat berkembangbiaknya serta tumbuh suburnya berbagai jenis mikro-organisme.
Untuk mengatasi masalah penularan penyakit infeksi di rumah sakit maka telah
dikembangkan sistem surveilans epidemiologi yang khusus dan cukup efektif untuk
menanggulangi kemungkinan terjadinya penularan penyakit (dikenal dengan infeksi
nosokomial) di dalam lingkungan rumah sakit

3.6​ ​KLB HIV dan Penanggulangannya

1.​ ​Definisi

Dapat dikatakan KLB HIV apabila dilihat dari jumlah kasus HIV/AIDS dari tahun ke
tahun mengalami kenaikan yang signifikan. Sebagian penduduk yang merupakan kelompok
seksual aktif yang paling beresiko terhadap penularan HIV/AIDS dan juga termasuk tempat
rawan terhadap penyebaran HIV/AIDS.

2.​ ​Penyelidikan KLB HIV/AIDS

22
Penyelidikan KLB HIV bertujuan untuk mengetahui besar masalah KLB dan
gambaran epidemiologi KLB berdasarkan waktu kejadian, umur, status imunisasi penderita,
wilayah terjangkit maupun faktor risiko terjadinya KLB.

i. Tujuan Penyelidikan KLB

a. Mengetahui penyebab terjadinya KLB, luas wilayah yang terjangkit, dan


mencegah penyebaran yang lebih luas.

b. Mengetahui karakteristik epidemiologi KLB menurut umur, waktu, tempat


dan status imunisasi, status gizi, serta risiko kematiannya.

c. Mengkaji pelaksanaan imunisasi yang meliputi cakupan, rantai dingin, dan


manajemen imunisasi.

d. Mengidentifikasi populasi dan desa risiko tinggi untuk mengevaluasi dan


merumuskan strategi program penanggulangan yang tepat.

e. Memperkirakan terjadinya KLB yang akan datang untuk segera diambil


tindakan.

ii. Langkah-langkah Penyelidikan

a. Konfirmasi Awal KLB

Petunjuk surveilans puskesmas atau penanggung jawab surveilans


melakukan konfirmasi awal untuk memastikan terjadinya KLB HIV dengan
cara review register puskesmas serta wawancara dengan petugas puskesmas
lainnya dan beberapa pengunjung puskesmas. Lalu, mengirimkan laporan
segera ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota apabila benar terjadi KLB.

b. Persiapan Penyelidikan

1) Persiapan lapangan, menginformasikan adanya KLB HIV kepada


masyarakat, tokoh masyarakat, dll

23
2) Persiapan formulir penyelidikan

3) Persiapan tim penyelidikan

4) Persiapan obat-obatan

5) Persiapan pengambilan spesimen

c. Penyelidikan Epidemiologi

1) Identifikasi Kasus

Melakukan kunjungan ke tempat dimana kasus dirawat termasuk


dokter/petugas medis yang melakukan perawatan.

2) Mengumpulkan Informasi Faktor Risiko

Informasi faktor risiko dikumpulkan agar dapat diketahui penyebab


terjadinya KLB yang meliputi:
· Riwayat
· Perjalanan ke daerah terjangkit
· Kontak dengan kasus HIV/AIDS
· Identifikasi kelompok seksual aktif
· Informasi rinci tentang waktu, durasi, dan intensitas pajanan
dan jenis kontak
d. Identifikasi kontak kasus dengan menggunakan formulir yang telah
disiapkan sebelumnya.
a) Selama penyelidikan, petugas di lapangan melakukan
identifikasi siapa saja yang telah melakukan kontak erat dengan
kasus yang sedang diselidiki.
b) Pelacakan dilakukan terutama di lingkungan sarana pelayanan
Kesehatan, anggota keluarga/ rumah tangga, tempat kerja,
sekolah, dan lingkungan sosial. Disamping itu perlu
diidentifikasi juga:
· Waktu kontak terakhir

24
· Bentuk/ jenis kontak
· Lama (durasi) kontak
· Frekuensi kontak
c) Tatalaksana Kasus
Tatalaksana kasus di lapangan dilakukan oleh tim investigasi
yang meliputi:
A. Identifikasi kelompok berisiko HIV/AIDS dengan tanda
dan gejala klinis curiga AIDS
· Kehilangan BB hingga >10% dari BB dasar
· Demam yang lebih dari satu bulan
· Diare yang lebih dari satu bulan
· Limfadenopati meluas
· PPE dan kulit kering yang luas
· Gangguan pernafasan
· Terjadi gangguan neurologis
B. Edukasi pada kelompok yang tidak beresiko HIV/AIDS
· Pencegahan bagi yang belum menikah dianjurkan
untuk tidak melakukan hubungan seksual
· Pencegahan dapat dilakukan dengan saling setia
pada pasangan yang tidak terjangkit HIV
· Pencegahan dapat dilakukan dengan
menggunakan kondom pada saat melakukan sexs
yang beresiko
· Pencegahan dapat dilakukan dengan menghindari
penggunaan jarum secara bergantian dan tidak steril
e. Penanggulangan awal
Melakukan terapi ARV yang bertujuan untuk menurunkan jumlah
virus dalam darah sampai tidak terdeteksi dan mempertahankannya,
memperbaiki kualitas hidup, mengurangi transmisi pada yang lain.
f. Pengolahan dan Analisa Data
Setiap selesai melakukan penyelidikan KLB dilakukan pengolahan dan
analisa data untuk mengambil kesimpulan dan rekomendasi tindak lanjut.

25
g. Penulisan Laporan
Setelah selesai melakukan penyelidikan KLB maka membuat laporan
tertulis tentang hasil investigasi dan perkembangan KLB yang mencakup:
· Latar belakang
· Metodologi
· Analisis kasus HIV/AIDS
· Upaya yang sudah dilakukan
· ​Outbreak response​ bila ada
· Kesimpulan dan rekomendasi

3.7​ ​Penanggulangan KLB HIV/AIDS

Penanggulangan KLB HIV/AIDS didasarkan analisis dan rekomendasi hasil penyelidikan


KLB, dilakukan sesegera mungkin untuk meminimalisasi jumlah penderita.

1. Tujuan Penanggulangan KLB


· Menurunkan frekuensi kasus dengan cara mempercepat pemutusan rantai
penularan.
· Mencegah komplikasi dan kematian.
· Mencegah penularan KLB ke wilayah lain.
· Memperpendek periode KLB.

2. Langkah-langkah Penanggulangan

Penyuluhan yang dapat dilakukan untuk menanggulangi terjadinya KLB HIV/AIDS


yaitu dengan cara memberikan penyuluhan terkait:
· Pencegahan bagi yang belum menikah dianjurkan untuk tidak melakukan
hubungan seksual
· Pencegahan dapat dilakukan dengan saling setia pada pasangan yang tidak
terjangkit HIV
· Pencegahan dapat dilakukan dengan menggunakan kondom pada saat
melakukan sexs yang beresiko
· Pencegahan dapat dilakukan dengan menghindari penggunaan jarum
secara bergantian dan tidak steril

26
3.8​ ​Pengolahan Data dan Analisis Data

Ada beberapa komponen yang harus diperhatikan dalam melakukan analisis data, yaitu :

1. WHO (person): orang yang terserang dapat didasarkan kepada kelompok umur,
jenis kelamin, status imunisasi, atau status gizi penderita HIV/AIDS.

2. WHERE (place) : tempat kejadian, bisa digambarkan berdasarkan RW, Desa,


Kecamatan, Kabupaten/Kota, kondisi wilayah (urban, rural).

3. WHEN (time) : waktu kejadian penyakit yang bisa ditetapkan berdasarkan


minggu, bulan, atau tahun.

4. WHY (kenapa) : mengapa terjadi peningkatan kasus, hal ini lebih mengarah pada
analisis faktor risiko seperti masalah program pencegahan, keterjangkauan
fasilitas kesehatan oleh masyarakat, dll

5. HOW (bagaimana) : apabila masalah sudah dapat diketahui, maka tindakan


selanjutnya adalah merumuskan upaya penanggulangan dalam mengatasi masalah
tersebut yang akan direkomendasikan kepada program pencegahan.

3.8.1 Pengolahan dan Analisis Data Rutin

Pengolahan dan analisa data dilakukan di setiap tingkat, mulai puskesmas,


kabupaten/kota, provinsi maupun nasional.

Contoh Analisis Data Menurut Waktu (Time)

27
Kasus HIV/AIDS 2005-2017

(Gambar 1. Contoh Analisis Data Berdasarkan Waktu dengan Diagram Batang)

Gambar diatas dapat membantu mengetahui waktu kejadian, kecenderungan,


puncak/peningkatan kasus, pola musiman (seasonal pattern) dan periode tahunan
(siklus).

Contoh Analisis Data Menurut Tempat (Place)

Area Map HIV/AIDS Provinsi Jawa Timur pada Tahun 2018

(Gambar 2. Contoh Analisis Data Menurut Tempat (Place) Menggunakan


Area Map)

Dengan Area map seperti gambar diatas dapat diketahui adanya


pengelompokkan kasus (clustering). Dengan menggambarkan spot map atau area map
di tingkat yang kecil seperti mapping kasus berdasarkan Kabupaten atau Kota, akan
lebih membantu dalam perencanaan pelaksanaan pencegahan HIV/AIDS. Total
penderita HIV di Jawa Timur sebanyak 7.454 orang dengan penderita HIV tertinggi
berada di daerah Kabupaten Jember sebanyak 679 orang dan terendah berada di
Kabupaten Pacitan sebanyak 5 orang.

Area map lebih bermanfaat untuk menentukan daerah yang menjadi prioritas,
dengan membandingkan besar masalah antara satu wilayah dengan wilayah lainnya,
sebaiknya menggunakan angka insiden. Data dan informasi yang dihasilkan dari
kegiatan Surveilans Sentinel HIV dapat dimanfaatkan sebagai dasar untuk melakukan

28
estimasi jumlah orang yang telah terinfeksi HIV dan berapa yang akan menjadi kasus
HIV stadium lanjut di masa mendatang.

Dalam pembuatan spot map atau area map, diupayakan dapat menggambarkan
wilayah pelayanan yang lebih kecil, seperti distribusi kasus per desa, per kecamatan,
per kota atau per kabupaten, tergantung kebutuhan analisis atau di tingkat mana
analisis dilakukan.

Contoh Analisis Data berdasarkan Orang (Person)

Proporsi Kelompok Umur yang Menderita HIV di Jawa Timur pada Tahun 2018

(Gambar 3. Contoh Analisis Data berdasarkan Orang (person) dengan Diagram Pie)

Proporsi Kelompok Umur yang Menderita HIV di Indonesia pada Tahun

2010 hingga 2017

29
(Gambar 4. Contoh Analisis Data berdasarkan Orang (person) dengan Grafik Batang)

Distribusi kasus campak menurut kelompok umur atau jenis kelamin dapat
digambarkan dalam bentuk grafik batang maupun pie diagram. Keuntungan
menggunakan grafik batang adalah dapat diketahui kecenderungan kasus dari tahun
ke tahun berdasarkan kelompok umur, pergeseran kelompok umur dan kelompok
umur yang paling tinggi terserang HIV. Sedangkan pie diagram hanya dapat
mengetahui kelompok umur yang paling tinggi terserang HIV pada waktu tertentu.

3.8.2 Pengolahan dan Analisis Data Sentinel

Analisis data sentinel hampir sama dengan analisis data rutin, prinsip time,
place dan person yang akan menjawab pertanyaan siapa, kapan, dimana, mengapa,
dan bagaimana suatu kejadian dapat memberikan masukan kepada program
pencegahan. Oleh sebab itu tidak boleh ada dari komponen diatas yang tidak dijawab
agar hasil investigasi secara tepat dapat mengarahkan program dalam upaya
penanggulangan. Oleh sebab itu penyajian data dalam bentuk tabel, grafik, dan area
map akan membantu analisis yang akan dilakukan.

Pengolahan data perilaku pada Wanita Pekerja Seks (WPSL dan WPSTL)
yang diperlukan untuk menilai risiko HIV contohnya adalah sebagai berikut:

1. Karakteristik perilaku berisiko:


a. Jenis pekerja seks (WPSL/WPSTL).
b. Lama bekerja seks > sejak kapan menjadi WPS:
c. Kapan pertama kali menjual seks.
d. Kapan menjual seks di lokasi/tempat sekarang.
e. Jumlah pelanggan dalam 1 minggu terakhir.

Apakah pernah menggunakan napza suntik dalam 1 tahun terakhir?

Apakah pernah melakukan hubungan seks dengan penasun dalam 3


bulan terakhir?

2. Upaya pencegahan:

30
Frekuensi penggunaan kondom dalam 1 minggu terakhir.

3. Upaya pencarian pengobatan:

Pernah mengakses layanan HIV dan IMS dalam 1 bulan terakhir:

a. KT (Konseling dan Tes)


b. IMS (Infeksi Menular Seksual)
c. ART (Antiretroviral Terapi)
d. TB-HIV
e. PPIA (Pencegahan Penularan dari Ibu ke Anak)

Karakteristik perilaku berisiko, upaya pencegahan, dan upaya pencarian


pengobatan bergantung pada setiap sasaran. Seperti pada Pengguna Napza Suntik
(Penasun), karakteristik nya berupa jenis napza suntik yang digunakan, frekuensi
menyuntik dalam 1 minggu terakhir dan berapa hari dalam 1 bulan terakhir dan
frekuensi berbagi suntik dengan orang lain dalam 1 minggu terakhir.

Pengolahan data lokasi, baik penambahan, pengurangan, ataupun perbaikan


informasi lokasi dilakukan dengan menggunakan program pengolah data (Ms. Excel).
Data yang diolah berdasarkan populasi sentinel:

· Nomor urut lokasi

· Nama lokasi

· Alamat lokasi, jalan, gang, dsb., dituliskan di belakang nama jalan/gang dan
diupayakan keseragaman dalam menuliskan jalan yang sama.

· Jenis lokasi, dibagi menurut tempat praktek/mangkal sub populasi sasaran


dalam melakukan kegiatannya:

1. WPS L

- Lokalisasi/rumah bordil

31
- Jalan/taman/kuburan

- Warung “remang-remang”

- Hotel/motel/cottage

- Lainnya

2. WPS TL

- Panti pijat/salon/spa

- Karaoke/diskotik/cafe/bar/pub

- Lainnya

3. Waria

- Jalanan/pojok jalan/taman

- Bar/diskotik/pub/café

- Salon/spa

- Organisasi/tempat pertemuan

4. Penasun

- Layanan kesehatan terkait penasun

- Drop-in center penasun

- Kos-kosan, asrama, atau rumah

- Tempat-tempat umum, seperti; terminal, taman, dsb

- Lainnya

32
3.9​ ​Manajemen Spesimen HIV/AIDS

3.9.1 Pengambilan Spesimen


Spesimen darah diambil dari masing-masing populasi sentinel sesuai dengan reagen
yang digunakan untuk pemeriksaan HIV. Cara pengambilan spesimen harus memperhatikan
prinsip-prinsip kewaspadaan universal. Secara umum, spesimen bisa diambil dengan 2 (dua)
cara, yaitu:
1. Spesimen yang berasal dari spesimen untuk pemeriksaan lain: pisahkan satu
aliquot (bagian kecil) dari spesimen tersebut kedalam botol serum tersendiri.
2. Spesimen yang berasal dari spesimen yang khusus diambil untuk pemeriksaan
HIV: tidak perlu dipisahkan, tetapi langsung diperiksa.
Berikut ini merupakan prosedur persiapan dan pengambilan spesimen:
A. Persiapan sebelum pengambilan spesimen
Sebelum turun melakukan survei, petugas biologis (pengambil spesimen)
harus menyiapkan hal-hal sebagai berikut:
1. Menyiapkan peralatan pelengkap pengambilan darah
2. Menyiapkan peralatan untuk pengiriman spesimen darah ke
BLK/BBLK/Labkesda/ laboratorium lain yang ditunjuk.
B. Pengambilan spesimen

Pada kegiatan SSH ini, pengambilan spesimen dari masing-masing populasi


sentinel dilakukan dengan mengambil darah vena menggunakan vacutainer. Cara
pengambilan spesimen harus memperhatikan prinsip-prinsip kewaspadaan universal.
Pengambilan spesimen/sampel biologis harus dilakukan oleh tenaga medis
(perawat/petugas laboratorium) yang terlatih dan biasa melakukan pengambilan darah
vena. Dalam 1 tim, biasanya terdiri dari: beberapa pewawancara dengan 1 petugas
pengambil sampel biologis, tergantung dari jenis kelompok sasaran. Lalu, catat
kondisi darah yang sudah diambil pada Form SENTINEL 02.

33
3.9.2 Pemberian Nomor Spesimen Laboratorium

Penentuan kode spesimen mencakup semua informasi yang dibutuhkan untuk SSH,
yaitu: 2 digit kode provinsi, 2 digit kode kabupaten/kota, 2 digit kode populasi sentinel, dan 3
digit nomor urut, serta menjamin dilaksanakannya prinsip linked anonymous.

Untuk kode provinsi dan kode kabupaten/kota dapat menggunakan kode menurut
BPS. Contoh cara penulisannya sesuai petunjuk adalah sebagai berikut: Bila pewawancara
berada di Kota Surabaya, Jawa Timur, maka isikan kode provinsi 35 dan kode kota tersebut
78. Selanjutnya kode populasi sentinel diisi sesuai dengan yang sudah ditentukan, misalnya:
WPS L, maka untuk kode WPS diisi 01. Untuk nomor urut diisi dengan urutan responden
yang dikunjungi, misalnya: responden yang dikunjungi adalah responden yang pertama.

Contoh: ​3 5 78 01 001

3.9.3 Penyimpanan Spesimen (Selama di Lapangan)


Segera setelah spesimen darah vena diambil menggunakan tabung vacutainer, tutup
erat vacutainer (screw cap), rekatkan dengan parafilm untuk mencegah terjadinya tumpahan
atau bocor karena guncangan di perjalanan, letakkan dan susun tabung dalam rak tabung
sesuai daftar sampel pada Formulir SENTINEL 02. Catat kondisi spesimen pada formulir
tersebut. Masukkan dan simpan tabung dalam cool box container (yang sudah dimasukkan
ice pack) dan pertahankan di suhu 2-8°C.

3.9.4 Pengiriman Spesimen dari Lokasi Sentinel


Pengiriman spesimen juga disertakan dengan daftar sampel (Formulir SENTINEL 02)
dan formulir catatan pengiriman spesimen (Formulir SENTINEL 03) yang telah disiapkan.
Masukkan formulir-formulir tersebut kedalam amplop dan bungkus dengan plastik, lalu
masukkan ke dalam cool box (di atas rak tabung) secara hati-hati, tutup cool box dengan erat
agar tidak terbuka di jalan, dan segera dikirim ke BLK/BBLK/Labkesda/laboratorium setara
yang ditunjuk, sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 241 Tahun 2006 tentang
Standar Pelayanan Laboratorium Kesehatan Pemeriksa HIV dan Infeksi Oportunistik.

34
3.9.5 Penerimaan Sampel Serum di Laboratorium
Setibanya di laboratorium, lakukan serah terima spesimen dengan petugas
laboratorium (menggunakan Formulir SENTINEL 03 dan Formulir SENTINEL 04). Ketika
spesimen diserahterimakan di laboratorium, petugas laboratorium mengeluarkan rak dan
tabung dari ​cool box​, kemudian mencocokkan kode spesimen dengan daftar yang ada di
Formulir SENTINEL 02, termasuk jumlah spesimen yang diterima, serta memeriksa kondisi
spesimen dan mencatatnya kedalam log book penerimaan spesimen. Kemudian, simpan
semua spesimen di rak tabung yang memenuhi persyaratan ke dalam refrigerator bersuhu
2-8°C.

Spesimen darah yang tidak memenuhi persyaratan (hemolisis/ikterik/lipemik/tumpah,


dll) harus ditolak dan tidak dilakukan pemeriksaan.

3.9.6 Pemeriksaan Spesimen dan Penyimpanan Setelah Pemeriksaan


Pada hari yang sama, setelah spesimen darah diterima dan dilakukan pengecekan
kondisi spesimen. Spesimen serum yang belum sempat dikerjakan, disimpan kembali ke
dalam refrigerator bersuhu 2-8°C.

Penggunaan reagen HIV harus memenuhi kriteria SK Menkes 241/2006, yaitu :

Reagen 1 : Nilai sensitivitas > 99%

Reagen 2 : Nilai spesifisitas > 98%

35
Semua spesimen yang diterima, harus dilakukan pemeriksaan sesegera mungkin agar
hasil pemeriksaan dapat segera dikirim dan diterima di layanan yang ditunjuk tidak lebih dari
1 bulan. Untuk menjaga kerahasiaan, formulir hasil pemeriksaan tetap menggunakan kode
dan tidak mencantumkan nama, namun tetap dapat dihubungkan (​linked anonymous​).

3.9.7 Tahap-Tahap Pemeriksaan Anti-HIV

Berikut ini merupakan tahapan pemeriksaan anti-HIV:

Prinsip : lakukan pemeriksaan ​sesuai prosedur ​dalam kit insert reagen yang digunakan
Contoh :
1. Pemeriksaan dengan reagen pertama: ​SD Bioline HIV ½.3.0
Metode : Rapid Test
Bahan Pemeriksaan : Serum
Peralatan : Mikropipet adjustable ukuran 5 – 50 μl.

36
2. ​Pemeriksaan dengan reagensia kedua :
Metode : ​Rapid Test
Bahan Pemeriksaan : Serum
Peralatan : Mikropipet adjustable ukuran 5 – 50 μl.
3.9.8 Penyimpanan Spesimen Hasil Pemeriksaan Laboratorium
Setelah selesai melakukan pemeriksaan, semua sisa spesimen harus tetap
disimpan dalam rak tabung dengan rapi, lalu masukkan kedalam freezer bersuhu
-70°C atau -20°C (bagi laboratorium yang tidak memiliki suhu -70°C) sampai ada
pemberitahuan dari Kementerian Kesehatan RI bahwa spesimen sudah dapat
dimusnahkan.

3.9.9 Keamanan Biologis Surveilans Sentinel HIV (SSH​)


Petugas pengambil spesimen darah dan petugas pengelola spesimen darah
rawan mendapatkan kecelakaan kerja, oleh karena itu, diperlukan cara kerja yang
aman dan alat pelindung untuk menjamin keselamatannya. Alat pelindung tubuh
digunakan untuk melindungi kulit dan selaput lendir petugas dari risiko pajanan
darah. Limbah benda tajam/jarum suntik bekas perlu dimusnahkan dengan dibakar
di-incenerator atau dikuburkan. Lingkungan kerja saat melakukan pengambilan
spesimen darah dan pengelolaan selanjutnya dapat menghindarkan terjadinya
kecelakaan kerja. Upaya untuk mendukung dan meningkatkan lingkungan kerja yang
aman, meliputi:

• Pelatihan petugas kesehatan tentang risiko kerja, cara pencegahan infeksi, dan tata
cara Profilaksis Pasca Pajanan (PPP).
• Penyediaan alat pelindung, seperti: sarung tangan.

37
• Penyediaan wadah penampung limbah benda tajam.
• Menjaga agar beban kerja tidak terlalu berlebihan.
• Menjamin bahwa kewaspadaan universal diterapkan (misalnya: penggunaan
sarung tangan).
• Menjalankan tatalaksana yang aman, seperti: membuang jarum suntik tanpa
menutupnya kembali (dianjurkan), atau menutupnya dengan meletakkan tutup
jarum suntik di tepi meja dan memasukkan jarum kembali dengan satu tangan.
Setelah seluruh jarum tertutup, gunakan tangan yang lain untuk mengencangkan
tutupnya (tidak dianjurkan).
• Memberikan konseling pasca pajanan, pengobatan, tindak lanjut, dan perawatan.
• Menerapkan upaya untuk mengurangi stress, diskriminasi, dan kejenuhan.
3.9.10 Kendali Mutu
Keberhasilan kegiatan SSH sangat bergantung pada mutu pemeriksaan
laboratorium. Pemeriksaan darah di laboratorium yang dapat dipercaya, akan
menunjukan hasil yang sama meskipun tes dilakukan berulang kali. Penggunaan
reagen yang bermutu belum tentu menjamin kualitas hasil pemeriksaan laboratorium.
Terdapat 2 (dua) kesalahan yang dapat terjadi, yaitu: kesalahan teknis dan kesalahan
administratif dalam hal:

• Penerimaan spesimen
• Penyimpanan reagen
• Pemeriksaan laboratorium sendiri
• Pencatatan hasil
Oleh karena itu, diperlukan suatu proses pemantauan yang berkesinambungan,
baik dari dalam laboratorium sendiri (internal), maupun dari luar (eksternal). Proses
kendali mutu adalah proses yang dinamik dan berkesinambungan yang
memungkinkan tindakan perbaikan bila kriteria yang telah ditentukan tidak tercapai.

A. Jaminan Mutu internal


Proses pemantapan mutu internal ditujukan untuk petugas laboratorium agar
dapat melakukan uji mutu sendiri. Caranya adalah dengan menyisihkan satu sampel
dari setiap 20 sampel dari serum negatif dan satu dari setiap tiga sampel yang positif
untuk diperiksa ulang oleh petugas yang sama atau petugas lainnya yang bertugas saat
itu. Setelah sampel diberikan nomor baru dan semua nomor dan identitas yang lama
dilepas, maka sampel diserahkan kepada petugas yang bersangkutan untuk diperiksa
ulang dengan cara yang sama. Dengan membandingkan pemeriksaan yang pertama
dan kedua, maka mutu pemeriksaan laboratorium dapat dipantau. Pada waktu
supervisi informasi mengenai hasil pemantapan mutu internal ini akan menjadi
perhatian bagi petugas supervisi.

38
B. Jaminan Mutu Eksternal

Secara berkala, laboratorium rujukan nasional akan mengirimkan satu paket


spesimen (yang telah diketahui hasil pemeriksaannya) kepada BLK/BBLK untuk
pemeriksaan di BLK/ BBLK masing-masing dengan cara yang biasa dilakukan.
Paket ini harus berisi spesimen yang positif dan negatif. Berdasarkan laporan hasil
pemeriksaan, maka laboratorium rujukan nasional akan mendapat hasil dari mutu
pemeriksaan.

3.10​ ​Monitoring dan Evaluasi

3.10.1 Monitoring

Monitoring merupakan pengawasan rutin terhadap informasi penting dari kegiatan


SSH yang sedang dilaksanakan dan hasil-hasil program yang harus dicapai. Pada pelaksanaan
SSH, monitoring dilakukan melalui sistem pencatatan dan pelaporan. Kegiatan ini
dilaksanakan oleh petugas dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan Provinsi,
Laboratorium (BLK/BBLK/Labkesda/ laboratorium lain yang ditunjuk), Subdit AIDS &
PMS, dan instansi lain yang terlibat. Bila terdapat kesalahan dalam pelaksanaan kegiatan
pencatatan dan pelaporan, maka dapat dilakukan pemantauan dan pembinaan teknis secara
berjenjang. Direktorat P2ML Subdit AIDS & PMS akan melakukan pembinaan teknis
terhadap Dinkes Provinsi, dan Dinkes Provinsi akan melakukan hal yang sama terhadap
Dinkes Kabupaten/Kota. Sementara, Direktorat Laboratorium Kesehatan bertanggung jawab
memantau kegiatan pemeriksaan spesimen yang dilakukan oleh BLK/BBLK/
Labkesda/laboratorium lain yang ditunjuk.

Indikator yang digunakan untuk mengukur kegiatan SSH adalah:

1. Indikator Proses:

· Semua kegiatan yang tercantum pada petunjuk teknis harus dimasukkan kedalam
daftar tilik pada saat supervisi, dan menjadi indikator proses.

2. Indikator Output:

• Pencapaian populasi sentinel sesuai rencana berdasarkan sasaran dan lokasi.

• Ketepatan waktu pelaksanaan kegiatan.

• Ketepatan waktu pelaporan hasil kegiatan.

39
3.10.2 Evaluasi

Evaluasi program dilakukan pada akhir suatu kegiatan, akan tetapi karena SSH
merupakan kegiatan yang berkesinambungan, maka evaluasi diadakan pada setiap akhir tahun
anggaran, bersamaan dengan penyusunan rencana aksi tahun berikutnya. Evaluasi kegiatan
SSH dilakukan pada tahap input, proses pelaksanaan, dan output.

1. Tahap Input Pemegang program HIV dari semua tingkat


administratif perlu mengevaluasi berbagai kebutuhan. Petugas
tersebut perlu melaksanakan kerangka sampel yang benar dan
pelaksanaan pemetaan lokasi sentinel. Hal lain yang perlu
diperhatikan adalah jumlah petugas kesehatan yang bermutu,
materi dan peralatan, serta biaya yang dibutuhkan dalam
pelaksanaan lapangan. Selain itu, perlu diantisipasi
masalah-masalah yang mungkin timbul dalam pelaksanaan di
lapangan.

2. Tahap Proses Evaluasi proses pelaksanaan perlu dilakukan untuk


mengetahui efektivitas pelaksanaan kegiatan. Pada tahap ini,
evaluasi dilakukan terhadap “siapa melakukan apa dan bagaimana
caranya”. Evaluasi ini dilakukan untuk semua petugas yang
dilibatkan, seperti: petugas pencatatan dan pelaporan, petugas
laboratorium, dsb. Contoh: Apakah petugas pengambil spesimen
darah telah menggunakan prosedur yang benar dan telah
melakukan pengkodean pada setiap tabung vacutainer yang berisi
spesimen darah.

3. Tahap Output Evaluasi output mencerminkan evaluasi terhadap


kegunaan data, kualitas data, dan cakupan SSH. Evaluasi terhadap
kegunaan hasil surveilans dilakukan dengan menginterpretasikan
trend/kecenderungan prevalensi HIV pada populasi sentinel yang
diamati oleh setiap tingkat administrasi. Sementara, evaluasi
terhadap kualitas data SSH dilakukan untuk mengetahui seberapa
valid data yang dihasilkan dari kegiatan SSH tersebut, namun
evaluasi tahap ini lebih dititikberatkan pada proses pelaksanaan
kegiatan.

Evaluasi menyeluruh terhadap sistem surveilans ini meliputi 10 aspek evaluasi sistem,
yaitu:

1. Sensitivitas

• Proporsi penderita yang teridentifikasi sebagai kasus.

40
• Penting untuk mendapatkan gambaran tren/kecenderungan dan besaran masalah
yang tepat.

• Ketepatan teknik skrining dan diagnostik, alat tes dan bahan reagensia, serta
instrumen pengumpulan data sangat mempengaruhi sensitivitas.

2. Ketepatan waktu

• Terkait dengan pemenuhan jadwal pelaksanaan dari setiap simpul/rantai kegiatan


surveilans.

• Informasi disebarkan secepat mungkin, sehingga dapat ditindaklanjuti dengan


tepat waktu.

3. Keterwakilan (Representativeness)

• Kasus yang dilaporkan tidak berbeda dengan kasus yang tidak dilaporkan.

• Kegagalan untuk mendapatkan kepercayaan atau akses ke seluruh lapisan


populasi kunci, serta adanya stigma dan diskriminasi akan mengakibatkan hanya
sebagian populasi yang akan berpartisipasi, sehingga terjadi underreporting, yang
dapat mengakibatkan hasilnya tidak dapat mewakili.

4. Nilai prediksi positif

• Proporsi kasus yang benar-benar sakit.

• Nilai prediksi positif yang tinggi merupakan indikator yang penting untuk
efisiensi.

5. Daya terima

• Sistem mampu mendorong kerjasama dari seluruh pemangku kepentingan dan


sektor terkait, serta dapat menggalang partisipasi dengan responden.

• Dapat tercermin dari derajat keterwakilan atau tingkat respon/partisipasi


(response rate atau participation rate) atau ketepatan waktu.

• Beberapa faktor, seperti: sikap dan pendekatan otoritas pelaksana terhadap


populasi sentinel, faktor sosial budaya masyarakat, kepercayaan (trust), stigma
dan diskriminasi terhadap populasi kunci, faktor biaya, dan tingkat
kesulitan/kompleksitas dari pelaksanaan kegiatan SSH (misalnya: luas dan jarak
wilayah cakupan, serta kesulitan akses ke populasi kunci), dapat mempengaruhi
daya terima.

41
6. Fleksibilitas

• Sistem yang lentur dan mudah diubah sesuai dengan perkembangan yang
relevan.

• Dalam ruang lingkup sistem surveilans nasional generasi kedua, aspek ini juga
penting untuk diperhatikan.

7. Kesederhanaan

• Sistem dirancang sesederhana mungkin, namun tetap dapat memberikan


informasi yang dibutuhkan dengan ketepatan yang memadai.

8. Untung rugi

• Biaya yang dikeluarkan sebanding dengan nilai manfaat.

• Biaya dapat ditekan tanpa mengorbankan mutu informasi.

9. Penyebaran hasil

• Hasil disebar luaskan kepada Pemangku kepentingan, serta pihak yang tepat dan
berwenang dalam mengambil keputusan.

10. Tindakan yang tepat

• Data/informasi hasil surveilans ditindaklanjuti secara tepat dan dapat


memberikan arah untuk tindakan intervensi yang efektif.

42
3.11 Diseminasi Informasi, Advokasi dan Alur Pelaporan

3.11.1 Diseminasi Informasi dan Advokasi

Sasaran Sarana Alternatif Tindakan

A. Dinas Kesehatan A. Pertemuan A. Meningkatkan promosi


Pembuat tindakan dan B. Seminar PHBS
kebijakan mengenai C. Surat B. Peningkatan penggunaan
penanggulangan dan D. Buletin cetak dan kondom pada hubungan seks
pencegahan HIV. elektro media (web), serta beresiko
B. Pemerintah media lainnya C. Pengurangan resiko
Kota/Kabupaten penularan HIV dari ibu ke
Pemerintah berwenang dalam anak
masalah kebijakan D. Memberikan vaksin
penanggulangan HIV. kepada masyarakat yang
Kebijakan yang ditetapkan berisiko
oleh pemerintah ini E. Meningkatkan penemuan
merupakan langkah represif kasus
langsung ke masyarakat. F. Melakukan PrEP
Selain itu itu pemerintah juga Pre-exposure prophylaxis
berperan dalam pengalokasian
dana dan menunjang
program-program yang ada.
C. Media Massa
Media massa berperan dalam
menyebarluaskan informasi
mengenai HIV kepada
masyarakat. Dengan
tersebarnya informasi yang
semakin luas dapat
disimpulkan bahwa
masyarakat akan banyak yang
tahu dan melaksanakan
program serta ikut mencegah
masalah yang ada.

43
Advokasi kepada : Menjelaskan Untuk mendapatkan
kecenderungan dukungan
1. Bupati/Pemda kasus dan dana,politis,penggerak
permasalahan an masyarakat.
2. DPRD
program.
3. Camat
Dukungan yang
diharapkan
masing-masing
program

3.11.2 Alur Pelaporan

44
BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Surveilans merupakan proses pengumpulan, pengolahan, analisis dan interpretasi data


secara sistemik dan terus menerus serta penyebaran informasi kepada unit yang
membutuhkan untuk dapat mengambil tindakan. Surveilans HIV di Jawa Timur diamati
berdasarkan metode pelaksanaannya, yaitu Surveilans Sentinel HIV (SSH). Provinsi Jawa
Timur ditetapkan sebagai wilayah dengan prevalensi HIV yang terkonsentrasi. Kegiatan SSH
Jawa Timur sudah dilaksanakan mulai dari tingkat puskesmas, rumah sakit, kabupaten/kota
dan juga provinsi. Hal ini bertujuan agar seluruh cakupan Jawa Timur dapat terselenggara
investigasi dan penanggulangan KLB HIV di Jawa Timur. Adapun hasil diseminasi dan
advokasi yang telah dilakukan oleh pemerintah adalah kegiatan promosi dan penyuluhan
terkait cara mencegah terjadinya HIV.

45
DAFTAR PUSTAKA

Budiarto, Eko. 2003. ​Metodologi Penelitian Kedokteran: Sebuah Pengantar.​ Jakarta :


EGC

DCP2 (2008). ​Public health surveillance. The best weapon to avert epidemics​. Disease
Control Priority Project. www.dcp2.org/file/153/dcpp-surveillance.pdf, diakses
pada 7​ Maret 2020 pukul 18.32.

Dr. Rusman Heriawan.2005. Surveilans Perilaku. Jakarta

Giesecke J (2002). ​Modern infectious disease epidemiology.​ London: Arnold.

JHU (=Johns Hopkins University) (2006). ​Disaster epidemiology​. Baltimore, MD: The
Johns Hopkins and IFRC Public Health Guide for Emergencies.

Last, JM (2001). ​A dictionary of epidemiology​. New York: Oxford University Press, Inc

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2014.

Rustana, Gita Rustifar.2012. Perancangan Sistem Informasi surveilans HIV/AIDS Di Dinas


Kesehatan. Depok.

46

Anda mungkin juga menyukai