Anda di halaman 1dari 37

1.

kesehatan
2. pembiayaan kesehatan sosial
3. jkn/bpjs
4. penyalahgunaan jkn/bpjs
5. hukum pidana & perdata

Kesehatan termasuk salah satu hal dasar yang dibutuhkan manusia. Sering disebutkan
bahwa “kesehatan bukan hal segala-galanya, namun tanpa kesehatan segala-galanya
tidak ada makna”. Berdasarkan konstitusi World Health Organization (WHO)
menyatakan bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia. Hak atas kesehatan
merupakan bagian dari hak dasar setiap individu, dan menjadi kebutuhan dasar setiap
individu yang tidak dapat berkurang dalam kondisi apapun. Dengan seperti itu,
penting bagi kita untuk memperhatikan dengan cermat mengenai bentuk nyata dari

hak atas standar kesehatan tertinggi yang dapat dijangkau 1. Hak untuk hidup yang
cukup dan sejahtera terhadap diri sendiri serta keluarganya ialah hak asasi manusia
yang diterima secara luas oleh semua negara. Hal ini terdapat di dalam Undang-

Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan 2.

Pembangunan kesehatan pada hakekatnya adalah upaya yang dilaksanakan oleh


semua komponen bangsa Indonesia yang bertujuan meningkatkan kesadaran,
kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi- tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan
sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis. Sasaran
pembangunan kesehatan yang akan dicapai pada tahun 2025 yaitu meningkatnya
derajat kesehatan masyarakat yang ditunjukkan oleh meningkatnya umur harapan
hidup, menurunnya angka kematian ibu, menurunnya angka kematian bayi, dan
menurunnya prevalensi undernutrisi pada balita. Hal ini sejalan dengan misi kesatu
Presiden yaitu meningkatkan kualitas manusia Indonesia. Pencapaian sasaran
pembangunan kesehatan tersebut bukan semata-mata tugas pemerintah tetapi
merupakan tugas bersama seluruh komponen bangsa.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024, telah menetapkan


sasaran yang ingin dicapai yaitu meningkatkannya derajat kesehatan dan status gizi
masyarakat melalui upaya kesehatan dan pemberdayaan masyarakat yang didukung
dengan perlindungan finansial dan pemeratan pelayanan kesehatan.

Rencana Strategis Kementerian Kesehatan 2020-2024 akan mewujudkan tujuan dan


sasaran strategis sebagai berikut:

Upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan yang setinggi- tingginya


diselenggarakan dengan upaya kesehatan terpadu untuk seluruh masyarakat dengan
mengikutsertakan masyarakat secara luas yang mencakup upaya promotif, preventif,
kuratif, dan rehabilitatif yang bersifat menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan.
Pelaksanaannya dituangkan ke dalam berbagai program/kegiatan baik yang bersifat
prioritas nasional, prioritas bidang pembangunan sosial budaya dan kehidupan
beragama, prioritas Kementerian Kesehatan maupun pendukung atau penunjang.

Untuk mewujudkan visi, misi, tujuan dan sasaran strategis Kementerian Kesehatan
melalui komitmen untuk melakukan transformasi kesehatan dalam 6 pilar
transformasi penopang kesehatan Indonesia yaitu:

. transformasi layanan primer

. transformasi layanan rujukan


. transformasi sistem ketahanan kesehatan

. transformasi sistem pembiayaan kesehatan

. transformasi sumber daya manusia (sdm) kesehatan

. transformasi teknologi kesehatan Dalam upaya percepatan pencapaian tujuan dan


target program

Kementerian Kesehatan disediakan Dana Dekonsentrasi. Kewenangan pemanfaatan


Dana Dekonsentrasi didelegasikan pada pemerintah daerah, dalam hal ini gubernur
sebagai wakil pemerintah pusat, dengan mengacu pada Pedoman Penggunaan Dana
Dekonsentrasi Kementerian Kesehatan dan di pertanggungjawabkan kepada Menteri
Kesehatan. Dana Dekonsentrasi ini diarahkan untuk mendukung 6 pilar transformasi
sistem kesehatan.

Penyusunan pedoman ini diperlukan agar pelaksanaan kegiatan yang tercantum dalam
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) dekonsentrasi berjalan tertib, taat hukum,
transparan, efektif, efisien, baik dari segi pencapaian kinerja, keuangan, maupun
manfaatnya bagi peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Ketentuan mengenai
rincian kegiatan penggunaan dana dekonsentrasi masing-masing program ditetapkan
dalam petunjuk teknis tersendiri oleh penanggung jawab program di lingkungan
Kementerian Kesehatan.

Kesehatan termasuk salah satu hal dasar yang dibutuhkan manusia. Sering disebutkan
bahwa “kesehatan bukan hal segala-galanya, namun tanpa kesehatan segala-galanya
tidak ada makna”. Berdasarkan konstitusi World Health Organization (WHO)
menyatakan bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia. Hak atas kesehatan
merupakan bagian dari hak dasar setiap individu, dan menjadi kebutuhan dasar setiap
individu yang tidak dapat berkurang dalam kondisi apapun. Dengan seperti itu,
penting bagi kita untuk memperhatikan dengan cermat mengenai bentuk nyata dari

hak atas standar kesehatan tertinggi yang dapat dijangkau 1. Hak untuk hidup yang
cukup dan sejahtera terhadap diri sendiri serta keluarganya ialah hak asasi manusia
yang diterima secara luas oleh semua negara. Hal ini terdapat di dalam Undang-

Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan 2.

Hidup sehat menjadi kebutuhan hidup (health need) yang memiliki sifat objektif
sehingga tiap – tiap individu mampu menaikkan status kesehatannya. Namun di sisi
yang berbeda, kesehatan termasuk tuntutan (health demand) yang mempunyai sifat
subjektif yaitu tercukupi atau tidaknya tuntutan kesehatan setiap individu, rumah
tangga dalam lingkup masyarakat tidak mutlak bisa tercapai dari tiap usaha

peningkatan derajat kesehatan yang baik3. Program pelayanan kesehatan merupakan


salah satu upaya pemenuhan kebutuhan hidup dan tuntutan masyarakat terhadap
kesehatan. Syarat pelayanan kesehatan yang berkualitas dapat dilihat dari beberapa
indikator layanan diantaranya tersedia, berkesinambungan, menyeluruh, wajar,

terpadu, dapat diterima, bermutu, tercapai, dan terjangkau4.

Masing – masing individu memiliki risiko untuk terjadinya sakit dan perlu biaya yang
lumayan besar untuk berobat. Terlebih lagi, jika penyakit yang dideritanya merupakan

penyakit yang tergolong berat, sehingga semakin besar biaya yang dibutuhkan 5. Hal
ini menimbulkan kekhawatiran terhadap kelangsungan dukungan ekonomi
masyarakat yang ditimbulkan dari keadaan yang tidak pasti (uncertainty condition)

terhadap kesakitan dan kematian6. Perkembangan ekonomi masyarakat saat pandemi


Covid-19 seperti saat ini sangat memengaruhi kegiatan ekonomi dan sosial. Tidak
hanya di bidang sosial ekonomi saja, namun juga berpengaruh di segala aspek

kehidupan masyarakat7. Maka akan berdampak terhadap kemampuan masyarakat

dalam membayar biaya pelayanan kesehatan8.


Dalam Sustainable Development Goals (SDG’s) Report tahun 2020, diperkirakan 1
miliar orang akan menghabiskan paling sedikit 10% dari anggaran rumah tangga

mereka untuk perawatan di bidang kesehatan 9. Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional
(Susenas) tahun 2019 menyatakan bahwa 62,67% dari jumlah biaya kesehatan berasal

dari biaya pribadi masyarakat10.

Penyelenggaraan pelayanan kesehatan merupakan salah satu cara untuk memenuhi


kebutuhan dan tuntutan masyarakat terhadap kesehatan. Proses pelayanan kesehatan
tidak dapat berpisah dengan pembiayaan kesehatan. Definisi biaya kesehatan yaitu
banyaknya jumlah dana yang patut disediakan guna menyelenggarakan bermacam
upaya kesehatan yang dibutuhkan oleh masyarakat, kelompok, dan perorangan. Atas
dasar yang telah disebutkan, maka biaya kesehatan dapat dilihat dari dua arah yaitu
Penyedia Pelayanan Kesehatan (Health Provider) dan Pemakai Jasa Pelayanan

(Health consumer)11.

Terdapat enam pola pembiayaan kesehatan yang diterapkan, yaitu pembiayaan dari
pemerintah secara langsung (direct government financing), pembiayaan dari asuransi
kesehatan (health insurance), pembiayaan dari masyarakat (community financing),
pembiayaan dari saku pasien (out of pocket), pembiayaan dari organisasi
pemerintahan dan kerjasama dari luar (governmental organization and external

cooperation), pembiayaan dari sektor swasta (private sector financing) 11. Di


Indonesia dikembangkan mekanisme asuransi kesehatan sosial yaitu melalui Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN) yang bersifat wajib dengan tujuan memberikan
perlindungan finansial dari biaya kesehatan khususnya biaya katastropik dengan

harapan pengeluaran kesehatan dari saku pribadi akan lebih rendah 12,13. Hal tersebut
terbukti dengan data tren pembiayaan program JKN dari tahun 2014 - 2018 dimana

pengeluaran mandiri masyarakat turun cukup signifikan sebesar 10%13.

Pada dasarnya, kegiatan pelayanan kesehatan masih cenderung pelayanan sosial,


sehingga pertolongan terhadap pasien maupun kegiatan perawatan (rawat jalan dan
rawat inap) tanpa memandang status sosial ekonomi. Walaupun bersifat sosial, demi
keberlangsungan pelayanan kesehatan diharapkan adanya faktor ekonomi. Sehingga
diperlukan upaya nyata melalui kegiatan reformasi, reorientasi dan revitalisasi 11.
Kementerian Kesehatan mengatakan bahwa dengan pembiayaan kesehatan yang kuat,
tidak berubah – ubah dan berkelanjutan mempunyai peranan penting untuk
penyelenggaraan pelayanan kesehatan dalam skema memperoleh tujuan penting
dalam pembangunan kesehatan antara lain adalah pelayanan yang berkualitas (assured

quality) dan pemerataan akses kesehatan (equitable access to health care) 14. Maka
dari itu, pembaruan kebijakan kesehatan pada suatu negara sebaiknya memberikan
berfokus pada kebijakan pembiayaan kesehatan agar menjamin terselenggaranya
pemerataan (equity), kecukupan (adequacy), efektifitas (effectiveness), dan efisiensi

(efficiency) dari pembiayaan kesehatan4.

Sistem pembiayaan kesehatan didefinisikan sebagai suatu sistem yang mengatur


tentang besarnya alokasi dana yang harus disediakan untuk menyelenggarakan dan
atau memanfaatkan berbagai upaya kesehatan yang diperlukan oleh perorangan,
keluarga, kelompok dan masyarakat.

Definisi Pembiyaan Kesehatan

Biaya Kesehatan ialah besarnya dana yang harus di sediakan untuk menyelenggarakan
dan atau memanfaatkan berbagai upaya kesehatan yang diperlukan oleh perorangan,
keluarga, kelompok dan masyarakat. (Azrul Azwar: 1996). Sistem pembiayaan
kesehatan didefinisikan sebagai suatu sistem yang mengatur tentang besarnya alokasi
dana yang harus disediakan untuk menyelenggarakan dan atau memanfaatkan
berbagai upaya kesehatan yang diperlukan oleh perorangan, keluarga, kelompok dan
masyarakat. (Helda :2011). Sedangkan, Subsistem Pembiayaan Kesehatan adalah
tatanan yang menghimpun berbagai upaya penggalian, pengalokasian dan
pembelanjaan sumber daya keuangan secara terpadu dan saling mendukung untuk
memenuhi kebutuhan pembiayaan pembangunan kesehatan guna meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. (Ana Faiza : 2013). Dari
beberapa pendapat mengenai Pembiayaan Kesehatan diatas, terlihat bahwa biaya
kesehatan dapat ditinjau dari beberapa sudut, yaitu :

1. PenyediaPelayananKesehatan
Kesehatan dari sudut penyedia pelayanan adalah persoalan utama pemerintah
dan atau pun pihak swasta, yakni pihak-pihak yang akan menyelenggarakan
upaya kesehatan.
2. PemakaiJasaPelayanan
Yang dimakasud biaya kesehatan dari sudut pemakai jalan pelayanan (Health
Consumer) adalah besarnya dana yang harus disediakan untuk dapat
memanfaatkan jasa pelayanan. Berbeda dengan pengertian pertama,maka
biaya kesehatan di sini menjadi persoalan utama para pemakai jasa pelayanan.
Dalam batas-batas tertentu, pemerintah juga turut mempersoalkannya, yakni
dalam rangka terjaminnya pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan bagi
masyarakat yang membutuhkannya.

Dari batasan biaya kesehatan yang seperti ini segera dipahami bahwa

pengertian biaya kesehatan tidaklah sama antara penyedia pelayanan kesehatan


(health provider) dengan pemakai jasa pelayanan kesehatan (health consumer). Bagi
penyedia pelayanan kesehatan, pengertian biaya kesehatan lebih menunjuk pada dana
yang harus disediakan untuk dapat menyelenggarakan upaya kesehatan. Sedangkan
bagi pemakai jasa pelayanan kesehatan, pengertian biaya kesehatan

lebih menunjuk pada dana yang harus disediakan untuk dapat memanfaatkan upaya
kesehatan. Sesuai dengan terdapatnya perbedaan pengertian yang seperti ini, tentu
mudah diperkirakan bahwa besarnya dana yang dihitung sebagai biaya kesehatan
tidaklah sama antara pemakai jasa pelayanan dengan penyedia pelayanan kesehatan.
Besarnya dana bagi penyedia pelayanan lebih menunjuk pada seluruh biaya investasi
(investment cost) serta seluruh biaya operasional (operational cost) yang harus
disediakan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan. Sedangkan besarnnya dana
bagi pemakai jasa pelayanan lebih menunjuk pada jumlah uang yang harus
dikeluarkan (out of pocket) untuk dapat memanfaatkan suatu upaya kesehatan.
Secara umum disebutkan apabila total dana yang dikeluarkan oleh seluruh pemakai
jasa pelayanan, dan karena itu merupakan pemasukan bagi penyedia pelayan
kesehatan (income) adalah lebih besar daripada yang dikeluarkan oleh penyedia
pelayanan kesehatan (expenses), maka berarti penyelenggaraan upaya kesehatan
tersebut mengalami keuntungan (profit). Tetapi apabila sebaliknya, maka berarti
penyelenggaraan upaya kesehatan tersebut mengalami kerugian (loss).

Perhitungan total biaya kesehatan satu negara sangat tergantung dari besarnya dana
yang dikeluarkan oleh kedua belah pihak tersebut. Hanya saja, karena pada umumnya
pihak penyedia pelayanan kesehatan terutama yang diselenggrakan oleh pihak swasta
tidak ingin mengalami kerugian, dan karena itu setiap pengeluaran telah
diperhitungkan terhadap jasa pelayanan yang akan diselenggarakan, maka
perhitungan total biaya kesehatan akhirnya lebih banyak didasarkan pada jumlah dana
yang dikeluarkan oleh para pemakai jasa pelayanan kesehatan saja.

Disamping itu, karena di setiap negara selalu ditemukan peranan pemerintah, maka
dalam memperhitungkan jumlah dana yang beredar di sektor pemerintah. Tetapi
karena pada upaya kesehatan pemerintah selalu ditemukanadanya subsidi, maka cara
perhitungan yang dipergunakan tidaklah sama. Total biaya kesehatan dari sektor
pemerintah tidak dihitung dari besarnya dana yang dikeluarkan oleh para pemakai
jasa, dan karena itu merupakan pendapatan (income) pemerintah, melainkan dari
besarnya dana yang dikeluarkan oleh pemerintah (expenses) untuk menyelenggarakan
pelayanan kesehatan.

Dari uraian ini menjadi jelaslah untuk dapat menghitung besarnya total biaya
kesehatan yang berlaku di suatu negara, ada dua pedoman yang dipakai. Pertama,
besarnya dana yang dikeluarkan oleh para pemakai jasa pelayananuntuk sektor
swasta. Kedua, besarnya dana yang dikeluarkan oleh para pemakai jasa pelayanan
kesehatan untuk sektor pemerintah. Total biaya kesehatan adalah hasil dari
penjumlahan dari kedua pengeluaran tersebut.

Macam-macam Sistem Pembiayaan Kesehatan Nasional

Sistem pembiayaan kesehatan Indonesia secara umum terbagi dalam 2 sistem yaitu: 1.
FeeforService(OutofPocket)
Sistem ini secara singkat diartikan sebagai sistem pembayaran berdasarkan layanan,
dimana pencari layanan kesehatan berobat lalu membayar kepada pemberi pelayanan
kesehatan (PPK). PPK (dokter atau rumah sakit) mendapatkan pendapatan
berdasarkan atas pelayanan yang diberikan, semakin banyak yang dilayani, semakin
banyak pula pendapatan yang diterima.

Sebagian besar masyarakat Indonesia saat ini masih bergantung pada sistem
pembiayaan kesehatan secara Fee for Service ini. Dari laporan World Health
Organization di tahun 2006 sebagian besar (70%) masyarakat Indonesia masih
bergantung pada sistem Fee for Service dan hanya 8,4% yang dapat mengikuti sistem
Health Insurance (WHO, 2009). Kelemahan sistem Fee for Service adalah terbukanya
peluang bagi pihak pemberi pelayanan kesehatan (PPK) untuk memanfaatkan
hubungan Agency Relationship ,dimana PPK mendapat imbalan berupa uang jasa
medik untuk pelayanan yang diberikannya kepada pasien yang besar-kecilnya
ditentukandari negosiasi. Semakin banyak jumlah pasien yang ditangani, semakin
besar pula imbalan yang akan didapat dari jasa medik yang ditagihkan ke pasien.
Dengan demikian, secara tidak langsung PPK didorong untuk meningkatkan volume
pelayanannya pada pasien untuk mendapatkan imbalan jasa yang lebih banyak.

2. HealthInsurance

Sistem ini diartikan sebagai sistem pembayaran yang dilakukan oleh pihak ketiga atau
pihak asuransi setelah pencari layanan kesehatan berobat.Sistem health

insurance ini dapat berupa system kapitasi dan system Diagnose Related Group (DRG
system).

Sistem kapitasi merupakan metode pembayaran untuk jasa pelayanankesehatan


dimana PPK menerima sejumlah tetap penghasilan per peserta untuk pelayanan yang
telah ditentukkan per periode waktu. Pembayaran bagi PPK dengan sistem kapitasi
adalah pembayaran yang dilakukan oleh suatulembaga kepada PPK atas jasa
pelayanan kesehatan dengan pembayaran dimuka sejumlah dana sebesar perkalian
anggota dengan satuan biaya (unit cost) tertentu. Salah satu lembaga di Indonesia
adalah Badan Penyelenggara JPKM (Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat).

Sistem kedua yaitu DRG (Diagnose Related Group) tidak berbeda jauhdengan system
kapitasi di atas. Pada system ini, pembayaran dilakukan dengan melihat diagnosis
penyakit yang dialami pasien. PPK telah mendapat dana dalam penanganan pasien
dengan diagnosis tertentu dengan jumlah dana yang berbeda pula tiap diagnosis
penyakit. Jumlah dana yang diberikanini, jika dapat dioptimalkan penggunaannya
demi kesehatan pasien, sisa danaakan menjadi pemasukan bagi PPK.

Kelemahan dari system Health Insurance adalah dapat terjadinya underutilization


dimana dapat terjadi penurunan kualitas dan fasilitas yangdiberikan kepada pasien
untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Selain itu, jika peserta tidak banyak
bergabung dalam system ini, makaresiko kerugian tidak dapat terhindarkan. Namun
dibalik kelemahan, terdapat kelebihan system ini berupa PPK mendapat jaminan
adanya pasien (captivemarket), mendapat kepastian dana di tiap awal periode waktu
tertentu, PPK taat prosedur sehingga mengurangi terjadinya multidrug dan
multidiagnose. Dan system ini akan membuat PPK lebih kearah preventif dan
promotif kesehatan.

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menilai, pembiayaan kesehatan dengansistem kapitasi


dinilai lebih efektif dan efisien menurunkan angka kesakitandibandingkan sistem
pembayaran berdasarkan layanan (Fee for Service) yang selama ini berlaku. Hal ini
belum dapat dilakukan sepenuhnya oleh Indonesia. Tentu saja karena masih ada
hambatan dan tantangan, salahsatunya adalah sistem kapitasi yang belum dapat
memberikan asuransikesehatan bagi seluruh rakyat tanpa terkecuali seperti yang
disebutkan dalamUU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
(SJSN). Sampai saat ini, perusahaan asuransi masih banyak memilah

peserta asuransi dimana peserta dengan resiko penyakit tinggi dan atau kemampuan
bayar rendah tidaklah menjadi target anggota asuransi. Untuk mencapai terjadinya
pemerataan, dapat dilakukan universal coverage yang bersifat wajib dimana penduduk
yang mempunyai resiko kesehatan rendah akan membantu mereka yang beresiko
tinggi dan penduduk yang mempunyai kemampuan membayar lebih akan membantu
mereka yang lemah dalam pembayaran. Hal inilah yang masih menjadi pekerjaan
rumah bagi sistem kesehatan Indonesia. Contoh health insurance yang di berada
dibawah naungan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial diantaranya :

1. Askes
2. Jamkesmas
3. ASBRI
4. Taspen
5. Jamsostek
6. Danlainsebagainya.

Sumber Pembiayaan Kesehatan Nasional

Telah diketahui bersama bahwa sumber pembiayaan untuk penyediaan fasilitas-


fasilitas kesehatan melibatkan dua pihak utama yaitu pemerintah (public) dan swasta
(private). Kini masih diperdebatkan apakahkesehatan itu sebenarnya barang public
atau private mengingat bahwa fasilitas-fasilitas kesehatan yang dipegang oleh pihak
swasta (private) cenderung bersifat komersil. Secara umum sumber biaya kesehatan
dapat dibedakan sebagai berikut :

1. Bersumberdarianggaranpemerintah

Pada sistem ini, biaya dan penyelenggaraan pelayanan kesehatansepenuhnya


ditanggung oleh pemerintah. Pelayanannya diberikan secaracuma-cuma oleh
pemerintah sehingga sangat jarang penyelenggaraan pelayanan kesehatan disediakan
oleh pihak swasta. Untuk negara yang kondisi keuangannya belum baik, sistem ini
sulit dilaksanakan karena memerlukan dana yang sangat besar. Anggaran yang
bersumber dari pemerintah ini dibagi juga menjadi :

a. Pemerintahan pusat dan dana dekonsentrasi, dana program kompensasi BBM dan
ABT

5
2. Pemerintah provinsi melalui skema dana provinsi (PAD ditambah
danadesentralisasi DAU provinsi dan DAK provinsi)
3. Pemerintah kabupaten atau kota melalui skema dana kabupaten ataukota (PAD
ditambah dana desentralisasi DAU kabupaten atau kota danDAK kabupaten
atau kota)
4. Keuntunganbadanusahamilikdaerah
5. Penjualanasetdanobligasidaerah
6. Hutang pemerintah daerah

2. Bersumberdarianggaranmasyarakat

Dapat berasal dari individual ataupun perusahaan. Sistem ini mengharapkan agar
masyarakat (swasta) berperan aktif secara mandiri dalam penyelenggaraan maupun
pemanfaatannya. Hal ini memberikan dampak adanya pelayanan- pelayanan
kesehatan yang dilakukan oleh pihak swasta, dengan fasilitas dan penggunaan alat-
alat berteknologi tinggi disertai peningkatan biaya pemanfaatan atau penggunaannya
oleh pihak pemakai jasa layanan kesehatan tersebut. Contohnya CSR (Corporate
Social Reponsibility) dan pengeluaran rumah tangga baik yang dibayarkan tunai atau
melalui sistem asuransi. Dana yang bersumber dari swasta antara lain :

a. Perusahaanswasta
b. Lembagaswadayamasyarakat c. Dana kemanusiaan (charity)

3. Bantuanbiayadaridalamdanluarnegeri

Sumber pembiayaan kesehatan, khususnya untuk penatalaksanaan penyakit- penyakit


tertentu cukup sering diperoleh dari bantuan biaya pihak lain, misalnya oleh
organisasi sosial ataupun pemerintah negara lain. Misalnya bantuan dana dari luar
negeri untuk penanganan HIV dan virus H5N1 yang diberikan oleh WHO kepada
negara-negara berkembang (termasuk Indonesia).

4. Gabungananggaranpemerintahdanmasyarakat

Sistem ini banyak diadopsi oleh negara-negara di dunia karena dapat mengakomodasi
kelemahan-kelemahan yang timbul pada sumber pembiayaan kesehatan sebelumnya.
Tingginya biaya kesehatan yangdibutuhkan sebagian
6

ditanggung oleh pemerintah dengan menyediakan layanan kesehatan bersubsidi.


Sistem ini juga menuntut peran serta masyarakat dalam memenuhi biaya kesehatan
yang dibutuhkan dengan mengeluarkan biaya tambahan.

Syarat Pokok Pembiayaan Kesehatan

Suatu biaya kesehatan yang baik haruslah memenuhi beberapa syarat pokok yakni

1. Jumlah

Syarat utama dari biaya kesehatan haruslah tersedia dalam jumlah yang cukup. Yang
dimaksud cukup adalah dapat membiayai penyelenggaraan semua upaya kesehatan
yang dibutuhkan serta tidak menyulitkan masyarakat yang ingin memanfaatkannya.

2. Penyebaran

Berupa penyebaran dana yang harus sesuai dengan kebutuhan. Jika dana yang tersedia
tidak dapat dialokasikan dengan baik, niscaya akan menyulitkan penyelenggaraan
setiap upaya kesehatan.

3. Pemanfaatan

Sekalipun jumlah dan penyebaran dana baik, tetapi jika pemanfaatannya tidak
mendapat pengaturan yang optimal, niscaya akan banyak menimbulkan masalah, yang
jika berkelanjutan akan menyulitkan masyarakat yang membutuhkan pelayanan
kesehatan.

Untuk dapat melaksanakan syarat-syarat pokok tersebut maka perlu dilakukan


beberapa hal, yakni :

1. PeningkatanEfektifitas

Peningkatan efektifitas dilakukan dengan mengubah penyebaran atau alokasi


penggunaan sumber dana. Berdasarkan pengalaman yangdimiliki, maka alokasi
tersebut lebih diutamakan pada upaya kesehatanyang menghasilkan dampak yang
lebih besar, misalnya mengutamakan upaya pencegahan, bukan pengobatan penyakit.

2. PeningkatanEfisiensi

Peningkatan efisiensi dilakukan dengan memperkenalkan berbagai mekanisme


pengawasan dan pengendalian. Mekanisme yangdimaksud untuk peningkatan
efisiensi antara lain

a. Standarminimalpelayanan.

Tujuannya adalah menghindari pemborosan. Pada dasarnya ada dua macam standar
minimal yang sering dipergunakan yakni:

o Standar minimal sarana, misalnya standar minimal rumah sakitdan standar minimal
laboratorium.

o Standar minimal tindakan, misalnya tata cara pengobatan dan perawatan penderita,
dan daftar obat-obat esensial.

Dengan adanya standard minimal pelayanan ini, bukan saja pemborosan dapat
dihindari dan dengan demikian akan ditingkatkan efisiensinya, tetapi juga sekaligus
dapat pula dipakai sebagai pedoman dalam menilai mutu pelayanan.

b. Kerjasama.

Bentuk lain yang diperkenalkan untuk meningkatkan efisiensi ialah memperkenalkan


konsep kerjasama antar berbagai sarana pelayanan kesehatan. Terdapat dua bentuk
kerjasama yangdapat dilakukan yakni:

o Kerjasama institusi, misalnya sepakat secara bersama-samamembeli peralatan


kedokteran yang mahal dan jarangdipergunakan. Dengan pembelian dan pemakaian
bersama inidapat dihematkan dana yang tersedia serta dapat pula dihindari
penggunaan peralatan yang rendah dengan demikian efisiensi juga akan meningkat.
o Kerjasama sistem, misalnya sistem rujukan, yakni adanya hubungan kerjasama
timbal balik antara satu sarana kesehatan dengan sarana kesehatan lainnya

Fungsi Pembiayaan Kesehatan

Fungsi pembiayaan kesehatan antara lain :

1. Penggaliandana

a. Penggalian dana untuk Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM). Sumber dana untuk
UKM terutama berasal dari pemerintah baik pusat maupun daerah, melalui pajak
umum, pajak khusus, bantuan dan pinjaman serta berbagai sumber lainnya. Sumber
dana lain untuk upaya kesehatan masyarakat adalah swasta serta masyarakat. Sumber
dari swasta dihimpun dengan menerapkan prinsip public-private patnership yang
didukung dengan pemberian insentif, misalnya keringanan pajak untuksetiap dana
yang disumbangkan. Sumber dana dari masyarakat dihimpun secara aktif oleh
masyarakat sendiri guna membiayai upaya kesehatan masyarakat, misalnya dalam
bentuk dana sehat atau dilakukan secara pasif yakni menambahkan aspek kesehatan
dalam

rencana pengeluaran dari dana yang sudah terkumpul di masyarakat,

contohnya dana sosial keagamaan.


b. Penggalian dana untuk Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) berasal dari

masing-masing individu dalam satu kesatuan keluarga. Bagi masyarakat rentan dan
keluarga miskin, sumber dananya berasal dari pemerintah melalui mekanisme jaminan
pemeliharaan kesehatan wajib.

2. Pengalokasiandana

1. Alokasi dana dari pemerintah yakni alokasi dana yang berasal dari pemerintah
untuk UKM dan UKP dilakukan melalui penyusunan anggaran pendapatan
dan belanja baik pusat maupun daerah sekurang- kurangnya 5% dari PDB atau
15% dari total anggaran pendapatan dan belanja setiap tahunnya.
2. Alokasi dana dari masyarakat yakni alokasi dana dari masyarakat untuk UKM
dilaksanakan berdasarkan asas gotong royong sesuai dengankemampuan.
Sedangkan untuk UKP dilakukan melalui kepesertaandalam program jaminan
pemeliharaan kesehatan wajib dan atausukarela.

3. Pembelanjaan

1. Pembiayaan kesehatan dari pemerintah dan public-private patnership


digunakan untuk membiayai UKM.
2. Pembiayaan kesehatan yang terkumpul dari Dana Sehat dan Dana Sosial
Keagamaan digunakan untuk membiayai UKM dan UKP.
3. Pembelajaan untuk pemeliharaan kesehatan masyarakat rentan dan kesehatan
keluarga miskin dilaksanakan melalui Jaminan Pemeliharaan Kesehatan wajib

Tarif Pelayanan Kesehatan Batasan

Pengeritian tarif tidaklah sama dengan harga. Sekalipun keduanya merujuk pada
besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh konsumen, tetapi pengertian tarif ternyata
lebih terkait pada besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk memperoleh jasa
pelayanan, sedangkan pengertian harga lebih terkait pada besarnya biaya yang harus
dikeluarkan untuk memperoleh barang. Oleh masyarakat pemakai jasa pelayanan
kesehatan, tarif diartikan sama dengan seluruh biaya yang

harus dikeluarkan untuk memperoleh pelayanankesehatan. Adanya pengertian yang


seperti ini jelas tidak sesuai.Karena dalam pengertian seluruh biaya tersebut, telah
termasuk harga barang, yang untuk Indonesia misalnya obat-obatan, yang memeng
penggolahannya sering dilakukan terpisah dengan pengelolaan sarana pelayanan
kesehatan.

Namun, terlepas dari adanya perbedaan pengertian tersebut, peranan tarif dalam
pelayanan kesehatan memang amat penting. Untuk dapat menjamin kesinambungan
pelayanan, setiap sarana kesehatan harus dapat menetapkan besarnya tarif yang dapat
menjamin total pendapatan yang lebih besar dari total pengeluaran.
Sesungguhnya pada saat ini sebagai akibat dari mulai berkurangnya pihak- pihak yang
mau menyumbang dana pada pelayanan kesehatan (misal Rumah Sakit), maka sumber
keuangan utama kebanyakan sarana kesehatan hanyalah dari pendapatan saja. Untuk
ini jelas bahwa kecermatan menentukan tarif memegang peran yang amat penting.
Apabila tarif tersebut terlalu rendah,dapat menyebabkan total pendapatan (income)
yang rendah pula, yang apabila ternyata juga lebih rendah dari total pengeluaran
(expenses), pasti akan menimbulkan kesulitan keuangan.

Faktor yang mempengaruhi

Untuk dapat menetapkan tarif pelayanan yang dapat menjamin total pendapatanyang
tidak lebih rendah dari total pengeluaran, banyak factor yang perludiperhitungkan.
Faktor-faktor yang dimaksud untuk suatu sarana pelayanan,secara umum dapat
dibedakan atas empat macam:

1. Biayainvestasi
Untuk suatu rumah sakit, biaya investasi (investment cost) yang terpenting

adalah biaya pembangunan gedung, pembelian berbagai peralatan medis, pembelian


berbagai peralatan non-medis serta biaya pendidikan dan pelatihan tenaga pelaksana.
Tergantung dari besarnya biaya investasi, rencana titik impas (break event point),
jangka waktu pengembalian modal (return of investment), serta perhitungan masa
kedaluwarsa (depreciation period) maka tarif pelayanan suatu sarana kesehatan dapat
berbeda dengan sarana kesehatan lainnya. Secara umum disebutkan jika biaya
investasi tersebut adalah besar, rencana titik impas, jangka

10

waktu pengembalian biaya investasi serta perhitungan masa kedaluwarsa terlalu


singkat, maka tarif pelayanan yang diterapkan akan cenderung mahal.

2. Biayakegiatanrutin
Untuk suatu sarana kesehatan, biaya kegiatan rutin (operational cost) yang
dimaksudkan di sini mencakup semua biaya yang dibutuhkan untuk
menyelenggarakan berbagai kegiatan. Jika ditinjau dari kepentingan pemakai jasa
pelayanan, maka biaya kegiatan rutin ini dapat dibedakan atas dua macam:

a. Biaya untuk kegiatan yang berhubungan langsung dengan kebutuhan pelayanan


kesehatan (direct cost)
Pelayanan kesehatan yang dapat dimanfaatkan sangat bervariasi. Tidak

hanya pada tindakan yang dilakukan, tetapi juga pada peralatan yang dipergunakan.
Demikianlah jika pelayanan kesehatan tersebut memerlukan tindakan yang lebih sulit
serta peralatan yang lebih canggih, maka tarif yang ditetapkan untuk jenis pelayanan
kesehatan tersebut umumnya lebih tinggi. Dalam membicarakan biaya pelayanan
kesehatan ini, perlulah diperhatikan adanya peranan pengetahuan, sikap dan perilaku
penyelenggara dan pemakai jasa pelayanan kesehatan. Jika pengetahuan, sikap dan
perilaku tersebut tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan dan atau
“berlebihan‟ pasti akan mendorong pemakaian pelayanan yang berlebihan pula, yang
dampak akhirnya akanmeningkatkan total tarif yang dibayarkan ke Rumah Sakit.

b. Biaya untuk kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan kebutuhan


pelayanan kesehatan (indirect cost).
Ke dalam biaya ini termasuk gaji karyawan, pemeliharaan bangunan

dan peralatan, pemasangan rekening listrik dan air dan lain sebagainya yangseperti
ini. Secara umum disebutkan jika biaya kegiatan tidak langsung ini tinggi, misalnya
karena pengelolaan yang tidak efisien, pasti akan berpengaruh terhadap tingginya tarif
pelayanan.

3. Biayarencanapengembangan
Untuk suatu sarana kesehatan, biaya rencana pengembangan yang

dimaksudkan disini mencakup hal yang amat luas sekali. Mulai dari rencana perluasan
bangunan, penambahan peralatan, penambahan jumlah dan peningkatan pengetahuan
serta ke trampilan karyawan dan ataupun penambahan jenis pelayanan. Untuk sarana
keseh

11
atan yang tidak mencari keuntungan, besarnya biaya pengembangan ini lazimnya
sama dengansemua kelebihan hasil usaha.

4. Besarnyatargetkeuntungan
Tergantung dari filosofi yang dianut oleh pemilik sarana kesehatan besarnya

target keuntungan yang diharapkan tersebut amat bervariasi sekali. Tetapi betapapun
bervariasinya presentase keuntungan tersebut, seyogyanya keuntungan suatu sarana
kesehatan tidak boleh sama dengan keuntungan berbagai kegiatan usaha lainnya.

Upaya Pengendalian

Dari uraian tentang ke empat faktor yang harus diperhitungkan dalam menetapkan
tarif pelayanan yang seperti ini, segeralah mudah dipahami bahwa besarnya tarif
pelayanan tersebut sangat dipengaruhi serta bersifat sensitif terhadap besarnya biaya
infestasi, biaya rutin, biaya rencana pembangunan serta target perolehan keuntungan.
Jika biaya untuk ke empat faktor ini tinggi maka tarif pelayanan pasti akan tinggi
pula. Untuk mencegah tingginya tarif pelayanan kesehatan tersebut, maka biayauntuk
keempat factor ini haruslah dapat dikendalikan. Bertitik tolak dari berbagai kegiatan
yang dapat diakuakan pada program pengendalian biaya kesehatan, maka hal yang
dapat dilakukan pada program pengendalian tarif pelayanan. Secara sederhana dapat
diuraikan sebagai berikut:

1. BiayaInvestasi
Untuk mencegah biaya investasi yang terlalu besar dan jangka

waktu pengembalian yang terlalu singkat, mekanisme pengendalian yang lazim


diperlakukan adalah menerapkan ketentuan yang dikenal sebagai certificate of need,
serta kewajiban melakukan feasibility study yang bersifat social.

2. BiayaKegiatanRutin
Untuk mencegah biaya kegiatan rutin yang terlau tinggi, terutama yang

berhubungan langsung dengan kebutuhan pemakai jasa pelayanan kesehatan,


mekanisme pengendalian yang lazim diperlakukan adalah menerapkan ketentuan
pelayanan kesehatan yang etis dan sesuai standar, yang imbal jasa doktor (doctor fee)
sering termasuk didalamnya. Untuk menjamin efektifitas pelaksanaannya, penerapan
etis dan standar ini harus diikuti oleh medical audit secara berkala oleh

12

suatu badan yang bersifat netral yang di Amerika Serikat disebut sebagai profession al
standard review organization.

3. Biayarencanapengembangan
Untuk mencegah biaya rencana pengembangan yang berlebihan, mekanisme

pengendalian yang lazim diperlakukan ialah menerapkan ketentuan development plan


yang pada dasarnya hanya membenarkan program pengembangan apabila telah
direncanakan dan disetujui sebelumnya.

4. Keuntungan
Untuk mencegah tingginya perhitungan target keuntungan, yang terutama

ditemukan pada sarana kesehatan swasta, tidak ditemukan mekanisme pengendalian


khusus, kecuali menerapkan berbagai ketentuan sebagaimana dikemukakan di atas.
Dengan perkataan lain apabila semua ketentuan biaya (cost containtment) yang telah
disebutkan dapat terlaksana, maka secara otomatis perhitungan target keuntungan
yang terlalu tinggi akan dapat dicegah.

Korupsi di Bidang Kesehatan

Istilah korupsi tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia, yang banyak diartikan
penyelewengan dana negara oleh aparat negara itu sendiri. Berbeda dengan Fraud
yang belum familiar ditelinga masyarakat Indonesia. Istilah Fraud digunakan juga
sektor kesehatan untuk menggambarkan bahwa perbuatan curang di sektor kesehatan
mencakup ketiga bentuk ini.

The Association of Certified Fraud Examiners (ACFE), sebuah organisasi profesional


yang bergerak dibidang pemeriksaan atas kecurangan dan mempunyai tujuan untuk
memberantas kecurangan yang berkedudukan di Amerika Serikat dan telah memiliki
cabang di Indonesia, mengklasifikasikan Fraud (kecurangan) dalam beberapa
Klasifikasi dan dikenal dengan istilah "Fraud Tree” yaitu sistem klasifikasi menenai
hal-hal yang ditimbulkan oleh kecurangan sebagai berikut:

1. Penyimpangan atas aset (Asset Misappropriation).

Asset misappropriation meliputi penyalahgunaan/ pencurian aset atau harta


perusahaan atau pihak lain. Ini merupakan bentuk Fraud yang paling mudah dideteksi
karena sifatnya yang tangible atau dapat diukur/ dihitung (defined value).2.
Pernyataan palsu atau salah pernyataan (Fraudulent

Statement).Fraudulent statement meliputi tindakan yang dilakukan oleh

pejabat atau eksekutif suatu perusahaan atau instansi pemerintah untuk menutupi
kondisi keuangan yang sebenarnya dengan melakukan rekayasa keuangan (financial
engineering) dalam penyajian laporan keuangannya untuk memperoleh keuntungan
atau mungkin dapat dianalogikan dengan istilah window dressing.

3. Korupsi (Corruption).Jenis Fraud ini yang paling sulit dideteksi karena

menyangkut kerja sama dengan pihak lain seperti suap dan korupsi, di mana hal ini
merupakan jenis yang terbanyak terjadi di negara- negara berkembang yang
penegakan hukumnya lemah dan masih kurang kesadaran akan tata kelola yang baik
sehingga faktor integritasnya masih dipertanyakan. Fraud jenis ini sering kali tidak
dapat dideteksi karena para pihak yang bekerja sama menikmati keuntungan
(simbiosis mutualisme). Termasuk didalamnya adalah penyalahgunaan wewenang/
konflik kepentingan (conflict of interest), penyuapan (bribery), penerimaan yang tidak
sah/illegal (illegal gratuities), dan pemerasan secara ekonomi (economic extortion).

Secara umum, Fraud adalah sebuah tindakan criminal menggunakan metode-metode


yang tidak jujur untuk mengambil keuntungan dari orang lain (Merriam-Webster
Online Dicionary). Secara khusus, Fraud dalam jaminan kesehatan didefnisikan
sebagai sebuah tindakan untuk mencurangi atau mendapat manfaat program layanan
kesehatan dengan cara yang tidak sepantasnya.

Berdasar Permenkes 36 tahun 2015 tentang Pencegahan Kecurangan (Fraud) dalam


Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada Sistem Jaminan Sosial Nasional
(SJSN), Fraud dalam jaminan kesehatan adalah tindakan yang dilakukan dengan
sengaja oleh peserta, petugas BPJS kesehatan, pemberi pelayanan kesehatan, serta
penyedia obat dan alat kesehatan untuk mendapat keuntungan finansial dari program
JKN dalam SJSN melalui perbuatan curang yang tidak sesuai ketentuan.

a) PenyebabFrauddiKesehatan

Secara umum, menurut Cressey (1973), terdapat 3 faktor yang pasti muncul
bersamaan ketika seseorang melakukan Fraud. Pertama adalah tekanan yang
merupakan faktor yang memotivasi seseorang melakukan tindak kriminal Fraud.
Kedua adalah kesempatan yaitu situasi yang memungkinkan tindakan kriminal
dilakukan. Ketiga adalah rasionalisasi, yaitu pembenaran atas tindakan kriminal yang
dilakukan. Dalam banyak kasus, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Shahriari
(2001), Fraud dalam layanan kesehatan terjadi karena:

. (1) Tenaga medis bergaji rendah

. (2) Adanya ketidakseimbangan antara sistem layanan kesehatan dan beban layanan
kesehatan

. (3) Penyedia layanan tidak memberi insentif yang memadai

. (4) Kekurangan pasokan peralatan medis

. (5) Inefisiensi dalam sistem

. (6) Kurangnya transparansi dalam fasilitas kesehatan

. (7) Faktor budaya. “Ketidaknyamanan” dalam sistem kesehatan menyebabkan

berbagai pihak melakukan upaya “penyelamatan diri” untuk bertahan hidup selama
berpartisipasi dalam program JKN. Dokter maupun rumah sakit dapat melakukan
coping strategy sebagai langkah untuk menutupi kekurangan mereka atau paling tidak
memang bertujuan mencari keuntungan meskipun dari sesuatu yang illegal (Van
Lerberghe et al., 2002). Mekanisme koping ini hadir ketika sistem pengawasan lemah
dan tidak mampu menutupi peluang oknum untuk melakukan Fraud. Oknum tentu
akan terus menerus melakukan kecurangan ini sepanjang mereka masih bisa
menikmati keuntungan dengan kesempatan yang selalu terbuka untuk melakukan
kecurangan.(Ferrinho et al., 2004)

Berdasarkan teori dari Tuanakotta (2007) yang mengemukakan bahwa terdapat 3


pemicu utama yang dikenal dengan nama “fraud triangle” sehingga seseorang
terdorong untuk melakukan fraud yaitu (Purwitasari & Septiani, 2013) :

a) Opportunity (kesempatan)Manajemen dalam sebuah organisasi/perusahaan


mempunyai kesempatan yang lebih besar melakukan fraud dibandingkan
karyawannya. Kesempatan untuk melakukan fraud sangat berhubungan penerapan
pengendalian internal dalam perusahaan apakah kuat atau lemah. Internal control
yang lemah dikarenakan karena pengawasan, dan penyalahgunaan wewenang. Dari 3
elemen fraud triangle, kesempatan merupakan elemen yang paling memungkinkan
untuk diminimalisir melalui penerapan proses, prosedur, dan control serta cara
mendeteksi awal terjadinya fraud. Kesempatan dalam penelitian ini adalah :

. - BPJS memiliki pengendalian intern lemah yang menyebabkan proses


klaim asuransi dimanfaatkan oleh rumah sakit dengan melakukan fraud.

. - Pihak BPJS tidak mememiliki internal kontrol baik kontrol secara


berkala maupun rutin terhadap pelaksanaan asuransi BPJS di lapangan.

. Rumah sakit diberikan saran oleh BPJS untuk menyediakan divisi anti
fraud yang dapat membantu pihak BPJS mengontrol proses asuransi kesehatan
BPJS, namun divisi anti fraud bekerja untuk rumah sakit bukan untuk BPJS.

. - Adanya kemungkinan ada oknum yang bekerja sama dari kedua


lembaga tersebut. Pressure (tekanan)Fraud karena tergantung kepada kondisi
individu, tekanan keuangan, kebiasaan buruk dan kebiasaan lain yang
merugikan. Tekanan yang mungkin terjadi pada rumah sakit adalah : Tekanan
dari shareholders maupun top eksekutif rumah sakit memperoleh laba yang
tinggi sehingga terjadi fraud. Fraud yang dilakukan oleh rumah sakit terjadi
mungkin adanya oknum dari karyawan rumahsakit sehingga tekanan muncul
dari pribadi karyawan bukan kesalahan dari rumah sakit seluruhnya.
Razionalization (rasionalisasi)Apabila seseorang menganggap pembenaran
atas fraud
yang dilakukannya. Pelaku mencari alasan atau pembenaran bahwa fraud yang
dilakukannya bukan

tindakan bukan tindakan fraud. Seseorang mengetahui bahwa tindakan yang


dilakukannya adalah salah dan termasuk tindakan criminal, tetapi mereka
menganggap wajar tindakannya karena gaji yang mereka terima sangat tidak layak.
Dan beranggapan masyarakat juga melakukan hal seperti itu. Rumah sakit yang telah
melakukan kecurangan dalam klaim BPJS mungkin memiliki :

. - Pihak rumah sakit memungut uang kepada pasien BPJS karena uang
pengganti dari BPJS kurang, sehingga pihak rumahsakit memungutnya untuk
membayar kekurangan pasien.

. - Manipulasi kelas perawatan ketika pasien datang mencari kelas


perawatan yang sesuai dengan kelas premi BPJS penuh, namun pasien
diterima pada kelas yang lebih rendah dan pihak rumah sakit berdalih klaim
yang diajukan kepada pihak BPJS sesuai dengan kelas premi yang dibayarkan
pasien BPJS tersebut sehingga pihak rumah sakit merasa tidak salah dengan
apa yang dilakukan pihak rumah sakit . Menurut Sahriari (2010) menyatakan
bahwa di fraud di rumah sakit adalah karena :

- Rendahnya gaji tenaga medis

. - Sistem layanan kesehatan dan beban layanan kesehatan yang tidak


seimbang

. - Pemberian insentif yang tidak memadai dari penyedia layanan

. - Pasokan peralatan medis yang kurang

. - Sistem yang tidak efisien

. - Pemberian fasilitas kesehatan yang tidak transparan

. - Faktor budaya Bentuk bentuk fraud yang dilakukan menurut adalah


(Rizka et al., 2018): 1. UpcodingMembuat kode penentuan jenis penyakit dan
tindakan dari pelayanan yang lebih kompleks dari yang sebenarnya dikerjakan
oleh institusi pelayanan kesehatan. 2. CloningMengganti keadaan pasien
dengan cara menyalin profil pasien lain dengan gejala yang sama seolah
semua pasien dilakukan pemeriksaan lengkap dengan memakai sistem rekam
medis elektronik dan membuat model spesifikasi profil pasien secara otomatis.

3. Phantom billingMembuat tagihan yang tidak pernah mendapatkan

pelayanan yang ditagihkan institusi rumah sakit .

4. Inflated BillsMenagihkan pelayanan rumah sakit yang lebih tinggi dari

yang sebenarnya.

5. Service unbulding or fragmentationMelakukan pelayanan yang tidak langsung


secara

keseluruhan tetapi dibuat beberapa kali pelayanan.

6. Self – referralMemberikan pelayaanan kesehatan sendiri atau teman kerja

dengan insentif uang atau komisi.

7. Repeat billingPenagihan obat-obatan dan alat kesehatan yang sama

berulang ulang padahal hanya diberikan satu kali.

8. Length of stayMelakukan perpanjangan Masa rawat inap yang

diperpanjang di institusi pelayanan kesehatan agar mendapat tariff yang lebih tinggi.

9. Type of room chargeBiaya perawatan pasien ruangan yang ditagihkan

pembayaran kelas perawatannya lebih tinggi daripada yang sebenarnya.

10. Time in OR Menagihkan prosedur menggunakan waktu rata-rata maksimal


operasi, yang bukan durasi operasi yang sebenarnya.

11. Keystroke mistakeDengan sengaja melakukan kesalahan dalam menginput

penagihan pasien pada tarif untuk mendapat ganti tariff yang lebih tinggi.
12. Cancelled servicesPenagihan pada pembayaran padahal telah membatalkan

pelayanan yang telah direncanakan.

13. No medical valueMemberikan layanan kesehatan yang tidak bermanfaat

dalam pemeriksaan dan penatalaksanaan pasien

14. Standard of careTindakan yang berusaha memberikan pelayanan dengan

menyesuaikan dari tariff yang ada, sehingga dikhawatirkan cenderung menurunkan


kualitas dan standar pelayanan yang diberikan.

15. Unnecessary treatmentMemberikan obat atau memberikan layanan kesehatan

yang tidak dibutuhkan dan tidak diperlukan oleh pasien.

b) DampakFrauddiLayananKesehatan

Banyak aktor yang dapat terlibat dalam terjadinya Fraud layanan kesehatan. Di
Indonesia, aktor-aktor potensial Fraud yang disebut dalam Permenkes No. 36 tahun
2015, adalah peserta, petugas BPJS Kesehatan, pemberi pelayanan kesehatan,
dan/atau penyedia obat dan alat kesehatan.

Fraud dalam bidang kesehatan terbukti berpotensi menimbulkan kerugian finansal


negara dalam jumlah yang tidak sedikit. Sebagai contoh, pontesi kerugian akibat
Fraud di dunia adalah sebesar 7,29% dari dana kesehatan yang dikelola tiap tahunnya.
data FBI di AS menunjukkan bahwa potensi kerugian yang mungkin ditimbulkan
akibat Fraud layanan kesehatan adalah sebesar 3-10% dari dana yang dikelola. Data
lain yang bersumber dari penelitian University of Portsmouth menunjukkan bahwa
potensi Fraud di Inggris adalahsebesar 3-8% dari dana yang dikelola. Fraud juga
menimbulkan kerugian sebesar 0,5 – 1 juta dollar Amerika di Afrika Selatan berdasar
data dari Simanga Msane dan Qhubeka Forensic dan Qhubeka Forensic Services.

Tuanakotta (2007:159) mendefinisikan bahwa ada ungkapan yang mudah dalam


menjelaskan penyebab atau akar permaslahan dari fraud. Ungkapan tersebut : fraud by
need, by greed and by opportunity. Dapat diartikan bila ingin mencegah fraud, agar
menekan sekecil mungkin penyebabnya. Organisasi yang diduga melakukan fraud
secara internal tidak mau dipublikasikan, kasus tersebut ditutup dan masalahnya
dianggap telah selesai.(Tuanakotta, 2007)

Hall (2001), menyatakan fraud ditunjukkan pada penyajian fakta yang salah dilakukan
oleh satu pihak ke pihak lain yang bertujuan untuk membohongi dan mempengaruhi
pihak lain untuk bergantung pada fakta tersebut, fakta yang akan merugikannya dan
berdasarkan pada peraturan yang berlaku.

Tujuan utama pencegahan fraud adalah menghapus sebab- sebab terjadinya fraud.
Menurut Amrizal (2004:3) fraud sering terjadi karena :

. a) pengendalian internalyang lemah dan terjadi kelonggraan atau tidak efektif

. b) Pegawai bekerja namun tidak memikirkan kejujuran dan integritasnya

. c) Pegawai yang terlalu diatur, dimanfaatkan , disalahgunakan atau diperlakukan


dengan tekanan yang besar agar mencapai sasaran dan tujuan keuangan

. d) Manajemen yang bekerja fraud, tidak efisien dan atau tidak efektif serta tidak
mematuhi pada hukum dan peraturan yang berlaku

. e) Karyawan yang dipercaya mempynyai masalah pribadi,yaitu masalah keuangan,


kesehatan keluarga, gaya hidup yang berlebihan

. f) Perusahaan memiliki sejarah atau tradisi terjadinya fraud

. Hartatik, 2016, Pencegahan Kecurangan (Fraud) dalam pelaksanaan Program


Jaminan Kesehatan pada system jaminan social kesehatan (SJSN) di Rumah
Sakit Umum Daerah Menggala Tulang Bawang, Vol 10 Issue 4 menyatakan
bahwa melakukan pencegahan fraud adalah kegiatan yang dilaksanakan
tentang penetapan kebijakan, system serta prosedur yang dapat membantu
tindakan yang diperlukan oleh dewan komisaris, manajemen, dan personil lain
dalam perusahaan yang dapat memberikan keyakinan memadai dalam
mencapai tujuan organisasi yaitu: efektivitas dan efisiensi operasi, keandalan
laporan keuangan, serta kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang
berlaku (Hartati, 2016)

. Menurut Tuanakotta (2007:162) pencegahan fraud dapat dilakukan dengan


mengaktifkan pengendalian internal, yaitu pengendalian internal yang paling
banyak diterapkan, yang menghalangi pencuri masuk ke halaman rumah
orang.

. Dampak Korupsi Terhadap Sistem Manajemen Rumah Sakit Korupsi yang


terjadi akan terjadi pada keadaan:

. 1. Organisasi rumah sakit merupakan lembaga yang mempunyai sisi bayangan


yang semakin gelap

. 2. Tidak relevannya ilmu manajemen yang diajarkan di pendidikan tinggi

. Terjadinya kolusif pada direktur yang diangkat (contohnya membayar untuk


menjadi direktur) sehingga menjadi sulit menghargai ilmu manajemen

. Tidak seperti pada buku-teks tentang proses manajemen dan klinis di pelayanan.
Penanganan Korupsi Pada Lingkup Kesehatan Pencegahan

korupsi di sektor kesehatan dengan cara:

1. Tenaga kesehatan, pimpinan pemerintahan dan politik, serta konsultan, membangun


karakter dimulai sejak masa kecil

2. Harus dilakukan secara baik ,dan transparan tentang perekruitmen pimpinan


lembaga kesehatan dan rumah sakit dan serta SDM-nya;

3. Pendampingan kegiatan berpotensi korupsi sejak awal perencanaan, terutama pada


proyek-proyek di sektor kesehatan yang rentan menjadi proyek yang dapat
dirancang untuk dikorupsi

4. Cermat dalam melakukan kegiatan, tentang Administrasi perkantoran

5. Peraturan dan perundangan mengenai korupsi melalui pendidikan dan pelatihan


harus dipahami dokter, tenaga kesehatan, manajer Rumah Sakit.

Menurut Vian (2002), Fraud akibat penyalahgunaan wewenang dapat mengurangi


sumber daya, menurunkan kualitas, rendahnya keadilan dan efisiensi meningkatkan
biaya, serta mengurangi efektivitas dan jumlah. Di Indonesia, Fraud berpotensi
memperparah ketimpangan gegrafis. Ada kemungkinan besar provinsi yang tidak
memiliki tenaga dan fasilitas kesehatan yang memadai tidak akan optimal menyerap
dana BPJS. Penduduk di daerah sulit di Indonesia memang tercatat sebagai peserta
BPJS namun tidak memiliki akses yang sama terhadap pelayanan. Bila mereka harus
membayar sendiri(Vian & Nordberg, 2002), maka biaya kesehatan yang harus
ditanggung akan sangat besar. Fraud dalam layanan kesehatan di daerah maju dapat
memperparah kondisi ini. Dengan adanya Fraud, dana BPJS akan teralihkan ke
daerah-daerah maju dan masyarakat di daerah terpencil akan semakin sulit mendapat
pelayanan kesehatan yang optimal

c) BeberapaisuKasusFrauddiBidangKesehatan

Masalah kecurangan (fraud) muncul ketika terjadi kelemahan sistem pengendalian


internal, serta kerja sama antara pemegang kekuasaan dan pihak lain untuk
melakukan tindakan kecurangan dalam menetapkan APBD. Hal tersebut bisa
terlihat dalam kasus kecurangan yang terjadi dalam APBD Tahun Anggaran 2012
Provinsi Banten dan Kota Tangerang Selatan. Dalam kasus tersebut, ICW pada
tahun 2013 melakukan penelusuran mengenai keterkaitan Ratu Atut dengan para
pemenang tender pengadaan alat

. kesehatan tersebut. Berdasarkan Laporan Tahunan ICW Tahun 2013,


ditemukan indikasi kerugian negara dalam pengadaan alat kesehatan di
Provinsi Banten dan Kota Tangerang Selatan. Dari total 78 paket pengadaan
alat kesehatan TA 2012 dan 2013 senilai Rp 407 miliar diindikasikan kerugian
negara sebesar Rp 132 miliar (Laporan Tahunan ICW 2012). Penelusuran
tersebut sejalan dengan hasil audit BPK pada Laporan Keuangan Provinsi
Banten dan Kota Tangeran Selatan TA 2012 yang juga ditemukan indikasi
kerugian negara sebesar Rp 61 miliar lebih dan diduga proyek ini juga
dimenangkan oleh perusahaan milik keluarga Ratu Atut dan kroninya
(Laporan Tahunan ICW 2013). Sehingga setidaknya dalam proyek pengadaan
alat kesehatan di Provinsi Banten dan Kota Tangerang Selatan TA 2012 –
2013 indikasi kerugian negara mencapai Rp 193 miliar (Bongkar Perkara
Korupsi Alat Kesehatan Provinsi Banten dan Kota Tangerang Selatan).
. Sistem pengendalian internal (SPI) adalah cara yang dilakukan oleh pimpinan
organisasi untuk memberikan keyakinan dalam menilai kegiatan operasi
(SPAP 2001). Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2008
menetapkan bahwa seluruh lembaga pemerintah pusat dan daerah wajib
menerapkan Sistem Pengendalian Internal Pemerintah. Dengan adanya sistem
pengendalian yang baik, maka kecurangan akan bisa diminimalkan.

. Dalam Laporan Tahunan ICW Tahun 2012 juga dijelaskan kecurangan yang
dilakukan Ratu Atut muncul dalam APBD Provinsi Banten Tahun Anggaran
2012 melalui pengadaan sarana dan

. prasarana Rumah Sakit Rujukan Provinsi Banten, serta peningkatan pelayanan


kesehatan rumah sakit dan laboratorium daerah. Dalam kegiatan tersebut,
pemerintah daerah membutuhkan pengadaan berupa pembelian alat
kedokteran, pembangunan lanjutan rumah sakit rujukan dan laboratorium,
serta pengadaan tempat tidur tambahan di rumah sakit rujukan. Berdasarkan
perencanaan tersebut, dalam Bongkar Perkara Korupsi Alat Kesehatan
Provinsi Banten dan Kota Tangerang Selatan dijelaskan bahwa pemerintah
membeli barang dengan realisasi anggaran sejumlah:

. a. Realisasi belanja barang dan jasa Rp 54,381 miliar

. b. Realisasi Belanja modal sebesar Rp 186,342 miliar

. Total Belanja Barang, Jasa dan Modal TA 2012 sebesar Rp 240,814 miliar
Realisasi anggaran tersebut digunakan untuk mengadakan sarana dan
prasarana RS Rujukan, meningkatan pelayanan kesehatan RS dan
Laboratorium Daerah dengan realisasi Rp 147,893 miliar dan diantaranya
beruapa pengadaan alat-alat kedokteran dengan realisasi Rp 126,876 miliar.
Dalam penggunaan anggaran tersebut, terjadi kerugian negara senilai Rp
48,779 miliar yang berasal dari penggelembungan harga, pengadaan barang
yang tidak sesuai spesifikasi, serta tidak adanya barang ketika dilakukan
pemeriksaan (Bongkar Perkara Korupsi Alat Kesehatan Provinsi Banten dan
Kota Tangerang Selatan).

. Selain di Banten, ICW juga menemukan adanya tindak kecurangan (fraud)


dalam bentuk penggelembungan harga pengadaan alat kesehatan di Kota
Tangerang Selatan yang tendernya kebanyakan juga dimenangkan oleh
perusahaan keluarga Atut. Dalam pengadaan ini, negara dirugikan Rp 12,289
miliar akibat pembelian barang di atas harga sesungguhnya (LapoanTahunan
ICW 2013).

. Dalam vonisnya di pengadilan, Ratu Atut dinyatakan bersalah melanggar


dakwaan primer. Dakwaan primer tersebut adalah Undang-undang no. 31
Tahun 1999 Pasal 6 ayat 1 huruf a yang telah diubah dengan Undang-undang
no. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto
Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP pidana. Jaksa menyatakan, perbuatan Atut terbukti
melanggar dakwaan primer. Dalam hal ini melanggar Pasal 6 ayat 1 huruf a
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU
TipSikor) juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP pidana karena telah melanggar
hukum dan merugikan negara untuk memperkaya diri sendiri maupun
korporasi. Diperkirakan negara mengalami kerugian sebesar Rp 132,323
miliar.

. Tidak hanya itu Fraud juga terjadi antara Perusahaan Farmasi dengan dokter.
Berdasarkan data yang dimiliki Tempo, sekitar 131 miliar rupiah dibayarkan
PT. Interbat sejak 2013 hingga 2015 kepada dokter. Tujuannya diduga agar
dokter meresepkan obat - obatan produksi Interbat.

. Gratifikasi dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 14 tahun 2014 itu


dibagi atas gratifikasi yang dianggap suap dan gratifikasi yang tidak dianggap
suap. Gratifikasi yang dianggap suap dijelaskan pada Pasal 4 yaitu,
penerimaan yang tidak terbatas:

. a. Marketing fee atau imbalan yang bersifat transaksional dan terkait dengan
pemasaran suatu produk

. Cashback yang diterima instansi digunakan untuk kepentingan pribadi

. Gratifikasi yang terkait pelayanan barang dan jasa, pelayanan publik dan lainnya
. Sponsorship yang terkait pemasaran dan penelitian suatu produk. Sedangkan,
gratifikasi yang tidak dianggap suap diatur

dalam Pasal 5 yaitu, pemberian secara resmi dari aparatur kementerian sebagai wakil
resmi instansi dalam suatu kegiatan dinas sebagai bentuk penghargaan, atas
keikutsertaan kontribusi dalam kegiatan tersebut. Misalnya, pemberian berupa cindera
mata dalam kegiatan resmi, Kedinasan seperti rapat, seminar, workshop, konferensi,
pelatihan atau kegiatan lain sejenis. Kemudian, kompensasi yang diterima terkait
kegitaan kedinasan, seperti honorarium, transportasi, akomodasi dan pembiayaan
sebagaimana diatur pada standar biaya yang berlaku instansi pemberi, sepanjang tidak
ada pembiayaan ganda, nilai tak wajar, tidak terdapat konflik kepentingan, tidak
melanggar ketentuan yang berlaku di instansi penerima.

Dari empat uraian di atas terlihat bahwa sudah banyak aturan yang mengatur bahwa
dokter dilarang menerima pemberian dalam bentuk apa pun dari pihak lain yang dapat
mempengaruhi profesionalitasnya dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada
pasien.

Fraud Diamond Theory

Albrecht (2012) berpendapat bahwa tindakan kecurangan yang dilakukan oleh


seseorang atau sekelompok orang didasari oleh beberapa faktor, yaitu(Albrecht et al.,
2012):

a. Tekanan (pressure).

Tekanan adalah motivasi yang ingin dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang
tetapi dibatasi oleh ketidakmampuan untuk mencapainya. Kondisi tersebut membuat
seseorang melakukan tindakan curang. Tekanan tersebut dapat berasal dari masalah
keuangan, kebiasaan buruk yang dimilki seseorang, dan tekanan pihak eksternal.
b. Peluang (opportunity).

Peluang adalah sebuah situasi dimana seseorang memiliki kesempatan untuk


melakukan tindakan kecurangan. Situasi

tersebut didukung dengan adanya kondisi yang aman bagi pelaku fraud untuk
melakukan kecurangan. Peluang dapat timbul karena adanya kelemahan dari sistem
pendeteksian kecurangan, ketidakmampuan untuk menilai kualitas dari suatu
kinerja/barang, kegagalan dalam menciptakan kondisi disiplin, ketidaktahuan, serta
minimnya akses untuk memperoleh informasi yang terpercaya (Mansor, 2015).

c. Rasionalisasi (rationalization).

Rasionalisasi adalah prosses untuk meyakinkan diri bahwa apa yang dilakukan oleh
diri sendiri adalah sebuah tindakan yang benar, namun tindakan kecurangan tersebut
sebenarnya salah. Pada tahun 2004, Wolfe dan Hermanson mempublikasikan model
baru dalam mendeteksi kecurangan yang disebut dengan Fraud Diamond Model.
Fraud diamond (Wolfe dan Hermanson, 2004) merupakan sebuah bentuk
penyempurnaan dari teori segitiga kecurangan (Triangle Fraud Theory) yang
dikemukakan oleh Cressey (1950) dan Albrecht (2012). Wolfe dan Hermanson (2004)
berpendapat bahwa disamping elemen Triangle Fraud yaitu tekanan (pressure),
peluang (opportunity), dan rasionalisasi (rationalization), masih ada elemen lain yang
harus dimasukkan untuk mendeteksi dan mencegah tindak kecurangan sehingga perlu
ditambahkan elemen keempat yaitu kemampuan (capability) (Wolfe & Hermanson,
2004).

Wolfe dan Hermanson (2004) menjelaskan karakteristik yang terkait kemampuan


yang ada dalam pribadi seorang pelaku fraud, yaitu (Wolfe & Hermanson, 2004):

a. Positioning

Salah satu faktor yang membuat pelaku fraud memiliki kemampuan untuk melakukan
tindakan kecurangan adalah fungsi atau posisi yang mereka miliki dalam sebuah
organisasi. Wolfe dan Hermanon (2004) mengatakan bahwa posisi dan kekuasaan
yang dimiliki seseorang bisa memudahkan dan menyempurnakan aksi pelaku
kecurangan. Lebih jauh lagi mereka menjelaskan bahwa hasil dari penelitian yang
mereka lakukan menunjukkan bahwa kecurangan yang terjadi dalam perusahaan,
hampir 70% dilakukan oleh CEO mereka. Wolfe dan Hermanon juga menjelaskan
bahwa banyak organisasi yang tidak mengatur dan menerapkan dengan baik sistem
pengawasan kepada CEO atau pimpinan mereka untuk mengawasi capability yang
mereka miliki untuk mempengaruhi dan melakukan kecurangan.

b. Inteligence dan Creativity

Pelaku fraud biasanya adalah seseorang yang mengerti dan memahami tentang
kelemahan yang ada dalam sistem pengawasan. Mereka lalu menggunakan fungsi,
posisi, dan otorisasi yang ia miliki untuk mendapatkan keuntungan dengan berbagai
cara. Kemampuan, pengalaman, dan kreativitas seseorang bila dikombinasikan
dengan situasi sistem pengawasan yang lemah menjadi penyebab terbesar terjadinya
kecurangan akhirakhir ini. Pengetahuan yang dimiliki pelaku, digunakan untuk
mempengaruhi orang lain untuk memberikan akses ke dalam sistem yang ada.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh The Asociation of Certified Fraud
Examiner (2013), 51% dari tindak kecurangan di Amerika dilakukan oleh seseorang
yang berpendidikan minimal pasca sarjana. Selain itu, 48% pelaku kecurangan berusia
lebih dari 40 tahun yang menandakan bahwa orang tersebut sudah memiliki
pengetahuan yang cukup mengenai system yang ada.

Sanksi Pidana

Ada dua adagium terkait pidana dan pemidanaan (pemberian sanksi pidana). Adagium
pertama berbunyi ―Poena ad paucos, metus ad omnes perveriat‖ dan adagium kedua
berbunyi ̳ Non alio Modo puniatur aliquis, quam secundum quod se habet
condemnation" Adagium pertama berarti: biarkanlah hukuman dijatuhkan kepada
beberapa orang agar memberi contoh kepada orang lain. Adagium ini memiliki
kedalaman makna yang berfungsi sebagai prevensi umum agar orang lain tidak
berbuat jahat. Adagium kedua berarti: seseorang tidak dapat dihukum dengan
hukuman yang tidak sesuai dengan perbuatannya. Adagium ini lebih pada aspek
retributif dalam pemidanaan agar sanksi pidana yang dijatuhkan sepadan dengan
perbuatan pidana yang dilakukan. Pidana pada hakikatnya adalah suatu kerugian
berupa penderitaan yang sengaja diberikan oleh negara terhadap individu yang
melakukan pelanggaran terhadap hukum. Kendatipun demikian, pemidanaan juga
adalah suatu pendidikan moral terhadap pelaku yang telah melakukan kejahatan
dengan maksud agar tidak lagi mengulang perbuatannya. Pidana Pokok terdiri dari
pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda dan pidana tutupan. Urut-
urutan pidana pokok tersebut berdasarkan tingkatan berat ringannya sanksi pidana

3
yang dijatuhkan.

Usaha penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana)


sendiri sebenarnya bukan sarana yang utama karena mengandung

2
Esmi Warassih,” Pranata Hukum sebuah Telaah Sosiologis”, Semarang;Penerbit

3
Pustaka Magister,2016 Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana edisi
revisi” , Yogyakarta, Cahaya Atma Pustaka, 2016, halaman 451-453
15

berbagai kelemahan dan keterbatasan, yang menurut Barda Nawawi Arief dapat
diidentifikasi sebagai berikut:

. Dilihat secara dogmatis/idealis, sanksi pidana merupakan jenis sanksi yang paling
tajam/keras ( oleh karena itu juga sering disebut sebagai ―ultimum
remedium/obat pamungkas)

. Dilihat secara fungsional/pragmatis, operasionalisasi dan aplikasinya memerlukan


sarana pendukung yang lebih bervariasi ( antara lain berbagai undang-undang
organik, lembaga/aparat pelaksana) dan lebih menuntut biaya yang tinggi.

. Sanksi hukum pidana merupakan ̳ remedium‘ yang mengandung sifat


kontradiktif/paradoksal dan mengandung unur-unsur serta efek sampingan
yang negatif.

. Penanggulangan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan hanya merupakan


― kurieren am symptom‘(mengurangi /menyembuhkan gejala) jadi
hukum/pidana hanya merupakan pengobatan symptomatic dan bukan
pengobatan kasusatif karena sebab kejahatan yang demikian kompleks
beradadi luar jangkauan hukum pidana.

. Hukum pidana hanya merupakan bagian kecil (sub sistem) dari sarana kontrol
social yang tidak mungkin mengatasi masalah kejahatan sebagai masalah
kemanusiaan yang sangat kompleks (sebagai masalah sosio ekonomis, sosio
filosofis, sosiopolitik, sosio kultural dan sebagainya).

. Sistem pemidanaan bersifat fragmentair dan individu personal, tidak bersifat


struktural atau fungsional.
16

c. Kasus

vii. Efektifitas pidana masih bergantung pada banyak faktor dan oleh karena itu masih

4
sering dipermasalahkan.

Anda mungkin juga menyukai