Anda di halaman 1dari 12

TUGAS INDIVIDU

MATA KULIAH
PEMBIAYAAN DAN PENGANGGARAN KESEHATAN

“ANALISIS MODEL PEMBIAYAAN KESEHATAN DI INDONESIA”

Oleh

FARAH MUTHIA RIVAI 1910912320026

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU
2022
ANALISIS

Penduduk Indonesia memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pelayanan


kesehatan yang layak, selain pelayanan pendidikan dan perlindungan hokum.
Kesehatan menjadi isu penting terkait dengan dampak dari perubahan lingkungan
akibat perkembangan dunia saat ini. Industri yang semakin berkembang turut pula
membawa dampak pada kesehatan. Indonesia sendiri masih termasuk dalam Negara
dengan industri yang baru berkembang. Perkembangan industri yang pesat akan
mempengaruhi lingkungan setempat. Beragam penyakit dengan mudah menyebar
dan membuat masyarakat mudah terkena penyakit. Hal ini membuat masyarakat
membutuhkan suatu pelayanan kesehatan yang berkualitas sesuai dengan hak dasar
yang dimiliki warga Negara Indonesia. Pemerintah sebagai penyelenggara
pemerintahan sudah tentu harus turut andil dalam menanggapi permasalahan yang
ada dalam masyarakat dengan cara menyelenggarakan pelayanan publik bagi
masyarakat (Hidayati dan Devi, 2021). Pelayanan publik menurut KEMENPAN
Nomor 63/2003 yaitu segala bentuk pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi
pemerintah di pusat, di daerah, dan di lingkungan badan usaha milik negara atau
badan usaha milik daerah dalam bentuk barang dan atau jasa, baik dalam rangka
upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan
ketentuan peraturan perundang-undangan (Noviandari, 2016).
Pelayanan kesehatan masyarakat pada prinsipnya mengutamakan pelayanan
kesehatan promotif dan preventif. Pelayanan promotif adalah upaya meningkatkan
kesehatan masyarakat ke arah yang lebih baik lagi dan yang preventif mencegah
agar masyarakat tidak jatuh sakit agar terhindar dari penyakit. Sebab itu pelayanan
kesehatan masyarakat itu tidak hanya tertuju pada pengobatan individu yang sedang
sakit saja, tetapi yang lebih penting adalah upaya-upaya pencegahan (preventif) dan
peningkatan kesehatan (promotif). Sehingga, bentuk pelayanan kesehatan bukan
hanya puskesmas atau balkesmas saja, tetapi juga bentuk-bentuk kegiatan lain, baik
yang langsung kepada peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit, maupun
yang secara tidak langsung berpengaruh kepada peningkatan kesehatan (Setyawan,
2015).
Penyelenggaraan pelayanan kesehatan diatur dalam Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2009 yang telah diperbaharui dari undang-undang sebelumnya, dalam
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 menjelaskan bahwa pelayanan kesehatan
adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara
perpadu, terintregrasi, dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan
kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh pemerintah dan
atau masyarakat. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur
kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam pancasila dan undang-undang dasar tahun 1945.
Setiap hal yang menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan pada masyarakat
Indonesia akan menimbulkan kerugian ekonomi yang besar bagi negara, dan setiap
upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat juga berarti investasi bagi
pembangunan negara (Noviandari, 2016).
Berdasarkan penjelasan dari undang-undang tersebut maka dapat dipahami
bahwa kesehatan merupakan tanggung jawab pemerintah dan kesehatan sangatlah
penting bagi pembangunan negara. Apabila masyarakat sehat maka pembangunan
akan dapat berjalan lancar dan begitu juga sebaliknya apabila masyarakat memiliki
derajat kesehatan yang rendah maka pembangunan tidak akan dapat berjalan
dengan lancar. Dan maka dari itu segala sesuatu yang dapat membahayakan
kesehatan masyarakat harus dapat diatasi dengan sigap dan secepatnya. Pemerintah
harus dapat mengambil langkah awal untuk mengatasi masalah kesehatan sejak
dini. Salah satunya yaitu masalah kematian ibu hamil yang tinggi (Noviandari,
2016).
Pelayanan kesehatan dibedakan dalam dua golongan, yaitu:
1. Pelayanan kesehatan primer (primary health care), atau pelayanan kesehatan
masyarakat adalah pelayanan kesehatan yang paling depan, yang pertama kali
diperlukan masyarakat pada saat mereka mengalami ganggunan kesehatan atau
kecelakaan (Setyawan, 2015).
2. Pelayanan kesehatan sekunder dan tersier (secondary and tertiary health care),
adalah rumah sakit, tempat masyarakat memerlukan perawatan lebih lanjut
atau rujukan. Di Indonesia terdapat berbagai tingkat rumah sakit, mulai dari
rumah sakit tipe D sampai dengan Rumah sakit kelas A (Setyawan, 2015).
Untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan masyarakat terhadap kesehatan
banyak hal yang harus dilakukan, salah satunya adalah penyelenggaraan pelayanan
kesehatan. Secara umum dapat dibedakan 9 (sembilan) syarat penyelenggaraan
pelayanan kesehatan yang baik, yakni tersedia (available), menyeluruh
(comprehensive), berkesinambungan (countinues), terpadu (integrated), wajar
(appropiate), dapat diterima (acceptable), bermutu (quality), tercapai (accessible)
serta terjangkau (affordable) (Setyawan, 2015).
Dampak krisis ekonomi di Indonesia sampai saat ini meluas ke seluruh bidang
kehidupan, termasuk bidang pelayanan kesehatan. Dilema yang dihadapi pelayanan
kesehatan, disatu pihak pelayanan kesehatan harus menjalankan misi sosial, yakni
merawat dan menolong yang sedang menderita tanpa memandang sosial, ekonomi,
agama dan sebagainya. Namun dipihak lain pelayanan kesehatan harus bertahan
secara ekonomi dalam menghadapi badai krisis tersebut. Oleh sebab itu pelayanan
kesehatan harus melakukan reformasi, reorientasi dan revitalisasi. Reformasi
kebijakan pembangunan kesehatan telah selesai dilakukan sebagaimana telah
tertuang dalam Visi, Misi, Strategi dan Paradigma baru pembangunan kesehatan
yang populer dengan sebutan Indonesia Sehat. Reformasi Sistem Kesehatan
Nasional (SKN) telah memberi arah baru pembangunan kesehatan di Indonesia.
Jika diperhatikan kebijakan dan sistem baru hasil reformasi tersebut tampak banyak
perubahan yang akan dilakukan, dua diantaranya yang terpenting adalah perubahan
pada subsistem upaya kesehatan dan perubahan pada subsistem pembiayaan
kesehatan (Setyawan, 2015).
Sistem Kesehatan Nasional (SKN) merupakan pengelolaan kesehatan yang
diselenggarakan oleh semua komponen Bangsa Indonesia secara terpadu dan saling
mendukung guna menjamin tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya. Untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan, maka
pengelolaan kesehatan dilaksanakan melalui subsistem kesehatan yang terbagi ke
dalam beberapa bagian, yaitu upaya kesehatan, penelitian dan pengembangan
kesehatan, pembiayaan kesehatan, sumber daya manusia kesehatan, sediaan
farmasi, alat kesehatan, dan makanan, manajemen, informasi dan regulasi
kesehatan, pemberdayaan masyarakat (Putri, 2019).
Proses pelayanan kesehatan tidak bisa dipisahkan dengan pembiayaan
kesehatan. Biaya kesehatan ialah besarnya dana yang harus disediakan untuk
menyelenggarakan dan atau memanfaatkan berbagai upaya kesehatan yang
diperlukan oleh perorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat. Berdasarkan
pengertian ini, maka biaya kesehatan dapat ditinjau dari dua sudut yaitu
berdasarkan (Setyawan, 2015):
1. Penyedia Pelayanan Kesehatan (Health Provider), adalah besarnya dana yang
harus disediakan untuk dapat menyelenggarakan upaya kesehatan, maka dilihat
pengertian ini bahwa biaya kesehatan dari sudut penyedia pelayanan adalah
persoalan utama pemerintah dan ataupun pihak swasta, yakni pihak-pihak yang
akan menyelenggarakan upaya kesehatan. Besarnya dana bagi penyedia
pelayanan kesehatan lebih menunjuk kepada seluruh biaya investasi
(investment cost) serta seluruh biaya operasional (operational cost) (Setyawan,
2015).
2. Pemakai Jasa Pelayanan (Health consumer), adalah besarnya dana yang harus
disediakan untuk dapat memanfaatkan jasa pelayanan. Dalam hal ini biaya
kesehatan menjadi persoalan utama para pemakai jasa pelayanan, namun dalam
batas-batas tertentu pemerintah juga turut serta, yakni dalam rangka
terjaminnya pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang
membutuhkannya. Besarnya dana bagi pemakai jasa pelayanan lebih menunjuk
pada jumlah uang yang harus dikeluarkan (out of pocket) untuk dapat
memanfaatkan suatu upaya kesehatan (Setyawan, 2015).
Pembiayaan kesehatan yang kuat, stabil dan berkesinambungan memegang
peranan yang amat vital untuk penyelenggaraan pelayanan kesehatan dalam rangka
mencapai berbagai tujuan penting dari pembangunan kesehatan di suatu negara
diantaranya adalah pemerataan pelayanan kesehatan dan akses (equitable access to
health care) dan pelayanan yang berkualitas (assured quality). Oleh karena itu
reformasi kebijakan kesehatan di suatu negara seyogyanya memberikan fokus
penting kepada kebijakan pembiayaan kesehatan untuk menjamin terselenggaranya
kecukupan (adequacy), pemerataan (equity), efisiensi (efficiency) dan efektifitas
(effectiveness) dari pembiayaan kesehatan itu sendiri (Setyawan, 2015).
Perencanaan dan pengaturan pembiayaan kesehatan yang memadai (health
care financing) akan menolong pemerintah di suatu negara untuk dapat
memobilisasi sumber-sumber pembiayaan kesehatan, mengalokasikannya secara
rasional serta menggunakannya secara efisien dan efektif. Kebijakan pembiayaan
kesehatan yang mengutamakan pemerataan serta berpihak kepada masyarakat
miskin (equitable and pro poor health policy) akan mendorong tercapainya akses
yang universal. Pada aspek yang lebih luas diyakini bahwa pembiayaan kesehatan
mempunyai kontribusi pada perkembangan sosial dan ekonomi. Pelayanan
kesehatan itu sendiri pada akhir-akhir ini menjadi amat mahal baik pada negara
maju maupun pada negara berkembang. Penggunaan yang berlebihan dari
pelayanan kesehatan dengan teknologi tinggi adalah salah satu penyebab utamanya.
Penyebab yang lain adalah dominasi pembiayaan pelayanan kesehatan dengan
mekanisme pembayaran tunai (fee for service) dan lemahnya kemampuan dalam
penatalaksanaan sumber-sumber dan pelayanan itu sendiri (poor management of
resources and services) (Setyawan, 2015).
Pelayanan kesehatan terhadap masyarakat bersifat kuratif, preventif, promotif
dan rehabilitatif, sehingga pembiayaan kesehatan harus dapat membiayai ke empat
sifat pelayanan tersebut. Prinsip fairness of financing dalam pembiayaan kesehatan
sangat diperlukan dalam menjalankan ke empat sifat pelayanan kesehatan. Dengan
prinsip keadilan dan perlindungan terhadap risiko dalam distribusi pembiayaan
tersebut dapat menjamin keberlangsungan pelayanan kesehatan, sehingga
peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang diimpikan dapat tercapai. Adanya
skema Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang merupakan sumber pendanaan
untuk pengobatan. Sementara itu, APBN serta APBD yang merupakan sumber
pendanaan untuk pelayanan yang bersifat pencegahan (preventif) dan promotif.
Adanya JKN, APBN dan APBD yang merupakan sumber pendanaan merupakan
bentuk prinsip keadilan dalam pembiayaan (fairness of financing). Pembiayaan
yang berasal dari APBN dan APBD diutamakan untuk pelayanan pencegahan
preventif) dan promotif yang maksimal 2/3 dari sumber pendanaan tersebut
(Departemen Kesehatan RI, 2009).
Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diluncurkan pada awal
2014 merupakan program jaminan perlindungan kesehatan secara komprehensif
meliputi pelayanan promotif, kuratif, serta rehabilitatif yang ditujukan untuk
seluruh rakyat Indonesia. Tujuan utama dari jaminan kesehatan ini adalah agar
peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam
memenuhi kebutuhan dasar kesehatan dengan cara meningkatkan akses dan mutu
pelayanan kesehatan (Leksono et al., 2017).
JKN merupakan program pemerintah yang bertujuan untuk memberikan
jaminan kesehatan secara menyeluruh bagi seluruh masyarakat Indonesia untuk
hidup sehat, produktif, dan sejahtera. Seiring dengan implementasi dari program
ini, seperti halnya program atau inisiatif lainnya yang baru berjalan, berbagai
tantangan muncul dan membutuhkan penanganan segera. Salah satu tantangan ini
berkaitan dengan berbagai regulasi atau peraturan terkait JKN yang muncul di level
nasional, provinsi, dan juga kabupaten/kota. Regulasi yang kompleks tentang JKN
memiliki potensi tantangan dalam interpretasi, kesiapan pelaksanaannya sendiri,
serta sinkronisasi dengan aturan lainnya, termasuk regulasi tentang layanan primer
dan sekunder yang sudah ada sebelumnya. Regulasi baru ini dapat mempengaruhi
implementasi di lapangan. Tantangan lain adalah kesiapan daerah di Indonesia yang
sangat beragam, dimana terdapat kabupaten/kota yang telah siap untuk mengelola
program JKN dan di sisi lain cukup banyak daerah yang belum memiliki
infrastruktur serta sistem pengelolaan yang memadai. Hal ini juga berhubungan
dengan situasi internal di 2 daerah tersebut dan situasi eksternal yang juga
mempengaruhi implementasi kebijakan. Tantangan dalam aspek regulasi dan
kesiapan ini juga secara khusus ada di level pelayanan kesehatan primer karena
layanan primer merupakan kunci awal dari keberhasilan JKN dalam menjaga
kesehatan populasi secara komprehensif. Tanpa pencapaian target di layanan
primer, maka tujuan utama JKN tidak akan berhasil. Oleh karena itu, setelah dua
tahun implementasi JKN, aspek-aspek yang menjadi potensi tantangan ini perlu
segera ditelaah melalui studi sistematis mengenai pelaksanaan kebijakan dan
kesiapan di berbagai daerah yang memiliki lingkungan yang berbeda-beda
(Leksono et al., 2017).
Program JKN yang diresmikan pada tanggal 1 Januari 2014 ini dilaksanakan
serentak di fasilitas pelayanan kesehatan, yaitu di seluruh Puskesmas dan Rumah
Sakit di Indonesia yang dilembagai oleh BPJS. Pemerintah Indonesia menetapkan
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
(SJSN) sebagai bukti bahwa pemerintah memiliki komitmen yang besar untuk
mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyatnya Atas dasar itu dibentuklah
PT. Askes (Persero) sebagai badan penyelenggara jaminan kesehatan bagi Pegawai
Negara Sipil (PNS) sekaligus pelaksana program Jamkesmas. Pada 1 Januari 2014
PT. Askes (Persero) berubah menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Kesehatan (BPJS). Dengan perubahan ini maka seluruh program PT. Askes
(Persero) sebagai penyelenggara jaminan sosial dan sebagai pelaksana program
Jamkesmas beralih ke BPJS Kesehatan sesuai Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2011 tentang BPJS (Leksono et al., 2017).
BPJS Kesehatan adalah badan hukum yang dibentuk untuk
menyelenggarakan program jaminan kesehatan. Jaminan kesehatan adalah jaminan
berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan
kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang
diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar
oleh pemerintah. Sehingga tercipta mekanisme subsidi silang dan gotong royong
masyarakat dalam jaminan kesehatan yang berdasarkan pada sistem jaminan sosial
yang berbasis asuransi social. BPJS Kesehatan mempunyai tugas utama yaitu
menyelenggarakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bagi warga negara
Indonesia. Pelayanan kesehatan yang dijamin oleh BPJS mencakup pelayanan
promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif termasuk pelayanan obat dan bahan
medis habis pakai sesuai kebutuhan medis yang diperlukan. Program JKN-KIS
BPJS Kesehatan merupakan program Pemerintah Indonesia dalam mewujudkan
upaya memberi pelayanan kesehatan secara menyeluruh kepada penduduk
Indonesia agar dapat merasakan manfaat jaminan kesehatan yang berguna untuk
pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar
kesehatan (Pratama, Sangking dan Thea, 2021).
Program JKN, BPJS Kesehatan bekerjasama dengan badan-badan penyedia
pelayanan kesehatan sebagai mitra dalam melayani peserta BPJS seperti rumah
sakit pemerintah maupun swasta, klinik-klinik kesehatan, praktek dokter, apotek,
serta optik, dan lainnya. Dalam perikatan kerjasama kemitraan tersebut dituangkan
dalam naskah perjanjian dalam bentuk Nota Kesepahaman (Memorandum of
Understanding-MoU) yang mengatur hak dan kewajiban antar masing-masing
pihak terdapat hubungan hukum antara BPJS selaku badan hukum publik menjadi
wadah yang menghimpun seluruh kegiatan yang berhubungan dengan jaminan
sosial dalam hal ini khususnya jaminan kesehatan di Indonesia.Pelayanan kesehatan
pada sistem BPJS Kesehatan di rumah sakit terbagi menjadi beberapa kelas ruang
perawatan, yaitu kelas I, kelas II, kelas III yang sesuai dengan jenis kepesertaan dari
anggota BPJS Kesehatan. Peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) hanya di kelas III
sedangkan non PBI dapat memilih sesuai dengan pilihannya (Pratama, Sangking
dan Thea, 2021).
Keberadaan rumah sakit merupakan sarana yang wajib disediakan pemerintah
sebagai wujud kepedulian terhadap kesehatan masyarakatnya. Rumah sakit sebagai
tempat pelayanan kesehatan dituntut untuk memberikan pelayanan yang bermutu
sesuai dengan standar yang ditetapkan dan merupakan bagian dari sumber daya
kesehatan yang sangat diperlukan dalam mendukung penyelenggaraan upaya
kesehatan. Namun dalam proses pelaksanaannya, program JKN bagi masyarakat di
Indonesia masih belum optimal. Salah satu contoh permasalahan yang dihadapi
oleh pasien BPJS kesehatan yaitu ketersediaan kamar yang terkadang penuh, kelas
ruangan yang tidak sesuai dan kurang maksimalnya pelayanan kesehatan yang
diberikan oleh rumah sakit kepada pasien BPJS Kesehatan. Dokter dan perawat
sebagai tenaga kesehatan palingdekat hubungannya dengan pasien dalam
penanganan penyakit. Terdapat beberapa hubungan dalam upaya pelayanan
kesehatan tersebut, yaitu hubungan antara rumah sakit dengan tenaga kesehatan
serta pasien dengan tenaga kesehatan itu sendiri (Pratama, Sangking dan Thea,
2021).
BPJS Kesehatan dalam melaksanakan program jaminan kesehatan nasional
perlu memperhatikan beberapa hal guna tercapainya keberhasilan upaya
pembangunan dalam bidang kesehatan tersebut. Salah satunya ialah ketersediaan
yang berupa tenaga, sarana, dan prasarana dalam jumlah mutu yang memadai.
Dalam rangka menunjang terwujudnya pelayanan kesehatan yang baik dan optimal,
pemerintah menetapkan berlakunya standar pelayanan medis di rumah sakit dan
standar pelayanan rumah sakit. Standar pelayanan medis tersebut merupakan sendi
utama dalam upaya peningkatan mutu pelayanan medis di Indonesia. Standar
pelayanan medis ini merupakan hukum yang mengikat para pihak yang berprofesi
di bidang kesehatan, yaitu untuk mengatur pelayanan kesehatan dan untuk
mencegah terjadinya kelalaian staf medis dalam melakukan tindakan medis
(Pratama, Sangking dan Thea, 2021).
Pemerintah melalui Peraturan Presiden RI Nomor 2 tahun 2015 tentang
RPJMN 2015-2019 memformulasikan indikator keberhasilan dari terselenggaranya
Penguatan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)/Kartu Indonesia Sehat (KIS) berupa
jumlah penduduk yang menjadi peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) melalui
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)/Kartu Indonesia Sehat (KIS). Selanjutnya
melalui Renstra Kementerian Kesehatan 2015-2019 juga diformulasikan Program
Terselenggaranya Penguatan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)/Kartu Indonesia
Sehat (KIS) yang menargetkan capaian jumlah penduduk yang menjadi peserta
Penerima Bantuan Iuran (PBI) melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)/Kartu
Indonesia Sehat (KIS) sebanyak 92.2 juta jiwa pada tahun 2019 (Pratama, Sangking
dan Thea, 2021).
Untuk mengatur pelayanan jaminan kesehatan, dibuat alur mekanisme agar
tujuan dari adanya JKN dapat tercapai. Mekanisme ini biasanya mencakup
pengaturan kepesertaan, ketentuan tarif iuran atau premi, jenis layanan kesehatan
yang dicakup, mekanisme klaim, dan standarisasi unit layanan kesehatan. Sesuai
dengan ketentuan UU JKN, kepeserta BPJS Kesehatan meliputi setiap orang
penduduk Indonesia, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam)
bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran. Kategori peserta ini, meliputi
Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan (PBI), yakni fakir miskin dan orang
tidak mampu, dengan penetapan peserta sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan, dan Bukan Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan (Non PBI)
(Pratama, Sangking dan Thea, 2021).
Realisasi pencapaian kepesertaan atau jumlah penduduk yang menjadi peserta
Penerima Bantuan Iuran (PBI) melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)/Kartu
Indonesia Sehat (KIS) adalah sebanyak 87.882.867 jiwa pada tahun 2015 dan
menjadi 92,2 juta jiwa pada bulan April 2018. Dengan demikian, capaian kinerja
indikator ini adalah sebesar 87 persen. Upaya pemenuhan capaian indikator tersebut
pada tahun 2018 belum mampu sebesar 100 persen oleh Kementerian Kesehatan
dikarenakan tidak terpenuhinya target jumlah peserta PBI yang ditetapkan sebanyak
106 juta jiwa oleh Kementerian Sosial. Untuk memenuhi target kepesertaan,
terutama dari unsur PBI, pemerintah membuat alur mekanisme pendaftaran dan
pemberian bantuan dengan melibatkan berbagai instansi. Sesuai ketentuan dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 pasal 7, Kemensos diberi mandat
untuk melakukan kriteria kelompok peserta PBI yang terdiri dari Penyandang
Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), yakni kelompok-kelompok sosial
masyarakat bawah seperti kelompok masyarakat miskin, rentan miskin, serta tuna
wisma serta para penghuni lapas dan rutan. Kemensos juga melakukan pengelolaan
dan penetapan data masyarakat miskin peserta PBI dengan berkoordinasi bersama
TNP2K (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan). Atas dasar
Penetapan PBI oleh Kementrian Sosial tersebut, kemudian Kementrian Kesehatan
mendaftarkan Jumlah peserta PBI sebagai peserta Program Jaminan Kesehatan
serta membayar iurannya kepada BPJS Kesehatan (Setiyono, 2018).
Salah satu dampak positif dari jaminan kesehatan semesta berupa
peningkatan utilisasi pelayanan, namun diduga mengakibatkan moral hazard dan
penurunan motivasi di sisi para penyedia layanan. Masalah utama yang ditemui
biasanya adalah sustainability dari sistem berobat gratis karena kurang
diperhitungkannya kebutuhan anggaran dan lemahnya mekanisme pengendalian
biaya. Kebijakan berobat gratis bahkan dianggap hanya suatu kebijakan yang
bersifat politis untuk memenuhi ‘janji pemilu’ yang justru merugikan sistem
kesehatan (Putri, 2019).
Tujuan perencanaan dan pengaturan pembiayaan kesehatan yang memadai
dapat membantu memobisasikan sumber pembiayan kesahatan, mengalokasi
dengan rasional serta dapat digunakan secara efektif dan efisien. Pembiayaan
kesehatan mempunyai kebijakan dengan mengutamakan pemerataan serta berfokus
pada masyarakat yang tidak mampu (equitable and pro poor health policy) yang
dapat membantu mencapai akses kesehatan yang universal. Sistem kesehatan di
Indonesia didukung dengan pembiayaan pemerintah yang bersumber dari
pemerintah pusat maun pemerintah daerah. Anggaran dari pemerintah pusat
disalurkan melalui DAU, DAK, DAK non fisik, serta Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN). Sedangkan anggaran dari pemerintahan daerah dalam bentuk dukungan
program pusat maupun untuk pembiayaan program inovasi daerah sendiri.
Pengelola sistem pembiayaan di Indonesia yakni kementerian kesehatan sebagai
regulator, monitor dan mengevaluasi pelaksanaan sistem kesehatan. Sedangkan
badan pengumpul dan penyalur premi melalui kapitasi dan INA CBG’S adalah
BPJS (Putri, 2019).
Permasalah yang timbul dari pembiayaan kesehatan antara lain kurangnya
dana serta adanya peningkatan dana. Kurangnya dana terjadi karena terdapatnya
inefisiensi dalam pengelolaan pembiayaan dan alokasi dana yang salah. Sedangkan
yang dimaksud peningkatan biaya yaitu adanya trend peningkatan teknologi
kedokteran sebagai penegak diagnosis (evidence bases) yang menyebabkan
konsekuensi biaya, serta tren suppy induce demand yang banyak marak sekarang
ini. Selain itu, dominasi pembiayaan dengan mekanisme fee for service, dan masih
kurangnya dalam mengalokasikan sumber-sumber dan pelayanan itu sendiri (poor
management of sesources and services) (Putri, 2019).
Sistem Kesehatan di Indonesia untuk sekarang sudah menuju ke arah yang
lebih baik, meskipun masih banyak terdapat banyak macam kendala. Hal ini dapat
dilihat dari terdapatnya peningkatan status kesehatan masyarakat. Akan tetapi,
meskipun terjadi peningkatan status kesehatan masyarakat, namun masih
diperlukan upaya percepatan pencapaian indikator kesehatan dalam rangka
mengejar ketertinggalan dari negara lain, sehingga SKN masih perlu terus
dilakukan evaluasi dan perbaikan (Putri, 2019).
Akses pelayanan kesehatan yang adil menggunakan prinsip keadilan vertikal.
Prinsip keadilan vertikal menegaskan, kontribusi warga dalam pembiayaan
kesehatan ditentukan berdasarkan kemampuan membayar (ability to pay), bukan
berdasarkan kondisi kesehatan/ kesakitan seorang. Dengan keadilan vertikal, orang
berpendapatan lebih rendah membayar biaya yang lebih rendah daripada orang
berpendapatan lebih tinggi untuk pelayanan kesehatan dengan kualitas yang sama.
Dengan kata lain, biaya tidak boleh menjadi hambatan untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan yang dibutuhkan (needed care, necessary care) (Putri, 2019).
KESIMPULAN

Negara berkembang dan negara maju banyak mengalami berbagai tantanggan


dalam membangun sistem kesehatan yang kuat dan handal. Sistem kesehatan di
negara maju terlihat lebih baik dibandingkan dengan negara berkembang, hal ini
dapat di lihat dari status kesehatan masyarakat dan permasalahan kesehatan. Sistem
Kesehatan Nasional (SKN) di Indonesia sudah mampu memberikan peningkatan
status kesehatan masyarakat Indonesia dari tahun ke tahun. Namun masih
diperlukan upaya percepatan pencapaian indikator kesehatan dalam rangka
mengejar ketertinggalan dari negara lain. Salah satu permasalahan di Indonesia
seperti masih kurangnya tenaga kesehatan, akses pelayanan kesehatan yang kurang
merata, pembiayaan kesehatan yang tidak tercover dengan baik, fasilitas yang
kurang lengkap menjadi permasalahan dalam sistem kesehatan di Indonesia. Untuk
itu kita perlu mempelajari atau mengadopsi sistem kesehatan di negara-negara yang
sudah maju maupun negara berkembang lainnya, sehingga SKN di Indonesia dapat
menjadi upaya kesehatan yang optimal dalam mewujudkan derajat kesehatan
setinggi-tingginya.
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan RI (2009) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36


Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Depertemen Kesehatan RI. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Tersedia pada: ???
Hidayati, F. A. N. dan Devi, P. S. (2021) “Perencanaan Pembiayaan Kesehatan Di
Rumah Sakit,” in Seminar Informasi Kesehatan Nasional, hal. 226–233.
Leksono, A. W. et al. (2017) Analisis SWOT Pelaksanaan Program JKN di
Indonesia. Universitas Indonesia.
Noviandari, V. A. (2016) “Model Pelayanan Kesehatan (Studi Deskriptif Tentang
Model Pelayanan Program Antenatal care di Puskesmas Peterongan
Kabupaten Jombang),” Kebijakan dan Manajemen Publik, 4(3), hal. 7–14.
doi: 10.1016/j.midw.2020.102780.
Pratama, Y. D., Sangking dan Thea, F. (2021) “Perlindungan Hukum Terhadap
Pasien BPJS Kesehatan Dalam Mendapatkan Pelayanan Kesehatan di
RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya,” Journal of Environment and
Management, 2(2), hal. 191–199. doi: 10.37304/jem.v2i2.2948.
Putri, R. N. (2019) “Perbandingan Sistem Kesehatan di Negara Berkembang dan
Negara Maju,” Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi, 19(1), hal.
139–146. doi: 10.33087/jiubj.v19i1.572.
Setiyono, B. (2018) “Perlunya Revitalisasi Kebijakan Jaminan Kesehatan di
Indonesia,” Jrnal Ilmu Politika, 9(2), hal. 38–60.
Setyawan, F. E. B. (2015) “Sistem Pembiayaan Kesehatan,” Jurnal Unimus, 11(2),
hal. 119–126. doi: 10.1038/271360a0.

Anda mungkin juga menyukai