“ANALISIS MODEL PEMBIAYAAN KESEHATAN DI INDONESIA”
Oleh
FARAH MUTHIA RIVAI 1910912320026
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT BANJARBARU 2022 ANALISIS
Penduduk Indonesia memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan yang layak, selain pelayanan pendidikan dan perlindungan hokum. Kesehatan menjadi isu penting terkait dengan dampak dari perubahan lingkungan akibat perkembangan dunia saat ini. Industri yang semakin berkembang turut pula membawa dampak pada kesehatan. Indonesia sendiri masih termasuk dalam Negara dengan industri yang baru berkembang. Perkembangan industri yang pesat akan mempengaruhi lingkungan setempat. Beragam penyakit dengan mudah menyebar dan membuat masyarakat mudah terkena penyakit. Hal ini membuat masyarakat membutuhkan suatu pelayanan kesehatan yang berkualitas sesuai dengan hak dasar yang dimiliki warga Negara Indonesia. Pemerintah sebagai penyelenggara pemerintahan sudah tentu harus turut andil dalam menanggapi permasalahan yang ada dalam masyarakat dengan cara menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat (Hidayati dan Devi, 2021). Pelayanan publik menurut KEMENPAN Nomor 63/2003 yaitu segala bentuk pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah di pusat, di daerah, dan di lingkungan badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dalam bentuk barang dan atau jasa, baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan (Noviandari, 2016). Pelayanan kesehatan masyarakat pada prinsipnya mengutamakan pelayanan kesehatan promotif dan preventif. Pelayanan promotif adalah upaya meningkatkan kesehatan masyarakat ke arah yang lebih baik lagi dan yang preventif mencegah agar masyarakat tidak jatuh sakit agar terhindar dari penyakit. Sebab itu pelayanan kesehatan masyarakat itu tidak hanya tertuju pada pengobatan individu yang sedang sakit saja, tetapi yang lebih penting adalah upaya-upaya pencegahan (preventif) dan peningkatan kesehatan (promotif). Sehingga, bentuk pelayanan kesehatan bukan hanya puskesmas atau balkesmas saja, tetapi juga bentuk-bentuk kegiatan lain, baik yang langsung kepada peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit, maupun yang secara tidak langsung berpengaruh kepada peningkatan kesehatan (Setyawan, 2015). Penyelenggaraan pelayanan kesehatan diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 yang telah diperbaharui dari undang-undang sebelumnya, dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 menjelaskan bahwa pelayanan kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara perpadu, terintregrasi, dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh pemerintah dan atau masyarakat. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam pancasila dan undang-undang dasar tahun 1945. Setiap hal yang menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan pada masyarakat Indonesia akan menimbulkan kerugian ekonomi yang besar bagi negara, dan setiap upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat juga berarti investasi bagi pembangunan negara (Noviandari, 2016). Berdasarkan penjelasan dari undang-undang tersebut maka dapat dipahami bahwa kesehatan merupakan tanggung jawab pemerintah dan kesehatan sangatlah penting bagi pembangunan negara. Apabila masyarakat sehat maka pembangunan akan dapat berjalan lancar dan begitu juga sebaliknya apabila masyarakat memiliki derajat kesehatan yang rendah maka pembangunan tidak akan dapat berjalan dengan lancar. Dan maka dari itu segala sesuatu yang dapat membahayakan kesehatan masyarakat harus dapat diatasi dengan sigap dan secepatnya. Pemerintah harus dapat mengambil langkah awal untuk mengatasi masalah kesehatan sejak dini. Salah satunya yaitu masalah kematian ibu hamil yang tinggi (Noviandari, 2016). Pelayanan kesehatan dibedakan dalam dua golongan, yaitu: 1. Pelayanan kesehatan primer (primary health care), atau pelayanan kesehatan masyarakat adalah pelayanan kesehatan yang paling depan, yang pertama kali diperlukan masyarakat pada saat mereka mengalami ganggunan kesehatan atau kecelakaan (Setyawan, 2015). 2. Pelayanan kesehatan sekunder dan tersier (secondary and tertiary health care), adalah rumah sakit, tempat masyarakat memerlukan perawatan lebih lanjut atau rujukan. Di Indonesia terdapat berbagai tingkat rumah sakit, mulai dari rumah sakit tipe D sampai dengan Rumah sakit kelas A (Setyawan, 2015). Untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan masyarakat terhadap kesehatan banyak hal yang harus dilakukan, salah satunya adalah penyelenggaraan pelayanan kesehatan. Secara umum dapat dibedakan 9 (sembilan) syarat penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang baik, yakni tersedia (available), menyeluruh (comprehensive), berkesinambungan (countinues), terpadu (integrated), wajar (appropiate), dapat diterima (acceptable), bermutu (quality), tercapai (accessible) serta terjangkau (affordable) (Setyawan, 2015). Dampak krisis ekonomi di Indonesia sampai saat ini meluas ke seluruh bidang kehidupan, termasuk bidang pelayanan kesehatan. Dilema yang dihadapi pelayanan kesehatan, disatu pihak pelayanan kesehatan harus menjalankan misi sosial, yakni merawat dan menolong yang sedang menderita tanpa memandang sosial, ekonomi, agama dan sebagainya. Namun dipihak lain pelayanan kesehatan harus bertahan secara ekonomi dalam menghadapi badai krisis tersebut. Oleh sebab itu pelayanan kesehatan harus melakukan reformasi, reorientasi dan revitalisasi. Reformasi kebijakan pembangunan kesehatan telah selesai dilakukan sebagaimana telah tertuang dalam Visi, Misi, Strategi dan Paradigma baru pembangunan kesehatan yang populer dengan sebutan Indonesia Sehat. Reformasi Sistem Kesehatan Nasional (SKN) telah memberi arah baru pembangunan kesehatan di Indonesia. Jika diperhatikan kebijakan dan sistem baru hasil reformasi tersebut tampak banyak perubahan yang akan dilakukan, dua diantaranya yang terpenting adalah perubahan pada subsistem upaya kesehatan dan perubahan pada subsistem pembiayaan kesehatan (Setyawan, 2015). Sistem Kesehatan Nasional (SKN) merupakan pengelolaan kesehatan yang diselenggarakan oleh semua komponen Bangsa Indonesia secara terpadu dan saling mendukung guna menjamin tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan, maka pengelolaan kesehatan dilaksanakan melalui subsistem kesehatan yang terbagi ke dalam beberapa bagian, yaitu upaya kesehatan, penelitian dan pengembangan kesehatan, pembiayaan kesehatan, sumber daya manusia kesehatan, sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan, manajemen, informasi dan regulasi kesehatan, pemberdayaan masyarakat (Putri, 2019). Proses pelayanan kesehatan tidak bisa dipisahkan dengan pembiayaan kesehatan. Biaya kesehatan ialah besarnya dana yang harus disediakan untuk menyelenggarakan dan atau memanfaatkan berbagai upaya kesehatan yang diperlukan oleh perorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat. Berdasarkan pengertian ini, maka biaya kesehatan dapat ditinjau dari dua sudut yaitu berdasarkan (Setyawan, 2015): 1. Penyedia Pelayanan Kesehatan (Health Provider), adalah besarnya dana yang harus disediakan untuk dapat menyelenggarakan upaya kesehatan, maka dilihat pengertian ini bahwa biaya kesehatan dari sudut penyedia pelayanan adalah persoalan utama pemerintah dan ataupun pihak swasta, yakni pihak-pihak yang akan menyelenggarakan upaya kesehatan. Besarnya dana bagi penyedia pelayanan kesehatan lebih menunjuk kepada seluruh biaya investasi (investment cost) serta seluruh biaya operasional (operational cost) (Setyawan, 2015). 2. Pemakai Jasa Pelayanan (Health consumer), adalah besarnya dana yang harus disediakan untuk dapat memanfaatkan jasa pelayanan. Dalam hal ini biaya kesehatan menjadi persoalan utama para pemakai jasa pelayanan, namun dalam batas-batas tertentu pemerintah juga turut serta, yakni dalam rangka terjaminnya pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang membutuhkannya. Besarnya dana bagi pemakai jasa pelayanan lebih menunjuk pada jumlah uang yang harus dikeluarkan (out of pocket) untuk dapat memanfaatkan suatu upaya kesehatan (Setyawan, 2015). Pembiayaan kesehatan yang kuat, stabil dan berkesinambungan memegang peranan yang amat vital untuk penyelenggaraan pelayanan kesehatan dalam rangka mencapai berbagai tujuan penting dari pembangunan kesehatan di suatu negara diantaranya adalah pemerataan pelayanan kesehatan dan akses (equitable access to health care) dan pelayanan yang berkualitas (assured quality). Oleh karena itu reformasi kebijakan kesehatan di suatu negara seyogyanya memberikan fokus penting kepada kebijakan pembiayaan kesehatan untuk menjamin terselenggaranya kecukupan (adequacy), pemerataan (equity), efisiensi (efficiency) dan efektifitas (effectiveness) dari pembiayaan kesehatan itu sendiri (Setyawan, 2015). Perencanaan dan pengaturan pembiayaan kesehatan yang memadai (health care financing) akan menolong pemerintah di suatu negara untuk dapat memobilisasi sumber-sumber pembiayaan kesehatan, mengalokasikannya secara rasional serta menggunakannya secara efisien dan efektif. Kebijakan pembiayaan kesehatan yang mengutamakan pemerataan serta berpihak kepada masyarakat miskin (equitable and pro poor health policy) akan mendorong tercapainya akses yang universal. Pada aspek yang lebih luas diyakini bahwa pembiayaan kesehatan mempunyai kontribusi pada perkembangan sosial dan ekonomi. Pelayanan kesehatan itu sendiri pada akhir-akhir ini menjadi amat mahal baik pada negara maju maupun pada negara berkembang. Penggunaan yang berlebihan dari pelayanan kesehatan dengan teknologi tinggi adalah salah satu penyebab utamanya. Penyebab yang lain adalah dominasi pembiayaan pelayanan kesehatan dengan mekanisme pembayaran tunai (fee for service) dan lemahnya kemampuan dalam penatalaksanaan sumber-sumber dan pelayanan itu sendiri (poor management of resources and services) (Setyawan, 2015). Pelayanan kesehatan terhadap masyarakat bersifat kuratif, preventif, promotif dan rehabilitatif, sehingga pembiayaan kesehatan harus dapat membiayai ke empat sifat pelayanan tersebut. Prinsip fairness of financing dalam pembiayaan kesehatan sangat diperlukan dalam menjalankan ke empat sifat pelayanan kesehatan. Dengan prinsip keadilan dan perlindungan terhadap risiko dalam distribusi pembiayaan tersebut dapat menjamin keberlangsungan pelayanan kesehatan, sehingga peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang diimpikan dapat tercapai. Adanya skema Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang merupakan sumber pendanaan untuk pengobatan. Sementara itu, APBN serta APBD yang merupakan sumber pendanaan untuk pelayanan yang bersifat pencegahan (preventif) dan promotif. Adanya JKN, APBN dan APBD yang merupakan sumber pendanaan merupakan bentuk prinsip keadilan dalam pembiayaan (fairness of financing). Pembiayaan yang berasal dari APBN dan APBD diutamakan untuk pelayanan pencegahan preventif) dan promotif yang maksimal 2/3 dari sumber pendanaan tersebut (Departemen Kesehatan RI, 2009). Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diluncurkan pada awal 2014 merupakan program jaminan perlindungan kesehatan secara komprehensif meliputi pelayanan promotif, kuratif, serta rehabilitatif yang ditujukan untuk seluruh rakyat Indonesia. Tujuan utama dari jaminan kesehatan ini adalah agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan dengan cara meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan (Leksono et al., 2017). JKN merupakan program pemerintah yang bertujuan untuk memberikan jaminan kesehatan secara menyeluruh bagi seluruh masyarakat Indonesia untuk hidup sehat, produktif, dan sejahtera. Seiring dengan implementasi dari program ini, seperti halnya program atau inisiatif lainnya yang baru berjalan, berbagai tantangan muncul dan membutuhkan penanganan segera. Salah satu tantangan ini berkaitan dengan berbagai regulasi atau peraturan terkait JKN yang muncul di level nasional, provinsi, dan juga kabupaten/kota. Regulasi yang kompleks tentang JKN memiliki potensi tantangan dalam interpretasi, kesiapan pelaksanaannya sendiri, serta sinkronisasi dengan aturan lainnya, termasuk regulasi tentang layanan primer dan sekunder yang sudah ada sebelumnya. Regulasi baru ini dapat mempengaruhi implementasi di lapangan. Tantangan lain adalah kesiapan daerah di Indonesia yang sangat beragam, dimana terdapat kabupaten/kota yang telah siap untuk mengelola program JKN dan di sisi lain cukup banyak daerah yang belum memiliki infrastruktur serta sistem pengelolaan yang memadai. Hal ini juga berhubungan dengan situasi internal di 2 daerah tersebut dan situasi eksternal yang juga mempengaruhi implementasi kebijakan. Tantangan dalam aspek regulasi dan kesiapan ini juga secara khusus ada di level pelayanan kesehatan primer karena layanan primer merupakan kunci awal dari keberhasilan JKN dalam menjaga kesehatan populasi secara komprehensif. Tanpa pencapaian target di layanan primer, maka tujuan utama JKN tidak akan berhasil. Oleh karena itu, setelah dua tahun implementasi JKN, aspek-aspek yang menjadi potensi tantangan ini perlu segera ditelaah melalui studi sistematis mengenai pelaksanaan kebijakan dan kesiapan di berbagai daerah yang memiliki lingkungan yang berbeda-beda (Leksono et al., 2017). Program JKN yang diresmikan pada tanggal 1 Januari 2014 ini dilaksanakan serentak di fasilitas pelayanan kesehatan, yaitu di seluruh Puskesmas dan Rumah Sakit di Indonesia yang dilembagai oleh BPJS. Pemerintah Indonesia menetapkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) sebagai bukti bahwa pemerintah memiliki komitmen yang besar untuk mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyatnya Atas dasar itu dibentuklah PT. Askes (Persero) sebagai badan penyelenggara jaminan kesehatan bagi Pegawai Negara Sipil (PNS) sekaligus pelaksana program Jamkesmas. Pada 1 Januari 2014 PT. Askes (Persero) berubah menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS). Dengan perubahan ini maka seluruh program PT. Askes (Persero) sebagai penyelenggara jaminan sosial dan sebagai pelaksana program Jamkesmas beralih ke BPJS Kesehatan sesuai Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS (Leksono et al., 2017). BPJS Kesehatan adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan. Jaminan kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah. Sehingga tercipta mekanisme subsidi silang dan gotong royong masyarakat dalam jaminan kesehatan yang berdasarkan pada sistem jaminan sosial yang berbasis asuransi social. BPJS Kesehatan mempunyai tugas utama yaitu menyelenggarakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bagi warga negara Indonesia. Pelayanan kesehatan yang dijamin oleh BPJS mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif termasuk pelayanan obat dan bahan medis habis pakai sesuai kebutuhan medis yang diperlukan. Program JKN-KIS BPJS Kesehatan merupakan program Pemerintah Indonesia dalam mewujudkan upaya memberi pelayanan kesehatan secara menyeluruh kepada penduduk Indonesia agar dapat merasakan manfaat jaminan kesehatan yang berguna untuk pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan (Pratama, Sangking dan Thea, 2021). Program JKN, BPJS Kesehatan bekerjasama dengan badan-badan penyedia pelayanan kesehatan sebagai mitra dalam melayani peserta BPJS seperti rumah sakit pemerintah maupun swasta, klinik-klinik kesehatan, praktek dokter, apotek, serta optik, dan lainnya. Dalam perikatan kerjasama kemitraan tersebut dituangkan dalam naskah perjanjian dalam bentuk Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding-MoU) yang mengatur hak dan kewajiban antar masing-masing pihak terdapat hubungan hukum antara BPJS selaku badan hukum publik menjadi wadah yang menghimpun seluruh kegiatan yang berhubungan dengan jaminan sosial dalam hal ini khususnya jaminan kesehatan di Indonesia.Pelayanan kesehatan pada sistem BPJS Kesehatan di rumah sakit terbagi menjadi beberapa kelas ruang perawatan, yaitu kelas I, kelas II, kelas III yang sesuai dengan jenis kepesertaan dari anggota BPJS Kesehatan. Peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) hanya di kelas III sedangkan non PBI dapat memilih sesuai dengan pilihannya (Pratama, Sangking dan Thea, 2021). Keberadaan rumah sakit merupakan sarana yang wajib disediakan pemerintah sebagai wujud kepedulian terhadap kesehatan masyarakatnya. Rumah sakit sebagai tempat pelayanan kesehatan dituntut untuk memberikan pelayanan yang bermutu sesuai dengan standar yang ditetapkan dan merupakan bagian dari sumber daya kesehatan yang sangat diperlukan dalam mendukung penyelenggaraan upaya kesehatan. Namun dalam proses pelaksanaannya, program JKN bagi masyarakat di Indonesia masih belum optimal. Salah satu contoh permasalahan yang dihadapi oleh pasien BPJS kesehatan yaitu ketersediaan kamar yang terkadang penuh, kelas ruangan yang tidak sesuai dan kurang maksimalnya pelayanan kesehatan yang diberikan oleh rumah sakit kepada pasien BPJS Kesehatan. Dokter dan perawat sebagai tenaga kesehatan palingdekat hubungannya dengan pasien dalam penanganan penyakit. Terdapat beberapa hubungan dalam upaya pelayanan kesehatan tersebut, yaitu hubungan antara rumah sakit dengan tenaga kesehatan serta pasien dengan tenaga kesehatan itu sendiri (Pratama, Sangking dan Thea, 2021). BPJS Kesehatan dalam melaksanakan program jaminan kesehatan nasional perlu memperhatikan beberapa hal guna tercapainya keberhasilan upaya pembangunan dalam bidang kesehatan tersebut. Salah satunya ialah ketersediaan yang berupa tenaga, sarana, dan prasarana dalam jumlah mutu yang memadai. Dalam rangka menunjang terwujudnya pelayanan kesehatan yang baik dan optimal, pemerintah menetapkan berlakunya standar pelayanan medis di rumah sakit dan standar pelayanan rumah sakit. Standar pelayanan medis tersebut merupakan sendi utama dalam upaya peningkatan mutu pelayanan medis di Indonesia. Standar pelayanan medis ini merupakan hukum yang mengikat para pihak yang berprofesi di bidang kesehatan, yaitu untuk mengatur pelayanan kesehatan dan untuk mencegah terjadinya kelalaian staf medis dalam melakukan tindakan medis (Pratama, Sangking dan Thea, 2021). Pemerintah melalui Peraturan Presiden RI Nomor 2 tahun 2015 tentang RPJMN 2015-2019 memformulasikan indikator keberhasilan dari terselenggaranya Penguatan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)/Kartu Indonesia Sehat (KIS) berupa jumlah penduduk yang menjadi peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)/Kartu Indonesia Sehat (KIS). Selanjutnya melalui Renstra Kementerian Kesehatan 2015-2019 juga diformulasikan Program Terselenggaranya Penguatan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)/Kartu Indonesia Sehat (KIS) yang menargetkan capaian jumlah penduduk yang menjadi peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)/Kartu Indonesia Sehat (KIS) sebanyak 92.2 juta jiwa pada tahun 2019 (Pratama, Sangking dan Thea, 2021). Untuk mengatur pelayanan jaminan kesehatan, dibuat alur mekanisme agar tujuan dari adanya JKN dapat tercapai. Mekanisme ini biasanya mencakup pengaturan kepesertaan, ketentuan tarif iuran atau premi, jenis layanan kesehatan yang dicakup, mekanisme klaim, dan standarisasi unit layanan kesehatan. Sesuai dengan ketentuan UU JKN, kepeserta BPJS Kesehatan meliputi setiap orang penduduk Indonesia, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran. Kategori peserta ini, meliputi Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan (PBI), yakni fakir miskin dan orang tidak mampu, dengan penetapan peserta sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan, dan Bukan Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan (Non PBI) (Pratama, Sangking dan Thea, 2021). Realisasi pencapaian kepesertaan atau jumlah penduduk yang menjadi peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)/Kartu Indonesia Sehat (KIS) adalah sebanyak 87.882.867 jiwa pada tahun 2015 dan menjadi 92,2 juta jiwa pada bulan April 2018. Dengan demikian, capaian kinerja indikator ini adalah sebesar 87 persen. Upaya pemenuhan capaian indikator tersebut pada tahun 2018 belum mampu sebesar 100 persen oleh Kementerian Kesehatan dikarenakan tidak terpenuhinya target jumlah peserta PBI yang ditetapkan sebanyak 106 juta jiwa oleh Kementerian Sosial. Untuk memenuhi target kepesertaan, terutama dari unsur PBI, pemerintah membuat alur mekanisme pendaftaran dan pemberian bantuan dengan melibatkan berbagai instansi. Sesuai ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 pasal 7, Kemensos diberi mandat untuk melakukan kriteria kelompok peserta PBI yang terdiri dari Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), yakni kelompok-kelompok sosial masyarakat bawah seperti kelompok masyarakat miskin, rentan miskin, serta tuna wisma serta para penghuni lapas dan rutan. Kemensos juga melakukan pengelolaan dan penetapan data masyarakat miskin peserta PBI dengan berkoordinasi bersama TNP2K (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan). Atas dasar Penetapan PBI oleh Kementrian Sosial tersebut, kemudian Kementrian Kesehatan mendaftarkan Jumlah peserta PBI sebagai peserta Program Jaminan Kesehatan serta membayar iurannya kepada BPJS Kesehatan (Setiyono, 2018). Salah satu dampak positif dari jaminan kesehatan semesta berupa peningkatan utilisasi pelayanan, namun diduga mengakibatkan moral hazard dan penurunan motivasi di sisi para penyedia layanan. Masalah utama yang ditemui biasanya adalah sustainability dari sistem berobat gratis karena kurang diperhitungkannya kebutuhan anggaran dan lemahnya mekanisme pengendalian biaya. Kebijakan berobat gratis bahkan dianggap hanya suatu kebijakan yang bersifat politis untuk memenuhi ‘janji pemilu’ yang justru merugikan sistem kesehatan (Putri, 2019). Tujuan perencanaan dan pengaturan pembiayaan kesehatan yang memadai dapat membantu memobisasikan sumber pembiayan kesahatan, mengalokasi dengan rasional serta dapat digunakan secara efektif dan efisien. Pembiayaan kesehatan mempunyai kebijakan dengan mengutamakan pemerataan serta berfokus pada masyarakat yang tidak mampu (equitable and pro poor health policy) yang dapat membantu mencapai akses kesehatan yang universal. Sistem kesehatan di Indonesia didukung dengan pembiayaan pemerintah yang bersumber dari pemerintah pusat maun pemerintah daerah. Anggaran dari pemerintah pusat disalurkan melalui DAU, DAK, DAK non fisik, serta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Sedangkan anggaran dari pemerintahan daerah dalam bentuk dukungan program pusat maupun untuk pembiayaan program inovasi daerah sendiri. Pengelola sistem pembiayaan di Indonesia yakni kementerian kesehatan sebagai regulator, monitor dan mengevaluasi pelaksanaan sistem kesehatan. Sedangkan badan pengumpul dan penyalur premi melalui kapitasi dan INA CBG’S adalah BPJS (Putri, 2019). Permasalah yang timbul dari pembiayaan kesehatan antara lain kurangnya dana serta adanya peningkatan dana. Kurangnya dana terjadi karena terdapatnya inefisiensi dalam pengelolaan pembiayaan dan alokasi dana yang salah. Sedangkan yang dimaksud peningkatan biaya yaitu adanya trend peningkatan teknologi kedokteran sebagai penegak diagnosis (evidence bases) yang menyebabkan konsekuensi biaya, serta tren suppy induce demand yang banyak marak sekarang ini. Selain itu, dominasi pembiayaan dengan mekanisme fee for service, dan masih kurangnya dalam mengalokasikan sumber-sumber dan pelayanan itu sendiri (poor management of sesources and services) (Putri, 2019). Sistem Kesehatan di Indonesia untuk sekarang sudah menuju ke arah yang lebih baik, meskipun masih banyak terdapat banyak macam kendala. Hal ini dapat dilihat dari terdapatnya peningkatan status kesehatan masyarakat. Akan tetapi, meskipun terjadi peningkatan status kesehatan masyarakat, namun masih diperlukan upaya percepatan pencapaian indikator kesehatan dalam rangka mengejar ketertinggalan dari negara lain, sehingga SKN masih perlu terus dilakukan evaluasi dan perbaikan (Putri, 2019). Akses pelayanan kesehatan yang adil menggunakan prinsip keadilan vertikal. Prinsip keadilan vertikal menegaskan, kontribusi warga dalam pembiayaan kesehatan ditentukan berdasarkan kemampuan membayar (ability to pay), bukan berdasarkan kondisi kesehatan/ kesakitan seorang. Dengan keadilan vertikal, orang berpendapatan lebih rendah membayar biaya yang lebih rendah daripada orang berpendapatan lebih tinggi untuk pelayanan kesehatan dengan kualitas yang sama. Dengan kata lain, biaya tidak boleh menjadi hambatan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan (needed care, necessary care) (Putri, 2019). KESIMPULAN
Negara berkembang dan negara maju banyak mengalami berbagai tantanggan
dalam membangun sistem kesehatan yang kuat dan handal. Sistem kesehatan di negara maju terlihat lebih baik dibandingkan dengan negara berkembang, hal ini dapat di lihat dari status kesehatan masyarakat dan permasalahan kesehatan. Sistem Kesehatan Nasional (SKN) di Indonesia sudah mampu memberikan peningkatan status kesehatan masyarakat Indonesia dari tahun ke tahun. Namun masih diperlukan upaya percepatan pencapaian indikator kesehatan dalam rangka mengejar ketertinggalan dari negara lain. Salah satu permasalahan di Indonesia seperti masih kurangnya tenaga kesehatan, akses pelayanan kesehatan yang kurang merata, pembiayaan kesehatan yang tidak tercover dengan baik, fasilitas yang kurang lengkap menjadi permasalahan dalam sistem kesehatan di Indonesia. Untuk itu kita perlu mempelajari atau mengadopsi sistem kesehatan di negara-negara yang sudah maju maupun negara berkembang lainnya, sehingga SKN di Indonesia dapat menjadi upaya kesehatan yang optimal dalam mewujudkan derajat kesehatan setinggi-tingginya. DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan RI (2009) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36
Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Depertemen Kesehatan RI. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Tersedia pada: ??? Hidayati, F. A. N. dan Devi, P. S. (2021) “Perencanaan Pembiayaan Kesehatan Di Rumah Sakit,” in Seminar Informasi Kesehatan Nasional, hal. 226–233. Leksono, A. W. et al. (2017) Analisis SWOT Pelaksanaan Program JKN di Indonesia. Universitas Indonesia. Noviandari, V. A. (2016) “Model Pelayanan Kesehatan (Studi Deskriptif Tentang Model Pelayanan Program Antenatal care di Puskesmas Peterongan Kabupaten Jombang),” Kebijakan dan Manajemen Publik, 4(3), hal. 7–14. doi: 10.1016/j.midw.2020.102780. Pratama, Y. D., Sangking dan Thea, F. (2021) “Perlindungan Hukum Terhadap Pasien BPJS Kesehatan Dalam Mendapatkan Pelayanan Kesehatan di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya,” Journal of Environment and Management, 2(2), hal. 191–199. doi: 10.37304/jem.v2i2.2948. Putri, R. N. (2019) “Perbandingan Sistem Kesehatan di Negara Berkembang dan Negara Maju,” Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi, 19(1), hal. 139–146. doi: 10.33087/jiubj.v19i1.572. Setiyono, B. (2018) “Perlunya Revitalisasi Kebijakan Jaminan Kesehatan di Indonesia,” Jrnal Ilmu Politika, 9(2), hal. 38–60. Setyawan, F. E. B. (2015) “Sistem Pembiayaan Kesehatan,” Jurnal Unimus, 11(2), hal. 119–126. doi: 10.1038/271360a0.