Oleh
FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS MEGA BUANA PALOPO
2023
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Sejak dulu, solusi atas penyelesaian masalah kesehatan yang ada tak kunjung
datang, malah bertambah saja masalah yang semakin muncul, selain angka kematian ibu
dan bayi yang masih cukup tinggi di Indonesia dan beberapa penyakit infeksi yang belum
terkontrol; kualitas pelayanan kesehatan yang semakin menurun dan pelayanan
kesehatan yang belum terdistribusi secara merata; serta komersialisasi pelayanan
kesehatan, menambah carut marutnya kondisi kesehatan saat ini. Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) melalui kerjasamanya antar negara maju dan berkembang terus berusaha
memecahkan permasalahan kesehatan yang ada dengan serangkaian deklarasi atau
berbagai program yang yang bertujuan meningkatkan kualitas kesehatan seluruh orang
di dunia. Dimulai dengan Universal Declaration of Human Right tahun 1948 yang
menyatakan bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia sampai strategi
perencanaan yang dibuat oleh 193 negara di dunia berupa program Millenium
Development Goals (MDGs). Pada MDGs, pelayanan kesehatan yang baik dapat dilihat
melalui pencapaian beberapa target dari beberapa goal yang ada, seperti penurunan
angka kematian bayi, peningkatan mutu kesehatan ibu, serta penurunan angka kejadian
penyakit HIV/AIDS, malaria, dan penyakit lainnya. Semua target tersebut diharapkan
dapat tercapai pada Tahun 2015 di semua negara di dunia. Program tersebut
selanjutnya menjadi Sustainable Development Goals (SDGs) dengan beberapa
amandemen hingga terbentuknya 17 tujuan yang ditargetkan akan tercapai pada tahun
2030.
Di beberapa negara di dunia seperti Uni Eropa, Amerika Serikat, serta beberapa
negara di Asia berhasil menata sistem pelayanan kesehatan dengan menerapkan konsep
Pelayanan Kesehatan Primer sebagai ujung tombak dari pembangunan nasional. Di
Indonesia, konsep Pelayanan Kesehatan Primer oleh sebagian masyarakat masih dilihat
terbatas hanya pada bangunan fisik puskesmas dan pelayanan kesehatan wajib serta
pendukung di puskemas. Sehingga konsep ini menjadi kerdil di negara ini, yang hanya
dilihat sebatas pelayanan kesehatan kelas bawah. Di lain pihak, pelayan kesehatan yang
diupayakan oleh pihak swasta semakin berkembang. Dominasi kapitalisasi sangatlah
terasa pada jenis pelayanan yang diupayakan oleh pihak swasta. Bagi para pengusaha
kesehatan di dunia, negara ini berhasil dijadikan sebagai target pemasaran yang
menjajikan, sehingga jumlah rumah sakit swasta yang berskala nasional maupun
internasional semakin menjamur.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana peran pelayanan kesehatan primer dalam upaya penguatan sistem
kesehatan nasional ?
C. Tujuan
Mengetahui peran kesehatan primer dalam upaya penguatan sistem kesehatan
nasional.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Puskesmas dan Rumah sakit pada masa lalu berbeda dengan yang sekarang.
Dulu, puskesmas dan Rumah sakit lebih condong ke kepentingan social dari pada bisnis,
sedangkan saat ini sesuai dengan perkembangan zaman semakin banyak Puskesmas dan
Rumah sakit yang dikelola pihak swasta dan mereka mengharapkan pemasukan
keuangan yang sesuai untuk menutupi biaya operasional dan modal penyediaan fasilitas
rumah sakit. Dengan pengelolaan yang lebih professional, tidak berarti Puskesmas dan
Rumah sakit sama sekali kehilangan sifat sosialnya. Pada dasarnya sistem di puskesmas
atau rumah sakit dapat dibagi menjadi dua bagian besar yaitu : operasional dan
manajerial. Sistem manajerial berarti mengelola Puskesmas atau Rumah sakit melalui
sistem administrasi, dalam sistem ini para petugas yang terlibat di dalamnya dapat
berhubungan dengan langsung maupun tidak langsung dengan pasien maupun
pengunjung peskesmas, sementara dalam sistem operasional sebagian besar tugasnya
langsung berhubungan dengan pasien.
Banyak orang yang pergi ke seorang petugas kesehatan tetapi hanya sedikit
orang yang senang melakukannya. Keluhan atau kepuasan tersebut tergantung pada
keadaan Puskesmas atau tempat praktek dokter, jenis tenaga kesehatan (dokter,
perawat, apoteker, petugas administrasi dan seterusnya) dan struktur sistem perawatan
kesehatan (biaya-biaya). Hal yang penting dalam pelayanan kesehatan adalah interaksi
antara pasien dan tenaga kesehatan. Sifat hubungan ini sangat penting karena
merupakan faktor utama yang menentukan kondisi konsultasi medis, yang akhirnya
menentukan kesehatan pasien tersebut (Endar Sugiarto 1999; 50) Dalam pelayanan
kesehatan ini lebih fokus pada tenaga medis, dokter, perawat, dan petugas, tata usaha
atau administrasi Puskesmas. Puskesmas tidak akan beroperasi dengan baik dan
profesional bila tidak ditunjang dengan unsur tersebut, terutama yang berhubungan
dengan masalah pelayanan.
Menurut Wye Kof (Love lode,1998) kualitas jasa diartikan sebagai tingkat
keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut untuk
memenuhi keinginan pelanggan (Fandy Tjiptono 1996: 59). Administrator layanan
kesehatan walau tidak langsung memberikan layananan kesehatan, ikut bertanggung
jawab dalam masalah mutu layanan kesehatan. Kebutuhan akan supervisi, manajemen
keuangan dan logistic akan memberikan suatu tantangan dan kadang-kadang
administrator layanan kesehatan kurang memperhatikan prioritas sehingga muncul
persoalan dalam layanan kesehatan. Pemusatan perhatian terhadap beberapa dimensi
mutu pelayanan kesehatan dalam menyusun prioritas dan dalam menyediakan apa yang
menjadi kebutuhan dan harapan pasien serta pemberi layanan kesehatan.
Indikator menuju Indonesia Sehat salah satunya adalah indikator proses dan
masukan, Indikator ini salah satunya adalah persentase keluarga miskin yang mendapat
pelayanan kesehatan seratus persen. Oleh karena itu diharapkan Puskesmas sungguh-
sungguh memperhatikan pelayanan. Pelayanan puskesmas harus benar-benar
memenuhi standar pelayanan. Kesehatan pasien adalah jalur menuju keberhasilan
pembangunan kesehatan Indonesia. Rakyat miskin adalah kelompok yang rentan
terhadap kesehatan (utamanya ibu hamil, menyusui, bayi, dan balita). Rakyat miskin
rentan terhadap kesakitan karena latar belakang social ekonomi memberi kontribusi
yang sangat kompleks terhadap status kesehatan. Diantaranya adalah pengaruh gizi,
sanitasi, beban kerja, pendidikan, dan lain sebagainya. Dari beberapa perspektif diatas
pengertian yang lebih tepat untuk layanan kesehatan yang bermutu adalah suatu
layanan kesehatan yang dibutuhkan, dalam hal ini akan ditentukan oleh profesi layanan
kesehatan, dan sekaligus diinginkan baik oleh pasien atau konsumen ataupun
masyarakat serta terjangkau oleh daya beli masyarakat. (Imbalo S. Pohan, 2006; 17).
Sistem kesehatan di Indonesia telah mulai dikembangkan sejak tahun 1982 yaitu
ketika Departemen Kesehatan RI menyusun dokumen system kesehatan di Indonesia
yang disebut Sistem Kesehatan Nasional (SKN).
Di era jaminan kesehatan nasional (JKN) pelayanan kesehatan tidak lagi terpusat
di rumah sakit atau fasilitas kesehatan (faskes) tingkat lanjutan, namun pelayanan
kesehatan harus dilakukan secara berjenjang sesuai dengan kebutuhan medisnya. Hal ini
dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan bagi peserta BPJS
Kesehatan.
Salah satu upaya terhadap penguatan fasilitas kesehatan primer ini, diharapkan
tenaga-tenaga medis yang berada di jenjang FKTP/Faskes Primer ini, harus memiliki
kemampuan dan harus menguasai hal-hal terbaru mengenai prediksi, tanda, gejala,
penegakan diagnosis dan penatalaksanaan komprehensif mengenai berbagai penyakit.
Lebih jauh dan yang terpenting adalah kemampuan dalam hal pencegahan penyakit
yang kini menjadi produk lokal harus dipahami oleh setiap dokter yang bekerja di tengah
masyarakat agar pasien ke depan memperoleh pelayanan. Inilah yang disebut dengan
penguatan FKTP/Faskes Primer melalui fungsi promotif dan preventif.
Penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut mengenai manfaat yang diberikan
JKN berupa manfaat medis, khususnya untuk manfaat promotif dan preventif.
Seharusnya pemberi pelayanan kesehatan (PPK) tingkat I, Puskemas, klinik pratama,
atau yang setara, tidak lalai untuk memberikan layanan yang bersifat promotif dan
preventif kepada peserta JKN. Namun melihat kenyataan yang ada saat ini, apakah
Puskesmas sebagai PPK I sudah memberikan dan mengoptimalkan hal tersebut, padahal
hal tersebut sudah tertuang dalam paket manfaat yang diberikan dalam JKN? Dalam era
JKN ini malah Puskesmas lebih concern terhadap pelayanan kuratif sehingga yang terjadi
adalah kejadian pembludakan pasien marak terjadi di Puskesmas untuk mendapatkan
pelayanan pengobatan (kuratif). Hal ini seperti menunjukkan bahwa JKN hanya berfokus
pada pelayanan kuratif saja dan mengabaikan upaya promotif dan preventif.
Padahal notabene-nya Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat) yang seharusnya
berfokus pada upaya kesehatan masyarakat bukan pada upaya kesehatan perseorangan.
Dalam peraturan-peraturan terkait JKN pun belum ada yang membahas secara
khusus mengenai besaran anggaran yang digunakan untuk pelayanan promotif dan
preventif. Permenkes No. 19 tahun 2014 tentang Penggunaan dana kapitasi jaminan
kesehatan nasional, hanya menjelaskan mengenai penggunaan dana kapitasi ditujukan
untuk pembayaran jasa pelayanan kesehatan dan dukungan biaya operasional
pelayanan kesehatan. Besaran yang ditentukan adalah untuk pembayaran jasa
pelayanan kesehatan sebesar 60% dari dana kapitasi dan untuk dukungan biaya
operasional merupakan selisih dari besar dana kapitasi dikurangi dengan besar alokasi
pembayaran jasa pelayanan, yang artinya sekitar 40% dari dana kapitasi. Pembiayaan
upaya promotif dan preventif masuk ke dalam dukungan biaya operasional bersamaan
dengan pembiayaan obat, alkes, BHP, dan kegiatan operasional pelayanan kesehatan
lainnya. Apakah ini dirasa cukup dan bisa optimal untuk pelaksanaan upaya promotif
dan preventif? Sepertinya jawabannya adalah belum, karena hingga saat ini promotif
dan preventif masih dianaktirikan oleh BPJS padahal hal ini sudah jelas diamanahkan
dalam UU No. 24 tahun 2012 dan Permenkes No. 28 tahun 2014.
Hendaknya pihak BPJS menilik lebih lanjut mengenai manfaat promotif dan
preventif, apakah dalam praktek di lapangannya hal ini dilaksanakan atau hanya sekedar
manfaat yang tercantum dalam peraturan yang mengatur mengenai JKN, apabila sudah
dilaksanakan apakah sudah optimal pencapaiannya atau belum. Hal ini dikarenakan
pembiayaan untuk pengobatan (kuratif) itu tidak akan ada habisnya sepanjang waktu
dan akan terus menerus meningkat jika tidak dibarengi dengan upaya promotif dan
preventif, baik lingkup perseorangan ataupun masyarakat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Salah satu upaya terhadap penguatan fasilitas kesehatan primer ini, diharapkan
tenaga-tenaga medis yang berada di jenjang FKTP/Faskes Primer ini, harus memiliki
kemampuan dan harus menguasai hal-hal terbaru mengenai prediksi, tanda, gejala,
penegakan diagnosis dan penatalaksanaan komprehensif mengenai berbagai penyakit.
Lebih jauh dan yang terpenting adalah kemampuan dalam hal pencegahan penyakit
yang kini menjadi produk lokal harus dipahami oleh setiap dokter yang bekerja di tengah
masyarakat agar pasien ke depan memperoleh pelayanan. Inilah yang disebut dengan
penguatan FKTP/Faskes Primer melalui fungsi promotif dan preventif.
B. Saran
Untuk mewujudkan sistem kesehatan nasional yang mampu menyelesaikan
permasalahan kesehatan di Indonesia, maka pemberdayaan layanan kesehatan primer
sangat perlu untuk dilakukan. Mengingat layanan kesehatan primer seharusnya
merupakan tujuan pertama masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.
Sangat penting bagi para tenaga media di layanan kesehatan primer ini untuk senantiasa
menggalakkan tindakan preventif dan promotif sehingga dapat menekan jumlah
kesakitan dan menumbuhkan paradigma sehat di kalangan masyarakat.