Anda di halaman 1dari 57

RESUME BUKU

ADMINISTRASI KESEHATAN MASYARAKAT TEORI DAN PRAKTIK

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Epidemiologi Penyakit Menular

Dosen pengampu : Elvaro Islami Mulyadi, SKM, M.Si.

Tugas ini merupakan rangkuman dari buku administrasi kesehatan masyarakat

Penulis : Dr. ede surya darmawan , SKM, MDM.

Disusun oleh :

Dian Mayang Sari 183001010003

Mardiani 183001010008

Marta Ewirda Ningsih 183001010009

Natassya Virli Septiana 183001010011

Ribka Stia Kristiana 183001010013


PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KESEHATAN DAN FARMASI

UNIVERSITAS ADIWANGSA JAMBI

2021
TUGAS RESUME BUKU ADMINISTRASI KESEHATAN MASYARAKAT

Identitas Buku

1. Judul Buku :Administrasi Kesehatan Masyarakat Teori Dan Praktik


2. Penulis :Dr. Ede Surya Darmawan, SKM, MDM

Prof. dr. Amal Chalik Sjaf, SKM. DrPH

3. Penerbit :Depok: Rajawali Pers

4. Tahun Terbit :2009

5. Jumlah Halaman :249 Halaman

6. Cetakan :Ke-3

7. Desain Sampul : Octiviena@gmail.com


BAGIAN I

KESEHATAN MASYARAKAT DAN ADMINISTRASI

BAB 2

A. Defenisi Kesehatan Masyarakat


Definisi kesehatan masyarakat yang dijabarkan oleh CEA Winslow (1920)
kesehatan masyarakat sebagai ilmu dan seni dalanm mencegah penyakit,
memperpanjang usia hidup, dan promosi kesehatan melalui pengorganisasian
masyarakat untuk menciptakan perbaikan sanitasi lingkungan, mencegah penyakit
menular, pengorganisasian layanan medis dan perawatan dalam upaya deteksi
penyakit secara dini, memberikan pendidikan mengenai kebersihan perorangan, serta
pengembangan rekayasa sosial untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan hidup yang
layak dalam memelihara kesehatan, sehingga memungkinkan setiap orang
mendapatkan hak dasar kesehatan dan berumur panjang.
Definisi kesehatan masyarakat menurut CEA Winslow di atas dapat dikatakan
sebagai definisi yang abadi dan kelahirannya mendahului definisisehat dari WHO
yang terbit pada tahun 1946. Sebagai catatan definisi kesehatan dari WHO
menunjukkan kondisi sehat sebagai keadaan yang sejahtera dari badan, mental dan
sosial seseorang, sedangkan definisi
kesehatan masyarakat dari CEA Winslow lebih berfokus pada proses sistematis untuk
mewujudkan kondisi sehat secara bersama-sama. Pemikiran ini menunjukkan adanya
proses komplementari atau saling melengkapi antara kesehatan individu dengan
kesehatan masyarakat.
Hal ini selaras dengan pendapat Hanlon (1984) Pendapat Hanlon di atas patut
digaris bawahi karena menekankan pada pemahaman tentang kesinambungan masalah
dan intervensi yang diperlukan untuk menyehatkan masyarakat baik secara individu
maupun secara umum (publik). Oleh karena itu, intervensi kesehatan yang dilakukan
haruslah dipandang sebagai upaya menyeluruh dari masyarakat/ publik berdasarkan
sumber dan pengetahuan yang ada pada waktu dan tempat tertentu
Dari pernyataan Richard Riegelman, dapat digaris bawahi bahwa kesehatan
masyarakat tidak hanya memikirkan apa yang dapat membuat kita sakit, melainkan
juga apa yang dapat membuat kita tetap sehat. Perubahan paradigma sakit menjadi
paradigma sehat adalah hal yang ingin diciptakan oleh kesehatan masyarakat, apa pun
upayanya. Lebih daripada itu, "Togetherness” dalam kesehatan masyarakat
mengisyaratkan lebih
bahwa sesungguhnya kesehatan tidak dapat diciptakan oleh satu oranekebersamaan
adalah kunci keberhasilan dalam penyelenggaraan kesehatan
masyarakat.

B. Persepektif Sejarah Kesehatan Masyarakat


Menurut paparan sejarah kesehatan dapat ditarik benang merah bahwa
kesehatan masyarakat merupakan disiplin ilmu dan praktik kerja sebagai wujud dan
respon atas tidak maksimalnya upaya kesehatan dengan pendekatan dan metode
tradisional yang ada. keadaan yang tidak maksimal ini menjadikan ketidakpuasan
pada para praktisi kesehatan masyarakat. Hal ini senada dengan hasil studi institut of
medis (IOM) yang membuat sebuah studi yang menjadi landasan pengembangan
kesehatan masyarakat di Amerika serikat yang diberi judul "the future of public
health". Di dalam laporan studi itu, IOM merekomendasikan misi kesehatan
masyarakat sebagai "fullfilling society interest in assuring conditions in which people
can be healthy" (Turnock, 1012)

C. Kesehatan Masyarakat Sebagai Sebuah Sistem

Pemahaman kesehatan masyarakat sebagai sebuah sistem sebenarnya sudah


terdapat dalam SKN 1982, SKN 2004, SKN 2009 DAN SKN 2012 yang semuanya
menunjukkan dimensi kesehatan masyarakat sebagai sebuah sistem yang berdasarkan
center for disease control and prevention public health program office 1990 dalam
Bernard J.Turnock dimensi sistem kesehatan masyarakat yang terdiri atas:

a. Kapasitas (Input-input)
Terdiri atas berbagai sumber daya dan hubungan-hubungan yang harusnya ada
untuk menjalankan fungsi-fungsi inti dan pelayanan pelayanan utama kesehatan
masyarakat seperti: SDM, sistem informasi keuangan
b. Proses ( praktik dan output)
Upaya bersama-sama atau proses yang harusnya ada dan memadai untuk
menjamin fungsi-fungsi inti dan pelayanan pelayanan utama kesehatan
masyarakat dilaksanakan secara efektif termasuk kesehatan masyarakat dan faktor
penyebabnya.
c. Hasil (outcome)
Berbagai indikator status kesehatan, pengurangan resiko, dan peningkatan kualitas
hidup sebagai tujuan jangka panjang yang didefinisikan dengan jelas, dapat diukur
pada masa yang akan datang termasuk tingkat kesakitan yang diterima dalam hal
penyakit, kecacatan, dan faktor fisik penyakit.

Dalam world health report tahun 2000 OMA WHO menjelaskan sistem kesehatan
nasional sebagai sebuah kesatuan sistem yang terdiri atas dua bagian yaitu tujuan dan
fungsi sistem. sebuah SKN menurut WHO terdiri atas tiga tujuan dan 4 fungsi kunci.
Dalam hal tujuan, who menjelaskan terdapat tiga hal yang yang menjadi tujuan SKN,
yaitu:

1. Improving The health of populations they served atau berupaya meningkatkan


derajat kesehatan dari masyarakat yang dilayaninya yang merupakan tujuan dari
akhir SKN
2. Responsif to people expectation atau memiliki daya tangkap yang sesuai dengan
kebutuhan dan harapan masyarakat yang dilayaninya. SKN menuntut untuk dapat
memenuhi kebutuhan dan harapan masyarakat yang meliputi aspek medis
keperawatan, administrasi keuangan dan juga aspek pendukung lainnya. Sistem
kesehatan yang menghormati harkat dan juga martabat manusia seutuhnya di
antaranya termasuk sebagai berikut:
a. Menghormati harkat derajat manusia seutuhnya. tidak membedakan atau
mengucilkan manusia karena kelalaian genetik atau penyakit menular
sehingga melanggar hak asasi manusia.
b. Kerahasiaan merupakan hak untuk menentukan siapa yang dapat mengakses
informasi kesehatan termasuk rekam medik dari pasien.
c. Otonomi untuk berpartisipasi dan menentukan pilihan yang terkait dengan
kesehatan pribadi seseorang termasuk memberi bantuan untuk memilih yang
mau diterima atau yang tidak mau diterima.
3. Kontribusi pembiayaan yang adil (fairness in financial contribution) pembiayaan
kesehatan yang adil atau fair financing dalam sistem kesehatan diartikan bahwa
risiko dari setiap rumah tangga terhadap biaya kesehatan didistribusikan
berdasarkan kemampuan membayar pada risiko terhadap kesakitan. Pembayaran
untuk layanan kesehatan dapat menjadi tidak adil dalam membentuk dua cara
yang berbeda yaitu besarnya pembelanjaan tak terduga(unexpect expenses) dan
proporsi pembayaran yang tidak berimbang karena mereka yang tidak mampu
untuk membayar biaya kesehatan yang proporsi nya jauh lebih besar dibanding
mereka yang mampu (regresif payment).
Masalah pertama dapat diselesaikan dengan minimalisasi pembiayaan dari
saku (out of pocket) dan disediakan sistem pembiayaan prabayar yang lebih bisa
diperkirakan dan tidak berhubungan dengan kesakitan atau pemanfaatan layanan.
masalah kedua dapat diselesaikan dengan memberikan jaminan pembiayaan pra
bayar melalui pajak asuransi sosial atau asuransi sukarela yang progresif yang
terkait dengan ketidakmampuan membayar terhadap risiko sakit.

Dari sudut pandang fungsi, who menyebutkan empat fungsi kunci yang
diselenggarakan oleh sebuah sistem kesehatan yaitu penyediaan pelayanan
(delivering service), penyediaan sumber daya (creating resources), pembiayaan
(financing), dan pengawasan (Stewardship/oversight)

1 Penyediaan pelayanan (delivering service) untuk dapat memberikan layanan


kesehatan yang baik, Ada beberapa pertimbangan yang disarankan sehingga dapat
dilaksanakan oleh suatu negara sebagai berikut:
a. Masyarakat sebagai pusat dari layanan kesehatan
Pada saat yang sama masyarakat pun berperan dalam memberikan kontribusi
pembiayaan, penyediaan tenaga kerja, dan pengawasan terhadap proses
pemberian layanan
b. Memiliki layanan yang paling besar memberikan dampak kesehatan.
c. Pertimbangan pembiayaan dalam memilih layanan, layanan kesehatan yang
disediakan harus mempertimbangkan beberapa besar biaya diperlukan dan
juga kemampuan untuk mendanai nya.
d. Menetapkan layanan prioritas berdasarkan layanan yang rasional.
Pelayanan kesehatan yang disediakan haruslah untuk mengatasi masalah
kesehatan yang menjadi prioritas oleh masyarakat banyak. dengan kata lain,
layanan yang disediakan akan menguntungkan seluruh masyarakat dan bukan
oleh sekelompok kecil masyarakat tertentu yang memiliki kemampuan
membayar tinggi
e. Pengorganisasian dan penyediaan imbalan atas jasa layanan.
Pelayanan kesehatan yang telah disediakan dan dibiayai, haruslah dikelola
dalam sebuah pengorganisasian yang baik dan terarah. Who menyebutkan
secara berurut peranan antara organisasi kelembagaan, intervensi hingga
imbalan sebagai berikut:
1) Organisasi adalah para pemeran seperti penyedia layanan individual rumah
sakit klinik apotek dan toko obat dan program kesehatan masyarakat
2) Kelembagaan adalah peraturan (aturan formal dan kesepakatan) secara sosial
disepakati dan mengatur hubungan antar manusia dengan mekanisme yang
memungkinkan tegaknya peraturan.
3) Intervensi, dari sudut pandang penyediaan pelayanan atau kegiatan maka
intervensi merupakan objek dari aturan main yang dibuat termasuk di
dalamnya adalah pengobatan klinis dan aksi-aksi promosi kesehatan lintas
sektoral.
4) Imbalan, adalah penghargaan dan hukuman yang akan dihadapi oleh penyedia
layanan sebagai konsekuensi dari organisasi tempat mereka bekerja.
2. Penyedia sumber daya ( creating resources)
Penyedia dan penyelenggara layanan kesehatan membutuhkan dukungan sumber
daya yang memadai untuk memenuhi kebutuhan layanan dengan baik titik sumber
daya yang dimaksud adalah SDM, gedung-gedung dan peralatan, dan bahan habis
pakai, termasuk obat. Agar pelayanan kesehatan tidak tertinggal dan kalah saing,
diperlukan pembuatan keputusan dan kebijakan kesehatan yang tepat dan tanggap
terhadap perubahan yang terjadi. Termasuk dalam kebijakan ini adalah menempatkan
kesehatan sebagai sektor utama dalam kerangka pembangunan manusia, dan oleh
karenanya memerlukan dukungan sumber daya yang memadai.
3. Pembiayaan (financing)
Pembiayaan kesehatan meliputi beberapa kegiatan sebagai berikut:
a. Pengumpulan pendapatan atau revenue collection
b. Penghimpunan atau pooling
c. Pembelanjaan atau purchasing
Revenue collection adalah proses penerimaan dana dari rumah tangga, organisasi
perusahaan dan donor. Bentuk pengumpulan dana ini dapat berupaya pendapatan
pemerintah dari pajak, asuransi sosial yang diwajibkan bagi pegawai negeri sipil dan
pegawai pemerintahan lainnya, asuransi swasta sukarela pembiayaan dari saku
masyarakat, dan sumbangan. pembiayaan berasal dari pemerintah yang berasal dari
pajak diperlukan khususnya untuk intervensi program-program kesehatan masyarakat
yang memiliki eksternalitas tinggi dan tidak menarik untuk dibiayai dengan modus
yang lain.
Pooling adalah proses penggabungan dan pengolahan pendapatan yang
sedemikian rupa sehingga risiko untuk membayar ditanggung bersama oleh para
anggota yang terhimpun dan bukan berdasarkan kontribusi perorangan. secara
tradisional proses penghimpunan ini dikenal dengan istilah fungsi asuransi yang
adalah dalam bentuk suatu sistem kesehatan yang bisa diketahui secara terbuka karena
setiap orang yang memahami adanya mekanisme itu ataupun tidak diketahui karena
melalui pembayaran tidak langsung melalui sistem perpajakan. mekanisme
penghimpunan ini menjadi penting untuk mengantisipasi sifat kebutuhan kesehatan
yang tak terduga dalam hal kejadian penyakit dan kebutuhan pembiayaan.
Purchasing atau pembelanjaan adalah proses pembayaran dana yang telah
dihimpun kepada pembiayaan penyedia layanan untuk mendapatkan layanan
kesehatan yang dibutuhkan titik pembelanjaan dapat dilakukan secara pasif maupun
strategis.
4. Pengawasan (stewardship/oversight)
Pengawasan merupakan hal penting untuk menjamin sistem kesehatan berjalan
menuju tujuan yang telah ditetapkan dengan mekanisme dan metode yang telah
disepakati sebelumnya. Dalam konteks ini maka pemerintah bertanggungjawab dalam
melakukan stewards terhadap sumber daya nasional, memelihara dan meningkatkan
manfaatnya bagi masyarakat. Dalam praktiknya maka fungsi pengawasan yang
menjadi tanggung jawab pemerintah dilaksanakan oleh kementerian atau departemen
kesehatan dan jajarannya hingga ke daerah. Menurut WHO, pada beberapa negara
berkembang termasuk Indonesia dapat teman kesehatan dan jajarannya memiliki
reputasi sebagai lembaga yang paling birokratis dan kurang efektif dalam mengelola
sektor publik. Menurut WHO, tugas pengawasan setidaknya harus termasuk tiga hal
berikut:
a. Formulasi kebijakan kesehatan untuk menetapkan visi dan arah pembangunan
kesehatan.
b. Mempengaruhi proses layanan melalui pengaturan yang memadai.
c. Mengumpulkan dan mempergunakan informasi regulasi kesehatan sebagai umpan
balik perbaikan kebijakan, layanan dan intervensi.
Agar tugas-tugas pengawasan dapat berjalan dengan baik maka proses kerja yang
dilakukan haruslah selalu melakukan proses-proses koordinasi konsultasi dan komunikasi
berdasarkan data. Proses itu melibatkan berbagai instansi terkait pemerintah swasta dan
masyarakat serta lembaga-lembaga lain yang terkait.

D. Peran Pemangku Kepentingan Dalam Sistem Kesehatan Masyarakat

Laporan dengan judul the future of public health yang merekomendasikan tiga
fungsi utama kesehatan masyarakat dan peran berbagai lembaga pemerintahan dalam
menjalankan fungsinya itu. Fungsi itu adalah Assessment, Policy development,
Assurance. Penjelasan masing-masing peran dan kegiatan dari kesehatan masyarakat
sebagai berikut:

1. Fungsi Assessment atau penilaian status kesehatan masyarakat secara terus


menerus dengan tugas:
a. Memonitor status kesehatan untuk mengidentifikasi prioritas masalah
kesehatan\
b. Mendiagnosis dan menyelidiki masalah kesehatan dan ancaman atau bahaya
kesehatan dalam masyarakat.
c. Mengevaluasi efektivitas, aksesibilitas, dan juga kualitas pelayanan kesehatan
personal dan publik.
2. Fungsi pengembangan kebijakan yang komprehensif dan strategi yang dapat
mengatasi permasalahan kesehatan masyarakat dengan tugas:
a. Menginformasikan, mengedukasi, dan memberdayakan masyarakat tentang isu
kesehatan
b. Mobilitas kemitraan masyarakat untuk mengidentifikasi dan memecahkan
masalah kesehatan
c. Mengembangkan kebijakan dan program untuk mendukung upaya
peningkatan kesehatan oleh publik swasta dan individu.
3. Fungsi asuransi atau memberikan jaminan bagi masyarakat agar dapat
memperoleh layanan kesehatan yang berkualitas secara merata dan
berkesinambungan dengan tugas:
a. Menjamin kompetensi tenaga kesehatan
b. Menegakkan hukum dan regulasi untuk perlindungan kesehatan keamanan dan
keselamatan
c. Menghubungkan masyarakat dengan tenaga kesehatan yang dibutuhkan dan
menjamin penyediaan pelayanan kesehatan.

Untuk melaksanakan hal itu diperlukan organisasi pelaksana dan peran pemangku
kepentingan lain sebagai mana disebut public health fungsi steering committee (1994)
khususnya di Amerika serikat adalah:

a. Lembaga kesehatan masyarakat pada tingkat nasional dan daerah.


b. Penyediaan layanan kesehatan health care provider
c. Lembaga keselamatan umum public safety agencies
d. Lembaga kemanusiaan dan lembaga swadaya masyarakat (LSM)
e. Organisasi pendidik dan pengembangan generasi muda.
f. Lembaga yang berhubungan dengan rekreasi dan seni budaya.
g. Organisasi amal dan ekonomis.
h. Organisasi dan lembaga lingkungan.

Untuk menggandeng organisasi dan lembaga non tradisional di atas, maka diperlukan
upaya advokasi dan kerjasama khusus sehingga bisa mempercepat pencapaian tujuan dan
peningkatan status kesehatan masyarakat. untuk dapat melaksanakan UKM yang baik
diperlukan tenaga kesehatan masyarakat yang sesuai termasuk dalam tenaga kesehatan
masyarakat menurut Departemen of Health United Kingdom (dalam Judi Orme,2007)
adalah:

1. Mereka yang memiliki peran dalam perbaikan kesehatan dan juga pengurangan
ketimpangan, seperti para guru, para pemimpin wiraswasta tingkat daerah para
pekerja sosial dan lainnya
2. Para profesional yang menyediakan waktunya baik sebagai atau seluruh waktunya
dalam praktek kesehatan masyarakat
3. Para spesialis dan konsultan kesehatan masyarakat yang bekerja pada tingkat
strategis atau manajemen senior atau para ahli senior seperti para ahli kesehatan
masyarakat ahli epidemiologi dengan statistik.

Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) dan asosiasi institusi


pendidikan tinggi kesehatan masyarakat Indonesia (AIPTKMI) . kualifikasi kesehatan
masyarakat yang dimaksud dalam bentuk standar kompetensi sebagai berikut:

1. Kemampuan untuk melakukan kajian dan juga analisis ( analysis and assessment)
2. Kemampuan untuk dapat mengembangkan kebijakan dan perencanaan program
kesehatan
3. Kemampuan untuk melakukan komunikasi (communication skill)
4. Kemampuan untuk memahami budaya lokal ( cultural competency)
5. Kemampuan untuk melakukan pemberdayaan masyarakat ( community
dimensions of practice)
6. Memahami dasar-dasar ilmu kesehatan masyarakat ( basic public health science)
7. Kemampuan untuk merencanakan dan mengelola sumber dana ( financial
planning and management)
8. Kemampuan untuk memimpin dan berpikir sistem (leadership and system
thinking)

Kedelapan kompetensi kesehatan masyarakat di atas merupakan satu kesatuan


yang harus dimiliki oleh lulusan program studi sarjana kesehatan masyarakat di Indonesia
yang saat ini telah mencapai sebanyak 169 buah di seluruh Indonesia

E. Kekhasan kesehatan masyarakat

Winslow telah menunjukkan kekhasan kesehatan masyarakat yang lebih menekankan


pada promosi kesehatan dan pencegahan penyakit dengan metode dan proses yang
menekankan pada pengorganisasian masyarakat, bukan individual. Untuk menjelaskan
kekhasan kesehatan masyarakat para konseptor penulis di Indonesia seperti Azwar (1996)
mengutip pendapat dari Cascio (1983) dalam membedakan secara umum bentuk dan jenis
pelayanan kedokteran dan pelayanan kesehatan masyarakat sebagai berikut:

1. Pelayanan kedokteran
Pelayanan kesehatan yang termasuk kelompok pelayanan kesehatan kedokteran
ditandai dengan cara pengorganisasian yang dapat bersifat sendiri atau secara
bersama-sama dalam suatu organisasi titik dengan sasaran utamanya yaitu
perseorangan dan keluarga pelayanan kedokteran bertujuan untuk menyembuhkan
penyakit dan memulihkan kesehatan.
2. Pelayanan kesehatan masyarakat
Pelayanan kesehatan yang termasuk dalam kelompok pelayanan kesehatan
masyarakat ditandai dengan cara pengorganisasian yang umumnya dilakukan secara
bersama-sama dalam suatu organisasi.

Sementara itu, Bernard J. Turnock (2002) menyatakan bahwa secara khusus kesehatan
masyarakat memiliki 7 keunikan sebagai berikut:

1. Basic in social justice philosophy


Keadilan sosial merupakan landasan dasar kesehatan masyarakat yang mulai
berkembang sejak tahun 1848 dan dipandang sebagai pertama kalinya konsep
kesehatan masyarakat berkembang. Keadilan sosial dipandang merupakan dasar dari
kesehatan masyarakat karena hal ini dipandang sebagai urusan bersama dan proses
melibatkan masyarakat umum dan hasilnya juga berdampak bagi seluruh masyarakat.
2. Inherently political nature
Proses penetapan tujuan dan penetapan layanan serta program dan alokasi sumber
daya untuk kesehatan masyarakat merupakan urusan publik dan melibatkan sistem
politik yang ada.
3. Dynamic, ever expanding agendaruang
Lingkup kesehatan masyarakat sangat dinamis dan terus meluas melintasi berbagai
tingkatan tatanan sosial dan melibatkan berbagai disiplin ilmu. Turnoc menyebutkan
bahwa pada tahun 1990-an fokus perhatian adalah pada penyakit infeksi setelah itu
meluas menyangkut masalah dan kebutuhan kesehatan ibu dan anak kemudian ke
penyakit kronis, HIV dan AIDS.
4. Link with government
Urusan kesehatan masyarakat melibatkan berbagai pihak dalam pemerintahan
masyarakat dan dunia usaha sebagai sebuah kesatuan yang membentuk determinan
kesehatan masyarakat seperti yang disampaikan oleh tentang social determinants of
health (1991)
5. Grounding in the science
intervensi kesehatan masyarakat membutuhkan penerapan berbagai keilmuan, baik
dalam bentuk pendekatan maupun substansi area untuk menyehatkan masyarakat. Hal
ini melibatkan keilmuan asli kesehatan masyarakat seperti epidemologi dan sekaligus
ilmu biologi ilmu sosial dan ilmu.
6. Use of prevention as prime strategy
Pencegahan merupakan fokus dan strategi utama kesehatan masyarakat titik fokus
pada pencegahan ini umumnya sudah disadari oleh berbagai pihak yang terlibat
dengan kesehatan masyarakat. Namun demikian, karena hasilnya yang tidak langsung
terlihat maka banyak masyarakat yang kurang peduli terhadap upaya pencegahan.
7. Uncommon culture and bond
Ruang lingkup yang luas dan kebutuhan intervensi kesehatan masyarakat yang juga
melibatkan disiplin ilmu yang juga telah menghasilkan budaya dan ikatan tidak bisa
dibandingkan dengan profesi kesehatan lainnya.
Akibatnya para profesional kesehatan masyarakat melibatkan berbagai profesi
yang luas seperti antropolog, sosiolog, pisikologi, dokter perawat ahli gizi, pengacara,
ekonomi ahli politik, pekerjaan sosial, dan berbagai ahli lainnya. pendapat Burnout ini
pada dasarnya senada dengan kategori tenaga kesehatan menurut Departemen Of
Health United Kingdom pada bagian di atas serta pendapat dari Niny awofeso dalam
American Journal of Public Health Mei 2004 yang mengatakan pentingnya
memperjelas jati diri siapakah sebenarnya pekerja atau spesialis kesehatan masyarakat
dalam menghadapi tantangan dunia kesehatan masyarakat yang terus berkembang.
F. Gerakan kesehatan masyarakat baru ( New public health movement)

Gerakan kesehatan masyarakat yang baru ini merupakan respon terhadap


ketidakmampuan paradigma promosi kesehatan yang lama dalam mengatasi secara efektif
terhadap berbagai persoalan utama kesehatan masyarakat seperti interaksi antara penyakit
dan kemiskinan, ketimpangan global, penyakit baru konflik dan terorisme. kebaruan
dalam gerakan kesehatan masyarakat baru ini merupakan upaya untuk menjadikan
kesehatan sebagai dimensi utama dalam meningkatkan kualitas hidup manusia
sebagaimana dituangkan dalam ottawa Carter 1986 yang berisikan 5 strategi promosi
kesehatan sebagai berikut:
1. Mengembangkan kebijakan publik berwawasan sehat ( build healthy public
policy).
Untuk meningkatkan derajat kesehatan harus dibangun kebijakan publik yang
memihak dan ketimbang kan kesehatan hal ini berarti pada promosi kesehatan
dilakukan bukan hanya pada tingkat pelayanan kesehatan semata namun harus
didorong agar menjadi agenda di tingkat pengambilan keputusan di berbagai
sektor di tiap lapisan sistem sosial, mengarahkan pemangku kepentingan untuk
menyadari konsekuensi kesehatan dari keputusan yang dibuat serta bertanggung
jawab terhadap berbagai implikasi bagi kesehatan masyarakat.
2. Menciptakan lingkungan yang mendukung ( creating suportif environment)
Untuk membangun masyarakat yang sehat diperlukan dukungan lingkungan yang
kondusif bagi kesehatan mulai dalam bentuk dukungan fisik hingga interaksi
sosial yang sehat antara anggota masyarakat.
3. Memperkuat aksi
Inti dari gerakan ini adalah pemberdayaan masyarakat , kepemilikan, serta kendali
terhadap keinginan dan nasib masyarakat titik oleh karena itu pentingnya sekali
untuk melakukan pemberdayaan masyarakat yang diarahkan untuk
mengembangkan potensi masyarakat untuk meningkatkan kemandirian dan
dukungan sosial yang ada pada masyarakat untuk meningkatkan kemandirian
mereka.
4. Pengembangan keterampilan perseorangan (develop personal skill)
Promosi kesehatan diarahkan untuk mendukung pengembangan personal dan
sosial melalui penyediaan akses informasi, penyediaan kesehatan dan peningkatan
ketrampilan diri sehingga setiap anggotanya dapat memegang kendali terhadap
kesehatan dan lingkungan serta menumbuh menentukan pilihan yang bermanfaat
bagi kesehatan.
5. Reorientasi sistem pelayanan kesehatan (Riorient health service system)
Sistem pelayanan kesehatan tidak lagi berorientasi pada pelayanan kuratif tetapi
juga mencakup upaya preventif rehabilitatif dan promotif, serta upaya lain yang
memungkinkan berbagai pihak terlibat dalam memecahkan masalah kehidupan
masyarakat secara menyeluruh. reorientasi juga diarahkan untuk memberikan
perhatian pada riset kesehatan serta perubahan yang terjadi, arah pendidikan
profesi dan pendidikan keterampilan, perubahan sikap perilaku, dan perubahan
organisasi pelayanan kesehatan yang berfokus pada kebutuhan individu sebagai
masyarakat seutuhnya
G. Kesehatan Masyarakat dan Global Health

Global adalah sebuah terminologi yang muncul pada tahun 1960-an titik
terminologi ini kuat berawal dari globalisasi dan dampaknya terhadap kesehatan yang
kemudian melahirkan terminologi baru. Dryden dan Voss (2003) dalam bukunya the
learning revolution menyampaikan pendapat bahwa globalisasi didorong oleh revolusi
3T (Transportasi, Tourisme, dan Teknologi Informasi). proses selanjutnya adalah
pencatatan aktivitas manusia di seluruh dunia sebagai akibat dari kecepatan informasi
dan transportasi yang turut mendorong secara timbal balik juga antara dunia turisme
atau pariwisata.

Sementara itu, David woodward dkk (2007) mengajukan kerangka pikiran yang
sedikit berbeda untuk menjelaskan dampak globalisasi terhadap kesehatan titik
menurut mereka, globalisasi telah memunculkan pasar global yang akan
mempengaruhi perekonomian, politik sosial dan budaya penduduk setempat.
pengaruh ini akan berlanjut dan mempengaruhi sistem kesehatan serta resiko
kesehatan penduduk yang pada akhirnya memberikan dampak terhadap derajat
kesehatan penduduk secara menyeluruh. Dalam proses selanjutnya ternyata muncul
penyakit yang ditularkan penyebarannya ke seluruh dunia dengan proses globalisasi
penyakit infeksi seperti HIV sars dan flu burung merupakan penyakit yang
mengglobal dan telah menjadi ancaman secara global. Persoalan penyakit menular ini,
dengan menumpang pada mobilitas penduduk di seluruh dunia telah mengubah
dimensi penyebaran penyakit menjadi tanpa batas, jauh melebihi batas antar negara
dan telah menjadikan dunia ini menjadi suatu kampung besar atau global village.

Untuk mengatasi berbagai persoalan kesehatan global dengan berbagai aspeknya,


saat ini telah berlangsung berbagai upaya dan inisiatif oleh who dan berbagai lembaga
termasuk perguruan tinggi titik berbagai kursus dan program pendidikan bergelar
pada tingkat pascasarjana doktoral juga telah dibuka untuk mendidik akademis dan
ahli dalam menangani masalah kesehatan global. Berbagai program kursus dan
pendidikan bergelar dalam global health itu membahas apa untuk apa bagaimana
global hot dan berbagai aspek lainnya. dengan memperhatikan berbagai aspek
didalam global maka hubungan antara disiplin ilmu kesehatan dengan global health
dapat dikatakan seperti sebuah mata uang yang memiliki dua muka untuk
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

Bila disiplin ilmu kesehatan masyarakat adalah wajah utama dari upaya
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat pada suatu negara maka global adalah
wajah dibalik yang mencerminkan upaya untuk menyehatkan masyarakat dengan
turut serta menyehatkan warga dunia melalui kerjasama dan perlindungan masyarakat
dari ancaman penyakit yang secara global saling berinteraksi.
BAB 4

PERENCANAAN

A. Batasan Perencanaan

Robbins dan Coulter (2002) mendefinisikan perencanaan sebagai sebuah proses yang
dimulai dari penetapan tujuan organisasi, menentukan strategi untuk pencapaian tujuan
organisasi, serta merumuskan sistem perencanaan yang menyeluruh untuk
mengintegrasikan danmengoordinasikan seluruh pekerjaan organisasi hingga tercapainya
tujuan organisasi.

Terry (1986) menyatakan bahwa dalam bidang manajemen,perencanaan merupakan


dasar bagi fungsi manajemen lainnya, sehingga perencanaan bersifat vital. Secara
sederhana, perencanaan berarti menentukan sebelumnya apa yang harus dilakukan dan
bagaimana cara melakukannya. Levey dan Loomba dalam Azwar (1998) berpendapat
bahwa perencanaan merupakan suatu proses menganalisis dan memahami sistem yang
dianut, merumuskan tujuan umum dan tujuan khusus yang inginatau hendak dicapai,
memperkirakan segala kemampuan untuk yang dimiliki.

Djoko Wijono (1997) berpendapat bahwa perencanaan yang baik adalah perencanaan
yang:

1. Mempunyai tujuan yang jelas


2. Uraian kegiatan yang lengkap
3. Ditetapkan jangka waktu pelaksanaannya
4. Memberi arahan bagi organisasi pelaksana
5. Memberikan arahan faktor penghambat dan pendukung serta hal-hal yang perlu
dilakukan
6. Tidak terlepas dari sistem yang ada dan diketahui kaitannya dengan elemen-
elemen sistem lainnya
7. Memenuhi standar yang dipakai untuk menilai dan mekanisme kontrol serta
8. Luwes, fleksibel, dan dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang
dihadapi.
B. Fungsi Perencanaan

Pengertian membawa kita kepada fungsi perencanaan dalam manajemen. Robbins dan
Coulter (2002) menjelaskan bahwa terdapat 4 (empat) fungsi dari perencanaan, yaitu
perencanaan sebagai arahan, perencanaan meminimalkan dampak dari perubahan,
perencanaan meminimalkan pemborosan dan kesia-siaan, serta perencanaan mernetapkan
standar dalam pengawasan kualitas;

1. Perencanaan Sebagai Pengarah


Perencanaan akan menghasilkan upaya-upaya pencapaian tujuan dengan cara yang
lebih terkoordinasi. Organisasi yang tidak menjalankan perencanaan sangat mungkin
untuk mengalami konflik kepentingan, penborosan sumber daya, dan
ketidakberhasilan dalam pencapaian tujuan dikarenakan bagian-bagian dari organisasi
bekerja secara sendiri-sendiri tanpa ada koordinasi yang jelas dan terarah.Perencanaan
dalam hal ini memegang fungsi pengarahan dari apa yang harus dicapai oleh
organisasi.
2. Perencanaan Sebagai Minimalisasi Ketidakpastian
Pada dasarnya, segala sesuatu di dunia ini akan mengalami perubahan Tidak ada yang
tidak berubah kecuali perubahan itu sendiri, Ketidakpastim inilah yang dapat
diminimalkan melalui kegiatan perencanaan. Dengan adanya perencanaan, diharapkan
ketidakpastian yang mungkin akan terjadi di masa yang akan datang dapat diantisipasi
Perencanaan Sebagai Minimalisasi Pemborosan Sumber Daya.
3. Perencanaan Juga Berfungsi Sebagai Minimalisasi Pemborosan Sumber Daya
Organisasi yang digunakan. Jika perencanaan dilakukan dengan baik, maka jumlah
sumber daya yang dibutuhkan, cara penggunaanny dan tujuan penggunaannya dapat
dipersiapkan dengan lebih baik sebelum kegiatan dijalankan. Dengan demikian,
pemborosan yang terkait dengan penggunaan sumber daya yang dimiliki organisasi
dapat diminimalkan, sehingga tingkat efisiensi dari organisasi akan meningkat.
4. Perencanaan Sebagai Penetapan Standar Pengawasan Kualitas
Perencanaan berfungsi sebagai penetapan standar kualitas yang harus dicapai oleh
organisasi dan diawasi pelaksanaannya dalam fungsi pengawasan manajemen. Dalam
perencanaan ruiuan dan rencana-rencana untuk mencapai tujuan tersebut. Dalam
organisasi menentukan pengawasan, organisasi akan membandingkan ant: dicapai
dengan realisasi di lapangan, membandingkan antara standar antara tujuan yang ingin
yang ingin dicapai dengan realisasi atau kondisi mengevaluasi penyimpangan-
penyimpangan faktual di lapangan, hingga mengambil tindakan yang dianggap
tindakan yang perlu untuk memperbaiki mungkin terjadi,kinerja organisasi.
C. Persyaratan Perencanaan (Planning Requirements)

Perencanaan yang baik paling tidak memiliki berbagai persyaratan harus dipenuhi,
yaitu faktual atau realistis, logis dan rasional, ratan fleksibel, yang komitmen, serta
komprehensif.

1. Faktual atau Realistis


Perencanaan yang baik perlu memenuhi persyaratan faktual atau realistis. Artinya, apa
yang dirumuskan oleh perusahaan sesuai dengan fakta dan wajar untuk dicapai dalam
kondisi tertentu yang dihadapi organisasi.
2. Logis dan Rasional
Perencanaan yang baik juga perlu untuk memenuhi syarat logis dan rasional. Artinya,
apa yang dirumuskan dapat diterima oleh akal, dan Oleh sebab itu, perencanaan
tersebut dapat dijalankan. Menyelesaikan sebuah bangunan bertingkat hanya dalam
waktu satu hari adalah contoh sebuah perencanaan yang selain tidak realistis,
sekaligus juga tidak logis dan cenderung irasional bila dikerjakan dengan
menggunakan sumber daya orang-orang yang terbatas dan mengerjakan dengan
pendekatan yang tradisional tanpa bantuan alat-alat modern.
3. Fleksibel
4. Perencanaan yang baik juga tidak berarti kaku dan kurang fleksibel. Perencanaan
yang baik justru diharapkan tetap dapat beradaptasi dengan perubahan di masa yang
akan datang, sekalipun tidak berarti bahwa planning dapat diubah dengan mudah
tanpa dasar pertimbangan yang tepat.
5. Komitmen
Perencanaan yang baik sejatinya datang dari dan melahirkan komitmen terhadap
seluruh anggota organisasi untuk bersama-sama melakukan upaya dalam rangka
mewujudkan tujuan organisasi. Komitmen dapat dibangun dalam sebuah organisasi
jika seluruh anggota di organisasi beranggapan bahwa perencanaan yang dirumuskan
telah sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai oleh organisasi.
6. Komprehensit
Perencanaan yang baik juga harus memenuhi syarat komprehensif dariya menyeluruh
dan mengakomodasi aspek-aspek yang terkait langsung maupun tidak langsung
terhadap organisasi. Perencanaan yang baik tidah hanya terkait dengan bagian yang
harus dijalankan,tetapi juga dengan mempertimbangkan koordinasi dan juga integrasi
dengan bagian lain perusahaan.

D. Jenis Perencanaan
Untuk dapat menciptakan perencanaan yang akurat, maka yang terpenting yang harus
diperhatikan tidak lain adalah proses perencana (process of planning) itu sendiri.

E. Unsur Rencana
1. Misi (Mission)
Sebuah rencana haruslah mengandung uraian tentang misi organisast terkait. Uraian
yang terkandung dalam misi ini mencakup bidang yang luas, yang antara lain meliputi
latar belakang, cita-cita, tugas pokok, dan ruang lingkup kegiatan organisasi.
2. Masalah (Problem)
Sebuah rencana yang baik haruslah mengandung rumusan masalah yang ingin
dipecahkan. Dalam rumusan masalah, terdapat 2 (dua) hal yang harus diperhatikan,
yakni: (a) rumusan dapat menggambarkan kualitas dan kuantitas masalah dan (b)
gambaran kualitas dan kuantitas yang dimaksudharus dapat diukur. Dalam praktik di
lapangan, rumusan masalah yang baik adalah rumusan masalah yang mampu
menjawab beberapa pertanyaan pokok berikut ini:
a. masalah apa yang ditemukan?
b. siapa yang terkena masalah?
c. berapa besar masalah yang terjadi?
d. di mana masalah tersebut ditemukan?
e. kapan masalah tersebut terjadi.
3. Tujuan Umum dan Tujuan Khusus (Goal and Objective)
Tujuan adalah keadaan tertentu yang ingin dicapai oleh suatu rencana, secara umum
tujuan dibedakan menjadi :
a) Tujuan Umum (Goal)
Suatu rumusan tujuan disebut sebagai tujuan umum apabila tidak disertai dengan
uraian tentang tolak ukurnya.
b) Tujuan Khusus (Objective)
Suatu rumusan tujuan dapat disebut sebagai tujuan khusus apabila telah dilengkapi
dengan tolok ukurnya. Secara umum, tolok ukur pencapaian tujuan khusus
mencakup jawaban terhadap pertanyaan sebagai berikut:
1) masalah apa yang ingin diatasi?
2) siapa yang terkena dampak masalah tersebut?
3) di mana masalah tersebut ditemukan?
4) berapa besar target yang ingin dicapai?
5) berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk dapat mencapai target
4. Kegiatan (Activity)
Sebuah rencana yang baik haruslah mengandung uraian tentang kegiatan yang akan
dilakukan. Di satu pihak, setiap kegiatan ditujuk untuk mengatasi masalah yang
ditemukan dan ditujukan untuk memban pencapaian tujuan di pihak lainnya.
5. Asumsi Perencanaan (Planning Asumption)
Sebuah rencana yang baik haruslah mengandung uraian tentang berbagai perkiraan
dan/ataupun kemungkinan yang akan dihadapi jika rencana tersebut dilaksanakan.
Secara umum, asumsi perencanaan dibedakan menjadi:
a. asumsi yang bersifat positif, yaitu berbagai faktor penunjang dinilai akan
ditemukan pada waktu pelaksanaan rencana dan amemberikan peranan yang amat
besar untuk keberhasilan perenncana dan akan serta untuk keberhasilan program
b. asumsi yang bersifat negatif, yaitu berbagai faktor penghambat nilai akan
ditemukan pada pelaksanaan dan dapat menggaga pelaksanaan rencana.
6. Strategi Pendekatan (Strategy of Approach)
Secara umum, strategi pendekatan suatu rencana terletak pada 2 kutub pendekatan
ekstrem, yakni:
a. Pendekatan Institusi (Institutional Approach)
letak pada 2 (dua)Pada strategi pendekatan institusi, pelaksanaan program
tergantung dari ada atau tidaknya pelaksanaan program sangatya dukungan
berbagai aparat.
b. Pendekatan kemasyarakatan (Community Approach)
ditujukan untuk menimbulkan motivasi diri masyarakat, sehingga dengan penuh
kesadaran, masyarakat tersedia untuk berperan secara aktif dalam program yang
akan dilaksanakan.
7. Sasaran (Target Group)
Setiap program kesehatan harus menguraikan sasaran tertentu yang ingin dituju atau
kepada siapa program kesehatan tersebut diperuntukkan. Secara umum, sasaran
program dibedakan menjadi:
a. Sasaran langsung (đirect target group), yakni sasaran utama yang ingin dituju oleh
suatu program. Adapun keberhasilan dan/ataupun kegagalan program sangat
ditentukan oleh seberapa jauh sasaran langsung ini berhasil dicapai.
b. Sasaran tidak langsung (indirect target group), yakni sasaran tambahan yang ingin
dituju oleh suatu program.
8. Waktu (Time)boiobi
Sebuah rencana yang baik haruslah mengandung uraian yang menunjuk pada jangka
waktu dan/atau lamanya rencana tersebut dilaksanakan. Untuk menentukan waktu
suatu rencana tidaklah mudah. Terdapat banyak faktor yang memengaruhi, seperti
halnya sumber daya yang dimiliki, besarnya masalah yang dihadapi, rumusan tujuan
yang ingin dicapai, dan/ataupun stategi pendekatan yang akan digunakan. Dalam
bentuk penyajiannya, dikenal Gant Chart sebagai bagan yang berisikan uraian waktu
per kegiatan.
9. Organisasi dan Tenaga Pelaksana (Organization and Stafi)
ada atau tidaknya uraian tentang organisasi dan tenaga pelaksana turut menentukan 1
baik atau tidaknya sebuah rencana. Hak, kewajiban, serta tugas masing-masing SDM
yang ada harus diuraikan secara jelas. Adapun Pembagian tugas (job description)
amat penting dalam rangka memperlancar yang akan dilaksanakan.
10. Biaya (Cost)
Sebuah rencana yang baik haruslah mencantumkan uraian biaya yang dibutuhkan
untuk melaksanakan rencana itu sendiri. Dalam bidang kesehatan, terdapat dasar yang
dapat digunakan untuk memperkirakan besarnya biaya yang diperlukan, yakni:
a. Jumlah sasaran yang ingin dicapai;
b. Jumlah dan jenis kegiatan yang akan dilakukan;
c. Jumlah Dan Jenis Personalia Yang Terlibat;
d. Waktu pelaksanaan program;
e. Jumlah dan jenis sarana yang dibutuhkan.

Adapun dalam penyusunan rancangan biaya, pengelompokan dapat dilakukan


seperti halnya:

a. biaya personalia;
b. biaya operasional;
c. biaya sarana dan fasilitas;
d. biaya penilaian; serta
e. biaya pengembangan.
11. Metode dan Kriteria Penilaian (Method of Evaluation and Milestone)
Metode dan kriteria penilaian adalah unsur terakhir yang harus terdapat dalam
rencana. Adapun keduanya digunakan dalam menilai keberhasilan dan/ataupun
kegagalan program.
F. Proses Perencanaan
Menurut Muninjaya (2004), perencanaan merupakan suatu tuntunan terhadap proses
pencapaian tujuan secara efektif dan efisien. Adapun fungsi perencanaan ialah sebagai
landasan dasar dalam manajemen secara keseluruhan:
1. Analisis Situasi
Analisis situasi adalah langkah untuk mengkaji masalah program dan masalah yang
akan digunakan sebagai dasar untuk menyusun perencanaan program aksi.
2. Identifikasi dan Penetapan Prioritas Masalah
Ketika seorang administrator menyusun sebuah perencanaan publik, maka setelah
melakukan analisis situasi, dilakukan identifikasi dan penetapan prioritas masalah
yang ditujukan agar perencanaan yang dibuat dapat secara tepat sasaran menjawab
permasalahan yang ada secara efektif dan efisien.
3. Perumusan Tujuan dan Target Pencapaian
Merumuskan tujuan-tujuan program operasional akan sangat bermantaat dalam proses
penetapan langkah-langkah kegiatan untuk mencapai tujuan dan memudahkan
evaluasi hasil. Adapun kriteria penentuan sebuah tujuan dapat dilakukan berdasarkan
pada prinsip SMART (Spesific, Measurable, Appropriate, Realistic, dan Time
Bound).
4. Kajian Terhadap Hambatan Peaksanaan
Mengkaji kembali hambatan dan kelmahan program sejenis yang pernah
dilaksanakan. Tujuan yakni untuk mencegah terulangnya hambatan yang serupa
dalam program yang akan dilaksanakan. Setelah diketahui daftar hambatan,
dilakukan klasifikasi hambatan dan kendala 3 (tiga) kategori, yaitu:
a. hambatan dan kendala vang dapat dihilangkan;
b. hambatan dan kendala yang dapat dimodifikasi atau dikurangi: dan
c. hambatan dan juga kendala yang tidak dapat dihilangkan atau di modifikasi
5. Penyusunan Rencana Kerja Operasional (RKO)
Sebuah RKO yang baik, haruslah dilengkapi dengan informasi-informasi sebagai
berikut:
a. Mengapa kegiatan ini penting dilaksanakan? (why);
b. Apa yang akan dicapai? (what);
c. Bagaimana cara mengerjakannya? (how):
d. Siapa yang akan mengerjakannya dan siapa sasaran kegiatan'(who);
e. Sumber daya pendukung? (what support);
f. Di mana kegiatan akan dilaksanakan? (where); dan
g. Kapan kegiatan ini akan dikerjakan? (when).

BAB 5

PENGORGANISASIAN

Upaya memperjelas proses pencapaian tujuan. Hal ini dapat dimulai dengan
memahami tujuan kemudian terjemahkan dengan mengembangkan berbagai aktivitas
yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut. Berbagai aktivitas ini kemudian dapat
dikelompokkan menjadi peran, tugas, dan fungsi yang akan dijadikan sebagai dasar
membangun struktur organisasi dan penempatan sumber daya serta SDM yang akan
melaksanakannya atau mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan.

A. Batasan Pengorganisasian

Pengorganisasian (organizing) adalah rangkaian kegiatan dalam fungsi manajemen


yang mencakup penghimpunan seluruh sumber daya dan potensi milik organisasi guna
pemanfaatan secara efisien dalam pencapai tujuan. Batasan pengorganisasian (organizing)
terkait dengan fungsinya, yaitu sebagai alat untuk memadukan setiap kegiatan yang
mengandung aspek personel, finansial, material dan tata cara dalam rangka pencapaian
tujuan.

Adapun organisasi merupakan wadah yang dihasilkan pengorganisasian. Apabila


fungsi pengorganisasian (organizing) telah dilaksanakan, keuntungan yang diperoleh
organisasi diketahuinya hal-hal sebagai berikut (Muninjaya, 2004):

1. pembagian tugas untuk perorangan dan kelompok


2. hubungan antar SDM dalam organisasi melalui kehubungan organisatori kegiatan
yang dilakukannya;
3. pendelegasian wewenang; dan
4. pemanfaatan staf dan fasilitas fisik

Terdapat 6 (enam) aspek dalam fungsi pengorganisasian (organizing) yakni


(muninjaya,2004)

1. pemahaman tujuan organisasi oleh seluruh


2. pembagian kerja dalam bentuk kegiatan pokok dalam rangka pencapian tujuan
3. penggolongan kegiatan-kegiatan pokok ke dalam satuan kegiatan praktis;
4. penetapan berbagai kewajiban yang harus dilaksanakan oleh seluruh staf disertai
dengan penyediaan fasilitas pendukung yang dibutuhkan.
5. penugasan personel yang memiliki kemampuan dan kecakapan dalam melaksanakan
tugas; dan
6. pendelegasian wewenang.

B. Prinsip Pokok Organisasi

Untuk dapat melakukan pengorganisasian dengan baik, sebelumnya perlu dipahami


terlebih dahulu bahwa berbagai prinsip pokok yang terdapat dalam organisasi. Adapun
secara umum, prinsip pokok organisasi yang dimaksud ialah (Stoner, Freeman, dan
Gilbert, 1995):

1. Memiliki Pendukung
Pendukung yang dimaksud dalam konteks ini ialah orang perorangan yang bersepakat
untuk membentuk persekutuan. Apabila ditinjau dan aspek pendukung, maka secara
umum disebutkan bahwa semakin besar jumlah pendukung, semakin kuat pula
organisasi tersebut.
2. Memiliki Tujuan
Setiap organisasi harus mempunyai tujuan, baik yang bersifat umum (goal)
dan/ataupun yang bersifat khusus (objectives). Pada dasarnya tujuan yang dimaksud
dalam konteks ini ditujukan untuk mengikat para pendukung sebagai SDM penggerak
sebuah organisasi.
3. Memiliki Kegiatan
Organisasi yang baik adalah organisasi yang memiliki kejelasan dan arah dalam hal
pelaksanaan kegiatan untuk mencapai tujuan. Secara umum, isebutkan bahwa
semakin aktif organisasi melaksanakan kegiatannya, maka semakin baik pula
organisasi tersebut. Sama halnya dengan tujuan, setiap kegiatan haruslabh dipahami
oleh semua pihak yang berada dalam organisasi.
4. Memiliki Pembagian Tugas
Agar setiap kegiatan organisasi dapat terlaksana dengan baik, dibutuhkan pengaturan
atau pembagian tugas (job description) antar para pendukung organisasi. Secara
umum, disebutkan bahwa sebuah organisasi dapat dikatakan baik apabila setiap tugas
yang ada dapat dibagi habis antar para pendukung organisasi dan selanjutnya para
pendukung organisasi tersebut mengetahui serta memahami tugas dan juga tanggung
jawabnya masing-masing.
5. Memiliki Perangkat Organisasi
Agar tugas-tugas yang dipercayakan kepada masing-masing pendukung organisasi,
maka dibutuhkan adanya perangkat organisasi.
6. Memiliki Pembagian dan Pendelegasian Wewenang
Oleh karena peranan dari setiap satuan organisasi tidak sama, maka dibutuhkan
pembagian dan pendelegasian wewenang (delegation of authority)
7. Memiliki Kesinambungan Kegiatan, Kesatuan Perintah, dan Arah
Agar tujuan organisasi yang ditetapkan dapat tercapai, maka kegiatan yang
dilaksanakan oleh suatu organisasi harus bersifat kontinyu (countinue), fleksibel, serta
sederhana. Selanjutnya, untuk menjamin kegiatan yang dilaksanakan oleh setiap
perangkat organisasi berjalan sesuai dengan apa yang telah ditetapkan dalam rangka
pencapaian tujuan, maka dibutuhkan prinsip kesatuan perintah (unity of command)
serta kesatuan arah (unity of direction).
C. Pengorganisasian Sebagai Suatu Proses

Untuk dapat membentuk sebuah organisasi, terdapat proses yang harus ditempuh.
Adapun proses yang dimaksud terdiri dari (Stone Freeman, dan Gilbert, 1995):

1. Memahami tujuan
Langkah pertama yang harus dilakukan dalam pengorganisasian ialah memahami
tujuan yang ingin dicapai dari pembentukan organisasi sendiri. Tujuan hendaknya
diuraikan hingga jelas tolak ukurnya.
2. Memahami kegiatan
Langkah kedua yang harus dilakukan ialah memahami berbagai kegiatan pokok yang
akan dilakukan untuk mencapai tujuan organisasik egiatan hendaknya diuraikan
hingga jelas arah dan sasarannya.
3. Mengelompokkan kegiatan Kegiatan yang ada perlu disederhanakan melalui
pengklasifikasian dengan berdasarkan pada prinsip pokok, yakni:
a. kegiatan dalam satu kelompok haruslah sejenis dan tidak bertentangan satu sama
lainnya;
b. jumlah kegiatan yang dikelompokkan haruslah efisien; dan
c. jumlah kelompok kegiatan yang dihasilkan tidak terlalu banyak, karena akan
memberatkan organisasi.
4. Mengubah kelompok kegiatan ke dalam bentuk jabatan
Langkah keempat dalam pengorganisasian ialah mengubah kelompok kegiatan ke
dalam bentuk jabatan (position clasification).
5. Melakukan pengelompokan jabatan
Pengelompokan jabatan sangatlah penting dilakukan guna mencegah ketidaksesuaian
tugas yang berpotensi menyulitkan organisasi di masa yang akan datang.
6. Mengubah kelompok jabatan ke dalam bentuk organisasi
Secara umum, cara untuk membentuk satuan organisasi antara lain:
a. atas dasar kesamaan fungsi pokok dari jabatan, seperti halnya
b. bagian perencanaan, bagian pelaksanaan, an lain sebagainya;
c. atas dasar kesamaan proses atau cara kerja dari jabatan, seperti halnya bagian
pencegahan penyakit, bagian rehabilitasi penderita, dan lain sebagainya;
d. atas dasar kesamaan hasil (produksi) jabatan seperti halnyabagian produksi obat,
bagian produksi makanan, bagian produksi bahan produksi, dan lain sebagainya;
e. atas dasar kesamaan kelompok masyarakat yang memanfaatkan hasil., seperti
halnya bagian KlA (Kesehatan Ibu dan Anak), bagian UKS (Usaha Kesehatan
Sekolah), dan lain sebagainya;atas dasar kesamaan lokasi jabatan, seperti halnya
bagian pelayanan di dalam gedung, di luar gedung, dan lain sebagainya;
f. kombinasi dari berbagai cara di atas.
7. Membentuk struktur organisasi
Apabila satuan organisasi telah dirumuskan, maka langkah selanjutnya ialah
menyusun dan juga memvisualisasikan berbagai satuan organisasi tersebut ke dalam
bentuk bagan struktur organisasi.
Stoner, freeman, dan Gilbert (1995) mengemukakan bahwa terdapat empat pilar yang
menjadi dasar melakukan proses pengorganisasian, kempat pilar itu ialah

1. Pilar pertama; Pembagian kerja


Adapun upaya penyederhanaan kegiatan dan pekerjaan yang mungkin saja bersifat
komplek menjadi lebih sederhana dan spesifik tersebut dinamakan sebagai pembagian
kerja. Pembagian keja juga dinamakan pembagian tenaga kerja , akan tetapi saat ini
penggunaan pembagian kerja lebih banyak digunakna karena pada dasarnyayang
diklasifikasikn adalah pekerjannya, bukan SDM didalamnya.
2. Pilar kedua: pengelompokan pekerjaan
Setelah diklasifikasikan, maka pekerjaan tersebut dikelompokan berdasarkan kriteria
tertentu yang sejenis. Proses pengelompokan dan penamaan bagian atau kelompok
pekerjaan menurut kristeria tertentu itu disebut departemenanalization
3. Pilar ketiga: penentuan relasi antarbagian dalam organisasi ‘
Proses pengorganisaasian, yaitu proses penentuan hirarki atau relasi antarbagian
dalam suatu organisasi.
4. Pilar keempat: Kordinasi
Kordinasi adalah proses dalam mengintegrasikan seluruh aktifitas dari berbagai
departemen atau bagian organisasi tidak akan terarah dan cenderung hanya membawa
misi amsing-masing bagian.

BAB 6
PENGGERAK DAN PELAKSANAAN

A. Batasan Penggerak dan Pelaksanaan

Fungsi manajemen ini merupakan fungsi penggerak seluruh kegiatan yang telah
dituangkan dalam fungsi pengorganisasian untuk mencapai tuiuan organisasi yang telah
dirumuskan pada fungsi perencanaan. Batasan-batasan terkait aspek pengetahuan dan
keterampilan yang harus dikuasai dalam fungsi actuating (pergerakan dan pelaksanaan),
antara lain (Azwar, 1996):
1. pengetahuan dan keterampilan motivasi (motivation);
2. pengetahuan dan keterampilan komunikasi (communication);
3. pengetahuan dan keterampilan kepemimpinan (leadership);
4. pengetahuan dan keterampilan pengarahan (directing);
5. pengetahuan dan keterampilan pengawasan (controlling); dan
6. pengetahuan dan keterampilan supervisi (supervision).

Secara garis besar, dapat penulis simpulkan bahwa tujuan pelaksanąan fungsi
kulturasi oleh organisasi antara lain:

1. menciptakan kerja sama yang lebih efisien;


2. mengembangkan kemampuan dan keterampilan staf;
3. menumbuhkan rasa kepemilikan atas pekerjaan;
4. mengusahakan terciptanya lingkungan kerja yang dapat mendukung
5. peningkatan motivasi dan prestasi kerja staf; dan
6. membuat organisasi berkembang secara lebih dinamis.

B. Motivasi (Motivation) dan Kebutuhan Manusia Akan motivasi

Motivasi berasal dari kata motif (motive) yang berarti rangsangan dorongan, atau
pembangkit tenaga yang dimiliki seseorang, sehihingga orang tersebut dapat
memperlihatkan perilaku tertentu. Sedangkan yang dimaksud dengan motivasi adalah
upaya untuk menimbulkan dorongan dan/ataupun pembangkit tenaga pada seseorang atau
sekelompok masyarakat agar yang bersangkutan ingin berbuat dan bekerja sama secara
optimal dalam melaksanakan sesuatu yang telah direncanakan untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan.

Adapun secara umum, kebutuhan manusia dibedakan menjadi 5 (lima) tingkatan,


yakni:

1. kebutuhan pokok faali (physiological needs), yakni kebutuhan untuk melangsungkan


hidup, seperti halnya makanan, minuman, dan tidur,
2. kebutuhan keamanan (safety needs), yakni kebutuhan yang terkait dengan kepastian
untuk hidup secara bebas tanpa ancaman dan bahaya, termasuk ancaman ekonomi dan
sosial
3. kebutuhan sosial (social needs), yakni kebutuhan setiap manusia sebagai makhluk
sosial, seperti halnya perkavwinan, pengakuan sebagai anggota kelompok, dan rasa
simpati;
4. kebutuhan untuk dihargai dan dihormati, yakni kebutuhan akan status,
pengakuan,kedudukan, dan status sosial; serta
5. kebutuhan penampilan diri (self-actualization needs), yakni kebutuhan ntuk
melakukan sesuatu sesuai dengan bakatnya dan kebutuhan untuk mengeluarkan ide
dan gagasan.

C. Komunikasi (Communic unication)

Komunikasi adalah pertukaran pikiran atau keterangan dalam rangkaian menciptakan


rasa Saling mengerti serta saling percaya demi terwujud hubungan yang baik antar
individu ataupun kelompok.

1. menyempurnakan pekeriaan administrasi, yakni melalui komunikasi. Maka diperoleh


berbagai keterangan yang apabila dikelola dengan hdapat dimanfaatkan untuk
membantu administrator dalam mengambil keputusan (decision).
2. Menimbulkan suasana kerja yang menguntungkan, dengan artian melalui komunikasi,
dapat dibina suasana yan8 menguntung hubungan kerja antarsesama SDM dalam
organisasi.
Secara umum, komunikasi terdiri dari unsur:
1. Sumber, yakni tempat asalnya pesan. Dalam manajemen, sumber dapat berbentuk
perorangan, kelompok, ataupun institusi serta organisasi tertentu;
2. Pesan, yakni rangsangan (stimulasi) yang disampaikan oleh sumber kepada sasaran
yang pada dasarnya merupakan hasil pemikiran atau pendapat sumber yang ingin
disampaikan kepada orang lain;
3. Media, yakni alat pengirim pesan atau saluran pesan yang dipilih oleh sumber untuk
menyampaikan pesannya kepada sasaran;
4. Sasaran, yakni pihak penerima pesan dalam konteks kepada siapa pesan tersebut
ditujukan yang juga dapat berbentuk perorangan, organisasi maupun masyarakat;
5. Umpan balik, yakni reaksi dari sasaran terhadap pesan yang disampaikan dapat
dimanfaatkan oleh sumber untuk memperbalki menyempurnakan komunikasi yang
dilakukan; dan
6. Akibat, yakni hasil dari komunikasi yang dilakukan, berupa perubahan pada diri
sasaran, baik pengetahuan, sikap, ataupun perilaku.

D. Kepemimpinan (Leadership)

Sependapat dengan pernyataan Suhadi (2015), menurut hemat nenulis, kepemimpinan


adalan kemampuan untuk memengaruhi aktivitas seseorang atau sekelompok orang untuk
mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan dalam suatu situasi tertentu. gaya
kepemimpinan yang sering kali ditemui dalam organisasi antara lain:

1. Gaya kepemimpinan diktator (dictatorial leadership style) Pada gaya kepemimpinan


ini, upaya pencapaian tujuan dilakukan dengan menimbulkan ketakutan melalui
ancaman hukuman.
2. Gaya kepemimpinan autokratis (autocratic leadership style)
Pada gaya kepemimpinan ini, segala keputusan berada di tangan pemimpin.
3. Gaya kepemimpinan demokratis (democratic leadership style)
Pada gaya kepemimpinan ini, ditemukan peran serta pengambilan keputusan yang
dilakukan secara musyawarah kata lain, hubungan dengan para bawahan telah
dibangun dan dipelihara dengan baik.
4. Gaya kepemimpinan santai (laissez-faire leadership style)
Pada gaya kepemimpinan ini, peranan seorang pemimpin hampir awahan tidak
terlihat, karena segala keputusan telah diserahkan kepada dan setiap anggota
organisasi dapat melakukan kegiatannya masing-masing dak mudah menentukan jenis
gaya kepemimpinan yang terbaik, dan karena gaya kepemimpinan selalu
menyesuaikan dengan situasi dan kOndisi yang dihadapi.
E. Pengarahan (Directing)

Pergerakan penulisan artikan sebagai upaya pengambilan keputusan terus-menerus


yang terwujud dalam bentuk berkesinamjuk sebagai pedoman dalam organisasi. Untuk
dapat pun petunjukakan pengarahan secara optimal. Maka anda harus memahami telebih
dahulu persyaratan pengarahan yang baik menurut Robbins (2003) dibawah ini:

1. Kesatuan perintah
Agar pengarahan dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan maka sudah barang
tentu perintah dan petujuk yang diberikan harus tepelihara kesatuannya.
2. Informasi yang lengkap
3. Hubungan langsung dengan SDM dalam organisasi
Hubungan langsung antar apemimpin dan anggota organisasi sebagai dinilai dapat
membantu kelancaran penerimaan dan pelaksanaan perintah dan petunjuk program
4. Suasana informal
Suasana informal dapat membantu dalam menghilangkan perasaan bebas atas perintah
dan juga petunjuk yang didapatkan.

BAB 7
PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN

A. Batasan Pengawasan dan Pengendalian

Pengawasan disertai dengan pengendalian merupakan proses pengamatan secara


terus-menerus pada pelaksanaan rencana kerja untuk selanjutnya diadakan pengoreksian
terhadap penyimpangan yang telah terjadi. Schermerhorn mengemukakan bahwa :

“Controling is the process of measuring and taking action to ensure desired results”

Dari definisi di atas, pengawasan dapat dipahami sebagai proses menetapkan ukuran
kinerja dan pengambilan tindakan yang dapat mendukung pencapaian hasil yang
diharapkan sesuai dengan standar kinerja yang telah diterapkan tersebut.

Terdapat 3 jenis pengawasan manajerial yang berkembang pada organisasi


pemerintahan di Indonesia, antara lain (Muninjsys, 2004) :

1. Pengawasan Fungsional (Struktural)


Fungsi pengawasan ini melekat pada seseorang yang menjabat sebagai pimpinan.
Adapun pengawasan dilakukan dilakukan terhadap seluruh kegiatan staf yang berada
di bawah koordinasinya.
2. Pengawasan Publik
Fungsi pengawasan publik dilakukan oleh masyarakat terhadap jalannya proses
pembangunan.
3. Pengawasan Non Fungsonal
Fungsi pengawasan non fungsional biasanya dilakukan oleh badan-badan yang
diberikan kewenangan atas fujngsi social control.
B. Standar Pengawasan dalam Fungsi Administrasi.

Menurut Muninjaya (2004), terhadap dua jenis standar pengawasan dalam


pelaksanaan fugnsi administrasi, yakni :

1. Norma
Standar pengawasan berupa norma didasarkan pada pengalaman di masa lalu dalam
pelaksaan program sejenis dengan situasi yang sama.
2. Kriteria
Standar pengawasan berupa kriteria didasarkan pada harapan atau target dari
pelaksaan upaya-upaya pelayanan tertentu
C. Manfaat Pengawasan dan Pengendalian

Selanjutnya, dijelaskan bahwa apabila pengawasan dan pengendalian dilaksanakan


secara tepat, maka organisasi akan memperoleh manfaat berupa :

1. Mengetahui apakah suatu kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan standard an


rencana kerja
2. Mengetahui apakah terhadap penyiimpangan terkait pengetahuan dan pengertian
SDM dalam melaksanakan tugas
3. Mengetahui apakah waktu serta sumber daya lainnya telah mencukupi kebutuhan dan
telah digunakan secra efisien
4. Mengetahui sebab-sebab terjadinya penyimpangan
5. Mengetahui staf yang perlu diberikan penghargaan, baik dalam bentuk promosi
maupun pelatihan lanjtuan.
D. Tujuan Pengawasan dan Pengendalian

Keempat tujuan tersebut antara lain guna adaptasi lingkungan, meminimalkan


kegagalan, meminimumkan biaya, dan juga mengantisipasi kompleksitas dari organisasi.

1. Adaptasi Lingkungan
Tujuan dari fungsi pengawasan adalah agar organisasi dapat terus beradaptasi dengan
perubahan yang terjadi di lingkungan, baik yang bersifta internal maupun lingkungan
eksternal. Sebagai contoh, ketika teknologi informasi dan computer belum secanggih
saat ini, kualifikasi minimum SDM barangkali hanya dibatasi pada kemampuan
mengetik, atau kualifikasi pendidikan minimum. Dari contoh tersebut, dapat kita
simpulkan bahwa pengawasan dan pengendalian perlu dilakukan agar organisasi tetap
dapat beradaptasi dengan perubahan lingkungan.
2. Meminimumkan Kegagalan
Tujuan kedua dari fungsi pengawasan adalah untuk meminimumkan kegagalan.
Ketika organisasi melakukan kegiatan kegiatan atau suatu program misalnya,
organisasi pastilah berharap agar kegagalan dapat ditekan seminimal mungkin.
3. Meminimumkan Biaya
Tujuan ketiga dari fungsi pengawasan adalah untuk meminimumkan biaya. Fungsi
pengawasan melalui penetapan standar tertentu misalnya, dapat meminimumkan
kegagalan-kegagalan dalm produksi atau dapat meminimumkan biaya yang harus
dikeluarkan karena kesalahan kerja.
4. Antisipasi Kompleksitas Organisasi
Tujuan terakhir dari fungsi pengawasan adalah agar organisasi dapat mengantisipasi
berbagai kegiatan yang kompleks
E. Mempertahankan Fungsi Pengawasan dan Pengendalian

Tidak disangsikan lagi bahwa fungsi pengawasan dan pengendalian merupakan fungsi
penting dalam manajemen organisasi. Selain untuk memastikan bahwa tujuan dari
organisasi dapat tercapai, fungsi pengawasan dan pengendalian juga perlu dilakukan agar
organisai senantiasa dapat menyesuaikan diri dengan berbagai perubahan yang terjadi.

1. Sistem Pengawasan Tradisional (Traditional Control System)


Sistem pengawasan tradisional adalah upaya atau system untuk mempertahankan
fungsi pengawasan melalui prosedur dan kegiatan yang melibatkan penentuan
standard an berbagai upaya untuk mencapai standra tersebut.
2. Sistem Pengawasan yang Berdasarkan Komitmen (Commitment-Based Control
System) Berbeda dengan pendekatan tradisional, pendekatan yang berdasarkan
komitmen lebih menekankan pada fungsi pengawasan dari sisi internal dibandingkan
dengan fungsi pengawasan dari sisi eksternal.
F. Langkah, Metode, serta Objek Pengawasan dan Pengendalian

Langkah-langkah dalam melakukan pengawasan dan pengendalian, antara lain


mengukur hasil atau prestasi yang telah dicapai lalu membandingkan hasil pencapaian
dengan tolak ukur atau standar yang telah ditetapkan sebelumnya. Bukan hanya
perencanaan, pengawasan pun membutuhkan data, yakni data-data terkait pelaksanaan
program berjalan.

BAB 8

EVALUASI

A. Evaluasi dalam Manajemen Administrasi

Pelaksanaan evaluasi memiliki tujuan yang sama dengan pengawasan dan


pengendalian, yakni memperbaiki efisien serta efektivitas pelaksanaan program melalui
perbaikan fungsi manajemen. Terdapat beberapa jenis evaluasi , yaitu :

1. Evaluasi terhadap masukan (Input)


Kegiatan ini bersifat pencegahan dengan tujuan untuk mengetahui apakah pemilihan
setiap sumber daya program telah sesuai dengan kebutuhan.
2. Evaluasi Terhadap Proses
Dilakukan saat program tengahn berlangsung. Tujuannya untuk mengetahui apakah
metode yang dipilih benar-benar efektif dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
3. Evaluasi Terhadap Keluaran (Output)
Dilakukan pasca pelaksanaan program. Tujuannya untuk mengetahui apakah output
serta effect atau outcome program telah sesuai dengan target pencapaian yang telah
ditetapkan.

B. Evaluasi Program Kesehatan


1. Definisi Evaluasi Program

Evaluasi adalah upaya untuk mendokumentasikan dan juga melakukan penilaian


tentang apa yang terjadi. Istilah program didefinisikan sebagai sebuah bentuk rencana
yang akan dilakukan. Terdapat 3 unsur penting yang terkandung dalam istilah program,
yaitu :

a. Program adalah realisasi atau implementasi dari suatu kebijakan


b. Program terjadi dalam kurun waktu yang lama melalui kegiatan jamak yang
berkesinambungan, bukan kegiatan tunggal
c. Program terjadi dalam organisasi yang melibatkan sekompok orang.

2. Tujuan Evaluasi Program


Tujuan evaluasi program untuk mendapatkan sejumlah informasi yang dapat
digunakan dalam pengembalian keputusan. Evaluasi program dilakukan dengan 3
tujuan utama, yaitu :
a. Memperoleh informasi tentang perencanaan dan pelaksanaan suatu program.
b. Memperbaiki kebijakan perencanaan dan pelaksaan program.
c. Memperbaiki alokasi sumber daya manajemen.

Evaluasi kebijakan pada hakikatnya bermaksud untuk mengetahui bagaimana proses


pembuatan kebijakan, bagaimana proses impelmentasi, apa saja konsekuensi kebijakan
yang dirumuskan, dan bagaimana efektivitas dampak kebijakan. Informasi yang
dihasilkan dari evaluasi program merupakan nilai yang antara lain berkenaan dengan :

a. Efisiensi (efficiency) yakni perbandingan antara hasil dengan sumber daya yang
digunakan
b. Keuntungan (profitability) yaitu selisih antara hasil dengan sumber daya yang
digunakan
c. Efektivitas (effectiveness) yakni penilaian pada pencapaian hasil tanpa
memperhitungkan sujmber daya
d. Keadilan (equity) yakni keseimbangan dalam pembagian hasil atau sumber daya yang
digunakan (pengorbanan)
e. Detriments yakni indicator negative dalam bidang social, seperti criminal dan
sebagainya
f. Manfaat tambahan (marginal rate of return) yaitu tambahan hasil banding biaya atau
pengorbanan.

3. Dimensi Evaluiasi Program

Setelah objek evaluasi duketahui secara pasti, selanjutnya harus ditentukan aspek-
aspek dari objek yang akan dievaluasi. Pada prinsipnya, perangkat evaluasi dapat diukur
melalui 4 dimensi yang terdiri dari indikator masukan, proses, keluaran, dan dampak.
Evaluasi sebagai cara untuk membuktikan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan
suatu program digunakan untuk menunjukkan tahapan siklus dalam pengelolaan program.
Pada tahap perencanaan, evaluasi dilakukan untuk memilih dan menentukan prioritas dari
berbagai alternatif dan kemungkinan cara mencapai tujuan yang telah dirumuskna
sebelumnya.

a. Evaluasi untuk Mengukur Evektifitas Program

Efektivitas program dipahami sebagai keberhasilan implementasi, yang didalamnya


mencakup pencapaian target atau tujuan yang ditetapkan, sesuai dengan rencana yang
dibuat, dan menghasilkan kejadian yang sesuai dengan harapan.

Persyaratan keberhasilan implementasi program antara lain :

1. Kondiksi eksternal pelaksana tidak menimbulkan gangguan yang serius


2. Tersedia waktu dan sumber yang memadai
3. Perpaduan berbagai sumber daya yang benar-benar tersedia
4. Kebijakan didasari oleh hubungan kausalitas yang handal
5. Hubungan kausalitas yang lamgsung dan sedikit mata rantainya
6. Hubungan saling ketergantungan
7. Pemahaman dan kesepakatan terhadap tujuan
8. Tugas-tugas yang diperinci secara berurutan
9. Komunikasi dan koordinasi yang sempurna
10. Pihak berwenang dapat menuntut dan mendapatkan kepatuhan.

b. Evaluasi untuk Mengukur Efisien Preogram

Efisiensi merupakan suatu ungkapan mengenai hubungan antara hasil-hasil yang


diperolehh dari program atau kegiatan di bidang kesehatan dengan upaya yang telah
dilakukan dalam betuk suumber dayan manusia, keuangan, serta sumber-sumber lainnya,
proses-proses dan teknologi, kesehatan dan waktu.

Yang dilakukan dalam evaluasi ini adalah pemeriksan terhadap hal-hal seperti
kelayakan rencana kegiatan yang telah dibuat, jadwal kerja, metode yang diterapkan,
tenaga kerja yang digunakan, serta penyediaan dan penggunaan sumber-sumber
keuangan.
c. Evaluasi untuk Mengukur Relevansi Program

Relevansi program diartikan sebagai kesesuaian program dengan masalah atau


kebutuhan dan kesesuaian program dengan upaya dan sumber daya yang disediakan.
Suatu program dikatakan relevan apabila mengandung 5 nilai, yakni appropriate,
applicable, related, significant, dan important. Adapun ruang lingkup atau isu relevansi
antara lain :

1) Masalah: apayang diraskan kurang: petugas vs masyarakat


2) Kebutuhan: apa yang harus dipenuhi agar masyarakat tidak berkembang menjadi lebih
buruk vs kapastitas organisasi
3) Kebijakan: keberpihakan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial vs kepentingan
praktis pelaku organisasi
4) Visi: impian yang bisa diwujudkan, yakni impian pimpinan vs masyarakat
5) Program: apa yang akan dilakukan untuk mewujudkan visi dan mengatsi masalah vs
kapasitas organisasi
6) Sumber daya: apa yang harus disediakan untuk melaksanakan program vs kapasitas
organisasi.
7) Pelaksanaan: bagaiman sumber daya digunakan untuk mendukung program dan
kegiatan untuk mencapai sasran vs kemampuan petugas dan kesiapan sasaran
8) Pengawasan dan penilaian: bgaiman program” dijaga dan dinilai” agar sesuai dengan
harapan organisasi vs masyarakat.
d. Evaluasi untuk Mengukur Kesinambungan Program

Kesinambungan diarahkan pada upaya penjagaan terhadap kesinambungan


pertumbuhan ekonomi sertan proteksi lingkungan dan tanggung jawab social menuju
peningkatan kualitas hidup kita dan generasi mendatang.

Urgensi penjagaan kesinambungan program kesehatan dapat dilihat pada pola


dukungan masyarakat terhadap program kesehatan itu sendiri. Sering terjadi kondisi
dimana suatu program sangatlah baik ketika masih dalam dukungan petugas, pembimbing
lapangan, dukungan donor, dan intervfensi “pihak luar” lainnya. Oleh karenanya, sudah
barang tertentu kesinambungan program harus diciptakan melalui pemberdayaan
masyarakat yang kuat.
BAB 9

ADMINISTRASI DAN UPAYA KESEHATAN

A. Konsep UKM dan UKP dalam Upaya Kesehatan

Pendidikan kesehatan, imunisasi dasar, dan fogging merupakan contoh dari UKM.
Pendanaan UKM tidak dapat dibebankan pada pengguna sesuai dengan layanan yang
diterimanya, Karena pada dasarnya efek dari UKM tidak spesifik orang per orang.

Penyuluhan kesehatan, inspeksi sanitasi makanan, inspeksi perilaku hidup bersih dan
sehat dalam tatanan rumah tangga, fasilitas pendidikan serta lingkungan kerja, dan lain
sebagainya merupakan jenis-jenis UKM yang diserahkan pendanaan dan pelaksanaannya
kepada pemerintah daerah. Hal-hal yang berkaitan dengan perizinan fasilitas kesehatan
untuk memberikan layanan UKP dan pengawasan mutu layanan di fasilitas kesehatan
juga termasuk pula sebagai tugas yang diserahkan kewenangannya kepada pemerintah
daerah.

Dalam jaminan kesehatan social nasional, seorang yang sakit berhak pergi mencari
pengobatan di luar wilayah administrasinya tetap dengan prosedur pelayanan berjenjang
di fasilitas kesehatan yang tentunya telah memiliki kontrak dengan BPJS kesehatan.

B. Kewajiban Penduduk

Kewajiban setiap orang untuk menjaga dirinya agar tetap sehat dan produktif
sebelumnya telah dirumuskan dalam konsep kesehatan masyarakat sebagai lima tingkat
pencegahan, yakni :

1. Tingkat I : Promosi Kesehatan


Promosi kesehatan merupakan upaya menjaga diri dan orang-orang di sekitar agar
tetap dalam kondisi sehat.
2. Tingkat II : Proteksi Khusus
Untuk menjaga diri kita agar tetap sehat, proteksi khusu sangat penting karena kita
tidak dapat memastikan apakah lingkungan tempat kita berada terbebas dari kuman
atau penyakit menular.
3. Tingkat III : Diagnosis Dini
Pencegahan seperti diagnosis dini, kepekaan, kesadaran, ketanggapan dan juga
dukungan orang-orang disekitar sangatlah dibutuhkan.
4. Tingkat IV : Berobat Segera
Ketika indikasi penyakit sudah diketahui, maka upaya berobat segera adalah upaya
pada tingkat selanjutnya yang harus dilakukan untuk mencegah agar kita tidak masuk
pada kondisi yang lebih buruk seperti komplikasi.
5. Tingkat V : Rehabilitas
Rehabilitas tetap harus dilakukan sebagai upaya untuk mencegah kecacatan yang
berkepanjangan dan mencegah kematian.

C. Kewajiban Pemerintah
Pemerintah wajib melindungi seluruh penduduk dari risiko lingkungan yang dapat
menimbulkan masalah kesehatan. Perlindungan tersebut dilakukan melalui upaya
penyediaan air bersih, pemeriksaan barang-barang impor, pencegahan kontaminasi
lingkungan, dan lain sebagainya.

D. Cakupan dan Availabilitas Layanan

Cakupan layanan menjadi ukuran kinerja, cakupan layanan yang dilaporkan adalah
cakupan berdasarkan kunjungan ke fasilitas kesehatan. Cakupan umumnya dinyatakan
dalam presentase, sehingga memiliki komponen numerator dan denominator.

Kondisi ideal dicapai apabila cakupan yang sesungguhnya sama dengan cakupan
potensial. Kondisi tersebut hanya bisa dicapai bila utilisasi layanan kesehatan oleh
masyarakat telah maksimal. Pemenuhan input dibutuhkan untuk memastikan ketersediaan
layanan, keterjangkauan layanan, penerimaan layanan, kontak dengan petugas dan
pemanfaatan layanann tercapai sesuai dengan harapan.

E. Ketersediaan Tenaga, Kader, dan Komoditas Kesehatan

Ketersediaan tenaga kesehatan di Indonesia semakin membaik, akan tetapi masihn


sangat jauh dibandingkan rata-rata dunia. Kurangnya jumlah tenaga kesehatan di
Indonesia diperberat lagi dengan kenyataan bahwa distribusi tenaga kesehatan yang
merata, sehingga masyarakat di daerah yang tidak diminati semakin sulit untuk dapat
mengakses layanan kesehatan oleh tenaga professional.
Kader dapat berperan dalam upaya promosi kesehatan, pencegahan dan pengobatan,
kader kesehatan semestinya dapat berperan untuk melakukan pengobatan pertama
sebelum rujukan atau bahkan pengobatan sampai batas kewenangan tertentutergantung
kebutuhan.

Pedoman perencanaan obat dan perbekalan kesehatan menjelaskna bahwa sebelum


dilakukannya permohonan pengadaan obat, Puskesmas mempertimbangkan morbiditas
penyakit dan menghitung perkiraan permohonan logistic di tahun yang akan datang.

F. Kebijakan Kesehatan

Kebijakan bersifat menigkat secara religius, psikologis, social atau hukum, kekuatan
kebijakan tergantung pada reward (manfaat) dan punishment (sanksi) yang melekat.
Adapun kebijakan normatif yang mempunyai kekuatan politis adalah kebijakan secara
hukum, yang berhubungan dengan hak dan tanggung jawab seseorang sebagai warga
Negara.

G. Indikator Pengukur Availabilitas Layanan

Ketersediaan layanan kesehatan dapat didefinisikan sebagai kapasitas system kesehata


untuk meningkatkan cakupan akses dan keamanan kualitas layanan berupa peningkatan
status dan pemerataan kesehatan, pelayanan kesehatan yang refponsif, perlindungan
terhadap risiko social dan keuangan, serta peningkatan efisien. Ketersediaan layanan
kesehatan terdiri dari 6 dimensi, yakni :

1. Penyampaian layanan (delivery service)


2. Tenaga kesehatan (human resource)
3. Sistem informasi kesehatan (health information system)
4. Akses terhadap obat esensial (access to essential medicine)
5. Pembiayaan (financing)
6. Kepemimpinan atau pemerintahan (governance)

H. Aksesibilitas dan Akseptabilitas Layanan

Aksesibilitas berdasarkan dimensi geografis berkaitan dengan waktu dan ruang yang
diyakini mempunyai peranan utama dalam membentuk akses ke layanan kesehatan. Ada
kecenderungan penurunan interaksi seseorang dengan fasilitas kesehatan karena
peningkatan jarak tempuh,.

Aksebilitas yang tinggi belum tentu menjamin tingginya utilisasi akan layanan
kesehatan karena utilisasi akan layanan kesehatan karena utilisasi layanna kesehatan juga
ditentukan oleh akseptabilitas. Adapun akseptabilitas menggambarkan pandangan
masyarakat terhadap layanan kesehatan dan bagaimana penyediaan layanan berinteraksi
dengan masyarakat penerima layanan.

Ketersediaan layanan tidak selalu menjamin manfaatnya akan dirasakan oleh


masyarakat. Penerimaan individu terhadap layanan kesehatan sangat ditemukan oleh
kepercayaan, norma, kebiasaan, stigma sosial, dan konsep masyarakat tentang sakit dan
upaya pengobatannya.

I. Pendidikan dan Kesejahteraan Keluarga

Perilaku sehat dipengaruhi oleh faktor pendidikan, pendapatan, dan domisili.


Kepemilikan kelambu berinsektisida lebih tinggi pada keluarga dengan tingkat
pendidikan ibu dan kesejahteraan keluarga yang lebih tinggi. Upaya- upaya pengobatan
lebih banyak ditemukan pada kasus diare dengan tingkat pendidikan ibu yang lebih tinggi
dan domisili di wilayah perkotaan.

J. Kepemilikan Jaminan Kesehatan

Peningkatan infrastruktur pelayanan kesehatan dapat diukur melalui peningkatan


belanja negara untuk kesehatan. Pembiayaan public semkain meningkat dari tahun ke
tahun, akan tetapi tetap berada dibawah standar internasional dan tidak terdistribusikan
secraa merata antarprovinsi dan kota.

Keterjangkauan biaya kesehatan di Indonesia dilaporkan masih jauh dari harapan, hal
tersebut diperkuat dengan presentase penggunaan dana pribadi untuk layanan kesehatan
yang masih diatas 50%.

K. Kebiasaan, Kepercayaan, dan Budaya Masyarakat

Kebiasaan dan budaya masyarakat merupakan faktor yang juga sangat menetukan
akseptabilitas layanan kesehatan, akseptabilitas menggambarkan tingkat penerimaan
masyarakat terhadap layanan kesehatan dan bagaimana penyedia layanan dapat
berinteraksi dengan pengguna layanan sebagai pengaruh dari kondisi sosio ekonomoi.
Dibutuhkan pengkajian secara mendalam dengan mempelajari karakteristik masyarakat
setempat dan bagaimana pada akhirnya sebuah perilaku dapat menjadi sebuah budaya.

BAB 10

ADMINISTRASI DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

Pemberdayaan masyarakat merupakan hal penting dalam pembangunan


kesehatan di Indonesia selama ini. Setidaknya setelah krisis monetermelanda Indonesia
bahkan jauh sebelum itu, yakni semasa periode Orde. Baru pun pemberdayaan
masyarakat telah menjadi salah satu strategi dalam pembangunan kesehatan di Indonesia

A. Konsep Pemberdayaan Masyarakat

Dalam praktik keseharian, keberdayaan masyarakat diartikan sebagai partisipasi


masyarakat (community participation) atau keterlibatan masyarakat Community
involvement). Secara lebih luas, pemberdayaan masyarakat diartikan sebagai
pengorganisasian masyarakat (community organizing), pembangunan, atau
pengembangan masyarakat (community development). Adapun WHO dalam Deklarasi
Alma-Atta lebih banyak menggunakan Istilah partisipasi (community participation) dan
penggerakan masyarakat (Commnity mobilization) untuk mengartikan pemberdayaan
masyarakat.

Seperti pengertiannya yang beragam, ruang lingkup pemberdayaan masyarakat pun


beragam. Pemberdayaan mnciptakan masyarakat yang berdaya. Keberdayaan itu sendiri
berasal dari domain yang majemuk termasuk di antaranya:

1. pendidikan;
2. psikologi sosial;
3. psikologi komunitas;
4. sosiologi;
5. feminisme;
6. teologi.
Labonte (1994) dalam Clark dan Krupa (2000) merumuskan kerangka kerja
pemeberdayaan yang terdiri dari tiga komponen, yaitu bentuk, tingkatan, dan konteks.
Adapun Laverack (2006) mengembangkan sembilan) domain pemberdayaan, yaitu:

1. partisipasi;
2. kapasitas penilaian masalah;
3. kepemimpinan lokal;
4. organisasi berstruktur;
5. penggerakan sumber daya;
6. kemitraan;
7. kemampuan bertanya "mengapa?"
8. pengelolaan program; serta
9. hubungan dengan agen luar.

Laverack mengilustrasikan fase ini dengan adanya garis-garis putus pada tangga interaksi
berbasis masyarakat. Terdapat 3 (tiga) kunci penting yang memungkinkan masyarakat untuk
meningkatkan derajat partisipasinya, yaitu:

1. pelibatan masyarakat (community involvement) untuk menuju partisipasimasyarakat;


2. kompetensi masyarakat (community competence) untuk menuju pelibatan masyarakat
dengan lebih erat (community engagement); dan
3. pengendalian masyarakat (community control) untuk menuju terciptanya aksi
masyarakat
B. Kesiapan Masyarakat (Community Readiness)

Penulis beranggapan bahwa sejatinya dalam melakukan suatu kegiatanatau pekerjaan,


seseorang sudah barang tentu memiliki motif-motif tertentu yang menggerakkannya.
Begitu pula saat seseorang, kelompok, ataupun masyarakat berpartisipasi dalam sebuah
program pembangunan. Adapun mengkaji beberapa literatur dan melihat kondisi di
lapangan, maka dapat penulis katakan bahwa motif pendorong perilaku manusia yarng
utama ialah.

1. psikologi;
2. sosial;
3. keagamaan; dan ekonomi.
Pemahaman tentang motif ini sangatlah penting bagi seorang promotor pemberdayaan
masyarakat saat memainkan perannya di lapangan, karena sebuah pemberdayaan tidak
terjadi begitu saja, melainkan membutuhkan peran pihak luar untuk memotivasi. Fertman
(2007) menyatakan bahwa dibutuhkan community readiness model (Tabel 10.1) untuk
menilai dan membangun tingkat keberdayaan masyarakat agar dapat mengambil tindakan
atas masalah sosial. Model ini menyediakan kerangka kerja yang dapat digunakan untuk
menilai konteks sosial di mana perilaku seseorang akan dilakukan. Adapun model ini
mengintegrasikan kultur masyarakat, sumber daya dan juga tingkat kesiapan yang lebih
efektif untuk dapat mengatasi permasalahan yang ada.

Model kesiapan masyarakat akan membantu meningkatkan kemitraan, partisipasi, dan


investasi masyarakat dalam menyampaikan layanan intervensi.

C. Partisipasi Masyarakat (Community Participation)

Partisipasi dalam pelayanan kesehatan merupakan prinsip utama dalam Dekralasi


Alma-Ata. Pasal keempat deklarasi tersebut menyatakan bahwa (Lawn, dkk.. 2008:
Rosato, dkk., 2008; Walley, dkk., 2008):

"setiap orang memilki hak dan kewajiban untuk berpartisipasi secara individual dan
kolektif dalam perencanaan dan pelaksanaan perawatan kesehatan mereka."

Selanjutnya, Pasal ketujuh berbunyi:

"kesehatan primer membutuhkan dan mempromosikan ketahanan dalam peserta


partisipasi dalam perencanaan, pengorganisasian, pengoperasionalan, dan pengendalian
pelayanan”

Menurut Laverack, partisipasi masyarakat merupakan situasi di mana sekelompok


orang berbagi pendapat dan pengalaman untuk mengidentifikasi masalah yang terjadi.
Adapun partisipasi masyarakar diukur dari keterwakilan masyarakat itu sendiri dalam
proses penyelesaian masalah (Davies dan Macdowal, 2006; Laverack, 2007). Gaventa,
dkk (2003) mengatakan terdapat 3 (tiga) konsep partisipasi, yaitu partisipasi politik,
partisipasi sosial, dan partisipasi warga. Sedangkan Hoofsteede membagi partisipasi ke
dalam 3 (tiga) tingkatan, yaitu (Huraerah, 2011)

1. partisipasi inisiatif;
2. partisipasi legitimasi; dan
3. partisipasi eksekusi.

D. Keterlibatan dan Kompetensi Masyarakat

Keterlibatan masyarakat (community involvement) adalah keadaan di mana anggota


masyarakat melakukan identifikasi solusi pemecahan masalah yang memengaruhi hidup
mereka. Keterlibatan masyarakat adalah sebuah keadaan kolaboratif yang turut
melibatkan pihak luar dan meliputi kemitraan untuk mernobilisasi sumber daya,
memengaruhi sistem, dan mengubah relasi.

1. mendengarkan secara aktif


2. berpartisipasi secara aktif:
3. melakukan penilaian kebutuhan; serta
4. menjalin kemitraan darjejaring.

Selain 4 (empat) hal tersebut, Laverack (2001) juga turut menyertakan organisasi
berbasis masyarakat, penggerakan sumber daya, peranan agen eksternal, serta
pengelolaan program sebagai domain pemberdayaan. Adapun sebagai jembatan untuk
mendengarkan secara aktif, Laverack pun menggunakan kunci bertanya "mengapa?"
dalam pembahasan suatu masalah (Labonte dkk., 2008; Laverack, 2006).

Bentuk lain dari UKBM antara lain desa siaga, Poskesdes, warung obat desa, dan lain
sebagainya. Aksesibilitas masyarakat untuk menjangkau UKBM di Indonesia sangatlah
tinggi. Hampir 100% rumah tangga di Indonesia berada dalam radius 5 (lima) kilometer
atau jangkauan waktu tempuh 30 menit menuju UKBM. Akan tetapi, pemanfaatan
UKBM oleh masyarakat masih belum maksimal. Hal ini terlihat dari persentase
pemanfaatan UKBM oleh masyarakat baru mencapai angka 27%. 49,6% masyarakat
mengatakan bahwa layanan Posyandu tidak lengkap, 269% masyarakat mengatakan
bahwa lokasi Posyandu jauh, 24% masyarakat mengatakan bahwa layanan kesehatan di
Posyandu tidak ada (Kementerian Kesehatan RI, 2008).

Sesuai dengan tugas utama Posyandu dengan 5 (lima) kegiatan pokoknya, maka setiap
1 (satu) Posyandu seharusnya memiliki minimal 5 (lima) orang kader. Namun dalam
kenyataannya, tidak semua Posyandu aktif melaksanakan kegiatan pokoknya karena
minimnya jumlah kader yang tersedia. Salah satu alasan yang sering didapatkarn adalah
tidak adanya insentif bagi para kader. Pada tahun 2000-an, Kementerian Kesehatan telah
memberikan respons dengan mengalokasikan dana insentif bagi para kader, yang berakhir
dengan mematikan Posyandu ketika bantuan insentif kader dihentikan karena ketiadaan
anggaran.

Kader semestinya tetap dipertahankan sebagai tenaga sukarela. Sukarela dalam hal ini
diartikan sebagai kesiapan untuk meluangkan waktu yang dimiliki untuk pelayanan
sosial.

E. Kendali Masyarakat

Laverack (2007) mengatakan bahwa masyarakat dikatakan berdaya apabila mereka


memiliki kemampuan untuk mengendalikan sumber daya, termasuk pengendalian kepada
pihak yang memutuskan masalah yang akan diatasi dan memutuskan akses pemanfaatan
sumber daya yang ada (akses informasi, jaminan kesehatan, kredit modal usaha,
perbaikan infrastruktur, dan lain sebagainya). Pemberdayaan masyarakat adalah proses
yang memungkinkan masyarakat untuk meningkatkan kendali hidup mereka sendiri
(WHO, 2013). Pemberdayaan masyarakat mengisyaratkan kepemilikan dan tindakan
masyarakat yang secara eksplisit bertujuan untuk perubahan sosial dan politik.
Pemberdayaan masyarakat merupakan proses re-negosiasi kekuasaan dalam rangka
mendapatkan kontrol yang lebih besar. Selanjutnya, pemberdayaan diartikan sebagai
sebuah proses menuju peningkatan kendali masyarakat akan keputusan-keputusan yang
berkaitan dengan sumber daya yang memengaruhi hidup mereka, termasukdeterminan
kesehatan (Davies dan Macdowal, 2006; Laverack, 2007).

Pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan merupakan proses untuk


memampukan masyarakat agar memiliki kendali (power-over) atas sumnber daya yang
dapat memengaruhi determinan kesehatan.

F. Indikator Pengukuran Tingkat Keberdayaan Masyarakat

Beragamnya pengertian dan juga ruang lingkup keberdayaan masyarakat


menyebabkan tantangan dalam pengukuran. Hal inimenimbulkan pertanyaan mengenai
bentuk keberdayaan masyarakat yang paling efektif. Untuk menjawab pertanyaan
tersebut, dibutuhkan studi dan kajian lebih lanjut yang terfokus pada proses. Masalah
primer pada studi mengenai pemberdayaan adalah pengukuran, karena definisi
pemberdayaan sangat tergantung pada konsep pemberdayaan yang digunakan. Walaupun
demikian, berbagai studi telah memperlihatkan konsistensi atas keberadaan unsur-unsur
pasrtisipasi, peranan agen/fasilitator, mobilisasi sumber daya, dan juga kompetensi
masyarakat. Adanya aksi sosial politik secara eksplisit dianggap akan membedakan
konsep pemberdayaan masyarakat dan konsep berbasis masyarakat lainnya. Secara
prinsip, terdapat 3 (tiga) asumsi yang perlu diperhatikan pada saat memutuskan
pengukuran pemberdayaan, yaitu (Zimmerman, 1995):

1. bentuk pemberdayaan akan berbeda dari 1 (satu) orang dengan orang lainnya. Hal ini
dikarenakan adanya pengaruh umur, sosial, ekonomi, gender, dan lain-lain;
2. bentuk pemberdayaan akan berbeda untuk setiap konteks yang berbeda. Misalnya,
keberdayaan di sebuah organisasi yang sangat struktural akan berbeda dengan
organisasi yang berbasis partisipatori;dan
3. pemberdayaan adalah variabel yang dinamis dan senantiasa berfluktuasi. Setiap
individu berpotensi untuk mempunyai pengalaman berproses menjadi berdaya
ataupun tidak berdava. Ada yang menjadi berdaya karena perjalanan waktu, berada
pada posisi yang dapat melakukan kendali atau kontrol. Selain itu, ada pula yang
menjadi sberdaya karena memiliki akses terhadap sumber daya.

BAGIAN III

BAB 11

APLIKASI ADMINISTRASI KESEHATAN MASYARAKAT DI INDONESIA

Praktik administrasi kesehatan masyarakat di Indonesia tidak terlepas dari bagaimana


administrasi publik dijalankan dan Sistem Kesehatan Nasional (SKN) yang berlaku di Indonesia.
Saat ini, pemerintahan di Indonesia telah menerapkan kebijakan desentralisasi dan otonomi
daerah, sehingga penerapan administrasi kesehatan masyarakat juga mengikuti ketentuan yang
sesuai dengan kebijakan dan peraturan perundang- undangan yang berlaku.

A. Administrasi Kesehatan Berdasarkan SKN 2012


Perpres No. 72/2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional (SKN) mendefinisikan SKN sebagai
sebuah sistem pengelolaan kesehatan yang diselenggarakan oleh semua komponen bangsa
secara terpadu dan saling mendukung guna menjamin tercapainya derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya. Adapun dalam rangka penyelenggaraannya, SKN harus
mengacu pada dasar-dasar atau asas-asas berikut ini:
1. Perikemanusiaan
Perikemanusiaan yang dimaksud adalah sikap tidak membedakan golongan dan bangsa
dengan berlandaskan pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Asas perikemanusiaan dalam
pembangunan kesehatan memastikan bahwa setiap tenaga pengelola dan pelaksana SKN
harus berbudi luhur dan memegang teguh etika profesi.
2. Keseimbangan
Setiap pengelolaan dan pelaksanaan SKN harus dilaksanakan dengan sangat memerhatikan
keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat, antara fisik dan mental, serta
antara material dan spiritual.
3. Manfaat
Setiap pengelolaan dan pelaksanaan SKN harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya
bagi kemanusiaan dan perikehidupan yang sehat bagi setiap warga negara.
4. Perlindungan
Setiap pengelolaan dan pelaksanaan SKN harus dapat memberikan perlindungan dan
kepastian hukum kepada pemberi dan penerima pelayanan kesehatan.
5. Keadilan
Setiap pengelolaan dan pelaksanaan SKN harus dapat memberikan pelayanan yang adil dan
merata kepada semua lapisan masyarakat dengan pembiayaan yang terjangkau tanpa
memandang suku, agama, golongan, dan status sosial ekonominya.
6. Penghormatan Hak Asasi Manusia (HAM)
Sesuai dengan tujuan pembangunan nasional dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu untuk
meningkatkan kecerdasan bangsa dan kesejahteraan rakyat, maka setiap pengelolaan dan
pelaksanaan SKN harus berdasarkan pada prinsip hak asasi manusia. Pasal 28 H ayat (1)
UUD 1945 antara lain mengamanatkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan
batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan.
Pelayanan kesehatan ditujukan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya dengan tanpa membedakan suku, agama, golongan, jenis kelamin, dan
status sosial ekonomi. Begitu juga bahwa setiap anak dan perempuan berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
7. Sinergisme dan Kemitraan yang Dinamis
SKN akan berfungsi baik untuk mencapai tujuannya apabila terdapat Koordinasi, Integrasi,
Sinkronisasi, dan Sinergisme (KISS), baik antar pelaku, antarsubsistem SKN, maupun dengan
sistem serta subsistem lain di luar SKN. Dengan tatanan ini, maka sistem atau seluruh sector
terkait, seperti pembangunan prasarana, keuangan, dan pendidikan perlu berperan bersama
dengan sektor kesehatan untuk mencapai tujuan nasional.
Selain itu, pembangunan kesehatan haruslah diselenggarakan dengan menggalang kemitraan
yang dinamis dan harmonis antara pemerintah dan masyarakat, termasuk swasta dengan
mendayagunakan potensi yang dimiliki masing-masing. Kemitraan tersebut diwujudkan
dengan mengembangkan jejaring yang berhasil guna dan berdaya guna, agar diperoleh
sinergisme yang lebih kuat dalam rangka mencapai deraiat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya.
8. Komitmen dan Tata Pemerintahan yang Baik (Good Governance)
Agar SKN berfungsi dengan baik, diperlukan komitmen ang tinggi, dukungan, dan juga kerja
sama yang baik para pelaku untuk menghasilkan tata penyelenggaraan pembangunan
kesehatan yang baik (good governance). Pembangunan kesehatan diselenggarakan secara
demokratis, berkepastian hukum, terbuka atau transparan, rasional, profesional, serta
bertangung jawab dan bertanggung gugar (akuntabel).
9. Legalitas
Setiap pengelolaan dan pelaksanaan SKN harus didasarkan pada ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Dalam menyelenggarakan SKN, diperlukan dukungan
regulasi berupa berbagai peraturan perundang-undangan yang responsif, memerhatikan
kaidah dasar bioetika dan mendukung penyelenggaraan SKN dan penerapannya (law
enforcement) dalam menjamin tata tertib pelayanan.
10. Antisipatif dan Proaktif
Setiap pelaku pembangunan kesehatan harus mampu melakukan antisipasi atas perubahan
yang akan terjadi, yang didasarkan pada pengalaman masa lalu atau pengalaman yang terjadi
dinegara lain. Dengan mengacu pada antisipasi tersebut, pelaku pembangunan kesehatan
perlu lebih proaktif terhadap perubahan lingkungan strategis baik yang bersifat internal
maupun eksternal.
11. Gender dan Non-Diskriminatif
Dalam penyelenggaraan SKN, setiap penyusunan rencana kebijakan dan program serta dalam
pelaksanaan program kesehatan harus responsif gender. Kesetaraan gender dalam
pembangunan kesehatan adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk
memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan
berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan kesehatan serta kesamaan dalam memperoleh
manfaat pembangunan kesehatan. Keadilan gender adalah suatu proses untuk menjadi adil
terhadap laki-laki dan perempuan dalam pembangunan kesehatan. Dengan kata lain, setiap
pengelolaan dan pelaksanaan SKN tidak membedakan perlakuan terhadap perempuan dan
laki-laki.
12. Kearifan Lokal
Penyelenggaraan SKN di daerah harus memerhatikan dan menggunakan potensi daerah yang
secara positif dapat meningkatkan hasil guna dan daya guna pembangunan kesehatan, yang
dapat diukur secara kuantitatif dari meningkatnya peran serta masyarakat secara kualitatif dari
meningkatnya kualitas hidup jasmani dan rohani. Dengan demikian, kebijakan pembangunan
daerah di bidang kesehatan harus sejalan dengan SKN, walaupun dalam praktiknya, dapat
disesuaikan dengan potensi, kondisi serta kebutuhan masyarakat di daerah terutama dalam
penyediaan pelayanan kesehatan dasar bagi rakyat.

B. Suprasistem SKN

Suprasistem SKN adalah Sistem Ketahanan Nasional.. SKN bersama dengan berbagai sistem
nasional lainnya diarahkan untuk mencapai tujuan bangsa Indonesia seperti yang tercantum dalam
Pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial. Dalam kaitan ini, UU yang berkaitan dengan kesehatan merupakan kebijakan strategis
dalam pembangunan kesehatan.

C. Subsistem SKN
1. Subsistem Upaya Kesehatan
Upaya kesehatan diselenggarakan oleh Pemerintah (termasuk TNI dan POLRI), pemerintah
daerah provinsi/kabupaten/kota, dan/atau masyarakat/swasta melalui upaya peningkatan
kesehatan, pencegahan penyakit, pengobatan, dan pemulihan kesehatan di fasilitas pelayanan
kesehatan. UKM dibedakan atas 3 (tiga) jenis, antara lain (Direktorat Jenderal Pemeliharaan
Kesehatan Masyarakat, Departemen Kesehatan RI, 2005):
a. UKM Strata Pertama
Pihak yang bertindak sebagai penanggung jawab dalam penyelenggaraan UKM strata
pertama ialah Puskesmas. Puskesmas yang didirikan dengan jumlah sekurang-kurangnya
1 (satu) di setiap kecamatan ini bertanggung jawab atas masalah kesehatan yang terjadi
wilayah kerjanya. Terdapat tiga fungsi utama Puskesmas, yakni sebagai pusat
pembangunan berwawasan kesehatan di wilayah kerjanya, sebagai pusat pemberdayaan
masyarakat di bidang kesehatan dan sebagai pusat pelayanan kesehatan tingkat dasar.
b. UKM Strata Kedua
Pihak yarng bertindak sebagai penanggung jawab dalam penyelenggaraan UKM strata
kedua ialah Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang tidak hanya bertugas menjalankan
fungsi manajerial, melainkan juga fungsi teknis dalam bidang kesehatan. Untuk dapat
menjalankan tugasnya Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dilengkapi dengan berbagai Unit
Pelaksana Teknis (UPT) seperti halnya unit pencegahan dan pemberantasan penyakit,
promosi kesehatan, pelayanan kefarmasian, kesehatan lingkungan, dan lain sebagainya.
Selain itu, denganberdasarkan pada kebutuhan dapat pula dibentuk berbagai sarana
kesehatan masyarakat lainnya untuk membantu Puskesmas dalam memberikan pelayanan
langsung dan pelayanan rujukan kesehatan.
c. UKM Strata Ketiga
Pihak yang bertindak sebagai penanggung jawab dalam penyelenggaraan UKM strata
ketiga ialah Dinas Kesehatan Provinsi dan juga Kementerian Kesehatan. UKM pada strata
ini dilaksanakan melalui pengembangan pusat-pusat unggulan yang berfungsi sebagai
penyelenggara pelayanan langsung dan pendukung berbagai sarana pelayanan kesehatan
di tingkat kabupaten/kota dalam bentuk pelayanan rujukan. Pengembangan pusat-pusat
unggulan seperti Institut Gizi Nasional (IGN), Institut Penyakit Infeksi Nasional (IPIN),
Institut Kesehatan Jiwa Nasional (IKJN), Institut Ketergantungan Obat (IKO), Institut
Kesehatan Kerja Nasional (IKKN), dan lain sebagainya dilakukan oleh pemerintah pusat
dan pemerintah daerah dengan menyesuaikan kemampuan yang dimiliki.

Terdapat tiga bentuk poko UKP yang dibedakan menurut tingkat atau strata, yakni:

a. UKP Strata Pertama


Penyelenggara UKP strata pertama ialah Puskesmas. Peran serta dari masyarakat dan
dunia usaha dalam UKP strata pertama diwujudkan melalui bentuk pelayanan praktik
dokter gigi, poliklinik, BP klinik 24 jam serta praktik rumah bersalin. Kelak, ketika
sistem JKN telah berkembang, penyelenggaraan UKP strata pertama tidak akan lagi
diserahkan kepada Puskesmas melainkan kepada masyarakat dan dunia usaha melalui
penerapan konsep dokter keluarga.
b. UKP Strata Kedua
Yang termasuk sebagai penyelenggara UKP strata kedua antara lain praktik dokter
spesialis, praktik dokter gigi spesialis, klinik spesialis. Balai Pengobatan Penyakit Paru-
Paru (BP4), Balai Kesehatan Mata Masyarakat (BKMM), rumah sakit kelas c dan b non-
pendidikan milikpemerintah (termasuk TN/POLRI dan BUMN) serta rumah sakit swasta.
Selain memberikan pelayanan langsung, sarana pelayanan padaUKP strata kedua juga
berfungsi untuk membantu sarana pelayanan pada UKP strata pertama dalam bentuk
pelayanan rujukan medik.
c. UKP Strata Ketiga
Yang termasuk sebagai penyelenggara UKP strata ketiga antara lain praktik dokter
spesialis konsultan, praktik dokter gigi spesialis konsultan, klinik spesialis konsultan,
rumah sakit kelas b pendidikan dan kelas a milik pemerintah (termasuk TNI/POLRI dan
BUMN) serta rumah sakit khusus dan juga swasta. Selain memberikan pelayanan
langsung, sarana pelayanan pada UKP strata ketiga juga berfungsi untuk membantu
sarana pelayanan pada UKP strata kedua dalam bentuk pelayanan rujukan medik.
2. Subsistem Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Untuk mendapatkan dan mengisi kekosongan data kesehatan dasar dan/atau data kesehatan
yang berbasis bukti, perlu diselenggarakan kegiatan penelitian dan pengembangan kesehatan
dengan menghimpun seluruh potensi dan sumber daya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia.
Pengelolaan penelitian dan pengembangan kesehatan terbagi atas penelitiandan pengembangan
biomedis dan teknologi dasar kesehatan, teknologiterapan kesehatan dan epidemiologi klinik,
teknologi intervensi kesehatanmasyarakat, dan humaniora, kebijakan kesehatan, dan
pemberdayaan masyarakat. Adapunp penelitian dan pengembangan kesehatan dikoordinasikan
penyelenggaraannya oleh pemerintah.

3. Subsistem Pembiayaan Kesehatan

Pembiayaan kesehatan bersumber dari berbagai sumber, yakni pemerintah pusat, pemerintah
daerah, swasta, organisasi masyarakat,dan masyarakat itu sendiri. Harus diciptakan pembiayaan
kesehatan yang kuat, terintegrasi, stabil, dan juga berkesinambungan karenapembiayaan
kesehatan memegang peranan yang sangat vital untukpenyelenggaraan pelayanan kesehatan
dalam rangka mencapai tujuan pembangunan kesehatan.

4. Subsistem Sumber Daya Manusia (SDM) Kesehatan

Sebagai pelaksana upaya kesehatan, diperlukan SDM kesehatan yang mencukupi dalam
jumlah, jenis, dan juga kualitasnya, serta terdistribusi secara adil dan merata sesuai tuntutan
kebutuhan pembangunan kesehatan.SDM kesehatan yang termasuk kelompok tenaga kesehatan,
sesuai dengan keahlian dan kualifikasi yang dimiliki terdiri dari tenaga medis,tenaga kefarmasian,
tenaga keperawatan dan kebidanan, tenaga kesehatanmasyarakat, tenaga kesehatan lingkungan,
tenaga gizi, tenaga keterapianfisik, tenaga keteknisian medis, dan tenaga kesehatan lainnya, di
antaranyatermasuk peneliti kesehatan.

5. Subsistem Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Makanan


Subsistem ini meliputi berbagai kegiatan untuk menjamin: (1) aspek keamanan, (2)
khasiat/kemanfaatan dan mutu sediaan farmasi, (3) alat kesehatan, (4) makanan yang beredar,
(5) ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan obat, terutama obat esensial, (6)
perlindungan masyarakat dari nenggunaan yang salah dan penyalahgunaan obat, (7)
penggunaan obat rasional, serta (8) upaya kemandirian di bidang kefarmasian melalui yang
penemanfaatan sumber daya dalam negeri.
6. Subsistem Manajemen, Informasi, dan Regulasi Kesehatan
Subsistem ini meliputi kebijakan kesehatan, administrasi kesehatan, hukum kesehatan, dan
informasi kesehatan. Untuk menggerakkan pembangunan kesehatan secara berhasil dan
berdaya guna, diperlukan manajemen kesehatan yang baik. Peranan manajemen kesehatan
mencakup koordinasi, integrasi, regulasi, sinkronisasi, dan juga harmonisasi berbagai
subsistem SKN. Peran tersebut diharapkan dapat menjamin efektivitas, efisiensi, dan
transparansi dalam penyelenggaraan SKN. Dalam kaitan ini, peranan informasi kesehatan
sangatlah penting. Dari segi pengadaan data, informasi, dan teknologi komunikasi untuk
optimalisasi penyelenggaraan upaya kesehatan, dapat dilakukan:
a. pengelolaan sistem informasi;
b. pelaksanaan sistem informasi;
c. dukungan sumber daya; dan
d. pengembangan dan peningkatan sistem informasi kesehatan.

7. Subsistem Pemberdayaan Masyarakat

SKN akan berfungsi optimal apabila ditunjang oleh pemberdayaan Perorangan, keluarga, dan
masyarakat. Masyarakat termasuk swasta bukan Semata-mata sebagai sasaran pembangunan
kesehatan, melainkan juga sebagai subjek atau penyelenggara dan juga pelaku pembangunan
kesehatan. Oleh karenanya, pemberdayaan masyarakat menjadi sangat penting agar masyarakat
termasuk swasta dapat mampu dan mau berperan sebagai pelaku pembangunan kesehatan.

D. Penerapan SKN dalam Pembangunan Nasional pada Era Otonomi

SKN adalah sistem yang mengelola pembangunan kesehatan diseluruh negara Republik
Indonesia. Sistem yang dibangun dalam SKN; seperti juga sistem pelayanan lain seperti sistem
pertahanan dan keamanan nasional, sistem pendidikan nasional, dan sistem keolahragaan
nasional; adalah bagian atau subsistem dari supra-sistem pembangunan nasional di Indonesia.
Saat ini, pengelolaan pembangunan di Indonesia mengikuti aturan dari Undang-Undang Nomor
25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN).

E. Organisasi Pembangunan Kesehatan di Indonesia

Bapak Sosiologi dunia, yakni Blau dan Meyer mendefinisikan birokrasi sebagai suatu sistem
kontrol dalam sebuah organisasi yang dirancang berdasarkan aturan-aturan rasional dan sistematis
yang bertujuan untuk mengoordinasikan dan mengarahkan aktivitas-aktivitas kerja individu dalam
rangka menyelesaikan tugas administrasi. Birokrasi pemerintah merupakan sistem pemerintah
yang dilaksanakan oleh petugas pemerintah karena telah berlandaskan hierarki dan jenjang
jabatan. Birokrasi juga dapat diartikan sebagai susunan cara kerja dengan tata aturan di dalamnya.
Adapun fungsi dan peran birokrasi pemerintah, yaitu:

1. Melaksanakan pelayanan publik


2. Melaksanakan pembangunan profesional
3. Merancang,melaksanakan.dan mengawas kebijakan serta
4. Melayani kepentingan masyarkat dan negara secara netral

F. Kelemahan Birokrasi

Indonesia pada umumnya bermuara pada penilaian bahwa birokrasi yang ada tidak dijalankan
dengan netral. Kenyataan tersebut rasanya tidakdapat dipungkiri, terlebih dengan melihat praktik
di mana birokrasi terkair dengan lembaga lainnya. Lingkungan sistem kemudian menjadi tidak
kondusif manakala kemudian dalam situasi tersebut, muncul kesan seolah para pejabat dibiarkan
menggunakan kedudukannya dalam birokrasi untukkepentingan diri dan kelompok. Kesan
tersebut muncul karena hadirnya bentuk praktik birokrasi yang tidak efisien dan cenderung
bertele-tele. Yang perlu diperhatikan adalah, birokrasi pemerintah tidak mungkin dipandang
sebagai lembaga yang berdiri sendiri. Namun dalam praktiknya. penyelenggaraan birokrasi tidak
hanya harus memerhatikan hasil yang efektif, melainkan juga hasil yang efisien.

G. Birokrasi Pemerintahan yang Responsif, Kompetitif, dan Adaptif

Organisasi publik di era sekarang ini harus mampu dan dapat bekerjasecara efisien, efektif,
kompetitif responsif, dan juga adaptif terutama agar mampu mendorong semangat kerja organisasi
itu sendiri. Adapun responsif sebagai sifat yang berhubungan langsung dengan eksternal
organisasi berarti bahwa organisasi publik memiliki sistem delegasi atas tugas-tugas terstruktur
pada unit-unit yang lebih kecil, sehingga memungkinkan otoritas kebijaksanaan, inisiatif, dan ide-
ide inovatif untuk mengikuti kondisi internal dan juga eksternal. Organisasi birokrasi yang
response membutuhkan:

1. pemecahan dan penjabaran aktivitas organisasi ke dalam subunit yang berorientasi pada
tugas;
2. penyesuaian dan perumusan tugas berdasarkan pada interaksi antar anggota birokrasi, bukan
hanya berdasarkan definisi pimpinan yang bersifat kaku;
3. dorongan setiap individu untuk dapat menerima tanggung jawab dan komitmen yang lebih
luas, bukan hanya terbatas pada tugas-tugas fungsionalnya saja;
4. sistem pengambilan keputusan yang bersifat kolegial dan didasarkan pada interaksi, bukan
otoritas hierarki.
5. sistem komunikasi lateral diantara SDM dengan jenjang yang berbeda bukan hanya
mengandalkan pada instruksi vertikal;
6. dorongan pembuatan keputusan yang didasarkan pada pertukaran informasi, bukan proses
instruksi komando;
7. komitmen setiap SDM pada pencapaian tugas dan pemenuhan tanggung jawab, bukan
penyatuan loyalitas dan kepatuhan pada pimpinan;
8. stimulus peningkatan partisipasi aktif dari para staf dan klien dalam keputusan terkait
perubahan misi, tujuan, dan fungsi organisasi birokrasi.

Organisasi birokrasi pemerintahan perlu didukung oleh manajemen pemerintah daerah yang
baik. Adapun beberapa aspek manajemen organisasi yang perlu ditingkatkan antara lain:

1. Prosedur operasional dan standardisasi yang lengkap, jelas, tegas, dan juga telah disesuaikan
dengan keadaan di lapangan, sehingga mudah untuk dilaksanakan.
2. Pendelegasian kekuasaan serta koordinasi yang jelas, tegas, dan mudah dilaksanakan secara
konsekuen dan konsisten dengan didukung oleh sistem kontrol yang kuat tanpa pandang bulu.
3. Analisis efektivitas jumlah birokrasi agar dapat menciptakan hasil yang optimal. Adapun
perampingan birokrasi baik struktural maupun fungsional perlu dipelajari sesuai dengan
perkembangan kebutuhan.
4. Pada saat birokrasi pemerintahan menjadi faktor penting dalam sistem ekonomi nasional
Indonesia, terutama menyangkut daya saing nasional. Dengan kata lain, birokrasi menjadi
sangat penting ketika berkaitan dengan kewirausahaan.

H. Pembangunan Kesehatan Berkelanjutan di Indonesia

Mengutip pendapat para pakar, ingin kembali penulis tegaskan bahwa pada dasarnya proses
implementasi kebijakan tidak hanya terkait dengan perilaku badan administratifyang bertanggung
jawab untuk melaksanakan program dan menimbulkan ketaatan pada diri kelompok sasaran,
tetapi juga menyangkut jaringan kekuatan-kekuatan politik, ekonomi, dan sosial yang secara
langsung maupun tidak langsung dapat memengaruhi perilaku.

I. Pengawasan Administrasi Pembangunan Kesehatan diIndonesia

Pada dasarnya, ruang lingkup pengawasan serupa dengan pemantauan.Pemantauan dan


pengawasan pembangunan merupakan rangkaian kegiatan yang memiliki objek yang sama, yakni
mengikuti perkembangan pelaksanaan pembangunan agar senantiasa sesuai dengan rencana.
Kemudian, juga diuraikan bahwa fungsi pengawasan dilakukan untuk mengidentifikasi 4 (empat)
unsur pokok pengawasan itu sendiri, yakni:

1. penentuan standar kinerja;


2. perumusan instrumen pengawasan yang dapat dipergunakan dalam mengukur kinerja suatu
kegiatan;
3. pembandingan hasil aktual dengan kinerja yang diharapkan; dan
4. pengambilan langkah-langka pembenahan atau koreksi.

Dalam melakukan pengawasan terhadap administrasi pembangunan, perlu dilakukan upaya


menumbuhkembangkan responsibilitas, yang mana dibedakan menjadi 2 (dua) pertanggungjawaban
objektif dan pertanggungjawaban subjektif (Suhadi, 2015).

1. Pertanggungjawaban Objektif
Pertanggungjawaban objektif dilakukan dalam lingkup organisasi antara pegawai dengan
pimpinan organisasi terkait dengan aspek kinerja. Selanjutnya, akan dilakukan analisis atas
pertanggung jawaban yang diberikan untuk melihat kesesuaiannya dengan hukum,
tupoksi,dan kesepakatan yang ada. Adapun bentuk pertanggungjawaban ini memiliki
relevansi dengan pengawasan internal yang mencakup pengawasan administratif dalam
administrasi pembangunan.
2. Pertanggungjawaban Subjektif
Bentuk pertanggungjawaban subjektif diberikan oleh implementator pembangunan baik
kepada internal organisasi maupun pihak-pihak di luar organisasi yang secara langsung
maupun tidak langsung terkaitdengan pembangunan, seperti halnya pemerintah legislatif,
rakyat. dan lain sebagainya. Pengawasan ini memiliki relevansi dengan pengawasan eksternal.
Bentuk pengawasan yang termasuk dalam pengawasan eksternal, adalah pengawasan
legislatif, pengawasan yudisial, dan juga pengawasan sosial.

Anda mungkin juga menyukai