Anda di halaman 1dari 10

ANALISIS SISTEM PEMBIAYAAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL

(JKN)

Sistem pembiayaan kesehatan sangat penting untuk mencapai Universal


Health Coverage, dengan sistem pembiayaan kesehatan dapat meningkatkan
pendanaan untuk kesehatan dan penggunaan dana kesehatan secara efisien dan
efektif (Sitorus & Nurwahyuni, 2017). Sistem pembiayaan yang tepat untuk suatu
negara adalah sistem yang mampu mendukung tercapainya cakupan semesta
(Indrayathi, 2016). Menurut World Health Organization (WHO) (2015), UHC
merupakan suatu sistem pembiayaan kesehatan yang menjamin setiap penduduk
memiliki akses secara adil dan merata terhadap pelayanan kesehatan yang
dibutuhkan, berkualitas, dan terjangkau secara finansial, baik pelayanan promotif,
kuratif, preventif, maupun rehabilitatif. Indonesia sebagai salah satu negara yang
sedang berkembang pun telah mengadopsi sistem kesehatan ini. Pada tahun 2014,
pemerintah Indonesia menerapkan sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
bagi setiap penduduknya (BPJS Kesehatan, 2017).
Sistem Jaminan Kesehatan Nasional ini memiliki beberapa keunggulan
dibandingkan dengan asuransi komersial swasta. Misalnya, karena jumlah peserta
terbatas, maka biaya premi asuransi komersial biasanya relatif lebih tinggi
sehingga hanya terjangkau bagi sebagian kecil masyarakat. Selain itu, manfaat
cakupan layanan (coverage) yang ditawarkan umumnya lebih sedikit. Sedangkan
asuransi kesehatan sosial memiliki manfaat yang lebih komprehensif walaupun
dengan biaya premi yang lebih terjangkau. Lebih dari itu, asuransi kesehatan
sosial menerapkan prinsip kendali biaya dan mutu, khususnya karena adanya
pengawasan politik dari lembaga perwakilan. Itu berarti peserta bisa mendapatkan
pelayanan bermutu memadai dengan biaya yang wajar dan terkendali, bukan
sekedar didikte oleh unit pelayanan kesehatan seperti dokter atau rumah sakit.
Karena terkelola dalam lingkup pemerintah, maka asuransi kesehatan sosial
menjamin sustainabilitas (kepastian pembiayaan pelayanan kesehatan yang
berkelanjutan) yang berkaitan dengan adanya kesesuaian besaran iuran dengan
manfaat yang diberikan serta penambahan jumlah peserta sehat. Ada dukungan
dari anggaran negara dan daerah. Asuransi kesehatan sosial juga memiliki
jangkauan portabilitas demografis yang luas, sehingga dapat digunakan di seluruh
wilayah Indonesia. Dengan prinsip gotong-royong, maka dimungkinkan
terjadinya subsidi silang antar peserta dengan tingkat premi yang berbeda
sehingga dapat melindungi seluruh warga, karena kepesertaan asuransi kesehatan
sosial atau JKN bersifat wajib (Setiyono, 2018).
Studi yang dilakukan oleh Ahoobim dkk (2012) menunjukkan bahwa
terdapat pengaruh positif antara pelaksanaan UHC terhadap perekonomian.
Penerapan UHC yang baik mampu berdampak pada peningkatan pertumbuhan
tenaga kerja, pertumbuhan gaji, serta produktivitas tenaga kerja. Pada saat ini,
UHC sebagai bagian dari reformasi sistem kesehatan telah dilaksanakan oleh
hampir setengah negara di dunia dengan berbagai tingkatan pendapatan (Boerma
dkk, 2014). Beberapa negara seperti Brazil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan
yang secara total mewakili hampir setengah populasi di dunia telah berkomitmen
dalam pelaksanaan dan pencapaian UHC (Marten dkk, 2014). Sistem perencanaan
health financing function universal coverage atau cakupan semesta merupakan
suatu tujuan setiap negara untuk bisa menjangkau seluruh masyarakatnya di dalam
penyediaan layanan kesehatan. Menurut teori Health Financing Functions, untuk
mencapai universal coverage terdapat tiga pilar penting yang mempengaruhi yaitu
Revenue Collection, Pooling Mechanism, dan Purchasing (Indrayathi PA, 2016).
Revenue collection merupakan suatu kegiatan atau proses untuk
memperoleh pendanaan pelayanan kesehatan dari rumah tangga, organisasi,
perusahaan ataupun donor (Indrayathi PA, 2016). Pemerintah saat ini telah
menyelenggarakan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) sesuai UU No 40
tahun 2004, dalam rangka meningkatkan kesejahteraan bagi rakyatnya. Pelayanan
kesehatan adalah salah satu hak mendasar masyarakat yang penyediaannya wajib
diselenggarakan oleh pemerintah. Adanya kewajiban dan tanggung jawab
pemerintah dalam pemenuhan hak atas pelayanan kesehatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 H ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Undang-Undang
Kesehatan), maka Pemerintah diberikan kewenangan merencanakan, mengatur,
menyelenggarakan, membina dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan
yang merata dan terjangkau oleh masyarakat. Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (Undang-Undang
SJSN) dan Undang-Undang BPJS, maka pemerintah diberikan tanggung jawab
mengurus jaminan sosial masyarakat melalui pembentukan BPJS sebagai lembaga
penyelenggara SJSN (Sudrajat, 2020).
Salah satu programnya adalah jaminan kesehatan, yang diperuntukkan bagi
seluruh penduduk Indonesia, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6
bulan di Indonesia. Program Jaminan Kesehatan tersebut lebih dikenal dengan
nama Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
yang dikembangkan di Indonesia merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN). Sistem Jaminan Sosial Nasional ini diselenggarakan melalui
mekanisme asuransi kesehatan sosial. Tujuannya adalah agar semua penduduk
Indonesia terlindungi dalam sistem asuransi, sehingga mereka dapat memenuhi
kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak. JKN diselenggarakan oleh
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan atau BPJS Kesehatan (Dahliana,
2019).
Pooling Mechanism adalah sebuah mekanisme bagaimana cara mengelola
dana yang terkumpul untuk menciptakan “insurance pool” secara efisien dan adil
serta bagaimana manajemen pengelolaannya untuk menjamin agar dana kesehatan
berasal dari partisipasi seluruh masyarakat dan bukan dari perseorangan
(Indrayathi PA, 2016). Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang mengamanatkan bahwa jaminan sosial
wajib bagi seluruh penduduk termasuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
melalui suatu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Sistem
Jaminan Sosial Nasional diwujudkan oleh adanya iuran peserta dan anggaran
pemerintah untuk menjamin manfaat bagi peserta. Tata cara penyelenggaraan
diatur dalam peraturan perundang-undangan jaminan sosial yang mengikat
pekerja, pemberi kerja, dan pemerintah. Dana jaminan sosial dibangun dari iuran
peserta dan anggaran pemerintah. Peserta bergotong-royong membayar iuran
jaminan sosial. Peserta yang berpenghasilan lebih tinggi membayar iuran lebih
besar daripada peserta yang berpenghasilan lebih rendah. Besaran iuran
ditentukan sesuai dengan tingkat pendapatan. Bagi pekerja yang menerima upah,
besaran iuran dihitung proporsional terhadap upah atau gaji. Bagi pekerja yang
tidak menerima upah, iuran ditetapkan nominal bertingkat-tingkat sesuai
pendapatan (Putri, 2014).
Peserta membayar iuran program jaminan kesehatan seumur hidup yaitu: 1)
Sebelum memasuki usia kerja dan tidak bekerja, iuran program jaminan kesehatan
ditanggung oleh orang tua, 2) Di usia kerja, iuran jaminan kesehatan ditanggung
oleh pekerja. Bagi pekerja yang menerima upah, iuran jaminan kesehatan
ditanggung bersama pemberi kerja untuk seorang istri dan sebanyak-banyaknya
tiga orang anak, 3) Di usia pensiun, iuran jaminan kesehatan ditanggung oleh
pekerja yang dibayarkan dari pemotongan dana pensiun sebesar ketentuan yang
berlaku. Iuran dibayarkan langsung oleh BPJS Ketenagakerjaan, atau badan
penyelenggara pensiun pegawai negeri (Taspen dan Asabri) kepada BPJS
Kesehatan. Jika peserta tidak memiliki dana pensiun, maka peserta membayar
sendiri iuran program jaminan kesehatan (Putri, 2014).
Pemerintah turut mendanai SJSN untuk empat komponen biaya, yaitu: 1)
mensubsidi iuran jaminan sosial bagi orang miskin dan tidak mampu, yang
dikenal sebagai Penerima Bantuan Iuran (PBI), 2) mendanai modal awal pendirian
BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan paling banyak sebesar Rp.
2.000.000.000,00 (dua triliun) untuk masing-masing BPJS, 3) mengalokasikan
dana penyelamatan kepada BPJS saat terjadi krisis keuangan atau kondisi tertentu
yang mengancam keberlangsungan program jaminan sosial, 4) mendanai
pembuatan peraturan perundang-undangan dan kebijakan jaminan sosial, serta
pengawasan penyelenggaraannya (Putri, 2014).
Pelaksanaan JKN diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip
asuransi sosial dan prinsip ekuitas. Prinsip asuransi sosial adalah sistem
pengumpulan dana bersifat wajib berasal dari iuran guna memberikan
perlindungan atas risiko sosial ekonomi yang menimpa peserta dan atau anggota
keluarganya. Adapun yang dimaksud dengan prinsip ekuitas adalah tiap peserta
yang membayar iuran akan mendapat pelayanan kesehatan sebanding dengan
iuran yang dibayarkannya. Berdasarkan prinsip ekuitas itulah sehingga terdapat
pembagian atau penggolongan dalam kepesertaan BPJS Kesehatan menjadi 2
bagian yaitu: Peserta PBI Jaminan Kesehatan dan peserta bukan PBI Jaminan
Kesehatan. Peserta PBI Jaminan Kesehatan merupakan fakir miskin dan orang
tidak mampu sebagai peserta jaminan kesehatan yang didaftarkan oleh pemerintah
dan iurannya dibayarkan oleh pemerintah. Sedangkan peserta bukan PBI Jaminan
Kesehatan merupakan Peserta yang tidak tergolong fakir miskin dan orang tidak
mampu yang terdiri atas: pekerja penerima upah dan anggota keluarganya; pekerja
bukan penerima upah dan anggota keluarganya; dan bukan pekerja dan anggota
keluarganya. Golongan BPJS peserta bukan PBI Jaminan Kesehatan inilah yang
selanjutnya disebut sebagai BPJS Kesehatan Mandiri, karena pesertanya
membayarkan secara mandiri iuran Jaminan Kesehatan kepada BPJS Kesehatan.
Baik itu iuran Jaminan Kesehatan bagi peserta pekerja penerima upah yang
dibayarkan oleh pemberi kerja dan pekerja, maupun iuran Jaminan Kesehatan bagi
peserta pekerja bukan penerima upah dan peserta bukan pekerja yang dibayarkan
oleh peserta atau pihak lain atas nama peserta (Semaun & Juneda, 2018).
Dalam hal besarnya iuran atau premi, JKN menerapkan mekanisme asuransi
sukarela (voluntary insurance) yang dibayar oleh peserta (atau bersama pemberi
kerja) sesuai dengan tingkat resikonya dan keinginan jenis-jenis coverage-nya.
Asuransi kesehatan ini diharapkan akan mengurangi risiko masyarakat dalam
menanggung biaya kesehatan dari kantong sendiri out of pocket, yang seringkali
jumlahnya sulit diprediksi dan seringkali membutuhkan biaya yang sangat besar.
Melalui asuransi kesehatan sosial ini, peserta hanya membayar premi dengan
besaran tetap, untuk menutup biaya pelayanan kesehatan yang mungkin timbul
manakala mereka sakit. Hal ini dimungkinkan karena pembiayaan kesehatan
ditanggung bersama secara gotong royong oleh keseluruhan peserta, sehingga
tidak memberatkan rakyat secara individu (Setiyono, 2018).
Purchasing mechanism yaitu pemilihan dan sistem pembayaran kepada
pemberi pelayanan kesehatan (PPK). Purchasing Mechanism adalah bagaimana
sistem pembayaran yang diberikan kepada pemberi pelayanan kesehatan (PPK)
agar dapat menjadi efisien dan dapat menjamin semuanya. Pemberi pelayanan
kesehatan (PPK) mempunyai peranan besar dalam sistem pelayanan kesehatan.
Sistem pembayaran kepada pemberi pelayanan kesehatan (PPK) berpengaruh
besar dalam pembiayaan dan mutu pelayanan kesehatan yang ada. Dimana tujuan
purchasing mechanism ini adalah untuk menjamin terciptanya pelayanan yang
efektif dan efisiensi dalam penyediaan pelayanan kesehatan (Indrayathi PA,
2016). Pengelolaan dana kepesertaan dari BPJS yaitu pengolahan dana
kepesertaan yang diatur dalam undang-undang yaitu dana amanat jaminan sosial
dalam hal ini untuk kepentingan sosial dan dana untuk operasional BPJS. Dana
BPJS adalah dana amanat yang diprioritaskan untuk membayar pelayanan
kesehatan (Hasan & Adisasmito, 2017).
Dalam era jaminan kesehatan nasional (JKN) mengacu pada UU No 40
2004 tentang SJSN dan UU No 24 tahun 2011 tentang BPJS yang menerangkan
bahwa, BPJS Kesehatan akan membayar kepada fasilitas kesehatan tingkat
pertama dengan kapitasi. Untuk fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan, BPJS
Kesehatan membayar dengan sistem paket INA CBG’s. Faskes tingkat pertama
yang dimaksud tersebut seperti puskesmas maupun klinik dokter sesuai ketentuan
dalam JKN menggunakan sistem kapitasi. Pengertian kapitasi berasal dari kata
kapital yang berarti kepala. Sistem kapitasi berarti cara perhitungan berdasarkan
jumlah kepala yang terikat dalam kelompok tertentu. Dalam hal JKN ini, kepala
berarti orang atau peserta atau anggota program BPJS Kesehatan. Kapitasi
dilakukan melalui pendistribusian pembayaran dana BPJS untuk jasa pelayanan
kesehatan dengan tarif biaya perbulan berdasarkan pada data jumlah peserta
terdaftar yang menjadi tanggungan dari faskes tingkat pertama tersebut tanpa
menghitung jenis maupun jumlah pelayanan kesehatan yang diberikan. Kapitasi
secara mudahnya mirip seperti sistem borongan (Ananta, 2017).
Pada Faskes rujukan tingkat lanjut mengacu pada Peraturan Presiden Nomor
12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan yang kemudian pada kelanjutannya
perpres tersebut diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013. Pola
pembayaran kepada fasilitas kesehatan tingkat lanjutan bukan dengan sistem
kapitasi namun dengan sistem INA-CBGs (Indonesia Case Base Groups). Sistem
tersebut merupakan model pembayaran yang digunakan BPJS Kesehatan untuk
mengganti klaim yang ditagihkan oleh rumah sakit. INA-CBG’s merupakan
sistem pembayaran dengan sistem paket, berdasarkan penyakit yang diderita
pasien. Rumah sakit akan mendapat besaran bayaran berdasar nominal yang
sesuai pada tarif INA-CBG’s yang merupakan rata-rata biaya yang dihabiskan
oleh untuk suatu kelompok diagnosis (Akbar, 2020).
Program Jaminan Kesehatan Nasional yang diluncurkan pada awal 2014
merupakan program jaminan perlindungan kesehatan secara komprehensif
meliputi layanan promotif, kuratif, serta rehabilitatif yang ditujukan untuk seluruh
rakyat Indonesia. Tujuan utama dari jaminan kesehatan ini adalah agar peserta
memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi
kebutuhan dasar kesehatan dengan cara meningkatkan akses dan mutu pelayanan
kesehatan (Depkes RI, 2004). Seiring dengan implementasi dari program ini,
seperti halnya program atau inisiatif lainnya yang baru berjalan, berbagai
tantangan muncul dan membutuhkan penanganan segera. Salah satu tantangan ini
berkaitan dengan berbagai regulasi atau peraturan terkait JKN yang muncul di
level nasional, provinsi dan juga kabupaten atau kota. Regulasi yang kompleks
tentang JKN memiliki potensi tantangan dalam interpretasi, kesiapan
pelaksanaannya sendiri, serta sinkronisasi dengan aturan lainnya, termasuk
regulasi tentang layanan primer dan sekunder yang sudah ada sebelumnya.
Regulasi baru ini dapat mempengaruhi implementasi di lapangan. Tantangan lain
adalah kesiapan daerah di Indonesia yang sangat beragam, dimana terdapat
kabupaten atau kota yang telah siap untuk mengelola program JKN dan di sisi lain
cukup banyak daerah yang belum memiliki infrastruktur serta sistem pengelolaan
yang memadai. Hal ini juga berhubungan dengan situasi internal di daerah
tersebut dan situasi eksternal yang juga mempengaruhi implementasi kebijakan.
Tantangan dalam aspek regulasi dan kesiapan ini juga secara khusus ada di level
pelayanan kesehatan primer karena layanan primer merupakan kunci awal dari
keberhasilan JKN dalam menjaga kesehatan populasi secara komprehensif. Tanpa
pencapaian target di layanan primer, maka tujuan utama JKN tidak akan berhasil
(Wijaya, 2018).
KESIMPULAN
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikembangkan di Indonesia
merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Sistem Jaminan
Sosial Nasional ini diselenggarakan melalui mekanisme asuransi kesehatan sosial.
JKN diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan atau
BPJS Kesehatan.Dana jaminan sosial dibangun dari iuran peserta dan anggaran
pemerintah. Dalam era jaminan kesehatan nasional (JKN) mengacu pada UU No
40 2004 tentang SJSN dan UU No 24 tahun 2011 tentang BPJS yang
menerangkan bahwa, BPJS Kesehatan akan membayar kepada fasilitas kesehatan
tingkat pertama dengan kapitasi. Untuk fasilitas kesehatan rujukan tingkat
lanjutan, BPJS Kesehatan membayar dengan sistem paket INA CBG’s. Hingga
saat ini masih banyak tantangan yang dihadapi oleh Indonesia dalam rangka
mewujudkan UHC, antara lain kelengkapan sarana prasarana di fasilitas
kesehatan, ketersediaan obat dan alat kesehatan, pemerataan distribusi SDM
Kesehatan, pemanfaatan data dan sistem informasi, kecukupan anggaran,
kenaikan iuran serta regulasi-regulasi yang mendorong perbaikan
penyelenggaraan Program JKN. Untuk itu perlu terus dilakukan upaya perbaikan
pada tiap aspek dalam implementasi kebijakan JKN.

DAFTAR PUSTAKA
Akbar, M. I. (2020). Studi Implementasi Program Jaminan Kesehatan Nasional di
Kabupaten Muna. Jurnal Kesehatan Masyarakat Celebes, 1(03), 21-27.

Ananta, I. (2017). Penerapan Pola Pembayaran Ina-Cbgs Bpjs Kesehatan Dalam


Tinjauan Regulasi Dan Implementasi. In Prosiding Seminar Nasional dan
Call for Papers “Tantangan Pengembangan Ilmu Akuntansi, Inklusi
Keuangan, dan Kontribusinya Terhadap Pembangunan Ekonomi
Berkelanjutan.

Sitorus, E., & Nurwahyuni, A. (2017). Analisis Pembiayaan Kesehatan Bersumber


Pemerintah Di Kota Serang Tahun 2014-2016. Jurnal Kebijakan Kesehatan
Indonesia, 6(3), 138.

Azwar, Azrul. (1996). Pengantar Administrasi Kesehatan. Jakarta: Sinar Harapan.

Hasan, A. G., & Adisasmito, W. B. (2017). Analisis Kebijakan Pemanfaatan


Dana Kapitasi JKN pada FKTP Puskesmas di Kabupaten Bogor Tahun
2016. Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia: JKKI, 6(3), 127-137.

Indrayathi, P. A. (2016). Bahan Ajar Pembiayaan Kesehatan Di Berbagai Negara.


Denpasar: Universitas Udayana.

BPJS Kesehatan. (2017). Dampak Program JKN-KIS pada Perekonomian


Indonesia. Jakarta: BPJS Kesehatan.

Boerma, T., Eozenou, P., Evans, D., Evans, T., Kieny, M. P., & Wagstaff, A.
(2014). Monitoring Progress towards Universal Health Coverage at Country
and Global Levels. PLoS Medicine, 11(9), 1-8.

Dahliana, A. (2019). Motivasi Kepesertaan Mandiri BPJS di Era Universal Health


Coverage Jaminan Kesehatan Nasional. KELUWIH: Jurnal Kesehatan dan
Kedokteran, 1(1), 11-18.

Depkes, RI. (2004). Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem


Jaminan Sosial Nasional. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Marten, R., McIntyre, D., Travassos, C., & Shishkin, S. (2014). An Assessment of
Progress towards Universal Health Coverage in Brazil, Russia, India, China,
and South Africa (BRICS). Health Policy Report, 384(1), 64-71.
Semaun, S., & Juneda, J. (2018). Sistem Pengelolaan Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (Bpjs) Kesehatan Mandiri Kota Parepare. DIKTUM: Jurnal
Syariah dan Hukum, 16(2), 284-306.
Setiyono, B. (2018). Perlunya Revitalisasi Kebijakan Jaminan Kesehatan Di
Indonesia. Politika: Jurnal Ilmu Politik, 9(2), 38-60.

Sudrajat, T. (2020). Perlindungan Hukum dan Pemenuhan Hak Pekerja pada


Program Jaminan Kesehatan Nasional. Pandecta Research Law
Journal, 15(1), 83-92.

Putri, A. E. (2014). Paham SJSN Sistem Jaminan Sosial Nasional. Jakarta:


Friedrich-Ebert-Stiftung Kantor Perwakilan Indonesia.

Wijaya, S. (2018). Analisis Implementasi Program Jaminan Kesehatan Nasional


Berdasarkan Anggota Kepesertaan BPJS (Studi Di Puskesmas Wiyung, Kota
Surabaya Tahun 2017). JI-KES: Jurnal Ilmu Kesehatan, 1(2), 78-82.

Anda mungkin juga menyukai