Anda di halaman 1dari 24

TUGAS

Disusun Oleh :

Rr Pramita Ines Parmawati 1410221086

Penguji :
dr. Agus Patmono, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN PENYAKIT DALAM FAKULTAS


KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
RUMAH SAKIT PUSAT ANGKATAN DARAT GATOT SOEBROTO
PERIODE 23 MEI 2016 6 AGUSTUS 2016

DEMAM
Beberapa tipe demam:
1. Demam septik:
Pada tipe demam septik, suhu badan berangsur naik ke tingkat
tinggi sekali pada malam hari dan turun kembali ke tingkat di atas
normal pada pagi hari. Sering disertai keluhan menggigil dan
berkeringat. Bila demam yang tinggi tersebut turun ke tingkat yang
normal dinamakan demam hektik.
2. Demam remiten:
Pada tipe demam remiten, suhu tubuh dapat turun setiap hari tetapi
tidak pernah mencapai suhu badan normal. Perbedaan suhu yang
mungkin tercatat dapat mencapai dua derajat dan tidak sebesar
perbedaan suhu yang dicatat pada demam septik.
3. Demam intemiten:
Demam yang suhu badan turun ke tingkat yang normal selama
beberapa jam dalam sati hari. Bila demam seperti ini terjadi setiap
dua hari sekali disebut tersiana dan bila terjadi dua hari bebas
demam diantara dua serangan demam tersebut disebut kuartana.
4. Demam kontinyu:
Pada tipe demam kontinyu variasi suhu sepanjang hari tidak
berbeda lebih dari satu derajat. Pada tingkat demam yang terus
menerus tinggi sekali disebut hiperpireksia.
5. Demam siklik:
Pada tipe demam siklik terjadi kenaikan suhu badan selama
beberapa hari yang diikuti oleh periode bebas demam untuk
beberapa hari yang kemudian diikuti oleh kenaikan suhu seperti
semula.

DEMAM BERDARAH DENGUE


Patogenesis
Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini
masih diperdebatkan. Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti
yang kuat bahwa mekanisme imunopatologis berperan dalam
terjadinya demam berdarah dengue dan sindrom renjatan dengue.
Respon imun yang diketahui berperan dalam pathogenesis DBD
adalah:
a). Respon humoral berupa pembentukan antibody yang berperan
dalam proses netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi komplemen
dan sitotoksisitas yang dimediasi antibody. Antibodi terhadap virus
dengue berperan dalam mempercepat replikasi virus pada monosit
atau

makrofag.

Hipotesis

ini

disebut

antibody

dependent

enhancement (ADE);
b). Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8) berperan
dalam respon imun seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T
helper yaitu TH1 akan memproduksi interferon gamma, IL-2 dan
limfokin, sedangkan TH2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10;
c). Monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan
opsonisasi antibody. Namun proses fagositosis ini menyebabkan
peningkatan replikasi virus dan sekresi sitokin oleh makrofag;
d).

Selain

itu

aktivitas

komplemen

menyebabkan terbentuknya C3a dan C5a.

oleh

kompleks

imun

Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme;


1). Supresi sumsum tulang, dan
2). Destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit. Gambaran
sumsum tulang pada fase awal infeksi (<5 hari) menunjukkan
keadaan hiposeluler dan supresi megakariosit. Setelah keadaan
nadir tercapai akan terjadi peningkatan proses hematopoiesis
termasuk megakariopoiesis. Kadar trombopoietin dalam darah pada
saat terjadi trombositopenia justru menunjukkan kenaikan, hal ini
menunjukkan terjadinya stimulasi trombopoiesis.

Diagnosis
DBD I
Gejala: demam disertai 2 atau lebih tandan sakit kepala , nyeri retro
orbital, mialgia, atralgia, ditambah tes bendung positif, pada lab
ditemukan

leukopenia,

trombositopenia,

bukti

ada

kebocoran

plasma
DBD II
Gejala: diatas ditambah perdarahan spontan, lab trombositopenia
bukti ada perdarahan spontan
DBD III
Gejala: diatas ditambah kegagalan sirkulasi kulit dingin dan lembab
dan dingin serta gelisah, lab trombositopenia bukti ada kebocoran
plasma
DBD IV
Gejala: syok berat disertai dengan tekanan darah dan nadi tidak
terukur, lab trombositopenia bukti ada kebocoran plasma
TATALAKSANA
Volume cairan kristaloid per hari yang diperlukan, sesuai
rumus 1500 + (20 x BB dalaam kg-20))

DEMAM TIFOID
Patogenesis
Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonela paratyphi
ke dalam tubuh manusia terjaadi melalui makanan yang
terkontaminsasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dilambung
namun sebagian lolos masuk ke usus dan kemudian berkembang
biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik
maka kuman akan menembus sel-sel epitel dan selanjutnya ke
lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan
difagosit oleh sel sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat
hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya
dibawa ke plague peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar
getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus
kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam
sirkulasi darah (mengakibatkan bacteremia pertama yang
asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial
tubuh terutama hati dan limpa.
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu,
berkembang biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara
intermiten ke dalam lumen sus. Sebagian kuman dikeluarkan meluli
feses dan sebagian masuk lagi kedalam sirkulasi setelah menembus
usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag
telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman
salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang
selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik
seperti demam, malaise, myalgia, sakit kepala, sakit perut,
instabilitas vascular, gangguan mental, dan koagulasi.
Di dalam plague peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan
reaksi hyperplasia jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi
reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia jaringan dan
nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi
pembuluh darah sekitar plague peyeri yang sedang mengalami
nekrosis dan hyperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuclear di
dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang
hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan
perforasi.
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler
dengan
akibat
timbulnya
komplikasi
seperti
gangguan
neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan, dan gangguan organ
lainnya.

DIAGNOSIS
Penegakan diagnosis sedini mungkin sangat bermanfaat agar
bisa diberikan terapi yang tepat dan meminimalkan komplikasi.
Pengetahuan gambaran klinis penyakit ini sangat penting untuk
membantu mendeteksi secara dini. Walaupun pada kasus tertentu
dibutuhkan pemeriksaan tambahan untuk membantu menegakkan
diagnosis.
MANIFESTASI KLINIS
Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari.
Gejala-gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai
dengan berat. Dari asimptomatik hingga gambaran penyakit yang
khas disertai komplikasi hingga kematian.
Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan
keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada
umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia,

mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak diperut,


batuk, epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu
badan meningkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan
dan terutama pada sore hingga malam hari. Dalam minggu kedua
gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardia
relative, lidah yang berselaput, hepatomegaly, splenomegaly,
meteorismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma,
delirium, atau psikosis.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksan Rutin
Pemeriksaan darah perifer lengkap.
Uji Widal
Uji Widal dilakukan untuk deteksi antibody terhadap kuman S.
typhi. Pada uji Widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen
kuman S. typhi dengan antibody yang disebut aglutinin. Antigen
yang digunakan pada uji Widal suspense Salmonella yang sudah
dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji Widal adalah untuk
menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka
demam tifoid: yaitu aglutinin O (dari tubuh kuman), b. Aglutinin H
(flagela kuman, c). Aglutinin Vi (simpai kuman)
Kultur Darah
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid
akan tetepai hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena
mungkin disebabkan beberapa hal sebagai berikuttelah terdapat
terapi antiibotik, volume darah yang kurang, riwayat vaksinasi, saat
engambilan pertama pada saat aglutinin semakin meningkat.
TATALAKSANA DEMAM TIFOID
Pengobatan
Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid,
yaitu:
Istirahat dan perawatan, dengan tujuan mencegah komplikasi
dan mempercepat penyembuhan
Diet dan terapi penunjang (simtomatik dan suportif), dengan
tujuan mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan secara optimal.
Pemberian antimikroba
Kloramfenikol 4 x 500 mg per hari dapat diberikan secara PO atau
IV
Tiamfenikol 4 x 500 mg
Kotrimoksazol 2 x x tablet ( 1 tablet mengandung sulfametoksazol
400 mg dan 80 mg trimetoprim) diberikan selama 2 minggu.

DIARE
Definisi
Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair atau setengah cair
(setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya lebih dari 200 gram
atau 200 ml/24jam. Definisi lain memakai kriteria frekuensi, yaitu buang air besar
encer lebih dari 3 kali per hari. Buang air besar encer tersebut dapat/tanpa disertai
lendir dan darah.
Patofisiologi
Diare dapat disebabkan oleh satu atau lebih dari patofisiologi/ patomekanisme sebagai
berikut :
1.
osmolaritas intraluminal yang meninggi, disebut diare osmotik
2.
sekresi cairan dan elektrolit meninggi, disebut diare sekretorik
3.
malabsorbsi asam empedu, malabsorbsi lemak
4.
defek sistem pertukaran anion/transport elektrolit aktif di enterosit
5.
motilitas dan waktu transit usus abnormal
6.
gangguan permeabilitas usus
7.
inflamasi dinding usus, disebut diare inflamatorik
8.
infeksi dinding usus disebut diare infeksi
Diare osmotik : diare tipe ini disebabkan meningkatnya tekanan osmotik intralumen
dari usus halus yang disebabkan oleh obat-obat/zat kimia yang hiperosmotik (MgSO4,
Mg(OH)2, malabsorbsi umum dan defek dalam absorbsi mukosa usus misal pada
defisiensi disararidase, malabsorpsi glukosa/galaktosa).
Diare sekretorik : diare tipe ini disebabkan oleh meningkatnya sekresi air dan
elektrolit dari usus, menurunnya absorpsi. Secara klinis ditemukan diare dengan
volume tinja yang banyak sekali. Diare tipe ini akan tetap berlangsung walaupun
dilakukan puasa makan/minum. Penyebab diare ini antara lain karena efek
enterotoksin pada infeksi Vibrio cholera, atau E.coli, penyakit yang menghasilkan
hormon (VIPoma), reseksi ileum (gangguan absorpsi garam empedu), dan efek obat
laksatif.
Malabsorpsi asam empedu, malabsorbsi lemak : diare tipe ini didapatkan pada
gangguan pembentukan/produksi micelle empedu dan penyakit-penyakit saluran bilier
dan hati.
Defek sistem pertukaran anion/transpor elektrolit aktif di enterosit : diare tipe ini
disebabkan adanya hambatan mekanisme transport aktif Na+ K+ ATPase di enterosit
dan absorpsi Na+ dan air yang abnormal.
Motilitas dan waktu transit usus abnormal : diare tipe ini disebabkan hipermotilitas
dan iregularitas motilitas usus sehingga menyebabkan absorpsi yang abnormal di usus
halus. Penyebabnya antara lain karena diabetes melitus, pasca vagotomi, hipertiroid.

Gangguan permeabilitas usus : diare tipe ini disebabkan permeabilitas usus yang
abnormal disebabkan adanya kelainan morfologi membran epitel spesifik pada usus
halus.
Inflamasi dinding usus (diare inflamatorik) : diare tipe ini disebabkan adanya
kerusakan mukosa usus karena proses inflamasi, sehingga terjadi produksi mukus
yang berlebihan dan eksudasi air dan elektrolit ke dalam lumen, gangguan absorpsi
air-elektrolit. Inflamasi mukosa usus halus dapat disebabkan infeksi (disentri Shigella)
atau non infeksi (kolitis ulseratif dan penyakit Crohn).
Diare infeksi : infeksi oleh bakteri merupakan penyebab tersering dari diare. Diare
oleh bakteri dibagi atas non-invasif (tidak merusak mukosa) dan invasif (merusak
mukosa). Bakteri non invasif menyebabkan diare karena toksin yang disekresi oleh
bakteri tersebut, yang disebut diare toksigenik. Contohnya kolera (Eltor). Enterotoksin
yang dihasilkan kuman Vibrio cholera/eltor merupakan protein yang dapat menempel
pada epitel usus, yang lalu membentuk adenosin monofosfat siklik (AMF siklik) di
dinding usus yang menyebabkan sekresi aktif anion klorida yang diikuti air, ion
bikarbonat dan kation natrium dan kalium. Mekanisme absorpsi ion natrium melalui
mekanisme pompa natrium tidak terganggu karena itu keluarnya ion klorida (diikuti
ion bikarbonat, air, natrium, ion kalium) dapat dikompensasi oleh meningginya
absorpsi ion natrium (diiringi oeh air, ion kalium, ion bikarbonat, klorida).
Kompensasi ini dapat dicapai dengan pemberian larutan glukosa yang diabsorpsi
secara aktif oleh dinding sel usus.
Patogenesis diare karena infeksi bakteri/parasit terdiri atas :
Diare karena bakteri non-invasif (enterotoksigenik).
Bakteri yang tidak merusak mukosa misal V.cholarae Eltor, Enterotoxigenic E.coli
(ETEC) dan C. perfringens. V.cholarae eltor mengeluarkan toksin yang terikat pada
mukosa usus halus 15-30 menit sesudah diproduksi vibrio. Enterotoksin ini
menyebabkan kegiatan berlebihan nikotinamid adenin dinukleotid pada dinding sel
usus, shingga meningkatkan kadar adenosin 35-siklik monofosfat (siklik AMP)
dalam sel yang menyebabkan sekresi aktif anion klorida kedalam lumen usus yang
diikuti oleh air, ion bikarbonat, kation natrium dan kalium.
Diare karena bakteri/parasit invasif (enterovasif).
Bakteri yang merusak invasif antara lain Enteroinvasive E.coli (EIEC), Salmonella,
Shigella, Yersinia, C. perfringens tipe C. Diare disebabkan oleh kerusakan dinding
usus berupa nekrosis dan ulserasi. Sifat diarenya sekretorik eksudatif. Cairan diare
dapat tercampur lendir dan darah. Kuman Salmonella yang sering menyebabkan diare
yaitu S. paratyphi B, Styphimurium, S.enterriditis, S. choleraesuis. Penyebab parasit
yang sering yaitu E. histolitika dan G. lamblia.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.
Anamanesis
Pasien dengan diare akut mengeluhkan diarenya berlangsung kurang dari 15
hari. Pasien dengan diare akut infektif datang dengan keluhan khas yaitu

nausea, muntah, nyeri abdomen, demam, dan BAB sering, bisa berisi air,
malabsorptif, atau berdarah tergantung bakteri patogen. Pasien yang
mengalami infeksi toksigenik secara khas mengalami nausea dan muntah
sebagai gejala prominen bersamaan dengan diare air tetapi jarang mengalami
demam. Muntah yang mulai beberapa jam dari masuknya makanan
mengarahkan kita pada keracunan makanan karena toksin yang dihasilkan.
Parasit seperti Giardia lamblia biasanya menyebabkan rasa tidak nyaman di
abdomen yang ringan dan mungkin berhubungan dengan steatorea ringan,
perut bergas, dan kembung.
Bakteri invasif seperti Campylobacter, Salmonella, dan Shigella dan
organisme yang menghasilkan sitotoksin seperti Clostridium difficile
menyebabkan inflamasi usu yang berat. Organisme Yersinia seringkali
menginfeksi ileum terminal dan caecum memiliki gejala nyeri perut kuadran
kanan bawah yang menyerupai apendisitis akut.
Diare air merupakan gejala tipikal dari organisme yang menginvasi
epitel usus dengan inflamasi minimal seperti virus enterik atau organisme yang
menempel tetapi tidak menghancurkan epitel seperti enteropathogenic E.coli,
protozoa, dan helmint.
Demam enterik disebebkan Salmonella typhi atau Salmonella
paratyphi, merupakan penyakit sistemik yang berat yang bermanifestasi
sebagai demam tinggi yang lama, diikuti dengan nyeri tekan abdomen, diare
dan kemerahan (rash).
Dehidrasi dapat timbul jika diare berat dan asupan oral terbatas karena
nausea dan muntah terutama pada anak kecil dan usia lanjut. Dehidrasi
bermanifestasi sebagai rasa haus yang meningkat, berkurangnya jumlah air
kecil dengan warna urin gelap, tidak mampu berkeringat dan perubahan
ortostatik. Pada keadaan berat dapat mengarah ke gagal ginjal akut dan
perubahan status jiwa seperti kebingungan dan pusing kepala.
Dehidrasi menurut keadaan klinisnya dapat dibagi atas 3 tingkatan :
1.
Dehidrasi ringan (hilang cairan 2-5% BB)
Gambaran klinis: turgor kurang, suara serak (vox cholerica), pasien
belum jatuh dalam presyok.
2.
Dehidrasi sedang (hilang cairan 5-8% BB)
Gambaran klinis: turgor buruk, suara serak, pasien jatuh dalam presyok
atau syok, nadi cepat, napas cepat, dan dalam.
3.
Dehidrasi berat (hilang cairan 8-10% BB)
Gambaran klinis: tanda dehidrasi sedang ditambah kesadaran menurun
(apatis sampai koma), otot-otot kaku, sianosis.

Tabel 1. Korelasi antara patogenesis dan Gejala Diare


Infeksi
N
O.

Mikroorganism
e

1.

Organisme
penghasil toksin
Bacillus cereus :
S. aureus
C. perfringens
Enterotoksin :
V. cholera, E.coli
(ETEC),
K.
pneumoniae,
Aeromonas sp
Cytotoksin :
C. difficile

2.

3.

Nausea
&
muntah

Nyeri
abdom
en

Dema
m

Diare

Lokasi

Usus
halus
+++ - +
+++

+ - ++

-+

+++ - +
+++, air

++ - ++
++

+ - ++

-+

+++ - +
+++, air

-+

+++ ++++

+ - ++

Hemorrhagic
E.coli

-+

+ - ++
++

+-++

Organisme
Enteroadherent
Enteropathogeni
c
dan
enteroadherent
E.coli,
Giardia,
Cryptosporidiosis
Organisme
invasif

-+

+ - ++
+

+ - ++

+ - +++,
biasa air,
kadang
berdarah
+-+++,
awal air,
cepat
berdarah
+ - ++,
air

Inflamasi
minimal :
Rotavirus
dan
virus Norwalk
Inflamasi
variabel :
Salmonella,
Campylobacter,
Aeromonas sp, V.
parahemolyticus,
Yersinia
enterocolitica
Inflamasi berat :
Shigella
sp,
enteroinvasive
E.coli,

+ - ++

++ - +
++

+++ ++++

+ - +++,
air

- +++

+ - ++
++

++ - +
+++

+++ - +
+++, air
atau
berdarah

-+

+ - ++
++

- +++
+

+-++,
berdarah

Kolon,
ileum
terminal

Entamoeba
histolytica

Pemeriksaan Fisik
Kelainan-kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan fisik sangat berguna
dalam menentukan beratnya diare. Status volume dinilai dengan
memperhatikan perubahan ortostatik pada tekanan darah dan nadi, temperatur
tubuh dan tanda toksisitas. Kualitas bunyi usus dan ada tidaknya distensi
abdomen dan nyeri tekan merupakan clue bagi penentuan etiologi.

Pemeriksaan Penunjang
Pada pasien yang mengalami dehidrasi atau toksisitas berat atau diare
berlangsung lebih dari beberapa hari, diperlukan beberapa pemeriksaan
penunjang. Pemeriksaan tersebut antara lain darah tepi lengkap, kadar
elektrolit serum, ureum dan kreatinin, pemeriksaan tinja dan pemeriksaan
ELISA, dan foto X-ray abdomen. Lihat gambar 1.
Diare karena virus biasanya memiliki jumlah dan hitaung jenis leukosit
yang normal atau lomfositosis. Pada infeksi bakteri terutama infeksi bakteri
yang invasif ke mukosa memiliki leukositosis. Neutropenia dapat timbul pada
salmonellosis.
Ureum dan kreatinin diperiksa untuk memeriksa adanya kekurangan
volume cairan dan mineral tubuh. Pemeriksaan tinja dilakukan untuk melihat
adanya leukosit dalam tinja yang menunjukkan adanya infeksi bakteri, adanya
telur cacing dan parasit dewasa.
Rektoskopi dan sigmoidoskopi perlu dipertimbangkan pada pasienpasien yang toksik, diare berdarah, atau pasien dengan diare akut persisten.
Penentuan Derajat Dehidrasi
Derajat dehidrasi dapat ditentukan berdasarkan :
1.
keadaan klinis
2.
berat jenis plasma : pada dehidrasi BJ plasma meningkat.
a. Dehidrasi berat : BJ plasma 1032 - 1040
b. Dehidrasi sedang : BJ plasma 1028 - 1032
c. Dehidrasi ringan : BJ plasma 1025 1028
3.
Pengukuran Central Venous Pressure (CVP) :
Normal: CVP +4 s/d +11 cmH2O
Syok atau dehidrasi maka CVP < +4 cmH2O
Tabel 2. Skor Penilaian Klinis Dehidrasi
Klinis
Rasa haus/muntah
Tekanan darah sistolik 60-90 mmHg
Tekanan darah sistolik < 60 mmHg
Frekuensi nadi > 120 x/menit
Kesadaran apatis
Kesadaran somnolen, sopor atau koma

Skor
1
1
2
1
1
2

Frekuensi nafas >30 x/menit


Facies cholerica
Vox cholerica
Turgor kulit menurun
Washer womans hand
Ekstremitas dingin
Sianosis
Umur 50-60 tahun
Umur > 60 tahun

1
2
2
1
1
1
2
1
2

Tatalaksana
Penatalaksanaan pada diare akut antara lain :
1.
Rehidrasi
2.
Diet
3.
Obat anti-diare
4.
Obat antimikroba
Rehidrasi
Untuk memberikan rehidrasi pada pasien perlu dinilai dulu derajat dehidrasi.
Dehidrasi terdiri dari dehidrasi ringan, sedang dan berat. Ringan bila pasien
kekurangan cairan 2-5% dari berat badan. Sedang apabila pasien kekurangan
cairan 5-8% dari berat badan. Berat bila pasien kehilangan cairan 8-10% dari berat
badan. Prinsip menentukan jumlah cairan yang akan diberikan yaitu sesuai dengan
jumlah cairan yang keluar dari tubuh. Macam-macam pemberian cairan:
1. BJ plasma dengan rumus:
Kebutuhan cairan = BJ Plasma-1,025
-------------------- x Berat badan x 4ml
0,001
2. Metode pierce berdasarkan klinis :
a. Dehidrasi ringan, kebutuhan cairan= 5% x berat badan(kg)
b. Dehidrasi sedang, kebutuhan cairan= 8%x berat badan(kg)
c. Dehidrasi berat, kebutuhan cairan= 10%x berat badan(kg).
3. Metode daldiyono berdasarkan skor klinis
Kebutuhan cairan =

Skor

-------------x10% x KgBB x1liter


15

Bila kurang dari 3 dan tidak ada syok maka hanya diberikan cairan peroral. Bila
skor lebih dari tiga berikan cairan intravena. Pemberian cairan rehidrasi terbagi
atas:
1. Dua jam pertama; jumlah total cairan menurut rumus BJ atau skor daldiyono
diberikan langsung dalam 2 jam ini agar tercapai rehidrasi secepat mungkin.
2. Satu jam berikut/jam ke-3 pemerian diberikan berdasarkan kehilangan cairan
selama 2 jam pemerian cairan rehhidrasi inisial sebelumnya. Bila tidak ada
syok atasu skor daldiyono kurang dari 3 bisa diganti peroral.
3. Jam berikutnya pemberian cairan dinerikan berdasarkan kehilangan cairan
melalui tinja dan Insensible Water Loss( IWL).
Diet
Pasien diare tidak dianjurkan puasa , kecuali bila muntah-muntah hebat.
Pasien justru dia jurkan minum, minuman tidak bergas, nasi, keripik, soup. Susu
sapi harus dihindarkan karena adanya defisiensi laktase transien yang disebabkan
oleh virus dan bakteri. Minuman berkafein harus dihindarkan karena dapat
memicu motilitas usus.
Obat anti-diare
Obat ini dapat mengurangi gejala-gejala. Yang paling efektif adalah derivat
opiois misalnya loperamid , difeknosilat atropin dan tinktur opium. Loperamid
paling disukai karena efek samping kecil dan tidak aditif. Bismuth subsalisilat
merupakan obat lain yang digunakan tetapi kontraindikasi pada pasien HIV karena
dalat menimpulkan enselofati bismuth. Obat motilitas harus hati-hati pada pasien
disentri yang panas bila tanpa disertai antimikroba karena dapat memperpanjang
masa penyembuhan. Obat pengeras tinja yaitu antalpugite 4x2tab sehari , smectine
3x1 saset diberikan tiap BAB encer sampai diare berhenti. Obat anti sekretorik
atai anti enkhephalinase: hidrasec 3x1tab sehari.
Obat antimikroba
Karena kebnayakn pasien memiliki penyakit ringan, self limited disease
karena virus atau bakteri non invasif pengobatan empirik tidak dianjur kan pada
semua pasien. Pengobatan empirik diindikasikan pada pasien-pasien yang diduga
mengalami infeksi bakteri invasif, diare turis (travelers diarrhea) atau
imunosupresif. Obat pilihan yaitu kuinolon (misal siprofloksasin 500 mg 2x/ hari

selama 5 7 hari). Obat tersebut baik terhadap bakteri patogen invasif. Untuk
alternatif dapat dipaka kotrimoksazol (trimetoprim/sulfametoksazol, 160/800 mg
2x/ hari atau eritromisin 250 500 mg 4x/ hari. Metronidazol 250 mg 3x/ hari
selama 7 hari diberikan bagi yang dicurigai giardiasis.

Tabel 3. Pengobatan antimikroba (Oral, dosis dewasa)


Penyebab
Shigellosis
S. (para)typhi

Terapi
Siprofloksasin 2 x 500mg; 3 hari
Siprofloksasin 2 x 500mg; 10 hari (pilihan ke-1)
Amoksisilin 4 x 750mg; 14 hari (alternatif 1)

Salmonellosis lain

Kotrimoksazol 2 x 960mg; 14 hari (alternatif 2)


Siprofloksasin 2 x 500mg; 10 hari (pilihan ke-1)

Campylobacter (keluhan serius dan persisten)

Amoksisilin 4 x 750mg; 14 hari (alternatif 1)


Eritromisin 4 x 250mg; 5 hari

Yersinia

Klaritomisin 4 x 250mg; 5 hari


Doksisiklin 200mg hari ke-1; lalu 1x100mg;4 hari
Kotrimoksazol 2 x 960mg; 5 hari (alternatif 1)

Disentri amoebik

Siprofloksasin 2 x 500mg; 5 hari (alternatif 2)


Tinidazol 1 x 2g; 3 hari (pilihan 1)
Metronidazol 2x750mg; 5hari (alternatif 1)

Vibrio cholerae

(diikuti oleh diloksanid furoat 3x500mg; 10hari)


Siprofloksasin 1x1 g

Giardia lamblia
Clostridium difficile

Vibramisin 1 x 300mg
Tinidazol 1x2g
Metronidazol
3x500mg;

7-10hari

diperlukan)
Vancomisin 4x125mg; 7-10hari (alternatif)

(jika

Anamnesis
Lama
Epidemiolog
i berpergian
Makanan

Karateristik
tinja
Air
Berdarah

Nyeri
abdomen
Kolitis akut
Peny. Usus
inflamasi

Peny. Lain
Obatobatan

Pemeriksaa
n Fisik
Umum
Keseimbang
an cairan
Nutrisi

Abdomen
Nyeri tekan
Distensi

Pemeriksaan awal:
Toksik
Penyakit berjalan
terus
Darah di tinja
Dehidrasi

Pemeriksaan rektal
Fecal occult blood test

Nontoksik
Lama penyakit
sebentar
Tidak berdarah
Tidak nyeri tekan

Terapi simtomatik :
Cairan rehidrasi oral
Obat antidiare

Tidak
respons

Respons

Replesi cairan/
elektrolit

Evaluasi Lab

Sigmoidoskopi /
kolonoskopi
dengan biopsi
Terapi antibiotik
empirik
Terapi spesifik

Pemeriksaan
darah
tepi
lengkap,
Hemokonsentra
si,

Kimia darah
Elektrolit
Ureum
Kreatinin
Serologi
amoeba

Pem. Tinja
Pem telur &
parasit
Antigen
Giardia
Toksin C.
Leukosit tinja
Positif / Negatif

Kultur Tinja

Gambar 1. Algoritme untuk evaluasi pasien dengan


diare akut

IKTERUS
DEFINISI
Ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lainnya (membran
mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang meningkat
kadarnya dalam sirkulasi darah. 1
PATOFISIOLOGI
Tahapan metabolisme bilirubin berlangsung dalam 3 fase : prehepatik, intrahepatik,
dan pascahepatik. 1
Fase prahepatik
1. Pembentukan bilirubin. Sekitar 250 350mg bilirubin atau sekitar 4mg per kg
berat badan terbentuk setiap harinya; 70 80% berasal dari pemecahan sel
darah merah yang matang. Sedangkan sisanya 20 30% (early labelled
bilirubin) datang dari protein heme lainnya yang berada terutama di dalam
sumsum tulang dan hati. Sebagian dari protein hemer dipecah menjadi besi
dan produk antara biliverdin dengan perantaraan enzim hemeoksigenase.
Enzim lain, biliverdin reduktase, mengubah biliverdin menjadi bilirubin.
Tahapan ini terjadi terutama dalam sel retikuloendotelial. Peningkatan
hemolisis sel darah merah merupakan penyebab utama peningkatan
pembentukan bilirubin.
2. Transport plasma. Bilirubin tidak larut air karenanya bilirubin tak terkonjugasi
ini transportnya dalam plasma terikat dengan albumin dan tidak dapat melalui
membran glomerulus, karenanya tidak muncul dalam air seni. Ikatan melemah
dalam beberapa keadaan seperti asidosis, dan beberapa bahan seperti
antibiotika tertentu, salisilat berlomba pada tempat ikatan dengan albumin.
Fase Intrahepatik
3. Liver uptake. Proses pengambilan bilirubin tak terkonjugasi oleh hati secara
rinci dan pentingnya protein pengikat seperti ligandin atau protein Y belum
jelas. Pengambilan bilirubin melalui transort yang aktif dan berjalan cepat,
namun tidak termasuk pengambilan albumin.
4. Konjugasi. Bilirubin bebas yang terkonsentrasi dalam sel hati mengalami
konjugasi dengan asam glukoronik membentuk bilirubin diglukuronida atau
bilirubin konjugasi atau bilirubin direk. Reaksi ini yang dikatalisasi oleh
enzim mikrosomal glukuronil-transferase menghasilkan bilirubin yang larut
air. Dalam beberapa keadaan rekasi ini hanya menghasilkan monoglukuronida
dengan bagian asam glukuronik kedua ditambahkan dalam saluran empedu
melalui sistem enzim yang berbeda, namun reaksi ini tidak dianggap
fisiologik.
Fase Pascahepatik
5. Eksresi bilirubin. Bilirubin konjugasi dikeluarkan kedalam kanalikulus
bersama bahan lainnya. Anion organik lainnya atau obat dapat mempengaruhi

proses yang kompleks ini. Di dalam usus flora bakteri mendekonjugasi dan
mereduksi bilirubin menjadi sterkobilinogen dan mengeluarkannya sebagian
besar ke dalam tinja yang memberi warna coklat. Sebagian diserap dan
dikeluarkan kembali ke dalam empedu, dan dalam jumlah kecil mencapai air
seni sebagai urobilinogen. Ginjal dapat mengeluarkan diglukuronida tetapi
tidak bilirubin unkonjugasi. Hal ini menerangkan warna air seni yang gelap
khas pada gangguan hepatoselular atau kolestasis intrahepatik. Bilirubin tak
terkonjugasi bersifat tidak larut dalam air namun larut dalam lemak.
Karenanya bilirubin tak terkonjugasi dapat melewati barier darah-otak atau
masuk ke dalam plasenta. Dalam sel hati, bilirubin tak terkonjugasi mengalami
proses konjugasi dengan gula melalui enzim glukuroniltransferase dan larut
dalam empedu cair.

ASITES
Asites adalah penimbunan cairan secara abnormal di rongga peritoneum.
Asites dapat disebabkan oleh banyak penyakit. Asites yang ada hubungannya dengan
sirosis hati dan hipertensi porta adalah salah satu contoh mekanisme transudasi. Asites
jenis ini paling sering dijumpai di Indonesia. Asites merupakan tanda prognosis yang
kurang baik pada beberapa penyakit.
PATOFISIOLOGI
Ada beberapa teori yang menerangkan patofisiologi asites transudasi. Teoriteori itu misalnya underfilling, overfilling, dan periferal vasodilation. Menurut teori
underfilling asites dimulai dari volum cairan plasma yang menurun akibat hipertensi
porta dan hipoalbuminemia. Hipertensi porta akan meningkatkan tekanan hidrostatik
venosa ditambah hipoalbuminemia akan menyebabkan transudasi sehingga volume
cairan intravaskular menurun. Akibatnya, ginjal akan bereaksi dengan melakukan
reabsorpsi air dan garam melalui mekanisme neurohormonal. Sindrom hepatorenal
terjadi bila volume cairan intravaskular sangat menurun.
Teori overfilling mengatakan bahwa asites dimulai dari ekspansi cairan plasma
akibat reabsorpsi air oleh ginjal. Gangguan fungsi itu terjadi akibat peningkatan
aktivitas hormon anti-diuretik (ADH) dan penurunan aktivitas hormon natriuretik
karena penurunan fungsi hati. Teori overfilling tidak dapat menerangkan kelanjutan
asites menjadi sindrom hepatorenal.
Evolusi dari kedua teori itu adalah teori vasodilatasi perifer. Faktor
patogenesis pembentukan asites yang amat penting adalah hipertensi porta yang
sering disebut sebagai faktor lokal dan gangguan fungsi ginjal yang sering disebut
faktor sistemik. Akibat vasokonstriksi dan fibrotisasi sinusoid terjadi peningkatan
resistensi sistem porta dan terjadi hipertensi porta. Peningkatan resistensi vena porta
diimbangi dengan vasodilatasi splanchnic bed oleh vasodilator endogen. Peningkatan
resistensi sistem porta yang diikuti oleh peningkatan aliran darah akibat vasodilatasi
splanchnic bed menyebabkan hipertensi porta menetap. Hipertensi porta akan
meningkatkan tekanan transudasi terutama di sinusoid dan selanjutnya kapiler usus.
Transudat akan terkumpul di rongga peritoneum. Vasodilator endogen yang di curigai
berperan antara lain : glukagon, nitric oxide (NO), calcitonine gene related peptide
(CGRP), endotelin, faktor natriuretik atrial (ANF), polipeptida vasoaktif intestinal
(VIP), substansi P, prostaglandin, enkefalin, dan tumor necrosis factor (TNF).
Vasodilator endogen pada saatnya akan mempengaruhi sirkulasi arterial
sistemik; terdapat peningkatan vasodilatasi perifer sehingga terjadi proses underfilling
relatif. Tubuh akan bereaksi dengan meningkatkan aktivitas sistem saraf simpatik,
sistem renin-angiotensin-aldosteron dan arginin vasopresin. Akibatnya selanjutnya
adalah peningkatan reabsorpsi air dan garam oleh ginjal dan peningkatan indeks
jantung.

Sirosis Hati

Hipertensi Porta

Vasodilatasi arteriole splangnikus

Tekanan
intrakapiler dan
koefisien filtrasi
meningkat

Volume efektif
darah arteri
menurun

Pembentukan
cairan limfe lebih
besar daripada
aliran balik

Aktivasi ADH,
sistem simpatis,
RAAS

Terbentuk asites

Retensi air &


garam

Gambar 2. Bagan patogenesis asites sesuai teori vasodilatasi


perifer

Daftar Pustaka
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009.

Anda mungkin juga menyukai