Anda di halaman 1dari 31

REVIEW BUKU

UJIAN TENGAH SEMESTER (UTS) EKONOMI DAN PEMBIAYAAN KESEHATAN

PEMBIAYAAN KESEHATAN : KONSEP DAN BEST PRATICE DI INDONESIA

DISUSUN OLEH :

Sri Yuliani Frisilia Dewi


NIM 10012622327011

Dosen Pengampu :
Dr. Haerawati Idris, SKM, MKM

PROGRAM MAGISTER ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2023
KATA PENGANTAR

Puji Syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas anugrah-Nya penulisan
review buku ini dapat terselesaikan dengan baik. Tidak lupa saya ucapkan terima kasih 
kepada semua pihak yang telah membantu terlaksananya penulisan review buku ini hingga
bisa tersusun dengan baik.
Makalah ini saya susun berdasarkan pengetahuan yang saya peroleh selama proses
pembelajaran, dari beberapa buku, pedoman, dan media elektronik dengan harapan orang
yang membaca dapat memahami jurnal tentang pentingnya penerapan manajemen strategis di
rumah sakit untuk menjadi rumah sakit pilihan masyarakat.
Akhirnya, saya menyadari bahwa review ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu,
saya mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi  perbaikan review ini di
masa mendatang.

Palembang, Maret 2023

Penulis

ii
iii
BAB 1
KONSEP PEMBIAYAAN KESEHATAN

1.1 Pengantar

Bab ini membahas mengenai konsep dasar pembiayaan kesehatan. Kami akan

mengawali dengan pengantar dan kemudian membahas mengenai biaya kesehatan,

pembiayaan kesehatan, dan diakhiri dengan penutup. Semua konsep dasar yang disajikan

bertujuan membantu para pembaca memahami sistem pembiayaan kesehatan dan

penerapannya di Indonesia. Hal ini diharapkan berguna bagi praktisi di lapangan dalam

mengambil keputusan terkait pembiayaan kesehatan.

1.2 Biaya Kesehatan

Biaya kesehatan merupakan sejumlah dana yang perlu disiapkan dalam

menyelenggarakan dan atau memanfaatkan pelayanan kesehatan untuk memenuhi

kebutuhan individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat. Biaya kesehatan dibagi

menjadi dua perspektif (Azwar, 1996) yaitu :

a. Perspektif penyedia layanan kesehatan, biaya Kesehatan merupakan sejumlah uang

yang harus disiapkan dalam menyelenggarakan layanan kesehatan. Layanan

kesehatan bisa dilaksanakan oleh pihak pemerintah dan swasta. Adapun dana yang

disiapkan oleh penyedia layanan kesehatan berupa biaya investasi (investment cost)

dan biaya operasional (operasional cost).

b. Perspektif pengguna jasa, biaya kesehatan merupakan sejumlah dana yang harus

disiapkan ketika menggunakan layanan kesehatan. Besaran dana yang digunakan oleh

pemakai jasa pelayanan kesehatan berasal dari kantong pribadi individu (out of

pocket).
Menurut Azwar (1996), secara umum sumber biaya kesehatan dikelompokkan

menjadi dua, yakni :

a. Seluruh pembiayaan bersumber dari anggaran pemerintah. Negara yang menggunakan

model ini menyediakan biaya kesehatan untuk masyarakat sepenuhnya.

b. Sebagian pembiayaan ditanggung oleh masyarakat. masyarakat ikut andil dalam

pelayanan kesehatan, baik dalam penyelenggaraan upaya kesehatan maupun

pemanfaatan layanan kesehatan.

Empat sumber utama pembiayaan untuk sektor kesehatan (Kutzin, 2008; Mills &

Gilson, 1988) :

a. Pembiayaan pemerintah untuk pelayanan kesehatan meliputi pengeluaran kesehatan di

semua tingkat pemerintah (pusat dan daerah), termasuk pengeluaran perusahaan

publik.

b. Pembiayaan swasta, dapat dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung.

c. Pembiayaan asuransi kesehatan.

d. Pembiayaan sumber eksternal.

1.3 Pembiayaan Kesehatan

Tujuan pembiayaan kesehatan adalah menyediakan pendanaan dan menetapkan

insentif atau pembiayaan bagi penyedia layanan, serta memastikan semua individu

memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan masyarakat secara efektif. Sumber

pembiayaan kesehatan suatu negara dapat berasal dari pemerintah dan non-pemerintah

yang akan digunakan secara luas untuk membiayai upaya kesehatan.

Beberapa macam model pembiayaan kesehatan yang dapat diadopsi oleh

beberapa negara (Setyawan, 2018) :

a. Pembiayaan secara langsung (direct payments by patients)

4
b. Pembayaran oleh pengguna (user payments)

c. Pembiayaan berbasis tabungan (saving-based)

d. Pembiayaan informal

e. Pembiayaan berbasis-asuransi (insurance-based)

Selain kelima model tersebut, model pembiayaan kesehatan lainnya adalah model

Out of Pocket (Pengeluaran dari Kantong Sendiri). Pengeluaran pada model ini berasal

dari individu ketika ingin mengakses pelayanan kesehatan dan tidak didanai oleh

program asuransi. Model pembiayaan ini diterapkan di sebagian besar negara yang

berpenghasilan rendah (J. Dieleman, Campbell,& Chapin, 2017). Asuransi kesehatan

sulit diterapkan di negara tersebut karena beban penyakit yang tinggi, pendapatan

penduduk yang kurang, dan kesulitan menciptakan kumpulan risiko yang besar dan

beragam (Mills, 2014). Hampir semua skema asuransi kesehatan yang diterapkan

dinegara ini memerlukan subsidi dari permerintah untuk menopang sistem mereka

(Sachs, 2012).

Pembiayaan kesehatan meliputi fungsi dasar pengumpulan pendapatan (revenue

collection), pengumpulan sumber daya (pooling resources), dan pembayaran intervensi

(purchase of interventions). (Gottret & Schieber, 2006; Rannan-Eliya, 2009) :

a. Pengumpulan pendapatan adalah bagaimana sistem kesehatan mengumpulkan uang

dari rumah tangga, bisnis, dan sumber eksternal.

b. Pengumpulan berkaitan dengan akumulasi dan pengelolaan pendapatan sehingga

anggota kelompok berbagi risiko kesehatan secara kolektif. Hal ini akan melindungi

anggota kelompok individu dari pengeluaran kesehatan yang besar dan tidak dapat

diprediksi.

c. Pembelian mengacu pada mekanisme yang digunakan untuk membeli layanan dari

penyedia publik dan swasta.

5
Fungsi pembiayaan kesehatan di atas memiliki implikasi yang penting untuk

mendukung kerja sistem kesehatan berupa :

a. Jumlah dana yang tersedia (saat ini dan di masa depan) dan tingkat layanan esensial

dan perlindungan keuangan bagi populasi.

b. Keadilan (ekuitas).

c. Efisiensi ekonomi dari upaya peningkatan pendapatan.

d. Tingkat pooling (subsidi risiko, asuransi) dan pembayaran di muka (ekuitas subsidi).

e. Jumlah dan jenis layanan yang dibeli dan dikomsumsi terhadap dampak kesehatan dan

biaya kesehatan (efektivitas biaya dan efisiensi alokasi layanan).

f. Efisiensi teknis dari produksi layanan (tujuannya adalah untuk menghasilkan setiap

layanan dengan biaya rata-rata minimum).

g. Akses fisik dan finansial dan ke layanan oleh populasi (termasukekuitas akses dan

manfaat).

Menurut Gottret & Schieber, 2006; Jaworzyľska, 2016 fungsi pembiayaan di atas

diwujudkan dalam tiga model pembiayaan kesehatan sebagai berikut :

a. National Health Service (NHS)

b. Asuransi sosial

c. Asuransi swasta

1.2 Mekanisme Pembiayaan Kesehatan di Indonesia

Mekanisme pembiayaan kesehatan yang diterapkan di Indonesia (Myint et al,

2019) yaitu sumber utama pendapatan berasal dari pajak langsung, pajak tidak langsung,

dan out of pocket (OOP). Standar anggaran minimal suatu negara yang ditetapkan oleh

WHO adalah sekitar 5%- 6% dari total APBN.

6
Tujuannya adalah agar mampu meningkatkan derajat kesehatan dengan dukungan

pembiayaan kesehatan yang kuat. Idealnya suatu negara menganggarkan 15 - 20% dari

APBN. Sejak 2004, anggaran pemerintah untuk kesehatan telah meningkat secara

signifikan. Peningkatan anggaran ini juga diamanatkan oleh UU Kesehatan, yang

menetapkan bahwa alokasi anggaran pemerintah secara nasional setidaknya harus

berjumlah 5% dari total anggaran pemerintah pusat (APBN), sementara untuk anggaran

daerah (APBD) alokasi untuk kesehatan minimal berjumlah 10%.

Dalam 20 tahun terakhir, reformasi di bidang pembiayaan kesehatan di Indonesia

bergerak sangat dinamis, dari penargetan berbagai program menuju UHC. Sistem UHC

berkembang pesat di Indonesia dan mencakup 203 juta orang. Kini Indonesia dikenal

sebagai pengguna skema pembayar tunggal terbesar di dunia dan telah meningkatkan

pemerataan kesehatan dan akses layanan.

1.3 Penutup

Perencanaan dan pengelolaan pembiayaan kesehatan yang memadai akan

membantu negara dalam memobilisasi sumber pembiayaan kesehatan,

mengalokasikannya secara rasional, dan menggunakannya secara efektif serta efisien.

Untuk mendorong tercapainya akses yang universal dibutuhkan kebijakan

pembiayaanyang memperhatikan pemerataan dan membantu penduduk miskin.

7
BAB 2

PROSES PEMBIAYAAN KESEHATAN

2.1 Pengantar

Adapun proses pembiayaan kesehatan dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu

perencanaan, perhitungan kebutuhan biaya, dan penganggaran (Gani 2002; Rajan et al,

2016)

2.2 Perencanaan (Planning)

Perencanaan merupakan awal proses pembiayaan kesehatan. Perencanaan yang

baik dapat mengidentifikasi kegiatan yang akan dibiayai. Gani, et al. (2002) membagi

perencanaan menjadi empat bagian, yaitu analisis situasi, penetapan tujuan, identifikasi

kegiatan, dan penyusunan rencana operasional.

a. Analisis Situasi

Deskripsi masalah kesehatan diidentifikasi dengan prinsip dan metode

epidemiologi yang menghasilkan besaran masalah kesehatan, distribusi kelompok

masalah kesehatan, dan kemungkinan sumber masalah kesehatan. Kinerja atau sistem

pelayanan dan program kesehatan disusun berupa tren output layanan kesehatan

apakah sesuai dengan target yang ditentukan sebelumnya. Analisis faktor risiko

lingkungan bertujuan untuk mengetahui faktor lain yang meningkatkan masalah

kesehatan, tetapi tidak berkaitan langsung dengan kejadian penyakit. Analisis faktor

risiko perilaku bertujuan untuk menganalisis faktor perilaku yang berkontribusi

terhadap masalah kesehatan. Salah satu contoh adalah perilaku buang air besar

sembarangan yang menimbulkan masalah kesehatan (Anggoro, 2017).

8
b. Penetapan Tujuan

Gani, et al. (2002) mendefinisikan penetapan tujuan program dibagi menjadi

dua bagian, yaitu outcome atau hasil yang berkaitan dengan tujuan umum dan output

atau target yang berkaitan dengan tujuan khusus. Tujuan umum berkaitan dengan

perbaikan derajat kesehatan, sedangkan tujuan khusus merupakan pencapaian output

yang berkaitan dengan perbaikan kinerja program. Output paradigma sehat dilakukan

dengan mengedepankan konsep promotif dan preventif dalam pelayanan kesehatan

serta menempatkan kesehatan sebagai input penting dari proses pembangunan. Output

pelayanan kesehatan lebih ditekankan padapeningkatan akses dan mutu layanan.

Output jaminan kesehatan nasional diperoleh dengan meningkatkan jaminan

kesehatan kepada seluruh penduduk dan warga negara asing yang tinggal di

Indonesia.

c. Identifikasi Kegiatan

Gani, et al. (2002) menyampaikan bahwa identifikasi kegiatan sangat penting karena

erat kaitannya dengan perhitungan kebutuhan anggaran. Proses penyusunan kegiatan

merujuk pada :

1) Rumusan tujuan (output program),

2) Rumusan proses dan input program,

3) Rumusan faktor risiko lingkungan,

4) Rumusan faktor risiko perilaku.

d. Penyusunan Rencana Operasional

Setelah identifikasi kegiatan selesai dilakukan, rencana operasional disusun

yang terdiri dari :

1) Rencana operasional

2) Menyusun daftar kegiatan

9
3) Menyusun output kegiatan

4) Menetapkan lokasi kegiatan

5) Menetapkan jadwal pelaksanaan

6) Menetapkan penanggung jawab pelaksana kegiatan (perorangan atau unit

organisasi)

Setelah proses analisis situasi hingga penyusunan rencana operasional selesai

perlu diperiksa kembali apakah masih adakegiatan yang dapat diintegrasikan menjadi

satu sehingga tidak akan tumpang-tindih.

2.3 Perhitungan Kebutuhan Biaya (Costing)

Perkiraan biaya dipergunakan untuk menganalisis efektivitas biaya, evaluasi

ekonomi, dan menilai dampak dari sebuah program yang dilaksanakan lembaga milik

pemerintah dan swasata dalam mencegah, mendeteksi, dan mengobati suatu penyakit

(Lipscomb et al. 2009).

Carroll dan Lord (2016) mengidentifikasi perhitungan kebutuhan biaya (costing)

menjadi lima jenis yaitu :

a. Traditional Costing

b. Activity Based Costing (ABC)

c. Time Driven Activity Based Costing (TDABC)

d. Performance-Focused Activity Based Costing (PFABC)

e. Ratio of Cost to Charges (RCCs)

Menurut Gani, et al. (2002) Activity and input based costing and budgeting

adalah menyusun sebuah perhitungan biaya yang mengubah program-program ke dalam

nilai moneter.

10
Micro-Costing merupakah metode yang dilaksanakan dengan cara

mengumpulkan data yang lebih terperinci tentang semua sumber daya yang digunakan

dalam pelaksanaan suatu progam dan dapat menjadi salah satu bentuk evaluasi ekonomi

dari program sebelumnya. Micro-costing memberikan hasil yang lebih tepat dan detail

dibandingkan metode penerapan biaya sebelumnya yang biayanya rata-rata relatif lebih

besar dibandingkan data yang seharusnya (Frick, 2009). Di dalam metode micro-costing,

seluruh komponen biaya dihitung berdasarkan persentase penggunaan setiap variabel

dalam melaksanakan layanan. Hasil perhitungan bahkan dapat dibagi menjadi dua bagian

besar, yaitu perspektif dari penyedia layanan dan perspektif dari pengguna layanan

(Siregar, Pitriyan, and Walters 2018).

Siregar, Pitriyan, dan Walters (2018) mengukur produktivitas yang hilang

dengan menggunakan waktu kerja yang hilang ketika menggunakan layanan kesehatan

(seperti waktu tunggu dan waktu layanan). Waktu tunggu yang lama di fasilitas

kesehatan berdampak buruk pada fisik, mental, dan keuangan pasien (2018). Hal ini akan

meningkatkan total biaya kesehatan, baik yang ditanggung penyedia layanan maupun

pengguna layanan karena waktu sembuh semakin lama (Fielden et al, 2005).

2.4 Penganggaran (Budgeting)

Byrne (2006) mendefinisikan pentingnya penganggaran dalam kesehatan

sebagai berikut :

1) Kontrol penggunaan keuangan yang dapat ditunjukkan dengan kesesuaian

antara perencanaan (planning) dan penggunaan anggaran sepanjang waktu

berjalan.

11
2) Delegasi penggunaan keuangan yang akan meningkatkan kecepatan

pengambilan keputusan pada tingkat jabatan organisasi dalam lembaga atau

kementerian yang dapatmenggunakan anggaran.

3) Terjemahan dari perencanan yang tepat yang ditunjukkan dengan distribusi

alokasi dengan tepat dan produktivitas penggunaan alokasi.

a. Prinsip Penyusunan Anggaran

Untuk mendapatkan output dan outcome yang maksimal, penyusunan

anggaran kesehatan haruslah berbasis kinerja atau disebut dengan penyusunan

anggaran terpadu berbasis kinerja. Terdapat empat hal yang harus diperhatikan dalam

penyusunan anggaran, yaitu :

1) Pengganggaran menyeluruh untuk semua program,

2) Kebutuhan anggaran ditetapkan secara bottom up,

3) Terpadu dan seimbang antara unit penunjang dan unit layanan, dan

b. Bentuk Sistem Penganggaran

1) Public Financial Management (PFM)

PFM merujuk pada seperangkat hukum, aturan, sistem, dan proses yang

digunakan oleh pemerintah suatu negara atau daerah untuk memobilisasi

pendapatan, mengalokasikan dana publik, melakukan belanja, dan

mempertanggungjawabkan penggunaan dana dengan hasil audit (Lawson, 2015).

Pada praktiknya PFM berfokus pada proses pelaksanaan perencanaan dan

penggunaan anggaran kesehatan yang kredibel.Proses pengawasan, seperti proses

akuntansi, audit internal, dan audit eksternal, diperlukan untuk memastikan aliran

dana digunakan secara efisien hingga menghasilkan output maksimal.

2) Medium Term Expenditure Framework (MTEF)

12
MTEF merupakan kerangka penganggaran jangka menengah yang bersifat

komprehensif, dengan lembaga pemerintah yang dapat menghubungkan seluruh

rencana pengeluaran dengan kebijakan prioritas dalam kerangka fiskal (terkait

dengan kondisi ekonomi makro dan perkiraan pendapatan negara) yang biasanya

disusun untuk tiga tahun (Rajan et al, 2016).

MTEF dengan jangka waktu yang berbeda, dari dua hingga limatahun.

Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya menunjukkan Lithuania menjadi

negara dengan periode MTEF selama dua tahun.

3) Line-Item Budgeting for Health

Line-Item Budgeting menjadi cara lembaga legistlatif untuk melakukan

pengawasan karena memiliki pos-pos yang spesifik,tetapi menjadi penghambat

bagi fasilitas kesehatan untuk mengelola dana kesehatan secara fleksibel karena

pengeluaranharus mengikuti garis anggaran yang sudah ditentukan secara ketat.

Jenis penganggaran ini sering disebut dengan penganggaran tradisional.

4) Performance Budgeting

Pelaksanaan anggaran berbasis kinerja harus memiliki fleksibilitas dan

fokus pada outcome, tidak hanya output. Di dalam pelaksanaannya, pemangku

kepentingan tidak perlu memiliki terlalu banyak target. Target dapat dibatasi, tetapi

banyak cara pengukuran keberhasilan target dapat digunakan. Perlunyapengukuran

keberhasilan target juga perlu diiringi denganpeningkatan kualitas penyajian dan

pelaporan informasi kinerja (OECD, 2008).

c. Efisiensi dan Efektivitas

Efektivitas adalah pencapaian target atau outcome darisuatu kegiatan atau

intervensi kesehatan sesuai dengan apa yangdirencanakan. Sementara itu, efisiensi

13
adalah kondisi yang paling ekonomis dari pelaksanaan suatu intervensi yang

ditunjukkandengan rasio input dan output pada intervensi (Enrique and Marta, 2020).

Pengukuran efisiensi dan efektivitas dapat dilakukan dengan

menggunakanperhitunganmodel DEA/ Data Envelopment Analysis (Lo Storto and

Goncharuk, 2017). Ukuran dasar efisiensi dibedakan menjadi dua, yaitu efisiensi

alokatif dan efisiensi teknis. Contoh Penggunaan Input, Output, dan Outcome :

Pada saat diolah menggunakan DEA, model 1 akan menghasilkan indeks efisiensi dari

sistem layanan kesehatan, sedangkan model. 2 akan menghasilkan indeks efektivitas

dari layanan kesehatan. Orientasi pada model 1 adalah input dan output, sedangkan

orientasi pada model 2 adalah ouput dan outcome. Selain pengaruh dari cara

penggunaan input dan menghasilkan output yang maksimal, model 1 (skor efisiensi

alokatif) juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan, misalkan perilaku masyarakat

menggunakan tembakau dan jumlah dana pengendalian tembakaudi suatu negara

dapat berpengaruh terhadap skor efisiensi alokatif (Sihaloho and Siregar, 2019).

2.5 Penutup

Proses pembiayaan kesehatan terdiri dari tiga tahap, yaitu proses perencanaan,

proses perhitungan biaya, dan proses penganggaran. Ketiganya memiliki peran yang

sama penting sehingga pelaksanaannya harus memiliki kualitas yang maksimal.

Sudah saatnya pelaksanaan semua program kesehatan dari level institusikesehatan

terendah hingga tertinggi mengacu pada efisiensi dan efektivitas

14
BAB 3

KONSEP ASURANSI SEBAGAI BAGIAN PEMBIAYAAN KESEHATAN

3.1 Pengantar

Pembahasan akan diberikan secara runut, dari prinsip dasar asuransi kesehatan,

manajemen risiko, hingga perbedaannya dengan skema asuransi komersial.

a. Prinsip Dasar Asuransi Kesehatan Asuransi

Kesehatan merupakan suatu instrumen sosial yang ditujukan untuk

mengartikulasikan prinsip gotong royong atausolidaritas masyarakat dalam bidang

pelayanan kesehatan. Dalam analogi sederhana, masyarakat secara bersama-sama

berkontribusi memberikan pertolongan semampunya untuk membantu anggota

masyarakat yang sakit. Secara prinsip konteks asuransi kesehatan berdasarkan sifat

penyelenggaraannya dibagi menjadi dua jenis, yaitu asuransi kesehatan yang bersifat

komersial dan sosial.

b. Pemahaman Tentang Resiko

Dalam konteks penyelenggaraan skema asuransi kesehatan, pemahaman

tentang risiko menjadi penting, terutama dalam mendefinisikan paket manfaat dan

estimasi tingkat utilisasi atas pertanggungan yang terjadi. Istilah “risiko” digunakan

dalam asuransi untuk kejadian-kejadian yang dapat diasuransikan yang sifatnya bukan

spekulatif. Risiko ini disebut juga pure risk atau risiko murni (Thabrany, 2001).

15
Redja, et.al; Emmet, et.al. 2003 menyatakan berdasarkan prinsip bahwa risiko

adalah peluang (dapat terjadi dan tidak terjadi), terdapat empat kategori manajemen

risiko sebagai berikut :

1) Menghindari risiko (risk avoidance)

2) Mengurangi risiko (risk reduction)

3) Memindahkan risiko (risk transfer)

4) Mengambil risiko (risk taker)

c. Perbedaaan Asuransi Sosial dan Komersial

Undang-Undang No 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian menyebutkan

bahwa program asuransi sosial wajib diselenggarakan. Tujuannya adalah untuk

memberikan perlindungan dasar bagikesejahteraan masyarakat. Pasal 14 menyebutkan

bahwa program asuransi sosial hanya dapat diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik

Negara (UU No. 2 Tahun 1992). Kepesertaan dalam skema asuransi sosial bersifat

wajib sebagaimana terkait dengan karakteristik pelayanan kesehatan yang ditandai

dengan ketidakpastian (uncertainty). Asuransi sosial bertujuan menjamin semua orang

memperoleh akses terhadap layanan kesehatan tanpa mempedulikan status ekonomi

atau usia. Prinsip ini disebut sebagai keadilan sosial (social equity/ social justice)

yang menjadi falsafah hidup semua orang di dunia.

16
3.2 Peran dan Posisi Skema Jaminan Kesehatan dalam Sistem Kesehatan

Sub bab ini akan mengartikulasikan secara lebih rinci bagaimana kedudukan

jaminan kesehatan, termasuk dampaknya, terhadap struktur sistem kesehatan dan

perbaikan iuaran kesehatan secara agregat.

a. Kedudukan Skema Jaminan Kesehatan dalam Sistem Kesehatan Nasional

Peninjauan kedudukan dan peran skema jaminan kesehatan dalam sistem kesehatan

di Indonesia secara prinsip berangkat dari beberapa peraturan perundangan antara

lain, Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Peraturan Presiden No

18 Tahun2020 tentang RPJMN 2020-2024, serta Peraturan Presiden Nomor 72 tahun

2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional (SKN). Pasal 22 Undang-Undang No. 40

Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional menyebutkan bahwa paket

manfaat Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bersifat komprehensif dari layanan

preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif, tetapi dalam konteks perorangan.

Universal Health Coverage (UHC) merupakan parameter penting dalam sistem

kesehatan, tetapi secara prinsip bukan merupakan tujuan akhir dari suatu

17
pembangunan kesehatan. input dalam proses pembangunan kesehatan adalah

beberapa komponen dalam Sistem Kesehatan Nasional dengan target yang dicapai

adalah pemenuhan hak dasarkesehatan, peningkatan iuaran (outcome) kesehatan,

perlindungansosial dan finansial, serta peningkatan efisiensi. WHO mendefinisikan

bahwa Universal Health Coverage (UHC) adalah visi dengan semua orang dan

komunitas memiliki akses terhadap layanan kesehatan yang berkualitas di mana pun

dan kapan pun mereka membutuhkannya, tanpa mengalami kesulitan finansial.

b. Kontribusi Program Jaminan Kesehatan Nasional Terhadap Perbaikan Indikator

Kesehatan Sub bab ini akan menekankan telaah kasus yang terdiri dari lima dimensi

utama, antara lain cakupan kepesertaan, pertumbuhan fasilitas kesehatan, akses

peserta terhadap layanan kesehatan, konsumsi layanan kesehatan, dan pembiayaan.

1. Cakupan Kepesertaan Secara spesifik, pertumbuhan segmen Penerima Bantuan

Iuaran (PBI) APBD dan Pekerja Bukan Penerima Upah/ PBPU (sektor informal)

telah meningkat sekitar 240% dan 242% dari tahun 2014 hingga 2018,

sedangkan keanggotaan Pekerja Penerima Upah/PPU (sektorformal) sekitar

105% untuk periode lima tahun (Statistik JKN 2014-2018, 2020).

2. Fasilitas Kesehatan Parameter kedua yang menjadi tolak ukur adalah bagaimana

skema Jaminan atau Asuransi Kesehatan Sosial dapat mendorong pertumbuhan

fasilitas kesehatan, baik pada tingkat layanan primermaupun rujukan (rumah

sakit).

3. Akses Akses terhadap layanan kesehatan merupakan faktor yang pentingdalam

menilai fungsi negara untuk menjamin hak asasi kebutuhan dasar kesehatan.

4. Konsumsi Aspek lain yang menjadi tolak ukur seberapa tinggi pemanfaatan

layanan kesehatan dari peserta Jaminan Kesehatan Nasional adalahangka

18
konsumsi layanan dari tahun ke tahun pada setiap kelompoktingkat pendapatan

atau regional.

5. Pembiayaan Kesehatan Sebagaimana fungsi utama dari Universal Health

Coverage dalam menciptakan perlindungan finansial bagi rakyat Indonesia,

pengeluaran out of pocket dari pasien sering kali digunakan pada tingkat global

sebagai komparasi sejauh mana skema jaminan sosial yang diselenggarakan

mampu menurunkan pengeluaranmandiri dari masyarakat atas akses layanan

Kesehatan.

3.3 Penutup Dalam praktiknya mandat dari peraturan perundangan yang ada, termasuk UU

No. 40 Tahun 2004 Tentang SJSN, UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, hingga

Perpres No. 72 Tahun 2012 Tentang Sistem Kesehatan Nasional diterjemahkan melalui

penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

19
BAB 4

EQUITAS DALAM KESEHATAN

4.1 Pengantar

Kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan oleh Badan

Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS-K) yang efektif per Januari 2014

memasuki usia pelaksanaan yang ketujuhtahun. Sebagai salah satu komponen dalam

Sistem Kesehatan Nasional (SKN), JKN merupakan instrumen yang penting dalam

menjamin kejadian bencana finansial (financial catastrophic) ketika individu jatuh sakit.

Sebagai salah satu instrumen kebijakan yang menyasar sisi permintaan, JKN berusaha

untuk mencapai tujuan terselenggaranya Sistem Kesehatan Nasional, yaitu meningkatkan

status Kesehatan masyarakat. Dengan menghilangkan halangan finansial (financial

barrier), individu dapat mengakses dan menggunakan layanan masyarakat yang

diberikan oleh pusat layanan Kesehatan setempat. Bab ini akan bertujuan untuk

memberikan snapshot terkait konsepekuitas kesehatan (health equity), memaparkan

konsep ekuitas, serta memberikan perkembangan kajian empiris mengenai isuini di

20
Indonesia. Beberapa bukti empiris akan mencakup faktor penawaran (provider) dan juga

permintaan (pasien atau individu).

4.2 Latar Belakang

Pertimbangan dunia untuk fokus pada isu ketimpanganmerupakan proses alamiah

saat ekspansi akses terhadap layanan kesehatan, melalui kebijakan UHC yang

diimplementasikan di berbagai negara. Kebijakan UHC merupakan salah satu kemajuan

terbesar yang dicapai oleh dunia melalui konsensus tingkat tinggi. perluasan akses

melalui kebijakan asuransi kesehatan publik bertujuan mendorong individu

untukmenggunakan layanan kesehatan yang dibutuhkan (demand side policy).

Sekelompok masyarakat tertentu dapat saja berkeyakinan bahwa pergi ke puskesmas

adalah hal berisiko dan tidak bermanfaat.

4.3 Konsep Equitas

Variasi definisi dari ekuitas dalam pelayanan kesehatan (equityin health care)

telah banyak diusulkan. Pada saat awal konsep ekuitas diperbincangkan di kalangan

ilmuwan, ekuitas merujukpada kesamaan pengeluaran (kesehatan) per kapita (equality

ofexpenditure per capita). Definisi kedua adalah “distribusi atau alokasi (layanan

kesehatan) berdasarkan kebutuhan”. Namun, pada awalnya definisi ini tidak menemukan

konsensus terhadap apa yang dimaksud sebagai “kebutuhan”.

Definisi ketiga adalah “kesetaraan dalam kesehatan” (equality of health) dan

definisi keempat adalah “kesetaraan dalam akses”.

a. Definisi Kebutuhan Definisi kebutuhan ini secara ekstensif dibahas oleh Norman

Daniel, Profesor Filsafat Kesehatan di Universitas Harvard. Daniel (1985)

21
berpandangan pendekatan dalam definisi kebutuhan layanan kesehatan perlu

mempertimbangkan hal berikut :

1) Layanan kesehatan bersifat khusus. Pandangan ini membedakan layanan kesehatan

dengan tujuan lainnya. Hal ini memungkinkan untuk melihat layanan kesehatan

sebagai hal utama dalam usaha untuk mengembalikan kesetaraan peluang (fair

equality of opportunity) dalam kegiatan produksi ekonomi.

2) Fungsi unik dari spesies manusia. Layanan kesehatan diperlukan agar seseorang

menjadi sehat. Tubuh sehat atau tanpa penyakit memungkinkan pelaksanaan

fungsi-fungsi yang unik yang berkaitan dengan jati diri spesies manusia.

Kesetaraan dalam peluang (fair equality of opportunity). Hal ini merujuk pada

bahwa meskipun masyarakat terdiri dari individu yang memiliki kebutuhan,

preferensi, hingga kemampuan yang berbeda, setiap individu patut mendapatkan

peluang yang samauntuk mendapatkan layanan kesehatan yang dibutuhkan.

Perbedaan cara pandang ini setidaknya menyimpulkan dua faktor yang penting

dalam mendefinisikan kata “kebutuhan” (Oliver dan Mossialos, 2004).

a) Pertama, status kesehatan seseorang sebelum mendapat layanan kesehatan. Ini

merupakan pandangan yang umum diterima oleh praktisi medis.

b) Kedua, kapasitas individu untuk mendapatkan manfaat dari layanan kesehatan.

Dengan kata lain, jumlah sumber daya yang dibutuhkan untuk mendapatkan

manfaat yang setinggi-tingginya yang mendefinisikan besar atau kecilnya

kebutuhan seseorang.

b. Definisi Akses Culyer dan Wagstaff (1993) menginterpretasikan akses dengan lebih

sederhana sebagai “Kesetaraan dalam akses layanan kesehatan memerlukan kondisi

dengan jumlah maksimal konsumsi layanan kesehatan yang sama untuk semua individ

(Equal Access for Equal Need)”. Definisi akses terhadap layanan kesehatan secara

22
hati- hati didefinisikan sebagai kemampuan untuk mendapatkan paket layanan

kesehatan dengan kualitas tertentu, dengan menimbang kemampuan finansial

individu.

Equity Versus Equality Pertanyaannya apakah ekuitas (equity) sama dengan

equality? Kedua konsep tersebut perlu dibedakan. Kesetaraan (equality) mengacu

pada kuantitas yang dapat diukur secara objektif. Contoh dari equality adalah ketika

dua ibu rumah tangga dengan usia yang sama, Wati dan Rumi, dirawat di suatu rumah

sakit, mendapatkan layanan yang sama persis, dari pemeriksaan fisik, uji

laboratorium, pemeriksaan penunjang, hingga tindakan lanjutan.

c. Vertical Versus Horizontal Inequity

Variasi kondisi kesehatan antar-individu secara alamiah akan terjadi. Banyak

kondisi menyebabkan suatu perbedaan. Namun, perludiketahui apakah perbedaan

status kesehatan terjadi karena faktoryang dapat dihindari (unwarranted variation)

atau tidak dapat dihindari (warranted variation). Salah satu faktor yang tidak dapat

dihindari adalah predisposisi genetik, misalnya kecenderungan seseorang untuk

menderita diabetes. Faktor lainnya adalah responsif atau tidaknya seseorang terhadap

terapi.

d. Faktor yang berdampak pada Equal Access for Equal Need : Pertama, faktor

penawaran, misalnya letak dan lokasi geografis setiap individu terhadap pusat layanan

kesehatan. Tentu ada variasi jarak yang tidak sama dan perbedaan ini dapat diterima

melalui berbagai pertimbangan. Faktor kedua adalah permintaan (demand). Faktor

utama yang dapat menghalangi akses layanan kesehatan adalah faktor finansial (Kim

et al, 2017). Adanya biaya yang harus dikeluarkan secara mandiri (out of pocket)

dalam bentuk biaya (co-payment/ co-insurance/ user charges) memiliki dampak

disproporsional terhadapkelompok dengan pendapatan rendah (Wagstaff, Flores, Hsu,

23
et al, 2018 ; Wagstaff, Flores, Smitz, et al, 2018; Wagstaff & van Doorslaer, 2000).

Faktor lainnya yang juga berpengaruh terhadap akses adalah informasi, pengetahuan,

kepercayaan, budaya lokal, serta biaya tidak langsung,seperti biaya perjalanan.

4.4 Bukti Empiris

Studi dampak JKN terhadap utilisasi dilakukan oleh Erlangga et.al (2019).

Kebijakan JKN menghilangkan sebagian tantangan finansial bagi individu untuk

mendapatkanakseslayanankesehatan.Studiyangdilakukan menggunakan data panel

Indonesian Family Life Survey (IFLS) pada 2007 dan 2014. Kebijakan JKN

menunjukkan peningkatanprobabilitas utilisasi kesehatan pada kedua kelompok yang

disubsidipemerintah (Penerima Bantuan Iuran/PBI) dan kelompok sukarela(nonPBI)

sebesar 1,8% dan 8,2% untuk layanan rawat inap. Kelompoksukarela mengalami

peningkatanprobabilitasmenggunakanlayanankesehatan rawat jalan sebesar 7,9%.

a. Studi Morbiditas Peran faktor penawaran dalam menjelaskan ketimpangan dapat

dilihat dari studi Nababan et al (2018) dalam menindaklanjuti temuan Hodge et al

(2014). Dengan data DHS dari 1991 hingga 2012,studi ini melihat tren penggunaan

layanan kesehatan 22 maternaldi Indonesia. Kelahiran di pusat layanan kesehatan

meningkatdari 22% pada 1986 menjadi 73% pada 2012. Namun, ketimpangan

pengguna juga dapat terlihat. Probabilitas kelompok perempuan terkaya (diukur dari

aset dan distribusi kuantil) untuk melahirkan di fasilitas kesehatan lima kali lebih

tinggi dibandingkan kelompok perempuan termiskin.

b. Faktor Penawaran Bukti kajian empiris memperlihatkan ketimpangan kesehatan di

Indonesia mulai berkembang dan memiliki arti yang semakinpenting. Peran faktor

supply dalam ketimpangan kesehatan masihterbatas, misalnya belum ada studi yang

melihat variasi kualitasketimpangan layanan kesehatan (secara objektif) . Selain itu,

24
perlujuga untuk melihat lagi evolusi dari temuan beberapa tahun yang lalu. Untuk itu,

kerja sama antara pembuat kebijakan dan akademisidiperlukan untuk terus meneliti

hal tersebut di Indonesia.

4.5 Penutup

Dalam sudut pandangilmu ekonomi, ketimpangan adalah potensi terhadap

inefisiensi atau alokasi sumber daya yang tidak optimal. Ketimpangan juga

mengindikasikan disparitas dari apa yang dibutuhkan dengan apa yang tersedia.

BAB 5

KEBIJAKAN DAN POTRET PEMBIAYAAN KESEHATAN

5.1 Pengantar

UHC adalah suatu sistem kesehatan dengan setiap orang di dalam masyarakat

memiliki akses yang adil dan merata terhadap pelayanan kesehatan, baik pelayanan

promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan

biaya dapat dijangkau (Bhisma, 2010).

5.2 Pembiayaan Kesehatan di Negara-Negara Lain

World Bank (2019) menyebutkan tiga pilar utama yang harus dikedepankan

dalam pembiayaan Kesehatan, yaitu kecukupan (sufficiency), pengalokasian anggaran

25
yang efisien dan efektif (efficiency and effectiveness), dan pembiayaan kesehatan yang

keberlanjutan (sustainability).

a. Malaysia

Malaysia memberikan peran yang lebih besar kepada sektor swasta dalam hal

pelayanan kesehatan. Malaysia juga mulai mengembangkan bidang kesehatan sebagai

daya tarik wisata/ medical tourism (Chongsuvivatwong, Virasakdi, et al., 2011).

Pemerintah Malaysia sudah mewajibkan tabungan hari tua bagi para pegawai

sejak 1951. Warga juga dijamin oleh Employee Provident Fund (EPF), sedangkan

Social Security Organization (SOSCO) menjamin warga yang mendapat kecelakaan

kerja atau pensiunan yang cacat. (Purwoko, 2014).

b. Thailand

Thailand membutuhkan waktu hampir setengah dekade untuk mencapai UHC.

Berbagai sistem pembiayaan telah diuji, berawal dari sistem out of pocket sampai

dengan sistem pembiayaan prospektif (Indrayathi PA, 2016). Setelah kebijakan UHC

diperkenalkan pada April 2002, perlindungan kesehatan sosial dibagi ke dalam tiga

skema pembiayaan, yaitu Social Health Insurance for Formal Private Sector (sekitar

15%) untuk menjamin pegawai swasta, Civil Servant Medical Benefit Scheme (7%)

untuk menjamin menjamin pegawai negeri beserta anggota keluargnya, dan UHC

Scheme (sekitar 76%) melalui National Health Security Office/ NSHO (Health

Resource Survey, 2012).

c. Taiwan

Sejak tahun 1995, Taiwan memiliki asuransi sosial wajib (mandatory) yang

disebut National Health Insurance (NHI). Asuransi sosial ini memiliki sistem

pembayaran tunggal (single payer) yang dijalankan oleh pemerintah. Dana bersumber

26
dari premi yang berbasis pajak gaji (payroll tax) dan anggaran pemerintah (Bhisma

Murti, 2010; Jui-fen & Rachel Lu, 2014).

d. Jepang

Sejak tahun 1927, Jepang sudah memulai jaminan kesehatan bagi para pekerja

sektor swasta, tetapi manfaatnya masih kurang komprehensif (Fukawa, Tetsuo, 2002).

Berbagai macam asuransi yang dikelola pemerintah di antaranya adalah National

Health Insurance, Mutual Aid Insurance, dan Advanced Eldery Medical Service

System. Semua sistem asuransi memberlakukan pelayanan kesehatan yang sama.

e. Amerika Serikat Advanced Eldery Medical Service System.

Semua sistem asuransi memberlakukan pelayanan kesehatan yang sama.

Asuransi atau tidak. Hal ini menyebabkan biaya operasional kesehatan di Amerika

Serikat semakin besar, premi meningkat setiap tahun, mutu pelayanan kesehatan

diragukan, dan unnecessary utilization meningkat. Tingginya biaya kesehatan

berdampak pada produk domestik bruto di Amerika Serikat (Trisnantoro L, 2014).

f. Inggris

Inggris memperkenalkan asuransi kesehatan nasional sejak tahun1911 dan saat

ini telah mencapai UHC. Sistemnya dikenal dengan National Health Service (NHS),

yaitu suatu sistem kesehatan yang dikelola oleh pemerintah dan sebagian besar

dananya bersumber dari pajak umum (tax-funded). NHS memberikan hampir semua

jenis pelayanan kesehatan secara gratis, kecuali pembayaran obat yang diresepkan

(prescription drug), pengobatan gigi, dan mata.

5.3 Pembiayaan Kesehatan Indonesia

Pasal 28 H ayat (1) UUD NKRI Tahun 1945 menyatakan bahwa setiap penduduk

berhak atas pelayanan kesehatan dan negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas

27
pelayanan kesehatan bagi seluruh warga negaranya. Pembiayaan kesehatan di Indonesia

bertujuan untuk menyediakanpembiayaan kesehatan yang berkesinambungan dengan

jumlah yang mencukupi, teralokasi secara adil, dan termanfaatkanuntuk menjamin

terselenggaranya pembangunan kesehatan.

a. Perjalanan Indonesia Menuju UHC

sebagai bentuk reformasi kesehatan dan untuk mewujudkan jaminan kesehatan

bagi seluruh penduduk (UHC) sesuai amanat UUD 1945, dibentuklah Undang-

Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang sistem jaminan sosial nasional (UU SJSN)

dan undang-undang nomor 24 Tahun 2011 tentang badan penyelenggara jaminan

sosial (UU BPJS). Berdasarkan UU tersebut, pemerintah meluncurkan program

Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada awal 2014 dengan target UHC tercapai

dalam waktu lima tahun. Model pembayaran biaya pelayanan kesehatan dibedakan

menjadi dua sistem, yaitu sistem kapitasi dan Indonesia Case Base Groups (INA

CBGs). Sistem kapitasi diterapkan dalam sistem pembayaran ke Fasilitas Kesehatan

Tingkat Pertama (FKTP). Penerapan Model Pembayaran INA-CBGs dilakukan untuk

Fasilitas Kesehatan Rujukan Tungkat Lanjutan (FKRTL). Pada pelaksanaan

Jamkesmas, pembayaran klaim tahun 2009 sampai dengan akhir 2010 dilakukan

berdasarkan INA-DRGs, sedangkan pada akhir 2010 sampai sekarang dilakukan

dengan menggunakan INA-CBGs yang merupakan pengembangan dari sistem

Indonesia Diagnosis Related Group (INA-DRGs).

b. Defisit Pembiayaan JKN

Memasuki tahun ketujuh program JKN telah mencakup 223,4 juta jiwa atau

83% dari jumlah penduduk di Indonesia. Pemanfaatan program JKN juga terus

mengalami peningkatan. Hal ini menunjukkan program JKN telah menjadi bagian dari

sistem kesehatan nasional yang dibutuhkan masyarakat. Peningkatan jumlah peserta

28
diikuti dengan naiknya biaya pelayanan kesehatan yang menjadi beban program JKN.

Tercatat bahwa sejak 2015-2019, terdapat kenaikan biaya pelayanan kesehatan

sebesar 107%, terutama pada pelayanan kesehatan tingkat lanjutan.

c. Menciptakan Ruang Fiskal Lain dalam Pembiayaan Kesehatan di Indonesia

Menciptakan ruang fiskal dengan melibatkan peran swasta perlu terus

dilakukan (public private partnership). Misalnya, salah satu sumber ruang fiskal

yang spesifik untuk kesehatan adalah pinjaman dan hibah dari organisasi

internasional, seperti The Global Fund for AIDS, Tuberculosis, and Malaria

(GFATM) dan Aliansi GAVI. Selain itu, perpajakan alkohol dan konsumsi rokok

bisa dialokasikan menjadi pendapatan langsung untuk anggaran kesehatan.

d. Redefinisi KDK dan Kelas Standar dalam Program JKN

Pelayanan dasar diatur dalam PP No. 2 Tahun 2018 Tentang Standar

Pelayanan Minimal (SPM) dengan lingkup pelayanan yang telah diatur dalam

Permenkes No. 4 Tahun 2019 tentang Standar Teknis Pemenuhan Mutu Pelayanan

Dasar pada Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan yang memuat jenis dan

mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan Pemerintah Wajib yang berhak

diperoleh setiap warga negara. Penerapan SPM bidang kesehatan tidak dapat terpisah

dengan penyelenggaraan program JKN.

5.4 Pembiayaan Kesehatan saat Pandemi COVID-19

Keputusan Menteri Keuangan No: 6/KM.7/2020 tentang Penyaluran Dana

Alokasi Khusus (DAK) Fisik Bidang Kesehatan dan Bantuan Operasional Kesehatan

(BOK) dalam rangka pencegahan dan/ atau Penanganan COVID-19 merekomendasikan

daerah untuk menggunakan DAK Fisik dan Non-fisik untuk pencegahan dan/ atau

penanganan COVID-19 melalui revisi rencana kegiatan. Namundalam hal lainnya, jika

29
penanganan COVID-19 menggunakan DAK Fisik, ini akan menyebabkan perubahan

pada rencana kegiatan yang telah disusun sebelumnya. Hal ini akan dapat berpotensi

mengganggu kegiatan di bidang pelayanan kesehatan dasar, pelayanan kesehatan

rujukan, dan penguatan intervensi stunting di daerah yang menjadi program Prioritas

Nasional 2020.

5.5 Penutup

Reformasi kesehatan bertujuan untuk peningkatan efisiensi, peningkatan kualitas

pelayanan kesehatan, pemerataan pelayanan kesehatan, serta mencari inovasi atau

sumber pembiayaan barudalam pelayanan kesehatan. Reformasi menyeluruh program

jaminan kesehatan dirasakan krusial karena peraturan pelaksanaanyang berlaku masih

bersifat parsial dan tumpang-tindih dan manfaat program yang belum optimal.

30

Anda mungkin juga menyukai