Anda di halaman 1dari 56

TUGAS EKONOMI KESEHATAN

SISTIM PEMBIAYAAN KESEHATAN DI INDONESIA


DAN NEGARA BERKEMBANG LAINNYA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pembiayaan kesehatan merupakan bagian penting dalam proses
pelayanan kesehatan, dimana proses tersebut menjadi bagian
sesorang dalam memilih suatu pelayananan kesehatan. Pada saat ini
terdapat beberapa skema pembiayaan pelayanan kesehatan yaitu 1).
Melalui Pemerintah (Penarikan pajak langsung dan pajak tidak
langsung), 2). Melalui skema pihak ketiga (asuransi sosial dan asuransi
swasta), dan 3). Pembayaran langsung tunai masyarakat
(OOP)pembayaran yang bersifat pribadi atau pembiayaan dari
asuransi.
World Bank (2019) menyebutkan tiga pilar utama yang
harus dikedepankan dalam pembiayaan Kesehatan, yaitu
kecukupan (sufficiency), pengalokasian anggaran yang efisien dan
efektif (efficiency and effectiveness), dan pembiayaan kesehatan
yang keberlanjutan (sustainability). Sistem pembiayaan kesehatan
sangat bervariasi di tiap negara. Hal ini bergantung pada bagaimana
kemampuan pemerintah menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan
dan asuransi kesehatan di negaranya. Selain itu, perbedaan
karakteristik penduduk, pendapatan negara, ekonomi, dan geografis
juga menjadi faktor yang diperhitungkan bagi suatu negara dalam
menentukan sistem pembiayaan kesehatan. Beberapa negara di dunia
telah memiliki pengalaman tersendiri untuk mencapai UHC, misalnya
Malaysia, Thailand, Taiwan, Jepang, Amerika Serikat, dan Inggris
Pada Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40
Sistem kesehatan di setiap negara sangat bervariasi, tetapi
seseorang memiliki tujuan yang sama yaitu untuk meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat. Setiap negara memiliki pro dan kontra dari
setiap sistem kesehatan yang telah diterapkan. Keberhasilan sistem
kesehatan suatu negara tergantung pada semangat, dedikasi,
ketekunan, kerja keras, kerja tim yang baik, kemampuan (Sumber Daya
Manusia, fasilitas), ketulusan penyelenggara, serta partisipasi
masyarakat dalam rangka mencapai Cakupan Kesehatan Universal
dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang lebih baik. Di
negara Indonesia dan negara berkembang lainnya memiliki sistem
pembiayaan yang berbeda, pada model sistem pembiayaan. Hal
tersebut mendasari untuk penyusunan makalah tentang Perbedaan
Sistem Pembiayaan Kesehatan di Indonesia dan negara berkembang
lainnya. Sistem pembiayaan kesehatan yang baik yaitu mengumpulkan
dana yang memadai untuk kesehatan, mencari cara yang memastikan
orang dapat menggunakan layanan yang dibutuhkan, dan dilindungi
dari bencana keuangan atau pemiskinan akibat pembayaran layanan
kesehatan. Hal tersebut juga memberikan insentif bagi penyedia dan
pengguna untuk efisien (WHO, 2007).

1.2. Tujuan
1. Tujuan Umum
Menjelaskan perbedaan Sistem Pembiayaan Kesehatan di
Indonesia dan negara berkembang lainnya

2. Tujuan Khusus
a. Menjelaskan sistem pembiayaan kesehatan di Indonesia
b. Menjelaskan sistem pembiayaan kesehatan pada negara
berkembang di sekitar indonesia
c. Menganalisis perbedaan sistem pembiayaan kesehatan di
Indonesia dan di negara berkembang lainya
1.3. Rumusan Masalah
Apa perbedaan Sistem Pembiayaan Kesehatan di Indonesia dan
negara berkembang lainnya?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biaya Kesehatan


Biaya kesehatan dibagi menjadi dua perspektif (Azwar, 1996):
perspektif penyedia layanan kesehatan dan perspektif pengguna jasa.
• Dari perspektif penyedia layanan kesehatan, biaya kesehatan merupakan
sejumlah uang yang harus disiapkan dalam menyelenggarakan layanan
kesehatan. Layanan kesehatan bisa dilaksanakan oleh pihak pemerintah
dan swasta. Adapun dana yang disiapkan oleh penyedia layanan
kesehatan berupa biaya investasi (investment cost) dan biaya operasional
(operasional cost). Dana tersebut digunakan untuk menyelenggarakan
upaya kesehatan.
• Dari perspektif pengguna jasa, biaya kesehatan merupakan sejumlah
dana yang harus disiapkan ketika menggunakan layanan kesehatan.
Besaran dana yang digunakan oleh pemakai jasa pelayanan kesehatan
berasal dari kantong pribadi individu (out of pocket). Biaya kesehatan
memiliki beragam jenis dan peruntukan. Hal ini disesuaikan dengan jenis
dan kompleksitas pelayanan kesehatan yang dimanfaatkan.
Secara umum, terdapat dua jenis biaya kesehatan (Azwar, 1996): biaya
pelayanan kedokteran dan biaya pelayanan kesehatan masyarakat.
• Biaya pelayanan kedokteran adalah dana yang dikeluarkan untuk
pengobatan dan pemulihan kesehatan pasien,
• Biaya pelayanan kesehatan masyarakat dibutuhkan dalam
menyelenggarakan pelayanan kesehatan masyarakat. Biaya ini bertujuan
mencegah penyakit, memelihara, dan meningkatkan kesehatan
masyarakat.
2.2 Pembiayaan Kesehatan
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization
(2000), pembiayaan kesehatan mengacu pada fungsi sistem kesehatan yang
berkaitan dengan pengumpulan, alokasi, dan mobilisasi dana untuk memenuhi
kebutuhan kesehatan masyarakat, secara individu dan kolektif. Dalam sistem
kesehatan, tujuan pembiayaan kesehatan adalah menyediakan pendanaan dan
menetapkan insentif atau pembiayaan bagi penyedia layanan, serta memastikan
semua individu memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan masyarakat secara
efektif. Lebih lanjut lagi, WHO menjelaskan bahwa pembiayaan kesehatan
mengacu pada bagaimana menggunakan sumber daya keuangan untuk
memastikan bahwa sistem kesehatan dapat memenuhi kebutuhan kesehatan
setiap orang secara kolektif & memadai
Pada kondisi yang sangat ekstrem, ketidaktersediaan pendanaan
kesehatan akan menyulitkan layanan kesehatan, pengobatan, pelaksanaan
program, pencegahan, dan promosi kesehatan. Pembiayaan bukan hanya sekadar
menghasilkan pendanaan, melainkan negara mampu memantau dan mengevaluasi
pembiayaan untuk sistem kesehatan dengan menggunakan berbagai indikator.
Pembiayaan kesehatan bukan hanya membahas cara meningkatkan dana
pelayanan kesehatan, melainkan juga mencakup alokasi pendanaan yang ada.
Pengumpulan, penyediaan, dan pembelanjaan keuangan digunakan untuk
pelayanan kesehatan yang bersifat Usaha Kesehatan Masyarakat (UKM) dan
Usaha Kesehatan Perorangan (UKP). Hal ini dilakukan dengan memobilisasi dana
dari masyarakat, pemerintah, dan public-private mix. Pembiayaan bagi masyarakat
miskin umumnya ditanggung oleh pemerintah, sedangkan pembiayaan untuk
masyarakat mampu bersumber dari masyarakat itu sendiri melalui mekanisme
jaminan kesehatan, baik secara wajib maupun sukarela
Pembiayaan kesehatan dianggap baik jika memenuhi empat komponen:
• pertama, biaya kesehatan tersedia dalam jumlah yang cukup dan
masyarakat dapat memanfaatkan layanan kesehatan dengan mudah.
• kedua, penyebaran dana harus sesuai dengan kebutuhan.
• ketiga, pemanfaatan dana harus diatur secara saksama.
• keempat, pengelolaan biaya kesehatan hendaklah meningkatkan efektivitas
dan efisiensi.
Namun, pelaksanaan di lapangan tidaklah demikian. Masalah yang kontradiktif
masih sering terjadi, dari jumlah dana yang masih terbatas, penyebaran atau
alokasi dana yang tidak sesuai, pemanfaatan dana yang tidak tepat, pengelolaan
dana yang belum baik, hingga biaya kesehatan yang terus meningkat.

2.2.1 Tujuan Sistem Pembiayaan Kesehatan


Pembiayaan kesehatan yang kuat, stabil dan berkesinambungan memegang
peranan yang amat vital untuk penyelenggaraan pelayanan kesehatan dalam
rangka mencapai berbagai tujuan penting dari pembangunan kesehatan di
suatu negara diantaranya adalah pemerataan pelayanan kesehatan dan akses
(equitable access to health care) dan pelayanan yang berkualitas (assured
quality). Oleh karena itu reformasi kebijakan kesehatan di suatu negara
seyogyanya memberikan fokus penting kepada kebijakan pembiayaan
kesehatan untuk menjamin terselenggaranya kecukupan (adequacy),
pemerataan (equity), efisiensi (efficiency) dan efektifitas (effectiveness) dari
pembiayaan kesehatan itu sendiri. (Departemen Kesehatan RI, 2004).

2.2.2 Model Sistem Pembiayaan Kesehatan


Berikut beberapa macam model pembiayaan kesehatan yang dapat diadopsi
oleh beberapa negara (Setyawan, 2018):
1. Pembiayaan secara langsung (direct payments by patients)
Setiap individu mengeluarkan biaya secara langsung berdasarkan tingkat
penggunaan layanan kesehatan yang diterima. Model pembiayaan ini dapat
mendorong penggunaan layanan kesehatan secara lebih hati-hati. Kondisi
ini melahirkan kompetisi antara penyedia layanan kesehatan dalam
menarik perhatian konsumen (free market). Walaupun hal ini tampak sehat,
transaksi kesehatan menjadi tidak seimbang. Konsumen tidak mampu
memahami dengan baik akan kebutuhan kesehatan dan masalah
kesehatan yang dimiliki. Seluruhnya dikontrol oleh penyedia layanan
kesehatan. Hal ini dapat menimbulkan inefisiensi dan pemakaian terapi
secara berlebihan.
2. Pembayaran oleh pengguna (user payments)
Pasien membayar layanan kesehatan secara langsung, baik kepada
pemerintah maupun swasta. Besaran dan mekanisme pembayaran telah
diatur secara formal oleh penyedia layanan kesehatan dan pemerintah.
Pada kondisi yang lebih kompleks, besaran biaya setiap kunjungan dapat
berbeda-beda sesuai dengan jasa pelayanan kesehatan yang diberikan
(misalnya untuk pelayanan kesehatan di fasilitas swasta). Besaran biaya
per episode ketika sakit bersifat tetap atau flat rate.

3. Pembiayaan berbasis tabungan (saving-based)


Pengeluaran biaya kesehatan individu didasarkan pada tingkat
penggunaannya. Individu memperoleh bantuan dalam pengumpulan dana
dalam bentuk tabungan. Ketika dibutuhkan, individu tersebut dapat
memakai dana tersebut. Model ini dapat meng-cover biaya pelayanan
kesehatan yang bersifat primer dan lanjutan, tetapi individu akan
mengalami kesulitan membiayai pelayanan yang bersifat kronis dan
kompleks. Oleh sebab itu, perlu model pembiayaan lain untuk mendukung
model ini dalam menanggung biaya kesehatan yang kompleks dan populasi
yang lebih luas.

4. Pembiayaan informal.
Model ini tidak mengatur besaran, jenis, dan mekanisme pembayaran.
Besaran biaya disesuaikan dengan kesepakatan antara penyedia dan
pengguna layanan kesehatan. Umumnya penyedia layanan kesehatan
lebih dominan dalam pengaturannya. Selain uang, barang dapat digunakan
sebagai alat tukar untuk memperoleh pelayanan kesehatan, misalnya dari
penyedia layanan kesehatan mantri atau pengobatan tradisional. Model ini
biasanya diadopsi oleh negara-negara berkembang yang belum memiliki
sistem kesehatan yang mampu melindungi seluruh masyarakatnya.
5. Pembiayaan berbasis-asuransi (insurance-based)
Dalam model ini individu tidak membiayai pelayanan kesehatan secara
langsung, tetapi terjadi pengalihan risiko kesakitan seseorang menjadi
risiko kelompok. Selain itu, terjadi pembagian risiko biaya secara adil. Biaya
pelayanan kesehatan disesuaikan dengan perhitungan dan akan
ditanggung dari dana yang telah dikumpulkan bersama. Individu membayar
premi dengan mekanisme pembayaran yang diatur oleh organisasi
pengelola dana asuransi.
BAB III
PEMBAHASAN

3.1. SISTEM PEMBIAYAAN KESEHATAN DI INDONESIA


Indonesia sebagai negara yang memiliki falsafah dan dasar negara
Pancasila terutama sila ke-5, mengakui hak asasi warga atas kesehatan. Hak
ini juga termaktub dalam UUD 45 pasal 28H dan pasal 34, dan diatur dalam
UU No. 23/1992 yang kemudian diganti dengan UU 36/2009 tentang
Kesehatan. Dalam UU 36/2009 ditegaskan bahwa setiap orang mempunyai
hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang
kesehatan dan memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan
terjangkau. Sebaliknya, setiap orang juga mempunyai kewajiban turut serta
dalam program jaminan kesehatan sosial.
Untuk mewujudkan komitmen global dan konstitusi di atas, pemerintah
bertanggung jawab atas pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat melalui
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Usaha ke arah itu sesungguhnya telah
dirintis pemerintah dengan menyelenggarakan beberapa bentuk jaminan
sosial di bidang kesehatan, diantaranya adalah melalui PT Askes (Persero)
dan PT Jamsostek (Persero) yang melayani antara lain pegawai negeri sipil,
penerima pensiun, veteran, dan pegawai swasta. Untuk masyarakat miskin
dan tidak mampu, pemerintah memberikan jaminan melalui skema Jaminan
Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan Jaminan Kesehatan Daerah
(Jamkesda).
Namun demikian, skema-skema tersebut masih terfragmentasi,
terbagi-bagi. Biaya kesehatan dan mutu pelayanan menjadi sulit terkendali.
Untuk mengatasi hal itu, pada 2004, dikeluarkan Undang-Undang No.40
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). UU 40/2004 ini
mengamanatkan bahwa jaminan sosial wajib bagi seluruh penduduk termasuk
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui suatu Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS). Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 juga
menetapkan, Jaminan Sosial Nasional akan diselenggarakan oleh BPJS, yang
terdiri atas BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Khusus untuk
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) akan diselenggarakan oleh BPJS
Kesehatan yang implementasinya dimulai 1 Januari 2014.
Sejak 2004, anggaran pemerintah untuk kesehatan telah meningkat
secara signifikan. Hal ini terjadi karena kebijakan pembiayaan kesehatan
pemerintah yang lebih fokus untuk mengurangi risiko keuangan dari
pengeluaran perawatan kesehatan, khususnya untuk kelompok miskin.
Peningkatan anggaran ini juga diamanatkan oleh UU Kesehatan, yang
menetapkan bahwa alokasi anggaran pemerintah secara nasional setidaknya
harus berjumlah 5% dari total anggaran pemerintah pusat (APBN); sementara
untuk anggaran daerah (APBD) alokasi untuk kesehatan minimal berjumlah
10%. Berdasarkan persyaratan hukum itu, pemerintah telah menambah alokasi
anggaran untuk perawatan kesehatan secara nasional hingga 5% dari total
pemerintah anggaran pada 2016. Jumlahnya diperkirakan sekitar 109 Triliun
Rupiah (Mahendradhata et al., 2017).
Pada APBN Tahun Anggaran (TA) 2022, alokasi anggaran untuk
kesehatan adalah sebesar Rp256 triliun atau 9,4 persen dari total belanja
negara yaitu Rp2.714,2 triliun. Pemanfaatan anggaran kesehatan tahun 2022
diarahkan untuk program vaksinasi, penguatan 3T (testing, tracing, and
treatment), klaim biaya perawatan pasien Covid-19, penyediaan obat, dan
insentif tenaga kesehatan. Upaya akselerasi program vaksinasi juga akan
menjadi fokus pemerintah untuk mewujudkan herd immunity (Kementerian
Keuangan RI, 2021)
Sumber pendanaan kesehatan di Indonesia berasal dari APBN, APBD,
dana swasta, out of pocket, hibah, dan donor dari perusahaan ataupun luar
negeri. Sumber dana tersebut dialokasikan untuk membiayai program dan
kegiatan di bidang kesehatan, baik bersifat fisik maupun nonfisik.

3.1.1. Asuransi Kesehatan Sosial (Jaminan Kesehatan Nasional-JKN)


Beberapa pengertian yang patut diketahui terkait dengan asuransi tersebut
adalah:
a. Asuransi sosial merupakan mekanisme pengumpulan iuran yang
bersifat wajib dari peserta, guna memberikan perlindungan kepada
peserta atas risiko sosial ekonomi yang menimpa mereka dan atau
anggota keluarganya (UU SJSN No.40 tahun 2004).
b. Sistem Jaminan Sosial Nasional adalah tata cara penyelenggaraan
program Jaminan Sosial oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS) Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.
c. Jaminan Sosial adalah bentuk perlindungan sosial untuk menjamin
seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang
layak.
Dengan demikian, Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang
dikembangkan di Indonesia merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN). Sistem Jaminan Sosial Nasional ini diselenggarakan melalui
mekanisme Asuransi Kesehatan Sosial yang bersifat wajib (mandatory)
berdasarkan Undang-Undang No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional. Tujuannya adalah agar semua penduduk Indonesia
terlindungi dalam sistem asuransi, sehingga mereka dapat memenuhi
kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak
Kelebihan sistem asuransi sosial dibandingkan dengan asuransi
komersial antara lain:
3.1.2. Prinsip-prinsip Jaminan Kesehatan Nasional
Jaminan Kesehatan Nasional mengacu pada prinsip-prinsip Sistem Jaminan
Sosial Nasional (SJSN) berikut:
o Prinsip kegotongroyongan
Gotong royong sesungguhnya sudah menjadi salah satu prinsip dalam
hidup bermasyarakat dan juga merupakan salah satu akar dalam
kebudayaan kita. Dalam SJSN, prinsip gotong royong berarti peserta yang
mampu membantu peserta yang kurang mampu, peserta yang sehat
membantu yang sakit atau yang berisiko tinggi, dan peserta yang sehat
membantu yang sakit. Hal ini terwujud karena kepesertaan SJSN bersifat
wajib untuk seluruh penduduk, tanpa pandang bulu. Dengan demikian,
melalui prinsip gotong- royong jaminan sosial dapat menumbuhkan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

o Prinsip nirlaba
Pengelolaan dana amanat oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS) adalah nirlaba bukan untuk mencari laba (for profit oriented).
Sebaliknya, tujuan utama adalah untuk memenuhi sebesar-besarnya
kepentingan peserta. Dana yang dikumpulkan dari masyarakat adalah
dana amanat, sehingga hasil pengembangannya, akan di manfaatkan
sebesar-besarnya untuk kepentingan peserta. Prinsip keterbukaan, kehati-
hatian, akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas. Prinsip prinsip manajemen
ini mendasari seluruh kegiatan pengelolaan dana yang berasal dari iuran
peserta dan hasil pengembangannya.

o Prinsip portabilitas
Prinsip portabilitas jaminan sosial dimaksudkan untuk memberikan
jaminan yang berkelanjutan kepada peserta sekalipun mereka berpindah
pekerjaan atau tempat tinggal dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
o Prinsip kepesertaan bersifat wajib
Kepesertaan wajib dimaksudkan agar seluruh rakyat menjadi peserta
sehingga dapat terlindungi. Meskipun kepesertaan bersifat wajib bagi
seluruh rakyat, penerapannya tetap disesuaikan dengan kemampuan
ekonomi rakyat dan pemerintah serta kelayakan penyelenggaraan
program. Tahapan pertama dimulai dari pekerja di sektor formal,
bersamaan dengan itu sektor informal dapat menjadi peserta secara
mandiri, sehingga pada akhirnya Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)
dapat mencakup seluruh rakyat.

o Prinsip dana amanat


Dana yang terkumpul dari iuran peserta merupakan dana titipan kepada
badan-badan penyelenggara untuk dikelola sebaik-baiknya dalam rangka
mengoptimalkan dana tersebut untuk kesejahteraan peserta.

o Prinsip hasil pengelolaan


Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan
program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta

3.1.3. Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional


3.4.1 Kepesertaan
Beberapa pengertian yang menjelaskan tentang kepesertaan :
o Peserta adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja
paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah membayar
Iuran.
o Pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima gaji,
upah, atau imbalan dalam bentuk lain.
o Pemberi Kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan
hukum, atau badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja,
atau penyelenggara negara yang mempekerjakan pegawai negeri
dengan membayar gaji, upah, atau imbalan dalam bentuk lainnya.
Peserta dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Penerima Bantuan Iuran (PBI) JKN
Peserta PBI Jaminan Kesehatan meliputi orang yang tergolong
fakir miskin dan orang tidak mampu. Peserta yang mengalami
cacat total tetap dan tidak mampu, iurannya dibayar oleh
Pemerintah.

b. Bukan PBI JKN


Peserta yang tidak tergolong fakir miskin dan orang tidak
mampu yang terdiri atas:
1) Pekerja Penerima Upah dan anggota keluarganya, yaitu:
a) Pegawai Negeri Sipil;
b) Anggota TNI;
c) Anggota Polri;
d) Pejabat Negara;
e) Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri;
f) Pegawai Swasta; dan
g) Pekerja yang tidak termasuk huruf a sampai dengan
huruf f yang menerima Upah.

2) Pekerja Bukan Penerima Upah dan anggota keluarganya,


yaitu:
a) Pekerja di luar hubungan kerja atau Pekerja mandiri
b) Pekerja yang tidak termasuk huruf a yang bukan
penerima Upah.
c) Pekerja sebagaimana dimaksud huruf a dan huruf b,
termasuk warga negara asing yang bekerja di
Indonesia paling singkat 6 (enam) bulan.

3) Bukan Pekerja dan anggota keluarganya terdiri atas:


a) Investor;
b) Pemberi Kerja;
c) Penerima Pensiun;
d) Veteran;
e) Perintis Kemerdekaan;
f) Bukan Pekerja yang tidak termasuk huruf a sampai
dengan huruf e yang mampu membayar Iuran.

4) Penerima pensiun terdiri atas:


a) Pegawai Negeri Sipil yang berhenti dengan hak
pensiun;
b) Anggota TNI dan Anggota Polri yang berhenti dengan
hak pensiun;
c) Pejabat Negara yang berhenti dengan hak pensiun;
d) Penerima Pensiun selain huruf a, huruf b, dan huruf c;
e) Janda, duda, atau anak yatim piatu dari penerima
pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai
dengan huruf d yang mendapat hak pensiun.

Anggota keluarga bagi pekerja penerima upah meliputi: a.


Istri atau suami yang sah dari Peserta; dan b. Anak
kandung, anak tiri dan/atau anak angkat yang sah dari
Peserta, dengan kriteria:
1. tidak atau belum pernah menikah atau tidak
mempunyai penghasilan sendiri; dan
2. belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau belum
berusia 25 (duapuluh lima) tahun yang masih
melanjutkan pendidikan formal.
Sedangkan Peserta bukan PBI JKN dapat juga
mengikutsertakan anggota keluarga yang lain.

5) WNI di Luar Negeri


Jaminan kesehatan bagi pekerja WNI yang bekerja di luar
negeri diatur dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan tersendiri.
Prosedur pendaftaran Peserta JKN melalui mekanisme berikut
a. Pemerintah mendaftarkan PBI JKN sebagai Peserta kepada
BPJS Kesehatan.
b. Pemberi Kerja mendaftarkan pekerjanya atau pekerja dapat
mendaftarkan diri sebagai Peserta kepada BPJS Kesehatan.
c. Bukan pekerja dan peserta lainnya wajib mendaftarkan diri dan
keluarganya sebagai Peserta kepada BPJS Kesehatan.

Hak dan kewajiban Peserta JKN meliputi :


a. Setiap Peserta yang telah terdaftar pada BPJS Kesehatan
berhak mendapatkan a) identitas Peserta dan b) manfaat
pelayanan kesehatan di Fasilitas Kesehatan yang bekerja sama
dengan BPJS Kesehatan.
b. Setiap Peserta yang telah terdaftar pada BPJS Kesehatan
berkewajiban untuk: a. membayar iuran dan b. melaporkan data
kepesertaannya kepada BPJS Kesehatan dengan menunjukkan
identitas Peserta pada saat pindah domisili dan atau pindah kerja.

Masa berlaku kepesertaan dalam JKN adalah sebagai berikut :


a. Kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional berlaku selama
yang bersangkutan membayar Iuran sesuai dengan kelompok
peserta.
b. Status kepesertaan akan hilang bila Peserta tidak membayar
Iuran atau meninggal dunia.
c. Kepesertaan jaminan kesehatan tetap berlaku paling lama 6
(enam) bulan sejak seorang peserta mengalami pemutusan
hubungan kerja bagi peserta penerima upah. Dalam hal peserta
tersebut setelah 6 (enam) bulan belum memperoleh pekerjaan
dan tidak mampu, iurannya dibayar oleh Pemerintah.
3.3.2 Pembiayaan
1. Iuran
Iuran Jaminan Kesehatan adalah sejumlah uang yang dibayarkan
secara teratur oleh Peserta, Pemberi Kerja, dan/atau Pemerintah
untuk program Jaminan Kesehatan (pasal 16, Perpres No.
12/2013 tentang Jaminan Kesehatan)

2. Pembayar Iuran
• bagi Peserta PBI, iuran dibayar oleh Pemerintah.
• bagi Peserta Pekerja Penerima Upah, Iurannya dibayar
oleh Pemberi Kerja dan Pekerja.
• bagi Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta
Bukan Pekerja iuran dibayar oleh Peserta yang
bersangkutan.

3. Pembayaran Iuran
Setiap Peserta wajib membayar iuran yang besarnya
ditetapkan berdasarkan persentase dari upah (untuk pekerja
penerima upah) atau suatu jumlah nominal tertentu (bukan
penerima upah dan PBI). Setiap Pemberi Kerja wajib memungut
iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran peserta yang menjadi
tanggung jawabnya, dan membayarkan iuran tersebut setiap bulan
kepada BPJS Kesehatan secara berkala (paling lambat tanggal 10
setiap bulan). Apabila tanggal 10 (sepuluh) jatuh pada hari libur,
maka iuran dibayarkan pada hari kerja berikutnya. Keterlambatan
pembayaran iuran JKN dikenakan denda administratif sebesar 2%
(dua persen) perbulan dari total iuran yang tertunggak dan dibayar
oleh Pemberi Kerja.
Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta bukan
Pekerja wajib membayar iuran JKN pada setiap bulan yang
dibayarkan paling lambat tanggal 10 (sepuluh) setiap bulan
kepada BPJS Kesehatan. Pembayaran iuran JKN dapat dilakukan
diawal. BPJS Kesehatan menghitung kelebihan atau kekurangan
iuran JKN sesuai dengan Gaji atau Upah Peserta. Dalam hal
terjadi kelebihan atau kekurangan pembayaran iuran, BPJS
Kesehatan memberitahukan secara tertulis kepada Pemberi Kerja
dan/atau Peserta paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak
diterimanya iuran. Kelebihan atau kekurangan pembayaran iuran
diperhitungkan dengan pembayaran Iuran bulan berikutnya.

4. Cara pembayaran ke Fasilitas Kesehatan


• BPJS Kesehatan membayarkan kepada fasilitas kesehatan
tingkat pertama dengan kapitasi (sistem pembayaran kapitasi
adalah cara pembayaran oleh pengelola dana kepada
penyelenggara kesehatan primer untuk pelayanan yang
diselenggarakannya, yang besar biayanya tidak dihitung
berdasarkan jenis ataupun jumlah layanan melainkan
berdasarkan jumlah pasien yang menjadi tanggungan
(Eastaugh1981;Weeks,1979)
• Sedangkan untuk fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan
BPJS membayarkan dengan cara INA CBG’s (sistem paket)
• Jika suatu daerah tidak memungkinkan pembayaran
berdasarkan kapitasi, BPJS Kesehatan diberi wewenang
untuk melakukan pembayaran dengan mekanisme lain yang
lebih berhasil guna.
• Pelayanan gawat darurat yang dilakukan oleh fasilitas
kesehatan yang tidak menjalin kerjasama dengan BPJS
Kesehatan dibayar dengan penggantian biaya, yang
ditagihkan langsung oleh fasilitas kesehatan setara dengan
tarif yang berlaku di wilayah tersebut. •
• BPJS Kesehatan wajib membayar fasilitas kesehatan atas
pelayanan yang diberikan kepada peserta paling lambat 15
hari sejak dokumen klaim lengkap diterima.
5. Cakupan Manfaat Jaminan Sosial meliputi
Manfaat adalah faedah jaminan yang menjadi hak peserta
dan anggota keluarganya. JKN terdiri dari dua jenis, yaitu:
• Manfaat medis berupa layanan kesehatan yang tidak terikat
dengan besaran iuran yang dibayarkan dan
• manfaat non medis meliputi akomodasi dan ambulans.

Ambulans hanya diberikan untuk pasien rujukan dari fasilitas


kesehatan dengan kondisi tertentu yang diatur oleh BPJS
Kesehatan.
Manfaat JKN mencakup pelayanan promotif, preventif,
kuratif dan rehabilitatif. Termasuk pelayanan obat dan medis habis
pakai sesuai dengan kebutuhan medis. Manfaat pelayanan
preventif dan promotif meliputi:
• Penyuluhan kesehatan perorangan
• Imunisasi dasar
• Keluarga berencana
• Skrining kesehatan

Meskipun manfaat yang dijamin dalam JKN bersifat komprehensif,


masih ada manfaat yang tidak dijamin meliputi:
• Pelayanan di luar prosedur
• Pelayanan di luar fasilitas kesehatan yang tidak bekerja
sama dengan BPJS
• Pelayanan bertujuan kosmetik
• General check-up/pengobatan alternatif
• Pengobatan untuk mendapatkan keturunan
• Pelayanan kesehatan saat bencana
• Percobaan bunuh diri penyakit yang timbul akibat
kesengajaan untuk menyiksa diri/bunuh diri/narkoba.
Pelayanan kesehatan yang dijamin meliputi:
a) Pelayanan kesehatan tingkat pertama, yaitu pelayanan
kesehatan non spesialistik mencakup:
1. Administrasi kesehatan
2. Pelayanan promotif dan preventif
3. Pemeriksaan, pengobatan dan konsultasi medis
4. Tindakan medis non spesialistik, baik operatif maupun
non operatif
5. Pelayanan obat dan bahan medis habis pakai
6. Tranfusi darah sesuai kebutuhan medis
7. Pemeriksaan penunjang diagnostik laboratorium tingkat
pertama 8. Rawat inap tingkat pertama sesuai indikasi

b) Pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjutan, yaitu


pelayanan kesehatan mencakup:
1. Rawat jalan yang meliputi:
a. Administrasi pelayanan
b. Pemeriksaan, pengobatan dan konsultasi
spesialistik oleh dokter spesialistik dan subspesial
c. Tindakan medis spesialistik sesuai dengan indikasi
medis
d. Pelayanan obat dan bahan medis habis pakai
e. Pelayanan alat kesehatan implan
f. Pelayanan penunjang diagnostik lanjutan sesuai
indikasi medis
g. Rehabilitasi medis
h. Pelayanan darah
i. Pelayanan dokter forensik
j. Pelayanan jenasah di fasilitas kesehatan

2. Rawat inap yang meliputi :


a. Perawatan inap non intensif
b. Perawatan inap di ruang intensif
c. Pelayanan kesehatan lain ditetapkan oleh Menteri

Hal yang menjadi dasar dalam penerimaan manfaat disini adalah


perbedaan besaran iuran tidak akan menyebabkan perbedaan dalam
menerima layanan medis termasuk obat-obatan, tetapi yang akan menjadi
pembeda hanyalah ruangan atau kelas dalam fasilitas rawat inap.
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang telah
menghadapi berbagai perubahan dan tantangan strategis yang mendasar.
Tujuan bangsa Indonesia tertuang dalam pembukaan UUD 1945 yang
diselenggarakan melalui pembangunan nasional termasuk pembangunan
kesehatan. Dalam mendukung terlaksananya pembangunan kesehatan
memerlukan dukungan dari Sistem Kesehatan Nasional (SKN) yang kuat.
SKN menjadi sebuah acuan dalam pendekatan pelayanan kesehatan primer.
Hal ini merupakan cara pendekatan yang tepat untuk mencapai derajat
kesehatan masyarakat yang diformulasikan sebagai visi Indonesia Sehat
(Adisasmito Wiku, 2009).
Sistem Kesehatan Nasional (SKN) merupakan pengelolaan kesehatan
yang diselenggarakan oleh semua komponen bangsa Indonesia secara
terpadu dan saling mendukung guna menjamin tercapainya derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya. Untuk mencapai tujuan pembangunan
kesehatan, maka pengelolaan kesehatan dilaksanakan melalui subsistem
kesehatan yang terbagi ke dalam beberapa bagian, yaitu upaya kesehatan,
penelitian dan pengembangan kesehatan, pembiayaan kesehatan, sumber
daya manusia kesehatan, sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan,
manajemen, informasi dan regulasi kesehatan, pemberdayaan masyarakat
(Peraturan Presiden Republik Indonesia, 2012).
Sistem kesehatan suatu negara sangat dipengaruhi oleh kebijakan-
kebijakan kesehatan yang ditetapkan oleh penentu kebijakan baik pemerintah
atau swasta. Kebijakan kesehatan itu sendiri dipengaruhi oleh segitiga
kebijakan yakni konteks (faktor ekonomi, sosial budaya, politik), konten/isi,
proses pengambilan kebijakan dan aktor yang berperan (policy elites) (Buse,
Kent, et all, 2005).
SKN Indonesia memiliki 3 landasan meliputi landasan idiil yaitu
Pancasila, landasan konstitusional yaitu UUD Negara RI khususnya pasal 28
dan 34, dan landasan operasional yaitu UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan (Peraturan Presiden Republik Indonesia, 2012). World Health
Report 2000 yang berjudul Health System : Improving Performance
menetapkan tujuan normatif sistem pelayanan kesehatan, yakni (Siswanto,
2010):
a) Peningkatan status kesehatan (goodness of health)
b) Peningkatan mutu pelayanan kesehatan (responsiveness)
c) Peningkatan keadilan dalam pembiayaan kesehatan (fairness of health
financing)
Universal Coverage (cakupan semesta) merupakan suatu sistem
kesehatan yang bertujuan untuk masyarakat dalam mendapatkan akses
pelayanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan masyarakat
serta dengan biaya yang terjakau oleh masyarakat, antara lain pelayanan
kesehatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitative (Siswanto, 2010).
Cakupan semesta terbagi atas dua elemen yakni akses pelayanan
kesehatan yang adil dan bermutu dan perlindungan risiko finansial (WHO,
2005). Sedangkan cakupan semesta terkait sistem pembiayaan terbagi atas
3 kategori, yakni pembayaran tunggal (single payer), pembayaran ganda
(two-tier, dual health care system), dan sistem mandat asuransi (Murti
Bhisma, 2011).
Salah satu dampak positif dari jaminan kesehatan semesta berupa
peningkatan utilisasi pelayanan, namun diduga mengakibatkan moral hazard
dan penurunan motivasi di sisi para penyedia layanan. Masalah utama yang
ditemui biasanya adalah sustainability dari sistem berobat gratis karena
kurang diperhitungkannya kebutuhan anggaran dan lemahnya mekanisme
pengendalian biaya. Kebijakan berobat gratis bahkan dianggap hanya suatu
kebijakan yang bersifat politis untuk memenuhi ‘janji pemilu’ yang justru
merugikan sistem kesehatan (Dewi, Shita, 2013).
Tujuan perencanaan dan pengaturan pembiayaan kesehatan yang
memadai dapat membantu memobisasikan sumber pembiayan kesahatan,
mengalokasi dengan rasional serta dapat digunakan secara efektif dan
efisien. Pembiayaan kesehatan mempunyai kebijakan dengan
mengutamakan pemerataan serta berfokus pada masyarakat yang tidak
mampu (equitable and pro poor health policy) yang dapat membantu
mencapai akses kesehatan yang universal (Setyawan Budi, 2018). Sistem
kesehatan di Indonesia didukung dengan pembiayaan pemerintah yang
bersumber dari pemerintah pusat maun pemerintah daerah. Anggaran dari
pemerintah pusat disalurkan melalui Dana Alokasi Khusus (DAU), Dana
Alokasi Khusus (DAK), Dana Alokasi Khusus (DAK) non fisik, serta Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN). Sedangkan anggaran dari pemerintahan daerah
sebagai bentuk dukungan program pusat maupun untuk pembiayaan
program inovasi daerah sendiri. Pengelola sistem pembiayaan di Indonesia
terdiri dari beberapa elemen, yakni kementerian kesehatan sebagai
regulator, monitor dan mengevaluasi pelaksanaan sistem kesehatan.
Sedangkan badan pengumpul dan penyalur premi melalui kapitasi dan INA
CBG’S adalah BPJS (Dewi Shita, 2017). Permasalahan yang timbul dari
pembiayaan kesehatan antara lain kurangnya dana serta adanya
peningkatan dana. Kekurangan dana terjadi karena terdapatnya inefisiensi
dalam pengelolaan pembiayaan dan alokasi dana yang salah. Sedangkan
yang dimaksud peningkatan biaya yaitu adanya trend peningkatan teknologi
kedokteran sebagai penegak diagnosis (evidence bases) yang
menyebabkan konsekuensi biaya, serta tren suppy induce demand yang
banyak marak sekarang ini (Trisnantoro L, 2014). Selain itu, dominasi
pembiayaan dengan mekanisme fee for service, dan masih kurangnya dalam
mengalokasikan sumber-sumber dan pelayanan itu sendiri (poor
management of sesources and services) (Depkes, 2009).
Sistem Kesehatan di Indonesia untuk sekarang sudah menuju ke arah
yang lebih baik, meskipun masih banyak terdapat banyak macam kendala.
Hal ini dapat dilihat dari terdapatnya peningkatan status kesehatan
masyarakat. Akan tetapi, meskipun terjadi peningkatan status kesehatan
masyarakat, namun masih diperlukan upaya percepatan pencapaian
indikator kesehatan dalam rangka mengejar ketertinggalan dari negara lain,
sehingga SKN masih perlu terus dilakukan evaluasi dan perbaikan. Akses
pelayanan kesehatan yang adil menggunakan prinsip keadilan vertikal.
Prinsip keadilan vertikal menegaskan, kontribusi warga dalam pembiayaan
kesehatan ditentukan berdasarkan kemampuan membayar (ability to pay),
bukan berdasarkan kondisi kesehatan/ kesakitan seorang. Dengan keadilan
vertikal, orang berpendapatan lebih rendah membayar biaya yang lebih
rendah daripada orang berpendapatan lebih tinggi untuk pelayanan
kesehatan dengan kualitas yang sama. Dengan kata lain, biaya tidak boleh
menjadi hambatan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang
dibutuhkan (needed care, necessary care) (Murti Bhisma, 2011).

3.1.2 Asuransi Kesehatan


Dalam kamus atau perbendaharaan kata bangsa Indonesia, tidak
dikenal kata asuransi, yang dikenal adalah istilah “jaminan” atau
“tanggungan”. Dalam konteks asuransi kesehatan, pengertian asuransi
adalah memastikan seseorang yang menderita sakit akan mendapatkan
pelayanan yang dibutuhkannya tanpa harus mempertimbangkan keadaan
ekonominya. Ada pihak yang menjamin atau menanggung biaya pengobatan
atau perawatannya. Pihak yang menjamin ini dalam bahasa Inggris disebut
insurer atau dalam UU Asuransi disebut asuradur. Asuransi merupakan
jawaban atas sifat ketidak-pastian (uncertain) dari kejadian sakit dan
kebutuhan pelayanan kesehatan. Untuk memastikan bahwa kebutuhan
pelayanan kesehatan dapat dibiayai secara memadai, maka seseorang atau
kelompok kecil orang melakukan transfer risiko kepada pihak lain yang
disebut insurer/asuradur, ataupun badan penyelenggara jaminan. (Thabrany
H, 2001).
Menurut pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD),
asuransi mempunyai pengertian sebagai berikut: Asuransi atau
pertanggungan adalah suatu persetujuan dimana penanggung kerugian diri
kepada tertanggung, dengan mendapat premi untuk mengganti kerugian
karena kehilangan kerugian atau tidak diperolehnya suatu keuntungan yang
diharapkan, yang dapat diderita karena peristiwa yang tidak diketahui lebih
dahulu. (Andreas, 2009).
Definisi asuransi menurut Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 2 Tahun 1992 adalah Asuransi atau Pertanggungan adalah perjanjian
antara dua pihak atau lebih, dimana pihak penanggung mengikatkan diri
kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan
penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggungjawab hukum
kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul
dari suatu peristiwa yang tidak pasti atau untuk memberikan suatu
pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang
dipertanggungkan. (Andreas, 2009).
Pada umumnya model asuransi mendorong munculnya apa yang
disebut sebagai moral hazard:
a. Dari sisi tertanggung (pasien): adanya kecenderungan untuk
memaksimalkan pelayanan kesehatan karena semua biaya akan ditanggung
asuransi, dan kecenderungan untuk tidak melakukan tindakan preventif
b. Dari sisi provider: mempunyai kecenderungan untuk memberikan
terapi secara berlebihan untuk memaksimalkan pendapatan. Sehingga
beberapa skema asuransi diatur sedemikian rupa untuk mengurangi
terjadinya moral hazard, misalnya dengan mengatur batasan paket
pelayanan, mengatur besaran kontribusi sesuai dengan tingkat resiko
tertanggung. Sistem ini dapat dibedakan menjadi asuransi yang bersifat
umum yaitu mencakup semua golongan dan asuransi yang bersifat khusus
untuk kelompok masyarakat tertentu. Sifat asuransi dapat dijelaskan sebagai
berikut:

3.1.2.1 Asuransi bersifat umum


a. General taxation General taxation
Merupakan model dimana sumber pembiayaan diambil dari pajak
pendapatan secara proporsional dari seluruh populasi yang
kemudian dialokasikan untuk berbagai sektor (tidak terbatas
pelayanan kesehatan). Alokasi pada sektor kesehatan biasanya
berupa budget pada fasilitas kesehatan dan gaji staf kesehatan.
Meskipun mempunyai cakupan yang luas, keberhasilan sistem ini
tergantung pada tingkat pendapatan masyarakat dan angkatan
kerja, besaran alokasi pada pelayanan kesehatan dan sistem
penarikan pajak. Rendahnya pendapatan masyarakat (ekonomi
negara) akan menurunkan nilai pajak, alokasi biaya pada
pelayanan kesehatan sehingga mendorong rendahnya cakupan
dan mutu pelayanan sehingga pada akhirnya biaya pelayanan
kesehatan akan kembali ditanggung langsung oleh individu.

b. Earmarked Payroll tax


Sistem ini memiliki karakteristik yang hampir serupa dengan
general taxation hanya saja penarikan pajak dialokasikan langsung
bagi pelayanan kesehatan sehingga lebih bersifat transparan dan
dapat mendorong kesadaran pembayaran pajak karena kejelasan
penggunaan.

3.1.2.2 Asuransi Bersifat Khusus


Dibandingkan dengan sistem umum, asuransi selektif mempunyai
perbedaan dalam hal kontribusi dan tanggungan hanya ditujukan
pada suatu kelompok tertentu dengan paket pelayanan yang telah
ditetapkan.
i. Social insurance Social insurance
karakteristik khusus yang membedakan dengan private insurance,
yaitu:
a. Keanggotaan bersifat wajib
b. Kontribusi (premi) sesuai dengan besaran gaji
c. Cakupan pelayanan kesehatan yang diasuransikan sesuai
dengan besaran kontribusi
d. Pelayanan dirupakan dalam bentuk paket
e. Dikelola oleh organisasi yang bersifat otonom
f. Biasanya merupakan bagian dari sistem jaminan sosial yang
berskala luas
g. Umumnya terjadi cross subsidi
ii. Voluntary community
Perbedaan utama sistem ini dengan asuransi sosial adalah
keanggotaan yang bersifat sukarela serta skala cakupan
tertanggung yang lebih sempit. Biasanya asuransi ini berkembang
pada kelompok masyarakat yang tidak tertanggung oleh asuransi
sosial yaitu kelompok yang tidak memiliki pekerjaan formal, yang
tidak memungkinkan untuk dilakukan penarikan kontribusi rutin
dari penghasilan. Contoh penerapan dari sistem ini adalah kartu
sehat/kartu gakin yang dikembangkan pemerintah daerah dan
ditujukan pada kelompok tertentu (masyarakat miskin).

iii. Private Insurance


Perbedaan utama private insurance dan social insurance adalah
tidak adanya risk pooling dan bersifat voluntary. Disamping itu
private insurance juga memperhitungkan resiko kesakitan individu
dengan besaran premium dan cakupan pelayanan asuransi yang
diberikan. Artinya individu yang lebih beresiko sakit misalnya
kelompok rentan (bayi, ibu hami, lansia), orang dengan perilaku
tertentu misalnya perokok, dan orang dengan pekerjaan yang
beresiko akan dikenakan premi yang lebih tinggi dibandingkan
kelompok yang dengan resiko rendah. Model ini tentunya
mempunyai mekanisme lebih rumit mengingat harus
memperhitungkan tingkat resiko tertanggung. Model private
insurance mungkin bersifat profit yaitu mencari keuntungan untuk
pengelolaan dan pemilik, atau menggunakan keuntungan untuk
mengurangi besaran premi tertanggung. Bentuk private insurance
dapat berupa lembaga asuransi swasta atau NGO bagi umum
maupun asuransi kelompok khusus seperti asuransi pekerja

iv. Funding/Donation
Seluruh sistem pembiayaan yang telah diuraikan diatas menganut
keterkaitan antara pengguna jasa pelayanan kesehatan atau
tertanggung dan penggunaan jasa pelayanan kesehatan. Model
funding tidak ditujukan langsung pada kelompok individu tetapi
lebih pada program kesehatan misalnya bantuan alat kesehatan,
pelatihan atau perbaikan fasilitas pelayanan kesehatan.
Permasalahan yang sering muncul adalah ketidaksesuaian
program funding dengan kebutuhan atau kesalahan pengelolaan
oleh negara. Disamping itu sumber dana dari funding tentu saja
tidak dapat diandalkan keberlangsungannya. Berdasarkan
pengelolaan manajemennya, sistem pembiayaan
menggambarkan hubungan antara pasien sebagai konsumen dan
atau sumber biaya, provider/penyelenggara atau pemberi
pelayanan kesehatan (dokter, perawat atau institusi seperti rumah
sakit), pemerintah sebagai pengatur, pengelola pelayanan
kesehatan dan sumber biaya.

3.2. SISTEM PEMBIAYAAN KESEHATAN DI MALAYSIA


Malaysia dinobatkan sebagai peringkat pertama kategori sistem
kesehatan terbaik di dunia dalam Indeks Global Tahunan 2019 versi
International Living. Menurut risetnya, Malaysia unggul dalam unsur
pelayanan kesehatan dan infrastruktur canggih.
Bicara infrastruktur, memang benar ada setidaknya 13 rumah sakit
di Malaysia yang terakreditasi Joint Commission International (JCI),
sebuah standarisasi global untuk kualitas layanan kesehatan klinik atau
rumah sakit. Bisa jadi ini salah satu faktor munculnya persepsi jika berobat
ke Malaysia lebih baik. Persepsi itu tercermin dari jumlah warga negara
asing yang berobat ke Malaysia, mencapai lebih dari 800.000 setiap tahun.
Malaysia sendiri merupakan negara berpenduduk terbanyak ke 43
dan negara dengan daratan terluas ke-66 di dunia dengan jumlah penduduk
kira-kira 27 juta dan luas wilayah melebihi 320.000 km2 . Berbeda dengan
Indonesia yang melaksanakan jaminan kesehatan semesta pada tahun
2014 dan baru akan merampungkan total populasi pada tahun 2019,
negara tetangga Malaysia justru sudah melaksanakannya sejak tahun
1990an (Idris Haerawati, 2017). Namun adanya beberapa isu krusial
melibatkan kenaikan biaya, keberlanjutan jangka panjang, kenaikan pajak,
efisiensi dan harapan masyarakat akan kualitas pelayanan yang lebih
tinggi, Malaysia merubah sistem kesehatannya dari layanan kesehatan
yang sebelumnya didominasi pemerintah, saat ini justru lebih besar
melibatkan sektor swasta (Chongsuvivatwong, Virasakdi, et all, 2011).
Pada tahun 1951 Malaysia mewajibkan tabungan wajib bagi
pegawai yang nantinya dapat digunakan sebagai tabungan dihari tua.
Sedangkan warga yang tidak diwajibkan akan difasilitasi oleh sebuah
lembaga yakni EPF (Employee Provident Fund). Lembaga SOSCO (Social
Security Organization) menjamin warga yang mendapat kecelakaan kerja
atau pensiunan cacat (Purwoko Bambang, 2014).
Sistem pembiayaan kesehatan yang ada di Malaysia terdiri dari
kesehatan publik dan kesehatan privat. Sumber dana untuk kesehatan
publik berasal dari pajak masyarakat kepada pemerintah federal, anggaran
pendapatan negara, serta lembaga SOSCO dan EPF, yang mana dana
yang ada tersebut disalurkan untuk program kesehatan preventif dan
promotif. Pemerintah Malaysia menetapkan Universal Coverage untuk
program kesehatan kuratif dan rehabilitative, yang mana semua
masyarakat dijamin pelayanan kesehatannya dengan membayar iuran
sebesar 1 RM untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dari dokter
umum, sedangkan untuk pelayanan dari dokter spesialis sebesar 5 RM.
Akan tetapi sistem pembiayaan kesehatan di Malaysia ini tidak termasuk
dalam kategori penyakit berat yang membutuhkan biaya pengobatan yang
tinggi (Jaafar, Safurah Noh, et all, 2013)
Program Jaminan Sosial Malaysia ada 4 Program jaminan sosial
meliputi:
a. Employees Provident Fund (EPF)
Kumpulan Wang Simpanan Pekerja (KWSP); sebagai tabungan
dengan kepesertaan wajib bagi pekerja swasta sesuai UU KWSP tahun
1951, yang kemudian diperbarui dengan UU KWSP 1991.
Penyelenggaraan sistem jaminan sosial berorientasi pada program
tabungan wajib khususnya untuk pekerja sektor swasta Dalam hal ini
program tabungan wajib tersebut sekaligus berfungsi sebagai badan
penyelenggara yang berorientasi pada investor Lembaga. EPF
merupakan program tabungan wajib bagi pekerja. Iuran terbagi menjadi
dua, dari pekerja dan pemberi kerja. Pekerja, berkontribusi sebesar
11%, sementara kontribusi pemberi kerja 12%. Salah satu tujuan EPF
tersebut untuk dana pensiun yang bisa dinikmati pekerja setelah usia
55 tahun. Namun, selama membayar iuran EPF, pekerja punya pilihan
menentukan penggunaan dana iuran. Bisa untuk tabungan perumahan,
pembayaran tagihan biaya kesehatan, atau biaya studi.

b. Social Security Organization (Socso)


Pertumbuhan Kemalangan Sosial (Perkeso); sebagai program
asuransi kecelakaan kerja dan pensiun cacat bagi pekerja swasta.
Program Perkeso ini dimulai sejak tahun 1929 kemudian
diamendemen dengan UU Perkeso 1969. Perkeso sebagai satu-
satunya komponen asuransi sosial yang menyelenggarakan asuransi
kecelakaan kerja dan pensiun cacat untuk memberikan dana
kompensasi kepada pekerja dalam hal terjadi kemalangan sosial atau
kecelakaan dan mengalami cacat total tetap. Sedangkan untuk pekerja
yang mengalami cacat total tetap mendapatkan santunan tunai berkala
setiap bulan sampai meninggal dunia. Perkeso memulai program baru
yang diawali sejak tahun 2007 yang kita kenal dengan istilah Return-
To-Work (RTW), yaitu program kembali untuk bekerja bagi seseorang
yang mengalami cacat total tetap akibat kecelakaan kerja. Waktu itu
terdapat 7739 pekerja yang mengalami kehilangan pekerjaan karena
cacat total tetap (Socso,2013).

c. Pension System for Civil Servants (PSCS)


Kumpulan Wang Aparatur Pemerintah (KWAP); sebagai
program pensiun pegawai sipil yang dibiayai dengan APBN sesuai UU
PSCS 1951 yang kemudian diperbarui dengan UU 1970. KWAP
merupakan pensiun manfaat pasti yang hanya berlaku bagi pegawai
sipil kerajaan atau pegawai negeri sipil yang didanai sepenuhnya dari
APBN dengan basis perhitungan anggaran sebesar 17,5% dari gaji.
Dalam hal ini, pegawai sipil kerajaan sama sekali tidak dipungut iuran

d. Armed Forces Saving Board (AFSB)


Lembaga Tabung Angkatan Tentara (LTAT); sebagai program
pensiun personel militer yang dibiayai dengan APBN sesuai UU AFSB
1973. Program Lembaga Tabungan Angkatan Tentara (LTAT) atau
program Asabri untuk Indonesia yaitu; merupakan kombinasi program
pensiun manfaat pasti dan program pensiun iuran pasti yang dibentuk
dengan UU LTAT tahun 1973. Pembiayaan program pensiun manfaat
pasti untuk Anggota angkatan tentara dibiayai dengan APBN dengan
basis iuran 10%. Sedangkan iuran progam pensiun dipungut dari
setiap Anggota sebesar 15% dari gaji atau nominal iuran minimum RM
25 dan iuran maksimum RM 500 per bulan untuk Pamen dan Pati
Angkatan Tentara. Adapun manfaat program pensiun iuran pasti ini
memberikan akses penarikan dini bagi setiap anggota tentara yang
mengalami PHK sebelum usia pensiun sebesar 40% dari saldo atau
setara RM 100 ribu
Dalam penyelenggaraan jaminan sosial diperlukan penciptaan
lapangan pekerjaan sehingga perlu dibentuk pasar tenaga-kerja aktif
untuk penempatan kerja secara efektif. Pilar pertama adalah
semacam proteksi sosial dasar yang dibiayai APBN untuk reduksi
kemiskinan, sedangkan pilar kedua merupakan program asuransi
sosial yang ditujukan untuk memberikan penggantian penghasilan
yang hilang dalam jangka pendek akibat mengalami kemalangan
sosial dan pilar ketiga sebagai skema pensiun yang berdasarkan
anggaran negara untuk memberikan penghasilan hari tua bagi
pegawai sipil kerajaan dan anggota angkatan tentara yang
mengalami pensiun. Dalam pilar ketiga berlaku program tabungan
wajib bagi setiap pekerja sektor swasta dengan UU KWSP tahun
1991 dengan harapan agar pekerja swasta yang pensiun memiliki
penghasilan hari tua yang dibiayai dengan iuran majikan dan pekerja.
Pilar kelima merupakan tabungan perorangan yang bersifat sukarela
sebagai on top of EPF. Akan tetapi akun EPF yang terdiri dari akun
hari tua ditetapkan 60%, akun perbaikan rumah yang hanya boleh
ditarik pada saat peserta mendapai usia 50 ditetapkan 30%
sedangkan akun kesehatan digunakan pada saat pekerja mencapai
usia 50 yang ditetapkan 10%.
Malaysia mengembangkan kesehatan sebagai daya tarik
wisatawan berkunjung ke negaranya. Jarak yang tidak jauh dari
Indonesia yang memiliki 240 juta penduduk, membuat Malaysia
meningkatkan kualitas rumah sakitnya. Salah satu penghargaan
Malaysia adalah memenangkan Medical Travel Destination of The
Year 2015 di International Medical Travel Journal (IMTJ). Tidak heran
jika Malaysia terutama Kuala Lumpur dan Penang jadi negara tujuan
utama untuk berlibur sekaligus menjaga kesehatan (medical check
up) (Futuready, 2016).
3.3. SISTEM PEMBIAYAAN KESEHATAN DI THAILAND
Pada tahun 2009, sebanyak 30,1% penduduk Indonesia masih
mengeluarkan uang secara langsung (out of pocket) untuk
medapatkan pelayanan kesehatan berbeda dengan Thailand yang
telah mencapai Universal coverage untuk perawatan kesehatan pada
tahun 2002 (Syarifah, 2014). Universal Health Coverage (UHC)
merupakan salah satu topik pembicaraan menarik dalam sistem
pembiayaan kesehatan saat ini. Universal coverage mengandung dua
arti penting yaitu akses pelayanan kesehatan yang adil dan bermutu
bagi setiap warga, dan perlindungan resiko finansial ketika
menggunakan pelayanan kesehatan (WHO, 2005). Akses pelayanan
kesehatan yang adil menggunakan prinsip keadilan vertikal, dimana
kontribusi warga dalam pembiayaan kesehatan ditentukan
berdasarkan kemampuan membayar (ability to pay), bukan
berdasarkan kondisi kesehatan seseorang. Elemen pembiayaan
kesehatan tidak dapat dipisahkan dengan implikasinya pada
penyediaan pelayanan kesehatan,kelebihan dan kekurangan pilihan
sistem pengelolaan asuransi kesehatan nasional perlu dianalisis
berdasarkan kriteria keadilan, efisiensi, dan daya tanggap
(responsiveness), baik dalam aspek pembiayaan maupun penyediaan
pelayanan kesehataan (WHO, 2005).
Thailand merupakan salah satu negara yang sudah mencapai
sistem pelayanan kesehatan dengan universal health coverage.
Secara administratif Thailand memiliki 77 Provinsi, 876 kabupaten,
7255 kecamatan dam 68.839 desa dengan total populasi sebesar 65
juta jiwa berdasarkan data tahun 2007. Perekonomian Thailand
berubah dengan cepat dari sektor pertanian menjadi pelayanan dan
produksi. Pertumbuhan perekonomi rata-rata dari tahun 1987 sampai
1995 sekitar 10 persen per tahun. Hingga 1996-1997, muncullah
sebuah krisis ekonomi yang menjatuhkan perekonomian Thailand
secara drastis. Krisis ekonomi ini mengakibatkan devaluasi 60 persen
dari baht dan pertumbuhan negatif selama beberapa tahun (kpmak-
ugm.org).
Sistem pembiayaan kesehatan di Thailand memiliki evolusi
sejarah yang sukup panjang selama hampir setengah dekade sampai
Thailand mencapai universal health coverage, dimulai dari biaya yang
dikeluarkan sendiri (out of pocket) dan secara bertahap dari sistem
pembiayaan out of pocket ke system pembiayaan di muka. Berbagai
sistem pembiayaan diperkenalkan dan diujikan. Dalam
pengimplementasiannya terdapat perbedaan dalam hal kontribusi,
subsidi publik, manfaat, dan kualitas pelayanan. Saat ini asuransi
kesehatan di Thailand terdiri atas sistem jaminan kesehatan pegawai
negeri yang paket jaminannya amat liberal dan menjamin tidak saja
anggota keluarga pegawai, tetapi juga mencakup orang tua dan
mertua pegawai. Seluruh pegawai swasta mendapat jaminan
kesehatan komprehensif melalui Badan Jaminan Sosial yang dikelola
oleh Depnakernya Thailand. Sedangkan pekerja informal memperoleh
jaminan melalui National Health Security Office, sebuah Lembaga
independen yang mengelola sistem 30 Baht. Dengan sistem 30 Baht,
seluruh penduduk diluar pegawai swasta dan pegawai negeri berhak
mendapat pelayanan kesehatan komprehensif dengan hanya
membayar 30 Baht (kurang lebih Rp 6.000) sekali berobat atau
dirawat, termasuk perawatan intensif dan pembedahan.

2. Sistem Pembiayaan Kesehatan Di Thailand


2.1. Revenue Collection
Thailand merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang
telah mencapai Universal Health Coverage dengan melaksanakan
program “Universal Coverage Scheme (UCS). Dengan program ini,
Thailand telah mampu menggratiskan kesehatan kepada masyarakat
sejak tahun 2007. Program ini mampu membuat kesehatan lebih
mudah diakses oleh semua kalangan masyarakat serta mengurangi
beban biaya kesehatan penduduk yang kurang mampu. Dengan
tercapainya Universal Health Coverage di negara Thailand ini, seluruh
penduduk Thailand kini juga telah bebas dari ancaman miskin bila
jatuh sakit, oleh sebab itu mereka akan lebih produktif untuk
membangun negaranya. Thailand memiliki empat jenis pembiayaan
kesehatan, dimana tiga diantaranya dilaksanakan oleh pemerintah.
Sumber pendanaan yang digunakan dalam program Asuransi
Kesehatan Nasional antara lain (National Health Security, 2012):

2.1.1 Civil Servant Medical Benefit Scheme (CSMBS)


CSMBS merupakan suatu program jaminan bagi pekerja di sektor
publik (pegawai pemerintah dan tanggungannya) yang dibiayai oleh
anggaran belanja negara tanpa ada iuran sama sekali dari pekerja.
CSMBS yang ditahun 2008 bernilai 5 juta Bath atau sekitar 8% dari total
asuransi kesehatan. Dengan program CSMBS, jaminan bukan saja
diberikan kepada pegawai, pasangan dan anaknya, tetapi juga
diberikan kepada orang tua pegawai. Jaminan yang ditanggung meliputi
jaminan kesehatan, pensiun dan dana lump-sum pada waktu memasuki
masa pensiun. Jaminan yang diberikan bersifat komprehensif sehingga
peserta tidak perlu membayar apabila memanfaatkan pelayanan pada
fasilitas kesehatan yang sudah ditentukan. Namun, apabila masyarakat
mencari pelayanan dari fasilitas kesehatan dan di kelas perawatan di
luar ketentuan, maka masyarakat harus membayar sendiri.

2.1.2 Social Security Scheme (SSS)


SSS merupakan suatu program jaminan komprehensif untuk
pegawai swasta yang dibayarkan oleh pekerja, pemberi kerja, dan
pemerintah yaitu masing – masing 1,5% sehingga total kontribusinya
4,5%. SSS yang ditahun 2008 bernilai 9,84 juta Bath atau sekitar 15,8%
dari total anggaran untuk asuransi kesehatan. Manfaat program jaminan
sosial pekerja swasta meliputi jaminan kesehatan, bantuan biaya
persalinan, tunjangan kecacatan, santunan kematian, dana untuk anak-
anak, kecelakaan kerja, dan jaminan hari tua.

2.1.3 Universal Coverage Scheme (UCS)


UCS merupakan suatu program jaminan untuk pegawai informal
atau penduduk lain yang tidak tercover oleh dua skema lainnya, dimana
sebanyak 75% masyarakat Thailand merupakan anggota UCS yang
mendapat perlakuan sama. UCS yang pada tahun 2008 bernilai 47 juta
bath atau sekitar 7% dari total asuransi kesehatan. UCS menerapkan
kebijakan 30 Bath, yaitu seluruh penduduk di luar pegawai swasta dan
pegawai pemerintah berhak mendapat pelayanan kesehatan
komprehensif dengan hanya membayar 30 Bath atau kurang lebih Rp
6.000 sekali berobat atau dirawat.
Biaya yang dibayar tersebut, sudah termasuk segala pemeriksaan,
obat, pembedahan, dan perawatan intensif jika diperlukan (Syarifah,
2014). Pendapatan utama yaitu berasal dari pajak yang digunakan
untuk membiayai CSMBS dan UCS. Pemerintah menyediakan
anggaran untuk cakupan semesta sebesar 90 dollar per orang per tahun
untuk 47 juta penduduk. Dengan jaminan kesehatan, warga mendapat
jaminan untuk rawat inap, rawat jalan, dan penanganan beragam
gangguan medis, termasuk di dalamnya kemoterapi dan cuci darah.
Selain kuratif, warga juga mendapatkan pencegahan penyakit, seperti
imunisasi dan pemeriksaan penapisan, seperti papsmear, juga
ditanggung, hanya saja untuk bedah plastic dan yang terkait fertilitas
tidak ditanggung.
2.2 Pooling Mechanism
Risk pooling mechanism pada negara Thailand termasuk
fragmented risk pool, yaitut erdapat lebih dari satu pool yang digunakan.
Adapun pooling mechanism yang diterapkan di Thailand yaitu:
a. CSMBS dikelola oleh Civil Servant Medical Benefit Scheme Groupe
salah satu divisi dari Comptroller General’s Department (CGD) dalam
MoF(Kementerian Keuangan).

b. SSS dikelola oleh Social Security Office (SSO).


Kewajiban utama dari SSO adalah untuk memanjemen Social Security
Fund (SSF) dan Workmen’s Compensation Fund (WCF). SSF
memberikan tujuh tipe kelebihan seperti kesakitan tidak terkait
kerja,masa kehamilan, tunjangan hari tua, kejadian tertentu, kematian,
manfaat untuk pengangguran dan tunjangan untuk anak. WCF
menyediakan cakupan untuk pegawai suatu perusahaan dalam hal
penyakit akibat kerja dan kecelakaan kerja

c. UCS dikelola oleh National Health Security Office (NHSO)


Organisasi National Health Security Office (NHSO) dibentuk
dengan tujuan untuk mengkoordinasikan uang dalam menjalankan
skema UHC di Thailand. NHSO mengelola sebagian besar dari jaminan
kesehatan semesta, termasuk mengelola data kepesertaan untuk ketiga
skema yang ada (SSS, CSMBS dan UCS). Badan NHSO berada
dibawah otoritas dari National Health Security Board (NHSB) yang
dikepalai oleh Minister of Public Health dan memiliki tanggung jawab
dalam pembuatan kebijakan, pengambilan keputusan dalam paket
pelayanan, menentukan metode pembayaran provider yang tepat serta
membuat aturan-aturan.
Struktur organisasi NHSO dioptimalkan untuk melakukan
kegiatan perencanaan, pelaksanaansampai evaluasi. Secara garis
besar fungsi-fungsi yang terdapat dalam struktur organisasi di NHSO
antara lain:

a. Menentukan strategi kontrak dengan providers.


Walaupun kontrak besar NHSO dengan kementrian kesehatan,
namun demikian di dalam kontrak mencakup beberapa hal
seperti penguatan standar klaim yang menggunakan model
kapitasi untuk semua pelayanan rawat jalan (baik rawat jalan
primer maupun rawat jalan sekunder, termasuk untuk pelayanan
gigi) dan menggunakan Diagnosis Related Group (DRG) untuk
pelayanan rawat inap. Di Thailand terdapat kurang lebih 2.400
kelompok DRG yang digunakan sebagai standar klaim.

b. Membantu dalam memperkuat pemberian layanan kesehatan


bagi peserta.
Salah satunya adalah melakukan peningkatan fasilitas
pelayanan kesehatan, terutama pelayanan primer dan ruMah
sakit sakit rujukan daerah untuk memastikan akses pelayanan
kesehatan yang setara (equal).

c. Strategi quality management dilakukan dengan beberapa cara,


antara lain:
• Akreditasi fasilitas pelayanan kesehatan (terutama rumah sakit)
menggunakan standar
yang dibuat secara nasional. Insentif diberikan bagi rumah sakit
yang membutuhkan
akreditasi.
• Melakukan monitoring terhadap indikator pelayanan kesehatan
(seperti angka
kematian di rumah sakit, pelayanan non-communicable disease
di rumah sakit).

d. Pengelolaan Sistem informasi kesehatan yang memfokuskan


pada penggunaan informasi untuk melakukan perencanaan,
manajemen, monitoring dan evaluasi UHC. Contoh :
penghitungan biaya kapitasi (premi) tahunan yang harus
dibayarkan oleh pemerintah. Sumber informasi berasal dari
laporan klaim, laporan kegiatan dan sumber-sumber lain seperti
sensus, planning, management, monitoring and evaluation of
UHC.

e. Menentukan mekanisme audit UHC Beberapa fungsi audit antara


lain pre-admission audit (pemberiaan authorisasi terhadap
skema pembiayaan kesehatan pasien) dan post admission audit.
Sebagian besar audit dilakukan pada post admission, yang terdiri
dari audit coding DRG, financial dan billing audit, clinical audit
dan medical record audit. Setiap tahunnya, NHSO akan
mengeluarkan dana sesuai perencanaan mereka untuk lima
kelompok besar, yaitu budget tahunan untuk kapitasi, HIV,
Penyakit Metabolik, Gagal Ginjal dan Gangguan jiwa. Budget
tahunan akan dibagikan untuk pasien rawat jalan, pasien rawat
inap, promotif dan preventif, vaksin, high cost accident, DMI,
gawat darurat, rehabilitasi untuk pasien cacat, pengobatan
tradisional, mutu layanan dan preliminary assistance. Pembagian
dilakukan berdasarkan kelompok umur karena dianggap
kasusnya yang terjadi kurang lebih sama. Selain itu,

NHSO juga menjalin kerjasama dengan pemerintah lokal


(dengan beban 20-50%) untuk upaya promotif dan preventif.
Apabila penduduk yang sebelumnya terdaftar dalam UCS dan
kemudian bekerja di perusahaan swasta, selanjutnya penduduk
tersebut dialihkan kepesertaannya dari pembiayaan UCS ke
pembiayaan SSS. Untuk pembiayaan CSMBS, SSS, dan UCS,
dana yang masuk dialokasikan biaya pelayanan per orang dan
biaya per kapita berdasarkan justifikasi umur, biaya kesehatan
dari tingkat primer hingga tersier termasuk pembiayaan
kesehatan yang memerlukan biaya operasional yang tinggi
seperti biaya operasi organ, dll.

2.3 Purchasing Mechanism


Pencapaian UHC di Thailand dalam beberapa tahun ini seperti
bahwa 99% masyarakat Thailand telah dilindungi dengan 3 skema yaitu
Universal Coverage Scheme (Skema Cakupan Semesta, 75%), Social
Security Scheme/Social Health Insurance for formal private sector (Skema
Asuransi Kesehatan untuk pegawai swasta, 20%) dan Civil Servant Medical
Benefit Scheme (Skema Asuransi Kesehatan untuk PNS, 5%). Thailand
menggunakan sistem pembayaran kepada provider kesehatan dengan dua
model yaitu model kapitasi dan DRG dengan global budget. Pembayaran
bagi pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) dengan sistem kapitasi adalah
pembayaran yang dilakukan oleh suatu Lembaga kepada PPK atas jasa
pelayanan kesehatan yang diberikan kepada anggota lembaga tersebut,
yaitu dengan membayar di muka sejumlah dana sebesar perkalian anggota
dengan satuan biaya (unit cost) tertentu. Kapitasi digunakan untuk meng-
cover pasien rawat jalan dan DRG plus global budget digunakan untuk
meng-cover pasien rawat inap.
Adapun purchasing mechanism yang diterapkan di Thailand yaitu:
1. Pada skema CSMBS (Civil Servant Medical Benefit Scheme ),
purchasing mechanism yang dijalankan oleh Thailand yaitu pada pasien
rawat jalan atau OP (Out Patient) menggunakan sistem Fee For
Services, dan yang rawat inap atau IP (Inpatient) menggunakan sistem
DRG (Diagnosis Related Groups).
2. Pada skema SSS (Sosial Security Scheme)/(Social Health Insurance for
formal private sector ), purchasing mechanism yang dijalankan oleh
Thailand yaitu pada pasien rawat jalan atau OP menggunakan sistem
Kapitasi, dan yang rawat inap atau IP menggunakan system DRG
(Diagnosis Related Groups) dan sebagian kapitasi.
3. Pada skema UCS (Universal Coverage Scheme ), purchasing
mechanism yang dijalankan oleh Thailand yaitu pada pasien rawat jalan
atau OP menggunakan sistem Kapitasi, dan yang rawat inap atau IP
menggunakan sistem DRG (Diagnosis Related Groups) dengan global
budget. Skema pembayaran terhadap provider di Thailand
menunjukkan bagaimana dana UHC digunakan untuk membayar
kebutuhan akan pelayanan kesehatan dasar, obat, RRT penyakit
kronis, penyakit gangguan jiwa (5 paket) di Penyedia Pelayanan
Kesehatan (provider). Kemudian, dari sisi Equity, skema UHC juga
membuktikan bahwa UHC dapat mengurangi inequity pada pelayanan
kesehatan, dimana populasi yang kurang mampu dengan mudah dapat
mengakses pelayanan kesehatan yang bermutu.
Susunan sistem kesehatan di Thailand yang dibuat berjenjang
dimulai dari level paling bawah adalah subdistrik dengan Health Center,
Community Medical Center, Private Clinic dan Pharmacy. Level kedua
dari bawah adalah Distrik dengan Distric Hospital dan Public
Hospitallainnya. Level di atasnya adalah Provincial hospital, lalu
Regional hospital dan level paling tinggi terdapat Specialized hospital,
Universal hospital dan Private hospital. Pada level paling bawah,
terdapat dua pelayanan publik untuk UHC, yaitu Health Center dan
Community Medical Center.
Pelayanan yang diberikan keduanya serupa, namun
perbedaannya adalah area cakupan pelayanannya. Di Health Center,
pelayanan yang diberikan lebih kepada upaya promotive dan preventif
dan hanya melayani rawat jalan. Health Center hanya dilayani oleh
perawat, tenaga IT dan praktisi traditional Thai Medicine, sementara
dokter dan dokter gigi datang ke Health Center satu atau dua kali dalam
seminggu. District hospital yang cukup besar dapat menyediakan lebih
dari 90 tempat tidur dan pelayanan diberikan oleh dokter umum, dokter
spesialis bedah, dokter spesialis anak, dan dokter spesialis kandungan.

2.4. DRG (Diagnosis Related Groups)


DRG adalah suatu sistem atau cara pembayaran kepada
penyelenggara pelayanan kesehatan (health provider) untuk pelayanan
yang diselenggarakannya tanpa memperhatikan jumlah tindakan atau
pelayanan yang diberikan, melainkan pengelompokan pelayanan medis
kedalam suatu besaran pembiayaan menurut kelompok penyakit
dimana pasien yang sedang ditangani tersebut berada. DRG’s pertama
kali dikenal di Amerika serikat, diterapkan di Rumah sakit negara bagian
New Jersey pada tahun 1970 sebagai dasar perhitungan biaya rawat
inap oleh rumah sakit dan asuransi. DRG telah dipakai sejak tahun 1983
untuk menentukan seberapa besar medicare membayar kepada rumah
sakit.
Manfaat DRG’s adalah sistem dan beban administrasi pihak
penanggung biaya dan provider lebih sederhana, tidak perlu lagi secara
rinci memperhitungkan biaya pelayanan, pelayanan menjadi lebih
efektif dan efisien karena mampu mengendalikan biaya pelayanan
kesehatan, DRG’s dapat memberikan kepastian biaya rumah sakit dan
meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit. DRG’s dapat mengurangi:
biaya rumah sakit, intensitas pelayanan yang diberikan, lama hari rawat,
dan menghasilkan produk yang efisien.
Pengelompokkan DRG’s saat ini di dasarkan pada ICD X,
dimana ICD X adalah suatu sistem kategori yang mengelompokan
satuan penyakit menurut kriteria yang telah disepakati. Tujuan
pemakaian ICD untuk membuat catatan sistematik dan dapat dianalisis,
untuk menterjemahkan diagnosa penyakit dan masalah kesehatan dari
kata-kata menjadi kode/sandi alfanumerik sehingga mudah disimpan,
dicari, dianalisis. Komponen-komponen biaya dalam menyusun DRG’s
adalah lama hari rawat inap untuk masing-masing DRG’s baik untuk
perawatan rutin dan khusus, biaya perdiem baik untuk perawatan rutin
maupun khusus, perkiraan biaya, pelayanan-pelayanan pendukung
(laboratorium, radiologi, obat-obatan, alat habis pakai, anastesi, dan
pelayanan lainnya perkasus). Data yang dipakai adalah diagnosa
DRG’s dibuat keadaan saat pasien keluar RS (Adisasmito, 2008).

3.4. SISTEM PEMBIAYAAN KESEHATAN DI INDIA


India merupakan negara republik federal dengan 28 negara
bagian dan tujuh wilayah persatuan; negara ini memiliki penduduk
sebanyak 1,241 miliar, dan sebagian besar merupakan warga
pedesaan (70%). Pembiayaan kesehatan publik hanya 1,04% dari
GDP, dan pembiayaan out-of-pocket masih cukup tinggi (3,16% dari
GDP). Pengeluaran untuk obat-obatan mencapai 72% dari pembiayaan
out-of-pocket. Pada tahun 2004, krisis moneter yang terjadi di India
menyebabkan sekitar seperempat penduduk tidak dapat mengakses
layanan kesehatan; 35% pasien yang masuk rumah sakit terpaksa jatuh
miskin. Untuk membayar biaya layanan kesehatan mengakibatkan
sekitar 60 juta penduduk di India jatuh dibawah garis kemisikinan pada
tahun 2010.
Sistem kesehatan yang berlaku India telah mengalami
penurunan secara progresif dalam layanan publik dan terjadi
peningkatan dominasi penyedia layanan kesehatan swasta yang tidak
teregulasi dengan baik. Sejak tahun 2005, National Rural Health
Mission (NRHM) telah meningkatkan layanan kesehatan ibu dan anak,
tetapi belum menyediakan layanan kesehatan primer dan sekunder
yang diperlukan. Skema pembiayaan oleh pemerintah menjadi
komponen terbesar dalam asuransi kesehatan. Pegawai pemerintah
dapat mengakses layanan kesehatan di fasilitas umum dan diberi
kompensasi atas biaya layanan kesehatan di fasilitas swasta. Skema ini
dilengkapi dengan beberapa program asuransi nasional dan program
asuransi negara bagian. Dikelola oleh Kementerian Tenaga Kerja dan
diperkenalkan pada tahun 2008, Rashtriya Swasthya Bima Yojana
(RSBY) merupakan salah satu skema baru yang paling dominan, dan
mencakup layanan rumah sakit untuk sekitar 120 juta penduduk India.
Meskipun skema tersebut menyediakan akses layanan kesehatan baik
ke penyedia layanan publik maupun swasta, namun skema ini tidak
meng-cover perawatan rawat jalan, perawatan primer, dan perawatan
tersier. Perlindungan finansial juga tidak terjamin, karena biaya rumah
sakit dan biaya rawat jalan berada di luar pertanggungan. Skema
negara bagian di Andhra Pradesh, Karnataka, Tamil Nadu, dan
Rajasthan sebagian besar telah menyediakan akses ke perawatan
tersier, dengan berbagai tingkat cost coverage.
Pada tahun 2010, Komisi Perencanaan India menugaskan High
Level Expert Group (HLEG) untuk meningkatkan pembiayaan
kesehatan publik menjadi 2,5% dari GDP pada tahun 2017, dengan
alokasi preferensial (hingga 70%) untuk perawatan primer. Komisi ini
merekomendasikan untuk layanan primer, sekunder, dan tersier di-
cover melalui mekanisme cashless dan tax-funded. HLEG juga
ditugaskan untuk mencetak tenaga kesehatan, mengangkat kader
kesehatan masyarakat dan manajemen kesehatan, serta ditugaskan
untuk menyediakan akses obat-obatan esensial, meningkatkan
partisipasi masyarakat, dan penatalaksanaan terhadap determinan
sosial pada masalah kesehatan. Rencana Pembangunan India
mengusulkan pendanaan layanan kesehatan publik hampir dua kali lipat
(dari 1,04% menjadi 1,87%). Hal ini mendorong India untuk menerapkan
UHC di negara bagian, dan mengubah NRHM menjadi National Health
Mission (NHM) dengan penambahan komponen urban. NHM
memberlakukan pemberian obat generik secara gratis, perluasan
RSBY, dan penunjukkan kader kesehatan dan manajemen masyarakat.

3.4.1 Pola pembiayaan kesehatan


Sepintas, India sepertinya memiliki dana yang memadai untuk
pelayanan kesehatan. Pada tahun 2005, anggaran total India untuk
kesehatan lebih sedikit dari rata-rata global tetapi lebih tinggi
dibandingkan dengan negara tetangga seperti Thailand, Sri Lanka, dan
China. Namun, ternyata tidak apabila dilihat dari pembiayaan kesehatan
per individu. Pembiayaan kesehatan per individu di India adalah $100,
yang mana hanya separuh dari Sri Lanka dan sepertiga dari China dan
Thailand.
Rendahnya anggaran kesehatan ini diperparah dengan
rendahnya sharing pembiayaan dari publik dan swasta. Foreign funding
untuk program-program tertentu seperti keluarga berencana, imunisasi,
malaria dan penyakit lainnya sangatlah penting untuk beberapa dekade
terakhir. Namun, saat ini domestic funding untuk kesehatan dapat
terwujud dengan dibentuknya National Rural Health Mission pada tahun
2005, sehingga dapat menurunkan ketergantungan India dari
pembiayaan dari eksternal.

3.4.2 Mekanisme Asuransi Kesehatan


Berdasarkan Survey Kesehatan Nasional pada tahun 2005-
2006, hanya 10% keluarga di India yang memiliki asuransi medis.
Sektor asuransi medis di India masih lemah dan terfragmentasi
meskipun ada beberapa skema asuransi medis yang dikelola oleh
pemerintah pusat dan daerah. perusahaan asuransi publik dan swasta,
dan beberapa organisasi komunitas. Manfaat dari pertanggungan
asuransi ini hanya dirasakan oleh beberapa individu yang memiliki
“privilege”. Contohnya, Skema Pelayanan Kesehatan Pemerintah
Pusat sejak tahun 1954 yang memberikan perawatan medis
komprehensif untuk rawat jalan dan rawat inap hanya untuk pegawai
pemerintah pusat (baik yang masih aktif maupun yang sudah pensiun)
beserta keluarga mereka.
Sejak tahun 2003, pemerintah pusat dan daerah telah
meluncurkan skema asuransi kesehatan baru, semua dengan fitur
yang berbeda, untuk memperluas cakupan kepada pekerja di sektor
informal, terutama mereka yang miskin. Namun sebagian besar skema
masih dalam tahap percobaan.
Jenis Asuransi Coverage Persyaratan
Universal Health Sebagian besar manfaat Hanya untuk keluarga di
Insurance (≤INR3.000) masuk ke bawah garis kemiskinan
Scheme ( sejak rumah sakit untuk keluarga dan untuk individu di
2003) secara floater, termasuk bawah 70 tahun;
kompensasi (INR25.000) diberikan dengan tarif
untuk kematian kepala tahunan INR 300 untuk
keluarga yang seorang individu; INR
berpenghasilan; 450 untuk keluarga
kompensasi sebesar INR dengan lima orang; INR
50 per hari selama 600 untuk keluarga
maksimal 15 hari kepada dengan tujuh anggota
kepala keluarga atau dengan subsidi
pasangan keluarga; satu pemerintah masing-
manfaat bersalin dengan masing sebesar INR200,
masa tunggu 1 tahun INR300, dan INR400
dengan INR2500 untuk
normal dan INR5000 untuk
operasi caesar
Rashtriya Menawarkan cakupan Keluarga di bawah garis
Swasthya Bima tanpa uang tunai dari kemiskinan dengan
Yojna (sejak semua layanan kesehatan anggota hingga lima
2008) menggunakan sistem orang selama 1 tahun;
berbasis kartu pintar; untuk diperbarui setiap tahun;
menanggung biaya masuk biaya pendaftaran untuk
rumah sakit dan day-care keluarga adalah INR30;
disease; jumlah dari INR kontribusi pemerintah
30.000 diasuransikan per pusat adalah 75% dari
keluarga di bawah garis premi INR750,
kemiskinan per tahun dikenakan maksimum
secara floater; penyakit INR 565 per keluarga
yang sudah ada per tahun dan biaya
sebelumnya juga kartu pintar; kontribusi
ditanggung; pengeluaran oleh pemerintah daerah
yang wajar untuk sebelum adalah 25% dari premi
dan sesudah masuk rumah
sakit untuk 1 hari sebelum
dan 5 hari setelah masuk
rumah sakit; tunjangan
transportasi (sebenarnya
dengan batas INR 100 per
kunjungan) tetapi tunduk
pada batas tahunan INR
1000
Yeshasvini Menjamin risiko INR Harus menjadi anggota
Scheme in 100.000 untuk satu operasi Masyarakat Koperasi
Karnataka (sejak dan INR 200.000 untuk Pedesaan Terdaftar
2003) beberapa operasi dalam Karnataka selama
setahun dengan premi minimal 6 bulan; semua
INR120; penyakit yang anggota keluarga
sudah ada sebelumnya memenuhi syarat; batas
ditanggung; operasi tanpa usia atas adalah 75
uang tunai dengan tarif tahun
tetap
Kudumbasree in INR 30.000 setahun Keluarga di bawah garis
Kerala (sejak sebagai total biaya kemiskinan; kontribusi
2006) pengobatan untuk keluarga penerima adalah INR 33;
yang terdiri dari lima orang; premi untuk keluarga
INR 60.000 setahun untuk dengan lima anggota di
perawatan di rumah, jika bawah garis kemiskinan
diperlukan; INR15.000 adalah INR 399 per
setahun untuk kebutuhan tahun; subsidi
bersalin; tunjangan pemerintah pusat
sebesar INR 50 sehari jika sebesar INR 300 dari
dirawat di rumah sakit; Skema Asuransi
pertanggungan semua Kesehatan Universal
penyakit yang ada, dan dan subsidi tambahan
perawatan medis cashless; masing-masing sebesar
manfaat asuransi INR 33 dari pemerintah
kecelakaan sebesar negara bagian dan
INR100.000 untuk organisasi lokal;
kematian atau cacat penuh dilaksanakan melalui
dan INR 50.000 untuk kelompok lingkungan
cacat sebagian
Arogyashree in INR 200.000 diasuransikan Keluarga di bawah garis
Andhra Pradesh per keluarga; mencakup kemiskinan; penerima
(sejak 2007) rawat inap di rumah sakit manfaat untuk
untuk operasi dan pengobatan
pengobatan penyakit diidentifikasi melalui
seperti jantung, kanker, kamp kesehatan;
bedah saraf, ginjal, luka INR330 per tahun per
bakar, dan kasus keluarga dibayar oleh
politrauma pemerintah daerah;
berlaku selama 1 tahun
atau sampai dengan
saat rasio klaim
keseluruhan mencapai
120% dari premi

Yang paling utama adalah Rashtriya Swasthya Bima Yojana


dari pemerintah pusat, sebuah program asuransi kesehatan nasional
yang diumumkan pada tahun 2007 dan diluncurkan pada 1 April 2008.
Penyakit yang sudah ada sebelumnya ditanggung sejak hari pertama
dan tidak ada batasan usia. Pertanggungan berlaku untuk lima
anggota keluarga, termasuk kepala rumah tangga, pasangan, dan
hingga tiga tanggungan. Skema ini, yang dilaksanakan oleh
Kementerian Tenaga Kerja dan Ketenagakerjaan, memberikan
kebebasan bagi keluarga miskin untuk memilih dari 981 rumah sakit
umum dan 3.146 rumah sakit swasta. Pada April 2010, 14.45 juta kartu
pintar telah diterbitkan untuk 29.76 juta keluarga di bawah garis
kemiskinan di 172 distrik di India. Perlindungan finansial yang
ditawarkan oleh skema ini dan skema asuransi kesehatan lainnya,
bagaimanapun, tetap tidak mencukupi. Banyak skema hanya
menargetkan keluarga miskin; mereka tidak universal dalam cakupan.
Sebagian besar skema mencakup biaya perawatan masuk rumah sakit
atau penyakit serius, dan bukan perawatan rawat jalan. Juga, banyak
skema tidak mengganti biaya obat-obatan—pengeluaran out-of-pocket
yang besar.

3.4.3 Tantangan untuk mencapai UHC

Hambatan yang ada tidak hanya hambatan secara teknis, tetapi


juga secara politik. Dibutuhkan koordinasi kebijakan politik baik di
tingkat pusat maupun di tingkat negara bagian. Anggaran negara pada
tahun 2013–2014 tidak sesuai dengan kondisi politik. Meskipun
anggaran mengalami peningkatan sebesar 21%, jumlah ini tetaplah
tidak memadai. Terdapat masalah utama terkait regulasi yang perlu
segera ditangani. Sektor publik terlalu tersentralisasi, kaku, dan tidak
dikelola dengan baik, sedangkan sektor swasta, yang terdiri dari
penyedia layanan formal dan informal, mendominasi kebutuhan layanan
kesehatan sebagian besar penduduk, dan tidak teregulasi dengan baik.
Pemerintah telah memfokuskan perhatiannya pada pemberian
layanan kesehatan melalui sektor kesehatan masyarakat yang
sebagian besar masih under-funded, sementara sektor swasta yang
berkembang pesat bersaing dengan penyedia layanan kesehatan dari
pemerintah. Jika RSBY dan skema asuransi yang didanai pemerintah
negara bagian terus berkembang dan memecah layanan kesehatan
(karena terus mengabaikan penyediaan layanan kesehatan primer dan
rawat jalan), India akan mengalami kesulitan di masa yang akan datang.
Selama 5 tahun ke depan, skema tersebut akan cenderung mengubah
sumber daya dari perawatan primer ke perawatan sekunder dan tersier
yang lebih mahal.
Pada akhirnya, tidak adanya sumber daya manusia yang
berkualitas dan terlatih untuk mendukung implementasi skema ini dapat
berdampak buruk. Kekurangan tenaga terampil, paramedis, dan
peralatan medis saat ini sangat menghambat upaya India untuk
mewujudkan UHC.

3.5 Perbedaan Sistem Pembiayaan Kesehatan

Perbedaan system pembiayaan Kesehatan di Indonesia, Malaysia,


Thailand dan India yaitu terdapat beberapa hal yang berbeda. Hal ini
tergambarkan salahsatunya pada system pembiayaan kesehatan di tiga
negara tersebut, terdapat berbagai perbedaan dalam pengelolaan
pembiayaan Kesehatan. Berbagai perbedaan cara pengelolaan tersebut
tentu berkaitan dengan aspek social kultural, kondisi perekonomian setiap
negara dan keadaan politik yang sangat menentukan setiap kebijakan yang
akan diambil. Perbedaan pengelolaan pembiayaan Kesehatan di tiga negara
tersebut dapat dilihat dari beberapa aspek, terkait sumber pendanaan,
kepesertaan maupun badan pengelolanya.

NO Aspek Malaysia Thailand India


Indonesia
1 Sumber uran dari Pendapatan Pendapatan Anggaran
Pendanaan peserta negara dan negara dan pendapatan
(pekerja / partisipasi premi negara
bukan langsung (pemerintah
pekerja) dan masyarakat pusat &
pemerintah negara
(APBN) bagian) dan
premi
2 Badan Badan Lembaga Lembaga Lemabaga
Pengelola Independen Negara Non negara atau Pemerintah
dana (BPJS BUMN Badan NHRM
Kesehatan ) Pengelola (National
yang Asuransi Health
bertanggung Negara Rural
jawab kepada Mission)
Presiden.
3 Cakupan Perpres RI Seluruh Pegawai Seluruh
Kepesertaan No. 111 warga Negara dan warga
Tahun 2013 negara keluarganya negara,
Pasal 6 dengan terutama
menyatakan skema publik Pegawai warga
Kepesertaan dan privat swasta miskin
Jaminan
Kesehatan Seluruh
bersifat wajib masyarakat
dan
mencakup
seluruh
penduduk
Indonesia.
termasuk
Warga
Negara Asing
(WNA) yang
tinggal di
Indonesia
lebih dari
enam bulan.
4 Cakupan Manfaat JKN Promotif- Promotif- Promotif
Layanan mencakup Preventif Preventif Preventif
pelayanan Kuratif Kuratif
promotif, Kuratif - Rehabilitatif Rehabilitatif
preventif, Rehabilitatif dan
kuratif dan tunjangan
rehabilitatif, sosial
baik rawat
jalan maupun
rawat inap.
5 Mekanisme BPJS Ada Kapitasi dan Kapitasi
Pembayaran Kesehatan penambahan DRG's
membayarkan langsung
kepada FKTP
dengan
kapitasi,
Sedangkan
untuk FKRTL
BPJS
membayarkan
dengan cara
INA CBG’s
(sistem paket)
DAFTAR PUSTAKA

A K Shiva Kumar. 2011. Financing health care for all: challenges and
opportunities. The Lancet 2011; Volume 377, Issue 9766: Pages 668-
679.
Bhisma Murti. Asuransi Kesehatan Berpola Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan Masyarakat di Era Desentralisasi Menuju Cakupan
Semesta. Institute of Health Economic and Policy Studies (IHEPS),
Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas
Sebelas Maret. Bhisma Murti (2010). Strategi untuk Mencapai Cakupan
Universal Pelayanan Kesehatan di Indonesia. Surakarta, 24 November
2010.
CHIONG, D. L. (2012). TAIWAN'S AILING HEALTH-CARE
FINANCING. RETRIEVED
FROMKPMG:HTTP://WWW.KPMG.COM/SG/EN/PRESSROOM/PAG
ES/MC20120824.ASPX
Dr. Ching-chuan Yeh , Access and Cost: What the U.S. Health Care
System Can Learn from other Countries dalam
www.help.senate.gov/download/ufgy diakses pada Kamis 12 November
2015 Kwon: Health Care Financing in Asia,Pembiayaan Kesehatan di
Berbagai Negara, 2012.
Jui fen Rachel Lu dalam Universal Health Coverage Assessment
Taiwan
http://gnhe.funsalud.org.mx/Documentos/UHCDay/GNHE%20UHC%2
0assessment_Taiwan.pdf diakses pada Kamis 12 November 2015
Retno Widyastuti. Belajar dari Taiwan; National Health Insurance (NHI),
Kesehatan Milik Semua. Mahasiswa S2 Jurusan Asia Pacific Studies
National Chengchi University, Taipei – Taiwan (ROC). Diakses 08
November 2015.
Robert Marten. 2014. An assessment of progress towards universal
health coverage in Brazil, Russia, India, China, and South Africa
(BRICS). The Lancet 2014; Volume 384, Issue 9960: Pages 2164–2171.

Anda mungkin juga menyukai