Anda di halaman 1dari 27

PEMBIAYAAN KESEHATAN

Proses pelayanan kesehatan tidak bisa dipisahkan dengan pembiayaan kesehatan. Biaya kesehatan ialah besarnya dana
yang harus disediakan untuk menyelenggarakan dan atau memanfaatkan berbagai upaya kesehatan yang diperlukan oleh
perorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat.

Berdasarkan pengertian ini, maka biaya kesehatan dapat ditinjau dari dua sudut yaitu berdasarkan:
1. Penyedia Pelayanan Kesehatan (Health Provider), adalah besarnya dana yang harus disediakan untuk dapat
menyelenggarakan upaya kesehatan, maka dilihat pengertian ini bahwa biaya kesehatan dari sudut penyedia pelayanan
adalah persoalan utama pemerintah dan ataupun pihak swasta, yakni pihak-pihak yang akan menyelenggarakan upaya
kesehatan. Besarnya dana bagi penyedia pelayanan kesehatan lebih menunjuk kepada seluruh biaya investasi (investment
cost) serta seluruh biaya operasional (operational cost).
2. Pemakai Jasa Pelayanan (Health consumer), adalah besarnya dana yang harus disediakan untuk dapat memanfaatkan
jasa pelayanan. Dalam hal ini biaya kesehatan menjadi persoalan utama para pemakai jasa pelayanan, namun dalam
batas-batas tertentu pemerintah juga turut serta, yakni dalam rangka terjaminnya pemenuhan kebutuhan pelayanan
kesehatan bagi masyarakat yang membutuhkannya. Besarnya dana bagi pemakai jasa pelayanan lebih menunjuk pada
jumlah uang yang harus dikeluarkan (out of pocket) untuk dapat memanfaatkan suatu upaya kesehatan. (Azwar, A.
1999).
Pembiayaan kesehatan yang kuat, stabil dan berkesinambungan memegang peranan yang amat vital untuk
penyelenggaraan pelayanan kesehatan dalam rangka mencapai berbagai tujuan penting dari pembangunan kesehatan di
suatu negara diantaranya adalah pemerataan pelayanan kesehatan dan akses (equitable access to health care) dan pelayanan yang
berkualitas (assured quality). Oleh karena itu reformasi kebijakan kesehatan di suatu negara seyogyanya memberikan fokus penting
kepada kebijakan pembiayaan kesehatan untuk menjamin terselenggaranya kecukupan (ad- equacy), pemerataan (equity), efisiensi
(efficiency) dan efektifitas (effectiveness) dari pembiayaan kesehatan itu sendiri. (Departemen Kesehatan RI, 2004).
Perencanaan dan pengaturan pembiayaan kesehatan yang memadai (health care financing) akan menolong pemerintah
di suatu negara untuk dapat memobilisasi sumber-sumber pembiayaan kesehatan, mengalokasikannya secara rasional serta
menggunakannya secara efisien dan efektif. Kebijakan pembiayaan kesehatan yang mengutamakan pemerataan serta berpihak
kepada masyarakat miskin (equi- table and pro poor health policy) akan mendorong tercapainya akses yang universal. Pada aspek
yang lebih luas diyakini bahwa pembiayaan kesehatan mempunyai kontribusi pada perkembangan sosial dan ekonomi.
Pelayanan kesehatan itu sendiri pada akhir-akhir ini menjadi amat mahal baik pada negara maju maupun pada negara
berkembang. Penggunaan yang berlebihan dari pelayanan kesehatan dengan teknologi tinggi adalah salah satu penyebab
utamanya. Penyebab yang lain adalah dominasi pembiayaan pelayanan kesehatan dengan mekanisme pembayaran tunai (fee for
service) dan lemahnya kemampuan dalam penatalaksanaan sumber-sumber dan pelayanan itu sendiri (poor management of
resources and services). (Departemen Kesehatan RI, 2004).
Pelayanan kesehatan memiliki beberapa ciri yang tidak memungkinkan setiap individu untuk menanggung pembiayaan
pelayanan kesehatan pada saat diperlukan:

1) Kebutuhan pelayanan kesehatan muncul secara sporadik dan tidak dapat diprediksikan, sehingga tidak mudah
untuk memastikan bahwa setiap individu mempunyai cukup uang ketika memerlukan pelayanan kesehatan.
2) Biaya pelayanan kesehatan pada kondisi tertentu juga sangat mahal, misalnya pelayanan di rumah sakit maupun
pelayanan kesehatan canggih (operasi dan tindakan khusus lain), kondisi emergensi dan keadaan sakit jangka
panjang yang tidak akan mampu ditanggung pembiayaannya oleh masyarakat umum.
3) Orang miskin tidak saja lebih sulit menjangkau pelayanan kesehatan, tetapi juga lebih membutuhkan pelayanan
kesehatan karena rentan terjangkit berbagai permasalahan kesehatan karena buruknya kondisi gizi, perumahan.
4) Apabila individu menderita sakit dapat mempengaruhi kemampuan untuk berfungsi termasuk bekerja, sehingga
mengurangi kemampuan membiayai. (Departemen Kesehatan RI, 2004).

Berdasarkan karakteristik tersebut, sebuah sistem pembiayaan pelayanan kesehatan haruslah bertujuan untuk:
1) Risk spreading, pembiayaan kesehatan harus mampu meratakan besaran resiko biaya sepanjang waktu sehingga
besaran tersebut dapat terjangkau oleh setiap rumah tangga. Artinya sebuah sistem pembiayaan harus mampu
memprediksikan resiko kesakitan individu dan besarnya pembiayaan dalam jangka waktu tertentu (misalnya satu
tahun). Kemudian besaran tersebut diratakan atau disebarkan dalam tiap bulan sehingga menjadi premi (iuran,
tabungan) bulanan yang terjangkau.
2) Risk pooling, beberapa jenis pelayanan kesehatan (meskipun resiko rendah dan tidak merata) dapat sangat mahal
misalnya hemodialisis, operasi spesialis (jantung koroner) yang tidak dapat ditanggung oleh tabungan individu (risk
spreading). Sistem pembiayaan harus mampu menghitung dengan mengakumulasikan resiko suatu kesakitan dengan
biaya yang mahal antar individu dalam suatu komunitas sehingga kelompok masyarakat dengan tingkat kebutuhan
rendah (tidak terjangkit sakit, tidak membutuhkan pelayanan kesehatan) dapat mensubsidi kelompok masyarakat
yang membutuhkan pelayanan kesehatan. Secara sederhana, suatu sistem pembiayaan akan menghitung resiko
terjadinya masalah kesehatan dengan biaya mahal dalam satu komunitas, dan menghitung besaran biaya tersebut
kemudian membaginya kepada setiap individu anggota komunitas. Sehingga sesuai dengan prinsip solidaritas,
besaran biaya pelayanan kesehatan yang mahal tidak ditanggung dari tabungan individu tapi ditanggung bersama
oleh masyarakat.
3) Connection between ill-health and poverty, karena adanya keterkaitan antara kemiskinan dan kesehatan, suatu sistem
pembiayaan juga harus mampu memastikan bahwa orang miskin juga mampu pelayanan kesehatan yang layak
sesuai standar dan kebutuhan sehingga tidak harus mengeluarkan pembiayaan yang besarnya tidak proporsional
dengan pendapatan. Pada umumnya
di negara miskin dan berkembang hal ini sering terjadi. Orang miskin harus membayar biaya pelayanan kesehatan
yang tidak terjangkau oleh penghasilan mereka dan juga memperoleh pelayanan kesehatan di bawah standar.
4) Fundamental importance of health, kesehatan merupakan kebutuhan dasar dimana individu tidak dapat menikmati
kehidupan tanpa status kesehatan yang baik

Organisasi kesehatan se-dunia (WHO) sendiri memberi fokus strategi pembiayaan kesehatan yang memuat isu-isu
pokok, tantangan, tujuan utama kebijakan dan program aksi itu pada umumnya adalah dalam area sebagai berikut:
1) Meningkatkan investasi dan pembelanjaan publik dalam bidang kesehatan
2) Mengupayakan pencapaian kepesertaan semesta dan penguatan permeliharaan kesehatan masyarakat miskin
3) Pengembangan skema pembiayaan praupaya termasuk didalamnya asuransi kesehatan sosial
4) Penggalian dukungan nasional dan internasional
5) Penguatan kerangka regulasi dan intervensi fungsional
6) Pengembangan kebijakan pembiayaan kesehatan yang didasarkan pada data dan fakta ilmiah
7) Pemantauan dan evaluasi.

Implementasi strategi pembiayaan kesehatan di suatu negara diarahkan kepada beberapa hal pokok yakni;
kesinambungan pembiayaan program kesehatan prioritas, reduksi pembiayaan kesehatan secara tunai perorangan (out of
pocket funding), menghilangkan hambatan biaya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, pemerataan dalam akses
pelayanan, peningkatan efisiensi dan efektifitas alokasi sumber daya (resources) serta kualitas pelayanan yang memadai dan
dapat diterima pengguna jasa. Sumber dana biaya kesehatan berbeda pada beberapa negara, namun secara garis besar
berasal dari:
1. Anggaran pemerintah.
2. Anggaran masyarakat.
3. Bantuan biaya dari dalam dan luar negeri.
4. Gabungan anggaran pemerintah dan masyarakat.

Tingginya biaya kesehatan disebabkan oleh beberapa hal, beberapa yang terpenting diantaranya sebagai berikut:
1. Tingkat inflasi
Apabila terjadi kenaikan harga di masyarakat, maka secara otomatis biaya investasi dan juga biaya operasional pelayanan
kesehatan akan meningkat pula, yang tentu saja akan dibebankan kepada pengguna jasa.
2. Tingkat permintaan
Pada bidang kesehatan, tingkat permintaan dipengaruhi sedikitnya oleh dua faktor, yaitu meningkatnya kuantitas
penduduk yang memerlukan pelayanan kesehatan, yang karena jumlahnya lebih atau bertambah banyak, maka biaya
yang harus disediakan meningkat pula. Faktor kedua adalah meningkatnya kualitas penduduk. Dengan tingkat
pendidikan dan penghasilan yang lebih baik, mereka akan menuntut penyediaan layanan kesehatan yang baik pula dan
hal ini membutuhkan biaya pelayanan kesehatan yang lebih baik dan lebih besar.
3. Kemajuan ilmu dan teknologi
Sejalan dengan adanya kemajuan ilmu dan teknologi dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan (penggunaan
peralatan kedokteran yang modern dan canggih) memberikan konsekuensi tersendiri, yaitu tingginya biaya yang
harus dikeluarkan dalam berinvestasi. Hal ini membawa akibat dibebankannya biaya investasi dan operasional tersebut
pada pemakai jasa pelayanan kesehatan.
4. Perubahan Pola Penyakit
Meningkatnya biaya kesehatan juga dipengaruhi adanya perubahan pola penyakit, yang bergeser dari penyakit yang
sifatnya akut menjadi penyakit yang bersifat kronis. Dibandingkan dengan berbagai penyakit akut, perawatan berbagai
penyakit kronis ternyata lebih lama. Akibatnya biaya yang dikeluarkan untuk perawatan dan penyembuhan penyakit
ini akan lebih besar. Hal ini akan sangat mempengaruhi tingginya biaya kesehatan.
5. Perubahan pola pelayanan kesehatan
Perubahan pola pelayanan kesehatan ini terjadi akibat perkembangan keilmuan dalam bidang kedokteran sehingga
terbentuk spesialisasi dan subspesialisasi yang menyebabkan pelayanan kesehatan menjadi terkotak- kotak (fragmented
health service) dan satu sama lain seolah tidak berhubungan. Akibatnya sering terjadi tumpang tindih atau pengulangan
metoda pemeriksaan yang sama dan pemberian obat-obatan yang dilakukan pada seorang pasien, yang tentu
berdampak pada semakin meningkatnya beban biaya yang harus ditanggung oleh pasien selaku pengguna jasa
layanan kesehatan ini. Selain itu, dengan adanya pembagian spesialisasi dan subspesialisasi tenaga pelayanan
kesehatan, menyebabkan hari perawatan juga akan meningkat.
6. Perubahan Pola Hubungan Dokter-Pasien
Sistem kekeluargaan yang dulu mendasari hubungan dokter-pasien seakan sirna. Dengan adanya perkembangan
spesialisasi dan subspesialisasi serta penggunaan berbagai peralatan yang ditunjang dengan kemajuan ilmu dan
teknologi, mengakibatkan meningkatnya biaya yang harus dikeluarkan oleh pasien, hal ini tentu saja membuat pasien
menuntut adanya kepastian pengobatan dan penyembuhan dari penyakitnya. Hal ini diperberat dengan semakin
tingginya tingkat pendidikan pasien selaku pengguna jasa layanan kesehatan, yang mendorong semakin kritisnya
pemikiran dan pengetahuan mereka tentang masalah kesehatan. Hal tersebut diatas mendorong para dokter sering
melakukan pemeriksaan yang berlebihan (over utilization), demi kepastian akan tindakan mereka dalam melakukan
pengobatan dan perawatan, dan juga dengan tujuan mengurangi kemungkinan kesalahan yang dilakukan dalam
mendiagnosa penyakit yang diderita pasiennya. Konsekuensi yang terjadi adalah semakin tingginya biaya yang dibutuhkan
oleh pasien untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.
7. Lemahnya mekanisme pengendalian biaya Kurangnya peraturan perundang-undangan yang ditetapkan untuk
mengatur dan membatasi pemakaian biaya pelayanan kesehatan menyebabkan pemakaiannya sering tidak terkendali,
yang akhirnya akan membebani
penanggung (perusahaan) dan masyarakat secara keseluruhan.
8. Penyalahgunaan asuransi kesehatan
Asuransi kesehatan (health insurance) sebenamya merupakan salah satu mekanisme pengendalian biaya kesehatan, sesuai
dengan anjuran yang diterapkan oleh pemerintah. Tetapi jika diterapkan secara tidak tepat sebagaimana yang lazim
ditemukan pada bentuk yang konvensional (third party sistem) dengan sistem mengganti biaya (reimbursement) justru akan
mendorong naiknya biaya kesehatan. (Medis Online, 2009).

Biaya kesehatan banyak macamnya, karena kesemuanya tergantung dari jenis dan kompleksitas pelayanan kesehatan yang
diselenggarakan dan atau yang dimanfaatkan. Hanya saja disesuaikan dengan pembagian pelayanan kesehatan, maka biaya
kesehatan tersebut dapat dibedakan atas dua macam yaitu:
1) Biaya pelayanan kedokteran
Biaya yang dimaksudkan adalah yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan dan atau memanfaatkan pelayanan kedokteran,
yakni yang tujuan utamanya untuk mengobati penyakit serta memulihkan kesehatan penderita.
2) Biaya pelayanan kesehatan masyarakat
Biaya yang dimaksud adalah yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan dan atau memanfaatkan pelayanan kesehatan
masyarakat yaitu yang tujuan utamanya untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta untuk mencegah penyakit.

Sama halnya dengan biaya kesehatan secara keseluruhan, maka masing-masing biaya kesehatan ini dapat pula ditinjau
dari dua sudut yaitu dari sudut penyelenggara kesehatan (health provider) dan dari sudut pemakai jasa pelayanan
(health consumer).

MODEL SISTEM PEMBIAYAAN


Pertanyaan yang mengemuka ialah model kebijakan kesehatan seperti apa yang layak diterapkan di Indonesia, sistem
pembiayaan yang bagaimana yang cocok dengan kehidupan masyarakat kita. Terdapat beberapa model sistem pembiayaan
pelayanan kesehatan yang dijalankan oleh beberapa negara, berdasarkan sumber pembiayaannya:
1. Direct Payments by Patients
Ciri utama model direct payment adalah setiap individu menanggung secara langsung besaran biaya pelayanan kesehatan
sesuai dengan tingkat penggunaannya. Pada umumnya sistem ini akan mendorong penggunaan pelayanan kesehatan
secara lebih hati-hati, serta adanya kompetisi antara para provider pelayanan kesehatan untuk menarik konsumen atau free
market. Meskipun tampaknya sehat, namun transaksi kesehatan pada umumnya bersifat tidak seimbang dimana
pasien sebagai konsumen tidak mampu mengenali permasalahan dan kebutuhannya, sehingga tingkat kebutuhan
dan penggunaan jasa lebih banyak diarahkan oleh provider. Sehingga free market dalam pelayanan kesehatan tidak selalu
berakhir dengan peningkatan

mutu dan efisiensi namun dapat mengarah pada penggunaan terapi yang berlebihan.
2. User payments
Dalam model ini, pasien membayar secara langsung biaya pelayanan kesehatan baik pelayanan kesehatan
pemerintah maupun swasta. Perbedaannya dengan model informal adalah besaran dan mekanisme pembayaran,
juga kelompok yang menjadi pengecualian telah diatur secara formal oleh pemerintah dan provider. Bentuk yang paling
kompleks adalah besaran biaya yang bebeda setiap kunjungan sesuai dengan jasa pelayanan kesehatan yang
diberikan (biasanya terjadi untuk fasilitas pelayanan kesehatan swasta). Namun model yang umum digunakan adalah
’flat rate’, dimana besaran biaya per-episode sakit bersifat tetap.
3. Saving based
Model ini mempunyai karakteristik ‘risk spreding’ pada individu namun tidak terjadi risk pooling antar individu. Artinya
biaya kesehatan langsung, akan ditanggung oleh individu sesuai dengan tingkat penggunaannya, namun individu
tersebut mendapatkan bantuan dalam mengelola pengumpulan dana (saving) dan penggunaannya bilamana
membutuhkan pelayanan kesehatan. Biasanya model ini hanya mampu mencakup pelayanan kesehatan primer dan
akut, bukan pelayanan kesehatan yang bersifat kronis dan kompleks yang biasanya tidak bisa ditanggung oleh
setiap individu meskipun dengan mekanisme saving. Sehingga model ini tidak dapat dijadikan model tunggal pada
suatu negara, harus didukung model lain yang menanggung biaya kesehatan lain dan pada kelompok yang lebih
luas.
4. Informal
Ciri utama model ini adalah bahwa pembayaran yang dilakukan oleh individu pada provider kesehatan formal misalnya
dokter, bidan tetapi juga pada provider kesehatan lain misalnya: mantri, dan pengobatan tradisional; tidak
dilakukan secara formal atau tidak diatur besaran, jenis dan mekanisme pembayarannya. Besaran biaya biasanya
timbul dari kesepakatan atau banyak diatur oleh provider dan juga dapat berupa pembayaran dengan barang. Model
ini biasanya muncul pada negara berkembang dimana belum mempunyai sistem pelayanan kesehatan dan
pembiayaan yang mampu mencakup semua golongan masyarakat dan jenis pelayanan.
5. Insurance Based
Sistem pembiayaan dengan pendekatan asuransi mempunyai perbedaan utama dimana individu tidak
menanggung biaya langsung pelayanan kesehatan. Konsep asuransi memiliki dua karakteristik khusus yaitu
pengalihan resiko kesakitan pada satu individu pada satu kelompok serta adanya sharing looses secara adil. Secara
sederhana dapat digambarkan bahwa satu kelompok individu mempunyai resiko kesakitan yang telah
diperhitungkan jenis, frekuensi dan besaran biayanya. Keseluruhan besaran resiko tersebut diperhitungkan dan
dibagi antar anggota kelompok sebagai premi yang harus dibayarkan. Apabila anggota kelompok, maka keseluruhan
biaya pelayanan kesehatan
sesuai yang diperhitungkan akan ditanggung dari dana yang telah dikumpulkan bersama. Besaran premi dan jenis
pelayanan yang ditanggung serta mekanime pembayaran ditentukan oleh organisasi pengelola dana asuransi.

ASURANSI KESEHATAN
Dalam kamus atau perbendaharaan kata bangsa Indo- nesia, tidak dikenal kata asuransi, yang dikenal adalah istilah
“jaminan” atau “tanggungan”. Dalam konteks asuransi kesehatan, pengertian asuransi adalah memastikan seseorang yang
menderita sakit akan mendapatkan pelayanan yang dibutuhkannya tanpa harus mempertimbangkan keadaan
ekonominya. Ada pihak yang menjamin atau menanggung biaya pengobatan atau perawatannya. Pihak yang menjamin ini
dalam bahasa Inggris disebut insurer atau dalam UU Asuransi disebut asuradur. Asuransi merupakan jawaban atas sifat
ketidak-pastian (uncertain) dari kejadian sakit dan kebutuhan pelayanan kesehatan. Untuk memastikan bahwa kebutuhan
pelayanan kesehatan dapat dibiayai secara memadai, maka seseorang atau kelompok kecil orang melakukan transfer
risiko kepada pihak lain yang disebut insurer/asuradur, ataupun badan penyelenggara jaminan. (Thabrany H, 2001).
Menurut pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), asuransi mempunyai pengertian sebagai
berikut: Asuransi atau pertanggungan adalah suatu persetujuan dimana penanggung kerugian diri kepada tertanggung,
dengan mendapat premi untuk mengganti kerugian karena kehilangan kerugian atau tidak diperolehnya suatu keuntungan
yang diharapkan, yang dapat diderita karena peristiwa yang tidak diketahui lebih dahulu. (Andreas, 2009). Definisi asuransi
menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1992 adalah Asuransi atau Pertanggungan adalah
perjanjian antara dua pihak atau lebih, dimana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan
menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggungjawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita
tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti atau untuk memberikan suatu pembayaran yang
didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. (Andreas, 2009).
Dalam dunia asuransi ada 6 (enam) macam prinsip dasar yang harus dipenuhi, yaitu:
1) Insurable interest
Hak untuk mengasuransikan, yang timbul dari suatu hubungan keuangan, antara tertanggung dengan yang
diasuransikan dan diakui secara hukum.
2) Utmost good faith
Suatu tindakan untuk mengungkapkan secara akurat dan lengkap, semua fakta yang material (material fact) mengenai
sesuatu yang akan diasuransikan baik diminta maupun tidak. Artinya adalah: penanggung harus dengan jujur
menerangkan dengan jelas segala sesuatu tentang luasnya syarat atau kondisi dari asuransi dan tertanggung juga harus
memberikan keterangan yang jelas dan benar atas obyek atau kepentingan yang dipertanggungkan.
3) Proximate cause
Suatu penyebab aktif, efisien yang menimbulkan rantaian kejadian yang menimbulkan suatu akibat tanpa adanya
intervensi suatu yang mulai dan secara aktif dari sumber yang baru dan independen.
4) Indemnity
Suatu mekanisme dimana penanggung menyediakan kompensasi finansial dalam upayanya menempatkan tertanggung
dalam posisi keuangan yang ia miliki sesaat sebelum terjadinya kerugian (KUHD pasal 252, 253 dan dipertegas
dalam pasal 278).
5) Subrogation
Pengalihan hak tuntut dari tertanggung kepada penanggung setelah klaim dibayar.
6) Contribution
Adalah hak penanggung untuk mengajak penanggung lainnya yang sama-sama menanggung, tetapi tidak harus sama
kewajibannya terhadap tertanggung untuk ikut memberikan indemnity.

Pada umumnya model asuransi mendorong munculnya apa yang disebut sebagai moral hazard:
a. Pada sisi tertanggung (pasien): adanya kecenderungan untuk memaksimalkan pelayanan kesehatan karena semua biaya
akan ditanggung asuransi, dan kecenderungan untuk tidak melakukan tindakan preventif
b. Pada sisi provider: mempunyai kecenderungan untuk memberikan terapi secara berlebihan untuk
memaksimalkan pendapatan.

Sehingga beberapa skema asuransi diatur sedemikian rupa untuk mengurangi terjadinya moral hazard, misalnya dengan
mengatur batasan paket pelayanan, mengatur besaran kontribusi sesuai dengan tingkat resiko tertanggung. Sistem ini dapat
dibedakan menjadi asuransi yang bersifat umum yaitu mencakup semua golongan dan asuransi yang bersifat khusus untuk
kelompok masyarakat tertentu. Sifat asuransi dapat dijelaskan sebagai berikut:

Asuransi bersifat umum


General taxation
General taxation merupakan model dimana sumber pembiayaan diambil dari pajak pendapatan secara proporsional
dari seluruh populasi yang kemudian dialokasikan untuk berbagai sektor (tidak terbatas pelayanan kesehatan). Alokasi pada
sektor kesehatan biasanya berupa budget pada fasilitas kesehatan dan gaji staf kesehatan. Meskipun mempunyai cakupan yang
luas, keberhasilan sistem ini tergantung pada tingkat pendapatan masyarakat dan angkatan kerja, besaran alokasi pada
pelayanan kesehatan dan sistem penarikan pajak. Rendahnya pendapatan masyarakat (ekonomi negara) akan menurunkan
nilai pajak, alokasi biaya pada pelayanan kesehatan sehingga mendorong rendahnya cakupan dan mutu pelayanan sehingga
pada akhirnya biaya pelayanan kesehatan akan kembali ditanggung langsung oleh individu.
Earmarked payroll tax
Sistem ini memiliki karakteristik yang hampir serupa dengan general taxation hanya saja penarikan pajak dialokasikan
langsung bagi pelayanan kesehatan sehingga lebih bersifat transparan dan dapat mendorong kesadaran pembayaran pajak
karena kejelasan penggunaan.

Asuransi bersifat khusus


Dibandingkan dengan sistem umum, asuransi selektif mempunyai perbedaan dalam hal kontribusi dan tanggungan hanya
ditujukan pada suatu kelompok tertentu dengan paket pelayanan yang telah ditetapkan.
1. Social insurance
Social insurance mempunyai karakteristik khusus yang membedakan dengan private insurance, yaitu:
a. Keanggotaan bersifat wajib
b. Kontribusi (premi) sesuai dengan besaran gaji
c. Cakupan pelayanan kesehatan yang diasuransikan sesuai dengan besaran kontribusi
d. Pelayanan dirupakan dalam bentuk paket
e. Dikelola oleh organisasi yang bersifat otonom
f. Biasanya merupakan bagian dari sistem jaminan sosial yang berskala luas
g. Umumnya terjadi cross subsidi
2. Voluntary community
Perbedaan utama sistem ini dengan asuransi sosial adalah keanggotaan yang bersifat sukarela serta skala cakupan
tertanggung yang lebih sempit. Biasanya asuransi ini berkembang pada kelompok masyarakat yang tidak tertanggung
oleh asuransi sosial yaitu kelompok yang tidak memiliki pekerjaan formal, yang tidak memungkinkan untuk dilakukan
penarikan kontribusi rutin dari penghasilan. Contoh penerapan dari sistem ini adalah kartu sehat/kartu gakin yang
dikembangkan pemerintah daerah dan ditujukan pada kelompok tertentu (masyarakat miskin).
3. Private Insurance
Perbedaan utama private insurance dan social insurance adalah tidak adanya risk pooling dan bersifat voluntary. Disamping itu
private insurance juga memperhitungkan resiko kesakitan individu dengan besaran premium dan cakupan pelayanan asuransi
yang diberikan. Artinya individu yang lebih beresiko sakit misalnya kelompok rentan (bayi, ibu hami, lansia), orang dengan
perilaku tertentu misalnya perokok, dan orang dengan pekerjaan yang beresiko akan dikenakan premi yang lebih tinggi
dibandingkan kelompok yang dengan resiko rendah. Model ini tentunya mempunyai mekanisme lebih rumit mengingat harus
memperhitungkan tingkat resiko tertanggung.
Model private insurance mungkin bersifat profit yaitu mencari keuntungan untuk pengelolaan dan pemilik, atau
menggunakan keuntungan untuk mengurangi besaran premi tertanggung. Bentuk private insurance dapat berupa lembaga asuransi
swasta atau NGO bagi umum maupun asuransi kelompok khusus seperti asuransi pekerja
4. Funding/Donation
Seluruh sistem pembiayaan yang telah diuraikan diatas menganut keterkaitan antara pengguna jasa pelayanan kesehatan
atau tertanggung dan penggunaan jasa pelayanan kesehatan. Model funding tidak ditujukan langsung pada kelompok
individu tetapi lebih pada program kesehatan misalnya bantuan alat kesehatan, pelatihan atau perbaikan fasilitas
pelayanan kesehatan. Permasalahan yang sering muncul adalah ketidaksesuaian program funding dengan kebutuhan
atau kesalahan pengelolaan oleh negara. Disamping itu sumber dana dari funding tentu saja tidak dapat diandalkan
keberlangsungannya. Berdasarkan pengelolaan manajemennya, sistem pembiayaan menggambarkan hubungan
antara pasien sebagai konsumen dan atau sumber biaya, provider/penyelenggara atau pemberi pelayanan kesehatan (dokter,
perawat atau institusi seperti rumah sakit), pemerintah sebagai pengatur, pengelola pelayanan kesehatan dan sumber
biaya.
Asuransi kesehatan yang paling mutakhir adalah man- aged care, dimana sistem pembiayaan dikelola secara terintegrasi
dengan sistem pelayanan. Asuransi kesehatan dengan model managed care ini mulai dikembangkan di Amerika. Hal ini
timbul oleh karena sistem pembiayaan kesehatan yang lama, inflasi biaya kesehatan terus meningkat jauh diatas inflasi
rata-rata, sehingga digali model lain untuk mengatasi peningkatan biaya kesehatan. Managed care pada dasarnya sudah
mulai diterapkan pada tahun 1983 yaitu oleh kaisar Permanente Medical Care Program, tetapi secara meluas mulai diterapkan
pada tahun 1973, yaitu dengan diberlakukannya HMO Act, pada periode pemerintahan Noxon. (Juanita, 2002).
Pada hakekatnya, managed care adalah suatu konsep yang masih terus berkembang, sehingga belum ada suatu
definisi yang satu dan universal tentang managed care. Namun demikian secara umum dapat didefinisikan bahwa managed
care adalah suatu sistem dimana pelayanan kesehatan terlaksana secara terintegrasi dengan sistem pembiayaan
kesehatan, yang mempunyai 5 (lima) elemen sebagai berikut:
1. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan oleh provider tertentu (selecte provider).
2. Adanya kriteria khusus untuk penetapan provider.
3. Mempunyai program pengawasan mutu dan managemen utilisasi.
4. Penekanan pada upaya promotive dan preventive.
5. Ada financial insentive bagi peserta yang melaksanakan pelayanan sesuai prosedur. (Juanita, 2002).

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan alokasi anggaran untuk kesehatan yang ideal adalah sekurang-
kurangnya 6% dari anggaran belanja negara (APBN). Sementara itu di negara-negara maju, alokasi anggaran untuk
kesehatan mencapai 6%-15%. Di Indonesia anggaran untuk Departemen Kesehatan kurang 5% dari APBN.
Melihat karakteristik tersebut diatas, maka biaya yang timbul akibat gangguan kesehatan (penyakit) merupakan
obyek yang layak diasuransikan untuk meringankan beban yang ditanggung oleh penderita serta meningkatkan akses
pelayanan kesehatan yang merupakan kebutuhan hidup masyarakat. WHO didalam The World Health Report 2000-
Health System: Inproving Pervormance juga merekomendasikan untuk mengembangkan sistem pembayaran secara ”pre
payment”, baik dalam bentuk asuransi, tax, maupun social security. Sistem kesehatan haruslah dirancang sedemikian rupa,
sehingga bersifat terintegrasi antara sistem pelayanan dan sistem pembiayaan, mutu terjamin (quality assurance) dengan
biaya terkendali (cost containment).
Indonesia dengan kondisi yang sangat turbulensi dalam berbagai hal pada saat ini, serta dengan keterbatasan resources
yang ada, maka sistem managed care merupakan pilihan yang tepat dalam mengatasi masalah pembiayaan kesehatan.
Managed care dianggap tepat untuk kondisi di Indonesia, kemungkinan karena sistem pembiayaan managed care dikelola
secara terintegrasi dengan sistem pembiayaan, dengan managed care berarti badan pengelola dana (perusahaan
asuransi) tidak hanya berperan sebagai juru bayar, sebagaimana berlaku pada asuransi tradisional, tapi ikut berperan
dalam dua hal penting, yaitu pengawasan mutu pelayanan (quality control) dan pengendalian biaya (cost con- tainment).
Salah satu elemen managed care adalah bahwa pelayanan diberikan oleh provider tertentu, yaitu yang memenuhi kriteria
yang ditetapkan meliputi aspek administrasi, fasilitas sarana, prasarana, prosedur dan proses kerja atau dengan istilah lain
meliputi proses bisnis, proses produksi, sarana, produk dan pelayanan. Dengan cara ini, maka pengelola dana (asuransi)
ikut mengendalikan mutu pelayanan yang diberikan kepada pesertanya.

1. ANALISIS BERDASARKAN ETIK KESEHATAN

Indonesia merupakan suatu negara hukum yang berdasarkan


konstitusional atau Peraturan Perundang-undangan. Dalam rangka usaha
melaksanakan tugas Pemerintah Republik Indonesia memajukan
kesejahteraan umum termasuk pelayanan kesehatan rakyat.1
Pelayanan kesehatan merupakan salah satu hak mendasar masyarakat yang
penyediaannya wajib diselenggarakan oleh pemerintah sebagaimana telah
diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (yang selanjutnya ditulis UUD 1945) dalam pasal 28H
ayat(1),ayat (2), dan ayat (3) yang menyatakan:
Ayat (1):“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat
tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan”Ayat (2):“Setiap orang berhak mendapat
kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan
manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”
Ayat (3):“Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan
pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat”
Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh jaminan
kesehatan dari negara. Setiap orang dengan status sosial yang berbeda-beda
berhak untuk memperoleh jaminan kesehatan yang memadai. Peningkatan
kesehatan harus terus menerus diupayakan agar bisa memenuhi standar
hidup sehat jasmaniah sehingga setiap orang dapat hidup produktif baik itu
kehidupan sosial maupun ekonomi. Dari bunyi Pasal 34 ayat 2 UUD 1945
mengandung makna bahwa pemerintah atau negara berkewajiban membuat
sebuah program yang dapat digunakan untuk membantu masyarakat miskin
untuk berobat, memperoleh pengahasilan dan pekerjaan yang layak.2
JAMKESMAS (Jamiman Kesehatan Masyarakat), Badan Penyelenggaraan
Jaminan Sosial (untuk selanjutnya disingkat BPJS) Kesehatan membantu
masyarakat yang tidak mampu untuk berobat dengan gratis, Kartu Indonesia
Sehat, Kartu Indonesia pintar. Berbanding dengan negara lain bahwa Negara
harus mejamin kesejahteraan masyarakat.
Jaminan Sosial Nasional ini adalah salah satu bentuk perlindungan sosial
untuk menjamin seluruh Warga Negara Indonesia Untuk menyelenggaraan
sistem jaminan sosial maka dibentuklah BPJS tersebut.
Pada Tahun 2004 pemerintah memberlakukan UU Nomor 40 Tahun 2004
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (selanjutnya ditulis UU Tentang
SJSN) Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Sistem SJSN memberi pengertian
terhadap Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial sebagai badan Hukum
yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial.3
BPJS kesehatan berfungsi menyelenggarakan program jaminan kesehatan”.
Jaminan kesehatan menurut Undang-Undang SJSN diselenggarakan secara
nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas, dengan
tujuan menjamin agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan
dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan. Tugas dari
BPJS kesehatan dalam melaksanakan fungsi sebagaimana yang diatur pada
pasal 10 Undang- Undang No 24 Tahun 2011 BPJS kesehatan bertugas
untuk:
1. Melakukan dan/atau menerima pendaftaran peserta.

2. Memungut dan mengumpulkan iuran dari peserta dan pemberi kerja.

3. Menerima bantuan iuran dari pemerintah.

4. Mengelola dana jaminan sosial untuk kepentingan peserta.

5. Mengumpulkan dan mengelola data peserta program jaminan sosial.

6. Membayar manfaat dan/atau membiayai pelayanan kesehatan sesuai


dengan ketentuan program jaminan sosial.

7. Memberikan informasi mengenai penyelenggaraan program jaminan


sosial kepada peserta dan masyarakat. Melalui Instruksi Presiden
(Inpres) Nomor: 8 Tahun 2017 tentang

Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional, tertanggal


23 November 2017. Presiden menginstruksikan Direksi BPJS Kesehatan
memastikan peserta Jaminan Kesehatan Nasional (Jamkesnas) mendapatkan
akses pelayanan jaminan kesehatan yang berkualitas melalui pemberian
identitas Peserta Jaminan Kesehatan Nasional dan perluasan kerjasama
dengan fasilitas kesehatan yang memenuhi
persyaratan.“Instruksi Presiden ini berlaku sampai dengan tanggal 31
Desember 2018,”

Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2017.4


1. Memastikan peserta Jaminan Kesehatan Nasional mendapatkan akses
pelayanan jaminan kesehatan yang berkualitas melalui pemberian identitas
peserta Jaminan Kesehatan Nasional dan perluasan kerja sama dengan
fasilitas kesehatan yang telah memenuhi persyaratan.

2. Meningkatkan kerja sama dengan pemangku kepentingan terkait dalam


rangka kepatuhan dan terlaksananya program Jaminan Kesehatan Nasional
yang optimal.

3. Meningkatkan kerja sama dengan Kementrian/ Lembaga atau pihak lain


dalam rangka kampanye dan sosialisasi (public education) program Jaminan
Kesehatan Nasional.

4. Melakukan pengkajian dan evaluasi regulasi terkait program Jaminan


Kesehatan Nasional guna menjamin keberlangsungan dan peningkatan
kualitas program Jaminan Kesehatan Nasional.

5. Melakukan pengkajian implementasi program Jaminan Kesehatan


Nasional dan memberikan bahan masukan untuk perbaikan kebijakan
program Jaminan Kesehatan Nasional guna menjamin keberlangsungan dan
meningkatkan kualitas program Jaminan Kesehatan Nasional.

6. Meningkatkan jumlah kerja sama dengan apotek yang memenuhi syarat


untuk menjamin ketersediaan obat program Rujuk Balik dengan kriteria dan
proses penunjukan kerja sama yang transparan
sesuai kebutuhan dan kondisi geografis; dan

7. Menyediakan dan memberikan data program Jaminan Kesehatan


Nasional secara berkala kepada Menteri kesehatan dalam rangka
peningkatan mutu.
2. PEMBIAYAAN KESEHATAN MENURUT HUKUM
Penyebab penipuan ini terjadi beberapa negara, seperti Indonesia dimana
kasus kartu BPJS di wilayah Bandung. Dari temuan kasus tersebut kartu
BPJS palsu yang dibuat pelaku dan merupakan kasus yang sudah terencana
dan teorganisir oleh pelaku. Modus penipuan yang ditimbulkan adanya
keterbatasan informasi pemerintah dalam mengawasi dan tindak lanjutin
dalam proses hukum. Apalagi di wilayah pedesaan minimnya layanan
kesehatan yang disalurkan maka pelaku memanfaatkan mendistribusikan
pengobatan dan alat kesehatan dengan jumlah sedikit atau pengobatan secara
murah, padahal pemerintah sudah memberikan pengobatan dan alat
kesehatan
Upaya penanganan sebagai tindak lanjut dalam tindak pidana penipuan yang
menyalahgunakan BPJS Kesehatan dengan melakukan peran unit
penanganan pengaduan peserta dalam melapori atas tindakan kejahatan
penipuan. Masyarakat sudah khawatir atas tindakan petugas BPJS Kesehatan
dalam melakukan menipulasi data atau pengenaan pembiayaan. Sebenarnya
itu akal-akalan para pelaku melakukan perbuatan penipuan agar bisa meraup
keuntungan. Untuk itu diupayakan pengecekan identitas data kartu agar
menjamin bahwa peserta sudah mndaftar atau belum, memberikan
penyuluhan kepada pendaftar dan pembayaran agar tidak kenak tipu. Ada
petugas nakal yang memanfaatkan situasi untuk mengambil keuntungan.
Selain itu mensosialisasikan masyarakat agar kepengurusan BPJS Kesehatan
harus mengecek dulu namanya dan menjelaskan sistem pembayarannya.
BPJS Kesehatan menganjutkan kepada masyarakat untuk tidak
menggunakan jasa orang lain akan berdampak akan penipuan, maka
kepengurusan secara langsung ke kantor BPJS Kesehatan saja, karena pelaku
melakukan berbagai kesempaan dalam menggunakan jasanya untuk menipu
calon korbannya. BPJS sudah mensosialisasikan ke seluruh media massa,
media sosial, surat kabar maupun periklanan tentang penipuan yang
menyalahgunakan BPJS Kesehatab. Penerapan program BPJS Kesehatan
sudah terlaksana dengan menggunakan dropbox system dengan teknologi
informasi yang akurat, agar bisa memberikan kemudahan dan percepat
pendaftaran ke kantor BPJS Kesehatan. BPJS selalu menambahkan point of
service dengan pendaftaran secara mudah dan terpecaya (Novitasari, Arso,
& Fatmasari, 2018).
Kerugian yang ditimbulkan begitu banyak merugikana bagi pihak peserta
BPJS Kesehatan, maka pemerintah mengeluarkan Peraturan berupa
Permenkes No.6 tahun 2019 tentang Pencegahan Kecurangan (faund)
dengan adanya peraturan tersebut akan memberikan efek jera bagi pelaku
yang melakukan penipuan menyalahgunakan BPJS Kesehatan. Sebagai dasar
hukum atas penipuan sudah diegulasikan yakni KUHP, UU BPJS dan
Permenkes. Kesemuanya ini bisa teratasi bila aparat penegakan hukum mau
melakukan tindak lanjutin proses hukum yang jalani. Dengan adanya dasar
hukum tersebut menjamin adanya kepastian hukum atas tindak pidana
penipuan khususnya layanan kesehatan, karena pelaku melakukan berbagai
tipu muslihat dan kalimat bohong Kejahatan penipuan dirumuskan dalam
KUHP tentang perbuatan curang yang mana pada Pasal 378 KUHP,
Permenkes No. 16 tahun 2019 serta Permenkes sudah memiliki pengawasan,
terdeteksi dan sanksi hukuman bagi pelaku penipuan yang menyalahgunakan
BPJS Kesehatan dengan begitu tindakan kecurangan sering dilakukan oleh
petugas atau oknum di lingkungan BPJS Keseatan dengan memberi ruang
berbagai cara yang dilakukannya. Oleh karena itu, tindakan seperti itu harus
ditegakan seadilnya agr peserta BPJS yakin dan percaya bahwa penipuan
tidak ada lagi melakukan penyimpangan atau penyelewengan di dalam
lingkungan BPJS Kesehatan tersebut. Pada umumnya epnipuan yang
menyalahgunakan BPJS Kesehatan di lakukan oleh petugas maupun aknum
pegawai BPJS Kesehatan yang ikut berperan dalam melakukan penipuan.
Petugas BPJS mau melakukan karena mendapatkan keuntunagn dengan
melakukan memanipulasi data peserta, menahan pembayaran ke fasilitas
kesehatan, melakukan rekayasa pembiayaan alat kesehatan dan melakukan
pengajuna klaim palsu, melakukan pemalsuan kartu peserta BPJS dan lain
sebagainya masih banyak lagi modus yang dilakukan pelaku penipuan
(Mulyadi, 2017).
Penipuan dalam BPJS Kesehatan sudah sepatutnya dilakukan pencegaan
agar tidak terulang lagi kedepannya dengan menerapkan pengawasan dan
pengendalian. Maraknya yang terjadi penipuan yang menyalahgunakan
BPJS Kesehatan ini akan menimbulkan kegelisahan masyarakat yang
berkeinginan mendaftar menjadi peserta BPJS. Untuk itu himbauan dari
BPJS masyarakat tidak menggunakan jasa kepada orang lain akan
mengakibatkan dampak pada diri sendiri. Kehatian peserta yang mendaftar
ke kantor BPJS akan lebih menjamin warga untuk waspada dalam kejahatan
penipuan saat ini. Penipuan sudah merebak khususnya layanan kesehatan
yang berkeinginan mendapatkan keuntungan. Hal itulah penulis mengkaji
dan menganalisis tindak pidana yang terjadi saat ini khusus penipuan, dan
penulis merasa tertarik dalam melakukan penelitian tersebut dengan judul
Analisis Hukum Terhadap Tindakan Pidana Penipuan Yang
Menyalahgunakan BPJS Kesehatan Berdasarkan KUHP (Hartati, 2016).
HUKUM

Berbagai bentuk penipuan serupa akan dapat mewarnai dalam


penyalahgunaan BPJS kesehatan, yang dapat dilakukan oleh individu
ataupun kelompok maupun oleh pemberi pelayanan kesehatan maupun
rumah sakit sebagai penerima rujukan. Pengaturan Permenkes No. 16 tahun
2019 cukup baik sebagai regulasi yang mengawali pengaturan untuk
mencegah penipuan dalam penyalahgunaan BPJS. Sanksi administratif itu
berjalan sesuai harapan karena regulasi kita saat ini di bidang kesehatan
tidak ketat, terutama terkait pengawasan. Tapi sanksi administratif itu harus
ditegakan sebagaimana aturan. Selain itu penerapan sanksi administratif
harus sinergis dengan pidana. Ketentuan Pasal 378 KUHP bisa juga
dikenakan kepada pelaku penipuan atau kecurangan (fraud) sifatnya karena
karena ketentuan itu sesungguhnya hanya ditujukan untuk penipuan yang
sifatnya umum, tidak khusus menyasar fraud.
BPJS Kesehatan mengingatkan masyarakat agar berhati-hati. Sebab, ada
penipuan mengatasnamakan BPJS Kesehatan. BPJS Kesehatan menegaskan,
pihaknya tak pernah mengenakan biaya administrasi dari proses pendaftaran.
Kerjasama berbagai pihak sangat diperlukan dalam upaya pemberantasan
kecurangan ataupun penipuan dalam layanan kesehatan agar dapat
berdampak baik. Upaya-upaya pengendalian kecurangan atau penipuan
hendaknya dapat berjalan dalam siklus yang tidak terpotong-potong dan
upaya-upaya pengendalian yang sudah dilakukan dan dampaknya terhadap
penyelamatan uang negara hendaknya dapat didokumentasikan dalam
bentuk laporan berkala sehingga dapat diketahui.
KORUPSI DI BIDANG KESEHATAN 

D. Korupsi di Bidang Kesehatan


Istilah korupsi tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia, yang banyak diartikan
penyelewengan dana negara oleh aparat negara itu sendiri. Berbeda dengan Fraud
yang belum familiar ditelinga masyarakat Indonesia. Istilah Fraud digunakan juga
sektor kesehatan untuk menggambarkan bahwa perbuatan curang di sektor kesehatan
mencakup ketiga bentuk ini.

The Association of Certified Fraud Examiners (ACFE), sebuah organisasi


profesional yang bergerak dibidang pemeriksaan atas kecurangan dan mempunyai
tujuan untuk memberantas kecurangan yang berkedudukan di Amerika Serikat dan
telah memiliki cabang di Indonesia, mengklasifikasikan Fraud (kecurangan) dalam
beberapa Klasifikasi dan dikenal dengan istilah "Fraud Tree” yaitu sistem klasifikasi
menenai hal-hal yang ditimbulkan oleh kecurangan sebagai berikut:

1. Penyimpangan atas aset (Asset Misappropriation).


Asset misappropriation meliputi penyalahgunaan/ pencurian aset atau harta
perusahaan atau pihak lain. Ini merupakan bentuk Fraud yang paling mudah
dideteksi karena sifatnya yang tangible atau dapat diukur/ dihitung (defined value).2.
Pernyataan palsu atau salah pernyataan (Fraudulent
Statement).Fraudulent statement meliputi tindakan yang dilakukan oleh
pejabat atau eksekutif suatu perusahaan atau instansi pemerintah untuk menutupi
kondisi keuangan yang sebenarnya dengan melakukan rekayasa keuangan (financial
engineering) dalam penyajian laporan keuangannya untuk memperoleh keuntungan
atau mungkin dapat dianalogikan dengan istilah window dressing.

3. Korupsi (Corruption).Jenis Fraud ini yang paling sulit dideteksi karena


menyangkut kerja sama dengan pihak lain seperti suap dan korupsi, di mana hal ini
merupakan jenis yang terbanyak terjadi di negara- negara berkembang yang
penegakan hukumnya lemah dan masih kurang kesadaran akan tata kelola yang baik
sehingga faktor integritasnya masih dipertanyakan. Fraud jenis ini sering kali tidak
dapat dideteksi karena para pihak yang bekerja sama menikmati keuntungan
(simbiosis mutualisme). Termasuk didalamnya adalah penyalahgunaan wewenang/
konflik kepentingan (conflict of interest), penyuapan (bribery), penerimaan yang
tidak sah/illegal (illegal gratuities), dan pemerasan secara ekonomi (economic
extortion).

Secara umum, Fraud adalah sebuah tindakan criminal menggunakan metode-metode


yang tidak jujur untuk mengambil keuntungan dari orang lain (Merriam-Webster
Online Dicionary). Secara khusus, Fraud dalam jaminan kesehatan didefnisikan
sebagai sebuah tindakan untuk mencurangi atau mendapat manfaat program layanan
kesehatan dengan cara yang tidak sepantasnya.

Berdasar Permenkes 36 tahun 2015 tentang Pencegahan Kecurangan (Fraud) dalam


Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada Sistem Jaminan Sosial Nasional
(SJSN), Fraud dalam jaminan kesehatan adalah tindakan yang dilakukan dengan
sengaja oleh peserta, petugas BPJS kesehatan, pemberi pelayanan kesehatan, serta
penyedia obat dan alat kesehatan untuk mendapat keuntungan finansial dari program
JKN dalam SJSN melalui perbuatan curang yang tidak sesuai ketentuan.

a) PenyebabFrauddiKesehatan
Secara umum, menurut Cressey (1973), terdapat 3 faktor yang pasti muncul
bersamaan ketika seseorang melakukan Fraud. Pertama adalah tekanan yang
merupakan faktor yang memotivasi seseorang melakukan tindak kriminal Fraud.
Kedua adalah kesempatan yaitu situasi yang memungkinkan tindakan kriminal
dilakukan. Ketiga adalah rasionalisasi, yaitu pembenaran atas tindakan kriminal
yang dilakukan. Dalam banyak kasus, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Shahriari (2001), Fraud dalam layanan kesehatan terjadi karena:

8. (1) Tenaga medis bergaji rendah


9. (2) Adanya ketidakseimbangan antara sistem layanan kesehatan dan beban
layanan kesehatan
10. (3) Penyedia layanan tidak memberi insentif yang memadai
11. (4) Kekurangan pasokan peralatan medis
12. (5) Inefisiensi dalam sistem
13. (6) Kurangnya transparansi dalam fasilitas kesehatan
14. (7) Faktor budaya. “Ketidaknyamanan” dalam sistem kesehatan
menyebabkan

berbagai pihak melakukan upaya “penyelamatan diri” untuk bertahan hidup selama
berpartisipasi dalam program JKN. Dokter maupun rumah sakit dapat melakukan
coping strategy sebagai langkah untuk menutupi kekurangan mereka atau paling
tidak memang bertujuan mencari keuntungan meskipun dari sesuatu yang illegal
(Van Lerberghe et al., 2002). Mekanisme koping ini hadir ketika sistem pengawasan
lemah dan tidak mampu menutupi peluang oknum untuk melakukan Fraud. Oknum
tentu akan terus menerus melakukan kecurangan ini sepanjang mereka masih bisa
menikmati keuntungan dengan kesempatan yang selalu terbuka untuk melakukan
kecurangan.(Ferrinho et al., 2004)

Berdasarkan teori dari Tuanakotta (2007) yang mengemukakan bahwa terdapat 3


pemicu utama yang dikenal

dengan nama “fraud triangle” sehingga seseorang terdorong untuk melakukan fraud
yaitu (Purwitasari & Septiani, 2013) :

a) Opportunity (kesempatan)Manajemen dalam sebuah


organisasi/perusahaan mempunyai kesempatan yang lebih besar melakukan
fraud dibandingkan karyawannya. Kesempatan untuk melakukan fraud
sangat berhubungan penerapan pengendalian internal dalam perusahaan
apakah kuat atau lemah. Internal control yang lemah dikarenakan karena
pengawasan, dan penyalahgunaan wewenang. Dari 3 elemen fraud triangle,
kesempatan merupakan elemen yang paling memungkinkan untuk
diminimalisir melalui penerapan proses, prosedur, dan control serta cara
mendeteksi awal terjadinya fraud. Kesempatan dalam penelitian ini adalah :
15. BPJS memiliki pengendalian intern lemah yang
-
menyebabkan proses klaim asuransi dimanfaatkan oleh rumah sakit
dengan melakukan fraud.
16. - Pihak BPJS tidak mememiliki internal kontrol baik
kontrol secara berkala maupun rutin terhadap pelaksanaan asuransi
BPJS di lapangan.
17. Rumah sakit diberikan saran oleh BPJS untuk menyediakan
divisi anti fraud yang dapat membantu pihak BPJS mengontrol proses
asuransi kesehatan BPJS, namun divisi anti fraud bekerja untuk rumah
sakit bukan untuk BPJS.
18. - Adanya kemungkinan ada oknum yang bekerja sama dari
kedua lembaga tersebut. Pressure (tekanan)Fraud karena tergantung
kepada kondisi individu, tekanan keuangan, kebiasaan buruk dan
kebiasaan lain yang merugikan. Tekanan yang mungkin terjadi pada
rumah sakit adalah : Tekanan dari shareholders maupun top eksekutif
rumah sakit memperoleh laba yang tinggi sehingga terjadi fraud. Fraud
yang dilakukan oleh rumah sakit terjadi mungkin adanya oknum dari
karyawan rumahsakit sehingga tekanan muncul dari pribadi karyawan
bukan kesalahan dari rumah sakit seluruhnya. Razionalization
(rasionalisasi)Apabila seseorang menganggap pembenaran atas fraud
yang dilakukannya. Pelaku mencari alasan atau pembenaran bahwa fraud
yang dilakukannya bukan

b) DampakFrauddiLayananKesehatan
Banyak aktor yang dapat terlibat dalam terjadinya Fraud layanan kesehatan. Di
Indonesia, aktor-aktor potensial Fraud yang disebut dalam Permenkes No. 36 tahun
2015, adalah peserta, petugas BPJS Kesehatan, pemberi pelayanan kesehatan,
dan/atau penyedia obat dan alat kesehatan.

Fraud dalam bidang kesehatan terbukti berpotensi menimbulkan kerugian finansal


negara dalam jumlah yang tidak sedikit. Sebagai contoh, pontesi kerugian akibat
Fraud di dunia adalah sebesar 7,29% dari dana kesehatan yang dikelola tiap
tahunnya. data FBI di AS menunjukkan bahwa potensi kerugian yang mungkin
ditimbulkan akibat Fraud layanan kesehatan adalah sebesar 3-10% dari dana yang
dikelola. Data lain yang bersumber dari penelitian University of Portsmouth
menunjukkan bahwa potensi Fraud di Inggris adalahsebesar 3-8% dari dana yang
dikelola. Fraud juga menimbulkan kerugian sebesar 0,5 – 1 juta dollar Amerika di
Afrika Selatan berdasar data dari Simanga Msane dan Qhubeka Forensic dan
Qhubeka Forensic Services.

Tuanakotta (2007:159) mendefinisikan bahwa ada ungkapan yang mudah dalam


menjelaskan penyebab atau akar permaslahan dari fraud. Ungkapan tersebut : fraud
by need, by greed and by opportunity. Dapat diartikan bila ingin mencegah fraud,
agar menekan sekecil mungkin penyebabnya. Organisasi yang diduga melakukan
fraud secara internal tidak mau dipublikasikan, kasus

tersebut ditutup dan masalahnya dianggap telah selesai.(Tuanakotta, 2007)

Hall (2001), menyatakan fraud ditunjukkan pada penyajian fakta yang salah
dilakukan oleh satu pihak ke pihak lain yang bertujuan untuk membohongi dan
mempengaruhi pihak lain untuk bergantung pada fakta tersebut, fakta yang akan
merugikannya dan berdasarkan pada peraturan yang berlaku.

Tujuan utama pencegahan fraud adalah menghapus sebab- sebab terjadinya fraud.
Menurut Amrizal (2004:3) fraud sering terjadi karena :

19. a) pengendalian internalyang lemah dan terjadi kelonggraan atau tidak


efektif
20. b) Pegawai bekerja namun tidak memikirkan kejujuran dan
integritasnya
21. c) Pegawai yang terlalu diatur, dimanfaatkan , disalahgunakan atau
diperlakukan dengan tekanan yang besar agar mencapai sasaran dan
tujuan keuangan
22. d) Manajemen yang bekerja fraud, tidak efisien dan atau tidak efektif
serta tidak mematuhi pada hukum dan peraturan yang berlaku
23. e) Karyawan yang dipercaya mempynyai masalah pribadi,yaitu
masalah keuangan, kesehatan keluarga, gaya hidup yang berlebihan
24. f) Perusahaan memiliki sejarah atau tradisi terjadinya fraud
25. Hartatik,
2016, Pencegahan Kecurangan (Fraud) dalam pelaksanaan Program
Jaminan Kesehatan pada system jaminan social kesehatan (SJSN) di Rumah
Sakit Umum Daerah Menggala Tulang Bawang, Vol 10 Issue 4 menyatakan
bahwa melakukan pencegahan fraud adalah kegiatan yang dilaksanakan
tentang penetapan kebijakan, system serta prosedur yang dapat membantu
tindakan yang diperlukan oleh dewan komisaris, manajemen, dan personil lain
dalam perusahaan yang dapat memberikan keyakinan memadai dalam
mencapai tujuan organisasi yaitu: efektivitas dan efisiensi operasi, keandalan
laporan keuangan, serta kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang
berlaku (Hartati, 2016)

26. MenurutTuanakotta (2007:162) pencegahan fraud dapat dilakukan dengan


mengaktifkan pengendalian internal, yaitu pengendalian internal yang paling
banyak diterapkan, yang menghalangi pencuri masuk ke halaman rumah
orang.

PEMBIAYAAN KESEHATAN SOSIAL BERDASARKAN HUKUM KESEHATAN SYARIAH

Asuransi Sosial Syariah bagi Muslim Indonesia. Konsep dasar terhadap asuransi adalah karena
masyarakat membutuhkan perlindungan terhadap setiap kejadian yang terjadi dalam
masyarakat seperti sakit dan bencana alam. Pasal 14 UU No. 2 tahun 1992 tentang
Perasuransian menyebutkan bahwa asuransi sosial merupakan jenis asuransi yang dijalankan
pemerintah untuk kesejahteraan masyarakat. Saat ini penduduk Indonesia yang beragama
islam mencapai 80%, oleh karena itu, masyarakat Muslim Indonesia membutuhkan sistem
asuransi sosial syariah. Sistem oprasional asuransi sosial syariah pada hakikatnya sama sengan
sistem yang digunakan olah asuransi syariah, dimana ada 2 (dua) produk, yaitu tabungan
peserta dan rekening tabarru’. Sebagai pengelolanya adalah BUMN sesuai dengan ketentuan
UU No. 2 Tahun 1992 Tentang Perasuransian.

Hakikat Akad Muamalat


Permasalahan yang terjadi di masyarakat dunia dalam bidang muamalat pada
umumnya merupakan impelentasi mumalat sesuai dengan nilai-nilai syariat
yang telah ditentukan dalam ketentuan Alquran, Sunah, Ijmak dan qiyas.
Riba dan maysîr (judi) menjadi indikator dalam muamalat untuk
menentukan bahwa akad sesuai dengan ketentuan dalam syariat. Asal makna
riba menurut bahasa arab ialah lebih (bertambah). Adapun yang dimaksud
disini menurut istilah syariat adalah akad yang terjadi dengan penukaran
tertentu, tidak diketahui sama atau tidaknya menurut aturan syariat atau
terlambat menerimanya.15 Riba pada umumnya terjadi dalam muamalat
dengan konsep hutang piutang yang menjadikan dasarnya adalah hutang
pokok dengan ditambah kelebihan kepada yang memberikan hutang kepada
si piutang. Ini yang menjadikan lahirnya riba dalam masyarakat umat Islam.
Larangan riba diturunkan tidak sekaligus me- lainkan diturunkan dalam 4
tahap, dimana pada tahapan-tahapan tersebut diturunkannya ayat-ayat
Alquran untuk larangan riba. Adapun tahapan-tahapan tersebut antara lain:
(1) Penolakan terhadap makna riba sebagai upaya untuk saling menolong
sesama manusia sebagaimana disebutkan dalam Q.s. al-Rûm [30]: 39. (2)
Riba diilustrasikan sebagai perbuatan yang buruk dan Allah Swt akan
memberikan balasan yang setimpal kepada orang Yahudi yang memakan
barang riba sebagaimana disebutkan dalam Q.s. al-Nisâ [4]: 160-161. (3)
Perbuatan riba diharamkan karena menimbulkan kerugian terhadap sesama
manusia se- bagai akibat dari perbuatan melipatgandakan atas suatu utang
sebagaimana disebutkan dalam Q.s. Âli ‘Imrân [3]: 130. (4) Allah Swt
dengan jelas dan tegas mengharamkan apapun jenis tambahan yang diambil
dari pinjaman sebagaimana disebutkan dalam Q.s. al- Baqarah [2]: 278-279.
Ini adalah ayat yang terakhir yang diturunkan menyangkut riba.
Sedangkan maysîr (judi) merupakan salah satu amalan muamalat yang saat
ini dilaksanakan oleh masyarakat dengan cara menginvestasikan uang
melalui program asuransi yang tidak berbasisi oprasionalnya dengan
oprasional syariah, sehingga melahirkan ketidakpastian terhadap yang
investasi uang dalam program asuransi tersebut dan dapat melahirkan
muamalat yang bersumber pada maysîr (judi).
Sedangkan gharar merupakan suatu hal yang tidak dapat diukur atau tidak
jelas, sehingga ketidakjelasan tersebut tidak memberikan nilai apa-apa
terhadap akad yang terjadi. Akad yang dilaksanakan pada hakikatnya
merupakan akad tabaddulî atau akad pertukaran. Dalam akad pertukaran,
barangnya harus jelas dan terlihat sehingga tidak menimbulkan keragu-
raguan dalam akad tersebut dan jelas akadnya.
Riba, maysîr (judi) dan gharar (ketidakjelasan) tidak menutup kemungkinan
dilaksanakan dalam akad asuransi yang tidak melandasi akadnya dengan
syariat. Oleh karena itu ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam Alquran
dan Sunah menjadi batasan untuk menghindari hal-hal tersebut.
Jaminan Sosial dan Peran Negara
Pemahaman terhadap makna jaminan sosial merupakan hakikat kewajiban
yang bersifat substansial, dimana peran negara yang besar dalam rangka
men- ciptakan kesejahteraan kepada masyarakat yang ber- sifat
berkelanjutan. Menurut A.M. Saefudin, yang dikutip oleh Mohammad Daud
Ali, bahwa peran
negara pada umumnya, pemerintah pada khusunya, sangat menentukan
dalam pelaksanaan nilai-nilai sistem ekonomi Islam. Peranan itu diperlukan
dalam aspek hukum, perencanaan dan pengawasan alokasi atau distribusi
sumber daya dan dana, pemerataan pendapatan dan kekayaan serta
pertumbuhan dan stabilitas ekonomi.16 Besarnya peran negara dalam mem-
berikan kesejahteraan masyarakat salah satunya dengan menciptakan sistem
asuransi sosial bagi masyarakat.
Dalam pelaksanaan asuransi sosial yang diatur dalam pasal 14 ayat (1) UU
No. 2 tahun 1992 tentang usaha perasuransin, dimana saat ini pemerintah
hanya menjalankan usaha asuransi yang bersifat konvensional dimana akad
yang dibangun tidak didasarkan pada akad tabarru’, tetapi semata hanya
mengedepankan akad yang bersifat tabaddulî (pertukaran) sehingga
mengakibatkan ketidakjelasaan akad dalam asuransi tersebut.
Menurut Syafie Antonio, sebagaimana dikutip oleh Abdulkadir Muhammad,
bahwa ketidakjelasan terjadi dalam 2 (dua) bentuk, yaitu: pertama, akad
syariah yang melandasai penutupan polis. Kontrak dalam asuransi jiwa
konvensional dikategorikan sebagai akad pertukaran (tabaddulî), yaitu
pertukaran pembayaran premi dengan uang pertanggungan. Secara harfiah
dalam akad pertukaran harus jelas berapa yang dibayarkan dan berapa yang
diterima. Keadaan ini menjadi tidakjelas (gharar) karena tidak tahu berapa
yang akan diterima (sejumlah uang pertanggungan) dan tidak tahu berapa
yang akan dibayarkan (sejumlah seluruh premi) karena hanya Allah yang
tahu kapan seseorang akan meninggal. Dalam konsep takâful (saling
menolong), keadaan ini akan lain karena akad yang digunakan adalah akad
tolong menolong (takâfulî) dan saling menjamin dimana semua peserta
asuransi menjadi penolong dan penjamin satu sama lainnya.
Kedua, sumber dana pembayaran klaim. Sumber dana pembayaran klaim
dan keabsahan penerima uang klaim itu sendiri. Dalam konsep asuransi
konvensional, tertanggung tidak mengetahui darimana dana pertanggungan
yang diberikan oleh perusahaan asuransi berasal. Tertanggung hanya
mengetahui jumlah pembayaran klaim yang akan diterima. Dalam konsep
asuransi takâful (saling tolong menolong), setiap pembayaran premi sejak
awal akan dibagi dua, rekening pemegang polis dan rekening peserta yang
harus diniatkan sebagai dana kebajikan/derma (tabarru’) untuk membantu
saudaranya yang lain. Jadi, klaim dalam konsep asuransi takâful diambil dari
dana tabarru’ yang merupakan kumpulan dari dana sedekah yang diberikan
oleh peserta asuransi.17
Penutup
Asuransi secara etimologi merupakan pertanggung- an, yaitu perjanjian
antara dua pihak, pihak yg satu berkewajiban membayar iuran dan pihak yg
lain ber- kewajiban memberikan jaminan sepenuhnya kepada pembayar
iuran apabila terjadi sesuatu yg menimpa pihak pertama atau barang
miliknya sesuai dengan perjanjian yg dibuat. Dalam perkembangannya,
negara berkewajiban memberikan asuransi kepada masyarakat atau sering
disebut dengan asuransi sosial (social insurance). Di Indonesia asuransi
sosial diatur dalam Pasal 14 ayat (1 dan 2) UU No. 2 Tahun 1992 tentang
Perasuransian, dimana asuransi sosial dilaksanakan oleh pemerintah melalui
BUMN. Gagasan asuransi sosial syariah tentu menjadi penting mengingat
umat Islam merupakan mayoritas penduduk Indonesia. Dalam konsep
asuransi sosial syariah, dimana tidak menggunakan prinsip mudhârabah
(sistem bagi hasil), sebagaimana perusahaan asuransi syariah dimana para
peserta takâful sebagai pemilik modal (shâhib al-mâl) dan perusahaan
takâful sebagai pemegang amanah (mudhârib). Sistem oprasional asuransi
sosial syariah pada hakikatnya sama
dengan sistem yang digunakan olah asuransi syariah, yaitu ada 2 produk,
dimana ada tabungan peserta dan rekening tabarru’. Tabungan peserta
merupakan milik peserta asuransi sosial syariah yang dikelola oleh BUMN
dan akan dikembalikan kepada peserta sesuai dengan perjanjian yang dibuat
oleh peserta dan masyarakat, sedangkan tabarru’ merupakan konsep
sedekah yang diberikan oleh peserta yaitu masyarakat dengan pola saling
membantu antar masyarakat dan dikelola oleh pemerintah. []
A. Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
1. Perlindungan hukum terhadap pasien peserta BPJS Kesehatan yang
dilakukan rawat inap dirumah sakit dari aspek regulasi sudah terlidungi hak
– haknya baik sebagai jasa, sebagai pasien rumah sakit maupun sebagai
peserta BPJS Kesehatan. Dalam penerapaannya masuk terdapat kekurangan
yang menimbulkan ketidak puasan pasien terhadap pelayanan
Reza dan Dr. Dessy, Tinjauan Yuridis Penyelenggaraan..... Page 228

SUPREMASI JURNAL HUKUM VOL. 2, NO. 2, 2020 e-ISSN : 2621-7007


dirumah sakit,seperti kurangnya informasi yang diberikan oleh pihak rumah
sakit terhadap peserta BPJS Kesehatan. Upaya hukum yang telah dilakukan
BPJS Kesehatan dalam rangka memenuhi hak dan kewajiban pasien adalah
menempatkan beberapa petugas BPJS Kesehatan dirumah sakit untuk
menangani prosedur keluhan oleh peserta BPJS Kesehatan. Pihak BPJS
Kesehatan memasang dashboard informasi mengenai jumlah kamar yang
tersedia agar dipahami upaya lain untuk memenuhi hak dan kewajiban
pasien BPJS Kesehatan adalah denga melakukan upaya mediasi terhdap
pihak peserta BPJS Kesehatan dan pihak rumah sakit apabila di perlukan.15
2. Aturan sanksi tidak mendapatkan pelayanan publik tertentu yang di kenai
kepada pemberi kerja selain penyelenggara Negara meliputi Perizinan terkait
usaha, Izin yang di perlukan dalam mengikuti tender proyek, Izin
memperkerjakan tenaga kerja asing, Izin perusahaan penyedia jasa pekerja /
buruh atau Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Sanksi pidana dapat di berikan
kepada pemberi kerja yang tidak menunaikan kewajibannya membayar iuran
kepada BPJS. Pidana yang dijatuhkan berupa penjara paling lama 8 tahun
atau denda 1 miliar rupiah untuk mencegah potensi penggelapan. Di
khawatirkan pemberi pekerja tidak langsung menyetorkan uang yang
dipungutnya ke BPJS atau jumlah setoran tidak sesuai dengan gaji pekerja.
Pelaksanaan penerapan sanksi bagi perusahaan yang tidak mengikut sertakan
pekerja dalam program jaminan sosial BPJS Ketenagakerjaan tidak berjalan
efektif dikarenakan banyak menemukan kendala kesepahaman yang tidak
kuat antara dinas-dinas, kurangnya petugas BPJS. Proses pelaksanaaan
penerapan sanksi tidak berjalan efektif
15
Shoraya Yudithia, Muhammad Fakih, Kasmawati, “Perlindungan Hukum Terhadap Peserta
BPJS Kesehatan dalam Pelayanan Kesehatan di Rumah Ssakt” Vol.1 no. 2 2018hlm 116

Reza dan Dr. Dessy, Tinjauan Yuridis Penyelenggaraan..... Page 229

SUPREMASI JURNAL HUKUM VOL. 2, NO. 2, 2020 e-ISSN : 2621-7007


bukan disebabkan oleh budaya hukum dan struktur hukumnya tetapi karena
subtansi hukumnya ( legal subtance).

B. SARAN
1. Untuk meningkatkan kepuasan peserta, disarankan BPJS Kesehatan dapat
mempertahankan dan meningkatkan kualitas pelayanannya yang diwujudkan
dengan lima dimensi kualitas jasa, yaitu: tangible, reability, responsiveness,
assurance serta empathy. Diantaranya ialah menyediakan fasilitas-fasilitas
yang lebih baik bagi lagi untuk kenyamanan peserta serta lebih
meningkatkan lagi pelayanan yang diberikan oleh petugas yang bertugas
dalam menangani keluhan yang disaampaikan peserta BPJS Kesehatan.
Sehingga dengan di pertahankan dan di tingkatkan pelayanan yang di
berikan akan meningkatkan pula kepuasan peserta terhadap BPJS Kesehatan.
2. Seharusnya BPJS Ketenagakerjaan sebelum menerapkan sanksi kepada
perusahaan yang belum mengikut sertakan pekerja dalam program jaminan
sosial BPJS Ketenagakerjaan terlebih dahulu melakukan tahap sosialisasi,
pembinaan, pengawasan dan pemeriksaan terlebih dahulu.

Anda mungkin juga menyukai