Anda di halaman 1dari 4

A.

Teori Pembiayaan Kesehatan

Pembiayaan kesehatan ialah besarnya dana yang harus disediakan untuk


menyelenggarakan dan atau memanfaatkan berbagai upaya kesehatan yang diperlukan
oleh perorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat (Setyawan Budi, 2018).
Kesehatan yang baik ditunjang oleh peran pemerintah dalam berinvestasi terhadap
kesehatan melalui anggaran kesehatan, investasi tersebut dapat dilihat dari alokasi
anggaran untuk kesehatan melalui anggaran pembiayaan pemerintah yang terdapat
dalam APBN ( Dianaputra A dan Aswitari ,2017). Selain bersumber dari pemerintahaan,
pembiayaan kesehatan juga berasal dari swasta, community/masyarakat atau institusi
lain yang berbadan hukum.

Pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan


salah satu kebijakan fiskal pemerintah yang digunakan dalam mengelola perekonomian
suatu daerah. Sama halnya sebagaimana kondisi yang ada pada daerah, dengan
penerapan desentralisasi fiskal pemerintah daerah juga mempunyai anggaran biaya
yang diwajibkan untuk dialokasikan dan dikelola dengan baik untuk segala
pembangunan di daerah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(Narindra , 2016).

Pembiayaan kesehatan yang kuat, stabil dan berkesinambungan sangat


berpengaruh dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan guna mencapai tujuan
penting pembangunan kesehatan di suatu negara yakni pemerataan dalam pelayanan
kesehatan dan akses (equitable access to health care) serta pelayanan yang
berkualitas (assured quality). Reformasi kebijakan sistem kesehatan di suatu negara
sangat berdampak positif pada kebijakan pembiayaan kesehatan dalam menjamin
terselenggaranya kecukupan (adequacy), pemerataan (equity), efisiensi (efficiency) dan
efektifitas (effectiveness) dari pembiayaan kesehatan itu sendiri. (Setyawan Budi, 2018)

Tujuan perencanaan dan pengaturan pembiayaan kesehatan yang memadai


dapat membantu memobisasikan sumber pembiayan kesahatan, mengalokasi dengan
rasional serta dapat digunakan secara efektif dan efisien. Pembiayaan kesehatan
mempunyai kebijakan dengan mengutamakan pemerataan serta berfokus pada
masyarakat yang tidak mampu (equitable and pro poor health policy) yang dapat
membantu mencapai akses kesehatan yang universal (Ririn, 2019).

Sebuah sistem pembiayaan pelayanan kesehatan haruslah bertujuan untuk


(Setyawan Budi, 2018) :

1. Risk spreading, pembiayaan kesehatan harus mampu meratakan besaran resiko


biaya sepanjang waktu sehingga besaran tersebut dapat terjangkau oleh setiap
rumah tangga. Artinya sebuah sistem pembiayaan harus mampu
memprediksikan resiko kesakitan individu dan besarnya pembiayaan dalam
jangka waktu tertentu (misalnya satu tahun). Kemudian besaran tersebut
diratakan atau disebarkan dalam tiap bulan sehingga menjadi premi (iuran,
tabungan) bulanan yang terjangkau.
2. Risk pooling, beberapa jenis pelayanan kesehatan (meskipun resiko rendah dan
tidak merata) dapat sangat mahal misalnya hemodialisis, operasi spesialis
(jantung koroner) yang tidak dapat ditanggung oleh tabungan individu (risk
spreading). Sistem pembiayaan harus mampu menghitung dengan
mengakumulasikan resiko suatu kesakitan dengan biaya yang mahal antar
individu dalam suatu komunitas sehingga kelompok masyarakat dengan tingkat
kebutuhan rendah (tidak terjangkit sakit, tidak membutuhkan pelayanan
kesehatan) dapat mensubsidi kelompok masyarakat yang membutuhkan
pelayanan kesehatan. Secara sederhana, suatu sistem pembiayaan akan
menghitung resiko terjadinya masalah kesehatan dengan biaya mahal dalam
satu komunitas, dan menghitung besaran biaya tersebut kemudian membaginya
kepada setiap individu anggota komunitas. Sehingga sesuai dengan prinsip
solidaritas, besaran biaya pelayanan kesehatan yang mahal tidak ditanggung
dari tabungan individu tapi ditanggung bersama oleh masyarakat.
3. Connection between ill-health and poverty, karena adanya keterkaitan antara
kemiskinan dan kesehatan, suatu sistem pembiayaan juga harus mampu
memastikan bahwa orang miskin juga mampu pelayanan kesehatan yang layak
sesuai standar dan kebutuhan sehingga tidak harus mengeluarkan pembiayaan
yang besarnya tidak proporsional dengan pendapatan. Pada umumnya di negara
miskin dan berkembang hal ini sering terjadi. Orang miskin harus membayar
biaya pelayanan kesehatan yang tidak terjangkau oleh penghasilan mereka dan
juga memperoleh pelayanan kesehatan di bawah standar.
4. Fundamental importance of health, kesehatan merupakan kebutuhan dasar
dimana individu tidak dapat menikmati kehidupan tanpa status kesehatan yang
baik.

Permasalahan pembiayaan kesehatan yang di hadapi sekarang ini terbagi


menjadi dua kelompok besar yaitu : masalah kurangnya dana dan masalah adanya
peningkatan biaya. Masalah kurangnya dana disebabkan adanya inefisiensi dalam
pengelolaan pembiayaan tersebut dan alokasi biaya yang salah misalnya dari hasil
penelitian bahwa biaya kesehatan di Puskesmas 25%-30% yang menggunakan adalah
orang mampu sedangkan subsidi di rumah sakit 35%-40% digunakan oleh orang
mampu. Sedangkan peningkatan pembiayaan disebabkan dua hal yaitu adanya trend
peningkatan teknologi kedokteran yang digunakan sebagai penegak diagnosis
berdasarkan temuan terkini (evidence bases) yang tentu saja mengandung
konsekuensi pembiayaan. Serta tren suppy induce demand yang banyak marak
sekarang ini (Trisnantoro L, 2014). Selain itu, dominasi pembiayaan dengan mekanisme
fee for service, dan masih kurangnya dalam mengalokasikan sumber-sumber dan
pelayanan itu sendiri (poor management of sesources and services) (Depkes RI dalam
Ririn, 2019).
DAFTAR PUSTAKA

Narindra, A A Ngr Mayun dan I Ketut Jati. 2016. Indeks Pembangunan Manusia Memoderasi
Pengaruh Kinerja Kapasitas Fiskal Daerah dan Silpa Pada Daya Saing Daerah. E-Jurnal Akuntansi
Universitas Udayana, 14 (2), p.1364-1395.
https;//ojs.unud.ac.id/index.php/akuntansi/article /view/15418 [Diakses 17 Februari
2019].

Trisnantoro, L., 2014. Trend Pembiayaan Kesehatan di Berbagai Negara. Modul


Magister Manajemen RS UGM . Yogyakarta.

Setyawan Budi. 2018. Health Financing System. Sistem Pembiayaan Kesehatan, 2 (4),
p.57-70.

Putri N. 2019. Perbandingan Sistem Kesehatan di Negara Berkembang dan Negara


Maju. Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi, 19 (1), p.139-146.

Anda mungkin juga menyukai