“Asthma”
Disusun oleh :
UNIVERSITAS JAMBI
TAHUN AKADEMIK
2018
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini
dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat
dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi para
pembaca.
Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang
saya miliki masih sangat kurang.oleh karena itu saya harapkan kepada para
pembaca untuk memberi masukan dan kritikan untuk makalah saya.
ii
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN..........................................................................................................1
1.3 Tujuan................................................................................................................2
BAB II
PEMBAHASAN.............................................................................................................3
BAB III
PENUTUP ..........................................................................................................16
3.1 Kesimpulan......................................................................................................18
3.2 Saran................................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................20
iii
BAB I
PENDAHULUAN
2
BAB II
PEMBAHASAN
Menurut National Heart, Lung and Blood Institute (NHLBI) tahun 2007,
asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas dimana banyak sel
berperan terutama sel mast, eosinofil,limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel
epitel. Pada individu rentan proses inflamasi tersebut menyebabkan
wheezing berulang, sesak napas, dada rasa penuh (chest tightness) dan batuk
terutama malam dan atau menjelang pagi. Gejala tersebut terkait dengan
hambatan aliran udara yang luas tetapi variabel yang sering revesibel
spontan atau dengan pengobatan. Inflamasi juga menyebabkan peningkatan
hiperresponsif saluran napas terhadap berbagai stimuli.
3
2.2 Epidemiologi Asthma
Asma dapat timbul pada segala umur, di mana 30% penderita mempunyai
gejala pada umur 1 tahun, sedangkan 80-90% anak yang menderita asma
gejala pertamanya muncul sebelum usia 4-5 tahun. Sebagian besar anak
yang terkena kadang-kadang hanya mendapat serangan ringan sampai
sedang yang relatif aktif mudah ditangani. Sebagian kecil mengalami asma
berat yang berlarut-larut, biasanya lebih banyak yang terus menerus dari
pada musiman. Hal tersebut yang menjadikannya tidak mampu dan
mengganggu kehadirannya di sekolah, aktivitas bermain, dan fungsi dari
hari ke hari.
4
5
6
2.3 Patofisiogi Asthma
Asma biasanya dimediasi oleh imunoglobulin E (IgE) dan dipicu
oleh respon alergi terhadap alergen , IgE dibentuk dalam menanggapi
paparan alergen sepertu serbuk sari atau hewan bulu. Sensitisasi terjadi
pada paparan pertama, yang menghasilkan antibodi IgE alergen tertentu
yang menempel pada permukaan sel mast. Setelah paparan berikutnya,
alergen berikatan dengan antibodi IgE alergen tertentu hadir pada
permukaan sel mast. Menyebabkan pelepasan mediator inflamasi seperti
leukotrien, histamin dan prostaglandin. Ini mediator inflamasi
menyebabkan brongkos pasme , memicu serangan asma.
7
penyakit asma diklasifikasikan berdasarkan gambaran klinis sebelum
pengobatan dimulai (tabel 2).
I. Intermiten
Bulanan APE ≥ 80%
≤ 2 kali sebulan VEP1 ≥ 80% nilai
Gejala < 1x/minggu
prediksi APE ≥ 80%
Tanpa gejala di luar
nilai terbaik
serangan
Variabiliti APE<
Serangan singkat
20%
II. Persisten Mingguan APE > 80%
8
ringan
Gejala > 1x/minggu > 2 kali sebulan VEP1 ≥ 80% nilai
tetapi < 1x/hari prediksi APE ≥ 80%
Serangan dapar nilai terbaik
mengganggu aktivitas Variabiliti APE 20-
dan tidur 30%
III. Persisten
Sedang Harian APE 60-80%
Gejala setiap hari > 1x/seminggu VEP1 60-80% nilai
Serangan mengganggu prediksi APE 60-80%
aktivitas dan tidur nilai terbaik
Membutuhkan Variabiliti APE >
bronkodilator setiap 30%
hari
IV. Persiten
Berat Kontinyu APE ≤ 60%
Sering VEP1 ≤ 60% nilai
Gejala terus menerus prediksi APE ≤ 60%
Sering kambuh nilai terbaik
Aktiviti fisik terbatas Variabiliti APE >
30%
9
Gejala >1x/mgg, tetapi <1x/hari Sedang
Gejala Malam >2x/bln, tetapi
<1x/mgg
Faal paru normal di luar serangan
Tahap III : Persisten Sedang Persisten Sedang Persisten Berat Persisten Berat
Gejala setiap hari
Serangan mempengaruhi aktiviti
dan tidur
Gejala Malam > 1x/mgg
60%<VEP1<80% nilai prediksi
60%<APE<80% nilai terbaik
Tahap IV : Persisten Berat Persisten Berat Persisten Berat Persisten Berat
Gejala terus menerus
Serangan ssering
Gejala malam hari sering
VEP1≤60% nilai prediksi, dan
APE≤60% nilai terbaik
10
2.6 Upaya Pencegahan atau Penanggulangan Asthma
Pencegahan meliputi pencegahan primer yaitu mencegah
tersensitisasi dengan bahan yang menyebabkan asma, pencegahan
sekunder adalah mencegah yang sudah tersensitisasi untuk tidak
berkembang menjadi asma; dan pencegahan tersier adalah mencegah agar
tidak terjadi serangan / bermanifestasi klinis asma pada penderita yang
sudah menderita asma.
11
Pencegahan Primer
Perkembangan respons imun jelas menunjukkan bahwa periode
prenatal dan perinatal merupakan periode untuk diintervensi dalam
melakukan pencegahan primer penyakit asma. Banyak faktor terlibat
dalam meningkatkan atau menurunkan sensitisasi alergen pada fetus, tetapi
pengaruh faktor-faktor tersebut sangat kompleks dan bervariasi dengan
usia gestasi, sehingga pencegahan primer waktu ini adalah belum
mungkin. Walau penelitian ke arah itu terus berlangsung dan menjanjikan.
Periode prenatal
Kehamilan trimester ke dua yang sudah terbentuk cukup sel penyaji
antigen (antigen presenting cells) dan sel T yang matang, merupakan saat
fetus tersensisitasi alergen dengan rute yang paling mungkin adalah melalui
usus, walau konsentrasi alergen yang dapat penetrasi ke amnion adalah
penting. Konsentrasi alergen yang rendah lebih mungkin menimbulkan
sensitisasi daripada konsentrasi tinggi. Faktor konsentrasi alergen dan
waktu pajanan sangat mungkin berhubungan dengan terjadinya sensitisasi
atau toleransi imunologis.
Penelitian menunjukkan menghindari makanan yang bersifat alergen pada
ibu hamil dengan risiko tinggi, tidak mengurangi risiko melahirkan bayi
atopi, bahkan makanan tersebut menimbulkan efek yang tidak diharapkan
pada nutrisi ibu dan fetus. Saat ini, belum ada pencegahan primer yang dapat
direkomendasikan untuk dilakukan.
Periode postnatal
Berbagai upaya menghindari alergen sedini mungkin dilakukan
terutama difokuskan pada makanan bayi seperti menghindari protein susu
sapi, telur, ikan, kacang-kacangan. Sebagian besar studi menunjukkan
mengenai hal tersebut, menunjukkan hasil yang inkonklusif (tidak dapat
ditarik kesimpulan). Dua studi dengan tindak lanjut yang paling lama
12
menunjukkan efek transien dari menghindari makanan berpotensi alergen
dengan dermatitis atopik. Dan tindak lanjut lanjutan menunjukkan
berkurangnya bahkan hampir tidak ada efek pada manifestasi alergik saluran
napas, sehingga disimpulkan bahwa upaya menghindari alergen makanan
sedini mungkin pada bayi tidak didukung oleh hasil. Bahkan perlu
dipikirkan memanipulasi dini makanan berisiko menimbulkan gangguan
tumbuh kembang.
Diet menghindari antigen pada ibu menyusui risiko tinggi,
menurunkan risiko dermatitis atopik pada anak, tetapi dibutuhkan studi
lanjutan (bukti C).
Menghindari aeroelergen pada bayi dianjurkan dalam upaya menghindari
sensitisasi. Akan tetapi beberapa studi terakhir menunjukkan bahwa
menghindari pajanan dengan kucing sedini mungkin, tidak mencegah alergi;
dan sebaliknya kontak sedini mungkin dengan kucing dan anjing
kenyataannya mencegah alergi lebih baik daripada menghindari binatang
tersebut. Penjelasannya sama dengan hipotesis hygiene, yang menyatakan
hubungan dengan mikrobial sedini mungkin menurunkan penyakit alergik di
kemudian hari. Kontroversi tersebut mendatangkan pikiran bahwa strategi
pencegahan primer sebaiknya didesain dapat menilai keseimbangan sel
Th1dan Th2, sitokin dan protein-protein yang berfusi dengan alergen.
Pencegahan primer di masa datang akan berhubungan
imunomodulasi menggunakan sel Th1 ajuvan, vaksin DNA, antigen yang
berkaitan dengan IL-12 atau IFN-, pemberian mikroorganisme usus yang
relevan melalui oral (berhubungan dengan kolonisasi flora mikrobial usus).
Semua strategi tersebut masih sebagai hipotesis dan membutuhkan
penelitian yang tepat.
Asap rokok lingkungan (Enviromental tobacco smoke/ ETS)
Berbagai studi dan data menunjukkan bahwa ibu perokok berdampak
pada kesakitan saluran napas bawah pada anaknya sampai dengan usia 3
tahun, walau sulit untuk membedakan kontribusi tersebut pada periode
prenatal atau postnatal. Berbagai studi menunjukkan bahwa ibu merokok
13
selama kehamilan akan mempengaruhi perkembangan paru anak, dan bayi
dari ibu perokok, 4 kali lebih sering mendapatkan gangguan mengi dalam
tahun pertama kehidupannya.Sedangkan hanya sedikit bukti yang
mendapatkan bahwa ibu yang merokok selama kehamilan berefek pada
sensitisasi alergen. Sehingga disimpulkan merokok dalam kehamilan
berdampak pada perkembangan paru, meningkatkan frekuensi gangguan
mengi nonalergi pada bayi, tetapi mempunyai peran kecil pada terjadinya
asma alergi di kemudian hari. Sehingga jelas bahwa pajanan asap rokok
lingkungan baik periode prenatal maupun postnatal (perokok pasif)
mempengaruhi timbulnya gangguan/ penyakit dengan mengi (bukti A).
Pencegahan sekunder
Sebagaimana di jelaskan di atas bahwa pencegahan sekunder
mencegah yang sudah tersensitisasi untuk tidak berkembang menjadi
asma. Studi terbaru mengenai pemberian antihitamin H-1 dalam
menurunkan onset mengi pada penderita anak dermatitis atopik. Studi lain
yang sedang berlangsung, mengenai peran imunoterapi dengan alergen
spesifik untuk menurunkan onset asma.
Pengamatan pada asma kerja menunjukkan bahwa menghentikan pajanan
alergen sedini mungkin pada penderita yang sudah terlanjur tersensitisasi
dan sudah dengan gejala asma, adalah lebih menghasilkan pengurangan
/resolusi total dari gejala daripada jika pajanan terus berlangsung.
Pencegahan Tersier
Sudah asma tetapi mencegah terjadinya serangan yang
dapat ditimbulkan oleh berbagai jenis pencetus. Sehingga menghindari
pajanan pencetus akan memperbaiki kondisi asma dan menurunkan
kebutuhan medikasi/ obat.
14
Tabel 4. Mengontrol alergen di dalam dan di luar ruangan
Faktor Pencetus Asma Kontrol Lingkungan
Debu rumah (Domestik Cuci sarung bantal, guling, sprei, selimut dengan air panas (55-
mite) 60C) paling lama 1 minggu sekali
Ganti karpet dengan linoleum atau lantai kayu
Ganti furnitur berlapis kain dengan berlapis kulit
Bila gunakan pembersih vakum, pakailah filter HEPA dan
kantung debu 2 rangkap
Cuci dengan air panas segala mainan kain
Serpihan kulit (Alergen Pindahkan binatang peliharaan dari dalam rumah, atau paling
binatang) tidak dari kamar tidur dan ruang utama.
Gunakan filter udara (HEPA) terutama di kamar tidur dan ruang
utama
Mandikan binatang peliharaan 2 x/ minggu
Ganti furniture berlapis kain dengan berlapis kulit
Ganti karpet dengan tikar atau lantai kayu
Gunakan pembersih vakum dengan filter HEPA dan kantung
debu 2 rangkap
Eliminasi lingkungan yang disukai kecoa seperti tempat lembab,
Kecoa sisa makanan, sampah terbuka dll
15
Gunakan pembasmi kecoa
Perbaiki semua kebocoran atau sumber air yang berpotensi
Jamur menimbulkan jamur , misalnya dinding kamar mandi, bakmandi,
kran air, dsb. Jangan gunakan alat penguap.
Pindahkan karpet basah atau yang berjamur
Tepung sari bunga dan Bila di sekitar ruangan banyak tanaman berbunga dan
jamur di luar ruangan merupakan pajanan tepung sari bunga, tutup jendela rapat-rapat,
gunakan air conditioning. Hindari pajanan tepung sari bunga
sedapat mungkin.
16
Hindari menggunakan obat nyamuk yang
menimbulkan asap atau spray dan mengandung
bahan polutan
Polusi udara di luar`ruangan Hindari aktiviti fisis pada keadaan udara dingin dan
Asap rokok kelembaban rendah
Cuaca Tinggalkan/ hindari daerah polusi
Ozon
Gas buang kendaraan bermotor
Dll
Pajanan di lingkungan kerja Hindari bahan polutan
Ruang kerja dengan ventilasi yang baik
Lindungi pernapasan misalnya dengan masker
Bebaskan lingkungan dari asap rokok
17
Penanggulangannya :
1. Terapi non- obat : terapi ini ditujukan antara lain untuk sebagai berikut :
2. Terapi Obat : Terapi dengan obat terutama ditujukan untuk mengatasi atau
mencegah penyempitan saluran naoas, yaitu :
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik
saluran napas yang menyebabkan hiperaktivitas bronkus terhadap berbagai
rangsangan yang ditandai dengan gejala episodik berulang berupa mengi,
batuk, sesak napas, dan rasa berat di dada terutama pada malam dan atau dini
hari yang umumya bersifat revesibel baik dengan atautanpa pengobatan. Asma
bersifat fluktuatif (hilang timbul) artinya dapat tenang tanpa gejala tidak
18
mengganggu aktifitas tetapi dapat eksaserbasi dengan gejala ringan sampai
berat bahkan dapat menimbulkan kematian.
3.2 Saran
1. Untuk Para Penderita
19
pengamanan anda jangan terlalu berlebihan karena bisa saja penderita
merasa tertekan dan stres yang bisa mengakibatkan asmanya kambuh.
3. Untuk Para Dokter atau Ahli Medis
Rawatlah pasien anda dengan baik. Jangan pernah
meremehkan tingkat keparahan penyakit asma yang diderita oleh
pasien anda.
DAFTAR PUSTAKA
20
21