Anda di halaman 1dari 16

bagaimana sistem pembiayaan kesehatan di indonesia?

Pelayanan kesehatan primer (primary health care), atau pelayanan kesehatan masyarakat adalah pelayanan kesehatan
yang paling depan, yang pertama kali diperlukan masyarakat pada saat mereka mengalami ganggunan kesehatan atau
kecelakaan
Pelayanan kesehatan sekunder dan tersier (secondary and tertiary health care), adalah rumah sakit, tempat masyarakat
memerlukan perawatan lebih lanjut atau rujukan. Di Indonesia terdapat berbagai tingkat rumah sakit, mulai dari rumah
sakit tipe D sampai dengan Rumah sakit kelas A. (Juanita, 2002).
Proses pelayanan kesehatan tidak bisa dipisahkan dengan pembiayaan kesehatan. Biaya kesehatan ialah besarnya dana
yang harus disediakan untuk menyelenggarakan dan atau memanfaatkan berbagai upaya kesehatan yang diperlukan
oleh perorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat.
Berdasarkan pengertian ini, maka biaya kesehatan dapat ditinjau dari dua sudut yaitu berdasarkan:
1. Penyedia Pelayanan Kesehatan (Health Provider), adalah besarnya dana yang harus disediakan untuk dapat
menyelenggarakan upaya kesehatan, maka dilihat pengertian ini bahwa biaya kesehatan dari sudut penyedia pelayanan
adalah persoalan utama pemerintah dan ataupun pihak swasta, yakni pihak-pihak yang akan menyelenggarakan upaya
kesehatan. Besarnya dana bagi penyedia pelayanan kesehatan lebih menunjuk kepada seluruh biaya investasi
(investment cost) serta seluruh biaya operasional (operational cost).
2. Pemakai Jasa Pelayanan (Health consumer), adalah besarnya dana yang harus disediakan untuk dapat
memanfaatkan jasa pelayanan. Dalam hal ini biaya kesehatan menjadi persoalan utama para pemakai jasa pelayanan,
namun dalam batas-batas tertentu pemerintah juga turut serta, yakni dalam rangka terjaminnya pemenuhan kebutuhan
pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang membutuhkannya. Besarnya dana bagi pemakai jasa pelayanan lebih
menunjuk pada jumlah uang yang harus dikeluarkan (out of pocket) untuk dapat memanfaatkan suatu upaya
kesehatan.
Pembiayaan kesehatan yang kuat, stabil dan berkesinambungan memegang peranan yang amat vital untuk
penyelenggaraan pelayanan kesehatan dalam rangka mencapai berbagai tujuan penting dari pembangunan kesehatan
di suatu negara diantaranya adalah pemerataan pelayanan kesehatan dan akses (equitable access to health care) dan
pelayanan yang berkualitas (assured quality).
Berdasarkan karakteristik tersebut, sebuah sistem pembiayaan pelayanan kesehatan haruslah bertujuan
untuk:
1) Risk spreading, pembiayaan kesehatan harus mampu meratakan besaran resiko biaya sepanjang waktu sehingga
besaran tersebut dapat terjangkau oleh setiap rumah tangga. Artinya sebuah sistem pembiayaan harus mampu
memprediksikan resiko kesakitan individu dan besarnya pembiayaan dalam jangka waktu tertentu (misalnya satu
tahun). Kemudian besaran tersebut diratakan atau disebarkan dalam tiap bulan sehingga menjadi premi (iuran,
tabungan) bulanan yang terjangkau.
2) Risk pooling, beberapa jenis pelayanan kesehatan (meskipun resiko rendah dan tidak merata) dapat sangat mahal
misalnya hemodialisis, operasi spesialis (jantung koroner) yang tidak dapat ditanggung oleh tabungan individu (risk
spreading). Sistem pembiayaan harus mampu menghitung dengan mengakumulasikan resiko suatu kesakitan dengan
biaya yang mahal antar individu dalam suatu komunitas sehingga kelompok masyarakat dengan tingkat kebutuhan
rendah (tidak terjangkit sakit, tidak membutuhkan pelayanan kesehatan) dapat mensubsidi kelompok masyarakat yang
membutuhkan pelayanan kesehatan. Secara sederhana, suatu sistem pembiayaan akan menghitung resiko terjadinya
masalah kesehatan dengan biaya mahal dalam satu komunitas, dan menghitung besaran biaya tersebut kemudian
membaginya kepada setiap individu anggota komunitas. Sehingga sesuai dengan prinsip solidaritas, besaran biaya
pelayanan kesehatan yang mahal tidak ditanggung dari tabungan individu tapi ditanggung bersama oleh masyarakat.
3) Connection between ill-health and poverty, karena adanya keterkaitan antara kemiskinan dan kesehatan, suatu
sistem pembiayaan juga harus mampu memastikan bahwa orang miskin juga mampu pelayanan kesehatan yang layak
sesuai standar dan kebutuhan sehingga tidak harus mengeluarkan pembiayaan yang besarnya tidak proporsional
dengan pendapatan.
4) Fundamental importance of health, kesehatan merupakan kebutuhan dasar dimana individu tidak dapat menikmati
kehidupan tanpa status kesehatan yang baik
Sumber dana biaya kesehatan berbeda pada beberapa negara, namun secara garis besar berasal dari:
1. Anggaran pemerintah. 2. Anggaran masyarakat. 3. Bantuan biaya dari dalam dan luar negeri. 4. Gabungan
anggaran pemerintah dan masyarakat.
Tingginya biaya kesehatan disebabkan oleh beberapa hal,
1. Tingkat inflasi Apabila terjadi kenaikan harga di masyarakat, maka secara otomatis biaya investasi dan juga biaya
operasional pelayanan kesehatan akan meningkat pula, yang tentu saja akan dibebankan kepada pengguna jasa.
2. Tingkat permintaan Pada bidang kesehatan, tingkat permintaan dipengaruhi sedikitnya oleh dua faktor, yaitu
meningkatnya kuantitas penduduk yang memerlukan pelayanan kesehatan, yang karena jumlahnya lebih atau
bertambah banyak, maka biaya yang harus disediakan meningkat pula. Faktor kedua adalah meningkatnya kualitas
penduduk. Dengan tingkat pendidikan dan penghasilan yang lebih baik, mereka akan menuntut penyediaan layanan
kesehatan yang baik pula dan hal ini membutuhkan biaya pelayanan kesehatan yang lebih baik dan lebih besar.
3. Kemajuan ilmu dan teknologi Sejalan dengan adanya kemajuan ilmu dan teknologi dalam penyelenggaraan
pelayanan kesehatan (penggunaan peralatan kedokteran yang modern dan canggih) memberikan konsekuensi
tersendiri, yaitu tingginya biaya yang harus dikeluarkan dalam berinvestasi. Hal ini membawa akibat dibebankannya
biaya investasi dan operasional tersebut pada pemakai jasa pelayanan kesehatan.
4. Perubahan Pola Penyakit Meningkatnya biaya kesehatan juga dipengaruhi adanya perubahan pola penyakit, yang
bergeser dari penyakit yang sifatnya akut menjadi penyakit yang bersifat kronis. Dibandingkan dengan berbagai
penyakit akut, perawatan berbagai penyakit kronis ternyata lebih lama. Akibatnya biaya yang dikeluarkan untuk
perawatan dan penyembuhan penyakit ini akan lebih besar. Hal ini akan sangat mempengaruhi tingginya biaya
kesehatan.
5. Perubahan pola pelayanan kesehatan Perubahan pola pelayanan kesehatan ini terjadi akibat perkembangan keilmuan
dalam bidang kedokteran sehingga terbentuk spesialisasi dan subspesialisasi yang menyebabkan pelayanan kesehatan
menjadi terkotakkotak (fragmented health service) dan satu sama lain seolah tidak berhubungan. Akibatnya sering
terjadi tumpang tindih atau pengulangan metoda pemeriksaan yang sama dan pemberian obat-obatan yang dilakukan
pada seorang pasien, yang tentu berdampak pada semakin meningkatnya beban biaya yang harus ditanggung oleh
pasien selaku pengguna jasa layanan kesehatan ini. Selain itu, dengan adanya pembagian spesialisasi dan
subspesialisasi tenaga pelayanan kesehatan, menyebabkan hari perawatan juga akan meningkat.
6. Perubahan Pola Hubungan Dokter-Pasien Sistem kekeluargaan yang dulu mendasari hubungan dokter-pasien
seakan sirna. Dengan adanya perkembangan spesialisasi dan subspesialisasi serta penggunaan berbagai peralatan yang
ditunjang dengan kemajuan ilmu dan teknologi, mengakibatkan meningkatnya biaya yang harus dikeluarkan oleh
pasien, hal ini tentu saja membuat pasien menuntut adanya kepastian pengobatan dan penyembuhan dari penyakitnya.
Hal ini diperberat dengan semakin tingginya tingkat pendidikan pasien selaku pengguna jasa layanan kesehatan, yang
mendorong semakin kritisnya pemikiran dan pengetahuan mereka tentang masalah kesehatan. Hal tersebut diatas
mendorong para dokter sering melakukan pemeriksaan yang berlebihan (over utilization), demi kepastian akan
tindakan mereka dalam melakukan pengobatan dan perawatan, dan juga dengan tujuan mengurangi kemungkinan
kesalahan yang dilakukan dalam mendiagnosa penyakit yang diderita pasiennya. Konsekuensi yang terjadi adalah
semakin tingginya biaya yang dibutuhkan oleh pasien untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.
7. Lemahnya mekanisme pengendalian biaya Kurangnya peraturan perundang-undangan yang ditetapkan untuk
mengatur dan membatasi pemakaian biaya pelayanan kesehatan menyebabkan pemakaiannya sering tidak terkendali,
yang akhirnya akan membebani
penanggung (perusahaan) dan masyarakat secara keseluruhan.
8. Penyalahgunaan asuransi kesehatan Asuransi kesehatan (health insurance) sebenamya merupakan salah satu
mekanisme pengendalian biaya kesehatan, sesuai dengan anjuran yang diterapkan oleh pemerintah. Tetapi jika
diterapkan secara tidak tepat sebagaimana yang lazim ditemukan pada bentuk yang konvensional (third party sistem)
dengan sistem mengganti biaya (reimbursement) justru akan mendorong naiknya biaya kesehatan. (Medis Online,
2009).
MODEL SISTEM PEMBIAYAAN
1. Direct Payments by Patients Ciri utama model direct payment adalah setiap individu menanggung secara langsung
besaran biaya pelayanan kesehatan sesuai dengan tingkat penggunaannya. Pada umumnya sistem ini akan mendorong
penggunaan pelayanan kesehatan secara lebih hati-hati, serta adanya kompetisi antara para provider pelayanan
kesehatan untuk menarik konsumen atau free market. Meskipun tampaknya sehat, namun transaksi kesehatan pada
umumnya bersifat tidak seimbang dimana pasien sebagai konsumen tidak mampu mengenali permasalahan dan
kebutuhannya, sehingga tingkat kebutuhan dan penggunaan jasa lebih banyak diarahkan oleh provider. Sehingga free
market dalam pelayanan kesehatan tidak selalu berakhir dengan peningkatan mutu dan efisiensi namun dapat
mengarah pada penggunaan terapi yang berlebihan.
2. User payments Dalam model ini, pasien membayar secara langsung biaya pelayanan kesehatan baik pelayanan
kesehatan pemerintah maupun swasta. Perbedaannya dengan model informal adalah besaran dan mekanisme
pembayaran, juga kelompok yang menjadi pengecualian telah diatur secara formal oleh pemerintah dan provider.
Bentuk yang paling kompleks adalah besaran biaya yang bebeda setiap kunjungan sesuai dengan jasa pelayanan
kesehatan yang diberikan (biasanya terjadi untuk fasilitas pelayanan kesehatan swasta). Namun model yang umum
digunakan adalah ’flat rate’, dimana besaran biaya per-episode sakit bersifat tetap.
3. Saving based Model ini mempunyai karakteristik ‘risk spreding’ pada individu namun tidak terjadi risk pooling
antar individu. Artinya biaya kesehatan langsung, akan ditanggung oleh individu sesuai dengan tingkat
penggunaannya, namun individu tersebut mendapatkan bantuan dalam mengelola pengumpulan dana (saving) dan
penggunaannya bilamana membutuhkan pelayanan kesehatan. Biasanya model ini hanya mampu mencakup pelayanan
kesehatan primer dan akut, bukan pelayanan kesehatan yang bersifat kronis dan kompleks yang biasanya tidak bisa
ditanggung oleh setiap individu meskipun dengan mekanisme saving. Sehingga model ini tidak dapat dijadikan model
tunggal pada suatu negara, harus didukung model lain yang menanggung biaya kesehatan lain dan pada kelompok
yang lebih luas.
4. Informal Ciri utama model ini adalah bahwa pembayaran yang dilakukan oleh individu pada provider kesehatan
formal misalnya dokter, bidan tetapi juga pada provider kesehatan lain misalnya: mantri, dan pengobatan tradisional;
tidak dilakukan secara formal atau tidak diatur besaran, jenis dan mekanisme pembayarannya. Besaran biaya biasanya
timbul dari kesepakatan atau banyak diatur oleh provider dan juga dapat berupa pembayaran dengan barang. Model ini
biasanya muncul pada negara berkembang dimana belum mempunyai sistem pelayanan kesehatan dan pembiayaan
yang mampu mencakup semua golongan masyarakat dan jenis pelayanan.
5. Insurance Based Sistem pembiayaan dengan pendekatan asuransi mempunyai perbedaan utama dimana individu
tidak menanggung biaya langsung pelayanan kesehatan. Konsep asuransi memiliki dua karakteristik khusus yaitu
pengalihan resiko kesakitan pada satu individu pada satu kelompok serta adanya sharing looses secara adil. Secara
sederhana dapat digambarkan bahwa satu kelompok individu mempunyai resiko kesakitan yang telah diperhitungkan
jenis, frekuensi dan besaran biayanya. Keseluruhan besaran resiko tersebut diperhitungkan dan dibagi antar anggota
kelompok sebagai premi yang harus dibayarkan. Apabila anggota kelompok, maka keseluruhan biaya pelayanan
kesehatan

sistem jaminan kesehatan semesta (Universal Health Coverage)


Sejak mulai diimplementasikan per 1 Januari 2014, kehadiran Program Jaminan Kesehatan Nasional - Kartu Indonesia
Sehat (JKN-KIS) yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan semakin dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Dengan berbagai dinamika yang terjadi, tidak terbantahkan lagi bahwa Program JKN-KIS telah membuka akses yang
lebih luas bagi masyarakat terhadap pelayanan kesehatan. Tantangan lainnya akan dihadapi BPJS Kesehatan di tahun
2019, yakni mewujudkan citacita bangsa Indonesia mencapai cakupan kesehatan semesta atau Universal Health
Coverage (UHC).
Cakupan Kesehatan Semesta (UHC) adalah tujuan atau cita-cita bahwa semua individu mampu  mengakses pelayanan
kesehatan yang mereka butuhkan dengan biaya yang terjangkau. Cakupan kesehatan semaesta bermakna tersedianya
pelayanan kesehatan secara berkeadilan dan perlindungan risiko finansial. Seluruh penduduk dapat mengakses
pelayanan kesehatan berkualitas sesuai kebutuhan medisnya, mulai dari promosi kesehatan hingga pencegahan,
perawatan, rehabilitasi, dan perawatan paliatif.
Bagi negara yang ingin mencapai cakupan kesehatan semesta, berbagai faktor harus tersedia, yaitu:
1. Sistem kesehatan yang kuat, efisien, dan dikelola dengan baik
Yaitu sistem kesehatan yang mampu memenuhi kebutuhan prioritas kesehatan melalui penyelenggaraan pelayanan
terpadu yang berpusat pada masyarakat dengan:
komunikasi, informasi dan edukasi masyarakat untuk menjaga tetap sehat dan mencegah sakit;
pemantauan kondisi kesehatan dini;
kapasitas untuk pengobatan dan perawatan penyakit;
rehabilitasi pasen;
perawatan paliatif jika diperlukan.       
2. Keterjangkauan - menyiapkan suatu sistem pendanaan kesehatan yang efektif, sehingga penduduk tidak mengalami
kesulitan finansial saat hendak menggunakan pelayanan kesehatan.
3. Ketersediaan obat-obatan dan teknologi esensial untuk mendiagnosis dan mengobati masalah medis.
4. Kapasitas tenaga kesehatan yang kompeten dan memadai dalam menyediakan layanan untuk memenuhi kebutuhan
pasien berdasarkan bukti medis yang tersedia.
Tindakan untuk menyelesaikan faktor-faktor sosial yang mempengaruhi kesehatan penduduk dan akses penduduk
terhadap pelayanan kesehatan, antara lain pendidikan, kondisi lingkungan hidup dan pendapatan rumah tangga.
Universal Health Coverage (UHC) (atau yang biasa disebut sebagai jaminan kesehatan cakupan semesta) pertama
kali diserukan oleh World Health Organization (WHO). UHC didefinisikan  sebagai sistem penjaminan kesehatan
yang memastikan semua orang menerima pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif bermutu
dengan biaya terjangkau tanpa mengalami kekhawatiran finansial dalam mengaksesnya.
Di Indonesia, Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)diimplementasikan dan diselenggarakan melalui Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang mulai dilaksanakan per 1 Januari 2014.Implementasi Program JKN-KIS,
sudah memasuki tahun ke-5 di tahun 2018 danData terakhir kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN-KIS)
setelah 4 tahun implementasi per 31 Desember 2017 jumlah peserta JKN-KIS sudah mencapai 187.982.949, artinya
jumlah masyarakat yang telah mengikuti Program JKN-KIS hampir mencapai 72,9%. Ditargetkan pada tahun 2019
kepesertaan JKN-KIS ini bisa mencapai 95% penduduk Indonesia, hal ini tentunya selaras dengan arah kebijakan dan
strategi nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2019.
Mengapa kita harus mencapai Universal Health Coverage? Sebab yang sehat ini harus menanggung yang miskin
(PBI). Harus ada gotong-royongnya, Kaya, miskin, setengah miskin, semua harus menjadi peserta, agar (Sumber
Dananya) cukup. Dalam UU 40/2004 dinyatakan bahwa jaminan sosial wajib bagi seluruh penduduk Indonesia. 
Hak yang sama bagi setiap orang untuk memperoleh akses pelayanan kesehatan dan pelayanan kesehatan yang aman,
bermutu, dan terjangkau. Sebaliknya, setiap orang juga mempunyai kewajiban turut serta dalam program jaminan
kesehatan. Hal tersebut tertera di dalam UU 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Undang-Undang No. 24 Tahun 2011
menetapkan, Jaminan Sosial Nasional diselenggarakan oleh BPJS, yang terdiri atas BPJS Kesehatan dan BPJS
Ketenagakerjaan. Selanjutnya, khusus untuk fakir miskin atau orang yang tidak mampu membeyar iuran, Pemerintah
mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran (PBI).
Dalam upaya mewujudkan target UHC tentunya memiliki berbagai tantangan yang tidak mudah.  masih ada sekitar
27,1% lagi masyarakat yang belum menjadi peserta JKN-KIS. Kepersetaan jkn bersifat wajib, tidak ada yang tidak
ikut, meskipun kaya atau miskin dan sehat, mau suka ataupun tidak suka, mau dipakai atau tidak dipakai karena dalam
uu kepersertaan wajib diikuti, kalau mau diakui sebagia warga negara indonesia ya harus ikut bpjs baik ketenaga
kerjaan maupun kesehatan, mau tidak dipakai ya tidak masalah mau tidak suka ya tidak masalah tapi wajib ikut
kepersetaan jkn. Kepesertaan wajib dimaksudkan agar seluruh rakyat menjadi peserta sehingga dapat terlindungi.
Kenapa harus wajib? Karena kalau tidak diwajibkan hanya orang yang beresiko saja yang akan bergabung sehingga
disebut wajib karena sesuai dengan prinsip penyelenggaraa sjsn yaitu kegotong royongan dimana peserta yang mampu
membantu peserta yang kurang mampu, peserta yang sehat membantu yang sakit atau yang berisiko tinggi, dan
peserta yang sehat membantu yang sakit. Hal ini terwujud untuk seluruh penduduk, tanpa pandang bulu. Namun
ketika kita bilang wajib tanpa ada insturmen yang bisa mendukung system itu berjalan pasti akan sulit. salah satu cara
mencapai UHC adalah dengan ada nya instrumen, apa instrumen itu?
Instrument yang dimaksud adalah sebagai contoh kita memiliki ktp wajib atau tidak? apakah penduduk boleh tidak
memiliki ktp? Kenapa penduduk itu pada punya ktp? apakah ada polisi yang akan menangkap dan memenjarakan jika
kita tidak punya ktp? Jawabannya adalah ktp itu adalah sebagai kebutuhan misalnya untuk membuat sim, npwp  dll.
Sekarang kalo mau mengatakan bpjs itu wajib tapi tidak ada instrument yang tidak membuat itu wajib akan susah
sama seperti kasus kepesertaan jkn. Seharusnya jkn ini dibuat menjadi kebutuhan agar semua orang menjadi peserta
jkn.
Jika seluruh penduduk Indonesia ikut dalam program ini, maka pesertanya mencapai 250 juta. Ketua Dewan Jaminan
Sosial Nasional (DJSN) Sigit Prio Utomo mengatakan, saat ini jumlah peserta BPJS Kesehatan baru mencapai sekitar
176 juta orang. Artinya masih kurang sekitar 80 juta orang lagi untuk mencapai Universal Health Coverage (UHC)
atau jaminan kesehatan semesta pada 2019.  Apakah 80 juta orang yang belum masuk sebagai peserta BPJS Kesehatan
tidak terakses oleh pemerintah dan masuk sebagai kategori penerima bantuan iuran? "Ada yang memang sudah sangat
kaya. Yang bekerja di BUMN, misalnya, mereka ada yang mendapatkan layanan kesehatan terbaik," kata Sigit, dalam
sebuah diskusi di Jakarta, Selasa (23/5/2017). Menurut Sigit, karena sudah mendapatkan layanan kesehatan yang lebih
tinggi dari manfaat yang diberikan BPJS Kesehatan, tak sedikit penduduk yang kondisinya baik secara ekonomi
enggan menjadi peserta BPJS Kesehatan. Padahal, kepesertaan mereka sangat dibutuhkan untuk membantu peserta
dari segmen lain dengan prinsip gotong-royong. "Kita tetap harus mencapai universal coverage, kenapa? Sebab yang
sehat ini harus menanggung yang miskin (PBI). Harus ada gotong-royongnya. Kaya, miskin, setengah miskin, semua
harus menjadi peserta, agar (sumber dananya) cukup," kata Sigit. Sementara itu, Kepala Departemen Manajemen
Litbang, Grup Penelitian dan Pengembangan BPJS Kesehatan Iqbal Anas Ma'ruf mengatakan, ada tiga mekanisme
yang bisa dipilih dalam pengelolaan program JKN.

Skema UHC di Indonesia


Skema UHC di Indonesia dibangun melalui dua sistem yang mendasarinya yakni Sistem Kesehatan Nasional (SKN)
dan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Sistem kesehatan di Indonesia dalam lingkup kebijakan desentralisasi diformulasikan dalam Sistem Kesehatan
Nasional (SKN) berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 72/2012 tentang SKN. SKN adalah pengelolaan
kesehatan yang diselenggarakan oleh semua komponen bangsa Indonesia secara terpadu dan saling mendukung guna
menjamin tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
SKN di Indonesia telah mengalami 4 kali perubahan atau pemutakhiran. SKN  2012 ini merupakan pengganti dari
SKN 2009, sedangkan SKN 2009 merupakan pengganti SKN 2004, dan SKN 2004 sebagai pengganti SKN 1982.
Pemutakhiran ini dibutuhkan agar SKN 2012 dapat mengantisipasi berbagai tantangan perubahan pembangunan
kesehatan dewasa ini dan di masa depan. Oleh karena itu, SKN 2012 disusun dengan mengacu pada visi, misi,
strategi, dan upaya pokok pembangunan kesehatan sebagaimana ditetapkan dalam: a. Undang–Undang Nomor 17
Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005–2025 (RPJP-N); dan b. Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Bidang Kesehatan Tahun 2005-2025 (RPJP-K).
Pada tingkat daerah, implementasi SKN diterjemahkan melalui Perda, Pergub, Perbup atau Perwal. Walaupun Perpres
No. 72/2012 tidak secara eksplisit mewajibkan untuk menerbitkan peraturan di tingkat daerah. Penekanannya terdapat
pada pengelolaan kesehatan berdasarkan SKN harus berjenjang di pusat dan daerah dengan memperhatikan otonomi
daerah berdasarkan kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dan otonomi fungsional berdasarkan kemampuan
dan ketersediaan sumber daya di bidang kesehatan.
Sedangkan SJSN adalah sebuah sistem jaminan sosial yang ditetapkan di Indonesia dalam UU No. 40/2004 tentang
SJSN. Jaminan sosial ini adalah salah satu bentuk perlindungan sosial yang diselenggarakan oleh negara guna
menjamin warga negaranya, untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar yang layak, sebagaimana tertuang dalam
Deklarasi PBB tentang Hak Asasi Manusia (HAM) tahun 1948 dan Konvensi ILO No. 102 tahun 1952, melalui 5
program jaminan sosial. Program jaminan sosial dalam bidang ketenagakerjaan mencakup jaminan kematian, jaminan
kecelakaan kerja, jaminan pensiun, sedangkan program jaminan sosial dalam bidang kasihan melalui jaminan
kesehatan nasional.
Kedua sistem tersebut bersama dengan Nawacita kemudian menjadi landasan dalam penyusunan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 bidang Kesehatan yang mengacu kepada target
capaian strategis upaya pokok pembangunan kesehatan yang tercantum dalam dokumen kebijakan pembangunan
kesehatan.[i]
Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2015 tentang RPJMN 2015-2019 mengatur bahwa Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) adalah program strategis untuk mewujudkan pencapaian UHC. JKN yang
dikembangkan di Indonesia merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang diselenggarakan
dengan mekanisme asuransi kesehatan sosial yang bersifat wajib berdasarkan UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN.
JKN bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak, yang diberikan kepada setiap
orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah.
Sedangkan, Kartu Indonesia Sehat merupakan program sektoral dari Indonesia Sehat yang tercakup dalam 9 Agenda
Prioritas (Nawa Cita) agenda ke-5 yakni, “meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia”.[ii] Kartu Indonesia Sehat
ditujukan kepada PBI, termasuk Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) dan Bayi Baru Lahir dari peserta
PBI dalam program JKN. Indonesia Sehat  selanjutnya menjadi program utama Pembangunan Kesehatan Kementerian
Kesehatan RI 2015-2019.
Untuk mendukung Indonesia Sehat, Rencana Strategis Kementerian Kesehatan 2015-2019 menguraikan langkah
pencapaian UHC dalam RPJMN melalui peningkatan akses dan mutu pelayanan kesehatan serta penguatan upaya
kesehatan masyarakat yang bersifat promotif dan preventif. Kementerian Kesehatan RI selanjutnya mengadakan tiga  
program dan satu gerakan untuk menunjang tercapainya cakupan semesta JKN di tahun 2019 yang terdiri atas
peningkatan upaya kesehatan masyarakat (UKM) melalui Puskesmas dan Gerakan Masyarakat Sehat (GERMAS),
pembangunan fasilitas kesehatan, dan pemerataan tenaga kesehatan melalui program nusantara sehat dan wajib kerja
dokter spesialis (WKDS) di daerah tertinggal, perbatasan, dan kepulauan. Keempat program tersebut merupakan
bagian dari Sistem Kesehatan Nasional (SKN) sebagai amanat Peraturan Presiden No. 72 tahun 2012.
UHC di Indonesia Sesuai WHO
Secara konsep menurut WHO, UHC adalah konsep yang menjamin semua orang mempunyai akses kepada layanan
kesehatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang dibutuhkan, dengan mutu yang memadai sehingga efektif,
di samping menjamin pula bahwa layanan tersebut tidak menimbulkan kesulitan finansial penggunanya.[iii]
Mitos kebijakan pelayanan kesehatan mengenai UHC di antaranya UHC hanya sebatas pembiayaan kesehatan saja.
Padahal justru sebaliknya, WHO menekankan bahwa pencapaian UHC membutuhkan penguatan dari segi pelayanan
kesehatan, tenaga kerja kesehatan, fasilitas kesehatan dan obat-obatan, sistem informasi, serta tata kelola pelayanan
kesehatan. Selain itu mitos lainnya adalah UHC dianggap sebagai kesehatan perorangan, yang tentu keliru karena
UHC mencakup pelayanan kesehatan masyarakat, antara lain promosi kesehatan masyarakat. (Lihat: Enam Mitos
Universal Health Coverage)
Pemerintah Indonesia menilai skema yang efektif untuk mencapai UHC adalah melalui skema jaminan kesehatan
sosial untuk memperluas akses terhadap pelayanan kesehatan dan melindungi pasien serta keluarga dari kemungkinan
pemiskinan akibat belanja kesehatan katastropik. Pemerintah Indonesia sadar bahwa JKN (yang cenderung pada upaya
kesehatan perorangan), akan pincang jalannya apabila tidak didukung dengan pemenuhan aspek pembangunan
kesehatan lainnya yakni paradigma hidup sehat melalui upaya kesehatan masyarakat di Puskesmas dan GERMAS
serta penguatan pelayanan kesehatan melalui pembangunan fasilitas kesehatan dan pemerataan tenaga kesehatan.
Concluding Remarks
Berdasarkan penuturan WHO di atas jelas terlihat bahwa, JKN tidak sama dengan UHC melainkan suatu bagian dari
upaya pencapaian UHC. Namun, Pemerintah Indonesia sendiri sudah menetapkan skema kebijakan pelayanan
kesehatan untuk UHC yang baik dengan integrasi antara Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Sistem
Kesehatan Nasional (SKN).

Sistem Fee For Service adalah?


fee for service merupakan metode pembayaran rumah sakit berjenis retrospektif, dimana pembayaran
ditetapkan setelah pelayanan kesehatan diberikan. Dengan sistem tarif ini, pihak provider, atau penyedia layanan
kesehatan seperti rumah sakit, dapat memperoleh income yang tidak terbatas. Sebab, provider dapat menawarkan
segala macam pelayanan kesehatan kepada pasien, bahkan termasuk pelayanan kesehatan yang sebenarnya tidak
diperlukan sekalipun. Sehingga, hal ini berpotensi menimbulkan terjadinya over treatment (pemeriksaan yang
berlebihan), over prescription (peresepan obat yang berlebihan), serta over utilility (penggunaan alat pemeriksa yang
berlebihan).
 
“Di samping itu, tidak ada kepastian dalam pembiayaan pelayanan kesehatan fee for service, sebab setiap provider
menerapkan biaya yang berbeda-beda satu sama lain sehingga menyulitkan pasien dan pembayar untuk memprediksi
besarnya biaya pelayanan kesehatan yang harus ditanggung. Misalnya, biaya operasi caesar di rumah sakit A lebih
mahal ketimbang rumah sakit B, padahal tindakan medis yang dilakukan sama
Di Indonesia sendiri, saat ini 70% mekanisme pembiayaan kesehatan berasal dari pihak swasta dan hanya 30% nya
yang berasal dari pemerintah.  Dan dari 70% tersebut, sebagian besar berasal dari kantong masyarakat sendiri yang
kita kenal dengan istilah Fee For Service dan hany sekitar 6% yang berasal dari asuransi.
Saat ini kebanyakan masyarakat menggunakan sistem pembayaran kesehatan Fee For Service , sistem ini
menggambarkan mekanisme pembayaran biaya kesehatan yang langsung berasal dari dompet / kantong pasien (out of
pocket).  Pada mekanisme ini, biasanya pasien datang ke salah satu penyedia layanan kesehatan yang mereka pilih,
lalu memeriksakan dirinya di dokter tersebut, kemudian dokter akan menentukan jenis layanan kesehatan apa yang
akan diberikan dan nanti sang pasien akan membayar semacam "jasa" dari layanan kesehatan apa saja yang telah ia
terima..
Pada dasarnya, ada 3 sistem pembiayaan jasa kesehatan yang ada saat ini, yaitu :
1.      Sistem Pembiayaan Fee For Service
Pada sistem pembiayaan fee for service, pembayaran jasa kesehatan berasal dari kantong orang itu sendiri.  Seperti
yang dijelaskan sebelumnya, pada mekanisme pembiayaan ini, pasien cendrung berada di dalam posisi menerima
sehingga sering terjadi penyimpangan seperti overutilisasi jasa kesehatan dimana sang dokter memberikan banyak
pelayanan yang pada dasarnya tidak dibutuhkan, namun sengaja diberikan dengan tujuan agar semakin banyak
layanan yang diberikan, maka pendapatanyang didapat dari layanan tersebut juga akan semakin besar.
Sistem Pembiayaan Kapitasi
Kapitasi merupakan suatu sistem pembiayaan pelayanan kesehatan yang dilakukan di muka berdasar jumlah
tanggungan kepala per suatu daerah tertentu dalam kurun waktu tertentu tanpa melihat frekuensi kunjungan tiap
kepala tersebut.  Misalnya saja setiap kepala di desa A ditetapkan biayanya sebesar Rp 10.000,- /bulan, bila sang
dokter bertanggung jawab atas 500 kepala, maka ia akan menerima Rp 10.000,- x 500 / bulannya yaitu Rp 5.000.000,-
. Biaya sebesar Rp 5.000.000,- inilah yang akan ia kelola untuk meningkatkan kualitas kesehatan di 500 warga
tersebut, baik melaui tindakan pencegahan (preventive), pengobatan (curative) maupun rehabilitasi. Sehingga semakin
banyak layanan kesehatan yang diberikan / semakin banyak pasien yang sakit dan butuh pengobatan, biaya yang akan
dipotong semakin banyak dan penghasilan sang dokter akan semakin sedikit. Pada sistem ini, termasuk di dalamnya
jaminan kesehatan yang dijalankan oleh PT.Askes
3.      Sistem Pembiayaan Berdasar Gaji 
Pada sistem ini, sang dokter akan menerima penghasilan tetap di tiap bulannya sebagai balas jasa atas layanan
kesehatan yang telah diberikan. Termasuk di dalamnya sistem pembayaran pada penyedia layanan kesehatan yang
bekerja di instansi dimana dokternya dibayarkan berdasar gaji bulanan di instansi tersebut, bukan dari jenis layanan
kesehatan yang diberikannya.
4.      Sistem reimbursement
Sistem penggantian biaya kesehatan oleh pihak perusahaan berdasar layanan kesehatan yang dikeluarkan terhadap
seorang pasien.  Metode ini pada dasarnya mirip dengan fee for service, hanya saja dana yang dikeluarkan bukan oleh
pasien, tapi pihak perusahaan yang menanggung biaya kesehatan pasien, namun berbeda dengan kapitasi karena
metode ini melihat jumlah kunjungan dan jenis layanan yang diberikan oleh provider

Dari pembahasan ketiga sistem pembiayaan diatas, tentu saja setiap metodenya memiliki segi positif dan negative
masing – masing.  Hal tersebut dapat dirangkum sbb :

Sistem Pembiayaan Kelebihan Kekurangan


Fee For Service ·   Penanganan yang diberikan dokter ·     Sering terjadi moral hazard
cendrung lebih maksimal dan tidak terkesan dimana provider akan sengaja secara
terbatas – batas berlebihan member layanan
kesehatan dengan tujuan
meningkatkan pendapatan dari
layanan tersebut
Kapitasi ·   Kepastian adanya pasien ·     Sering terjadi underutilisasi
·   Jaminan pendapatan di awal tahun / (pengurangan layanan yang
bulan diberikan)
·   Semakin efisien layanan, semakin ·     Kebanyakan dokter merasa
banyak pendapatan dirugikan
·   Dokter lebih taat prosedur ·     Bila peserta sedikit, dapat
·   Lebih menekankan pada pencegahan dan merugikan dokter
promosi kesehatan
Gaji ·  Dokter memperoleh pendapatan yang ·     Sering terjadi kerjasama antara
tetap tiap bulannya berdasar upah minimal pihak provider dengan bagian lain
yang telah ditentukan untuk memperoleh pendapatan yang
lebih banyak
·     Dokter cendrung melakukan
pelayanan kesehatan seadanya dan
kurang optimal
Reimbursement ·  Dokter akan melakukan penangan dengan ·     Sering terjadi pemalsuan
maksimal identitas dan dimanfaatkan oleh
·  Biaya kesehatan datang dari pihak pihak lain
perusahaan sehingga pasien tidak perlu ·     Sering terjadi adanya
mengeluarkan biaya selain premi (bila ada overutilisasi dari penyedia layanan
premi) kesehatan
Dari pembahasan diatas, bila kita perinci lagi, maka akan diperoleh bahwasanya permasalahan seputar pembiayaan
layanan kesehatan yang ada saat ini antara lain:
Kurangnya dana yang tersedia; hal ini terjadi akibat pola pikir dimana biaya kesehatan merupakan suatu hal yang
bersifat konsumtif dan bukan produktif, sehingga cendrung dikurangi.
Penyebaran dana yang tidak sesuai; hal ini terjadi saat pihak tertentu meminta bagian yang lebih, misalnya satu
jabatan yang lebih tinggi merasa berhak menerima layanan kesehatan yang lebih baik pula, padahal hal tersebut lebih
baik di alihkan kepada pihak lain yang lebih membutuhkan, sehingga aliran dana kesehatan lebih merata.
Pemanfaatan dana yang tidak tepat; adanya kesalahan pada pola pikir baik dari sisi penyedia maupun pemakai layanan
kesehatan menyebabkan kecendrungan pemanfaatan dana kesehatan yang tidak tepat.  Misalnya meminta dilakukan
pemeriksaan yang pada dasarnya tidak perlu dilakukan.
Pengelolaan dana yang belum sempurna; kurangnya keterampilan, pengetahuan dan moral dari pihak pengelola dana
kesehatan akan dapat berdampak pada sistem pengelolan dana yang sudah ada, sehingga akan merugikan pihak –
pihak lain yang terlibat di dalam sistem tersebut, seperti dokterm maupun pasien.
Biaya kesehatan yang makin meningkat; Seiring dengan bertambahnya tahun, biaya pelayanan kesehatan semakin
meningkat.
Fee for Service ( Out of Pocket )
Sistem ini secara singkat diartikan sebagai sistem pembayaran berdasarkan layanan, dimana pencari layanan kesehatan
berobat lalu membayar kepada pemberi pelayanan kesehatan (PPK). PPK (dokter atau rumah sakit) mendapatkan
pendapatan berdasarkan atas pelayanan yang diberikan, semakin banyak yang dilayani, semakin banyak pula
pendapatan yang diterima.
Sebagian besar masyarakat Indonesia saat ini masih bergantung pada sistem pembiayaan kesehatan secara Fee for
Service ini. Dari laporan World Health Organization di tahun 2006 sebagian besar (70%) masyarakat Indonesia masih
bergantung pada sistem, Fee for Service dan hanya 8,4% yang dapat mengikuti sistem Health Insurance (WHO, 2009).
Kelemahan sistem Fee for Service adalah terbukanya peluang bagi pihak pemberi pelayanan kesehatan (PPK) untuk
memanfaatkan hubungan Agency Relationship , dimana PPK mendapat imbalan berupa uang jasa medik untuk
pelayanan yang diberikannya kepada pasien yang besar-kecilnya ditentukan dari negosiasi. Semakin banyak jumlah
pasien yang ditangani, semakin besar pula imbalan yang akan didapat dari jasa medik yang ditagihkan ke pasien.
Dengan demikian, secara tidak langsung PPK didorong untuk meningkatkan volume pelayanannya pada pasien untuk
mendapatkan imbalan jasa yang lebih banyak.
2.      Health Insurance
Sistem ini diartikan sebagai sistem pembayaran yang dilakukan oleh pihak ketiga atau pihak asuransi setelah pencari
layanan kesehatan berobat. Sistem health insurance ini dapat berupa system kapitasi dan system Diagnose Related
Group (DRG system).
Sistem kapitasi merupakan metode pembayaran untuk jasa pelayanan kesehatan dimana PPK menerima sejumlah tetap
penghasilan per peserta untuk pelayanan yang telah ditentukkan per periode waktu. Pembayaran bagi PPK dengan
system kapitasi adalah pembayaran yang dilakukan oleh suatu lembaga kepada PPK atas jasa pelayanan kesehatan
dengan pembayaran di muka sejumlah dana sebesar perkalian anggota dengan satuan biaya (unit cost) tertentu. Salah
satu lembaga di Indonesia adalah Badan Penyelenggara JPKM (Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat).
Masyarakat yang telah menajdi peserta akan membayar iuran dimuka untuk memperoleh pelayanan kesehatan
paripurna dan berjenjang dengan pelayanan tingkat pertama sebagai ujung tombak yang memenuhi kebutuhan utama
kesehatan dengan mutu terjaga dan biaya terjangkau.
Sistem kedua yaitu DRG (Diagnose Related Group) tidak berbeda jauh dengan system kapitasi di atas. Pada system
ini, pembayaran dilakukan dengan melihat diagnosis penyakit yang dialami pasien. PPK telah mendapat dana dalam
penanganan pasien dengan diagnosis tertentu dengan jumlah dana yang berbeda pula tiap diagnosis penyakit. Jumlah
dana yang diberikan ini, jika dapat dioptimalkan penggunaannya demi kesehatan pasien, sisa dana akan menjadi
pemasukan bagi PPK.
Kelemahan dari system Health Insurance adalah dapat terjadinya underutilization dimana dapat terjadi penurunan
kualitas dan fasilitas yang diberikan kepada pasien untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Selain itu, jika
peserta tidak banyak bergabung dalam system ini, maka resiko kerugian tidak dapat terhindarkan. Namun dibalik
kelemahan, terdapat kelebihan system ini berupa PPK mendapat jaminan adanya pasien (captive market), mendapat
kepastian dana di tiap awal periode waktu tertentu, PPK taat prosedur sehingga mengurangi terjadinya multidrug dan
multidiagnose. Dan system ini akan membuat PPK lebih kea rah preventif dan promotif kesehatan.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menilai, pembiayaan kesehatan dengan sistem kapitasi dinilai lebih efektif dan efisien
menurunkan angka kesakitan dibandingkan sistem pembayaran berdasarkan layanan (Fee for Service) yang selama ini
berlaku. Namun, mengapa hal ini belum dapat dilakukan sepenuhnya oleh Indonesia? Tentu saja masih ada hambatan
dan tantangan, salah satunya adalah sistem kapitasi yang belum dapat memberikan asuransi kesehatan bagi seluruh
rakyat tanpa terkecuali seperti yang disebutkan dalam UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
(SJSN). Sampai saat ini, perusahaan asuransi masih banyak memilah peserta asuransi dimana peserta dengan resiko
penyakit tinggi dan atau kemampuan bayar rendah tidaklah menjadi target anggota asuransi. Untuk mencapai
terjadinya pemerataan, dapat dilakukan universal coverage yang bersifat wajib dimana penduduk yang mempunyai
resiko kesehatan rendah akan membantu mereka yang beresiko tinggi dan penduduk yang mempunyai kemampuan
membayar lebih akan membantu mereka yang lemah dalam pembayaran. Hal inilah yang masih menjadi pekerjaan
rumah bagi sistem kesehatan Indonesia.
Memang harus kita akui, bahwa tidak ada sistem kesehatan terutama dalam pembiayaan pelayanan kesehatan yang
sempurna, setiap sistem yang ada pasti memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Namun sistem
pembayaran pelayanan kesehatan ini harus bergerak dengan pengawasan dan aturan dalam suatu sistem kesehatan
yang komprehensif, yang dapat mengurangi dampak buruk bagi pemberi dan pencari pelayanan kesehatan sehingga
dapat terwujud sistem yang lebih efektif dan efisien bagi pelayanan kesehatan di Indonesia.
Lalu bagaimana implementasinya dalam praktik kedokteran sehari-hari di Indonesia??
Pada sistem fee for service/Out of pocket, merupakan cara yang paling banyak diterapkan di Indonesia saat ini. Kalau
dibilang kenapa sangat banyak diterapkan karena memang dengan cara ini dokter akan mampu mendapatkan gaji yang
tidak pernah terbatas. Jika dokter tersebut memliki jumlah pasien banyak dan semakin menambah pelayanan yang dia
sediakan maka dia akan semakin mendapatkan banyak pemasukan. Lalu bagaiamana dampaknya?Dampaknya adalah
dokter akan berusaha memperbanyak pelayanan yang dia berikan walaupun pelayanan tersebut sebenarnya tidak perlu
diterima pasien tersebut.
Pada sistem kapitasi; sistem ini sangat baik namun banyak ditentang di Indonesia bahkan oleh profesi dokter sendiri!!
Mengapa??karena dengan sistem ini, dokter tak dapat mencari pendapatan yang sebanyak-banyaknya. Sebenarnya
secara manusiawi, pendapatan dokter dengan cara ini sudah sangat amat cukup, namun yang namanya manusia pasti
ingin pendapatan lebih banyak lagi dan tidak akan pernah puas. Lalu jika melakukan sistem ini apa kemungkinan
pelencengan yang terjadi??Yaitu dokter memberikan sesedikit mungkin pelayanan kesehatan dan akan
terjadi underservice yaitu dokter akan mengurangi jumlah pelayanannya agar mendapatkan pendapatan yang sebesar-
besarnya. Selain itu karena sistem dan biaya kesehatan Indonesia yang kecil sehingga coverage per orang yang
diberikan pemerintah sangat kecil dampaknya adalah pendapatan dokter yang sangat kecil dan sistem ini menjadi
kurang terkenal dan kurang diminati di kalangan dokter Indonesia. Dari hasil penelitian bahwa jika dokter ingin
mendapatkan penghasilan yang layak dengan sistem kapitasi maka ia minimal harus mengcover minimal 600 orang.
Masalah pembagian jumlah orang yang akan dicover belum tertata dengan baik dan masih kebanyak dibawah 400
orang sehingga tidak menarit minat dokter untuk memakain sistem ini.
          Lalu sebenarnya bagaimana sih cara pembayaran dokter yang ideal dan berapa gaji dokter yang ideal??
Bagaimanakah pembayaran yang pantas bagi dokter??
Sebenarnya sistem kapitasi merupakan sistem yang paling ideal mengenai sistem pembayaran dokter secara umum.
Mengapa?
1. Karena dokter dalam hal ini akan dianggap sama seperti profesinya yang lainnya yaitu dokter memiliki pendapatan
yang tetap per bulan.
2. Dokter akan berusaha melakukan kegiatan promotif preventif daripada kuratif.
3.Dari segi martabat sendiri, dokter dengan sistem ini tidak sama seperti pedagang atau yang lainnya yang jika
pelanggannya sedikit maka penghasilannya sedikit dan jika pelanggannya banyak, maka pendapatannya juga banyak.
Dengan sistem kapitasi, berapapun pasien yang datang makan dokter sudah mendapatkan income yang tetap.
4. Dari sisi dokter sendiri bahwa dengan sistem kapitasi akan sangat banyak waktu bagi dokter untuk beristirahat dan
melakukan kegiatan lainnya diluar praktik karena dokter tidak akan terpengaruh jumlah pasien  sehingga tidak akan
takut-takut kehilangan pasien, dokter memiliki waktu refreshing, beban kerja sedikit, banyak waktu dengan keluarga
dan berdampak pada kualitas dokter sebagai dokter akan terjaga.
          Kalau kita menilik Singapura sendiri, disana mereka menjamin dokter-dokter untuk dapat membiayai 1 istri,
membiayai 2 anak, mendapatkan apartemen dengan fasilitas 3 kamar, mendapat 1 kendaraan beroda 4 dan berlibur 1
bulan sekali bersama keluarga.  Hal yang wajar diterima bagi seorang dokter. Tapi masalahnya di Indonesia adalah
1. Masyarakat masih memiliki budaya untuk  fee for service dan masih belum tersosialisasi tentang sistem kapitasi ini
sehingga susah untuk menjaring masyarakat mau ikut.
2.Aturan praktik di Indonesia belum memiliki aturan yang jelas sehingga coverage area yang akan dibebankan kepada
seorang dokter sulit untuk ditentukan dan akan sangat mungkin sekali bertabrakan.
3. Jika ditilik secara detail lagi bahwa sistem kapitasi ini sendiri memiliki syarat-syarat tertentu dan salah satunya
adalah akses ke pelayanan kesehatan yang baik. Karena Indonesia merupakan negara kepulauan sehingga akan ada
masyarakat yang terpencar dalam pulau-pulau dan jika dicover oleh satu dokter dan mengikuti aturan minimal 600
orang maka akan sangat susah masyarakat yang tinggal pada pulau berbeda mendapatkan akses pelayanan kesehatan
sehingga mau tidak mau jika daerah yang ingin dicover adalah kepulauan maka sistem yang digunakan adalah
sistem fee for service.
Apa kesimpulannya??
Sistem yang ideal bagi Indonesia mengenai pembayaran dokter adalah disesuaikan dengan kondisi geografis dan akses
pelayanan kesehatan sendiri. Kalau misalnya daerah jawa yang sudah sangat mudah dan merata mendapatkan akses
kesehatan maka akan sangat memungkinkan dilakukan sistem kapitasi. Namun jika kita melihat kondisi geografis dan
akses yang sulit maka mau tidak mau harus dilakukan sistem fee for service.
Pemerintah dalam hal ini perlu mensosialkisasikan sistem kapitasi ini sehingga masyarakat mengerti dan mau
menerapkan sistem ini. Karena sistem ini adalah sistem prospektif dan sebagian penduduk Indonesia masih tabu dalam
hal pembayaran di muka maka sosialisasi pemerintah akan sangat diperlukan.
Sistem kapitasi akan sangat mudah diterapkan jika ketersediaan tenaga kerja kesehatan sendiri sudah merata dan akan
lebih mudah lagi apabila akses ke segala penjuru Indonesia menjadi mudah. Konsekuensinya adalah pemerintah harus
berusaha keras dalam melakukan pembangunan tiap-tiap daerah bukan hanya dari kesehatan saja tetapi juga dalam
bidang-bidang lainnya.
Baik sistem fee for service maupun sistem kapitasi membutuhkan regulasi dan sistem kontrol ketat untuk dapat
menjaga dan menjamin mutu karena kemungkinan fee for service adalah overservice dan kemungkinan buruk kapitasi
adalah underservice/low quality
Pemerintah sendiri perlu mengusahakan agar biaya coverage pada tiap orang itu besar dan pembagian dalam area
coverage dokter besar dan jelas sehingga dapat menarik minat dokter untuk menerapkan sistem ini.
Bagi para dokter sendiri diharapkan agar dapat menjaga kualitas pelayanan dan tidak hanya berorientasi pada uang.
Diharapkan juga agar membantu pemerintah dalam hal sosialisasi sistem kapitasi ini.
Networking antar dokter-asuransi-rumah sakit harus dapat tertata dengan baik demi sistem  referral yang baik karena
sistem kapitasi ini pada nantinya akan sangat erat kaitannya dengan sistem perujukan.

Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN


1. Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial harus dibentuk dengan Undang-Undang. 2. Sejak berlakunya Undang-
Undang ini, badan penyelenggara jaminan sosial yang ada dinyatakan sebagai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
menurut UndangUndang ini. 3. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: a.
Perusahaan Perseroan (Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK); b. Perusahaan Perseroan (Persero)
Dana tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (TASPEN); c. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Sosial
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI); dan d. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Kesehatan
Indonesia (ASKES); 4. Dalam hal diperlukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial selain dimaksud pada ayat (3),
dapat dibentuk yang baru dengan Undang-Undang.
Sebagai warga negara Indonesia, salah satu yang menjadi hak kita adalah mendapatkan jaminan sosial. Sebagaimana
namanya, jaminan sosial nasional merupakan salah satu bentuk perlindungan sosial yang diselenggarakan Negara
untuk menjamin kebutuhan dasar seluruh rakyat Indonesia. Jaminan sosial di Indonesia diselenggarakan melalui
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang diatur dalam UU No. 40 Tahun 2004 dengan berlandaskan UUD 1945.
Isinya menyatakan bahwa Pemerintah harus terlibat dalam menyejahterakan warga negaranya.
Hadirnya SJSN telah melahirkan sistem baru program jaminan sosial di Indonesia dan menggantikan program-
program jaminan sosial yang ada sebelumnya, seperti Asuransi Kesehatan (Askes) dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja
(Jamsostek). Sistem baru yang dinamakan Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) adalah wujud tanggung
jawab Negara untuk memberikan perlindungan sosial sepenuhnya kepada masyarakat Indonesia.
1. Jaminan Sosial untuk Kesehatan
Sebelum adanya BPJS, masyarakat Indonesia cukup kesulitan untuk mendapatkan bantuan biaya pengobatan. Mereka
harus terlebih dahulu mengurus surat-surat keterangan di kelurahan dan sebagainya. Setelah munculnya BPJS
Kesehatan (menggantikan Askes) pada tahun 2014, akses ke pengobatan menjadi lebih mudah.
Untuk mendapatkan jaminan kesehatan dari BPJS Kesehatan, setiap warga negara Indonesia terlebih dahulu harus
mendaftar sebagai peserta. Manfaat yang diberikan bertingkat sesuai dengan kelasnya. Masyarakat bisa memilih
manfaat yang sesuai dengan kemampuan dalam membayar iuran. Namun, aturan ini tidak berlaku bagi masyarakat
yang dikategorikan tidak mampu. Mereka mendapat pengecualian untuk pembayaran iuran.
UU menerangkan bahwa setiap warga negara Indonesia ataupun warga negara asing yang menetap di Indonesia lebih
dari enam (6) bulan diwajibkan untuk mengikuti jaminan sosial kesehatan melalui BPJS Kesehatan. Itu berarti kita
sebagai warga negara Indonesia harus ikut serta dalam keanggotaan BPJS Kesehatan.
2. Jaminan Sosial untuk Ketenagakerjaan
Selain manfaat Kesehatan, Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial juga memberikan manfaat bagi tenaga kerja di
Indonesia. BPJS Ketenagakerjaan dibentuk setahun kemudian setelah BPJS Kesehatan, yaitu pada tahun 2015 untuk
menggantikan Jamsostek. Seperti namanya, pertanggungan atau jaminan sosial yang diberikan BPJS Ketenagakerjaan
dikhususkan bagi para pekerja, baik di sektor formal maupun informal. Ada beberapa manfaat yang didapatkan
dengan mengikuti BPJS Ketenagakerjaan, diantaranya:
Jaminan Kematian
Program jaminan kematian (JKM) memberikan keringanan risiko terhadap ahli waris atas kematian peserta BPJS
Ketenagakerjaan. Jaminan sosial ini berupa santunan. Program JKM bisa diklaim bukan atas dasar kecelakaan kerja.
Manfaat yang dapat diperoleh selain santunan kematian adalah biaya pemakaman dan santunan berkala selama 24
bulan.
Jaminan Kecelakaan Kerja
Program jaminan kecelakaan kerja (JKK) dapat dimanfaatkan para pekerja di sektor formal. Pembayaran JKK di BPJS
Ketenagakerjaan sepenuhnya ditanggung perusahaan. JKK bertujuan untuk mengganti sebagian ataupun keseluruhan
atas hilangnya penghasilan yang diakibatkan risiko kecelakaan kerja dan dihitung mulai berangkat kerja hingga pulang
ke rumah. Jaminan yang diberikan dapat berupa kompensasi ataupun rehabilitasi. Yang termasuk dalam risiko kerja,
di antaranya kematian ataupun cacat, baik fisik maupun mental.
Jaminan Sosial Hari Tua
Jaminan Hari Tua (JHT) merupakan manfaat perlindungan yang diakibatkan terputusnya penghasilan kerja pada usia
nonproduktif. Biasanya JHT berbentuk kepastian penerimaan penghasilan kepada yang bersangkutan setelah mencapai
usia 55 tahun. Namun, sangat dimungkinkan bahwa penghasilan hari tua dapat diperoleh dari proses pengunduran diri
dari tempat bekerja dengan alasan ataupun persyaratan tertentu. Misalnya, perusahaan akan memberikan jaminan hari
tua setelah karyawannya bekerja selama lebih dari 10 tahun dan lain sebagainya.
Jaminan Jasa Konstruksi
Bagi para pekerja lepas, paruh waktu, ataupun pekerja borongan di sektor jasa konstruksi yang ditangani kontraktor
dalam proyek swasta, proyek APBD, proyek dana internasional, maupun proyek APBN maka akan mendapatkan
jaminan sosial. Program ini memiliki landasan hukum berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. KEP-
196/MEN/1999. Jaminan sosial di bidang konstruksi ini dinaungi program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan
Jaminan Kematian (JKM).
Ina CBGs
Hingga bulan keempat pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), BPJS Kesehatan terus berupaya
menggencarkan sosialisasi kepada masyarakat dan fasilitas kesehatan mengenai keunggulan sistem pentarifan
Indonesia Case Based Groups (INA CBGs) dibanding fee for service yang dulu pernah diterapkan.
Menurut Ketua National Casemix Center (NCC), Bambang Wibowo, fee for service merupakan metode pembayaran
rumah sakit berjenis retrospektif, dimana pembayaran ditetapkan setelah pelayanan kesehatan diberikan. Dengan
sistem tarif ini, pihak provider, atau penyedia layanan kesehatan seperti rumah sakit, dapat memperoleh  income yang
tidak terbatas. Sebab, provider dapat menawarkan segala macam pelayanan kesehatan kepada pasien, bahkan termasuk
pelayanan kesehatan yang sebenarnya tidak diperlukan sekalipun. Sehingga, hal ini berpotensi menimbulkan
terjadinya over treatment (pemeriksaan yang berlebihan), over prescription (peresepan obat yang berlebihan),
serta over utilility (penggunaan alat pemeriksa yang berlebihan).
“Di samping itu, tidak ada kepastian dalam pembiayaan pelayanan kesehatan fee for service, sebab setiap provider
menerapkan biaya yang berbeda-beda satu sama lain sehingga menyulitkan pasien dan pembayar untuk memprediksi
besarnya biaya pelayanan kesehatan yang harus ditanggung. Misalnya, biaya operasi caesar di rumah sakit A lebih
mahal ketimbang rumah sakit B, padahal tindakan medis yang dilakukan sama,” jelas Bambang.
Berbeda dengan fee for service, sistem tarif INA CBGs termasuk dalam metode pembayaran prospektif, dimana tarif
pelayanan kesehatan telah ditetapkan sebelum pelayanan kesehatan diberikan kepada pasien. Dengan sistem ini,
pasien memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhannya tanpa ada pengurangan kualitas. Bagi
pembayar, keuntungan sistem tarif INA CBGs adalah terdapat pembagian resiko keuangan dengan provider, biaya
administrasi lebih rendah, serta dapat mendorong peningkatan sistem informasi.
INA CBGs adalah tarif paket pelayanan kesehatan yang mencakup seluruh komponen biaya RS, mulai dari pelayanan
non medis hingga tindakan medis. Dalam sistem INA CBGs, pasien dikelompokkan ke dalam satu episode yang
dikaitkan dengan biaya pelayanan. Setiap kelompok memiliki ciri klinis yang sama, sehingga pemakaian sumber daya
dan biaya yang dikeluarkan juga kurang lebih sama. Pengelompokan ini didasarkan pada data biaya dan
data coding penyakit dari beberapa rumah sakit terpilih. Sistem tarif INA CBGs ini memiliki 1077 case based
groups (CBG) yang terdiri dari 789 CBG untuk rawat inap dan 288 CBG untuk rawat jalan, dengan tiga tingkat
keparahan.
Di sisi lain, dengan sistem tarif INA CBGs, bukan berarti pihak provider tak bisa mendapat keuntungan. Provider
tetap bisa surplus, asalkan sanggup melakukan tindakan efisiensi. Dari data Kemenkes hingga akhir Maret 2014,
terdapat 319 rumah sakit yang mengalami surplus dan hanya ada 11 rumah sakit yang merugi. Selain itu, terjadi
surplus di seluruh RS tipe A, 96% surplus di RS tipe B dan C, serta 97% surplus di RS tipe D yang didata. Adapun RS
yang merugi disebabkan karena banyak yang salah memasukkan data CBGs (coding) karena terbiasa dengan sistem
fee for service.
Salah satu rumah sakit yang mendulang surplus dengan tarif INA CBGs adalah RS Annisa Tangerang. Menurut
Direktur RS Annisa, dr. Ediansyah, efisiensi utama yang dilakukan oleh RS adalah menggunakan obat generik alih-
alih obat paten. Sekitar 35-40 persen biaya pengeluaran untuk obat, sehingga kondisi tersebut harus diefisiensikan
dengan mengubah obat paten menjadi obat generik. “Intinya, bukan mengurangi jumlah obatnya, tapi menggantinya
dengan obat generik, sehingga harganya lebih rendah namun mutunya tetap prima,” tegasnya.
Mengacu pada berbagai penjelasan sebelumnya, dapat dikatakan bahwa dibanding fee for service, sistem tarif INA
CBGs lebih adil dan merata dalam menguntungkan semua pihak, mulai dari pasien, provider, hingga pembayar.
Melalui sistem pentarifan ini, tanggungan biaya pelayanan kesehatan dapat diprediksi dan ditekan hingga batas
tertentu, sehingga tidak memberatkan pasien dan pembayar, namun juga tetap bisa memberikan angka surplus pada
provider pelayanan kesehatan.
Berbeda dengan fee for service, sistem tarif INA CBGs termasuk dalam metode pembayaran prospektif, dimana tarif
pelayanan kesehatan telah ditetapkan sebelum pelayanan kesehatan diberikan kepada pasien. Dengan sistem ini,
pasien memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhannya tanpa ada pengurangan kualitas. Bagi
pembayar, keuntungan sistem tarif INA CBGs adalah terdapat pembagian resiko keuangan dengan provider, biaya
administrasi lebih rendah, serta dapat mendorong peningkatan sistem informasi.
INA CBGs adalah tarif paket pelayanan kesehatan yang mencakup seluruh komponen biaya RS, mulai dari pelayanan
non medis hingga tindakan medis. Dalam sistem INA CBGs, pasien dikelompokkan ke dalam satu episode yang
dikaitkan dengan biaya pelayanan. Setiap kelompok memiliki ciri klinis yang sama, sehingga pemakaian sumber daya
dan biaya yang dikeluarkan juga kurang lebih sama. Pengelompokan ini didasarkan pada data biaya dan data coding
penyakit dari beberapa rumah sakit terpilih. Sistem tarif INA CBGs ini memiliki 1077 case based groups (CBG) yang
terdiri dari 789 CBG untuk rawat inap dan 288 CBG untuk rawat jalan, dengan tiga tingkat keparahan.
Di sisi lain, dengan sistem tarif INA CBGs, bukan berarti  pihak provider tak bisa mendapat keuntungan. Provider
tetap bisa surplus, asalkan sanggup melakukan tindakan efisiensi. Dari data Kemenkes hingga akhir Maret 2014,
terdapat 319 rumah sakit yang mengalami surplus dan hanya ada 11 rumah sakit yang merugi. Selain itu, terjadi
surplus di seluruh RS tipe A, 96% surplus di RS tipe B dan C, serta 97% surplus di RS tipe D yang didata. Adapun RS
yang merugi disebabkan karena banyak yang salah memasukkan data CBGs (coding) karena terbiasa dengan
sistem fee for service.
 
(INA-DRG)
INA-DRG didefinisikan sebagai suatu sistem klasifikasi kombinasi beberapa jenis penyakit dan prosedur/tindkan
pelayanan disuaatu RS dengan pembiayaan yang dikaitkan denga mutu dan efektivitas pelayanan terhadap pasien. 
Sistem INA=DRG ini juga dapat digunakan sebagai salah satu standar penggunaan sumber daya dalam memberikan
pelayanan kesehatan di RS, dengan kata lain INA-DRG adalah sistem pemerataan, jangkauan yang berhubungan
dengan mutu pelayanan kesehatan yang menjadi salah satu unsur dalam pembiayaan kesehatan atau mekanisme
pembayaran untuk pasien berbasis kasus campuran.
) Diagnosa penyakit dimasukkan ke dalam kelompok Major Diagnostic Categories/MDC yang sesuai. 2) Setelah
masuk kedalam MDC, kemudian di lihat lagi apakah pasien menjalini pembedahan/prosedur/tindakan atau tidak 3)
Tingkat keparahan penyakit pasien ditentukan oleh comorbidity, komplikasi, umur dan status pasien selama masa
perawatan.
INA-DRG
Sistem pembayaran pelayanan kesehatan yang berhubungan dengan mutu, pemerataan dan jangkauan dalam
pelayanan kesehatan yang menjadi salah satu unsur pembiayaan pasien berbasis kasus campuran;
Setiap pasien yang dirawat di sebuah RS diklasifikasikan ke dalam kelompok yang sejenis dengan gejala klinis yang
sama serta biaya perawatan yang relatif sama.
Merupakan suatu cara meningkatkan standar pelayanan kesehatan RS;
Pengklasifikasian setiap tahapan pelayanan kesehatan sejenis kedalam kelompok yang mempunyai arti relatif sama;

BPJS Kesehatan selalu mengalami deficit anggaran setiap tahunnya. Hal ini dipengaruhi oleh banyak factor di
antaranya adalah faktor kecurangan (fraud) yang sering dilakukan oleh rumah sakit.
Sejak beroperasi 1 Januari 2014 sampai sekarang BPJS Kesehatan mengalami banyak tantangan dalam melaksanakan
program jaminan kesehatan nasional (JKN, salah satunya mencegah terjadinya tindak kecurangan (fraud).
“Untuk itu diperlukan langkah kongkrit dengan membuat sistem pencegahan, deteksi, dan penindakan terhadap
kecurangan (fraud). Inilah yang mendasari pembahasan atau penyusunan Permenkes No.36 Tahun 2015 tentang
Pencegahan Kecurangan (Fraud) dalam Jaminan Kesehatan Nasional,” kata Ardjuna kepada Info BPJS Kesehatan.
Instrumen hukum itu diharapkan bisa digunakan sebagai pedoman para pihak terkait untuk mencegah terjadinya
kecurangan (fraud) dalam pelaksanaan JKN. Mengacu pada Permenkes 36 Tahun 2015 ada sejumlah pihak yang
berpotensi melakukan fraud dalam program JKN yakni peserta, fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP), fasilitas
kesehatan rujukan tingkat lanjutan (FKRTL), petugas BPJS Kesehatan, penyedia obat dan alat kesehatan. Tindak
kecurangan yang berpotensi dilakukan oleh peserta seperti membuat pernyataan yang tidak benar dalam hal eligibilitas
(memalsukan status kepesertaan) untuk memperoleh pelayanan kesehatan; memanfaatkan haknya untuk pelayanan
yang tidak perlu (unneccesary services) dengan cara memalsukan kondisi kesehatan; memberikan gratifikasi kepada
pemberi pelayanan agar bersedia memberi pelayanan yang tidak sesuai/tidak ditanggung; memanipulasi penghasilan
agar tidak perlu membayar iuran terlalu besar; melakukan kerjasama dengan pemberi pelayanan untuk mengajukan
Klaim palsu; memperoleh obat dan/atau alat kesehatan yang diresepkan untuk dijual kembali.
Terkait hal di atas menyebabkan terjadi fraud atau kecurangan baik di tingkat pengguna Puskesmas, hingga rumah
sakit. Temuan fraud di tingkat peserta JKN-PBI adalah manipulasi penggunaan kartu KIS (Kartu Indonesia Sehat)
oleh bukan pemilik kartu. Hal ini terjadi karena pasien merupakan pasien miskin dan tidak terdaftar sebagai peserta
JKN-PBI.
Temuan kecurangan di tingkat Puskesmas, jelas dia, terjadi dalam bentuk penerimaan uang oleh pihak Puskesmas
untuk mengeluarkan rujukan pada pasien. Puskesmas juga diidentiflkasi melakukan kecurangan berupa tidak optimal
menangani pasien dan segera merujuk pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan (FKTL) untuk menjaga agar dana
kapitasi yang diperoleh dari BPJS Kesehatan tidak berkurang signifikan.

Temuan fraud di tingkat rumah sakit terjadi dalam berbagai bentuk terutama penggunaan alat kesehatan, obat, dan
tindakan medis. Alat kesehatan dan obat diduga tidak digunakan secara optimal dalam pengobatan pasien tapi tetap
ditagihkan dalam klaim rumah sakit.
Selama satu tahun JKN di Indonesia, tidak menutup kemungkinan adanya kecurangan atau fraud dalam
pelaksanaannya. Potensifraud selalu ada dalam setiap sistem asuransi kesehatan dan terjadi di semua negara, termasuk
program JKN di Indonesia. Definisi darifraud itu sendiri adalah kesengajaan melakukan kesalahan terhadap kebenaran
untuk tujuan mendapatkan sesuatu yang bernilai atas kerugian orang lain atau mendapatkannya dengan membelokkan
hukum atau kesalahan representasi suatu fakta, baik dengan kata maupun tindakan; kesalahan alegasi (mendakwa
orang melakukan tindakan criminal), menutupi sesuatu yang harus terbuka, menerima tindakan atau sesuatu yang
salah dan merencanakan melakukan sesuatu yang salah kepada orang lain sehingga dia bertindak di atas hukum yang
salah (Black’s Law Dictionary).
Kemungkinan terjadinya fraud pada JKN disebabkan oleh dua hal, yaitu faktor ketidaksengajaan dan faktor
kesengajaan. Faktor ketidaksengajaan terjadi karena kurangnya pemahaman rumah sakit tentang JKN beserta
aturannya sehingga terjadi kesalahan, seperti saat penulisan kode diagnosa penyakit (coding). Sedangkan faktor
kesengajaan terjadi karena didasari keinginan Penyedia Pelayanan Kesehatan (PPK) untuk  mencari keuntungan yang
lebih besar.
Seperti yang telah diketahui sistem pembiayaan kesehatan pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjut (FKTP) dalam hal
ini, yaitu Rumah Sakit menggunakan sistem INA-CBGs. Pada awal era JKN, banyak rumah sakit yang menolak
kebijakan tarif INA-CBGs, karena menganggap tarif INA-CBGs jauh lebih rendah dari biaya kesehatan umumnya,
bahkan banyak rumah sakit yang mengklaim tarif INA-CBGs tesebut tidak menutupi biaya operasional mereka. Hal
inilah, yang mendorong tenjadinya fraud pada rumah sakit. Berbagai cara pun dilakukan untuk mendapatkan
keuntungan, seperti menaikkan kelas rawat peserta JKN, dengan dalih kamar rawat sesuai kelas yang dijamin sedang
penuh. Sehingga peserta harus membayar sendiri tambahan biaya untuk kelas rawat yang tersedia. Padahal bisa saja
ini hanya akal-akalan rumah sakit untuk mendapatkan keuntungan. Potensi fraud lainnya yang bisa dilakukan oleh
rumah sakit yaitu dengan melakukan upcoding tarif INA-CBGs. Sehingga muncullah klaim-klaim palsu yang tidak
sesuai dengan pelayanan kesehatan yang sebenarnya diberikan ke peserta.
Selain itu dalam hal ketersediaan obat pun sering terjadi fraud. Banyak kasus terkait peserta yang harus mengeluarkan
biaya sendiri (out of pocket) untuk obat yang dibutuhkan dengan alasan obat yang diresepkan oleh dokter sedang
kosong atau resep tersebut bukan obat yang dijamin oleh BPJS. Padahal seharusnya semua obat yang diberikan
kepada peserta sudah ditanggung oleh BPJS, sehingga peserta tidak perlu lagi membayar obat karena peserta berhak
mendapatkan perawatan sesuai tindakan medis, termasuk pemberian obat tanpa harus membayar kembali. Siapa yang
tau obat tersebut beneran kosong atau lagi-lagi cuma modus rumah sakit untuk mendapatkan keuntungan, ditambah
lagi dengan kurangnya pengetahuan peserta tentang obat yang dijamin oleh BPJS.
Rumah sakit bukan satu-satunya pelaku fraud pada JKN, peserta sebagai penikmat dari sistem jaminan kesehatan juga
berpotensi melakukan fraud. Contohnya saja, pada saat melakukan registrasi dengan memalsukan identitas ketika
mengisi formulir aplikasi.
Oleh karena JKN sangat rentan terjadi fraud, maka diperlukan perhatian dan pengawasan lebih khusus untuk
menindaklanjuti hal-hal yang berkaitan dengan fraud sekecil apapun itu. BPJS sebegai penyelenggara jaminan
kesehatan harus lebih ketat mengawasi provider kesehatan dan memberikan sanksi yang tegas jika terindikasi
melakukan kecurangan. Menteri Kesehatan harus melakukan review tarif INA-CBGs setiap tahunnya, sehingga tarif
INA-CBGs sesuai dengan pelayanan kesehatan yang diberikan rumah sakit. Diharapkan dengan adanya review dan
penyesuaian tarif INA-CBGs, fraud pada rumah sakit dapat diminimalisasi. Selain itu sosialisasi terkait JKN harus
lebih ditingkatkan, sehinga seluruh lapisan masyarakat mengerti apa yang menjadi haknya di JKN ini. Harapannya
memasuki tahun kedua pelaksanaan JKN, masyarakat bisa lebih merasakan manfaat dari niat mulia JKN.
Clinical pathway 
adalah alur yang menunjukkan secara detail tahap-tahap penting dari pelayanan kesehatan termasuk hasil yang
diharapkan
clinical pathway, salah satunya terdiri dari beberapa tahap sebagai berikut:
Pembentukan tim penyusun clinical pathway.
Tim penyusun clinical pathway terdiri dari staf multidisplin dari semua tingkat dan jenis pelayanan. Bila diperlukan,
tim dapat mencari dukungan dari konsultan atau institusi diluar RS seperti organisasi profesi sebagai narasumber. Tim
bertugas untuk menentukan dan melaksanakan langkah-langkah penyusunan clinical pathway.
Identifikasi key players.
Identifikasi key players bertujuan untuk mengetahui siapa saja yang terlibat dalam penanganan kasus atau kelompok
pasien yang telah ditetapkan dan untuk merencanakan focus group dengan key players bersama dengan pelanggan
internal dan eksternal
Pelaksanaan site visit di rumah sakit.Pelaksanaan site visit di rumah sakit bertujuan untuk mengenal praktik yang
sekarang berlangsung, menilai sistem pelayanan yang ada dan memperkuat alasan mengapa clinical pathway perlu
disusun. Jika diperlukan, site visit internal perlu dilanjutkan dengan site visit eksternal setelah sebelumnya melakukan
identifikasi partner benchmarking. Hal ini juga diperlukan untuk mengembangkan ide.
Studi literatur.
Studi literatur diperlukan untuk menggali pertanyaan klinis yang perlu dijawab dalam pengambilan keputusan klinis
dan untuk menilai tingkat dan kekuatan bukti ilmiah. Studi ini sebaiknya mengasilkan laporan dan rekomendasi
tertulis.
Diskusi kelompok terarah.
Diskusi kelompok terarah atau Focus Group Discussion (FGD) dilakukan untuk mengenal kebutuhan pelanggan
(internal dan eksternal) dan menyesuaikan dengan kemampuan rumah sakit dalam memenuhi kebutuhan tersebut serta
untuk mengenal kesenjangan antara harapan pelanggan dan pelayanan yang diterima. Lebih lanjut, diskusi kelompok
terarah juga perlu dilakukan untuk memberi masukan dalam pengembangan indikator mutu pelayanan klinis dan
kepuasan pelanggan serta pengukuran dan pengecekan.
Penyusunan pedoman klinik.
Penyusunan pedoman klinik dilakukan dengan mempertimbangkan hasil site visit, hasil studi literatur (berbasis bukti
ilmiah) dan hasil diskusi kelompok terarah. Pedoman klinik ini perlu disusun dalam bentuk alur pelayanan untuk
diketahui juga oleh pasien.
Analisis bauran kasus.Analisis bauran kasus dilakukan untuk menyediakan informasi penting baik pada saat sebelum
dan setelah penerapan clinical pathway. Meliputi: length of stay, biaya per kasus, obat-obatan yang digunakan, tes
diagnosis yang dilakukan, intervensi yang dilakukan, praktisi klinis yang terlibat dan komplikasi.
Menetapkan sistem pengukuran proses dan outcome.
Contoh ukuran-ukuran proses antara lain pengukuran fungsi tubuh dan mobilitas, tingkat kesadaran, temperatur,
tekanan darah, fungsi paru dan skala kesehatan pasien (wellness indicator).
Mendisain dokumentasi clinical pathway.
Penyusunan dokumentasi clinical pathway perlu memperhatikan format clinical pathway, ukuran kertas, tepi dan
perforasi untuk filing. Perlu diperhatikan bahwa penyusunan dokumentasi ini perlu mendapatkan ratifikasi oleh
Instalasi Rekam Medik untuk melihat kesesuaian dengan dokumentasi lain.
Setelah clinical pathway tersusun, perlu dilakukan uji coba sebelum akhirnya diimplementasikan di rumah sakit. Saat
uji coba dilakukan penilaian secara periodik kelengkapan pengisian data dan diikuti dengan pelatihan kepada para staf
untuk menggunakan clinical pathway tersebut. Lebih lanjut, perlu juga dilakukan analisis variasi dan penelusuran
mengapa praktek dilapangan berbeda dari yang direkomendasikan dalam clinical pathway.
Hasil analisis digunakan untuk: mengidentifikasi variasi umum dalam pelayanan, memberi sinyal kepada staf akan
adanya pasien yang tidak mencapai perkembangan yang diharapkan, memperbaiki clinical pathway dengan
menyetujui perubahan dan mengidentifikasi aspek-aspek yang dapat diteliti lebih lanjut. Hasil analisis variasi dapat
menetapkan jenis variasi yang dapat dicegah dan yang tidak dapat dicegah untuk kemudian menetapkan solusi bagi
variasi yang dapat dicegah (variasi yang tidak dapat dicegah dapat berasal dari penyakit penyerta yang menyebabkan
pelayanan menjadi kompleks bagi seorang individu).
(quality improvement) dari sebuah rumah sakit.
Quality Improvement yaitu suatu kegiatan meningkatkan Qualitas dengan cara membandingkan kenapa ada yang bisa
unggul namun ada juga yang kinerjanya buruk saat mengerjakan tugas yang sama. Setelah mendapatkan metode yang
tepat dilakukan oleh yang unggul maka qualitas bisa ditingkatkan dengan menerapkan metode yang sama kepada yang
lain. dengan meningkatkan standar yang ada.
Proses peningkatan mutu (Quality Improvement ) adalah mengidentifikasi indikator mutu dalam pelayanan,
memonitor indikator tersebut dan mengukur hasil dari indikator mutu tersebut yang tentunya mengarah pada outcome,
serta selalu berfokus dalam rangka peningkatan proses, sehinga tingkat mutu dari hasil yang dicapai akan meningkat.
Tentunya upayapeningkatan mutu ( Quality Improvement ) dilakukan dengan terlebih dahulu diawali dari jaminan
mutu (quality assurance), kemudian mengarah pada peningkatan mutu yang proaktif.  Hal penting yang menjadi
sebuah catatan adalah mutu yang rendah masih dapat kita tingkatkan bila kita berkehendak untuk melakukannya
dengan melakukan peningkatan mutu ( quality improvement ). 

KEUNTUNGAN
Untuk memahaminya, definisi “quality” sebagai “fit for purpose” dapat dibagi menjadi dua kategori:
1.       Keuntungan dari peningkatan kualitas: Menghadirkan fitur-fitur yang dapat memuaskan kebutuhan dan
keinginan pelanggan:
a.       Meningkatkan kepuasan pelanggan
b.      Meningkatkan nilai jual produk
c.       Bertahan dalam kompetisi
d.      Memperbesar market share
e.       Mendatangkan penjualan
f.       Memungkinkan untuk mempertahankan harga premium
g.      Mengurangi resiko
h.      Efek utamanya terletak pada revenue
Langkah-langkah peningkatan kualitas menggunakan konsep PDCA. Konsep PDCA merupakan langkah-langkah
yang sering digunakan dalam analisis dan solusi masalah kualitas, sebagai berikut :
P: Plan the solution(s) (merencanakan solusi masalah)
Rencana penyelesaian masalah berfokus pada tindakan-tindakan untuk menghilangkan akar penyebab dari masalah
yang ada. Elemen-elemen yang harus ada dalam proses perencanaan sistem manajemen kualitas adalah tujuan
(objectives), pelanggan (customer), hasil-hasil (outputs), proses-proses (processes), masukan-masukan (inputs),
pemasok (suppliers), dan pengukuran untuk umpan balik dan umpan maju (measurement for feedback and
feedforward). Dalam akronim bahasa inggris dapat disingkat menjadi : SIPOCOM-Suppliers, Inputs, Processes,
Outputs, Customer, Objectives, and Measurements. Untuk merumuskan tujuan kualitas dalam program penyusunan
program harus mengikuti prinsip SMART Objectives:
a.       Specific : Tujuan program harus bersifat spesifik yang dinyatakan secara tegas. Tim peningkatan kualitas harus
menghindari pernyataan-pernyataan tujuan yang bersifat umum dan tidak spesifik.
b.      Measurable : Tujuan program harus dapat diukur menggunakan indicator pengukuran yang tepat guna
mengevaluasi keberhasilan, peninjuan-ulang, dan tindakan perbaikan diwaktu mendatang. Pengukuran harus mampu
memunculkan fakta-fakta yang dinyatakan secara kuantitatif menggunakan angka-angka.
c.       Achievable : Tujuan program harus dapat dicapai melalui usaha-usaha yang menantang
d.      Result oriented : Tujuan program harus berfokus pada hasil-hasil berupa pencapaian target-target kualitas yang
ditetapkan
e.       Time related : Tujuan harus menetapkan batas waktu pencapaian tujuan dan harus dicapai tepat waktu
D: Do or implement the solution(s) (melaksanakan atau menerapkan rencana solusi terhadap masalah)
Implementasi rencana solusi terhadap masalah mengikuti daftar rencana tindakan peningkatan kualitas. Dalam tahap
pelaksanaan ini sangat dibutuhkan komitmen manajemen dan karyawan serta partisipasi total untuk secara bersama-
sama menghilangkan akar penyebab dari masalah kualitas yang telah teridentifikasi. Pencatatan data kualitas juga
harus dilakukan selama tahap pelaksanaan serta identifikasi penyebab apabila terjadi penyimpangan dalam tahap
pelaksanaan.
C: Check the solution(s) results (mempelajari hasil-hasil solusi terhadap masalah)
Setelah melaksanakan peningkatan kualitas selama selang waktu tertentu, perlu dilakukan studi dan evaluasi
berdasarkan data yang dikumpulkan selama tahap pelaksanaan itu guna mengetahui apakah jenis masalah yang ada
telah hilang atau berkurang. Analisis terhadap hasil-hasil temuan selama tahap pelaksanaan akan memberikan
tambahan informasi bagi pembuat keputusan dan perencanaan peningkatan kualitas berikutnya. Dalam tahap study
dan evaluasi ini, dapat membandingkan hasil-hasil sebelum dan sesudah peningkatan kualitas.
A: Act to standardize the solution(s) (bertindak untuk menstandardisasikan solusi terhadap masalah)
Hasil-hasil yang memuaskan dari tindakan peningkatan kualitas atau solusi masalah harus distandardisasikan dan
selanjutnya melakukan peningkatan terus-menerus pada jenis masalah yang lain. Standardisasi dimaksudkan untuk
mencegah masalah yang sama terulang kembali.

Anda mungkin juga menyukai