Pelayanan kesehatan primer (primary health care), atau pelayanan kesehatan masyarakat adalah pelayanan kesehatan
yang paling depan, yang pertama kali diperlukan masyarakat pada saat mereka mengalami ganggunan kesehatan atau
kecelakaan
Pelayanan kesehatan sekunder dan tersier (secondary and tertiary health care), adalah rumah sakit, tempat masyarakat
memerlukan perawatan lebih lanjut atau rujukan. Di Indonesia terdapat berbagai tingkat rumah sakit, mulai dari rumah
sakit tipe D sampai dengan Rumah sakit kelas A. (Juanita, 2002).
Proses pelayanan kesehatan tidak bisa dipisahkan dengan pembiayaan kesehatan. Biaya kesehatan ialah besarnya dana
yang harus disediakan untuk menyelenggarakan dan atau memanfaatkan berbagai upaya kesehatan yang diperlukan
oleh perorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat.
Berdasarkan pengertian ini, maka biaya kesehatan dapat ditinjau dari dua sudut yaitu berdasarkan:
1. Penyedia Pelayanan Kesehatan (Health Provider), adalah besarnya dana yang harus disediakan untuk dapat
menyelenggarakan upaya kesehatan, maka dilihat pengertian ini bahwa biaya kesehatan dari sudut penyedia pelayanan
adalah persoalan utama pemerintah dan ataupun pihak swasta, yakni pihak-pihak yang akan menyelenggarakan upaya
kesehatan. Besarnya dana bagi penyedia pelayanan kesehatan lebih menunjuk kepada seluruh biaya investasi
(investment cost) serta seluruh biaya operasional (operational cost).
2. Pemakai Jasa Pelayanan (Health consumer), adalah besarnya dana yang harus disediakan untuk dapat
memanfaatkan jasa pelayanan. Dalam hal ini biaya kesehatan menjadi persoalan utama para pemakai jasa pelayanan,
namun dalam batas-batas tertentu pemerintah juga turut serta, yakni dalam rangka terjaminnya pemenuhan kebutuhan
pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang membutuhkannya. Besarnya dana bagi pemakai jasa pelayanan lebih
menunjuk pada jumlah uang yang harus dikeluarkan (out of pocket) untuk dapat memanfaatkan suatu upaya
kesehatan.
Pembiayaan kesehatan yang kuat, stabil dan berkesinambungan memegang peranan yang amat vital untuk
penyelenggaraan pelayanan kesehatan dalam rangka mencapai berbagai tujuan penting dari pembangunan kesehatan
di suatu negara diantaranya adalah pemerataan pelayanan kesehatan dan akses (equitable access to health care) dan
pelayanan yang berkualitas (assured quality).
Berdasarkan karakteristik tersebut, sebuah sistem pembiayaan pelayanan kesehatan haruslah bertujuan
untuk:
1) Risk spreading, pembiayaan kesehatan harus mampu meratakan besaran resiko biaya sepanjang waktu sehingga
besaran tersebut dapat terjangkau oleh setiap rumah tangga. Artinya sebuah sistem pembiayaan harus mampu
memprediksikan resiko kesakitan individu dan besarnya pembiayaan dalam jangka waktu tertentu (misalnya satu
tahun). Kemudian besaran tersebut diratakan atau disebarkan dalam tiap bulan sehingga menjadi premi (iuran,
tabungan) bulanan yang terjangkau.
2) Risk pooling, beberapa jenis pelayanan kesehatan (meskipun resiko rendah dan tidak merata) dapat sangat mahal
misalnya hemodialisis, operasi spesialis (jantung koroner) yang tidak dapat ditanggung oleh tabungan individu (risk
spreading). Sistem pembiayaan harus mampu menghitung dengan mengakumulasikan resiko suatu kesakitan dengan
biaya yang mahal antar individu dalam suatu komunitas sehingga kelompok masyarakat dengan tingkat kebutuhan
rendah (tidak terjangkit sakit, tidak membutuhkan pelayanan kesehatan) dapat mensubsidi kelompok masyarakat yang
membutuhkan pelayanan kesehatan. Secara sederhana, suatu sistem pembiayaan akan menghitung resiko terjadinya
masalah kesehatan dengan biaya mahal dalam satu komunitas, dan menghitung besaran biaya tersebut kemudian
membaginya kepada setiap individu anggota komunitas. Sehingga sesuai dengan prinsip solidaritas, besaran biaya
pelayanan kesehatan yang mahal tidak ditanggung dari tabungan individu tapi ditanggung bersama oleh masyarakat.
3) Connection between ill-health and poverty, karena adanya keterkaitan antara kemiskinan dan kesehatan, suatu
sistem pembiayaan juga harus mampu memastikan bahwa orang miskin juga mampu pelayanan kesehatan yang layak
sesuai standar dan kebutuhan sehingga tidak harus mengeluarkan pembiayaan yang besarnya tidak proporsional
dengan pendapatan.
4) Fundamental importance of health, kesehatan merupakan kebutuhan dasar dimana individu tidak dapat menikmati
kehidupan tanpa status kesehatan yang baik
Sumber dana biaya kesehatan berbeda pada beberapa negara, namun secara garis besar berasal dari:
1. Anggaran pemerintah. 2. Anggaran masyarakat. 3. Bantuan biaya dari dalam dan luar negeri. 4. Gabungan
anggaran pemerintah dan masyarakat.
Tingginya biaya kesehatan disebabkan oleh beberapa hal,
1. Tingkat inflasi Apabila terjadi kenaikan harga di masyarakat, maka secara otomatis biaya investasi dan juga biaya
operasional pelayanan kesehatan akan meningkat pula, yang tentu saja akan dibebankan kepada pengguna jasa.
2. Tingkat permintaan Pada bidang kesehatan, tingkat permintaan dipengaruhi sedikitnya oleh dua faktor, yaitu
meningkatnya kuantitas penduduk yang memerlukan pelayanan kesehatan, yang karena jumlahnya lebih atau
bertambah banyak, maka biaya yang harus disediakan meningkat pula. Faktor kedua adalah meningkatnya kualitas
penduduk. Dengan tingkat pendidikan dan penghasilan yang lebih baik, mereka akan menuntut penyediaan layanan
kesehatan yang baik pula dan hal ini membutuhkan biaya pelayanan kesehatan yang lebih baik dan lebih besar.
3. Kemajuan ilmu dan teknologi Sejalan dengan adanya kemajuan ilmu dan teknologi dalam penyelenggaraan
pelayanan kesehatan (penggunaan peralatan kedokteran yang modern dan canggih) memberikan konsekuensi
tersendiri, yaitu tingginya biaya yang harus dikeluarkan dalam berinvestasi. Hal ini membawa akibat dibebankannya
biaya investasi dan operasional tersebut pada pemakai jasa pelayanan kesehatan.
4. Perubahan Pola Penyakit Meningkatnya biaya kesehatan juga dipengaruhi adanya perubahan pola penyakit, yang
bergeser dari penyakit yang sifatnya akut menjadi penyakit yang bersifat kronis. Dibandingkan dengan berbagai
penyakit akut, perawatan berbagai penyakit kronis ternyata lebih lama. Akibatnya biaya yang dikeluarkan untuk
perawatan dan penyembuhan penyakit ini akan lebih besar. Hal ini akan sangat mempengaruhi tingginya biaya
kesehatan.
5. Perubahan pola pelayanan kesehatan Perubahan pola pelayanan kesehatan ini terjadi akibat perkembangan keilmuan
dalam bidang kedokteran sehingga terbentuk spesialisasi dan subspesialisasi yang menyebabkan pelayanan kesehatan
menjadi terkotakkotak (fragmented health service) dan satu sama lain seolah tidak berhubungan. Akibatnya sering
terjadi tumpang tindih atau pengulangan metoda pemeriksaan yang sama dan pemberian obat-obatan yang dilakukan
pada seorang pasien, yang tentu berdampak pada semakin meningkatnya beban biaya yang harus ditanggung oleh
pasien selaku pengguna jasa layanan kesehatan ini. Selain itu, dengan adanya pembagian spesialisasi dan
subspesialisasi tenaga pelayanan kesehatan, menyebabkan hari perawatan juga akan meningkat.
6. Perubahan Pola Hubungan Dokter-Pasien Sistem kekeluargaan yang dulu mendasari hubungan dokter-pasien
seakan sirna. Dengan adanya perkembangan spesialisasi dan subspesialisasi serta penggunaan berbagai peralatan yang
ditunjang dengan kemajuan ilmu dan teknologi, mengakibatkan meningkatnya biaya yang harus dikeluarkan oleh
pasien, hal ini tentu saja membuat pasien menuntut adanya kepastian pengobatan dan penyembuhan dari penyakitnya.
Hal ini diperberat dengan semakin tingginya tingkat pendidikan pasien selaku pengguna jasa layanan kesehatan, yang
mendorong semakin kritisnya pemikiran dan pengetahuan mereka tentang masalah kesehatan. Hal tersebut diatas
mendorong para dokter sering melakukan pemeriksaan yang berlebihan (over utilization), demi kepastian akan
tindakan mereka dalam melakukan pengobatan dan perawatan, dan juga dengan tujuan mengurangi kemungkinan
kesalahan yang dilakukan dalam mendiagnosa penyakit yang diderita pasiennya. Konsekuensi yang terjadi adalah
semakin tingginya biaya yang dibutuhkan oleh pasien untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.
7. Lemahnya mekanisme pengendalian biaya Kurangnya peraturan perundang-undangan yang ditetapkan untuk
mengatur dan membatasi pemakaian biaya pelayanan kesehatan menyebabkan pemakaiannya sering tidak terkendali,
yang akhirnya akan membebani
penanggung (perusahaan) dan masyarakat secara keseluruhan.
8. Penyalahgunaan asuransi kesehatan Asuransi kesehatan (health insurance) sebenamya merupakan salah satu
mekanisme pengendalian biaya kesehatan, sesuai dengan anjuran yang diterapkan oleh pemerintah. Tetapi jika
diterapkan secara tidak tepat sebagaimana yang lazim ditemukan pada bentuk yang konvensional (third party sistem)
dengan sistem mengganti biaya (reimbursement) justru akan mendorong naiknya biaya kesehatan. (Medis Online,
2009).
MODEL SISTEM PEMBIAYAAN
1. Direct Payments by Patients Ciri utama model direct payment adalah setiap individu menanggung secara langsung
besaran biaya pelayanan kesehatan sesuai dengan tingkat penggunaannya. Pada umumnya sistem ini akan mendorong
penggunaan pelayanan kesehatan secara lebih hati-hati, serta adanya kompetisi antara para provider pelayanan
kesehatan untuk menarik konsumen atau free market. Meskipun tampaknya sehat, namun transaksi kesehatan pada
umumnya bersifat tidak seimbang dimana pasien sebagai konsumen tidak mampu mengenali permasalahan dan
kebutuhannya, sehingga tingkat kebutuhan dan penggunaan jasa lebih banyak diarahkan oleh provider. Sehingga free
market dalam pelayanan kesehatan tidak selalu berakhir dengan peningkatan mutu dan efisiensi namun dapat
mengarah pada penggunaan terapi yang berlebihan.
2. User payments Dalam model ini, pasien membayar secara langsung biaya pelayanan kesehatan baik pelayanan
kesehatan pemerintah maupun swasta. Perbedaannya dengan model informal adalah besaran dan mekanisme
pembayaran, juga kelompok yang menjadi pengecualian telah diatur secara formal oleh pemerintah dan provider.
Bentuk yang paling kompleks adalah besaran biaya yang bebeda setiap kunjungan sesuai dengan jasa pelayanan
kesehatan yang diberikan (biasanya terjadi untuk fasilitas pelayanan kesehatan swasta). Namun model yang umum
digunakan adalah ’flat rate’, dimana besaran biaya per-episode sakit bersifat tetap.
3. Saving based Model ini mempunyai karakteristik ‘risk spreding’ pada individu namun tidak terjadi risk pooling
antar individu. Artinya biaya kesehatan langsung, akan ditanggung oleh individu sesuai dengan tingkat
penggunaannya, namun individu tersebut mendapatkan bantuan dalam mengelola pengumpulan dana (saving) dan
penggunaannya bilamana membutuhkan pelayanan kesehatan. Biasanya model ini hanya mampu mencakup pelayanan
kesehatan primer dan akut, bukan pelayanan kesehatan yang bersifat kronis dan kompleks yang biasanya tidak bisa
ditanggung oleh setiap individu meskipun dengan mekanisme saving. Sehingga model ini tidak dapat dijadikan model
tunggal pada suatu negara, harus didukung model lain yang menanggung biaya kesehatan lain dan pada kelompok
yang lebih luas.
4. Informal Ciri utama model ini adalah bahwa pembayaran yang dilakukan oleh individu pada provider kesehatan
formal misalnya dokter, bidan tetapi juga pada provider kesehatan lain misalnya: mantri, dan pengobatan tradisional;
tidak dilakukan secara formal atau tidak diatur besaran, jenis dan mekanisme pembayarannya. Besaran biaya biasanya
timbul dari kesepakatan atau banyak diatur oleh provider dan juga dapat berupa pembayaran dengan barang. Model ini
biasanya muncul pada negara berkembang dimana belum mempunyai sistem pelayanan kesehatan dan pembiayaan
yang mampu mencakup semua golongan masyarakat dan jenis pelayanan.
5. Insurance Based Sistem pembiayaan dengan pendekatan asuransi mempunyai perbedaan utama dimana individu
tidak menanggung biaya langsung pelayanan kesehatan. Konsep asuransi memiliki dua karakteristik khusus yaitu
pengalihan resiko kesakitan pada satu individu pada satu kelompok serta adanya sharing looses secara adil. Secara
sederhana dapat digambarkan bahwa satu kelompok individu mempunyai resiko kesakitan yang telah diperhitungkan
jenis, frekuensi dan besaran biayanya. Keseluruhan besaran resiko tersebut diperhitungkan dan dibagi antar anggota
kelompok sebagai premi yang harus dibayarkan. Apabila anggota kelompok, maka keseluruhan biaya pelayanan
kesehatan
Dari pembahasan ketiga sistem pembiayaan diatas, tentu saja setiap metodenya memiliki segi positif dan negative
masing – masing. Hal tersebut dapat dirangkum sbb :
BPJS Kesehatan selalu mengalami deficit anggaran setiap tahunnya. Hal ini dipengaruhi oleh banyak factor di
antaranya adalah faktor kecurangan (fraud) yang sering dilakukan oleh rumah sakit.
Sejak beroperasi 1 Januari 2014 sampai sekarang BPJS Kesehatan mengalami banyak tantangan dalam melaksanakan
program jaminan kesehatan nasional (JKN, salah satunya mencegah terjadinya tindak kecurangan (fraud).
“Untuk itu diperlukan langkah kongkrit dengan membuat sistem pencegahan, deteksi, dan penindakan terhadap
kecurangan (fraud). Inilah yang mendasari pembahasan atau penyusunan Permenkes No.36 Tahun 2015 tentang
Pencegahan Kecurangan (Fraud) dalam Jaminan Kesehatan Nasional,” kata Ardjuna kepada Info BPJS Kesehatan.
Instrumen hukum itu diharapkan bisa digunakan sebagai pedoman para pihak terkait untuk mencegah terjadinya
kecurangan (fraud) dalam pelaksanaan JKN. Mengacu pada Permenkes 36 Tahun 2015 ada sejumlah pihak yang
berpotensi melakukan fraud dalam program JKN yakni peserta, fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP), fasilitas
kesehatan rujukan tingkat lanjutan (FKRTL), petugas BPJS Kesehatan, penyedia obat dan alat kesehatan. Tindak
kecurangan yang berpotensi dilakukan oleh peserta seperti membuat pernyataan yang tidak benar dalam hal eligibilitas
(memalsukan status kepesertaan) untuk memperoleh pelayanan kesehatan; memanfaatkan haknya untuk pelayanan
yang tidak perlu (unneccesary services) dengan cara memalsukan kondisi kesehatan; memberikan gratifikasi kepada
pemberi pelayanan agar bersedia memberi pelayanan yang tidak sesuai/tidak ditanggung; memanipulasi penghasilan
agar tidak perlu membayar iuran terlalu besar; melakukan kerjasama dengan pemberi pelayanan untuk mengajukan
Klaim palsu; memperoleh obat dan/atau alat kesehatan yang diresepkan untuk dijual kembali.
Terkait hal di atas menyebabkan terjadi fraud atau kecurangan baik di tingkat pengguna Puskesmas, hingga rumah
sakit. Temuan fraud di tingkat peserta JKN-PBI adalah manipulasi penggunaan kartu KIS (Kartu Indonesia Sehat)
oleh bukan pemilik kartu. Hal ini terjadi karena pasien merupakan pasien miskin dan tidak terdaftar sebagai peserta
JKN-PBI.
Temuan kecurangan di tingkat Puskesmas, jelas dia, terjadi dalam bentuk penerimaan uang oleh pihak Puskesmas
untuk mengeluarkan rujukan pada pasien. Puskesmas juga diidentiflkasi melakukan kecurangan berupa tidak optimal
menangani pasien dan segera merujuk pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan (FKTL) untuk menjaga agar dana
kapitasi yang diperoleh dari BPJS Kesehatan tidak berkurang signifikan.
Temuan fraud di tingkat rumah sakit terjadi dalam berbagai bentuk terutama penggunaan alat kesehatan, obat, dan
tindakan medis. Alat kesehatan dan obat diduga tidak digunakan secara optimal dalam pengobatan pasien tapi tetap
ditagihkan dalam klaim rumah sakit.
Selama satu tahun JKN di Indonesia, tidak menutup kemungkinan adanya kecurangan atau fraud dalam
pelaksanaannya. Potensifraud selalu ada dalam setiap sistem asuransi kesehatan dan terjadi di semua negara, termasuk
program JKN di Indonesia. Definisi darifraud itu sendiri adalah kesengajaan melakukan kesalahan terhadap kebenaran
untuk tujuan mendapatkan sesuatu yang bernilai atas kerugian orang lain atau mendapatkannya dengan membelokkan
hukum atau kesalahan representasi suatu fakta, baik dengan kata maupun tindakan; kesalahan alegasi (mendakwa
orang melakukan tindakan criminal), menutupi sesuatu yang harus terbuka, menerima tindakan atau sesuatu yang
salah dan merencanakan melakukan sesuatu yang salah kepada orang lain sehingga dia bertindak di atas hukum yang
salah (Black’s Law Dictionary).
Kemungkinan terjadinya fraud pada JKN disebabkan oleh dua hal, yaitu faktor ketidaksengajaan dan faktor
kesengajaan. Faktor ketidaksengajaan terjadi karena kurangnya pemahaman rumah sakit tentang JKN beserta
aturannya sehingga terjadi kesalahan, seperti saat penulisan kode diagnosa penyakit (coding). Sedangkan faktor
kesengajaan terjadi karena didasari keinginan Penyedia Pelayanan Kesehatan (PPK) untuk mencari keuntungan yang
lebih besar.
Seperti yang telah diketahui sistem pembiayaan kesehatan pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjut (FKTP) dalam hal
ini, yaitu Rumah Sakit menggunakan sistem INA-CBGs. Pada awal era JKN, banyak rumah sakit yang menolak
kebijakan tarif INA-CBGs, karena menganggap tarif INA-CBGs jauh lebih rendah dari biaya kesehatan umumnya,
bahkan banyak rumah sakit yang mengklaim tarif INA-CBGs tesebut tidak menutupi biaya operasional mereka. Hal
inilah, yang mendorong tenjadinya fraud pada rumah sakit. Berbagai cara pun dilakukan untuk mendapatkan
keuntungan, seperti menaikkan kelas rawat peserta JKN, dengan dalih kamar rawat sesuai kelas yang dijamin sedang
penuh. Sehingga peserta harus membayar sendiri tambahan biaya untuk kelas rawat yang tersedia. Padahal bisa saja
ini hanya akal-akalan rumah sakit untuk mendapatkan keuntungan. Potensi fraud lainnya yang bisa dilakukan oleh
rumah sakit yaitu dengan melakukan upcoding tarif INA-CBGs. Sehingga muncullah klaim-klaim palsu yang tidak
sesuai dengan pelayanan kesehatan yang sebenarnya diberikan ke peserta.
Selain itu dalam hal ketersediaan obat pun sering terjadi fraud. Banyak kasus terkait peserta yang harus mengeluarkan
biaya sendiri (out of pocket) untuk obat yang dibutuhkan dengan alasan obat yang diresepkan oleh dokter sedang
kosong atau resep tersebut bukan obat yang dijamin oleh BPJS. Padahal seharusnya semua obat yang diberikan
kepada peserta sudah ditanggung oleh BPJS, sehingga peserta tidak perlu lagi membayar obat karena peserta berhak
mendapatkan perawatan sesuai tindakan medis, termasuk pemberian obat tanpa harus membayar kembali. Siapa yang
tau obat tersebut beneran kosong atau lagi-lagi cuma modus rumah sakit untuk mendapatkan keuntungan, ditambah
lagi dengan kurangnya pengetahuan peserta tentang obat yang dijamin oleh BPJS.
Rumah sakit bukan satu-satunya pelaku fraud pada JKN, peserta sebagai penikmat dari sistem jaminan kesehatan juga
berpotensi melakukan fraud. Contohnya saja, pada saat melakukan registrasi dengan memalsukan identitas ketika
mengisi formulir aplikasi.
Oleh karena JKN sangat rentan terjadi fraud, maka diperlukan perhatian dan pengawasan lebih khusus untuk
menindaklanjuti hal-hal yang berkaitan dengan fraud sekecil apapun itu. BPJS sebegai penyelenggara jaminan
kesehatan harus lebih ketat mengawasi provider kesehatan dan memberikan sanksi yang tegas jika terindikasi
melakukan kecurangan. Menteri Kesehatan harus melakukan review tarif INA-CBGs setiap tahunnya, sehingga tarif
INA-CBGs sesuai dengan pelayanan kesehatan yang diberikan rumah sakit. Diharapkan dengan adanya review dan
penyesuaian tarif INA-CBGs, fraud pada rumah sakit dapat diminimalisasi. Selain itu sosialisasi terkait JKN harus
lebih ditingkatkan, sehinga seluruh lapisan masyarakat mengerti apa yang menjadi haknya di JKN ini. Harapannya
memasuki tahun kedua pelaksanaan JKN, masyarakat bisa lebih merasakan manfaat dari niat mulia JKN.
Clinical pathway
adalah alur yang menunjukkan secara detail tahap-tahap penting dari pelayanan kesehatan termasuk hasil yang
diharapkan
clinical pathway, salah satunya terdiri dari beberapa tahap sebagai berikut:
Pembentukan tim penyusun clinical pathway.
Tim penyusun clinical pathway terdiri dari staf multidisplin dari semua tingkat dan jenis pelayanan. Bila diperlukan,
tim dapat mencari dukungan dari konsultan atau institusi diluar RS seperti organisasi profesi sebagai narasumber. Tim
bertugas untuk menentukan dan melaksanakan langkah-langkah penyusunan clinical pathway.
Identifikasi key players.
Identifikasi key players bertujuan untuk mengetahui siapa saja yang terlibat dalam penanganan kasus atau kelompok
pasien yang telah ditetapkan dan untuk merencanakan focus group dengan key players bersama dengan pelanggan
internal dan eksternal
Pelaksanaan site visit di rumah sakit.Pelaksanaan site visit di rumah sakit bertujuan untuk mengenal praktik yang
sekarang berlangsung, menilai sistem pelayanan yang ada dan memperkuat alasan mengapa clinical pathway perlu
disusun. Jika diperlukan, site visit internal perlu dilanjutkan dengan site visit eksternal setelah sebelumnya melakukan
identifikasi partner benchmarking. Hal ini juga diperlukan untuk mengembangkan ide.
Studi literatur.
Studi literatur diperlukan untuk menggali pertanyaan klinis yang perlu dijawab dalam pengambilan keputusan klinis
dan untuk menilai tingkat dan kekuatan bukti ilmiah. Studi ini sebaiknya mengasilkan laporan dan rekomendasi
tertulis.
Diskusi kelompok terarah.
Diskusi kelompok terarah atau Focus Group Discussion (FGD) dilakukan untuk mengenal kebutuhan pelanggan
(internal dan eksternal) dan menyesuaikan dengan kemampuan rumah sakit dalam memenuhi kebutuhan tersebut serta
untuk mengenal kesenjangan antara harapan pelanggan dan pelayanan yang diterima. Lebih lanjut, diskusi kelompok
terarah juga perlu dilakukan untuk memberi masukan dalam pengembangan indikator mutu pelayanan klinis dan
kepuasan pelanggan serta pengukuran dan pengecekan.
Penyusunan pedoman klinik.
Penyusunan pedoman klinik dilakukan dengan mempertimbangkan hasil site visit, hasil studi literatur (berbasis bukti
ilmiah) dan hasil diskusi kelompok terarah. Pedoman klinik ini perlu disusun dalam bentuk alur pelayanan untuk
diketahui juga oleh pasien.
Analisis bauran kasus.Analisis bauran kasus dilakukan untuk menyediakan informasi penting baik pada saat sebelum
dan setelah penerapan clinical pathway. Meliputi: length of stay, biaya per kasus, obat-obatan yang digunakan, tes
diagnosis yang dilakukan, intervensi yang dilakukan, praktisi klinis yang terlibat dan komplikasi.
Menetapkan sistem pengukuran proses dan outcome.
Contoh ukuran-ukuran proses antara lain pengukuran fungsi tubuh dan mobilitas, tingkat kesadaran, temperatur,
tekanan darah, fungsi paru dan skala kesehatan pasien (wellness indicator).
Mendisain dokumentasi clinical pathway.
Penyusunan dokumentasi clinical pathway perlu memperhatikan format clinical pathway, ukuran kertas, tepi dan
perforasi untuk filing. Perlu diperhatikan bahwa penyusunan dokumentasi ini perlu mendapatkan ratifikasi oleh
Instalasi Rekam Medik untuk melihat kesesuaian dengan dokumentasi lain.
Setelah clinical pathway tersusun, perlu dilakukan uji coba sebelum akhirnya diimplementasikan di rumah sakit. Saat
uji coba dilakukan penilaian secara periodik kelengkapan pengisian data dan diikuti dengan pelatihan kepada para staf
untuk menggunakan clinical pathway tersebut. Lebih lanjut, perlu juga dilakukan analisis variasi dan penelusuran
mengapa praktek dilapangan berbeda dari yang direkomendasikan dalam clinical pathway.
Hasil analisis digunakan untuk: mengidentifikasi variasi umum dalam pelayanan, memberi sinyal kepada staf akan
adanya pasien yang tidak mencapai perkembangan yang diharapkan, memperbaiki clinical pathway dengan
menyetujui perubahan dan mengidentifikasi aspek-aspek yang dapat diteliti lebih lanjut. Hasil analisis variasi dapat
menetapkan jenis variasi yang dapat dicegah dan yang tidak dapat dicegah untuk kemudian menetapkan solusi bagi
variasi yang dapat dicegah (variasi yang tidak dapat dicegah dapat berasal dari penyakit penyerta yang menyebabkan
pelayanan menjadi kompleks bagi seorang individu).
(quality improvement) dari sebuah rumah sakit.
Quality Improvement yaitu suatu kegiatan meningkatkan Qualitas dengan cara membandingkan kenapa ada yang bisa
unggul namun ada juga yang kinerjanya buruk saat mengerjakan tugas yang sama. Setelah mendapatkan metode yang
tepat dilakukan oleh yang unggul maka qualitas bisa ditingkatkan dengan menerapkan metode yang sama kepada yang
lain. dengan meningkatkan standar yang ada.
Proses peningkatan mutu (Quality Improvement ) adalah mengidentifikasi indikator mutu dalam pelayanan,
memonitor indikator tersebut dan mengukur hasil dari indikator mutu tersebut yang tentunya mengarah pada outcome,
serta selalu berfokus dalam rangka peningkatan proses, sehinga tingkat mutu dari hasil yang dicapai akan meningkat.
Tentunya upayapeningkatan mutu ( Quality Improvement ) dilakukan dengan terlebih dahulu diawali dari jaminan
mutu (quality assurance), kemudian mengarah pada peningkatan mutu yang proaktif. Hal penting yang menjadi
sebuah catatan adalah mutu yang rendah masih dapat kita tingkatkan bila kita berkehendak untuk melakukannya
dengan melakukan peningkatan mutu ( quality improvement ).
KEUNTUNGAN
Untuk memahaminya, definisi “quality” sebagai “fit for purpose” dapat dibagi menjadi dua kategori:
1. Keuntungan dari peningkatan kualitas: Menghadirkan fitur-fitur yang dapat memuaskan kebutuhan dan
keinginan pelanggan:
a. Meningkatkan kepuasan pelanggan
b. Meningkatkan nilai jual produk
c. Bertahan dalam kompetisi
d. Memperbesar market share
e. Mendatangkan penjualan
f. Memungkinkan untuk mempertahankan harga premium
g. Mengurangi resiko
h. Efek utamanya terletak pada revenue
Langkah-langkah peningkatan kualitas menggunakan konsep PDCA. Konsep PDCA merupakan langkah-langkah
yang sering digunakan dalam analisis dan solusi masalah kualitas, sebagai berikut :
P: Plan the solution(s) (merencanakan solusi masalah)
Rencana penyelesaian masalah berfokus pada tindakan-tindakan untuk menghilangkan akar penyebab dari masalah
yang ada. Elemen-elemen yang harus ada dalam proses perencanaan sistem manajemen kualitas adalah tujuan
(objectives), pelanggan (customer), hasil-hasil (outputs), proses-proses (processes), masukan-masukan (inputs),
pemasok (suppliers), dan pengukuran untuk umpan balik dan umpan maju (measurement for feedback and
feedforward). Dalam akronim bahasa inggris dapat disingkat menjadi : SIPOCOM-Suppliers, Inputs, Processes,
Outputs, Customer, Objectives, and Measurements. Untuk merumuskan tujuan kualitas dalam program penyusunan
program harus mengikuti prinsip SMART Objectives:
a. Specific : Tujuan program harus bersifat spesifik yang dinyatakan secara tegas. Tim peningkatan kualitas harus
menghindari pernyataan-pernyataan tujuan yang bersifat umum dan tidak spesifik.
b. Measurable : Tujuan program harus dapat diukur menggunakan indicator pengukuran yang tepat guna
mengevaluasi keberhasilan, peninjuan-ulang, dan tindakan perbaikan diwaktu mendatang. Pengukuran harus mampu
memunculkan fakta-fakta yang dinyatakan secara kuantitatif menggunakan angka-angka.
c. Achievable : Tujuan program harus dapat dicapai melalui usaha-usaha yang menantang
d. Result oriented : Tujuan program harus berfokus pada hasil-hasil berupa pencapaian target-target kualitas yang
ditetapkan
e. Time related : Tujuan harus menetapkan batas waktu pencapaian tujuan dan harus dicapai tepat waktu
D: Do or implement the solution(s) (melaksanakan atau menerapkan rencana solusi terhadap masalah)
Implementasi rencana solusi terhadap masalah mengikuti daftar rencana tindakan peningkatan kualitas. Dalam tahap
pelaksanaan ini sangat dibutuhkan komitmen manajemen dan karyawan serta partisipasi total untuk secara bersama-
sama menghilangkan akar penyebab dari masalah kualitas yang telah teridentifikasi. Pencatatan data kualitas juga
harus dilakukan selama tahap pelaksanaan serta identifikasi penyebab apabila terjadi penyimpangan dalam tahap
pelaksanaan.
C: Check the solution(s) results (mempelajari hasil-hasil solusi terhadap masalah)
Setelah melaksanakan peningkatan kualitas selama selang waktu tertentu, perlu dilakukan studi dan evaluasi
berdasarkan data yang dikumpulkan selama tahap pelaksanaan itu guna mengetahui apakah jenis masalah yang ada
telah hilang atau berkurang. Analisis terhadap hasil-hasil temuan selama tahap pelaksanaan akan memberikan
tambahan informasi bagi pembuat keputusan dan perencanaan peningkatan kualitas berikutnya. Dalam tahap study
dan evaluasi ini, dapat membandingkan hasil-hasil sebelum dan sesudah peningkatan kualitas.
A: Act to standardize the solution(s) (bertindak untuk menstandardisasikan solusi terhadap masalah)
Hasil-hasil yang memuaskan dari tindakan peningkatan kualitas atau solusi masalah harus distandardisasikan dan
selanjutnya melakukan peningkatan terus-menerus pada jenis masalah yang lain. Standardisasi dimaksudkan untuk
mencegah masalah yang sama terulang kembali.