Anda di halaman 1dari 46

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Diabetes Melitus (DM) adalah sekelompok penyakit metabolik dengan


karakteristik hipeglikemia yang terjadi karena gangguan sekresi insulin, kerja
insulin atau kedua-duanya. Secara epidemiologis DM seringkali tidak terdeteksi
dan dikatakan onset atau mulai terjadinya diabetes adalah 7 tahun sebelum
diagnosis ditegakkan, sehingga morbiditas dan mortalitas dini terjadi pada kasus
yang tidak terdeteksi ini. [ CITATION Pur09 \l 18441 ]
World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa kejadian diabetes
DM akan meningkat pada milenium ketiga ini termasuk di Indonesia, sebagaian
besar dari penyakit ini adalah DM tipe II [ CITATION Lub09 \l 18441 ]. Dalam
perjalanan penyakit DM, dapat terjadi penyulit akut dan menahun. Penyulit akut
yaitu ketoasidosis diabetik (DKA), keadaan hiperosmolar non ketotik (NKH) atau
hipoglikemia. Penyulit menahun dapat berupa makroangiopati yaitu peningkatan
risiko penyakit arteri koroner, serta mikroangiopati yaitu nefropati, retinopati, dan
neuropati [ CITATION PER11 \l 18441 ].
Sekitar 40 % dari pasien DM dapat melibatkan ginjal, sehingga dapat
dipahami bahwa seiring meningkatnya kejadian DM maka gangguan ginjal akibat
diabetes juga akan meningkat. Penyakit ginjal diabetik (PGD) atau nefropati
diabetik (ND) merupakan salah satu komplikasi yang sering terjadi pada penderita
diabetes. Pada penyakit ini terjadi kerusakan pada filter ginjal atau yang dikenal
dengan glomerulus. [ CITATION Lub09 \l 18441 ]
Berdasarkan masalah diatas penulis berupaya untuk melaporkan salah satu
kasus di Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Wahab Sjahranie (RSUD AWS) guna
membandingkan kasus dan penatalaksaanan di RSUD AWS dengan literatur yang
ada. Diharapkan dari laporan kasus ini bisa dipetik beberapa hal yang sekiranya
berguna dalam ilmu pengetahuan.

1
1.2. Tujuan
Penulisan laporan kasus ini bertujuan untuk mengkritis kasus serta
memperluas pengetahuan penulis dan pembaca mengenai penyakit ginjal yang
disebabkan oleh DM yaitu nefropati diabetik.

2
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1. Identitas Pasien

Nama : Ny. S

Usia : 55 tahun

Alamat : Jl. Kapitan, toko lima

Pendidikan : SD

Pekerjaan : IRT

Agama : Islam

BB : 45

TB : 152 cm

MRS : 12 januari 2013

2.2. Subject:
a. Keluhan Utama : sesak
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD rujukan dari sebuah klinik di kutai kartanegara
muara badak dengan keluhan sesak selama 4 hari, sesak mulanya ringan
lalu semakin memberat. Sesak tidak dibatasi oleh waktu, baik pagi, siang
maupun malam. Saat masuk rumah sakit (mrs) di IGD tetap sesak dan
akan bertambah apabila melakukan aktivitas. Gejala lain yang menyertai
adalah nyeri ulu hati seperti rasa terbakar, mual, namun tidak disertai
muntah, BAB dan BAK dalam batas normal, nyeri kepala (+) batuk/pilek
(-) demam (-). 10 tahun yang lalu pasien merasa berat badannya turun
meskipun banyak makan, namun setelah pengobatan berat badannya naik
kembali. Pasien juga mengeluhkan banyak minum dan sering terbangun di
malam hari untuk buang air kecil.

3
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat DM tipe II sejak 10 tahun yang lalu, pasien didiagnosa saat
berobat ke klinik dengan keluhan lemas dan ketika dilakukan GDS
hasilnya 450 gr/dl. Pasien diberikan oleh dokter yang merawat obat
glibenclamid 2x1 selama menjalani pengobatan di rumah, rutin minum
obat, sulit mengatur makan dan tidak rutin olahraga.
Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien tidak memiliki riwayat kencing manis pada keluarganya, asma (-),
HT (-) penyakit jantung (-)
d. Riwayat Sistemik
Nyeri kepala (+), mata kabur (-), dada terasa nyeri (-) dada berdebar debar
(-), terasa tertindih beban berat (-), batuk (+), sesak nafas (+), Buang air
besar normal, buang air kecil sering.

2.3. Object:
a. Pemeriksaan Fisik
Composmentis, GCS : E4V5M6 , tampak sakit sedang.
TD : 190/90 Nadi : 100 x/menit RR : 28 kali/ menit Temp : 36, 1 derajat C
Kepala dan Leher
- Anemia (+/+) - Ikterik (-/-)
- Sianosis (-) - Pembesaran Kelenjar Getah Bening (-)
Thorak
Pulmo :
- Inspeksi : Pergerakan dinding dada kanan dan kiri simetris, retraksi ics (-).
- Palpasi : Trakea di tengah
+/+
- Perkusi : Sonor +/+
+/+
+/+ -/- -/-
- Auskultasi : Vesikuler +/+ ; Wheezing -/- ; Rhonki -/-
+/+ -/- -/-

Cor :
- Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
- Palpasi : Iktus kordis tidak teraba

4
- Perkusi :
o Batas jantung kanan : ICS 3 dekstra sejajar dengan para sternal line
dekstra
o Batas jantung kiri : ICS 5, mid klavikula line
sinistra
- Auskultasi : S1S2 tunggal reguler, murmur(-), gallop (-).

Abdomen :
- Inspeksi : Flat
- Auskultasi : BU (+) N, hipertimpani (-)
- Perkusi : Sonor _ _

_ _

- Palpasi : Nyeri tekan epigastrium (+)


Nyeri Tekan Abdomen _ _
_ _

Ekstremitas - -
- Akral hangat, edema
+ +

- Edema pada ekstremitas atas dan bawah, warna kulit sawo matang,
kemerahan (-), deformitas (-) massa (-), uji tekan (+) pada eksterimas
bawah. Akral hangat, nyeri (-), ektremitas atas dan bawah tidak mengalami
kelemahan ataupun nyeri saat bergerak.

b. Pemeriksaan Penunjang :
Lab 12/ 01/ 2014
DARAH LENGKAP HASIL NILAI NORMAL
WBC 12.200 4.000-10.000/uL
RBC 3.500.000 3.500.000-5.500.000/uL
HGB 9.,5 11,0-16,0 %
HCT 28.0 37-54 %

5
PLT 226.000 150.000 – 450.000 / uL
KIMIA DARAH
GDS 268 60-150 mg/dL
SGOT P<25/W<31
SGPT P<41/W<32
Bilirubin Total 0-1,0
Bilirubin Direck 0-0,25
Bilirubin Indireck 0-0,75
Protein Total 6,6-8,7
Albumin 3,2-4,5
Globulin 2,3-3,5
HBA1c
Cholesterol 150-220
Asam Urat P 2,5-7 / W 2-6
Ureum 95,8 10-40mg/Dl
Creatinin 2,0 0,5-1,5 mg/dL
ELEKTROLIT
Natrium 136 135-155 mmol/L
Kalium 4,4 3,6-5,5 mmol/L
Chloride 111 95-108 mmol/L
SEROLOGIS
HbsAg Non Reaktif
Ab hIV Non Reaktif

EKG : dalam batas normal (lampiran)

Foto Thorax : bronkopnemonia (lampiran)

2.4 Assessment
IGD : DM type II dengan Nefropati Diabetik + Hipertensi Stage II
DM : DM type II dengan Nefropati Diabetik + Hipertensi Urgency

2.5 Saran
- IVFD RL 16 tpm
- Omeprazole 2x1 cap
- Injeksi metoclopramid 3x1 ampul
- Paracetamol 3x500 mg tablet
- Amlodipin 5 mg 1-0-0
- Injeksi RI 3x4 IU sc
- Diet DM 1900 kkal

Tanggal S O A P

6
13/01/20 Sesak CM, D IVFD RL 16
14 napas TD: M tpm
Nyeri 160/90 typ Diet DM 1900
GDP : ulu ; N: e II kal
107 hati 92x; den Inj. RI 4-4-4 iu
mg/dl Mual RR: gan sc ac
G2PP : Munta 18x; sus Inj
332 h pek metoclopramid
mg/dl An Nef 3x1 amp
HbA1c: (-/-), rop Omeprazole
4,2% Ikterik ati tab 2x1
WBC : (-/-), dia Paracetamol
11000 rho (-), beti tab 3x1
Hb : 8,0 whz k+ Amlodipin 5
Ht : 24,9 (-) Hip mg 1-0-0
PLT : s1s2 erte Furosemide
144.000 tgl reg. nsi 2x1 amp
Led : 118 BU sta
(+)N, ge
NTE II
(-),
edema
(+)
14/01/20 Sesak CM, D IVFD RL 16
14 Nyeri TD: M tpm
ulu 150/90 typ Diet DM 1900
Ureum : hati ; N: e II kal
75,5 120x; den Inj. RI 4-4-4 iu
Creatinin RR: gan sc ac
: 2,1 32x; sus Inj
WBC : T:37,9 pek metoclopramid
11500 Nef 3x1 amp
Hb : 7,8 An rop Omeprazole
Ht : 24 (-/-), ati tab 2x1
PLT : Ikterik dia Paracetamol
172.000 (-/-), beti tab 3x1
rho (-), k+ Amlodipin 5
Sesak whz Hip mg 1-0-0
Nyeri (-) erte Furosemide
ulu s1s2 nsi 2x1 amp
Pukul hati tgl reg. sta
20.00 Susah BU ge
tidur 2 (+)N, II
hari NTE Advice dr.
(-), Jaga
edema Ekstra
(+) amlodipin 5
mg
TD : Ekstra
150/70 paracetamol
, N: 500 mg
112x, Inj

7
R: ondancentron
32x, 1 amp
T: 38 PRC 1 kolf
C NaCl 12 tpm
O2 masker 6
L/menit
Diazepam 0,5
mg
15/01/20 Sesak CM, D IVFD RL 16
14 napas TD: M tpm
Nyeri 130/70 typ Diet DM 1900
GDP : ulu ; N: e II kal
107 hati 80x; den Inj. RI 8-8-8 iu
mg/dl Tidak RR: gan sc ac
G2PP : bisa 32x; sus Inj
332 BAB pek metoclopramid
mg/dl dan An Nef 3x1 amp
buang (-/-), rop Omeprazole
angin Ikterik ati tab 2x1
(-/-), dia Paracetamol
rho (-), beti tab 3x1
whz k+ Amlodipin 5
(-) Hip mg 1-0-0
s1s2 erte Furosemide
tgl reg. nsi 2x1 amp
BU sta Laxadine 3x
(+)↓, ge C1
NTE II
(+), DL post
edema tranfusi
(+)
Konsultasi
Spesialis Paru
:
Dx :
Bronkopnemo
nia dd
congestive
pulmonal
Advice :
Salbutamol :
3x4 mg
Ambroxol syr
3xC1
CTM tab 2x1
16/01/20 Sesak CM, D IVFD RL 16
14 napas TD: M tpm
Nyeri 110/70 typ Diet DM 1900
ulu ; N: e II kal
hati 70x; den Inj. RI 8-8-8 iu
BAB RR: gan sc ac
(+)N, 22x; sus Inj

8
Munta pek metoclopramid
h (+) An Nef 3x1 amp
Sulit (-/-), rop Omeprazole
tidur Ikterik ati tab 2x1
(+) (-/-), dia Paracetamol
rho (-), beti tab 3x1
whz k+ Amlodipin 5
(-) Hip mg 1-0-0
s1s2 erte Furosemide
tgl reg. nsi 2x1 amp
BU sta Laxadine 3x
(+)N, ge C1
NTE II
(+) Salbutamol :
3x4 mg
Ambroxol syr
3xC1
CTM tab 2x1
17/01/20 Sesak CM, D IVFD RL 16
14 ↓↓, TD: M tpm
nyeri 130/70 typ Diet DM 1900
GDP : ulu ; N: e II kal
156 hati 75x; den Inj. RI 8-8-8 iu
D2PP (+) RR: gan sc ac
168 BAB 26x; sus Inj
GDS 583 (+) pek metoclopramid
WBC: Munta An Nef 3x1 amp
11.000 h (+) (-/-), rop Omeprazole
HB: 8,0 Ikterik ati tab 2x1
PLT: (-/-), dia Paracetamol
144000 rho (-), beti tab 3x1
whz k+ Amlodipin 5
(-) Hip mg 1-0-0
s1s2 erte Furosemide
tgl reg. nsi 2x1 amp
BU sta Laxadine 3x
(+)N, ge C1
NTE II
(-) Salbutamol :
3x4 mg
Ambroxol syr
3xC1
CTM tab 2x1
Inj ranitidin
2x1 amp
Inj Ceftriaxon
2x1 gr iv

Rencana USG
(lampiran)
18/01/20 Sesak CM, D IVFD RL 16
14 (+) ↓ TD: M tpm

9
Mual 120/60 typ Diganti
GDS : dan ; N: e II venflon saja
161 munta 98x; den Diet DM 1900
h (+) RR: gan kal
20x; sus Inj. RI 8-8-8 iu
Kemb
pek sc ac
ung An Nef Inj
(+) (-/-), rop metoclopramid
kaki Ikterik ati 3x1 amp
kiri (-/-), dia Omeprazole
dan rho (-), beti tab 2x1
kanan whz k+ Paracetamol
terasa (-) Hip tab 3x1
memb s1s2 erte Amlodipin 5
engka tgl reg. nsi mg 1-0-0
k (+) BU sta Laxadine 3x
(+)N, ge C1
NTE II
(-) Salbutamol :
edema 3x4 mg
(+) Ambroxol syr
3xC1
CTM tab 2x1
Inj ranitidin
2x1 amp
Inj Ceftriaxon
2x1 gr iv
Captopril 12,5
mg 3x1
Inj. Furosemid
1-1-0

Hasil USG :
Gastritis akut
19/01/20 CM, D venflon
14 TD: M Diet DM 1900
120/60 typ kal
; N: e II Inj. RI 8-8-8 iu
98x; den sc ac
RR: gan Inj
20x; sus metoclopramid
pek 3x1 amp
Nef Omeprazole
rop tab 2x1
ati Paracetamol
dia tab 3x1
beti Amlodipin 5
k+ mg 1-0-0
Hip Laxadine 3x
erte C1
nsi
sta Salbutamol :

10
ge 3x4 mg (stop)
II Ambroxol syr
3xC1
CTM tab 2x1
Inj ranitidin
2x1 amp
Inj Ceftriaxon
2x1 gr iv
Captopril 12,5
mg 3x1
Inj. Furosemid
1-1-0
20/01/20 Sesak CM, D venflon
14 (+) TD: M Diet DM 1900
↓↓ 140/80 typ kal
Mual ; N: e II Inj. RI 8-8-8 iu
GDS 92x; den sc ac
dan
184 RR: gan Inj
munta 30x; sus metoclopramid
h (+), pek 3x1 amp
kemb An Nef Omeprazole
ung (-/-), rop tab 2x1
(+) Ikterik ati Paracetamol
kaki (-/-), dia tab 3x1
bengk rho (-), beti Amlodipin 5
ak (+) whz k+ mg 1-0-0
(-) Hip Laxadine 3x
s1s2 erte C1
tgl reg. nsi
BU sta Ambroxol syr
(+)N, ge 3xC1
NTE II CTM tab 2x1
(-) Inj ranitidin
edema 2x1 amp
ekstre Inj Ceftriaxon
mitas 2x1 gr iv
bawah Captopril 12,5
(+)↓ mg 3x1
Inj.
Furosemid
3x1 amp

Konsultasi
Jantung
Diagnosis :
Hipertensi
stage I
Advice :
Aspilet 1x1
Bisoprolol
1x2,5 mg
21/01/20 Sesak CM, D venflon

11
14 (+) TD: M Diet DM 1900
↓↓ 140/80 typ kal
GDP : ↓ ; N: e II Inj. RI 10-10-
280 92x; den 10 iu sc ac
Mual
GD2PP : RR: gan Inj
munt 30x; sus metoclopramid
341 ah (+) pek 3x1 amp (stop)
BJ urin : Nyeri An Nef Omeprazole
1.015 (-/-), rop tab 2x1
ulu
Keton – Ikterik ati Paracetamol
hati
Hb +2 (-/-), dia tab 3x1
Protein (+)
rho (-), beti Amlodipin 5
+2 whz k+ mg 1-0-0
(-) Hip Laxadine 3x
s1s2 erte C1
tgl reg. nsi Captopril 25
BU sta mg 3x1
(+)N, ge Inj. Furosemid
NTE II 3x1 amp
(-)
edema Ambroxol syr
ekstre 3xC1
mitas CTM tab 2x1
bawah
(+)↓ Inj ranitidin
↓ 2x1 amp
Inj Ceftriaxon
2x1 gr iv
(stop)
Domperidon
3x1 tab
22/01/20 Sesak CM, D venflon
14 (-) TD: M Diet DM 1900
Mual 110/80 typ kal
(+) ; N: e II Inj. RI 12-12-
70x; den 12 iu sc ac
munta
RR: gan Omeprazole
h (-) 24x; sus tab 2x1
Nyeri pek Paracetamol
ulu T: 36 Nef tab 3x1 (jika
hati C rop perlu)
(+) An ati Amlodipin 5
(-/-), dia mg 1-0-0
Ikterik beti Inj. Furosemid
(-/-), k+ 3x1 amp
rho (-), Hip Laxadine 3x
whz erte C1
(-) nsi
s1s2 sta Ambroxol syr
tgl reg. ge 3xC1
BU II CTM tab 2x1
(+)N,

12
NTE Inj ranitidin
(-) 2x1 amp
edema Inj Ceftriaxon
ekstre 2x1 gr iv
mitas (stop)
bawah Captopril 25
(-) mg 3x1
23/01/20 Sesak CM, D Pasien boleh
14 (-) TD: M pulang dengan
Mual 150/80 typ obat pulang :
hanya ; N: e II Omeprazole
72x; den tab 2x1
saat
RR: gan Amlodipin 5
maka 20x: sus mg 1-0-0
n (-) pek RI 12-12-12 iu
Munta An Nef sc ac
h (-) (-/-), rop Captopril tab
Nyeri Ikterik ati 25 mg 3x1
ulu (-/-), dia Inj. Furosemid
hati rho (-), beti 3x1 amp
(-) whz k+ Antasida syr
(-) Hip 3xC1
s1s2 erte
tgl reg. nsi
BU sta
(+)N, ge
NTE II
(-)
edema
ekstre
mitas
bawah
(-)

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Diabetes Mellitus


3.1.1. Definisi
Diabetes mellitus adalah kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau keduanya [CITATION ADA10 \l 18441 ].

3.1.2. Klasifikasi

13
1. Diabetes Melitus Tipe I
Dekstruksi sel β, menjurus ke defisiensi insulin absolut,
- Autoimun
- Idiopatik
2. Diabetes Melitus Tipe II
Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin
relatif sampai yang dominan defek sekresi insulin disertai resistensi
insulin.
3. Diabetes Mellitus yang Berhubungan dengan Keadaan/Sindrom Lainnya
Defek genetik fungsi sel β, defek genetik kerja insulin, penyakin eksokrin
pankreas (contoh : pankreatitis), endokrinopati (contoh : akromegali),
karena obat/zat kimia (contoh : pentamidin ), infeksi (contoh L CMV),
imunologi (antibodi anti reseptor insulin), penyakit genetik lain (Sindrom
Down, Turner).
4. Diabetes Mellitus Gestasional (kehamilan) [ CITATION ADA10 \l 18441 ].

3.1.3. Faktor Resiko


Faktor resiko terjadinya Diabetes Mellitus adalah :
1. Usia > 45 tahun
2. Gemuk: BB > 120% BB idaman , IMT > 25 kg/m2
3. Hipertensi, tekanan darah ≥ 140/90 mmHg
4. Riwayat DM di keluarga
5. Riwayat melahirkan bayi BB > 4.000 gram
6. Riwayat DM pada kehamilan (DM gestasional)
7. Riwayat TGT dan GDPT
8. Penderita PJK, TBC, dan hipertiroid
9. Kadar lipid (kolesterol HDL ≤ 35 mg/ dL dan atau trigliserida ≥ 200
mg/dL [CITATION Har00 \l 18441 ]

3.1.4. Patogenesis
Pasien DM tipe 2 mempunyai 2 defek fisiologi : sekresi insulin abnormal
dan resistensi terhadap kerja insulin pada jaringtan sasaran (target). Secara

14
deskripsi dapat dikenali 3 fase, fase pertama yaitu glokosa plasma tetap normal
meskipun terlihat resistensi insulin karena kadar insulin meningkat. Pada fase
kedua resistensi insulin cenderung memburuk sehingga meskipun konsentrasi
insulin meningkat, tampak intoleransi glukosa dalam bentu hiperglikemia setelah
makan. Pada fase ketiga, resistensi insulin tidak berubah , tetapi sekresi insulin
menurun menyebabkan hiperglikemia puasa dan diabetes yang nyata. Hal yang
pertama terjadi adalah resistensi insulin, hal yang kedua hiperinsulinemia, jadi
sekresi insulin meningkat untuk mengkompensasi keadaan resistensi. Tetapi
hipersekresi insulin menyebabkan resistensi insulin . Sebagian besar pasien DM
tipe 2 obesitas. Obesitas menyebabkan resistensi insulin. Tetapi pasien DM tipe 2
yang tidak obesitas juga mengalami hiperinsulinemia dan pengurangan kepekaan
insulin, membuktikan obesitas bukan merupakanpenyebab resistensi satu-satunya.
Tetapi pada orang yang kelebihan lemak, penurunan berat badan yangs ederhana
seringkali menghasilkan perbaikan uang besar dalam pengendalian glukosa darah
pada penderita DM tipe 2 yang obesitas. Sebagai ringkasan, defek sekresi insulin
dan resistensi insulin merupakan ciri khas DM tipe 2. Masa sel beta intak pada
DM tipe 2. Populasi sel alfa meningkat, menyebabkan peningkatan rasio sel alfa
dan beta. Hal ini menyebabkan kelebihan relatif glukagon dibanding insulin yang
merupakan ciri khas DM tipe 2, gambaran semua keadaan hiperglikemia
[ CITATION Har00 \l 18441 ].
Meskipun resistensi insulin pada DM tipe 2 disertai dengan penurunan
jumlah reseptor insulin, sebagian besar resistensi adalah pascareseptor. Telah lama
diketahui bahwa endapan amiloid ditemukan dalam pankreas pasien diabetes tipe
2. Bahan ini adalah peptida amino 37 yang disebut amilin. Amilin normalnya
terbungkus bersama-sama dengan insulin dalam granula sekretori dan dikeluarkan
bersama-sama sebagai reseptor terhadap pengeluaran insulin. Penumpukan amilin
dalam pulau pankreas mungkin merupakan akibat kelebihan produksi insulin
dengan DM tipe 2 yang sudah berjalan lama. Dalam hal ini peranan amilin belum
dibuktikan [ CITATION Har00 \l 18441 ]
Blok metabolik utama terjadi pada sintesis glikogen (metabolisme non
oksidatif). Metabolisme nonoksidatif glukosa yang terganggu seperti
hiperinsulinemia dan resistensi insulin dapat terlihat pada individu non obesitas,

15
relatif normoglikemik dengan DM tipe 2. Pada DM tipe 2, produksi insulin
abnormal tidak terikat baik pada reseptor insulin. Individu seperti ini berespon
terhadap insulin eksogen [ CITATION Har00 \l 18441 ].

3.1.5. Gejala Klinis


Gejala yang dikeluhkan pada pasien diabetes mellitus berupa [ CITATION
PER11 \l 18441 ]:
1. Keluhan Klasik DM : poluria, polifagia, polidipsia dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
2. Keluhan lain, dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur,
dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.

3.1.6. Diagnosa
Diagnosa DM dapat ditegakkan melalui tiga cara [ CITATION PER11 \l
18441 ]:
1. Jika ditemukan keluhan klasik, dan glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dL.
2. Jika ditemukan keluhan klasik, dan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL.
3. Jika tidak ditemukan keluhan klasik, tetapi TTGO GD 2 jam ≥ 200 mg/dL.

3.1.7. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan diabetes [ CITATION PER11 \l 18441 ]:
1. Jangka pendek : menghilangkan keluhan dan tanda DM. Mempertahankan
rasa nyaman, dan mencapai target pengendalian glukosa darah
2. Jangka panjang : mencegah dan menghambat progresivitas penyulit
mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati.
3. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.

Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa


darah, tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien
secara holistik dengan mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan perilaku.

16
Terdapat empat pilar penatalaksanaan DM, antara lain edukasi, terapi gizi
medis, latihan jasmani, dan intervensi farmakologis. Berikut ini akan dijelaskan
satu persatu:
1. Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku
telah terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan
partisipasi aktif pasien, warga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi
pasien dalam menuju perubahan perilaku sehat. Untuk mencapai keberhasilan
perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya
peningkatan motivasi.
Pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah mandiri, tanda dan gejala
hipoglikemia serta cara mengataasinya harus diberikan kepada pasien.
pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah
mendapat pelatihan khusus.
2. Terapi Nutrisi Medis
Terapi nutrisi medis merupakan bagian dari penatalaksaan diabetes secara
total. Prinsip pengaturan makanan pada penyandang diabetes hampir sama dengan
anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai
dnegan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada penyandang
diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan,
jenis dan jumlah makanan, terutama mereka yang menggunakan obat penurun
glukosa darah atau insulin.
a. Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:
(i). Karbohidrat
 46-65 % dari total asupan energi
 Makanan harus mengandung karbohidrat terutama berserat tinggi
 Gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang diabetes
dapat makan sama dengan makanan keluarga yang lain
 Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% toltal asupan energi
 Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula, asal tidak
melebihi batas aman konsumsi harian (Accepted- Daily Intake)

17
 Makanan 3 kali / hari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat
dalam sehari. Jika diperlkan dapat diberikan makanan selingan buah
atau makanan lain sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari
(ii). Lemak
 20-25% kebutuhan kalori. Tidak diperkenankan > 30% total asupa
energi
 Lemak jenuh < 7% kebutuhan kalori
 Lemak tidak jenuh ganda < 10% selebihnya dari lemak tidak jenuh
tunggal.
 Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung
lemak jenuh dan lemak trans antara lain : daging berlemak dan susu
penuh (whole milk)
 Anjuran konsumsi kolesterol < 200 mg/ hari.
(iii). Protein
 10-20% total asupan energi
 Sumber protein yang baik adalah seafood (udang, ikan, cumi-cumi,
dll), daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak,
kacang-kacangan, tahu, dan tempe.
 Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi
0,8 gr/kgBB/hari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya
bernilai biologik tinggi.
(iv). Natrium
 Anjuran asupan natrium pasienDM sama dengan untuk masyarakat
umum yaitu < 3000 mg atau sama dengan 9-7 gram (1 sendok teh)
garam dapur.
 Paien yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400 mg.
 Sumber natrium antara lain garam dapur, vetsin, soda, dan bahan
pengawet seperti natrium benzoat dan natrium nitrit.
(v). Serat
 Penyandang diabetes dianjurkan mengkonsumsi cukup serat dari
kacang-kacanga, buah, dan sayuran serta sumber karbohidrat yang

18
tinggi serat, karena mengandung vitamin, mineral, serat, dan bahan
lain yang baik untuk kesehatan.
 Anjuran konsumsi serat adalah ± 25 gr/hari.

(vi). Pemanis Alternatif


 Pemanis dikelompokkamn pemanis berkalori dan tidak berkalori.
Pemanis berkalori adalah gula alkohol dan fruktosa.
 Gula alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol, sorbitol,
xylitol.
 Dalam penggnaannya pemanis berkalori perlu diperhitungkan
kandungan kalorinya sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.
 Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang diabetes
karena efek samping pada lemak darah.
 Pemanis tidak berkalori masih dapat digunakan antara lain aspartam,
sakarin, acesukfame potassium, sukralose, dan neotame.
 Pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman
(Accepted Daily Intake/ ADI).

b. Kebutuhan Kalori
Cara menentukan kebutuhan kalori yang dibutuhkan penyandang diabetes.
Diantaranya dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-
30 kalori/kgBB ideal, ditambah atau dikurangi bergantung pada beberapa faktor
seperti : jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan , dll.
Perhitungan berat badan ideal (BBI) dengan rumus Brocca yang dapat
dimodifikasi :
 Berat Badan Ideal = 90% x (TB dalam cm – 100) x 1 kg
 Untuk pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita dibawah 150
cm, rumus dimodifikasi menjadi :
BBI = (TB dalam cm -100) kg
BB Normal : BB ideal ± 10%
Kurus : <BBI – 10%
Gemuk : > BBI + 10%

19
 Perhitungan berat badan ideal menurut indeks massa tubuh. Indeks massa
tubuh dapat dihitung dengan rumus :
IMT = BB(kg)/TB (m2)
Klasifikasi IMT*
- BB kurang < 18,5
- BB normal 18,5-22,9
- BB lebih > 23,0
 Faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain :
- Jenis kelamin
Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil dari pada pria. Kebutuhan
kalori wanita sebesar 25 kal/kgBB dan untuk pria sebesar 30 kal/kgBB
- Umur
Untuk pasien diatas usia 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5 %,
untuk usia 40-59 tahun, dikurangi 10 % untuk usia 60-69 tahun dan
dikurangi 20 % jika usia diatas 70 tahun.
- Aktivitas fisik atau pekerjaan
Penambahan sejumlah 10 % dari kebutuhan basal diberikan pada
keaadaan istirahat, 20 % pada pasien dengan aktivitas ringan, 30 dengan
aktivitas sedang, dan 50 % aktivitas sangat berat.
- Berat badan
Bila kegemukan diberikan 20-30 % tergantung kepada tingkat
kegemukan
Bila kurus ditambahkan sekita 20-30 % sesuai dengan kebutuhan untuk
meningkatkan BB
Untuk tujuan menurunkan berat badan jumlah kalori yang diberikan
paling sedikit 1000-1200 kkal untuk wanita dan 1200-1600 kkal perhari
untuk pria.
Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut di atas dibagi
dalam 3 porsi

3. Olahraga

20
Dianjurkan untuk melakukan latihan jasmani teratur, 3- 4 kali per minggu
selama 30 menit yang sesuai dengan prinsip CRIPE. Perlu diingat bahwa jangan
memulai olehraga sebelum makan, menggunakan sepatu yang ukurannya sesuai,
harus didampingi orang yang tahu mengatasi hipoglikemia, harus selalu
membawa permen dan memeriksa kaki secara cermat setelah olahraga.
C (Continous) : Latihan berkesinambungan dan dilakukan terus menerus tanpa
berhenti
R (Ritmik) : Olahraga berirama yaitu kontraksi dan relaksasi otot secara
teratur, seperti berjalan kaki, berenang, berlari dan bersepeda,
atau mendayung.
I (Interval) : Latihan dilakukan selang seling antara gerak cepat dan
lambat.
P (Progreif) : Latihan secara bertahap sesuai kemampuan dari intensitas
ringan sampai sedang hingga mencapai 30-60 menit.
E (Endurance) : Latih daya tahan untuk mrningkatkan pernafasan dan jantung
seperti jalan , jogging, berenang dan bersepeda.
Apabila dalam waktu 1-3 bulan tidak tercapai sasaran pengobatan yang
baik dengan diet dan olahraga maka diberikan medikasi (PERKENI, 2011 ; Yunir
& Soebardi, 2009).

4. Medikasi
a. Obat Hipoglikemia Oral (OHO)
Golongan Nama Obat Mekanisme Pemberian Keterangan
Sulfonilurea Glibenklamid, Membantu Segera Hipoglikemi
glimepirid pankreas untuk sebelum penurunan
meningkatkan makan gula yang
produksi insulin drastis
Biguanid Metformin Mengurangi Bersama/ Mual atauu
resistensi sesudah nafsu
insulin dengan makan makan

21
cara berkurang
meningkatkan
uptake glukosa
otot dan
jaringan lemak,
menurunkan
glukoneogenesi
s hepat, serta
meningkatkan
sekresi insulin
pankreas.
Tiazoldindiom Pioglitazon, Mengurangi
Rosiglitazon resistensi
insulin dengan
cara
meningkatkan
uptake glukosa
otot dan
jaringan lemak,
menurunkan
glukoneogenesi
s hepat, serta
meningkatkan
sekresi insulin
pankreas.
Inhibitor Acarbose Obat bekerja Bersama Sering
Glukosidase memperlambat suapan buang angin
Alfa pencernaan pertama
makanan
menjadi glukosa
Inhibitor DPP Sitagliptin Obat
Vidagliptin merangsang
insulin dan
menekan
glukagon

Cara pemberian obat berbeda-beda karena :


i. Obat yang diminum sebelum makan berfungsi agar obat memiliki waktu
untuk diserap untuk merangsang produksi insulin. Dengan demikian jika
terjadi kenaikan gula beberapa waktu sesudah makan, insulin telah siap
untuk menurunkan gula tersebut.

22
ii. Obat yang diminum setelah makan adalah obat yang dapat merangsang
lambung apabila diminum dalam perut kosong dapat menyebabkan rasa
mual.
iii. Tidak tergantung makanan, biasanya berlaku untuk obat yang tidak
merangsang pengeluaran insulin, tetapi untuk perbaikan resistensi insulin,
sehingga obat bisa bekerja kapan saja dan tidak hanya untuk menurunkan
gula sesudah makan.
iv. Segera setelah suapan pertama, maksudnya agar obat bekerja pada waktu
makanan sedang dicerna, yaitu dengan menghambat satu enzim
pencernaan yang penting.

b. Insulin ([ CITATION PER06 \l 18441 ]


Insulin diberikan sebagai obat DM tipe 1. Dan digunakan pada DM tipe 2
pada kondisi khusus, yaitu :
i. Bila bermacam jenis OHO telah digunakan sampai dosis maksimum, tetapi
gula darah tidak terkendali, obat diganti insulin.
ii. Insulin biasanya diberikan sebagai obat pertama pada diabetisi yang pada
waktu datang berobat, berat badannya telah turun drastis dalam waKtu
singkat dengan gula darah yang tinggi.
iii. Insulin biasanya juga diberikan pada seseorang diabetisi yang menderita
infeksi hebat atau menjalani operasi besar.
iv. Pada komplikasi seperti gagal ginjal, gagal hati, dan gagal jantung yang
berat.

Suntikan 1x/hari Suntikan 2x/hari Suntikan 3x/hari


Insulin long acting Insulin campuran dari Insulin kerja cepat
insulin kerja pendek dan (disuntikkan ½ jam
kerja sedang (premixed) sebelum makan)
(Mixtard, novomix, (Actrapid, humulin R)
humalog mix)
Insulin intermediate Insulin kerja supercepat
acting. Dapat juga 2 kali (fast acting)disuntikkan

23
per hari. (contoh : segera sebelum makan.
Insulatard, humulin N) (Humalog, novorapid)
Insulin basal, insulin
yang bekerja terus
menerus selama 24 jan
dan kadarnya tetap
sepanjang hari (Lantus,
levemir)
Penentuan dosis insulin : 0,5 unit x BB. 60 % insulin prandial (Rapid Insulin),
40% insulin basal (humulin N).

3.1.8. Komplikasi
Komplikasi diabetes terdiri dari komplikasi akut dan komplikasi kronik.
Komplikasi akut adalah : KAD (Ketoasidosis Diabetikum), Koma Hiperosmolar
Hiperglikemia Non Ketotik, dan Koma Hipoglikemia [ CITATION PER11 \l 18441 ] .
Dan komplikasi kronik dibagi menjadi makroangiopati, mikroangiopati, neuropati
dan gastropati diabetika. Makroangiopati pada pembuluh darah jantung dapat
menyebabkan infark miokard, pada pembuluh darah otak dapat menyebabkan
stroke. Mikroangiopati dapat menyebabkan retinopati diabetika dan nefropati
diabetika. Neuropati diabetika dan gastropati diabetika [ CITATION Was09 \l 18441 ].

3.2. Nefropati Diabetik


3.2.1 Definisi
Definisi klasik dari nefropati diabetik adalah peningkatan progresif eksresi
albumin di dalam urin disertai dengan peningkatan tekanan darah, yang mengarah
pada penurunan filtrasi glomerulus dan akhirnya menjadi gagal ginjal [ CITATION
Obi09 \l 18441 ].

3.2.2. Faktor Risiko


Secara ringkas, faktor-faktor terjadinya penyakit nefropati diabetik adalah
sebagai berikut :

24
1. Kurang terkendalinya kadar gula darah (GDP > 140-160 mg/dl [7,7-8,8
mmol/l); A1C>7-8 %)
2. Faktor genetis
3. Kelainan hemodinamik (peningkatan aliran darah ginjal dan GFR,
peningkatan tekanan intraglomerulus)
4. Hipertensi sistemik
5. Sindroma metabolik
6. Peradangan
7. Perubahan permeabilitas pembuluh darah
8. Asupan protein berlebih
9. Gangguan metabolik (gangguan metabolisme polyiol, pembentukan AGEs,
peningkatan sitokin [ CITATION Hen09 \l 18441 ].

3.2.3. Patogenesis
Saat ini hiperfiltrasi masih dianggap sebagai awal dari mekanisme
patogenik dari kerusakan ginjal. Saat nefron mengalami pengurangan yang
berkelanjutan, filtrasi dari nefron yang sehat akan meningkat sebagai kompensasi.
Hiperfiltrasi dari nefron yang sehat tersebut lambat laun akan menyebabkan
sklerosis.
Mekanisme dari peningkatan laju filtrasi glomerulus ini masih belum jelas
benar, tapi mungkin disebabkan oleh dilatasi arteriol afere oleh efek yang
tergantung glukosa, yang diperantarai oleh hormon vasoaktif, IGF-1, nitrit oxide,
prostaglandin dan glukagon. Efek langsung dari hiperglikemia adalah ransangan
hipertrofi sel, sintesis matriks ekstraseluler, serta TGF β yang diperantarai oleh
protein kinase-C (PKC) yang termasuk serine-threonin kinase yang memiliki
fungsi pada vaskular seperti kontraktilitas, aliran darah, proliferasi sel dan
permeabilitas kapiler. Hiperglikemia kronik dapat menyebabkan terjadinya glikasi
nonenzimatik asam amino dan protein. Padanawalnya, glukosa akan mengikat
residu amino secara non-enzimatik menjadi basa schiff glikasi, lalu terjadi
penyusunan ulang untuk mencapai bentuk yang lebih stabil tetapi masih reversibel
dan disebut sebagai produk amadori, jika proses ini berlanjut terus akan terbentuk
Adcanced Glycation End-Products (AGEs) yang ireversibel. AGEs diperkirakan

25
menjadi perantara bagi beberapa kegiatan seluler seperti ekspresi adhesion
molecules yang berperan dalam penarikan sel-sel mononuklear, juga pada
terjadinya hipertrofi sel, sintesa matriks ekstraseluler serta inhibisi sintesis nitrit
oxide. Proses ini akan terus berlanjut sampai terjadi ekspansi mesangium dan
pembentukan nodul serta fibrosis tubulointerstisialis sesuai denga tahap dari
mogensen. Hipertensi yang timbul bersama dengan bertambahnya kerusakan
ginjal, juga akan mendorong sklerosis pada ginjal pasien diabetes. Penelitian pada
hewan diabetes menunjukkan adanya vasokonstriksi arteriol sebagai akibat
kelainan sistem renin-angiotensin. Diperkirakan bahwa hipertensi pada diabetes
terutama disebabkan oleh spasme arteriol eferen intrarenal atau intraglomerulus
[ CITATION Hen09 \l 18441 ].

3.2.4. Diagnosis Nefropati diabetik


Diagnosis nefropati diabetik dimulai dari dikenalinyabi;a didapatkan kadar
albumin ≥ 30 mg dalam urin 24 jam pada 2 dari 3 kali pemeriksaan dalam kurun
waktu 3-6 bulan, tanpa penyebab albuminuria lainnya. Bila jumlah
protein/albumin didalam urin masih sangat rendah sehingga sulit dideteksi dengan
metode pemeriksaan urin yang biasa, akan tetapi sudah > 30 mg/24 jam ataupun
>20 mikrogram/menit, disebut juga sebagai mikroalbuminuria. Derajat
albuminuria/proteinuria juga ditentukan dengan rasionya terhadap kreatinin urin
yang diambil sewaktu yang dikenal dengan albumin/kreatinin tario (ACR).
Tingginya eksresi albumin/protein dalam urin selanjutnya akan menjadi petunjuk
tingkatan kerusakan ginjal seperti terlihat dalam tabel

Kategori Kumpulan urin Kumpulan urin Urin sewaktu


24 jam (mg/24 sewaktu (µg/mg creat)
jam) (µg/min)
Normal <30 <20 <30
Mikroalbuminuria 30-299 20-199 30-299

26
Albuminuria klinis ≥300 ≥200 ≥300
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan 2-3 spesimen urin dalam 3-6 bulan.
Hati-hati terhadap proteinuria yang timbul pada latihan fisik dalam 24 jam jam
terakhir, infeksi, demam, payah jantung, hiperglikemia berat, tekanan darah yang
sangat tinggi,piuria dan hematuria [ CITATION Lub09 \l 18441 ].

3.2.5. Metode Pemeriksaan


1. Rasio albumin/kreatinin dengan urin sewaktu
2. Kadar albumin dallam urin 24 jam
3. Micral test untuk mikroalbuminuria
4. Disptik/reagen tablet untuk makroalbuminuria
5. Urin dalam waktu tertentu (4 jam atau urin semalam) [ CITATION
PER11 \l 18441 ].

3.2.6. klasifikasi
Klasifikasi nefropati diabetik menurut Mogensen (IPD)
Tahap 1 : terjadi hipertrofi dan hiperfiltrasi pada saat diagnosis ditegakkan.
Laju filtrasi glomerulus dan ekskresi albumin dalam urin
meningkat.
Tahap 2 : secara klinis belum tampak kelainan yang berarti, laju filtrasi
glomerulus tetap meningkat, eksresi albumin dalam urin dan
tekanan darah normal. Terdapat perubahan histologis awal berupa
penebalan membran basalis yang tidak spesifik. Terdapat pula
penebalan volume mesangium fraksional (peningkatan matriks
mesangium)
Tahap 3 : pada tahap ini ditemukan mikroalbuminuria atau nefropati
insipien. Laju filtrasi glomerulus meningkat atau dapat menurun
sampai derajat normal. Laju eksresi albumin dalam urin adalah 20-
200 ig/menit (30-300 mg/24jam). Tekanan darah mulai meningkat.
Secara histologis, didapatkan peningkatan ketebalan membrana
basalis dan volume mesangium fraksional dalam glomerulus.
Tahap 4 : merupakan tahap nefropati yang sudah lanjut. Perubahan
histologis lebih jelas, juga timbul hipertensi pada sebagian besar

27
pasien. sindroma nefrotik sering ditemukan pada tahap ini. Laju
filtrasi glomerulus menurun, sekitar 10 ml/menit/tahun dan
kecepatan penurunan ini berhubungan dengan tingginya tekanan
darah.
Tahap 5. : Timbulnya gagal ginjal terminal [ CITATION Hen09 \l 18441 ].

3.2.7. Pencegahan dan Pengelolaan nefropati diabetik


tanda klinik bagi setiap tahap terutama adalah hiperglikemia, hipertensi
dan selalu dijumpai hiperlipidemia. Keseluruhan tanda klinik ini merupakan
faktor risiko untuk progresivitas ke tahap berikutnya sampai ke tahap akhir.
Faktor lainnya adalah konsumsi rokok. Dengan demikian terapi pada tiap tahap
adalah sama yaitu memperlambat progresivitas ke tahap berikutnya. Terapi dasar
adalah kendali kendali kadar gula darah, kendali tekanan darah dan kendali lemak
darah.
1. Evaluasi
Pada saat diagnosa diabetes melitus ditegakkan, kemungkinan adanya
penurunan fungsi ginjal juga harus diperiksa, demikian pula saat pasien
sudah menjalani pengobatan rutin. Pemantauan yang dianjurkan oleh
American Diabetes Association (ADA) adalah pemeriksaan terhadap
adanya mikroalbuminuria serta penentuan kreatinin serum dan klirens
kreatinin.

Pemantauan Fungsi Ginjal Pada Pasien Diabetes


Tes Evaluasi Awal Follow Up
Penentuan Sesudah pengendalian gula darah Diabtes tipe 1 : tiap 5
mikroalbuminuria awal (dalam 3 bulan diagnosis tahun
ditegakkan Diabetes tipe 2 : tiap
tahun setelah diagnosis
ditegakkan
Klirens kreatinin Saat awal diagnosis ditegakkan Tiap 1-2 tahun sampai
laju filtrasi glomerulus

28
<100ml/men/1,73 m2,
kemudian tiap tahun
atau lebih sering
Kreatinin serum Saat awal diagnosis ditegakkan Tiap tahun atau lebih
sering tergantung dari
laju penurunan fungsi
ginjal

Untuk mempermudah evaluasi, NKF menganjurkan perhitungan


laju filtrasi glomerus dengan menggunakan rumus dari Cockroft-Gault
yaitu :

(140−umur ) x berat badan


Klirens kreatinin ¿ x (0,85untuk wanita)
72 x kreatinin serum
*Glomerular Filtration Rate / laju filtrasi glomerulus (GFR) dalam
ml/menit/1,73 m2

Sebagian besar kasus proteinuria yang timbul pada pasien diabetes adalah
diabetik nefropati. Tetapi harus tetap disadari bahwa ada kasus-kasus
tertentu yang memerlukan evaluasi lebih lanjut, terutama jika ada
gambaran klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium yang mengarah
kepada penyakit-penyakit glomerulus nondiabetik (hematuria
makroskopik, cast sel darah merah dll), atau kalau timbul azotermia
bermakna dengan proteinuria derajat sangat rendah, tidak ditemukannya
retinopati (terutama DM tipe I), atau pada kasus proteinuria yang timbul
mendadak serta tidak melalui tahapan perkembangan nefropati. Pada
kasus-kasus seperti ini, dianjurkan pemeriksaan melalui biopsi ginjal
[ CITATION Hen09 \l 18441 ] .

Proteinuria pada
diabetik

Singkirkan ISK
Sedimen urin: Cast Eritrosit, leukosit
Hitung Proteinuria kualitatif
USG Ginjal
Jika diduga glomerulonefritis, serologi ANCA, antibodi DNA, C3,C4

29
Proteinuria yang tidak khas
DM tipe 1 > 10 tahun Azotemia dengna proteinuria <
DM tipe 1 < 10 tahun
Retinopati 1g/hari
Tak ada retinopati
Mikrobalbuminuria sebelumnya Nekrosis papiler (piuria,
Proteinuria (nefroptik) tanpa
(+) hematuria)
melalui mikroalbuminuria dulu
Tak ada hematuria makroskopik Tuberkulosis (piuria, hematuria)
Hematuria makroskopik
Tidak ada eritrosit Penyakit renovaskuler (penyait
Cast eritrosit
USG normal vaskuler obstruksi lain)

Tak perlu biopsi ginjal Biopsi ginjal Tak perlu biopsi ginjal

2. Terapi
Pada prinsipnya, pendekatan utama tatalaksana nefropati diabetik adalah
melalui :
- Pengendalian gula darah
Pengendalian yang baik dapat mencegah komplikasi kronik.
Diperlukan pengendalian DM yang baik yang merupakan sasaran
terapi. Diabetes terkendali baik, apabila kadar glukosa darah
mencapai kadar yang diharapkan sera kadar lipid dan A1C juga
mencapai kadar yang diharapkan. Dengan demikian pula status dizi
dan tekanan darah. Kriteria keberhasilan pengendalian DM dapat
dilihat pada tabel (Perkeni, 2011).

Keterangan diatas adalah hasil pemeriksaan plasma vena. Perlu konversi


nilai kadar glukosa darah dari darah kapiler darah utuh ke plasma vena.

30
Untuk pasien berumur lebih dari 60 tahun dengan komplikasi, sasaran
kendali kadar gula darah dapat lebih tinggi dari biasa (puasa 100-125
mg/dL, dan sesudah makan 145-180 mg/dL). Demikian pula kadar lipid,
tekanan darah dan lain-lain, mengacu pada batasan kriteria pengendalian
sedang. Hal ini dilakukan mengingat sifat-sifat khusus pasien usia lanjut
dan juga untuk mencegah kemungkinan timbulnya efek samping
hipoglikemia dan interaksi obat (PERKENI, 2011 ; Hendromartono, 2009)
- Pengendalian tekanan darah
Indikasi pengobatan tekanan darah bila Tekanan Darah (TD) sistolik >
130 mmHg dan/atau TD diastolik > 80 mmHg. Sasaran tekanan darah
< 130/80 mmHg namun pada nefropati diabetik dimana terjadi
proteinuria ≥ 1 gram / 24 jam yaitu < 123/75 mmHg. Pengelolaan
tekanan darah meliputi menurunkan berat badan menjadi berat badan
ideal, meningkatkan aktivitas fisik, menghentikan merokok, alkohol
serta mengurangi konsumsi garam.
beberapa hal yang harus diperhatikan pada saat memberikan terapi
farmakologis adalah :
 Pengaruh OAH terhadap profil lipid
 Pengaruh OAH terhadap metabolisme glukosa
 Pengaruh OAH terhadap resistensi insulin
 Pengaruh OAH terhadap hipoglikemia terselubung
OAH yang dapat digunakan pada DM adalah :
 Penghambat ACE (ACEi)
 Penyekat receptor angiotensin II (ARB)
 Penyekat reseptor beta selektif, dosis rendah
 Diuretik dosis rendah
 Penghambat reseptor alfa
 Antagonis kalsium (CA)
 Pada pasien dengan tekanan darah sistolik antara 130-139
mmHg atau tekanan diastoli antara 80-89 diharuskan
melakukan perubahan gaya hidup sampai 3 bulan. Bila ggal
mencapai target dapat ditambahkan terap farmakologis

31
 Pasien dengan tekanan darah sistolok >140 mmHg atau
tekanan diastolik >90 mHg, dapat diberikan terapi
farmakologis langsung.
 Diberikan terapi kombinasi apabila target terapi tidak dapat
dicapai dengan monoterapi.
Catatan :
 Pada Nefropati diabetik obat yang digunakan adalah ARB dan
ACEi
 ACEi, ARB, CA golongan non-dihidropiridin dapat memperbaiki
mikroalbuminuria
 ACEi dapat memperbaiki kinerja kardiovaskular
 Diuretik HCR dosis rendah jangka panjang, tidak terbukti
memperburuk toleransi glukosa.
 Pengobatan hipertensi harus diteruskan walaupun sasaran sudah
dicapai
 Bila tekanan darah terkendali, setelah satu tahun dapa dicoba
menurunkan dosis secara bertahap
 Pada orang tua, tekanan darah diturunkan secara bertahap.
[ CITATION PER11 \l 18441 ]

- Perbaikan fungsi ginjal


 diet protein 0,8 gram/kgBB perhari. Jika terjadi penurunan fungsi
ginjal yang bertambah berat, diet protein diberikan 0,6-0,8
gram/kg BB per hari.
 Jika kreatinin >2,0 mg/dL sebaiknya ahli nefrologi ikut dilibatkan
 Idealnya bila klirens kreatinin <15 mmL/menit sudah merupakan
indikasi terapi pengganti (dialisis, transplantasi) (PERKENI, 2011
; Hendromartono, 2009).
3. Rujukan

32
Rujukan kepada seorang yang ahli dalam perawatan nefropati diabetik jika
laju filtrasi glomerulus mencapai < 60 ml/men/173m 2, atau lebih awal jika
pasien berisiko mengalami penurunan fungsi ginjal yang cepat atau
diagnosis dan prognosis pasien diragukan [ CITATION Hen09 \l 18441 ].

BAB IV
PEMBAHASAN

4.1. Anamnesis

Fakta Teori
Seorang perempuan usia 55 tahun Faktor resiko diabetes usia diatas 45
tahun.
Sesak yang tidak dipengaruhi Gejala sesak dapat disebabkan oleh
waktu dan lingkungan namun kelainan berbagai organ : jantung,
bertambah saat aktivitas paru, ginjal, darah dll.

33
Terdapat riwayat penurunan berat Gejala dari diabetes Melitus tipe II
badan meskipun banyak makan dan meliputi polifagi,polidipsi, poliuri
minum serta sering terbangun dan penurunan berat badan yang
malam hari tidak dapat dijelaskan sebabnya

Pada kasus ini pasien berusia 55 tahun, usia ini sesuai dengan bahwa
berdasarkan referensi faktor resiko diabetes yaitu usia di atas 45 tahun [ CITATION
Har00 \l 18441 ]. Riwayat pasien pada tabel sesuai dengan gejala klasik pada
diabetes mellitus tipe II yaitu polifagia, polidipsi, poliuria dan penurunan berat
padan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya [ CITATION PER11 \l 18441 ]. Poliuria,
polidipsia terjadi akibat konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal
tidak dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar, akibatnya
glukosa tersebut muncul dalam urin, ekskresi ini akan disertai pengeluaran cairan
dan elektrolit yang berlebihan yang disebut diuresis osmotik. Polifagia : akibat
menurunnya simpanan kalori dan defisiensi insulin mengganggu metabolisme
protein dan lemak yang menyebabkan penurunan berat badan [ CITATION Pur09 \l
18441 ]. Sesak pada pasien bisa disebabkan oleh berbagai kelainan pada organ-
organ maupun sesak secara psikogenik. Hasil pemeriksaan yang dilakukan pada
pasien meliputi yang diduga dapat menyebabkan sesak: dari jantung dengan
hipertensi urgency, paru bronkopnemonia, dan ditemukan anemia. Dari hasil
pemeriksaan tersebut sesak paling mungkin disebabkan oleh ketiganya yaitu oleh
hipertensi urgency, bronkopneumonia dan anemia. Namun, pada diabetes melitus,
sesak juga dapat disebabkan apabila terdapat komplikasi akut misalnya KAD
(Dahlan, 2009 ; Bakta, 2009 ; GAC, 2005).

4.2. Pemeriksaan Fisik

Fakta Teori
Tekanan darah :190/90 Hipertensi merupakan tekanan darah
>140/90
Diabetes merupakan salah satu
faktor resiko meningkatnya tekanan
darah
Anemis Anemis pada diabetes merupakan
Nyeri tekan epigastrium tanda bahwa penyakit tersebut
Edema pada kedua ekstremitas dialami secara kronis.
bawah nyeri epigastrium pada diabetes bisa
disebabkan oleh gastroparesis

34
diabetik
edema pada diabetes mellitus
merupakan menifestasi dari
hipoalbuminemia akibat proteinuria
yang disebabkan oleh gangguan
fungsi ginjal.

Hipertensi pada kasus ini sesuai dengan literatur bahwa Diabetes mellitus
merupakan suatu faktor resiko terjadinya hipertensi [CITATION Yog09 \l 18441 ].
Pada pasien diabetes, Nefropati diabetik merupakan penyebab dari tingginya
tekanan darah, hal ini terkait dengan spasme arteriol eferen intrarenal dan
intraglomerulus [ CITATION Hen09 \l 18441 ].
Pasien juga mengalami anemis, hal ini sesuai dengan salah satu
komplikasi jangka panjang dari diabetes dengan nefropati yaitu defisiensi
eritropoiten yang pada akhirnya menyebabkan kekurangan pembentukan sel
darah. kekurangan sel darah merah dapat dilihat dari mata yang disebut anemis
[ CITATION Hen09 \l 18441 ].
Nyeri tekan pada epigastrium pada kasus ini disebabkan oleh gastritis akut
yang didiagnosis oleh spesialis radiologi melalui pemeriksaan USG. Edema pada
ekstremitas bawah dapat disebabkan oleh berbagai faktor, Pada umumnya edema
disebabkan oleh peningkatan tekanan hidrostatik, penurunan tekanan osmotik, dan
peningkatan permeabilitas darah [ CITATION Eff09 \l 18441 ] . Edema pada kasus ini
sesuai dengan patofisiologi dari edema dimana kasus ini terdapat tekanan darah
yang tinggi sehingga meningkatkan tekanan hidrostatik kapiler dan proteinuria
yang menurunkan tekanan osmotik di dalam pembuluh darah.

4.3. Pemeriksaan Laboratorium

Fakta Teori
12/01/2013 Pada Diabetes Mellitus ditemukan
GDS: 268 hiperglikemia juga HbA1C >7 %
13/01/2014 jika glukosa tidak terkontrol dengan
GDP :107 mg/dL baik
G2PP : 332 mg/dL pada nefropati diabetik ditemukan
HbA1C : 4,2 % protein didalam urin
21/01/14
Protein urin +2

35
Pemeriksaan laboratorium yang didapat pada pasien ini tanggal
12/01/2014 adalah hiperglikemia, hal ini sesuai dengan kriteria diabetes melitus
dengan kadar glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dL. Pada tanggal 13/01/14
dilakukan pemeriksaan dengan hasil GDP : 107 mg/dL G2PP : 332 mg/dL, hal ini
mendukung diagnosis diabetes mellitus. Selain itu nilai HbA1C 4,2 % yang
menunjukkan bahwa glukosa darah pada kasus ini terkontrol dengan baik
[ CITATION PER11 \l 18441 ].
Urin yang diperiksa oleh laboratorium juga ditemukan terdapatnya protein
dengan nilai +2, dimana nilai ini didapatkan dalam pemeriksaan makroalbumin di
dalam urin. Hal ini sesuai dengan diagnosis nefropati diabetik dimana dapat
ditegakkan apabila sedikitnya terdapat mikroalbuminuria yaitu 30-299 mg/24 jam,
namun pada kasus ini digunakan pemeriksaan disptik untuk makroalbuminuria
dengan hasil +2 yang menunjukkan bahwa pada urin pasien ini terdapat
makroalbumin yang berkisar ≥ 300 mg/24 jam (PERKENI, 2011 ;
Hendromartono, 2009).

4.4. Diagnosa

Fakta Teori
DM tipe II dengan nefropati Diagnosa Nefropati Diabetik :
diabetik Riwayat DM
Albumin ≥ 30 mg/dL

Hipertensi grade II Diagnosis Hipertensi urgency Jika


Tekanan darah ≥180/120 tanpa
adanya organ target.

Diagnosis nefropati diabetik ditegakkan apabila diagnosis Diabetes


mellitus telah ditegakkan disertai terdapatnya protein didalam urin yang lebih dari
normal yaitu lebih dari 30 mg/24 jam pada 2 dari 3 kali pemeriksaan dalam kurun
waktu 3-6 bulan.
Pada kasus ini diabetes mellitus telah ditegakkan dengan gejala klasik dan
pemeriksaan gula darah yang sesuai dengan literatus, namun diagnosis nefropati
diabetik tidak sesuai dengan literatur karena kasus ini hanya memeriksakan
proteinuria secara kualitatif dan tidak memeriksakan jumlah albumin secara

36
kuantitatif meskipun dari literatur salah satu pemeriksaan protein urin yaitu
dengan disptik/reagen tablet untuk makroalbuminuria [ CITATION PER11 \l 18441 ].
Diagnosis hipertensi grade II pada kasus ini tidak sesuai dengan kriteria
diagnosis yang ditetapkan oleh JNC VII . Tekanan darah pada kasus seharusnya
dimasukkan kedalam kategori hipertensi krisis tipe urgency. Diagnosis hipertensi
krisis tipe urgency apabila tekanan darah ≥ 180/120 tanpa disertai organ target
[ CITATION Ont05 \l 18441 ].

4.5. Tatalaksana
Tatalaksana pada nefropati diabetik meliputi pengendalian gula darah,
pengendalian tekanan darah dan perbaikan fungsi ginjal
4.5.1 Dari pengendalian gula darah

Fakta Teori
12/01/2014 Gizi :
Diet DM 1900 kkal Penentuan jumlah kalori makan
Inj. RI 4-4-4 iu sc ac pada pasien DM berdasarkan
13/01/2014 dengan BBI dengan rumus
Diet DM 1900 kkal BROCA yang disesuaikan degan
Inj. RI 4-4-4 iu sc ac jenis kelamin, usia, aktivitas dan
14/01/2014 BMI.
Diet DM 1900 kkal
Inj. RI 4-4-4 iu sc ac Penentuan dosis insulin : 0,5 unit
15/01/2014 x BB. 60 % insulin prandial (rapid
Diet DM 1900 kkal insulin), 40 % insulin basal
Inj. RI 8-8-8 iu sc ac (humulin N)
16/01/2014
Diet DM 1900 kkal
Inj. RI 8-8-8 iu sc ac
17/01/2014
Diet DM 1900 kkal
Inj. RI 8-8-8 iu sc ac
18/01/2014
Diet DM 1900 kkal
Inj. RI 8-8-8 iu sc ac
19/01/2014
Diet DM 1900 kkal
Inj. RI 8-8-8 iu sc ac
20/01/2014
Diet DM 1900 kkal
Inj. RI 8-8-8 iu sc ac
21/01/2014

37
Diet DM 1900 kkal
Inj. RI 10-10-10 iu sc ac
22/01/2014
Diet DM 1900 kkal
Inj. RI 12-12-12 iu sc ac
23/01/2014
Edukasi Gizi
RI 12-12-12 iu sc ac

Tatalaksana yang diberikan ialah diet DM 1900 kkal, dan RI 3x 4-12 Unit
SC. Pengaturan makanan yang diberikan pada wanita usia 55 tahun, berat badan
45 kg, tinggi badan 152 cm, dan aktivitas hanya istirahat adalah 1200 kkal.
Berdasarkan jumlah tersebut, maka pada jumlah kalori 1900 kkal yang diberikan
tidak sesuai dengan perhitungan jumlah kalori makanan.
Dengan perhitungan sebagai berikut :
Tinggi Badan = 152 cm
BB = 45 kg
Usia = 55 tahun

BB Ideal (Broca) = 90% x (TB dalam cm – 100) x 1 kg


= 90% x (152-100) x 1 kg
= 90% x 52 x 1 kg
= 46,8 kg
Status Gizi: Normal = BBI ± 10 % BBI
Normal = (46,8 -10%) sampai (46,8 + 10 %)
Normal = 42.12 sampai 41.48 kg
BB pasien = 45 Kg  Normal

Jumlah kebutuhan Kalori per hari :


Kebutuhan kalori basal = BBI x 25 kkal (untuk wanita)
= 45 kg x 25 kkal
= 1.125 kkal
Koreksi kebutuhan kalori :
Usia > 40 tahun = -5%
Aktivitas istirahat = + 10%

38
Status gizi normal = +0 %

Kebutuhan kalori setelah koreksi = kalori basal+ (-5%+10%+0%)xkalori basal


= 1.125 kkal + 5% x 1.125 kkal
= 1.125 + 56.25
= 1.181,25 kkal  1200 kkal

Pemberian insulin yang diberi adalah RI 3 x 4 IU (sc), 3 x 8 IU (sc), 3 x 10


IU dan 3 x 12 IU (sc) tanpa diberikan insulin basal. Berdasarkan literatur , insulin
diberikan pada os atas indikasi insulin diberi sebagai obat pertama pada diabetisi
pada saat datang berobat, dengan gula darah yang tinggi. Penentuan dosis insulin
adalah :
Dosis insulin : 0,5 unit x kgBB
: 0,5 unit x 55 kg
: 27,5 unit
Pemberian insulin : 60% insulin prandial + 40% insulin basal
: 16,5 IU insulin prandial (R) + 11 insulin basal (N)
: 3 x ,5,5 IU RI (sc) + humulin N 0-0-11
Jadi insulin yang seharusnya diberikan adalah RI 3x5,5 IU dan humulin N
0-0-10. Berdasarkan perhitungan diatas insulin yang diberikan pada pasien ini
tidak sama dengan rumus pemberian insulin oleh PERKENI. Insulin hanya
diberikan sebelum makan yaitu RI sebanyak 3 kali tanpa adanya pemberian
insulin basal. Pemberian insulin RI 3 x 4 Unit hingga 3 x 8 Unit pada pasien ini
tidak menurunkan nilai dari GDS dan GD2PP, hal ini mungkin saja disebabkan
oleh berlebihnya jumlah kalori yang diberikan. Untuk insulin basal yang tidak
diberikan, lebih rasional karena pada pemeriksaan nilai GDP dalam batas normal,
sehingga apabila diberikan justru kemungkinan besar dapat menyebabkan
hipoglikemia pada pasien.
Edukasi merupakan salah satu pilar yang penting untuk mengontrol kadar
gula darah. pada kasus ini pasien telah diberikan edukasi mengenai kontrol gula
darah sehingga hal ini sesuai dengan literatur dimana pentingnya edukasi bagi
penderita DM [ CITATION PER11 \l 18441 ].

39
4.5.2 Pengendalian Tekanan Darah
Tekanan Fakta teori
darah
12/01/2014 190/90 Amlodipin 5 mg 1-0-0 OAH yang dapat
13/01/2014 160/90 Amlodipin 5 mg 1-0-0 digunakan pada
Furosemide 2x1 amp diabetes :
14/01/2014 150/90 Amlodipin 5 mg 1-0-0 - ACEi
Furosemide 2x1 amp - ARB
15/01/2014 130/70 Amlodipin 5 mg 1-0-0 - Penyekat beta
Furosemide 2x1 amp dosis rendah
16/01/2014 110/70 Amlodipin 5 mg 1-0-0 - Diuretik dosis
Furosemide 2x1 amp rendah
17/01/2014 130/70 Amlodipin 5 mg 1-0-0 - Penghambat
Furosemide 2x1 amp reseptor alpa
18/01/2014 120/60 Amlodipin 5 mg 1-0-0 - Antagonis calcium
Captopril 12,5 mg 3x1
Inj. Furosemid 1-1-0
19/01/2014 120/60 Amlodipin 5 mg 1-0-0
Captopril 12,5 mg 3x1
Inj. Furosemid 1-1-0
20/01/2014 140/80 Amlodipin 5 mg 1-0-0
Captopril 12,5 mg 3x1
Inj. Furosemid 3x1 amp
21/01/2014 140/80 Amlodipin 5 mg 1-0-0
Inj. Furosemid 3x1 amp
Captopril 25 mg 3x1
22/01/2014 110/80 Amlodipin 5 mg 1-0-0
Inj. Furosemid 3x1 amp
Captopril 25 mg 3x1
23/01/2014 150/80 Obat pulang :
Amlodipin 5 mg 1-0-0
Captopril tab 25 mg 3x1
Furosemid tab 1-1-0
Tekanan darah pada kasus ini 190/90 mmHg lalu diberikan OAH
amlodipin 1 x 5 mg dengan penurunan tekanan darah menjadi 160/90 mmHg pada
hari pertama, hari berikutnya diberikan furosemid 2 x 1 ampul. Hari ke-1
perawatan diberikan captopril 3 x 25 mg. Pada hari ke-8 perawatan diberikan
furosemide 3x1 ampul karena pada saat itu pasien mengeluhkan kakinya
membengkak besar. Berdasarkan jenis OAH yang diberikan yaitu amlodipin
(penyekat beta dosis rendah), furosemid dan captopril (ACEi) maka pilihan obat
yang diberikan telah sesuai dengan pilihan OAH pada diabetes mellitus.
Selama perawatan dan pemberian OAH tekanan darah pasien lebih
cenderung pada normal, prehipertensi dan hipertensi stage I. melihat hasil
pengukuran tekanan darah tersebut, maka target tekanan darah tidak tercapai

40
dengan maksimal dimana target berdasarkan literatur yaitu < 130/80 mmHg. Hal
ini menunjukkan bahwa pengendalian tekanan darah masih kurang adekuat untuk
mencapai target tekanan darah [ CITATION PER11 \l 18441 ].

4.5.3 Perbaikan Fungsi Ginjal


Fakta Teori
Pemberian kalori 1900 kkal/hari tanpa Kalori yang diberikan 1200 kkal/hari
memperhitungkan berat badan pasien. dimana protein 0,8 gram/kgBB/hari
terlah terhitung didalamnya

Diet protein pada pasien yang diberikan adalah 0,8 gram/kgBB/hari yang
seharusnya telah dihitung dalam diet DM 1200 kkal/hari. Melihat diet yang
diberikan adalah 1900 kkal/hari maka diet protein yang diberikan tidak sesuai
dengan perhitungan [ CITATION PER11 \l 18441 ].

BAB V
PENUTUP

5.1. Kesimpulan
Diagnosis pada kasus ini adalah DM tipe II dengan nefropati diabetik
dengan tatalaksana pengaturan glukosa darah, tekanan darah dan perbaikan fungsi
ginjal yang telah dilakukan namun belum sepenuhnya sesuai dengan literatur.
5.2. Saran

41
a. Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang dilakukan
terhadap pasien seharusnya dilakukan secara holistik dan optimal sehingga
diagnosis dapat lebih ditegakkan sesuai dengan masalah yangg dihadapi
pasien.
b. Penatalaksanaan terhadap pasien sebaiknya lebih lengkap. Tidak hanya
dari intervensi farmakologis, mulai dari edukasi, pengaturan diet dan
aktivitas sebaiknya sudah dilakukan sejak awal penatalaksanaan.
c. Penatalaksanaan yang didapatkan oleh pasien ini memenuhi standar terapi
yang sesuai dengan literatur namun perlu dilakukan penyesuaian dosis dan
kebutuhan diet sesuai dengan berat badan pasien, tinggi badan, serta
aktivitas pasien.
d. Sebaiknya dilakukan evaluasi terhadap pengobatan dan perkembangan
penyakit pasien.

DAFTAR PUSTAKA

ADA. (2010). Clinical Practice Recommendations : Report of the Expert


Commite on the Diagnosis and Classifications of Diabetes Mellitus
Diabetes Care. New York: American Diabetic Association.
Bakta, I. M. (2009). Pendekatan Terhadap Anemia. In A. W. Sudoyo, B.
Setiyohadi, I. Alwi, S. M. K, & S. Setiadi, Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam (pp. 1109-1115). Jakarta: EGC.

42
Dahlan, Z. (2009). Pneumonia. In A. W. Sudoyo, B. Setiyohadi, I. Alwi, S. M. K,
& S. Setiadi, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (pp. 2196-2206). Jakarta:
EGC.
Effendi, I., & Pasaribu, R. (2009). Edema Patofisiologi dan Penanganan. In A. W.
Sudoyo, B. Setiyohadi, I. Alwi, S. M. K, & S. Setiadi, Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam (pp. 946-951). Jakarta: EGC.
GAC. (2005). Hypertension: Emergencies and Urgencies. Ontario Guidelines
Advisory Committee. Toronto: Ontario Guidelines Advisory Committee.
Harrison. (2000). Dasar-dasar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: EGC.
Hendromartono. (2009). Nefropati Diabetik. In A. W. Sudoyo, B. Setiyohadi, I.
Alwi, S. M. K, & S. Setiadi, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (pp. 1942-
1946). Jakarta: EGC.
Lubis, H. R. (2009). Penyakit Ginjal Diabetik. In A. W. Sudoyo, B. Setiyohadi, I.
Alwi, M. S. K., & S. Setiadi, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (pp. 979-
982). Jakarta: EGC.
Obineche, E. N., & Adem, A. (2009). Update in Diabetic Nephropaty.
International Journal Diabetes & Metabolism, 1-9.
PERKENI. (2006). Petunjuk Praktis Terapi Insulin pada Diabetes Melitus.
Jakarta: PERKENI.
PERKENI. (2011). Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus
Tipe 2 di Indonesia. Jakarta: PERKENI.
Purnamasari, D. (2009). Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. In A. W.
Sudoyo, B. Setiyohadi, I. Alwi, M. S. K., & S. Setiati, Buku Ajar Penyakit
Dalam (pp. 1880-1883). Jakarta: EGC.
Waspadji, S. (2009). Komplikas Kronik Diabetes : Mekanisme Terjadinya,
Diagnosis dan Strategi Pengelolaan. In A. W. Sudoyo, B. Setiyohadi, I.
Alwi, S. M. K., & S. Setiati, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (pp. 1922-
1929). Jakarta: EGC.
Yogiantora, M. (2009). Hipertensi Esensial. In A. W. Sudoyo, B. Setiyohadi, I.
Alwi, S. M. K, & S. Setiadi, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (pp. 1079-
1085). Jakarta: EGC.
Yunir, E., & Soebardi, S. (2009). Terapi Non Farmakologis Pada Diabetes
Melitus. In A. W. Sudoyo, B. Setiyohadi, I. Alwi, S. M. K., & S. Setiati,
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (pp. 1891-1895). Jakarta: EGC.

43
LAMPIRAN

44
45
46

Anda mungkin juga menyukai