Anda di halaman 1dari 20

Paper

TOKSIKOLOGI: KERACUNAN SIANIDA

DI SUSUN OLEH :

Helma Humairah 2006112009


Jauza Raudhatul J. Mendrofa 20061120
Della Vega Nisha Ayuna 20061120
Nurul Afni 20061120
Sabda Darari 71

PEMBIMBING :
dr.

KSM ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN


MEDIKOLEGAL
RSUD Dr. PIRNGADI
MEDAN
2021
KATA PENGATAR
Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
akhirnya penulis dapat menyelesaikan paper yang berjudul “Toksikologi:
Keracunan Sianida” guna memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik Senior di
KSM Forensik RSUD Dr. Pirngadi Medan.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. yang
telah memberikan bimbingan dan arahan selama mengikuti Kepaniteraan Klinik
Senior di KSM Forensik RSUD DR. Pirngadi Medan.
Penulis menyadari bahwa paper ini memiliki banyak kekurangan baik dari
kelengkapan teori maupun penuturan bahasa. Oleh karena itu penulis
mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun untuk kesempurnaan
paper ini. Harapan penulis semoga paper ini dapat memberikan manfaat bagi kita
semua.

Medan, Juni 2021

Penulis
DAFTAR ISI
BAB 1
PENDAHULUAN

Toksikologi merupakan suatu cabang ilmu yang mempelajari tentang


penggunaan berbagai bahan kimiawi yang dapat menyebabkan efek toksik
terhadap tubuh. Efek toksik dapat timbul baik hanya gejala ringan sampai
kematian. Seiring dengan kemajuan teknologi, produksi dari bahan-bahan kimiawi
beracun pun semakin banyak dan beredar luas. Pada bidang biomedis, ahli
toksikologi akan menangani efek samping yang timbul pada manusia akibat
pajanan obat dan zat kimiawi lainnya, serta pembuktian keamanan atau bahaya
potensial yang terkait penggunaanya (1).
Society of ForensicToxicologis menyatakan bahwa bidang kerja
toksikologi forensik meliputi: 1) analisis dan evaluasi racun penyebab kematian,
2) analisis ada/tidaknya kandungan alkohol, obat terlarang di dalam cairan tubuh
atau nafas yang dapat mengakibatkan perubahan perilaku (menurunnya
kemampuan mengendarai kendaraan bermotor dijalan raya, tindak kekerasan dan
kejahatan serta penggunaan dopping), 3) analisis obat terlarang di darah dan urin
pada kasus penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan obat terlarang lainnya.
Tujuan lain dari analisis toksikologi forensik adalah dapat membuat suatu rekaan
rekonstruksi suatu peristiwa yang telah terjadi, sampai mana obat tersebut telah
dapat mengakibatkan suatu perubahan (1).
Sianida berasal dari bahasa Yunani yang berarti “biru” yang mengacu pada
hidrogen sianida yang disebut Blausäure "blue acid" di Jerman. Sianida adalah
senyawa kimia dari kelompok siano yang berbentuk gas, cairan dan solid (garam)
dan memiliki sifat racun yang sangat kuat dan bekerja dengan cepat (2). Sianida
dalam tubuh manusia dapat menghambat pernafasan jaringan. Kadar sianida yang
tinggi dalam darah dapat menyebabkan efek seperti jari tangan dan kaki lemah,
susah berjalan dan pandangan buram. Sianida biasanya ditemukan tergabung
dalam bahan kimia lain membentuk suatu senyawa sianida. Sebagai contoh
senyawa sianida yang sederhana adalah hidrogen sianida. Hidrogen sianida
disebut juga formonitril, sedang dalam bentuk cairan disebut asam hidrosianik (3).
Selama ini sianida telah digunakan sebagai alat untuk pembunuhan massal,
upaya bunuh diri, dan sebagai senjata perang. Pada tahun 1978, minuman rasa
buah (Kool-Aid) yang mengandung potassium sianida menjadi agen penyebab
bunuh diri massal para anggota People’s Temple di Jonestown, Guyana. Selama
Perang Dunia II, para Nazi juga menggunakan sianida sebagai agen genosida
dalam kamar gas. Laporan tahunan National Poison Data System dari American
Association of Poison Control Centers, selama tahun 2007 terdapat 247 kasus
paparan kimia sianida di Amerika Serikat. Jumlah kasus yang dilaporkan tersebut
relatif masih kecil karena masih banyak kematian yang sering tidak dilaporkan
(2). Di Indonesia sianida merupakan jenis racun terbanyak yang digunakan dalam
pembunuhan, diikuti racun tikus, racun pestisida, racun ikan dan baygon (4).
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Toksikologi


Toksikologi merupakan suatu cabang ilmu yang mempelajari tentang
penggunaan berbagai bahan kimiawi yang dapat menyebabkan efek toksik
terhadap tubuh. Efek toksik dapat timbul baik hanya gejala ringan sampai
kematian. Seiring dengan kemajuan teknologi, produksi dari bahan-bahan kimiawi
beracun pun semakin banyak dan beredar luas. Pada bidang biomedis, ahli
toksikologi akan menangani efek samping yang timbul pada manusia akibat
pajanan obat dan zat kimiawi lainnya, serta pembuktian keamanan atau bahaya
potensial yang terkait penggunaanya (1).

2.2 Aspek Toksikologi forensik


Toksikologi forensik adalah ilmu yang mempelajari tentang racun dan
pengidentifikasian bahan racun yang diduga ada dalam organ atau jaringan tubuh
dan cairan korban. Mengingat sulitnya pengungkapan kejahatan terutama yang
menggunakan racun, maka saat ini sangat diperlukan aparat penegak hukum
khususnya polisi yang mempunyai pengetahuan yang memadai baik teori maupun
teknik melakukan penyidikan secara cepat dan tepat dalam rangka pengungkapan
kejahatan pembunuhan khususnya kasus pembunuhan yang ada indikasi
korbannya meninggal karena diracun. Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk
mengetahui latar belakang toksikologi digunakan dalam proses pembuktian
pembunuhan serta manfaat toksikologi sebagai media pengungkap dalam proses
penyidikan tindak pidana pembunuhan yang menggunakan racun. Toksikologi
Forensik sangat penting diberikan kepada penyidik dalam rangka membantu
penyidik polisi dalam pengusutan perkara yaitu : mencari, menghimpun,
menyusun dan menilai barang bukti di Tempat Kejadian Perkara (TKP) dengan
tujuan agar dapat membuat terang suatu kasus pembunuhan yang ada indikasi
korbannya meninggal akibat
Aspek–aspek utama yang menjadi perhatian khusus dalam toksikologi
forensik bukanlah keluaran aspek hukum dari investigasi secara toksikologi,
melainkan mengenai teknologi dan teknik dalam meperoleh serta menginterpretasi
hasil seperti: pemahaman perilaku zat, sumber penyebab keracunan atau
pencemaran, metode pengambilan sampel dan metode analisa, interpretasi data
terkait dengan gejala atau efek atau dampak yang timbul serta bukti lain yang
Pada umumnya, seorang ahli forensik harus mampu mempertimbangkan keadaan
suatu investigasi, khususnya mengenai catatan adanya gejala fisik, dan bukti
apapun yang didapatkan dan berhasil dikumpulkan dalam lokasi kejahatan yang
dapat mengerucutkan pencarian, misalnya adanya barang bukti seperti obat-
obatan, serbuk, residu jejak dan zat toksik (kimia) apapun yang ditemukan.
Dengan informasi tersebut serta sejumlah sampel yang akan diteliti, seorang ahli
teknologi forensik kemudian harus dapat menentukan senyawa toksik apa yang
terdapat dalam sampel, berapa jumlah konsentrasinya, serta efek apa yang
mungkin terjadi akibat zat toksik terhadap tubuh
Hasil analisis dan interpretasinya temuan analisisnya ini akan dimuat ke
dalam suatu laporan yang sesuai dengan hukum dan perundang-undangan.
Menurut Hukum Acara Pidana (KUHAP), laporan ini dapat disebut dengan Surat
Keterangan Ahli atau surat keterangan. Surat keterangan yang diberikan adalah
berupa suatu Visum et Repertum. Dokter pemeriksa pada bab kesimpulan Visum
et Repertum tidak akan menyebutkan korban mati akibat bunuh diri, pembunuhan,
ataupun kecelakaan, tapi jelas menyebutkan penyebab kematiannya akibat
keracunan zat-zat, obat-obatan,dan racun tertentu atau dengan kata lain
ditemukannya gangguan pada organ-organ tubuhnya akibat sesuatu zat-zat, obat-
obatandan racun tertentu
Tidak semua kasus yang ditemukan perlu melakukan toksikologi forensik. Kasus-
kasus tersebut dapat dikelompokkan menjadi 3 golongan besar. Kasus-kasus
tersebut antara lain :
a) kematian akibat keracunan, yang meliputi: kematian mendadak, kematian di
penjara, kematian pada kebakaran, dan kematian medis yang disebabkan oleh efek
samping obat atau kesalahan penanganan medis,
b) kecelakaan fatal maupun tidak fatal, yang dapat mengancam keselamatan
nyawa sendiri ataupun orang lain, yang umumnya diakibatkan oleh pengaruh
obat-obatan, alkohol, atau pun narkoba,
c) penyalahgunaan narkoba dan kasus-kasus keracunan yang terkait dengan akibat
pemakaian obat, makanan, kosmetika, alat kesehatan, dan bahan berbahaya
lainnya, yang tidak memenuhi standar kesehatan (5).

2.3 Definisi Sianida dan Klasifikasinya


Sianida adalah kelompok senyawa yang mengandung gugus siano (−C≡N)
yang terdapat dialam dalam bentuk-bentuk berbeda. Sianida di alam dapat
diklasifikasikan sebagai sianida bebas, sianida sederhana, kompleks sianida dan
senyawa turunan sianida (3).
Sianida bebas adalah penentu ketoksikan senyawa sianida yang dapat
didefinisikan sebagai bentuk molekul (HCN) dan ion (CN-) dari sianida yang
dibebaskan melalui proses pelarutan dan disosiasi senyawa sianida. Kedua spesies
ini berada dalam kesetimbangan satu sama lain yang bergantung pada pH
sehingga konsentrasi HCN dan CN- dipengaruhi oleh pH. Pada pH dibawah 7,
keseluruhan sianida berbentuk HCN sedangkan pada pH diatas 10,5, keseluruhan
sianida berbentuk CN-. Reaksi antara ion sianida dan air ditunjukkan oleh dalam
reaksi di bawah ini (6):
CN- + HOH → HCN + OH‒
Sianida sederhana dapat didefinisikan sebagai garam-garam anorganik
sebagai hasil persenyawaan sianida dengan natrium, kalium, kalsium, dan
magnesium. Sianida sederhana dapat juga didefinisikan sebagai garam dari HCN
yang terlarut dalam larutan menghasilkan kation alkali bebas dan anion sianida
(6):
NaCN ↔ Na+ + CN‒
Ca(CN)2 ↔ Ca2+ + 2 CN‒
Bentuk sianida sederhana biasanya digunakan dalam leaching emas.
Sianida sederhana dapat larut dalam air dan terionisasi secara cepat dan sempurna
menghasilkan sianida bebas dan ion logam (6).
Kompleks sianida ketika terlarut menghasilkan HCN dalam jumlah yang
sedikit atau bahkan tidak sama sekali tergantung pada stabilitas kompleks
tersebut. Kestabilan kompleks sianida bervariasi dan bergantung pada logam
pusat. Kompleks lemah seperti kompleks dengan sianida dengan seng dan
kadmium mudah terurai menjadi sianida bebas. Kompleks sedang lebih sulit
terurai dibanding kompleks lemah dan meliputi kompleks sianida dengan
tembaga, nikel, dan perak. Sedangkan kompleks kuat seperti kompleks sianida
dengan emas, besi, dan kobalt cenderung sukar terurai menghasilkan sianida
bebas (6).
Yang tergolong senyawa turunan sianida adalah SCN‒ (tiosianat), CNO‒ ,
dan NH3 (amonia) yang biasanya dihasilkan dari sianidasi, degradasi alami dan
pengolahan limbah mengandung sianida (6).

2.4 Toksisitas Sianida


Tingkat ketoksikan sianida ditentukan jenis, konsentrasi dan pengaruhnya
terhadap organisme hidup. Ketoksikan sianida umumnya berhubungan dengan
pembentukan kompleks dengan logam yang berperan sebagai kofaktor enzim.
Sebagai contoh, sianida berikatan dengan enzim yang mengandung logam yang
berperan dalam respirasi sehingga proses respirasi terganggu. Enzim Fe(III)
sitokrom-oksidase adalah salah satu contoh enzim dalam proses respirasi yang
dihambat oleh sianida (3,6).
Sianida dalam bentuk hidrogen sianida (HCN) dapat menyebabkan
kematian yang sangat cepat jika dihirup dalam konsentrasi tertentu. ATSDR
(Agency for Toxic Substances and Disease Registry) mencatat bahwa konsentrasi
HCN yang fatal bagi manusia jika dihirup selama 10 menit adalah 546 ppm.
Beberapa gangguan pada sistem pernapasan, jantung, sistem pencernaan dan
sistem peredaran darah berhubungan dengan paparan terhadap sianida pada
manusia dalam konsentrasi tertentu telah terdeteksi. Selain itu, sistem saraf juga
menjadi sasaran utama sianida. Paparan HCN secara lama dalam konsentrasi
tinggi dapat menstimulasi sistem saraf pusat yang kemudian diikuti oleh depresi,
kejang- kejang, lumpuh dan kematian. HCN dapat terserap cepat ke dalam tubuh
dan terbawa hingga ke dalam plasma (7).
Garam sianida dan larutan sianida memiliki tingkat ketoksikan yang lebih
rendah dibandingkan HCN karena masuk ke tubuh hanya melalui mulut (Armour
et al. 1987). Namun demikian, ketoksikannya dapat dianggap sebanding dengan
HCN karena mudah menghasilkan HCN (3,6).
Kompleks sianida kurang toksik bila dibandingkan dengan sianida bebas.
Sianida sederhana secara cepat dapat membebaskan sianida bebas dan menjadi
sangat toksik, sedangkan kompleks sianida yang stabil tidak bersifat toksik selama
tidak terurai menjadi sianida bebas. Ketoksikan kompleks sianida bervariasi
tergantung kemampuannya kemampuannya untuk membebaskan sianida bebas.
Kompleks sianida yang kuat seperti kompleks sianida dengan besi dapat dikatakan
tidak toksik, tetapi dengan kehadiran radiasi ultraviolet dapat terurai
menghasilkan sianida bebas yang toksik (3,6).

2.5 Mekanisme Masuknya Sianida Ke Dalam Tubuh


Mekanisme masuknya sianida ke dalam tubuh adalah sebagai berikut:
1. Menghirup asap
Individu dengan menghirup asap dari kebakaran di ruang tertutup,
kemudian pasien menunjukkan adanya jelaga di mulut atau hidung atau saluran
napas, adanya perubahan status mental, atau hipotensi dapat diduga memiliki
keracunan sianida yang signifikan (konsentrasi sianida darah > 40 mmol/L atau
sekitar 1 mg/L). Banyak senyawa yang mengandung nitrogen dan karbon dapat
menghasilkan gas hidrogen sianida (HCN) ketika dibakar. Beberapa senyawa
alami (misalnya, wol, sutra) menghasilkan HCN sebagai produk pembakaran.
Plastik rumah tangga (misalnya, melamin di piring, akrilonitril dalam cangkir
plastik), busa poliuretan di bantal furniture, dan banyak senyawa sintetis lainnya
dapat menghasilkan konsentrasi mematikan dari sianida ketika dibakar di bawah
kondisi yang sesuai dengan konsentrasi oksigen dan suhu (3).
2. Keracunan yang disengaja
Sianida konsumsi adalah cara yang biasa, namun efektif, bunuh diri. Kasus
ini biasanya melibatkan perawatan kesehatan dan laboratorium pekerja yang
memiliki akses ke garam sianida ditemukan di rumah sakit dan laboratorium
penelitian (3).

3. Paparan industri
Sumber-sumber industri yang mengandung sianida tak terhitung
jumlahnya. Sianida digunakan terutama dalam perdagangan logam,
pertambangan, manufaktur perhiasan, pencelupan, fotografi, dan pertanian. Proses
industri tertentu yang melibatkan sianida termasuk logam pembersihan, reklamasi,
atau pengerasan; pengasapan; electroplating; dan pengolahan foto. Selain itu,
industri menggunakan sianida dalam pembuatan plastik, sebagai perantara reaktif
dalam sintesis kimia, dan pelarut (dalam bentuk nitril) (3).
Paparan garam dan sianogen kadang-kadang menyebabkan keracunan.
Namun, risiko yang signifikan untuk beberapa korban terjadi ketika produk ini
datang ke dalam kontak dengan asam mineral karena adanya gas HCN. Sebuah
insiden korban massal dapat berkembang pada kecelakaan industri di mana
sianogen klorida kontak dengan air (misalnya, selama proses pemadaman
kebakaran). Kontainer sianogen klorida dapat pecah atau meledak jika terkena
panas tinggi atau tersimpan terlalu lama (3).

4. Paparan iatrogenik
Vasodilator natrium nitroprusside, bila digunakan dalam dosis tinggi atau
selama periode hari, dapat menghasilkan konsentrasi beracun untuk sianida di
darah. Pasien dengan cadangan tiosulfat rendah (misalnya pasien kurang gizi, atau
pasien pasca operasi) berada pada peningkatan risiko untuk terkena keracunan
sianida, bahkan meskipun diberikan pada dosis terapi. Pasien awalnya mengalami
kebingungan dan kemudian dirawat unit perawatan intensif (ICU). Masalah dapat
dihindari dengan pemberian hydroxocobalamin atau natrium tiosulfat (3).
5. Mengkonsumsi tanaman atau makanan yang mengandung sianida
Konsumsi suplemen yang mengandung sianida memang jarang.
Amygdalin (laetrile sintetis, juga dipasarkan sebagai vitamin B-17), yang berisi
sianida, mendalilkan memiliki sifat antikanker karena aksi sianida pada sel
kanker. Namun, laetrile tidak menunjukkan aktivitas antikanker dalam uji klinis
pada manusia pada tahun 1980 dan pada akhirnya tidak dijual secara medis,
meskipun dapat dibeli di Internet oleh pihak-pihak yang mengiklankan tanpa
berbasis ilmiah. Amygdalin dapat ditemukan pada banyak buah-buahan, seperti
aprikot dan pepaya; dalam kacang-kacangan mentah; dan pada tanaman seperti
kacang, semanggi, dan sorgum. Amygdalin dapat dihidrolisis menjadi hidrogen
sianida, dan menelan jumlah besar makanan tersebut dapat mengakibatkan
keracunan (3).

2.6 Patomekanisme Sianida


Pada saat seseorang terpapar racun sianida secara inhalasi, kulit maupun
oral, baik sianida yang terlepas dari sisa pembakaran plastik yang mengandung
karbon dan nitrogen, ataupun sianida yang terlepas dari asap rokok, maka sianida
tersebut akan cepat diabsorbsi oleh tubuh . Garam sianida cepat diabsorbsi melalui
saluran pencernaan, Cyanogen dan uap HCN diabsorbsi melalui pernapasan .
HCN cair akan cepat diabsorbsi melalui kulit tetapi gas HCN lambat, sedangkan
nitril organik (iminodipropilnitril, glikonitril, asetonitril) cepat diserap melalui
kulit. Setelah diabsorbsi, sianida akan masuk ke dalam sirkulasi darah sebagai CN
bebas dan tidak dapat berikatan dengan hemoglobin, kecuali dalam bentuk
methemoglobin akan terbentuk sianmethemoglobin. Sianida dalam tubuh akan
menginaktifkan beberapa enzim oksidatif seluruh jaringan secara radikal, terutama
sitokrom oksidase dengan mengikat bagian ferric heme group dari oksigen yang
dibawa oleh darah. Selain itu sianida juga secara reflex merangsang pernapasan
dengan bekerja pada ujung saraf sensorik sinus (kemoreseptor) sehingga
pernafasan bertambah cepat dan menyebabkan gas racun yang diinhalasi makin
banyak.
Proses oksidasi dan reduksi terjadi sebagai berikut:

Fe++sitokrom-oksidase Fe+++sitokrom-
+ oksidase

CN

Fe++sitokrom oksidase

Dengan demikian proses oksidasi-reduksi dalam sel tidak dapat


berlangsung dan oksi-Hb tidak dapat berlangsung dan oksi-Hb tidak dapat
berdisosiasi melepaskan O2 ke sel jaringan sehingga timbul anoksia jaringan
(anoksia histotoksik). Hal ini merupakan keadaan paradoksal karena korban
meninggal akibat hipoksia tetapi dalam darahnya kaya akan oksigen.
Sianida dioksida dalam tubuh menjadi sianat dan sulfosianat dan
dikeluarkan dari tubuh melalui urin. Takaran toksin peroral untuk HCN adalah 60-
90 mg sedangkan takaran toksik untuk KCN atau NaCN adalah 200 mg. Kadar
gas sianida dalam udara lingkuangan dan lama inhalasi akan menentukan
kecepatan timbul gejala keracunan dan kematian.
20 Gejala ringan timbul setelah
ppm beberapa jam
100 Sangat berbahaya dalam 1 jam
ppm
200- Meninggal dalam 30 menit
400
ppm
200 Meninggal seketika
0
ppm

Nilai TLV (Threshold imit value) adalah 11 mg per M3 untuk gas HCN
sedangkan TLV untuk debu sianida adalah 5 gr per M3. 2
Toksin Sianida

Blok Sitokrom Oksidase(mitokondria)

Oksigen Tidak Dapat Diambil

Metabolism Sel Aerobik Terganggu

Perfusi Oksidatif

Histotoksik Hipoksia

Hipoksia Jaringan

Meninggal

Kadang-kadang korban keracunan CN melebihi takaran mematikan (letal)


tetapi tidak meninggal. Hal ini mungkin disebabkan oleh toleransi individual
dengan daya detoksifikasi tubuh berlebihan, dengan mengubah CN menjadi sianat
dan sulfosianat. Dapat pula disebabkan oleh keadaan anasiditas asam lambung,
sehingga menyebabkan garam CN yang ditelan tidak terurai menjadi HCN.
Keadaan ini dikenal sebagai imunitas Rasputin. Tetapi sekarang hal ini telah
dibantah, karena cukup dengan air saja dalam lambung, garam CN sudah dapat
terurai menjadi HCN. Kemungkinan lain adalah karena dalam penyimpanan
sianida sudah berubah menjadi garam karbonat. Misalnya NaCN +Udara
Na2CO3 + NH3 (8).
Pada pemeriksaan fisik setelah kematian akan ditemukan adanya lebam
mayat berwarna merah terang, karena darah vena kaya akan oksi-Hb. Tetapi ada
pula yang mengatakan karena terdapat Cyan-Met-Hb. Warna lebam yang merah
terang tidak selalu ditemukan pada kasus keracunan sianida, ditemukan pula kasus
kematian akibat sianida dengan warna lebam mayat biru kemerahan, livid. Hal ini
tergantung pada keadaan dan derajat keracunan. Tercium bau amandel yang
patognomonik untuk keracunan CN, dapat tercium dengan menekan dada mayat
sehingga akan keluar gas dari mulut dan hidung. Pada saat pembedahan mayat
juga tercium bau amandel yang khas pada saat membuka rongga dada, perut dan
otak serta lambung (bila racun melalui mulut). Darah, otot dan organ-organ tubuh
dapat berwarna merah terang. Selanjutnya hanya ditemukan tanda-tanda asfiksia
pada organ-organ tubuh.
Pada korban yang menelan garam alkali sianida, dapat ditemukan kelainan
pada mukosa lambung berupa korosi dan berwarna merah kecoklatan karena
terbentuk hematin alkali dan pada perabaan mukosa licin seperti sabun. Korosi
dapat menyebabkan perforasi lambung yang dapat terjadi antemortal atau
postmortal (8).

2.7 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis dari keracunan sianida yang sebagian besar merupakan
gambaran dari hipoksia intraseluler. Terjadinya tanda-tanda dan gejala ini
biasanya kurang dari 1 menit setelah menghirup dan dalam beberapa menit setelah
konsumsi. Awal manifestasi neurologis termasuk kecemasan, sakit kepala, dan
pusing. Pasien kemungkinan tidak bisa memfokuskan mata dan terjadi midriasis
yang dapat disebabkan oleh hipoksia. Hipoksia yang terus berlanjut akan
berkembang menjadi penurunan tingkat kesadaran, kejang dan koma (2).
Pada kasus keracunan sianida akut, pasien kemungkinan memiliki kulit
normal atau penampilan sedikit ashen meskipun jaringan hipoksia, dan saturasi
oksigen arteri juga mungkin normal. Tanda-tanda awal keracunan sianida pada
sistem respirasi antara lain pernapasan yang cepat dan dalam. Perubahan pada
sistem respirasi ini disebabkan oleh adanya stimulasi pada kemoreseptor perifer
dan sentral dalam batang otak, dalam upaya mengatasi hipoksia jaringan (2).
Sianida juga memiliki efek pada sistem kardiovaskular, dimana pada
awalnya pasien akan mengalami gejala berupa palpitasi, diaphoresis, pusing, atau
kemerahan. Mereka juga akan megalami peningkatan curah jantung dan tekanan
darah yang disebabkan oleh adanya pengeluaran katekolamin. Di samping juga
terjadi vasodilasi pembuluh darah, hipotensi, dan penurunan kemampuan
inotropik jantung, sianida juga menekan nodus sinoatrial (SA node) dan
menyebabkan terjadinya aritmia serta mengurangi kekuatan kontraksi jantung.
Dengan demikian, selama terjadinya keracunan sianida, status hemodinamik
pasien menjadi tidak stabil, karena adanya aritmia ventrikel, bradikardia, blok
jantung, henti jantung, dan kematian (2).

Gambar 2.1 Keracunan karbonmonoksida menimbulkan lebam mayat berwarna


merah, yang dapat ditemukan juga pada keracunan sianida dan pada suhu yang
dingin (9).

2.8 Diagnosis
Sampai saat ini belum ada gold standard untuk diagnosis keracunan
sianida. Beberapa metode yang digunakan untuk mendiganosis keracunan sianida,
diantaranya:
1. Mengamati tanda-tanda dan gejala klinis spesifik dari keracunan sianida,
termasuk bau almond pahit, yang merupakan karakteristik dari sianida.
Temuan tanda-tanda dan gejala spesifik ini memiliki nilai prediksi
diagnostik yang tinggi. Namun, banyak juga kasus keracunan asam
hidrosianat yang tidak berbau seperti almond pahit, oleh karena adanya
pengaruh genetik dalam perbedaan kemampuan mengenali baunya,
sehingga dibutuhkan metode diagnosis yang lebih spesifik (2).
2. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan berupa pengukuran kadar
karboksihemoglobin, sianida serum, pemeriksaan darah lengkap, kadar
laktat serum serta tekan an parsial oksigen (PO2). Pasien didefinisikan
mengalami keracunan akut sianida bila kadar sianida serumnya >0.5
mg/L. Tapi kadar sianida serum tidak bisa dijadikan parameter untuk
menentukan tingkat keparahan, hal ini terkait dengan waktu paruh
eliminasi sianida yang sangat pendek. Parameter lain yang juga
digunakan untuk memperkuat diagnosis terkait tingkat keparahan adalah
kadar laktat serum. Pasien dengan kadar laktat serum >8 mmol/L bisa
dikatakan mengalami keracunan akut sianida dan kemungkinan
membutuhkan pengulangan terapi antidot. Adapun pemeriksaan PO2
pada kasus keracunan sianida akan dikarakterisasi dengan adanya
penurunan tekanan parsial PO2 yang menandakan terjadinya asidosis
laktat (2).

2.9 Diagnosa Banding


Diagnosis banding dari keracunan sianida adalah keracunan karbon
monoksida. Kedua kondisi ini sama-sama memberikan gambaran cherry red pada
lebam mayat. Akan tetapi, cherry red pada keracunan sianida terjadi karena ikatan
sianida dengan methemoglobin, sehingga kadar oksigen meningkat namun tidak
aktif dalam jaringan. Hal inilah yang menimbulkan warna cherry red pada kulit
pada kasus keracunan sianida, sedangkan gambaran cherry red pada keracunan
karbon monoksida disebabkan karena ikatan yang lebih kuat antara karbon
monoksida dengan Hb dibandingkan ikatan antara Hb dengan oksigen (2).

2.10 Penatalaksaan Keracunan Sianida


Pada keracunan sianida yang masuk secara inhalasi:
Pindahkan korban ke udara bersih. Berikan amil-nitrit dengan inhalasi, 1 ampul
(0,2 ml) tiap 5 menit. Hentikan pemberian bila tekanan darah sistolik kurang dari
80 mmHg. Berikan pernapasan buatan dengan 100% oksigen untuk menjaga PO2
dalam darah agar tetap tinggi. Dapat juga dipakai oksigen hiperbarik. Resusitasi
mulut ke mulut merupakan kontraindikasi. Antidotum berupa Natrium nitrit 3%
IV diberikan sesegera mungkin dengan kecepatan 2,5 sampai s ml per menit.
Pemberian nitrit akan mengubah Hb menjadi met-Hb dan akan mengikat CN
menjadi sianmet-Hb. Jumlah nitrit yang diberikan harus didasarkan pada kadar Hb
dan berat badan korban. Jumlah Natrium nitrit pada table telah cukup untuk
mengubah 25% Hb menjadi met-Hb. Kadar met-Hb tidak boleh melebihi 40%,
karena met-Hb tidak dapat mengangkut O2. Bila kadat met-Hb melebihi 40%
berikan reduktor, misalnya vitamin C intravena.
Bila tekanan darah turun karena pemberian nitrit, berikan 0,1mg levarterenol atau
epinefrin IV. Natrium tiosulfat 25% IV diberikan menyusul setelah pemberian Na
nitrit dengan kecepatan 2,5-5 ml per menit. Tiosulfat mengubah CN menjadi
tiosianat. Hidroksokobalamin juga dilanjutkan sebagai antidotum terutama untuk
keracunan kronik. Dikatakan bahwa kobalt EDTA adalah obat pilihan dengan
takaran 300 mg IV yang akan mengubah CN menjadi kobaltsianida Co(CN)6
yang larut dalam air.
Pada keracunan CN yang ditelan:
Lakukan tindakan darurat dengan pemberian inhalasi amil-nitrit, satu amoul (0,2
ml, dalam waktu 3 menit) setiap 5 menit. Bilas lambung harus ditunda sampai
setelah diberikan antidotum nitrit dan tiosulfat. Bilas lambung dengan Na-tiosulfat
5% dan sisakan 200 ml (10 g) dalam tabung. Dapat juga dengan K permanganat
0,1% atau H2O2 3% yang diencerkan 1 sampai 5 kali. Atau dengan 2 sendok teh
karbon aktif atau Universitas antipode dalam 1 gelas air dan kemudian kosongkan
lambung dengan jalan dimuntahkan atau bilas lambung. Berikan pernapasan
buatan dengan oksigen 100%. Penggunaan andidotum sama seperti pada
pengobatan keracunan CN yang diinhalasi. Selain nitrit, dapat juga diberikan biru
metilen 1% 50 ml IV sebagai antidotum. Biru metilen akan mengubah Hb menjadi
Met-Hb dan Met-Hb yang terbentuk pada pemberian biru metilen ini ternyata
tidak dapat bereaksi dengan CN sebab yang masih belum diketahui. Bila korban
keracunan akut dapat bertahan hidup selama 4 jam maka biasanya akan sembuh.
Kadang-kadang terdapat gejala sisa berupa kelainan neurologik. Pada keracunan
Ca-Sianida, belum diketahui antidotum yang dapat digunakan. Setelah bilas
lambung diberikan terapi secara simtomatik. Individu yang terpapar dalam dosis
di bawah kadar mematikan mungkin mengalami sesak nafas, sakit di dada,
muntah dan sakit kepala yang akan sepenuhnya pulih. Dosis yang mendekati
kadar mematikan dapat memberikan efek yang permanen. (10).
BAB 3
KESIMPULAN
Toksikologi merupakan suatu cabang ilmu yang mempelajari tentang
penggunaan berbagai bahan kimiawi yang dapat menyebabkan efek toksik
terhadap tubuh. Toksikologi forensik adalah ilmu yang mempelajari tentang racun
dan pengidentifikasian bahan racun yang diduga ada dalam organ atau jaringan
tubuh dan cairan korban. Banyak kasus toksikologi yang terjadi dalam forensik,
salah satunya adalah keracunan sianida. Sianida adalah senyawa kimia dari
kelompok siano yang berbentuk gas, cairan dan solid (garam) dan memiliki sifat
racun yang sangat kuat dan bekerja dengan cepat. Sianida dalam tubuh manusia
dapat menghambat pernafasan jaringan. Kadar sianida yang tinggi dalam darah
dapat menyebabkan efek seperti jari tangan dan kaki lemah, susah berjalan dan
pandangan buram. Sianida juga memiliki efek pada sistem kardiovaskular, dimana
pada awalnya pasien akan mengalami gejala berupa palpitasi, diaphoresis, pusing,
atau kemerahan. Mereka juga akan megalami peningkatan curah jantung dan
tekanan darah yang disebabkan oleh adanya pengeluaran katekolamin. Di samping
juga terjadi vasodilasi pembuluh darah, hipotensi, dan penurunan kemampuan
inotropik jantung, sianida juga menekan nodus sinoatrial (SA node) dan
menyebabkan terjadinya aritmia serta mengurangi kekuatan kontraksi jantung.
Dengan demikian, selama terjadinya keracunan sianida, status hemodinamik
pasien menjadi tidak stabil, karena adanya aritmia ventrikel, bradikardia, blok
jantung, henti jantung, dan kemati
DAFTAR PUSTAKA
1. Fitriana AN. Forensic Toxicology. Majority. 2015;4(4):369–75.
2. Cahyawati PN, Zahran I, Jufri I, Noviana. Keracunan Akut Sianida. J
Lingkung Pembang. 2017;1(1):80–7.
3. Rahayu M, Solihat MF. Toksikologi Klinik. 1st ed. Jakarta: Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia; 2018.
4. Pratama RB. Data Kasus Pembunuhan dengan Racun di RI: Sianida Paling
Sering Digunakan. Kumparan News. 2021.
5. Sudarmono AA. Dosis Efektif Na-Tiosulfat sebagai Antidotum untuk
Keracunan Sianida pada Mencit Jantan Galur Swiss. 2018.
6. Pitoi MM. Sianida: Klasifikasi, Toksisitas, Degradasi, Analisis (Studi
Pustaka). J Mipa Unsrat Online. 4(1):1–4.
7. Departement Of Health And Human Service. Toxicological Profile for
Cyanide. Agency for Toxic Substances and Disease Registry. Georgia:
Agency for Toxic Substances and Disease Registry; 2006.
8. Gelgel IMA. ANALISIS TOKSIKOLOGI FORENSIK. Bali: Jurusan
Farmasi Universitas Udayana; 2018. 16-21 p.
9. Dini AL. Otopsi pada kasus keracunan. Nusa Tenggara Barat; 2015.
10. Goverment A. Pengelolaan sianida. 2008. 1-92 p.

Anda mungkin juga menyukai