Anda di halaman 1dari 8

MATA KULIAH

EKONOMI DAN PEMBIAYAAN KESEHATAN

GALUH ISMAYANTI
10012682125058

DOSEN PENGAMPU:
DR. HAERAWATI IDRIS, S.KM., M.KES

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT (S2)


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2022
SUMMARY

Judul : Pengelolaan Dana Kapitasi Bpjs Kesehatan Di Puskesmas Watubangga


Kecamatan Watubangga Kabupaten Kolaka Tahun 2015

Penulis : Ilham Solihin, dkk

Tahun : 2015

Dana Kapitasi adalah besaran pembayaran per-bulan yang dibayar dimuka kepada
Puskesmas berdasarkan jumlah peserta yang terdaftar tanpa memperhitungkan jenis dan
jumlah pelayanan kesehatan yang diberikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengelolaan dana kapitasi BPJS Kesehatan di Puskesmas Watubangga Kabupaten Kolaka
tahun 2015. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penganggaran dana kapitasi di Puskesmas
Watubangga dengan membuat dokumen rencana pendapatan dan belanja dana kapitasi dalam
bentuk RKA setiap bulan keempat pada tahun berjalan yang selanjutnya disampaikan kepada
SKPD Dinas Kesehatan Kabupaten Kolaka.

Dari aspek pelaksanaan penatausahaan dana kapitasi di Puskesmas Watubangga dana


kapitasi digunakan sepenuhnya untuk membayar jasa pelayanan yang dilakukan di
Puskesmas berdasarkan akumulasi poin berdasarkan tingkat pendidikan, hari kerja, hari
efektif dan masa kerja. Dari aspek pertanggungjawabanKepala Puskesmas Watubangga
bertanggungjawab secara formal dan materil atas pendapatan dan belanja dana kapitasi JKN,
sedangkan pemanfaatan dana kapitasi di Puskesmas Watubangga 80% dana kapitasi
digunakan untuk membayar jasa pelayanan dan 20% digunakan untuk pendukung
operasional.

Khusus untuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) akan diselenggarakan oleh BPJS
kesehatan yang implementasinya di mulai 1 Januari 2014. Besaran tarif kapitasi yang
dibayarkan kepada FKTP pada suatu wilayah ditentukan berdasarkan kesepakatan BPJS
Kesehatan dengan Asosiasi Fasilitas Kesehatan di wilayah setempat dengan mengacu pada
standar tarif kapitasi yang telah ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.3 Dana Kapitasi adalah
besaran pembayaran per-bulan yang dibayar dimuka kepada FKTP berdasarkan jumlah
peserta yang terdaftar tanpa memperhitungkan jenis dan jumlah pelayanan kesehatan yang
diberikan.
Dana Kapitasi yang diterima oleh FKTP dari BPJS Kesehatan dimanfaatkan
seluruhnya untuk pembayaran jasa pelayanan kesehatan dan dukungan biaya operasional
pelayanan kesehatan.2 Alokasi untuk pembayaran jasa pelayanan kesehatan untuk tiap FKTP
ditetapkan sekurangkurangnya 60% dari penerimaan Dana Kapitasi. Alokasi untuk
pembayaran dukungan biaya operasional pelayanan kesehatan ditetapkan sebesar selisih dari
besar Dana Kapitasi dikurangi dengan besar alokasi untuk pembayaran jasa pelayanan
Kesehatan.

Besaran alokasi dukungan biaya operasional ditetapkan setiap tahun dengan


Keputusan Kepala Daerah atas usulan Kepala SKPD Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
dengan mempertimbangkan kebutuhan obat, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai,
kemudian kegiatan operasional pelayanan kesehatan dalam rangka mencapai target kinerja di
bidang upaya kesehatan perorangan dan besar tunjangan yang telah diterima dari Pemerintah
Daerah.

Prosedur ini didasarkan pada Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 32 Tahun 2014
tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Kapitasi JKN pada Fasilitas Kesehatan Tingkat
Pertama Milik Pemerintah Daerah dan Peraturan Menteri Kesehatan (PERMENKES) Nomor
19 Tahun 2014 tentang Penggunaan Dana Kapitasi JKN Untuk Jasa Pelayanan Kesehatan dan
Dukungan Biaya Operasional pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Milik Pemerintah
Daerah.6 Untuk menyelenggarakan fungsi perbendaharaan dana kapitasi JKN pada FKTP,
kepala daerah mengangkat Bendahara Dana Kapitasi JKN pada masing-masing FKTP setiap
tahun anggaran atas usul Kepala SKPD Dinas Kesehatan melalui Pejabat Pengelola
Keuangan Daerah (PPKD). Pengangkatan bendahara tersebut ditetapkan dengan keputusan
kepala daerah, Bendahara Dana Kapitasi JKN mencatat pendapatan dan belanja pada buku
kas dan menyampaikannya setiap bulan kepada Kepala FKTP dengan melampirkan bukti-
bukti pendapatan dan belanja yang sah paling lambat pada tanggal 5 bulan berikutnya untuk
pengesahan oleh Kepala FKTP.

Hal tersebut berarti masih ada 156.208 jiwa atau 60,75% penduduk Kabupaten
Kolaka yang belum terdaftar dalam program JKN.5 Puskesmas Watubangga adalah salah satu
puskesmas perawatan di lingkup Dinas Kesehatan Kabupaten Kolaka yang berkedudukan di
Kecamatan Watubangga dengan jarak tempuh ± 60 km ke arah selatan dari ibu kota
Kabupaten Kolaka.
OPINI
Penganggaran dengan cara membuat RKA pada bulan ke 4 berjalan, dan dana kapitasi
digunakan untuk membayar jasa pelayanan dan mendukung operasional, Kepala Puskesmas
sebagai penanggung jawab secara formal dan materil yang disampaikan secara internal dalam
pertemuan Mini Lokakarya, dan 80% untuk membayar upah jasa pelayanan, 14% untuk
pemenuhan BHP dan obat-obatan dan 6% untuk kegiatan luar gedung atau pemeliharaan
ambulan.

Kegiatan ini dilaksanakan pada faskes tingkat pertama yang merupakan wilayah
rawan KKN yaitu mengenai perizinan Puskesmas. Sehingga bukti pembelian obat-obatan dan
sarana Kesehatan rentan untuk dipalsukan. Alokasi penganggaran 60% minimum juga rawan
KKN, oleh karena itu pemegang kartu BPJS harus diperiksa secara berkala, agar benar-benar
digunakan hanya oleh penduduk yang perlu bantuan Kesehatan dari APBN dan dana
Kapitasi.

Untuk mempersempit peluang terjadinya tipikor pada tata kepemerintahan dan


masyarakat menyangkut pelayanan public maupun penanganan perkara yang bersih dari
korupsi. Namun bebrapa tantangan kedepan mungkin akan dihadapi karena belum tunttasnya
reformasi birokrasi yang menyeluruh misalnya pada mekanisme pemberian reward dan
punishment bagi pelayanan public, anatara pengelola BPJS, minimnya integritas, system
karis dan penggajian yang belum sepenuhnya berbasis kinerja dan standar pelayanan
minimal.
Judul : Unit Cost Rumah Sakit Dan Tarif Ina-Cbgs: Sudahkah Pembiayaan
Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit Dibayar Dengan Layak?
Tahun : 2018
Penulis : Lestari Handayani, dkk

Berbagai komentar baik dukungan ataupun penolakan dilontarkan pihak rumah sakit
(RS) sejak diberlakukan tarif INACBGs pada tahun 2014 dalam Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN). Sebagian RS mengeluhkan ketidak adilan besaran tarif yang dianggap tidak sesuai
dengan biaya riil pelayanan kesehatan. Tarif INA-CBGs sesuai peraturan. ditinjau minimal
setiap dua tahun. Pemerintah melakukan evaluasi dan revisi terhadap Tarif yang ditetapkan
berdasar atas perhitungan Unit cost (UC) serta memperhitungkan berbagai aspek terkait.

Dapat disimpulkan bahwa pemberlakuan tarif INA-CBG masih memenuhi rasa


keadilan dan dapat diterapkan. Pelayanan kesehatan diperoleh dari Fasilitas Kesehatan
Tingkat Pertama (FKTP) maupun Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL).
Rumah Sakit terkena dampak perkembangan kesepakatan dunia dalam penyediaan pelayanan
kesehatan yang universal. Penetapan Tarif INA-CBGs memerlukan proses panjang, diawali
dengan penghitungan UC yang dilakukan oleh Tim Tarif Kementerian Kesehatan.

Dilakukan analisis data dasar dan data costing RS yang diperoleh dari sejumlah RS
terpilih. Tarif INACBGs merupakan rata-rata biaya yang dibutuhkan untuk suatu kelompok
diagnosis yang terperinci untuk 5 regional, kelas rumah sakit, kepemilikan rumah sakit
(pemerintah atau swasta). Pengembangan pelayanan rumah sakit dengan pembiayaan atau
pembayaran yang terstandar ini akan dapat memberikan banyak keuntungan baik bagi pasien.
penyedia pelayanan kesehatan dan pihak penyandang dana (Kementerian Kesehatan, 2014).
Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013, mengamanatkan tarif
ditinjau sekurangkurangnya setiap 2 (dua) tahun dan pada tahun 2016 telah ditetapkan tarif
hasil peninjauan ulang (Indonesia, 2013). Dasar penetapan tarif adalah perhitungan NCC
(National Casemix Cost) ditambah berbagai faktor yang mempengaruhi tarif RS.

Telah diterbitkan Tarif INA CBGs sesuai Permenkes 64 tahun 2016 (Kementerian
Kesehatan RI a, 2016) sebagai pengesahan legal formal perbaikan dari tarif INA CBGs
sebelumnya yaitu Permenkes No.59 tahun 2014 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan
dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan. Terjadi peningkatan utilisasi fasilitas
kesehatan yang luar biasa. Beban akibat jumlah pasien yang meningkat di beberapa RS
menjadi keluhan petugas kesehatan. Beberapa manajemen RS dan provider mengeluhkan
Tarif INA-CBGs yang dianggap tidak memenuhi kecukupan biaya riil pelayanan (actual
cost).

Hasil penelitian Fika Edya (2017) bahwa Cost Recovery Rate untuk pasien rawat inap
BPJS Kesehatan adalah 83,20 % yang artinya pendapatan dari pasien Rawat Inap peserta
BPJS Kesehatan belum sepenuhnya mampu menutupi biaya operasional pasien rawat inap
peserta BPJS Kesehatan. Penelitian lain pada pasien rawat jalan di suatu RS oleh Aulia
Sandra dkk (2015) mengemukakan bahwa biaya yang dikeluarkan oleh rumah sakit baik
biaya tetap maupun tidak tetap tertutup oleh pendapatan pelayanan pasien JKN dengan tarif
INA CBG's. Dengan perhitungan angka riil pendapatan dikurangi total biaya langsung dan
tidak langsung maka keuntungan yang diperoleh rumah sakit adalah sebesar 9%.

Penelitian Budiarto W dan Sugiarto M (2013) berdasar data peserta Jamkesmas rawat
inap di 10 rumah sakit milik Kementerian Kesehatan menyebutkan bahwa biaya klaim
INACBGs lebih besar 14,39% dibandingkan dengan biaya menurut tarif rumah sakit baik
rumah sakit kelas A, B dan RS Khusus. Data Riset Pembiayaan Kesehatan (RPK) pada
Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL) di Rumah Sakit Badan Layanan
Umum/Daerah) (BLU/BLUD) yang dilakukan pada tahun 2016 belum dimanfaatkan secara
maksimal oleh karena itu dilakukan analisis lanjut menghasilkan informasi untuk
membuktikan pertanyaan tersebut.

Riset Pembiayaan Kesehatan dilaksanakan pada tahun 2016 di 84 RSU yang berstatus
Badan Layanan Unit Cost Rumah Sakit dan Tarif Ina-Cbgs (Lestari Handayani, dkk.) 221
Umum (BLU)/Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) yaitu 9 RS kelas A. 37 RS kelas B
dan 38 RS kelas C. tersebar di 80 kabupaten/kota di Indonesia. Data hasil penelitian
memberikan data biaya rumah sakit yang bervariasi terpilah menjadi biaya di seluruh rumah
sakit tentang biaya langsung (direct cost) dan biaya tidak langsung (indirect cost) dihitung
menurut peruntukan biaya (investasi. operasional dan pemeliharaan). Unit cost (UC)
dihitung dengan metode step down, mempertimbangkan biaya investasi (full cost) dan tanpa
investasi (direct cost).

Penghitungan dikelompokkan menjadi biaya overhead, intermediate dan final. UC


final merupakan biaya unit produksi berupa pelayanan kesehatan rawat inap dan rawat jalan.
Cara ini menyesuaikan dengan metode yang digunakan dalam menghitung Unit cost RS
sebagai dasar penghitungan Tarif INA-CBG. Proses terbentuk tarif masih melalui tahap yang
panjang sesuai dengan ketetapan perundangan sehingga banyak faktor yang mempengaruhi
dari UC.

Hasil penghitungan Unit cost data RPK 2016 merupakan UC untuk tahun pelayanan
2015 dan menunjukkan variasi Unit cost di RS kelas A, B dan C. Perolehan data yang
dibutuhkan untuk menghitung UC dengan rumus yang sudah distandarkan tidak semuanya
dapat diperoleh lengkap dan detil di seluruh rumah sakit yang menjadi sampel. Data yang
terkumpul dilakukan pembersihan semaksimal mungkin dan dilakukan cek dan cek ulang ke
data mentah untuk melakukan pemilahan.
OPINI

Pentarifan Inacbgs mampu memberikan keuntungan yang adil dan merata bagi pasien,
tenaga medis, dan juga rumah sakit. Cara yang dilakukan rumah sakit ini adalah dengan
melakukan efisiensi Tindakan medis, namun tidak mengurangi kualitas pelayanan yang
diberikan. Dengan begitu, biaya yang dikeluarkan bisa lebih terkontrol.

Denngnan pengelolaan dana yang benar rumah sakit mampu memperoleh surplus
lewat pembiayaan bertarif Inacbgs, sehingga pasien pasien merasa puas karena terlayani
dengan baik, di rumah sakit pun mendapatkan keuntungan.

Anda mungkin juga menyukai