Anda di halaman 1dari 94

FAKTOR - FAKTOR YANG MEMENGARUHI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (JKN) TENTANG KLAIM INACBG’S


DI RUMAH SAKIT ISLAM MALAHAYATI
MEDAN TAHUN 2016

TESIS

OLEH

ITA PURNAMASARI
157032128

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan nasional bidang kesehatan bertujuan untuk meningkatkan

kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud

derajat kesehatan yang setinggi-tingginya, karena kesehatan merupakan hak

fundamental yang setiap individu sangat membutuhkannya. Pembangunan kesehatan

adalah pangkal kecerdasan, produktifitas dan kesejahteraan manusia.

Jiwa dan kesehatan seseorang dapat diasuransikan untuk keperluan orang

yang berkepentingan, baik untuk selama hidupnya maupun untuk waktu yang

ditentukan dalam perjanjian. Adanya kenyataan bahwa setiap hari manusia selalu

dihadapkan pada resiko jatuh sakit atau kecelakaan dan harus di rawat di rumah sakit.

Sementara biaya berobat ke rumah sakit semakin lama semakin mahal sehingga

kesehatan sulit terjangkau oleh orang-orang dengan penghasilan rendah (Suprapto,

2014).

Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) diluncurkan pada tanggal 1

Januari 2014. JKN ini adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta

memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi

kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar

iuran atau iurannya di bayar oleh pemerintah. Program ini diselenggarakan oleh

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, yang merupakan perubahan

dari PT ASKES (Trisnantoro, 2015).


Program JKN Sudah berjalan lebih dari tiga tahun. Seluruh warga Negara

Indonesia perlu mengapresiasi program yang bertujuan untuk keadilan masyarakat

dalam mendapatkan akses pelayanan kesehatan. Tidak sedikit warga Indonesia yang

sakit merasa kesulitan untuk berobat, terlebih bagi masyarakat miskin yang

mempunyai penyakit berat dan kronis, program JKN ini seperti menjadi dewa

penolong bagi mereka. Banyak bukti yang disampaikan oleh masyarakat tentang

manfaat program JKN bagi mereka. Meskipun demikian, tidak sedikit pula keluhan-

keluhan yang datang dari masyarakat terkait dengan pelaksanaan program JKN ini.

Sebagian besar keluhan masyarakat terkait dengan repotnya birokrasi (Ambarriani,

2015).

Pihak yang paling merasakan dampak perubahan dengan adanya program

JKN adalah penyedia fasilitas kesehatan, baik fasilitas kesehatan tingkat pertama

maupun tingkat lanjutan atau rumah sakit. Pada fasilitas kesehatan tingkat pertama,

yaitu puskesmas dan klinik keluarga, dampak yang langsung dirasakan adalah

meningkatnya jumlah kunjungan. Hal ini disebabkan karena program JKN

menjalankan sistem rujukan berjenjang. Pada fasilitas kesehatan tingkat lanjut atau

rumah sakit, perbedaan yang paling terasa terletak pada sistem pembayaran klaim.

Sebelumnya sistem pembayaran klaim dilakukan berdasarkan fee for service,

sedangkan dalam era JKN sistem pembayaran klaim berdasarkan sistem paket

berdasarkan tarif INA CBG’s (Ambarriani, 2015).

Seperti halnya system pembayaran klaim berdasarkan system paket atau yang

di sebut dengan casemix juga digunakan di rumah sakit-rumah sakit internasioanl,


dimana permasalahan yang sering terjadi adalah dapat menyebabkan rendahnya

efisiensi dan kualitas layanan kesehatan, karena anggaran atau klaim tarif casemix

yang diberikan tidak mencukupi untuk pegalokasian atau pengeluaran rumah sakit.

Contohnya saja untuk penyakit ulkus diabetikum yang memerlukan perawatan khusus

yang lama dan rawatan yang panjang, sehingga membutuhkan anggaran yang besar

untuk menutupi biaya pengobatannya pada faskes tingkat lanjutan (Mohamad, 2012).

Pada fasilitas tingkat lanjutan, pembayaran pelayanan kesehatan oleh BPJS

berupa tarif Indonesian Case Based Group (INA CBG’s). Tarif paket INA CBG’s

adalah sistem pembayaran berdasarkan diagnosa. Menurut Perpres No 76 tahun

(2016) tujuan klaim INA CBG’s agar dapat kendali mutu dan kendali biaya, serta

dapat mempermudah administrasi klaim. Dalam pembayaran menggunakan sistem

INA CBG’s, baik rumah sakit maupun pihak pembayar tidak lagi merinci tagihan

berdasarkan rincian pelayanan yang diberikan, melainkan hanya dengan

menyampaikan diagnosis keluar pasien dan kode DRG (Disease Related Group).

Besarnya penggantian biaya untuk diagnosis tersebut telah diketahui sebelumnya

(Jauharin, 2014).

Implementasi Kebijakan merupakan tahap dari proses kebijakan segera

setelah penetapan undang-undang. Implementasi dipandang secara luas mempunyai

makna pelaksanaan undang-undang dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur, dan

teknik bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan dalam upaya untuk

meraih tujuan-tujuan kebijakan atau program-program (Winarno, 2012). Menurut

Edwards III (1980) implementasi kebijakan dapat dipengaruhi oleh komunikasi,

sumber daya, disposisi (komitmen/sikap), dan birokrasi.


Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Putra (2014) tentang analisis

implementasi kebijakan JKN di RSU Kota Tangerang Selatan yang sudah berjalan

dengan baik terlihat dari adanya komitmen atau kebijakan rumah sakit untuk

mendukung terlaksananya program, SDM, sarana dan prasarana yang memadai,

komunikasi berjalan efektif dan SOP berjalan dengan baik.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Ardianty (2012) menunjukkan

Implementasi Program Jamkesda di Rumah Sakit PMI Bogor masih belum berjalan

maksimal serta banyak kekurangan dari segi pelaksanaannya, seperti keterlamabatan

pengajuan klaim tagihan, tidak sesuainya nilai tarif INA CBG’s dengan nilai tarif

rumah sakit, serta kurangnya komitmen rumah sakit dalam melaksanakan program.

Rumah Sakit Islam Malahayati adalah salah satu Rumah Sakit Umum Swasta

kelas C yang bergerak dalam bidang pelayanan medis atau kesehatan masyarakat

yang sudah menjadi provider BPJS sejak 1 januari 2014 hingga sampai dengan

sekarang dengan maksud dan tujuan untuk membantu pemerintah serta melayani

masyarakat dalam bidang peningkatan derajat kesehatan baik kesehatan jasmani,

rohani maupun sosial. Rumah Sakit Islam Malahayati berkembang menjadi rumah

sakit swasta yang berada di lingkungan Yayasan Rumah Sakit Islam Malahayati dan

berada di bawah pimpinan direktur RSIM.

Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan koordinator tim casemix pada

studi awal yang peneliti lakukan pada bulan Desember 2016 di Rumah Sakit Islam

Malahayati Medan mengatakan bahwa implementasi kebijakan JKN tentang klaim

INACBG’s belum berjalan secara efektif. Hal ini disebabkan karena sarana dan
prasarana masih kurang, masih adanya miss komunikasi antara petugas BPJS Internal

rumah sakit dengan petugas lainnya, kurangnya komitmen/kerja sama petugas dalam

menjalankan prosedur atau peraturan-peraturan yang sudah ditetapkan, contohnya 4

dari 6 rekam medis pasien pulang terlambat diserahkan oleh perawat/kepala ruangan

ke petugas BPJS dan rekam medis sering dalam keadaan tidak lengkap, sehingga

membutuhkan waktu yang lebih lama lagi dalam melakukan proses klaim, karena

rekam medis harus dipulangkan kembali ke ruangan untuk di lengkapi, akibatnya

dapat menambah daftar klaim susulan. Contoh lainnya seperti petugas admisi sering

menerima pasien BPJS rawat inap kiriman dari dokter spesialis dengan berkas yang

tidak lengkap dan tidak sesuai prosedur, dimana kelengkapan berkas dapat

memengaruhi proses klaim, biaya atau besaran klaim/tarif sampai dengan gagal klaim

yang berdampak pada biaya operasional rumah sakit, dan akibat lain dari masalah

tersebut dapat terjadi perdebatan dan kesalahpahaman antara pasien dan keluarga

dengan petugas BPJS dan petugas rumah sakit yang berdampak pada mutu dan citra

rumah sakit.

Hal ini sejalan dengan penelitian Malonda (2015) yang mengatakan bahwa

Implementasi Kebijakan JKN tentang pengajuan klaim oleh Penyedia Pelayanan

Kesehatan (PPK) kepada BPJS kesehatan sering di temui berbagai permasalahan,

seperti permasalahan berkas klaim, banyaknya klaim susulan, keterlambatan

pembayaran klaim oleh BPJS kesehatan, ketidaksesuaian tarif yang diajukan RS

dengan tarif INA CBG’s atau yang dibayarkan BPJS Kesehatan, kejanggalan

pengkodean diagnosis penyakit setelah grouper.


Hasil peneltian Nurhidayati (2016) bahwa untuk mendapatkan hasil grouper

yang benar diperlukan kerjasama yang baik antar petugas terutama dokter.

Kelengkapan rekam medis yang di tulis oleh dokter akan sangat membantu koder

dalam memberikan kode diagnosis dan tindakan atau prosedur yang tepat (Kemenkes,

2014). Selisih positif menunjukkan bahwa ketidaklengkapan pencatatan diagnosis dan

prosedur medis di dalam formulir resume medis akan memengaruhi tarif klaim INA

CBG’s yang dapat menegndalikan biaya. Proses pengkodean klaim INA CBG’s di

RSUD Kota Yogyakarta yang hanya menggunakan fotokopi resume tersebut ternyata

masih menunjukkan ketidaklengkapan pencatatan diagnosis dan prosedur medis dan

menimbulkan kerugian bagi pihak rumah sakit. Teridentifikasinya kekurangan-

kekurangan pencatatan tersebut harus segera di lengkapi oleh pemberi layanan

kesehatan dengan segera (Sudra, 2010).

Berdasarkan studi awal yang peneliti lakukan di Rumah Sakit Islam

Malahayati Medan didapat juga bahwa jumlah tim yang berhubungan langsung dalam

proses pengklaiman INA CBG’s adalah 7 tim, diantaranya tim Casemix BPJS

Internal/pengendali rumah sakit sebanyak 10 orang, petugas admisi/registrasi

sebanyak 10 orang, dokter Spesialis 63 orang, dokter umum 15 orang, perawat-bidan

pelaksana 176 orang, Farmasi 8 orang, Penunjang Medis (Lab 13 orang dan

Radiologi 4 orang, Gizi 3 orang) dengan total keseluruhan 302 orang. Jumlah tempat

tidur 112 tempat tidur. Total kasus pasien BPJS rawat inap tiga tahun terakhir antara

lain : tahun 2014 yaitu 4915 kasus, tahun 2015 yaitu 4734 kasus, tahun 2016 (Januari-

Juli) yaitu 2872 kasus. Total kasus pasien BPJS rawat jalan tahun 2014 yaitu 5339
kasus, tahun 2015 yaitu 9816 kasus, tahun 2016 (Januari-Juli) yaitu 6932 kasus. Total

klaim JKN tarif INA CBG’s rawat inap tahun 2014 adalah 30,647,920,553,00, rawat

jalan adalah 2,077,714,697,00. Total selisih kerugian rawat inap tahun 2014 adalah

5,541,981,149,00, dan rawat jalan adalah 140,036,685,00. Total klaim JKN tarif INA

CBG’s rawat inap tahun 2015 adalah 28,717,649,900,00, rawat jalan adalah

3,488,306,557,00. Total selisih kerugian rawat inap tahun 2015 adalah

4,581,049,316,00, dan rawat jalan adalah 124,145,476,00 (Tim BPJS Internal RS).

Berkaitan dengan tarif, RS Baptis Batu Malang ikut merasakan masalah

terhadap besaran tarif yang tercantum dalam paket INA CBG’s, tarif rill rumah sakit

lebih besar dari pada tarif INACBG’s, misalnya besaran tarif paket INA CBG’s untuk

diagnosis penyakit anemia ditetapkan Rp 1,5 juta, biaya rill rumah sakit adalah RP 3

juta (Jauharin, 2014). Hal ini sejalan dengan penelitian (Mawaddah, 2015) yang

mengatakan bahwa biaya tarif INACBG’s masih di bawah biaya rill rumah sakit.

Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian tentang “Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Implementasi Kebijakan JKN

Tentang Klaim INCBG’s di Rumah Sakit Islam Malahayati Medan Tahun 2016”.

1.2 Rumusan Masalah

Jaminan kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar

peserta memperoleh mamfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam

memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah

membayar iuran atau iurannya di bayar oleh pemerintah (Perpres No 12 tahun 2013).
Implementasi JKN dengan system INA CBG’s merupakan salah satu instrument

penting dalam pengajuan dan pembayaran klaim pelayanan kesehatan pada faskes

tingkat lanjutan, dimana system INA CBG’s menjadi pilihan pada program JKN

karena dapat mengendalikan mutu dan biaya kesehatan, serta dapat mempermudah

proses administrasi klaim (Perpres No 76 Tahun 2016).

Menurut Edwards (1980) Implementasi Kebijakan dapat dipengaruhi oleh

komunikasi, sumber daya, disposisi dan birokrasi (Subarsono, 2009). Rumah Sakit

Islam Malahayati Medan merupakan rumah sakit provider BPJS semenjak 1 Januari

2014, dimana pada implementasi kebijakan JKN masih terdapat masalah-masalah

terutama masalah terkait klaim INA CBG’s seperti adanya miss komunikasi yang

mengakibatkan banyaknya klaim susulan yang berdampak pada pendapatan dan biaya

operasional rumah sakit, sumber daya yang masih kurang, SOP (birokrasi) yang tidak

berjalan dengan baik, kurangnya kerja sama/komitmen (disposisi) petugas dalam

menjalankan peraturan-peraturan sehingga berdampak pada kelancaran klaim/besaran

klaim yang dapat merugikan rumah sakit seperti diketahui selisih kerugian rawat inap

tahun 2014 yaitu 5,541,981,149, seliisih kerugian rawat jalan yaitu 140,036,685,

selisih kerugian rawat inap tahun 2015 yaitu 4,581,049,316 dan selisih kerugian rawat

jalan yaitu 124,145,476 dimana selisih kerugian tersebut dapat memengaruhi biaya

operasional rumah sakit.

Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka pertanyaan

yang timbul dalam penelitian ini adalah:


1. Apakah Implementasi Kebijakan JKN tentang klaim INA CBG’s sudah berjalan

dengan baik di Rumah Sakit Islam Malahayati Medan Tahun 2016?

2. Apakah ada pengaruh komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi

dengan Implementasi Kebijakan JKN tentang klaim INA CBG’s di Rumah Sakit

Islam Malahayati Medan Tahun 2016.

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan dari penelitian ini untuk

menganalisis pengaruh komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi

terhadap Implementasi Kebijakan JKN tentang klaim INA CBG’s di Rumah Sakit

Islam Malahayati Medan Tahun 2016.

1.4 Mamfaat Penelitian

1. Sebagai bahan masukan kepada pihak rumah sakit terutama dan pihak-pihak

terkait dalam upaya mengoptimalkan Implementasi Kebijakan JKN tentang klaim

INA CBG’s agar berjalan secara efektif.

2. Sebagai tambahan bahan referensi dan perbandingan bagi penelitian lanjutan yang

mengkaji topik yang relavan dengan penelitian ini.


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)

Jaminan Kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar

peserta memperoleh mamfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam

memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah

membayar iuran atau iurannya di bayar oleh pemerintah seperti yang dinyatakan oleh

Perpres No 12 (2013).

Masyarakat yang menjadi peserta JKN akan mendapat pelayanan, baik

perawatan maupun obat yang dibutuhkan selama sakit. Biaya pengobatan pasien JKN

mengacu pada sistem INA CBG’s yaitu biaya yang dibayarkan sudah satu paket

dengan obat-obatan berdasarkan diagnosa pasien. Dengan itu paserta JKN tidak perlu

khawatir untuk berobat bahkan bisa mengobati penyakit berat sekalipun. Contoh sakit

jantung, pasang ring yang tidak ada batasan platform, semua akan ditanggung oleh

BPJS Kesehatan (Suprapto, 2014)

2.1.1 Manfaat Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)

Manfaat Jaminan Kesehatan Nasional terdiri atas dua jenis, yaitu manfaat

medis berupa pelayanan kesehatan dan manfaat nonmedis meliputi akomodasi dan

ambulans. Ambulans hanya diberikan untuk pasien rujukan dari Fasilitas Kesehatan

dengan kondisi tertentu yang ditetapkan oleh BPJS Kesehatan. Manfaat Jaminan

Kesehatan Nasional mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan

10
rehabilitatif termasuk pelayanan obat dan bahan medis habis pakai sesuai dengan

kebutuhan medis. Manfaat pelayanan promotif dan preventif meliputi pemberian

pelayanan seperti yang dinyatakan oleh Kemenkes RI (2014) :

a. Penyuluhan kesehatan perorangan, meliputi paling sedikit penyuluhan mengenai

pengelolaan faktor risiko penyakit dan perilaku hidup bersih dan sehat.

b. Imunisasi dasar, meliputi Baccile Calmett Guerin (BCG), Difteri Pertusis

Tetanus dan Hepatitis B (DPTHB), Polio, dan Campak.

c. Keluarga berencana, meliputi konseling, kontrasepsi dasar, vasektomi, dan

tubektomi bekerja sama dengan lembaga yang membidangi keluarga berencana.

Vaksin untuk imunisasi dasar dan alat kontrasepsi dasar disediakan oleh

Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.

d. Skrining kesehatan, diberikan secara selektif yang ditujukan untuk mendeteksi

risiko penyakit dan mencegah dampak lanjutan dari risiko penyakit tertentu.

Meskipun manfaat yang dijamin dalam JKN bersifat komprehensif, masih ada

manfaat yang tidak dijamin meliputi:

a. Tidak sesuai prosedur

b. Pelayanan di luar Fasilitas Kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS

c. Pelayanan bertujuan kosmetik

d. General checkup, pengobatan alternatif

e. Pengobatan untuk mendapatkan keturunan, pengobatan impotensi

f. Pelayanan kesehatan pada saat bencana


g. Pasien bunuh diri /penyakit yang timbul akibat kesengajaan untuk menyiksa diri

sendiri/ bunuh diri/narkoba.

2.1.2 Prinsip Jaminan Kesehatan Nasional

Jaminan Kesehatan Nasional mengacu pada prinsip-prinsip Sistem Jaminan

Sosial Nasional (SJSN) sebagai berikut (Kemenkes RI, 2014)

1. Prinsip Kegotong royongan

Gotong royong sesungguhnya sudah menjadi salah satu prinsip dalam hidup

bermasyarakat dan juga merupakan salah satu akar dalam kebudayaan kita. Dalam

SJSN prinsip gotong royong berarti peserta yang mampu membantu peserta yang

kurang mampu, peserta yang sehat membantu yang sakit atau yang berisiko tinggi,

dan peserta yang sehat membantu yang sakit. Hal ini terwujud karena kepesertaan

SJSN bersifat wajib untuk seluruh penduduk, tanpa pandang bulu. Dengan demikian,

melalui prinsip gotong royong jaminan sosial dapat menumbuhkan keadilan sosial

bagi seluruh rakyat Indonesia melalui prinsip gotong royong jaminan sosial dapat

menumbuhkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

2. Prinsip Nirlaba

Pengelolaan dana amanat oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)

adalah nirlaba bukan untuk mencari laba (for profit oriented). Sebaliknya, tujuan

utama adalah untuk memenuhi sebesar-besarnya kepentingan peserta. Dana yang

dikumpulkan dari masyarakat adalah dana amanat, sehingga hasil pengembangannya,

akan di manfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan peserta.


3. Prinsip Keterbukaan, Kehati-hatian, Akuntabilitas, Efisiensi, dan Efektivitas

Prinsip prinsip manajemen ini mendasari seluruh kegiatan pengelolaan dana

yang berasal dari iuran peserta dan hasil pengembangannya.

a. Prinsip Portabilitas. Prinsip portabilitas jaminan sosial dimaksudkan untuk

memberikan jaminan yang berkelanjutan kepada peserta sekalipun mereka

berpindah pekerjaan atau tempat tinggal dalam wilayah Negara Kesatuan

Republik Indonesia.

b. Prinsip Kepesertaan Bersifat Wajib. Kepesertaan wajib dimaksudkan agar seluruh

rakyat menjadi peserta sehingga dapat terlindungi. Meskipun kepesertaan bersifat

wajib bagi seluruh rakyat, penerapannya tetap disesuaikan dengan kemampuan

ekonomi rakyat dan pemerintah serta kelayakan penyelenggaraan program.

Tahapan pertama dimulai dari pekerja di sektor formal, bersamaan dengan itu

sektor informal dapat menjadi peserta secara mandiri, sehingga pada akhirnya

Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dapat mencakup seluruh rakyat.

c. Prinsip Dana Amanat. Dana yang terkumpul dari iuran peserta merupakan dana

titipan kepada badan-badan penyelenggara untuk dikelola sebaik-baiknya dalam

rangka mengoptimalkan dana tersebut untuk kesejahteraan peserta. Prinsip hasil

pengelolaan Dana Jaminan Sosial Di pergunakan seluruhnya untuk

pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta.

2.1.3 Kepesertaan

1. Peserta adalah setiap orang yang telah membayar iuran (bukan penerima bantuan

iuran) atau iurannya di bayar oleh pemerintah (penerima bantuan iuran) seperti

yang dinyatakan oleh (UU No. 40 Tahun 2004 Pasal 20 ayat 1).
2. Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan (PBI) : fakir miskin dan orang tidak

mampu, dengan penetepan peserta sesuai kebetuhan peraturan perundang-

undangan.

3. Bukan penerima bantuan jaminan kesehatan (Non PBI) terdiri dari :

1) Pekerja penerima upah dan anggota keluarganya, yaitu:

a. Pegawai Negeri Sipil

b. Anggota TNI

c. Anggota Polri

d. Pejabat Negara

e. Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri

f. Pegawai Swasta

g. Pekerja yang tidak termasuk huruf a sampai dengan huruf f yang menerima

upah.

2) Pekerja bukan penerima upah dan anggota keluarganya, yaitu:

a. Pekerja di luar hubungan kerja atau Pekerja mandiri dan

b. Pekerja yang tidak termasuk huruf a yang bukan penerima upah.

c. Pekerja sebagaimana dimaksud huruf a dan huruf b, termasuk warga negara

asing yang bekerja di Indonesia paling singkat 6 (enam) bulan.

3) Bukan Pekerja dan anggota keluarganya terdiri atas:

a. Investor

b. Pemberi Kerja

c. Penerima Pensiun

d. Veteran
e. Perintis Kemerdekaan

f. Bukan Pekerja yang tidak termasuk huruf a sampai dengan huruf e yang

mampu membayar Iuran.

4) Penerima pensiun terdiri atas:

a. Pegawai Negeri Sipil yang berhenti dengan hak pensiun;

b. Anggota TNI dan Anggota Polri yang berhenti dengan hak pensiun;

c. Pejabat Negara yang berhenti dengan hak pensiun;

d. Penerima Pensiun selain huruf a, huruf b, dan huruf c; dan

e. Janda, duda, atau anak yatim piatu dari penerima pensiun sebagaimana

dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf d yang mendapat hak pensiun.

Anggota keluarga bagi pekerja penerima upah meliputi:

a. Istri atau suami yang sah dari peserta dan melaporkan data kepesertaannya kepada

BPJS kesehatan dengan menunjukkan identitas peserta pada saat pindah domisili

dan tempat kerja.

b. Anak kandung, anak tiri dan/atau anak angkat yang sah dari peserta, dengan

kriteria: tidak atau belum pernah menikah atau tidak mempunyai penghasilan

sendiri dan belum berusia 21 tahun atau belum berusia 25 tahun yang masih

melanjutkan pendidikan formal.

Sedangkan Peserta bukan PBI JKN dapat juga mengikutsertakan anggota

keluarga yang lain.

1. WNI di Luar Negeri. Jaminan kesehatan bagi pekerja WNI yang bekerja di luar

negeri diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tersendiri.


2. Syarat pendaftaran. Syarat pendaftaran akan diatur kemudian dalam peraturan

BPJS

3. Lokasi pendaftaran. Pendaftaran Peserta dilakukan di kantor BPJS

terdekat/setempat.

4. Prosedur pendaftaran peserta. Pemerintah mendaftarkan PBI JKN sebagai peserta

kepada BPJS Kesehatan, pemberi kerja mendaftarkan pekerjanya atau pekerja

dapat mendaftarkan diri sebagai peserta kepada BPJS Kesehatan, bukan pekerja

dan peserta lainnya wajib mendaftarkan diri dan keluarganya sebagai Peserta

kepada BPJS Kesehatan.

5. Hak dan kewajiban Peserta. Setiap Peserta yang telah terdaftar pada BPJS

kesehatan berhak mendapatkan Identitas peserta dan manfaat pelayanan

kesehatan di Fasilitas Kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.

Setiap Peserta yang telah terdaftar pada BPJS Kesehatan berkewajiban untuk

membayar iuran dan melaporkan data kepesertaannya kepada BPJS kesehatan

dengan menunjukkan identitas Peserta pada saat pindah domisili dan atau pindah

kerja.

6. Masa Berlaku Kepesertaan. Kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional berlaku

selama yang bersangkutan membayar Iuran sesuai dengan kelompok peserta,

status kepesertaan akan hilang bila Peserta tidak membayar Iuran atau meninggal

dunia, ketentuan lebih lanjut terhadap hal tersebut di atas, akan diatur oleh

Peraturan BPJS.

7. Pentahapan Kepesertaan. Kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional dilakukan

secara bertahap, yaitu tahap pertama mulai 1 Januari 2014, kepesertaannya paling
sedikit meliputi: PBI Jaminan Kesehatan; Anggota TNI/PNS di lingkungan

Kementerian Pertahanan dan anggota keluarganya; Anggota Polri/PNS di

lingkungan Polri dan anggota keluarganya; peserta asuransi kesehatan PT Askes

(Persero) beserta anggota keluarganya, serta peserta jaminan pemeliharaan

kesehatan Jamsostek dan anggota keluarganya (UU No. 40 Tahun 2004 Pasal 20

ayat 1).

2.2 Implementasi Kebijakan

2.2.1 Pengertian Kebijakan

Menurut Carl Friedrich kebijakan adalah suatu tindakan yang mengarah pada

tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu

lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya

mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang

diinginkan. Anderson merumuskan kebijakan sebagai langkah tindakan yang secara

sengaja dilakukan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor berkenaan dengan adanya

masalah atau persoalan tertentu yang dihadapi (Winarno, 2012).

2.2.2 Pengertian Implementasi Kebijakan

Meter dan Horn (1975) mendefinisikan implementasi kebijakan sebagai

tindakan yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta baik secara individu

maupun kelompok yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan sebagaimana yang

dirumuskan didalam kebijakan (Wibawa, 1994). Menurut Winarno (2012)


implementasi kebijakan merupakan tahap dari proses kebijakan segera setelah

penetapan undang-undang. Implementasi di pandang secara luas mempunyai makna

pelaksanaan undang-undang dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur, dan teknik

bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan dalam upaya untuk meraih

tujuan-tujuan kebijakan atau program-program.

Implementasi kebijakan merupakan tahap yang paling penting dalam proses

kebijakan. Kebijakan dalam suatu program harus diimplementasikan agar dapat

diketahui dampak atau tujuan yang diinginkan. Pada akhirnya dampak dari

implementasi mempunyai makna telah ada perubahan yang bisa diukur dalam

masalah yang luas yang dikaitkan dengan program, undang-undang publik. Fungsi

dari Implementasi kebijakan itu sendiri adalah untuk membentuk suatu hubungan

yang memungkinkan tujuan-tujuan ataupun sasaran-sasaran kebijakan publik yang

diwujudkan sebagai outcame (Wahab, 2004).

Implementasi atau pelaksanaan merupakan kegiatan yang penting dari

keseluruhan proses perencanaan program/kebijakan. Kebijakan yang telah

direkomendasikan untuk dipilih oleh policy makers bukanlah jaminan bahwa

kebijakan tersebut pasti berhasil dalam implementasinya. Ada banyak variabel yang

memengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan baik bersifat individual maupun

kelompok atau institusi. Implementasi dari suatu program melibatkan upaya-upaya

policy makers untuk memengaruhi perilaku birokrat pelaksana agar bersedia

memberikan pelayanan dan mengatur perilaku kelompok sasaran (Subarsono, 2005).


2.2.3. Teori George C. Edwards III (1980)

Model implementasi dalam pandangan George C.Edwards ini lebih melihat

dari sisi administrasinya. Dalam pandangan Edwards III, implementasi kebijakan di

implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel, yaitu:

a. Komunikasi

Keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar implementor

mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran

kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran sehingga akan mengurangi

distorsi implementasi. Apabila tujuan dan sasaran suatu kebijakan tidak jelas, tidak

disosialisasikan atau bahkan tidak diketahui sama sekali oleh kelompok sasaran,

maka kemungkinan akan terjadi resistensi dari kelompok sasaran.

b. Sumber daya

Walaupun isi kebijakan sudah di komunikasikan/disosialisasikan secara jelas

dan konsisten, tetapi bila implementor kekurangan sumber daya untuk melaksanakan,

implementasi tidak akan berjalan dengan efektif. Tanpa sumberdaya, kebijakan hanya

tinggal di atas kertas dan menjadi dokumen saja. Sumberdaya tersebut dapat

berwujud sumberdaya manusia, yakni kompetensi implementor, dan sumberdaya

finansial, sarana prasarana serta fasilitas-fasilitas atau infrastruktur.

c. Disposisi

Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor,

seperti kejujuran, komitmen, kerjasama tim, respon dan sifat demokratis. Apabila

implementor memiliki disposisi yang baik, maka dia akan dapat menjalankan
kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Ketika

implementor memiliki sikap atau perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan,

maka proses implementasi kebijakan juga menjadi tidak efektif.

d. Struktur Birokrasi

Struktur birokrasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki

pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu dari aspek

struktur yang paling penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur operasi

yang standar (standart operating procedure) atau SOP. Dengan menggunakan SOP,

para pelaksana dapat memanfaatkan waktu yang tersedia. SOP menjadi pedoman bagi

setiap implementor dalam bertindak. (Subarsono, 2005).

2.2.4. Implementasi Kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional

Dalam implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) telah diatur pola

pembayaran kepada fasilitas kesehatan tingkat lanjutan adalah dengan INA CBG’s

sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan

sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013. Untuk

tarif yang berlaku pada 1 Januari 2014, telah dilakukan penyesuaian dari tarif INA

CBG’S Jamkesmas dan telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor

69 Tahun 2013 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan pada Fasilitas Kesehatan

Tingkat Pertama dan Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan dalam penyelenggaraan

Jaminan Kesehatan (Permenkes No 27 Tahun 2014)

Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) adalah suatu

program Pemerintah dan Masyarakat/Rakyat dengan tujuan memberikan kepastian


jaminan kesehatan yang menyeluruh bagi setiap rakyat Indonesia agar penduduk

Indonesia dapat hidup sehat, produktif, dan sejahtera. Program ini menjadi prioritas

Pemerintah, yaitu Program Kementerian Kesehatan dan Program Dewan Jaminan

Sosial Nasional. UU SJSN No 40 tahun 2004 menetapkan asuransi sosial dan ekuitas

sebagai prinsip penyelenggaraan JKN. Kedua prinsip dilaksanakan dengan

menetapkan kepesertaan wajib dan penahapan implementasinya, iuran sesuai dengan

besaran pendapatan, manfaat JKN sesuai dengan kebutuhan medis, serta tata kelola

dana amanah peserta oleh badan penyelenggara nirlaba dengan mengedepankan

Kehati-hatian, akuntabilitas efisiensi dan efektifitas (Kemenkes RI, 2014)

Kebijakan kesehatan nasional merupakan sejumlah keputusan yang dibuat

oleh mereka yang bertanggung jawab dalam bidang kesehatan, untuk dapat

memberikan arahan dalam pemecahan masalah kesehatan supaya tujuan tercapai.

Sektor kesehatan merupakan bagian penting dari perekonomian di berbagai negara.

Sejumlah pendapat menyatakan bahwa sektor kesehatan sama dengan spons yang

dapat menyerap banyak sumber daya nasional untuk membiayai banyak tenaga

kesehatan (Thabrany, 2014).

Ada juga pendapat menyatakan bahwa sektor kesehatan merupakan

pembangkit perekonomian melalui inovasi dan investasi di bidang technologi

biomedis atau produksi dan penjualan obat-obatan atau dengan menjamin adanya

populasi yang sehat yang produktif secara ekonomi. Sebagian masyarakat selalu

mengunjungi fasilitas kesehatan sebagai pasien dengan memanfaatkan rumah sakit,

klinik ataupun apotik, begitu juga dengan profesi kesehatan. Karena pengambilan

keputusan kesehatan berkaitan dengan kematian dan keselamatan, kesehatan


diletakkan pada posisi yg lebih istimewa dibanding dgn masalah sosial lainnya.

Kesehatan juga dipengaruhi oleh masalah sosialnya lainnya misalnya kemiskinan

(Thabrany, 2014).

Memahami hubungan antara kebijakan kesehatan dan kesehatan itu sendiri

menjadi sedemikian pentingnya sehingga memungkinkan untuk menyelesaikan

masalah kesehatan, misalnya meningkatnya obesitas, penyakit degenerative dan non

degenerative, penyakit katrastopik, wabah HIV AIDS. Tujuan dari kebijakan

kesehatan memberi arahan dalam pemilihan teknologi kesehatan yang akan

dikembangkan dan digunakan, mengelola dan membiayai layanan kesehatan (Teguh,

2015)

2.2.5. Faktor–Faktor yang Memengaruhi Kebijakan Kesehatan

Menurut Leichter dalam Kent Buse (2009), faktor-faktor yang memengaruhi

kebijakan kesehatan adalah:

1. Faktor Situasional

Keadaan ini merupakan kondisi yang tidak permanen atau khusus yang dapat

berdampak pada kebijakan. Faktor ini bersifat satu kejadian atau terlalu lama menjadi

perhatian publik.

2. Faktor Struktural

Faktor ini meliputi :

a. Sistem politik yaitu mencakup keterbukaan sistem dan kesempatan bagi warga

masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembahasaan dan keputusan kebijakan.

b. Bidang ekonomi dan dasar untuk tenaga kerja (contohnya banyak tenaga yang

terlatih pada satu daerah, tapi pekerjaan sedikit, maka negara dapat

memindahkan tenaga profesional ke daerah yang kurang tenaga)


c. Kondisi demografi atau kemajuan teknologi (contohnya Perubahan teknologi

menambah jumlah wanita hamil melahirkan secara cesar.

d. Kekayaan suatu negara akan berpengaruh kuat terhadap jenis layanan kesehatan.

3. Faktor Budaya

Kedudukan sabagai minoritas atau perbedaan bahasa dapat menyebabkan

kelompok tertentu memiliki informasi yang tidak sama tentang hak-hak mereka,

ataupun menerima layanan tidak sesuai dengan kebutuhan mereka. Misalnya di

beberapa negara para wanita tidak dapat mudah mengunjungi fasilitas kesehatan

(karena harus ditemani suami atau keluarga, contohnya TBC, HIV).

4. Faktor Internasional

Dapat menyebabkan meningkatnya ketergantungan antar negara dan

memengaruhi kemandirian dan kerjasama internasional dalam kesehatan. Meskipun

banyaknya masalah kesehatan berhubungan dengan pemerintah nasional, sebagian

dari masalah memerlukan kerjasama organisasi tingkat nasional, regional maupun

multilateral, contohnya pembrantasan polio.

2.2.6. Implementasi Kebijakan JKN Tentang Klaim INA CBG’s di Rumah


Sakit

Merupakan pelaksanaan suatu kebijakan yang telah dibuat oleh Pemerintah

terkait dengan pembiayaan kesehatan dari program JKN yang disebut dengan klaim

INA CBG’s. Klaim INA CBG’s adalah metode pembayaran prospektif yang

merupakan metode pembayaran yang dilakukan atas layanan kesehatan yang

besarannya sudah diketahui sebelum pelayanan kesehatan diberikan berdasarkan


diagnosa sehingga program INA CBG’s dapat mengendalikan mutu dan biaya

(Permenkes No.76, 2016).

Berdasarkan Peraturan Mentari Kesehatan No. 71 tahun (2013) tentang

Pelayanan Kesehatan Pada Jaminan Kesehatan Nasional, Penyelanggara pelayanan

kesehatan meliputi semua fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS

Kesehatan berupa fasilitas kesehatan tingkat pertama dan fasilitas kesehatan rujukan

tingkat lanjutan. Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan terdiri dari

(Permenkes 71/2013 pasal 2) :

a. Klinik utama yang setara

b. Rumah sakit umum

c. Rumah sakit khusus

Pelayanan Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan meliputi (Permenkes 71/2013

pasal 2) :

a. Administrasi pelayanan

b. Pemeriksaan, pengobatan dan konsultasi spesialistik oleh dokter spesialis dan

subspesialis

c. Tindakan medis spesialistik baik bedah maupun non bedah sesuai dengan indikasi

medis

d. Pelayanan obat dan bahan medis habis pakai

e. Pelayanan penunjang diagnostik lanjutan sesuai dengan indikasi medis

f. Rehabilitasi medis

g. Pelayanan darah
h. Pelayanan kedokteran forensik klinik

i. Pelayanan jenazah pasien yang meninggal di fasilitas kesehatan

j. Perawatan inap non intensif

k. Perawatan inap di ruang intensif

Berdasarkan hasil penelitian Putra, 2014 tentang implementasi jaminan

kesehatan di RSU Kota Tangerang Selatan belum maksimal dalam pelaksanaanya,

terutama dalam hal pencairan klaim yang masih terlambat, nilai tarif pelayanan yang

berbeda dengan paket INA CBG’s, teknologi informasi yang belum maksimal, serta

SDM non-medis yang masih kurang mencukupi.

2.3. Sistem Pembiayaan Kesehatan

Sistem pembiayaan kesehatan adalah bentuk dan cara penyelenggaraan ber

bagai upaya penggalian, pengalokasian, dan pembelanjaan dana kesehatan untuk

mendukung penyelenggaraan pembangunan kesehatan guna mencapai derajat

kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Tujuan dari penyelenggaraan sistem

pembiayaan kesehatan adalah tersedianya dana kesehatan dalam jumlah yang

mencukupi, teralokasi secara adil, merata dan termanfaatkan secara berhasil guna dan

berdaya guna, baik yang memberi pelayanan kesehatan maupun yang menerima

pelayanan kesehatan sehingga tersalurkan sesuai peruntukannya untuk menjamin

terselenggaranya pembangunan kesehatan melalui Jaminan Kesehatan Nasional

dengan program sistem INA CBG’s (Depkes, 2009).


2.3.1. INA CBG’s

INA CBG’s merupakan kelanjutan dari aplikasi Indonesia Diagnosis Related

Groups (INA DRGs). Aplikasi INA CBG’s menggantikan fungsi dari aplikasi INA

DRG yang saat itu digunakan pada tahun 2008 untuk mengelola pembiayaan.

Pelaksanaan JKN dengan sistem INA CBG’s merupakan salah satu instrumen penting

dalam pengajuan dan pembayaran klaim pembayaran pelayanan kesehatan yang telah

dilaksanakan oleh FKRTL yang telah bekerjasama dengan BPJS Kesehatan, maka

pihak manajemen maupun fungsional di setiap FKRTL tersebut perlu memahami

konsep implementasi INA CBG’s dalam program JKN (Permenkes No 76, 2016).

Sistem INA CBG’s terdiri dari beberapa komponen yang saling terkait satu

sama lain. Komponen yang berhubungan langsung dengan output pelayanan adalah

clinical pathway, coding dan teknologi informasi, sedangkan secara terpisah terdapat

komponen kosting yang secara tidak langsung memengaruhi proses penyusunan tarif

INA CBG’s untuk setiap kelompok kasus pada pembiayan kesehatan (Permenkes No

76, 2016).

Pembiayaan kesehatan merupakan bagian yang penting dalam implementasi

Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Pembiayaan kesehatan di fasilitas kesehatan

diperoleh dengan dilakukannya pembayaran oleh penyelenggara asuransi kesehatan

atas pelayanan kesehatan yang diberikan kepada peserta, yang bertujuan untuk

mendorong peningkatan mutu, mendorong layanan berorientasi pasien, mendorong

efisiensi dengan tidak memberikan reward terhadap provider yang melakukan over

treatment, under treatment maupun melakukan adverse event dan mendorong


pelayanan tim. Dengan sistem pembiayaan yang tepat diharapkan tujuan di atas bisa

tercapai (Permenkes No 76, 2016).

Terdapat dua metode pembayaran rumah sakit yang digunakan yaitu metode

pembayaran retrospektif dan metode pembayaran prospektif. Metode pembayaran

retrospektif adalah metode pembayaran yang dilakukan atas layanan kesehatan yang

diberikan kepada pasien berdasar pada setiap aktifitas layanan yang diberikan,

semakin banyak layanan kesehatan yang diberikan semakin besar biaya yang harus

dibayarkan. Contoh pola pembayaran retrospektif adalah Fee For Services (FFS).

Metode pembayaran prospektif adalah metode pembayaran yang dilakukan atas

layanan kesehatan yang besarannya sudah diketahui sebelum pelayanan kesehatan

diberikan. Contoh pembayaran prospektif adalah global budget, perdiem, kapitasi dan

case based payment (Permenkes No 76, 2016).

2.3.2. Klaim INA CBG’s

Klaim INA CBG’s adalah klaim yang dilakukan dengan metode pembayaran

prospektif yang merupakan metode pembayaran yang dilakukan atas layanan

kesehatan yang besarannya sudah diketahui sebelum pelayanan kesehatan diberikan.

Contoh pembayaran prospektif adalah global budget, Perdiem, kapitasi dan case

based payment. Tidak ada satupun sistem pembiayaan yang sempurna, setiap sistem

pembiayaan memiliki kelebihan dan kekurangan. Pembayaran atau klaim yang

dilakukan di rumah sakit provider BJPS adalah menggunakan pembayaran prospektif.

Pembayaran prospektif menjadi pilihan karena (Permenkes No 27, 2014) :


1. Dapat mengendalikan biaya kesehatan

2. mendorong pelayanan kesehatan tetap bermutu sesuai standar

3. Membatas pelayanan kesehatan yang tidak di perlukan berlebihan atau under

use

4. Mempermudah administrasi klaim

5. Mendorong provider untuk melakukan cost containment

Di Indonesia, metode pembayaran prospektif dikenal dengan Casemix (case

based payment) dan sudah diterapkan sejak Tahun 2008 sebagai metode pembayaran

pada program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Sistem casemix adalah

pengelompokan diagnosis dan prosedur dengan mengacu pada ciri klinis yang

mirip/sama dan penggunaan sumber daya/biaya perawatan yang mirip/sama,

pengelompokan dilakukan dengan menggunakan software grouper. Sistem casemix

saat ini banyak digunakan sebagai dasar sistem pembayaran kesehatan di negara maju

dan sedang dikembangkan di negara-negara berkembang (Permenkes No 27, 2014).

Dalam implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) telah diatur pola

pembayaran kepada fasilitas kesehatan tingkat lanjutan adalah dengan INA CBG’s

sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan

sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013. Untuk

tarif yang berlaku pada 1 Januari 2014, telah dilakukan penyesuaian dari tarif INA

CBG’s Jamkesmas dan telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor

69 Tahun 2013 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan pada Fasilitas Kesehatan

Tingkat Pertama dan Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan dalam penyelenggaraan

Jaminan Kesehatan.
2.3.3. Dokumen - Dokumen Yang Digunakan Untuk Proses Klaim

Formulir atau dokumen Rekam Medis yang digunakan untuk Klaim BPJS

antara lain :

a. Kartu Peserta BPJS

b. Surat Rujukan

c. SEP (Surat Egibilitas Pasien)

d. RJTL (Resume Pasien Rawat Jalan)

e. Kuitansi Pembayaran

f. Fotocopy Kartu Keluarga

g. Fotocopy KTP

h. Dokumen - Dokumen dari unit pelayanan kesehatan di rumah sakit (resume

medis, bukti pemeriksaan, bukti penunjang diagnostik, bukti tindakan medik,

bukti diagnosis yang menyebutkan atau tertera nama dokter yang menangani,

bukti resep dokter

Dokumen tersebut ditanda tangani oleh petugas penanggung jawab di masing-

masing unit terhadap setiap kegiatan pelayanan yang diberikan kepada pasien.

Hasil penelitian Nurhidayati, 2016 di RSUD Kota Yogyakarta tentang klaim

INA CBG’s berdasarkan dokumen (rekam medis) menunjukkan tarif yang

signifikan, dimana terdapat selisih tarif negatif yang berakibat pada kerugian bagi

rumah sakit. Tarif klaim INA CBG’s berdasarkan Formulir Resume Medis pasien

yang tidak lengkap untuk diagnosis dan prosedur medis yang telah dibandingkan

antara tarif riil yang dikeluarkan Rumah Sakit dengan Tarif INA CBG’s
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan 27,5% atau Rp.171.322.363,00 dari data tarif

riil yang dikeluarkan oleh rumah sakit dibandingkan dengan tariff klaim INA CBG’s.

Total tarif riil yang dikeluarkan rumah sakit menunjukkan angka yang lebih tinggi

dibandingkan dengan tarif klaim INA CBG’s, yaitu sebesar Rp. 624.304.363,00,

sedangkan tarif klaim INA CBG’s sebesar Rp. 452.982.000,00.

2.3.4. Prosedur Klaim BPJS

Sebelum dilakukan pengecekan terhadap dikelayakan berkas persyaratan oleh

petugas verifikator BPJS. Petugas menyiapkan dokumen klaim yang telah dilakukan

grouper sesuai paket INA CBG’s oleh petugas Klaim. Proses administrasi klaim

BPJS antara lain :

a. Petugas klaim menyiapkan dokumen klaim berupa hasil pelayanan kesehatan

yang diberikan kepada pasien sesuai tarif rumah sakit kepada verifikator BPJS.

b. Petugas verifikasi BPJS melakukan pengecekan terhadap kelayakan dokumen

klaim meliputi layak kepesertaan, layak medik dan layak bayar.

c. Dokumen yang sudah di cek oleh petugas verifikasi untuk layak diklaimkan akan

di rekap dari semua data pasien satu bulan.

d. Sedangkan data yang belum layak untuk diklaimkan di kembalikan untuk di

lengkapi terlebih dahulu.

e. Rumah Sakit mengajukan klaim ke BPJS yang sudah lengkap dengan tanda

tangan Direktur Rumah Sakit bersama dengan koordinator verifikator disertai

catatan jika ada ketidaksesuaian dengan ketentuan.


f. Verifikator BPJS melakukan verifikasi atas klaim yang diajukan rumah sakit

untuk mendapatkan pencairan dana.

2.3.5. Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Klaim INA CBG’s dan Strategi


Dalam Mengantisipasinya

Menurut Aljunid, rumah sakit bisa mengalami kerugian apabila bekerjasama

dengan BPJS jika (Pribadi, 2016) :

1. Tarif BPJS terlalu rendah

2. Rumah sakit tidak memahami kode dan biaya sebenarnya dari setiap diagnosis

penyakit.

3. Rumah sakit tidak memiliki Clinical Pathway minimal untuk penyakit-penyakit

yang masuk dalam kategori minimal 10 besar di rumah sakitnya sehingga biaya

yang dikeluarkan menjadi tidak efisien.

4. Dokter terutama dokter spesialis malas mengisi rekam medis dengan baik,

sehingga diagnosa baik primer maupun sekunder tidak tertuliskan dengan baik.

5. Kesalahan dalam menginput diagnosis penyakit ke software INA CBG’s sehingga

biaya yang dibayarkan ke rumah sakit tidak sesuai dengan klaim.

Dalam bekerjasama dengan BPJS rumah sakit perlu mempersiapkan diri

dengan baik sesuai dengan ketentuan UU rumah sakit dan akreditasi rumah sakit

terbaru (akreditasi RS 2012) atau JCI, yaitu dengan:

1. Menyiapkan pelayanan yang semakin bermutu dengan berorientasi pada

keselamatan pasien,

2. Mampu meningkatkan efisiensi dengan tetap melaksanakan kendali mutu dan

kendali biaya dalam memberikan pelayanan,


3. Menyiapkan sistem keuangan yang baik agar mampu menghasilkan informasi unit

cost.

Kemudian untuk menghindari kerugian hal yang dapat dilakukan oleh rumah

sakit adalah dengan perlu memperhatikan hal-hal berikut:

1. Sistem coding.

Dokter dan Koder mempunyai peran yang penting dalam penerapan sistem

kode INA CBG’s, karena diagnosa dan prosedur atau tindakan yang telah dituliskan

oleh dokter selanjutnya diberi kode yang sesuai berdasarkan pada ICD-10 & ICD 9-

CM oleh coder. Kesalahan dalam pemberian kode diagnosa dan prosedur akan

memengaruhi klaim pelayanan kesehatan di rumah sakit.

Peran dokter disini adalah menegakkan dan menuliskan diagnosis primer dan

sekunder (bila ada) sesuai dengan ICD 10. Menulis seluruh prosedur atau tindakan

yang telah dilaksanakan sesuai dengan ICD–9CM. Dan kemudian membuat resume

medis pasien secara lengkap dan jelas selama pasien dirawat di rumah sakit.

Karenanya ketersediaan rekam medis dan resume medis yang baik menjadi sangat

penting. Peran coder selanjutnya melakukan kodifikasi dari diagnosis dan prosedur

atau tindakan yang diisi oleh dokter yang merawat pasien sesuai dengan ICD 10

untuk diagnosa dan ICD 9 CM untuk prosedur atau tindakan. Pada keadaan adanya

informasi yang dapat menunjukkan bahwa dokter salah menulis penempatan

diagnosis utama atau sekunder tidak mengikuti aturan ICD yang benar maka rumah

sakit perlu untuk :


a. melakukan klarifikasi atau minta penjelasan kepada dokter yang merawat,

b. Jika tidak mungkin gunakan peraturan reseleksi pada ICD (volume 2 MB1 s/d

MB5)

Diagnosa utama atau diagnosa primer adalah diagnosa akhir yang dipilih

dokter pada hari terakhir perawatan dengan kriteria paling banyak menggunakan

sumber daya atau hari rawatan paling lama (LOS paling lama). Diagnosa sekunder

adalah diagnosa selain diagnosa utama yang muncul atau sudah ada sebelum dan

selama dirawat di rumah sakit. Diagnosa sekunder terdiri dari diagnosa penyerta

(comorbidity) dan diagnosa penyulit (complication). Permasalahan yang bisa terjadi

adalah diagnosa sekunder atau diagnosa penyerta & diagnosa penyulit ini sering

lupa/ tidak tertulis sehingga akan menyebabkan klaim menjadi lebih kecil.

Untuk menghindari ketidak lengkapan pencatatan terkait dengan diagnosis

primer dan sekunder ini terutama jika dokter tidak menuliskannya dengan lengkap,

maka perlu di bentuk tim verifikator internal bisa dari dokter umum atau perawat

yang bertugas memberitahukan dokter tersebut bahwa yang bersangkutan belum

menuliskan diagnosisnya dengan lengkap atau diagnosis sekundernya belum

tertuliskan.

2. Penyusunan Clinical Pathways

Clinical pathway adalah suatu konsep perencanaan pelayanan terpadu yang

merangkum setiap langkah yang diberikan kepada pasien berdasarkan standar

pelayanan medis dan asuhan keperawatan yang berbasis bukti dengan hasil yang

terukur dan dalam jangka waktu tertentu selama di rumah sakit Firmanda (2005).
Untuk keberhasilan pelaksanaan Clinical Pathway komitmen dokter

merupakan hal sangat penting, karena Clinical Pathway akan menjadi acuan untuk

informasi perhitungan unit cost guna mencapai pengendalian biaya dan

pengendalian mutu. Hal ini sesuai dengan tujuan dari penyusunan Clinical

Pathway yaitu untuk membuat standarisasi pemeriksaan dan perawatan pasien yang

memiliki pola tertentu, dan data dari Clinical Pathway selanjutnya akan menjadi

masukan bagi perhitungan pembiayaan INA CBG’s agar terjadi kendali mutu dan

kendali biaya (Pribadi, 2016). Langkah-langkah penyusunan format clinical pathway

memenuhi hal-hal sebagai berikut (Firmanda, 2015) :

a. Komponen yang mencakup definisi dari clinical pathway.

b. Memanfaatkan data yang ada di lapangan rumah sakit dan kondisi setempat yaitu

data laporan morbiditas pasien yang dibuat setiap rumah sakit berdasarkan buku

petunjuk pengisian, pengolahan dan penyajian data rumah sakit dan sensus harian

untuk penetapan topik clinical pathway yang akan dibuat dan lama hari rawat.

c. Variabel tindakan dan obat-obatan mengacu kepada standar pelayanan medis,

standar prosedur operasional dan daftar standar formularium yang telah ada di

rumah sakit.

Kriteria untuk membentuk Clinical Pathway adalah: Volume tinggi, Biaya

tinggi, Risiko tinggi, dan Kasus tunggal. Rumah sakit hendaknya memiliki minimal

10 Clinical pathway untuk kasus terbanyak atau 10 besar penyakit di rumah sakitnya

masing-masing. Tidak hanya itu rumah sakit juga hendaknya memiliki

Sistem Costing. Tujuan dari costing adalah tercapainya efisiensi di rumah sakit
melalui pengendalian biaya (cost containtment). Hal-hal yang perlu disiapkan dalam

sistem costing adalah:

1. Perhitungan Unit cost,

2. Clinical Pathway,

3. Dan penyusunan Kebijakan RS yang terkait dengan: Obat & alkes, Pemeriksaan

Penunjang, jasa medis dan lain lainnya untuk tujuan efisiensi

Untuk itu menurut Aljunid, rumah sakit perlu membentuk tim costing yang

bertugas menghitung unit cost pelayanan dengan mendasarkan perhitunganya pada

Clinical pathway dan membandingkanya dengan tarif INA-CBG’s, tentunya dengan

harapan pendapatan total akan lebih besar daripada biaya yang telah dikeluarkan.

Beberapa hal yang terjadi di rumah sakit terkait dengan pelaksanaan JKN selama ini

adalah (Pribadi, 2016):

1. Jika ada potensi rugi maka pasien selanjutnya akan di rujuk.

2. Banyak RS mengalami kerugian dikarenakan:

a. visitasi dokter yang terlalu banyak,

b. biaya obat mencapai hampir 40%,

c. banyaknya kasus-kasus dengan LOS tinggi,

d. adanya kasus-kasus operasi besar khusus yang memakan biaya operasional

mahal dengan LOS yang tinggi,

e. penggunaan AMHP yang mahal,

f. adanya pemberian snack dalam penyediaan gizi

Cara menghindari kerugian tersebut bisa dilakukan oleh RS dengan:

1. Membatasi visitasi dokter dengan 1 kali per hari


2. Melakukan pengawasan formularium dengan ketat,

3. Melakukan pemulangan secara administratif maksudnya disini pasien secara

fisik tidak dipulangkan tetapi hanya dipulangkan secara administrasi saja,

karena itu keluarga pasien akan kembali ke puskemas untuk mendapatkan

rujukan kembali. Selama masa pengurusan rujukan biaya pasien selama 1-2

hari ditanggung oleh rumah sakit.

4. Alat Medik Habis Pakai (AMHP) menggunakan kualitas yang lebih rendah.

5. Menghilangkan porsi snack dalam pemberian gizi ternyata memberikan

penghematan yang cukup besar bagi rumah sakit.

Berdasarkan cara-cara penghematan yang dilakukan memang tampak

adanya moral hazard dalam tingkatan yang rendah, dan penurunan dari kualitas

pelayanan, walaupun secara keseluruhan tidak menurunkan kualitas pelayanan medik

yang diberikan. Dari teori tersebut dapat disimpulkan bahwa program JKN dengan

system INA CBG’s jangan dijadikan sebagai suatu ancaman, melainkan sebuah

peluang bagi rumah sakit untuk meningkatkan pendapatannya. Rumah sakit akan

mampu bertahan hidup jika mempersiapkan diri dengan baik asalkan mampu menjaga

standar mutu dan standar biaya, selanjutnya rumah sakit perlu memperhatikan

bagaimana ketiga pilar yang telah di sebutkan yaitu sistem coding, clinical pathway

dan sistem costing bisa dilaksanakan dengan baik yang tentunya perlu di dukung

dengan kebijakan yang tepat terkait obat, alkes dan pelayanan lainnya untuk

tercapainya efisiensi, karenanya kerugian yang terjadi bisa di hindari (Pribadi, 2016).
2.4. Landasan Teori

Implementasi Kebijakan JKN dengan system INA CBG’s merupakan salah

satu instrument penting dalam pengajuan dan pembayaran klaim pelayanan kesehatan

pada faskes tingkat lanjutan, dimana system INA CBG’s menjadi pilihan pada

program JKN karena dapat mengendalikan mutu dan biaya kesehatan, serta dapat

mempermudah proses administrasi klaim (Permenkes No 76 Tahun 2016). Menurut

(Edwards, 1980) Implementasi Kebijakan dapat dipengaruhi oleh komunikasi,

sumber daya, disposisi dan birokrasi (Subarsono, 2009).

a. Komunikasi

Keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar implementor

mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran

kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran sehingga akan mengurangi

distorsi implementasi. Apabila tujuan dan sasaran suatu kebijakan tidak jelas, tidak

disosialisasikan atau bahkan tidak diketahui sama sekali oleh kelompok sasaran,

maka kemungkinan akan terjadi resistensi dari kelompok sasaran.

b. Sumberdaya

Walaupun isi kebijakan sudah di komunikasikan/disosialisasikan secara jelas

dan konsisten, tetapi bila implementor kekurangan sumber daya untuk melaksanakan,

implementasi tidak akan berjalan dengan efektif. Tanpa sumberdaya, kebijakan hanya

tinggal di atas kertas dan menjadi dokumen saja. Sumberdaya tersebut dapat

berwujud sumberdaya manusia, yakni kompetensi implementor, dan sumberdaya

financial, sarana prasarana serta fasilitas-fasilitas.


c. Disposisi

Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor,

seperti kejujuran, komitmen, kepatuhan, kerjasama tim, respon dan sifat demokratis.

Apabila implementor memiliki disposisi yang baik, maka dia akan dapat menjalankan

kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Ketika

implementor memiliki sikap atau perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan,

maka proses implementasi kebijakan juga menjadi tidak efektif.

d. Struktur Birokrasi

Terbentuknya struktur birokrasi yang bertugas mengimplementasikan

kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah

satu dari aspek struktur yang paling penting dari setiap organisasi adalah adanya

prosedur operasi yang standar (standart operating procedures atau SOP). Dengan

menggunakan SOP, para pelaksana dapat memanfaatkan waktu yang tersedia. SOP

menjadi pedoman bagi setiap implementor dalam bertindak atau melaksanakan

tindakan dalam mencapai tujuan. (Subarsono, 2005).

Komunikasi

Sumber
Daya Implementasi
Kebijakan
Disposisi

Stuktur Birokrasi

Gambar 2.1. Landasan Teori Implementasi Kebijakan


(Sumber : Winarno, 2012)
2.5. Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabe Dependen

Komunikasi

Sumber Daya Klaim INA CBG’s :

1. Sistem Coding
2. Clinical Pathway
Disposisi 3. Sitem Costing

Struktur Birokrasi

Gambar 2.2. Kerangka Konsep

2.6. Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada pengaruh komunikasi, sumber daya,

disposisi dan struktur birokrasi dengan implementasi kebijakan JKN tentang klaim

INA CBG’s.
BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian survei yang bersifat analitik, penelitian

yang diarahkan untuk menjelaskan suatu keadaan atau situasi dengan pendekatan

Cross Sectional, yang bertujuan ingin menganalisis Faktor-Faktor Yang

Memengaruhi Implementasi Kebijakan JKN tentang Klaim INA CBG’s di Rumah

Sakit Islam Malahayati Medan Tahun 2016.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan sejak Desember 2016 sampai dengan Desember

2017 di Rumah Sakit Islam Malahayati Medan.

3.3. Populasi dan Sampel

3.3.1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh petugas yang terkait dalam

melakukan proses klaim INA CBG’s di Rumah Sakit Islam Malahayati Medan yang

berjumlah 302 orang, yang terdiri dari petugas admisi 10 orang, farmasi 8 orang, tim

casemix 10 orang, dokter umum 15 orang, dokter spesialis 63 orang, perawat UGD 14

orang, perawat ruang rawat inap 108 orang, perawat/bidan ruang persalinan 10 orang,

perawat kamar bedah dan RR (recoveri room) 21 orang, perawat ruang HD 9 orang,

petugas poliklinik 14 orang, penunjang medis (lab 13 orang, radiologi 4 orang, gizi 3

orang).

40
3.3.2. Sampel

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan simple

random sampling,dimana sampel yang di ambil adalah petugas yang berhubungan

langsung dengan pelaksanaan proses klaim INA CBG’s di rumah sakit yang telah di

acak dengan menggunakan undian. Adapun rumus untuk menghitung jumlah sampel

dalam penelitian ini peneliti menggunakan rumus Slovin dalam Ridwan, 2005 yaitu :

N
𝑛=
1 + Nd2

Di mana :

n = Jumlah sampel

N = Jumlah populasi

d = level signifikansi yang di inginkan 0,1

302
𝑛=
1 + 302(0,1)2

302
𝑛=
1 + 302(0.01)

302
𝑛= = 75
4,02

Tabel 3.1 Besar Sampel di Setiap Ruang/Unit

Jumlah Besar
No Ruang/Unit Perhitungan
Populasi Sampel
1 Admisi 10 10/302 x 75 2
2 Farmasi 8 8/302 x 75 2
3 UGD 14 14/302 x 75 4
4 Ruang Rawat Inap 108 108/302 x 75 27
5 VK/Ruang Persalinan 10 10/302 x 75 2
6 Kamar Bedah 17 17/302 x 75 4
Tabel 3.1 (Lanjutan)

Jumlah Besar
No Ruang/Unit Perhitungan
Populasi Sampel
7 Ruang Pemulihan 4 4/302 x 75 1
8 Hemodialisa 9 9/302 x 75 2
9 Poliklinik 14 14/302 x 75 4
10 Laboratorium 13 13/302 x 75 3
11 Radiologi 4 4/302 x 75 1
12 Gizi 3 3/302 x 75 1
13 Casemix 10 10/302 x 75 2
14 Dokter Umum 15 15/302 x 75 4
15 Dokter Spesialis 63 63/302 x 75 16
Total 302 302/302 x 75 75

Dari hasil perhitungan tersebut maka jumlah sampel yang di ambil adalah

75 orang dari jumlah populasi sebanyak 302 orang.

3.4. Metode Pengumpulan Data

3.4.1. Data Primer

Data primer diperoleh melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner

yang meliputi faktor yang memengaruhi implementasi (komunikasi, sumber daya,

disposisi, struktur birokrasi) dan pelaksanaan klaim INA CBG’s (sistem coding,

clinical pathway, sistem costing).

3.4.2. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari telaah dokumen, undang-undang, SOP, resume

medis dan berkas-berkas yang menyangkut tentang klaim INA CBG’s. Peniliti juga

melakukan pengumpulan data dengan melakukan observasi terhadap petugas rumah

sakit yang terkait dalam pelaksanaan klaim INA CBG’s.


3.5. Validitas dan Realibilitas

Uji validitas dilakukan dengan mengukur korelasi skor item masing-masng

variabel dengan skor total masing-masing variabel menggunakan uji stastik Cronbach

Alpha. Untuk mengetahui item yang valid dan tidak valid, dilihat nilai korelasi dan

dibandingkan dengan nilai Tabel Corelasi Product Moment untuk alpha 0,05 yaitu

0,361. Item yang dikatakan valid jika koefisien korelasi > 0,36. Sementara itu uji

reliabilitas menggunakan koefisien Cronbach’s Alpha, apabila nilai Alpha Cronbac >

0,6 dikatakan reliabel (Sunyoto dan Setiawan, 2013). Uji coba instrument penelitian

dilakukan di Rumah Sakit Permata Bunda Medan dengan jumlah responsden

sebanyak 30 orang responsden, hasil uji dapat dilihat pada Tabel 3.2 :

Tabel 3.2 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Variabel Komunikasi, Sumber
Daya, Disposisi dan Struktur Birokrasi

No Corrected Item Cronbach’s


Variabel Ket Ket
Pertanyaan Total Correlation Alpha
1 0,866 Valid 0,862 Reliabel
2 0,806 Valid 0,872 Reliabel
3 0,817 Valid 0,871 Reliabel
Komunikasi 4 0,636 Valid 0,896 Reliabel
5 0,763 Valid 0,878 Reliabel
6 0,776 Valid 0,881 Reliabel
7 0,803 Valid 0,872 Reliabel
1 0,673 Valid 0,862 Reliabel
2 0,741 Valid 0,872 Reliabel
3 0,767 Valid 0,871 Reliabel
Sumber
4 0,752 Valid 0,896 Reliabel
Daya
5 0,765 Valid 0,878 Reliabel
6 0,774 Valid 0,881 Reliabel
7 0,792 Valid 0,872 Reliabel
1 0,566 Valid 0,863 Reliabel
2 0,577 Valid 0,856 Reliabel
Disposisi
3 0,741 Valid 0,849 Reliabel
4 0,663 Valid 0,856 Reliabel
Tabel 3.2 (Lanjutan)

No Corrected Item Cronbach’s


Variabel Ket Ket
Pertanyaan Total Correlation Alpha
5 0,638 Valid 0,850 Reliabel
Disposisi 6 0,682 Valid 0,848 Reliabel
7 0,461 Valid 0,845 Reliabel
1 0,440 Valid 0,712 Reliabel
2 0,889 Valid 0,718 Reliabel
Struktur 3 0,733 Valid 0,648 Reliabel
Birokrasi 4 0,776 Valid 0,671 Reliabel
5 0,758 Valid 0,680 Reliabel
6 0,521 Valid 0,672 Reliabel
7 0,819 Valid 0,719 Reliabel

Berdasarkan Tabel 3.2 terlihat hasil uji validitas menunjukkan semua

pertanyaan valid karena r hitung > r Tabel pada α=0,05. Hasil pengujian terhadap

reliabilitas kuesioner menghasilkan angka Cronbach’s Alpha ≥ 0,6, sehingga dapat

disimpulkan item pertanyaan variabel komunikasi, sumber daya, birokrasi dan

struktur birokrasi adalah baik atau reliabel.

Hasil uji validitas dan reliabilitas variabel implementasi kebijkan JKN tentang

klaim INA CBG’s dapat dilihat pada Tabel berikut ini ;

Tabel 3.3 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Variabel Implementasi Kebijakan
JKN tentang Klaim INA CBG’s

Corrected Item
No Cronbach’s
Variabel Total Ket Ket
Pertanyaan Alpha
Correlation
1 0,815 Valid 0,854 Reliabel
Implementasi
2 0,814 Valid 0,779 Reliabel
Kebijakan
3 0,713 Valid 0,816 Reliabel
JKN tentang
4 0,657 Valid 0,807 Reliabel
Klaim INA
5 0,659 Valid 0,810 Reliabel
CBG’s
6 0,818 Valid 0,853 Reliabel
Berdasarkan Tabel 3.3 terlihat hasil uji validitas menunjukkan semua

pertanyaan valid karena r hitung > r Tabel pada α=0,05. Hasil pengujian terhadap

reliabilitas kuesioner menghasilkan angka Cronbach’s Alpha ≥ 0,6 sehingga dapat

disimpulkan item pertanyaan tentang implementasi kebijakan JKN tentang klaim INA

CBG’s adalah baik atau reliabel.

3.5. Variabel dan Definisi Operasional

3.5.1. Variabel

Variabel penelitian terdiri dari variabel dependen yaitu implementasi

kebijakan JKN tentang klaim INA CBG’s. Sementara variabel independen yaitu

faktor-faktor yang memengaruhi implementasi kebijakan (komunikasi, sumber daya,

disposisi, dan struktur birokrasi).

3.5.2. Definisi Operasional

1. Implementasi Kebijakan JKN tentang Klaim INA CBG’s

Adalah pelaksanaan suatu aturann-aturan atau kebijakan JKN tentang klaim

INA CBG’s di Rumah Sakit Islam Malahayati Medan, yang di tinjau dari

pelaksanaan sistem coding, sistem costing dan clinical pathway.

d. Sistem coding (proses pelaksanaan sistem coding oleh tim casemix berdasarkan

diagnosa)

e. Clinical Pathway (ketersediaan dan pelaksanaan clinical pathway di Rumah Sakit

Islam Malahayati Medan)

f. Sistem Costing (pelaksanaan sistem costing yang dilihat dari kemampuan dan

kinerja petugas costing.


2. Komunikasi

Adalah bentuk sosialisasi berbagai informasi, aturann-aturann atau kebijakan

JKN yang disampaikan oleh pihak manajer yang terkait kepada petugas lainnya

secara detail dan jelas terkait dengan pelaksanaan kebijakan JKN tentang klaim INA

CBG’s di rumah sakit. Adapun indikator dari variabel komunikasi adalah sosialisasi

dan kejelasan informasi.

3. Sumber Daya

Adalah segala sesuatu yang dibutuhkan untuk melaksanakan kebijakan JKN

tentang klaim INA CBG’s yang meliputi sumber daya manusia (jumlah SDM,

skil/kemampuan dan kehandalan), efektivitas sarana/prasarana (seperti alat CT.Scan,

endoscopy dan lain-lain) dan infrastruktur rumah sakit seperti Sistem Informasi

Rumah Sakit (SIRS/EZCO) yang dapat mendukung pelaksanaan proses klaim INA

CBG’s. Adapun indikator dari variabel sumber daya adalah kecukupan dan efektivitas

sumber daya dan ketrampilan/kehandalan sumber daya.

4. Disposisi

Adalah suatu dukungan, komitmen, kerja sama, respons serta kepatuhan

petugas rumah sakit dalam menjalankan berbagai aturann atau kebijakan JKN

terutama kebijakan tentang klaim INA CBG’s di rumah sakit. Adapun indikator dari

variabel disposisi adalah dukungan dan komitmen/kerja sama/kepatuhan.

5. Struktur Birokrasi

Adalah terbentuknya struktur rumah sakit, ketersediaan dan pelaksanaan SOP

dalam melakukan suatu tindakan serta dalam menjalankan berbagai aturann-aturann


terutama terkait dengan implementasi kebijakan JKN tentang klaim INA CBG’s.

Adapun indikator dari variabel struktur birokrasi adalah struktur organisasi rumah

sakit, ketersediaan SOP dan pelaksanaan SOP.

3.6. Metode Pengukuran

3.6.1. Variabel Independen

Pengukuran variabel independen meliputi komunikasi, sumber daya, disposisi

dan struktur birokasi. Peneliti menanyakan 28 buah pertanyaan dengan menggunakan

skala likert, setiap pilihan jawaban pada pertanyaan positif diberikan nilai sebagai

berikut : (a) nilai 4; (b) nilai 3; (c) nilai 2; (d) nilai 1. Pada pertanyaan negatif setiap

pilihan jawaban diberikan nilai sebagai berikut : (a) nilai 1; (b) nilai 2; (c) nilai 3; (d)

nilai 4, dimana skor terendah pada masing-masing variabel adalah 7, dan skor

tertinggi adalah 28. Menurut Pratomo dan Sudarti (1966), kategori baik apabila skor

>75% (21-28) kategori cukup 40-75% (11-20) dan kategori kurang apabila <40%

(7-10) dari jumlah nilai tertinggi pada masing-masing variabel.

3.6.2. Variabel Dependen

Untuk mengukur variabel dependen peneliti menanyakan 6 buah pertanyaan

dengan tiga indikator yaitu sistem coding, clinical pathway dan sistem costing dengan

menggunakan skala Likert. Skor terendah adalah 6, dan skor tertinggi adalah 24,

Setiap pilihan jawaban diberikan nilai dengan ketentuan sebagai berikut: (a) nilai 3;

(b) nilai 2; (c) nilai 1. Pada pertanyaan negatif setiap pilihan jawaban diberikan nilai

sebagai berikut : (a) nilai 1; (b) nilai 2; (c) nilai 3; (d) nilai 4 Menurut Pratomo dan
Sudarti (1966), kategori Efektif apabila skor >75% (18-24), kategori cukup Efektif

40-75% (11-17) dan kategori tidak efektif apabila <40% (7-10) dari jumlah nilai

tertinggi variabel.

Tabel 3.4 Aspek Pengukuran Variabel Independen

Bobot Nilai
Bobot Nilai
Variabel 1 Variabel = 7
Variabel = Indikator
Pertanyaan
Independen
Komunikasi :
1. Sangat (Baik/Jelas), Selalu 4 28
2. Baik, Jelas, Sering 3 21
3. Tidak (Baik/Jelas), Jarang 2 14
4. Sangat Tidak (Baik/Jelas), 1 7
Tidak Pernah
Sumber Daya :
1. Sangat
(Mencukupi/Memadai/Setuj 4 28
u/Perlu/Terampil/Baik
2. Mencukupi/Memadai/Setuju
/Perlu/Terampil/Baik 3 21
3. Tidak
(Mencukupi/Memadai/Setuj 2 14
u/Perlu/Terampil/Baik
4. Sangat Tidak
(Mencukupi/Memadai/Setuj 1 7
u/Perlu/Terampil/Baik
Disposisi :
1. Sangat
(Mendukung/Baik/Setuju/Pa 4 28
tuh), Selalu
2. (Mendukung/Baik/Setuju/Pa 3 21
tuh), Sering
3. Tidak 2 14
(Mendukung/Baik/Setuju/Pa
tuh), Selalu
4. Sangat Tidak 1 7
(Mendukung/Baik/Setuju/Pa
tuh), Selalu
Tabel 3.4 (Lanjutan)
Bobot Nilai
Bobot Nilai
Variabel 1 Variabel = 7
Variabel = Indikator
Pertanyaan
Struktur Birokrasi :
1. Sangat
(Setuju/Membantu/Sesuai) 4 28
Semua Tersedia, Selalu
2. Setuju/Membantu/SesuaiT 3 21
ersedia, Sering
3. Tidak 2 14
(Setuju/Membantu/Sesuai),
Sebahagian, Jarang
4. Sangat Tidak 1 7
(Setuju/Membantu/Sesuai)
Tidak Pernah (Tersedia)
Dependen :
Pelaksanaan Klaim INA
CBG’S
1. Selalu, Sangat Baik, Sudah 4 24
(Memiliki/Berjalan dengan
sangat Baik)
2. Sering, Baik, Ragu-Ragu, 3 18
Berjalan dengan Baik)
3. Jarang-Jarang, Tidak Baik, 2 12
Tidak Tahu, Tidak Berjalan
dengan Baik)
4. Tidak Pernah, Sangat Tidak 1 6
Baik, Tidak Memiliki,
Berjalan Sangat Tidak Baik

3.7. Metode Analisa Data

Metode analisa pada penelitian ini menggunakan analisis statistik uji regresi

linier berganda, namun sebelum peneliti melakukan uji statistik uji regresi linier

berganda terlebih dahulu peneliti mendeskripsikan variabel penelitian dan melakukan

tabulasi silang antar variabel penelitian serta melakukan uji asumsi (eksistensi,

independensi, linieritas, homoscedascity, normalitas, multicolllinearity.


BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

4.1.1 Sejarah Rumah Sakit Islam Malahayati Medan

Rumah Sakit Islam Malahayati adalah Rumah Sakit Umum Swasta yang

bergerak dalam bidang pelayanan medis atau kesehatan masyarakat, dengan maksud

dan tujuannya adalah untuk membantu pemerintah serta melayani masyarakat dalam

bidang peningkatan derajat kesehatan baik kesehatan jasmani,rohani maupun sosial.

Rumah Sakit ini berkembang menjadi Rumah Sakit Umum Swasta yang berada di

lingkungan Yayasan Rumah sakit Islam Malahayati dan berada di bawah pimpinan

direktur RSIM.

Pada tanggal 4 April 1974 dilakukan peletakan batu pertama pembangunan

kamar Bedah yang dianggap sebagai awal dibangunnya Rumah Sakit Islam

Malahayati, bertepatan dengan Tahun Baru Hijriah 1 Muharam 1395 H (14 Januari

1975) Rumah Sakit ini diresmikan oleh Gubernur Sumatera Utara yang pada waktu

itu dijabat oleh Alm. Bapak Marah Halim dengan nama RS. Islam Malahayati.

Nama Malahayati dipilih setelah melalui seleksi yang ketat dalam rapat

pengurus. Malahayati adalah nama seorang laksamana wanita Aceh yang melawan

penjajah Portugis. Malahayati mempunyai keunggulan dibandingkan nama lain dalam

kaitannya dengan pentingnya arti sebuah kesehatan bagi manusia. Bila ditinjau dari
bahasa Arab, kata Malahayati sesungguhya rangkaian dua kata, yaitu Maal yang

berarti harta atau kekayaan dan Hayaati yang berarti hidupku. Jadi Malahayati adalah

kekayaan hidupku yaitu kesehatan.

Pada awal pendirian Rumah Sakit, para pendiri mempunyai tujuan

kesembuhan dan pemulihan kesehatan pasien, kenyamanan dan keselamatan pasien,

sikap dan prilaku pelayanan medis maupun non medis secara Islami serta kepuasan

pasien. Dalam langkah dan geraknya Rumah sakit Islam Malahayati berpedoman

pada visi dan misi Rumah sakit Islam Malahayati

4.1.2 Visi, Misi, dan Motto

Visi Rumah Sakit Islam Malahayati Medan merupakan cita-cita yang

menggambarkan akan dibawa kemana RS Islam Malahayati Medan di masa

mendatang dan visi selalu berpijak pada kondisi, potensi, tantangan dan hambatan

yang ada. Sehubungan dengan analisis dan pendalaman tersebut, maka ditetapkanlah

visi RS Islam Malahayati Medan adalah sebagai berikut :

“Menjadi Rumah Sakit dengan pelayanan kesehatan yang bermutu,aman,

terjangkau sesuai dengan standar internasional” (Profil RSIM, 2016)

Misi adalah sesuatu yang harus dilaksanakan, agar tujuan organisasi dapat

terlaksana dan berhasil dengan baik. Dengan persyaratan misi tersebut diharapkan

seluruh pegawai dan pihak yang berkepentingan dapat mengenal RS Islam

Malahayati, mengetahui peran dan program-programnya serta hasil yang akan

diperoleh di masa mendatang. Dari gambaran tersebut maka ditetapkan misi RS Islam

Malahayati Medan adalah sebagai berikut :


1. Memberikan Pelayanan kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan pasien

2. Meningkatkan sumber daya manusia yang profesional dan Islami

3. Meningkatkan kualitas sarana dan prasarana secara terus - menerus.

4. Memberikan pelayanan kesehatan yang prima secara efektif dan efisien

5. Menciptakan suasana kekeluargaan di lingkungan Rumah Sakit Islam Malahayati.

Adapun motto Rumah Sakit Islam Malahayati Medan adalah “IKHLAS :

Iman, Kualitas, Harapan, Lugas, Akrab, Sejahtera” (Profil RSIM, 2016).

4.1.3 Tujuan Dan Sasaran

Dalam mencapai visi dan misi RS Islam Malahayati Medan menetapkan

tujuan sebagai berikut Meningkatkan kepuasan pasien. Berdasarkan tujuan yang

telah ditetapkan di atas maka RS Islam Malahayati menetapkan sasaran sebagai

berikut :

1. Meningkatnya cakupan layanan kesehatan, sasaran yang ditetapkan adalah :

a. Meningkatnya jumlah kunjungan pasien rawat darurat

b. Meningkatnya jumlah kunjungan pasien rawat jalan

c. Meningkatnya jumlah kunjungan pasien rawat inap

d. Meningkatnya angka pemanfaatan tempat tidur (BOR)

2. Meningkatnya kualitas layanan kesehatan, sasaran yang ditetapkan adalah :

a. Meningkatnya alat kesehatan/kedokteran yang beroperasi sesuai standar

b. Meningkatnya jumlah tenaga dokter spesialis

c. Meningkatnya jumlah angka kesembuhan pasien di RS

d. Meningkatnya kepuasan pasien


4

4.1.4. Struktur Organisasi Rumah Sakit Islam Malahayati

YAYASAN
RS. ISLAM MALAHAYATI
DEWAN
PENGAWAS
DIREKTUR

KOMITE KOMITE KOMITE MUTU SPI


MEDIK KEPERAWA DAN
TAN KESELAMATAN
PASIEN

BIDANG BAGIAN UMUM


PELAYANAN MEDIS TIM CASEMIX DAN KEUANGAN
DAN KEPERAWATAN

SEKSI SEKSI SUB. BAGIAN SUB. BAGIAN SDM SUB. BAGIAN SUB. BAGIAN SUB BAGIAN SUB BAGIAN SUB BAGIAN
KEPERAWATAN PENUNJANG RUMAH & HUKUM DAN VERIFIKASI & ANGGARAN & MARKETING PENGADAAN
MEDIS TANGGA PENGEMBANGAN HUMAS AKUNTANSI MOBILISASI DAN LOGISTIK
DAPERLENGKAP DANA
AN

INSTALASI INSTALASI INSTALASI INSTALASI INSTALASI UNIT KEAMANAN UNIT


RAWAT RAWAT INAP RADIOLOGI FARMASI REKAM LAUNDRY
.
JALAN 5 MEDIS
. INSTALASI INSTALASI INSTALASI INSTALASI UNIT
STAF MEDIK GAWAT ANESTHESI CATH LAB GIZI PSRS
FUNGSIONAL DARURAT DAN TERAPI
INTENSIF
INSTALASI INSTALASI INSTALASI INSTALASI INSTALASI UNIT UNIT
KAMAR RUANG PATOLOGI CSSD HEMODIALIS AMBULANS OPERATOR
BEDAH BERSALIN KLINIK A

Sumber : (SDM & P) RS.Islam Malahayati Medan, 2017


53
4

4.1.5 Sumber Daya Manusia Rumah Sakit Islam Malahayati

Adapun sumber daya manusia yang ada di RS. Islam Malahayati ada

empat bagian, yaitu :

1. Medis

2. Keperawatan

3. Non Keperawatan

4. Non Kesehatan

Berikut ini bagan dari sumber daya manusia di Rumah Sakit Islam Malahayati :

Diagram SDM RSIM

84
110

Medis
Keperawatan
Non Keperawatan
Non Kesehatan
60

184

Sumber : (SDM & P) RS.Islam Malahayati Medan, 2017

110
Dari diagram di atas dapat di lihat bahwa sumber daya manusia di Rumah

sakit Islam Malahayati terdiri dari tenaga medis yang berjumlah 84 orang, tenaga

paramedis keperawatan sebanyak 184 orang, tenaga non keperawatan sebanyak 60

orang. Tenaga non kesehatan berjumlah 110 orang.

4.2 Karakteristik Responden

Karakteristik responden yang di teliti dalam penelitian ini meliputi jenis

kelamin, umur, unit/ruangan, pendidikan, jabatan, masa kerja dan dapat di lihat di

bawah ini :

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden di Rumah Sakit Islam


Malahayati Medan

Karakteristik Responden f %
Jenis Kelamin
Laki-Laki 26 34,7
Perempuan 49 65,3
Umur
20 - 25 Tahun 16 21,3
26 - 35 Tahun 36 48,0
36 - 45 Tahun 11 14,7
46 - 55 Tahun 8 10,7
56 - 65 Tahun 3 4,0
>65 Tahun 1 1,3
Unit Ruangan
Admisi 2 2,7
Farmasi 2 2,7
UGD 7 9,3
Rawat Inap 36 48,0
Kamar Bersalin 5 6,7
Kamar Bedah 4 5,3
Ruang Pemulihan 1 1,3
Hemodialisa 2 2,7
Poliklinik 9 12,0
Tabel 4.1 (Lanjutan)

Karakteristik Responden f %
Laboratorium 3 4,0
Radiologi 1 1,3
Gizi 1 1,3
Casemix 2 2,7
Pendidikan
SMA/SMK/SPK/MA 7 9,3
Diploma 39 52,0
Sarjana/Profesi 13 17,3
Magister/Spesialis 16 21,3
Jabatan
Staf/Bidan/Perawat Pelaksana 38 50,7
Chief/Penanggung Jawab Shift 10 13,3
Kepala Unit/Ruangan 7 9,3
Dokter Umum 4 5,3
Dokter Spesialis 16 21,3
Masa Kerja
1 - <6 Tahun 36 48,0
6 - <9 Tahun 5 6,6
9 - <12 Tahun 8 10,7
12 - <15 Tahun 11 14,7
15 - <18 Tahun 5 6,6
18 - <21 Tahun 2 2,7
21 - <24 Tahun 5 6,7
>24 Tahun 3 4,0

Berdasarkan Tabel 4.1 diketahui bahwa mayoritas jenis kelamin responden

adalah perempuan sebanyak 49 orang (65,3%), mayoritas umur responden adalah

berumur 26 - 35 tahun sebanyak 36 orang (48,0%), mayoritas unit/ruangan responden

adalah unit rawat inap sebanyak 36 orang (48%), mayoritas pendidikan responden

adalah diploma sebanyak 39 orang (52,0), mayoritas jabatan responden adalah

staf/bidan/perawat pelaksana sebanyak 38 orang (50,7%), dan mayoritas masa kerja

responden adalah 1 - <6 tahun sebanyak 36 orang (48,0%).


4.2 Implementasi Kebijakan JKN

Penelitian ini dilakukan dengan jumlah responden yang diteliti sebanyak 75

orang yang meliputi komunikasi, sumber daya, disposisi, struktur birokrasi dan

implementasi klaim INA CBG’s.

4.3.1 Komunikasi

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap 75 responden diketahui

sebanyak 40 orang (53,3%) mengatakan sosialisasi tentang klaim INA CBG’s di

Rumah Sakit Islam Malahayati sudah terlaksana dengan cukup baik, sementara itu

sebanyak 36 orang (48,0) mengatakan tentang kejelasan informasi yang terkait

dengan peraturan/kebijakan klaim INA CBG’s juga sudah terlaksana dengan cukup

baik.

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Indiaktor Komunikasi Petugas yang Terkait


dengan Klaim INA CBG’s di Rumah Sakit Islam Malahayati Medan

Kategori
No Komunikasi Baik Cukup Kurang Total
n % n % n % N %
1 Sosialisasi tentang klaim 21 28,0 40 53,3 14 18,7 75 100
INA CBG’s
2 Kejelasan Informasi 21 28,0 36 48,0 18 24,0 75 100
tentang peraturan /kebijkan
yang terkait dengan klaim
INA CBG’s

Hal ini sejalan dengan hasil wawancara peneliti dengan coordinator casemix

didapat bahwa semua peraturan/kebijakan sudah disosialisasikan dengan jelas melalui


kepala bagian masing-masing ruangan atau unit, namun hanya karyawannya saja

yang kurang menjalankan peraturan-peraturannya.

Hasil pengukuran komunikasi petugas rumah sakit yang terkait dengan klaim

INA CBG’s kemudian dikategorikan dan diperoleh hasil bahwa mayoritas responden

mengatakan komunikasi yang berjalan sudah cukup baik sebanyak 43 responden

(57,3%) dan dapat di lihat pada tabel 4.3 :

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Kategori Komunikasi Petugas yang Terkait


dengan Klaim INA CBG’s di Rumah Sakit Islam Malahayati Medan

No Komunikasi f %
1. Baik 21 28,0
2. Cukup 43 57,3
3. Kurang 11 14,7
Jumlah 75 100,0

4.3.2 Sumber Daya

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap 75 responden

diketahui bahwa kecukupan dan efektifitas sumber daya yang mendukung proses

klaim INA CBG’s mayoritas pada kategori cukup sebanyak 52 responden (69,3%),

ketrampilan/kehandalan sumber daya (petugas yang terkait dengan proses klaim INA

CBG’s) mayoritas juga pada kategori cukup sebanyak 51 responden (68,0%), dan

dapat di lihat pada tabel 4.4 :


Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Sumber Daya Petugas yang Terkait
dengan Klaim INA CBG’s di Rumah Sakit Islam Malahayati Medan

Kategori
No Sumber Daya Baik Cukup Kurang Total
n % n % n % N %
1 Kecukupan dan efektifitas 18 24,0 52 69,3 5 6,7 75 100
sumber daya
2 ketrampilan/kehandalan 17 22,7 51 68,0 7 9,3 75 100
sumber daya
Hal ini sejalan dengan hasil wawancara peneliti dengan Kasubag SDM & P

Rumah Sakit Islam Malahayati didapat bahwa jumlah SDM sudah mencukupi, sarana

prasarana juga sudah cukup baik, walaupun masih banyak yang harus di tingkatkan

lagi seperti jaringan internet yang sering terganggu dan mati mendadak, alat-alat

penunjang medis seperti endoscopy, CT.Scan belum tersedia di rumah sakit.

Hasil pengukuran sumber daya kemudian dikategorikan dan diperoleh hasil

bahwa mayoritas responden mengatakan sumber daya Rumah Sakit Islam Malahayati

Medan sudah cukup baik sebanyak 42 responden (56,0%) dan dapat di lihat pada

tabel 4.5 :

Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Kategori Sumber Daya Petugas yang Terkait
dengan Klaim INA CBG’s di Rumah Sakit Islam Malahayati Medan

No Sumber Daya f %
1. Baik 24 32,0
2. Cukup 42 56,0
3. Kurang 9 12,0
Jumlah 75 100,0
4.3.3 Disposisi

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap 75 responden

diketahui bahwa pihak rumah sakit yang mendukung progam klaim INA CBG’s

mayoritas pada kategori cukup sebanyak 60 orang (80,0%), sementara itu komitmen,

kerja sama dan kepatuhan petugas tentang pelaksanaan klaim IN ACBG’s juga pada

kategori cukup sebanyak 56 orang (74,7%) dan dapat di lihat pada tabel 4.6 :

Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Indiaktor Disposisi Petugas yang Terkait dengan
Klaim INA CBG’s di Rumah Sakit Islam Malahayati Medan

Kategori
No Disposisi Baik Cukup Kurang Total
n % n % n % N %
1 Dukungan 12 16,0 60 80,0 3 4,0 75 100
2 Komitmen, kerja sama 14 18,7 56 74,7 5 6,7 75 100
dan kepatuhan

Sementara itu berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan koordinator

casemix di Rumah Sakit Islam Malahayati didapat bahwa dalam pelaksanaan klaim

INA CBG’s masih terdapat kendala-kendala seperti dokter spesialis yang kurang

mematuhi peraturan, misalnya dalam megisi resume medis sering tidak lengkap,

pasien sudah lama pulang tapi rekam medisnya tidak di isi, dalam meresep obat-

obatan sebagian dokter ada yang meresep obat di luar DPHO, perawat memulangkan

rekam medis kepada casemix dalam keadaan tidak lengkap, hasil pemeriksaan juga

tidak dilampirkan.

Berdasarkan uraian di atas, kemudian hasil pengukuran disposisi

dikategorikan dan diperoleh hasil bahwa mayoritas responden mengatakan disposisi


Rumah Sakit Islam Malahayati Medan sudah cukup baik sebanyak 38 responden

(56,7%) dan dapat di lihat pada tabel 4.7 :

Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Kategori Disposisi Petugas yang Terkait dengan
Klaim INA CBG’s di Rumah Sakit Islam Malahayati Medan

No Disposisi f %
1. Baik 32 42,7
2. Cukup 38 50,7
3. Kurang 5 6,7
Jumlah 75 100,0
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan kepala keperawatan dan
sekretaris komite medik didapat bahwa tingkat kepatuhan atau komitmen petugas
dalam mengimplementasi klaim INA CBG’s harus didukung oleh fakor financial atau
kesejahteraan karyawan, seperti rumah sakit harus menjalankan sistem remun yang
lebih baik terutama dalam pemberian jasa medis dan pemberian reward kepada
petugas yang berprestasi agar karyawan-karyawan lebih bersemangat dalam
menjalankan implementasi klaim INA CBG’s.
4.3.4 Struktur Birokrasi

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap 75 responden diketahui

bahwa mayoritas responden mengatakan struktur organisasi di Rumah Sakit Islam

Malahayati sudah cukup baik sebanyak 61 orang (81,3%), ketersediaan SOP

mayoritas pada kategori cukup sebanyak 57 orang (76,0%), dan pelaksanaan SOP

mayoritas juga pada kategori cukup sebanyak 51 orang (68,0%) dan dapat di lihat

pada tabel 4.8 :


Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Indikator Struktur Birokrasi Petugas yang
Terkait dengan Klaim INA CBG’s di Rumah Sakit Islam Malahayati Medan

Kategori
No Strutur Birokrasi Baik Cukup Kurang Total
n % n % n % N %
1 Struktur organisasi 12 16,0 61 81,3 2 2,7 75 100
rumah sakit
2 Ketersediaan SOP 9 12,0 57 76,0 9 12,0 75 100
3 Pelaksanaan SOP 12 16,0 51 68,0 12 16,0 75 100

Sementara itu berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan Kasubag SDM &

P didapat bahwa sebagian karyawan kurang menerapkan atau kurang

mengaplikasikan SOP pada pekerjaannya, padahal rumah sakit sudah menyediakan

SOP pada hampir setiap butir-butir tindakan atau pekerjaan yang akan dilakukan.

Sehingga pelaksanaan setiap SOP berdampak pada kelancaran pelaksanaan klaim

INA CBG’s dan peningkatan pelayanan kesehatan atau mutu pelayanan rumah sakit

yang akan mempengaruhi tingkat BOR yang dapat meningkatkan potensi pendapatan

rumah sakit. Dalam hal ini struktur birokrasi yang dimaksud lebih berfokus kepada

ketersediaan dan pelaksanaan SOP.

Berdasarkan uraian di atas, kemudian hasil pengukuran struktur birokrasi

dikategorikan dan diperoleh hasil bahwa mayoritas responden mengatakan struktur

birokrasi di Rumah Sakit Islam Malahayati Medan sudah cukup baik sebanyak 53

orang (70,7%) dan dapat di lihat pada tabel 4.9 :


Tabel 4.9 Distribusi Frekuensi Kategori Struktur Birokrasi Petugas yang
Terkait dengan Klaim INA CBG’s di Rumah Sakit Islam Malahayati Medan

No Struktur Birokrasi f %
1. Baik 13 17,3
2. Cukup 53 70,7
3. Kurang 9 12,0
Jumlah 75 100,0

4.3.5 Implementasi Klaim INA CBG’s

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap 75 responden diketahui

bahwa pelaksanaan sistem coding di Rumah Sakit Islam Malahayati mayoritas pada

kategori cukup sebanyak 63 orang (84,0%), pelaksanaan clinical pathway mayoritas

pada kategori cukup sebanyak 48 orang (64,0%), dan pelaksanaan sistem costing

mayoritas juga pada kategori cukup sebanyak 51 orang (68,0) dan dapat di lihat pada

tabel 4.10 :

Tabel 4.10 Distribusi Frekuensi Indikator Implementasi Kebijakan Klaim


INA CBG’s di Rumah Sakit Islam Malahayati Medan

Implementasi Kategori
No Kebijakan Klaim Baik Cukup Kurang Total
INA CBG’s n % n % n % N %
1. Sitem coding 11 14,6 60 80,0 4 5,4 75 100
2. Clinical pathway 19 25,3 48 64,0 8 10,7 75 100
3. Sistem costing 19 25,3 51 68,0 5 6,7 75 100

Hal ini sejalan dengan hasil wawancara peneliti dengan koordinator casemix

di Rumah Sakit Islam Malahayati didapat bahwa pelaksanaan sistem coding dan

costing sudah cukup baik, sementara itu clinical pathway yang tersedia di rumah sakit

hanya satu clinical pathway yaitu SC, namun rumah sakit pernah membuat beberapa
clinical pathway, dan baru satu clinical pathway yang terlaksana dengan cukup baik.

Meskipun demikian dalam pelaksanaan klaim INA CBG’s rumah sakit masih saja

mengalami kendala-kendala lain seperti dokter DPJP menulis diagnose tidak lengkap

dan tulisan susah dibaca, hasil-hasil penunjang tidak dilampirkan, sehingga dapat

menyulitkan koder dalam membuat codingan diagnosa.

Berdasarkan uraian di atas, kemudian hasil pengukuran implementasi klaim

INA CBG’s dikategorikan dan diperoleh hasil bahwa mayoritas responden

mengatakan implementasi klaim INA CBG’s di Rumah Sakit Islam Malahayati

Medan sudah terlaksana cukup efektif sebanyak 36 orang (48,0%), namun walaupun

demikian masih ada hal-hal yang harus di perbaiki, seperti alur klaim yang kurang

tertib sampai ke proses klaim yang sering terlambat sampai ke resiko gagal klaim

yang dapat memengaruhi biaya operasional rumah sakit. Adapun hasil penelitian

dapat di lihat pada tabel 4.11 :

Tabel 4.11 Distribusi Frekuensi Kategori Implementasi Kebijakan Klaim


INA CBG’s di Rumah Sakit Islam Malahayati Medan

No Struktur Birokrasi f %
1. Efektif 27 36,0
2. Cukup Efektif 36 48,0
3. Kurang Efektif 12 16,0
Jumlah 75 100,0

4.4 Tabulasi Silang


Tabulasi silang dilakukan untuk menguji ada tidaknya hubungan komunikasi,
sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi terhadap implementasi kebijakan JKN
tentang klaim INA CBG’s di Rumah Sakit Islam Malahayati Medan
Tabel 4.12 Hubungan Komunikasi, Sumber Daya, Disposisi, Struktur Birokrasi
dengan Implementasi Kebijakan JKN Tentang Klaim INA CBG’s di Rumah
Sakit Islam Malahayati Medan

Implementasi kebijakan JKN


Nilai
Faktor yang tentang klaim INA CBG’s Total
P
Memengaruhi Baik Cukup Kurang
Implementasi
n % n % n % N %
Kebijakan
1. Komunikasi
Baik 10 47,6 10 47,6 1 4,8 21 100,0
Cukup 15 34,9 24 55,8 4 9,3 43 100,0 <0,001
Kurang 2 18,2 2 18,2 7 63,6 11 100,0
2. Sumber Daya
Baik 12 50,0 10 41,7 2 8,3 24 100,0
Cukup 15 35,7 23 54,8 4 9,5 42 100,0 <0,001
Kurang 0 0 3 33,3 6 66,7 9 100,0
3. Disposisi
Baik 12 37,5 18 56,2 2 6,2 32 100,0
Cukup 15 39,5 17 44,7 6 15,8 38 100,0 0,001
Kurang 0 0 1 20,0 4 80,0 5 100,0
4. Struktur Birokrasi
Baik 5 38,5 8 61,5 0 0 13 100,0
Cukup 21 39,6 27 50,9 6 9,4 53 100,0 <0,001
Kurang 1 11,1 1 11,1 7 77,8 9 100,0
Berdasarkan hasil uji statistik chi square diperoleh hubungan faktor-faktor

yang memengaruhi implementasi kebijakan (komunikasi, sumber daya, disposisi dan

struktur birokrasi) dengan implementasi kebijakan JKN tentang klaim INa CBG’s di

Rumah Sakit Islam Malahayati Medan Tahun 2016 bahwa :

1. Dari 43 responden dengan komunikasi cukup, 24 orang (55,8%)

mengimplementasikan kebijakan JKN dengan cukup baik dan 4 orang (9,3%)

kurang mengimplementasikan kebijakan JKN; Dari 21 responden dengan

komunikasi baik, 10 orang (47,6%) mengimplementasikan kebijakan JKN

dengan baik, dan 1 orang (4,8%) kurang mengimplementasikan kebijakan JKN;


dan sebanyak 11 orang dengan komunikasi kurang baik, 7 orang (63,6%)

diantaranya kurang mengimplementasikan kebijakan JKN dengan baik. Hasil uji

statistik diperoleh nilai p value < α (0,000 < 0,05), sehingga ada hubungan antara

komunikasi dengan implementasi kebijakan JKN tentang klaim INA CBG’s.

2. Sumber daya yang cukup, 23 orang (54,8%) mengimplementasikan kebijakan

JKN dengan cukup baik dan 4 orang (9,5%) kurang mengimplementasikan

kebijakan JKN; Dari 24 responden dengan sumber daya yang baik, 12 orang

(50,0%) mengimplementasikan kebijakan JKN dengan baik, dan 2 orang (8,3%)

kurang mengimplementasikan kebijakan JKN; dan sebanyak 9 orang dengan

sumber daya yang kurang, 6 orang (66,7%) diantaranya kurang

mengimplementasikan kebijakan JKN dengan baik. Hasil uji statistik diperoleh

nilai p value < α (0,000 < 0,05), sehingga ada hubungan antara sumber daya

dengan implementasi kebijakan JKN tentang klaim INA CBG’s.

3. Dari 38 responden dengan disposisi yang cukup baik, 17 orang (44,7%)

mengimplementasikan kebijakan JKN dengan cukup baik dan 6 orang (15,8%)

kurang mengimplementasikan kebijakan JKN; Dari 32 responden dengan

disposisi yang baik, 18 orang (56,2%) mengimplementasikan kebijakan JKN

dengan cukup baik, dan 2 orang (6,2%) kurang mengimplementasikan kebijakan

JKN; dan sebanyak 5 orang dengan disposisi yang kurang baik, 4 orang (80,0%)

diantaranya kurang mengimplementasikan kebijakan JKN dengan baik. Hasil uji

statistik diperoleh nilai p value < α (0,001< 0,05), sehingga ada hubungan antara

disposisi dengan implementasi kebijakan JKN tentang klaim INA CBG’s


4. Dari 53 responden dengan birokrasi yang cukup baik, 27 orang (50,9%)

mengimplementasikan kebijakan JKN dengan cukup baik dan 6 orang (9,4%)

kurang mengimplementasikan kebijakan JKN; Dari 13 responden dengan

birokrasi yang baik, 8 orang (61,5%) diantaranya mengimplementasikan

kebijakan JKN dengan baik; dan sebanyak 9 orang dengan birokrasi yang kurang

baik, 7 orang (77,8%) diantaranya kurang mengimplementasikan kebijakan JKN

dengan baik. Hasil uji statistik diperoleh nilai p value < α (0,000 < 0,05),

sehingga ada hubungan antara birokrasi dengan implementasi kebijakan JKN

tentang klaim INA CBG’s.

4.5 Pengaruh Implementasi Kebijakan (Komunikasi, Sumber Daya,


Disposisi, Struktur Birokrasi) JKN tentang Klaim INA CBG’s
4.5.1 Uji Asumsi

Agar persamaan garis yang digunakan untuk memprediksi menghasilkan

angka yang valid, maka persamaan yang dihasilkan harus memenuhi asumsi-asumsi

yang dipersyaratkan uji regresi linier berganda. Adapun hasil-hasil ujinya sebagai

berikut :

1. Asumsi Eksistensi (Variabel Random)

Hasil uji tersebut (lihat lampiran halaman 138) menunjukkan angka residul

dengan mean 0,000 dan standar deviasi 0,579, dengan demikian asumsi

eksistensi terpenuhi.
2. Asumsi Independensi

Untuk mengetahui asumsi independensi dilakukan dengan cara mengeluarkan uji

Durbin Watson. Hasil uji Coeffisien Durbin Watson (lihat lampiran pada

halaman 136) yaitu 2,0 berarti asumsi independensi terpenuhi.

3. Asumsi Linieritas

Untuk mengetahui asumsi linier dapat diketahui dari uji ANOVA, dari hasil uji

tersebut (lihat lampiran pada halaman 136 ) didapat nilai ANOVA <0,001, berarti

asumsi linieritas terpenuhi.

4. Asumsi Homoscedascity

Dari hasil plot (lihat lampiran pada halaman 142) terlihat tebaran titik mempunyai

pola yang sama antara titik-titik di atas dan di bawah garis diagonal 0, dengan

demikian asumsi homoscedascity terpenuhi.

5. Asumsi Normalitas

Variabel terikat mempunyai distribusi normal untuk setiap pengamatan variabel

bebas, dapat diketahui dari normal P-P Plot residual dan grafik histogram, hasil

uji tersebut (lihat lampiran pada halaman 139) terbukti bahwa bentuk berdistribusi

normal, berarti asumsi normality terpenuhi.

6. Diagnostik Multicollinearity

Dari hasil uji asumsi diagnostik multicollinearity (lihat lampiran pada halaman

137) didapat nilai VIF (varian inflation factor) tidak lebih dari 10, dengan

demikian tidak ada multicollinearity (Colinieritas) antara sesame variabel

independen.
Dari hasil uji asumsi dan uji kolinearitas ternyata semua terpenuhi sehingga

model dapat digunakan untuk memprediksi implementasi klaim INA CBG’s.

4.5.2 Uji Regresi Linier Berganda

Berdasarkan hasil uji chi-square didapat bahwa ada hubungan komunikasi,

sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi dengan implementasi kebijakan JKN

tentang klaim INA CBG’s di Rumah Sakit Islam Malahayati Medan Tahun 2016

maka dapat di identifikasi variabel independen tersebut dapat dimasukkan dalam

analisis multivariate.

Bedasarkan hasil analisis regresi linier berganda dapat terlihat bahwa

pengujian terhadap hipotesis yang menyatakan bahwa ada pengaruh faktor

komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi terhadap implementasi

kebijakan JKN tentang klaim INA CBG’s dilakukan dengan metode stepwise dengan

nilai signifikansi masing-masing variabel p < 0,05, namun secara parsial variabel

paling dominan memengaruhi implementasi kebijkan JKN tentang klaim INA CBG’s

di Rumah Sakit Islam Malahayati Medan adalah variabel sumber daya dengan nilai B

= 0,398 dan komunikasi dengan nilai B = 0,352 dengan syarat variabel lain di anggap

constan, artinya setiap penambahan satu poin pada variabel sumber daya maka dapat

meningkatkan pelaksanaan klaim INA CBG’s sebesar 35,2%, dan setiap ada

penambahan satu poin pada variabel komunikasi maka dapat meningkatkan

pelaksanaan klaim INA CBG’s sebesar 39,8%. Constan merupakan konstanta


persamaan regresi atau di kenal juga dengan nama intersep dan 0,352, 0,398, 0,152,

0,206 berturut-turut adalah konstanta X1, X2, X3, dan X4, sehingga apabila

dituliskan persamaan regresi linier berganda adalah sebagai berikut :

Y = 0,426 + 0,352X1 + 0,398X2 + 0,152X3 + 0,206X4

Interpretasi dari persamaan regresi tersebut adalah sebagai berikut :

konstanta/intersep sebesar 0,426 secara matematis menyatakan bahwa jika nilai

variabel bebas X1, X2, X3, dan X4 sama dengan nol maka nilai Y adalah 0,426.

Nilai koefesien variabel komunikasi (X1) sebesar 0,352, berarti bahwa

variabel komunikasi mempunyai hubungan positif dengan variabel implemetasi klaim

INA CBG’s. Hal ini menunjukkan bahwa naiknya varaibel komunikasi akan

menaikkan implementasi klaim IN ACBG’s (Y). Jika terjadi kenaikan variabel

komunikasi sebesar satu persen, maka akan manaikkan variabel implementasi klaim

INA CBG’s sebesar 0,352 persen, dengan asumsi bahwa variabel sumber daya (X2),

disposisi (X3), dan struktur birokrasi (X4) tetap pada tingkat kepercayaan 95 persen.

Nilai koefesien variabel sumber daya (X2) sebesar 0,398, berarti bahwa

variabel sumber daya mempunyai hubungan positif dengan variabel implemetasi

klaim INA CBG’s. Hal ini menunjukkan bahwa naiknya varaibel sumber daya akan

menaikkan implementasi klaim IN ACBG’s (Y). Jika terjadi kenaikan variabel

sumber daya sebesar satu persen, maka akan manaikkan variabel implementasi klaim

INA CBG’s sebesar 0,398 persen, dengan asumsi bahwa variabel komunikasi (X1),

disposisi (X3), dan struktur birokrasi (X4) tetap pada tingkat kepercayaan 95 persen.
Nilai koefesien variabel disposisi (X3) sebesar 0,152, berarti bahwa variabel

diposisi mempunyai hubungan positif dengan variabel implemetasi klaim INA

CBG’s. Hal ini menunjukkan bahwa naiknya varaibel disposisi akan menaikkan

implementasi klaim INA CBG’s (Y). Jika terjadi kenaikan variabel disposisi sebesar

satu persen, maka akan manaikkan variabel implementasi klaim INA CBG’s sebesar

0,152 persen, dengan asumsi bahwa variabel komunikasi (X1), sumber daya (X2),

dan struktur birokrasi (X4) tetap pada tingkat kepercayaan 95 persen.

Nilai koefesien variabel struktur birokrasi (X4) sebesar 0,206, berarti bahwa

variabel struktur birokrasi mempunyai hubungan positif dengan variabel implemetasi

klaim INA CBG’s. Hal ini menunjukkan bahwa naiknya varaibel struktur birokrasi

akan menaikkan implementasi klaim IN ACBG’s (Y). Jika terjadi kenaikan pada

variabel struktur birokrasi, maka akan manaikkan variabel implementasi klaim INA

CBG’s sebesar 0,206 persen, dengan asumsi bahwa variabel komunikasi (X1),

sumber daya (X2), disposisi (X3) tetap pada tingkat kepercayaan 95 persen.

Untuk melihat pengaruh faktor komunikasi, sumber daya, disposisi dan

struktur birokrasi terhadap implementasi kebijakan JKN tentang klaim INA CBG’s di

Rumah Sakit Islam Malahayati Medan dapat di lihat pada tabel 4.13 berikut ini.
Tabel 4.13 Pengaruh Faktor Komunikasi, Sumber daya, Disposisi, dan Struktur
Birokrasi Terhadap Implementasi Kebijakan JKN Tentang Klaim INA CBG’s
di Rumah Sakit Islam Malahayati

Variabel Nilai B T r2 Nilai p


Komunikasi 0,352 3,195 0,002
Sumber Daya 0,398 3,570 0,001
Disposisi 0,152 1,456 0,261 0,150
Struktur Birokrasi 0,206 1,758 0,083
Constant 0,426 1,510

Berdasarkan hasil uji regresi linier berganda dengan metode stepwise

didapat nilai R Square sebesar 0,261, artinya ke empat variabel independen

(komunikasi, sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi) dapat menjelaskan

variabel implementasi kebijakan JKN tentang klaim INA CBG’s sebesar 26,1%,

sedangkan sisanya dijelaskan oleh varaibel lain. Dari hasil uji statistik (lihat kotak

ANOVA pada lampiran halaman 136) didapatkan p value = <0,001 berarti persamaan

garis regresi secara keseluruhan sudah signifikan. Namun secara parsial variabel

sumber daya dan komunikasi yang berpengaruh signifikan terhadap implementasi

kebijakan JKN tentang klaim INA CBG’s dengan nilai p <0,005.


BAB 5

PEMBAHASAN

5.1 Implementasi Kebijakan JKN Tentang Klaim INA CBG’s di Rumah Sakit
Islam Malahayati Tahun 2016

Implementasi kebijakan JKN tentang klaim INA CBG’s merupakan

pelaksanaan suatu kebijakan yang telah di buat oleh Pemerintah terkait dengan

pembiayaan kesehatan dari program JKN yang disebut dengan klaim INA CBG’s.

Klaim INA CBG’s adalah metode pembayaran prospektif yang merupakan metode

pembayaran yang dilakukan atas layanan kesehatan yang besarannya sudah diketahui

sebelum pelayanan kesehatan diberikan berdasarkan diagnosa sehingga program INA

CBG’s dapat mengendalikan mutu dan biaya. Implementasi kebijakan JKN tentang

klaim INA CBG’s dalam penelitian ini dapat di lihat dari aspek pelaksanaan sistem

coding, clinical pathway dan sistem costing.

Berdasarkan hasil penelitian pelaksanaan sistem coding di Rumah Sakit Islam

Malahayati sudah berjalan dengan cukup baik, namun clinical Pathway masih belum

bisa berjalan denga baik, di karenakan clinical pathway yang terdapat di Rumah Sakit

Islam Malahayati yang berjalan hanya ada satu clinical pathway yaitu clinical

pathway SC (Sectio Caesar) sehingga pelaksanaan klaim INA CBG’s juga belum

bisa terlaksana dengan sempurna. Hal ini juga sejalan dengan hasil wawancara

peneliti dengan manajemen Rumah Sakit Islam Malahayati pada survey awal yang

mengatakan bahwa implementasi kebijakan JKN tentang klaim INA CBG’s belum
sepenuhnya berjalan secara efektif. Dari hasil wawancara peneliti dengan koordinator

casemix juga didapat bahwa pelaksanaan klaim INA CBG’s sudah cukup baik,

Pelaksanaan sistem coding dan costing juga sudah cukup efektif, walaupun masih

terdapat kendala-kendala seperti dokter DPJP menulis diagnosa tetapi hasil-hasil

penunjang tidak dilampirkan, tulisan di rekam medis susah di baca sehingga

koderpun susah membuat codingannya, serta clinical pathway yang tersedia hanya

satu clinical pathway saja sehingga hal tersebut menjadi kendala dalam pelaksanaan

costing.

Menurut Mohammad Aljunid yang di kutip oleh Pribadi, (2016) Rumah sakit

hendaknya memiliki minimal 10 Clinical Pathway untuk kasus terbanyak atau 10

besar penyakit di rumah sakit. Sistem costing yang berjalan di Rumah Sakit Islam

Malahayati sudah berjalan dengan cukup baik. Di mana Tujuan dari costing adalah

tercapainya efisiensi di rumah sakit melalui pengendalian biaya (cost containtment)

(Pribadi, 2016).

Berdasarkan pembahasan di atas peneliti dapat menyimpulkan bahwa

pelaksanaan kebijakan JKN tentang klaim INA CBG’s sudah terlaksana dengan

cukup baik, namun walaupun demikian Rumah Sakit Islam Malahayati hendaknya

harus lebih meningkatkan dan mengoptimalkan lagi pelaksanaan sistem coding,

karena Dokter dan Koder mempunyai peran yang penting dalam penerapan sistem

kode INA CBG’s, karena diagnosa dan prosedur atau tindakan yang telah dituliskan

oleh dokter selanjutnya diberi kode yang sesuai berdasarkan pada ICD-10 & ICD 9-

CM oleh coder.
Kesalahan dalam pemberian kode diagnosa dan prosedur akan memengaruhi

klaim pelayanan kesehatan di rumah sakit. Pada pelaksanaan Sistem costing rumah

sakit hendaknya dapat meningkatkan lagi ketrampilan dan kehandalan petugas tim

costing dalam menghitung unit cost pelayanan dengan mendasarkan perhitunganya

pada Clinical Pathway dan membandingkanya dengan tarif INA-CBG’s, tentunya

dengan harapan pendapatan total akan lebih besar daripada biaya yang telah

dikeluarkan, selain itu rumah sakit juga hendaknya dapat menyediakan clinical

pathway lebih banyak lagi agar pelaksanaan klaim INA CBG’s dapat terlaksana

dengan lebih baik. Untuk keberhasilan pelaksanaan Clinical Pathway komitmen

petugas terutama dokter menjadi sangat penting dalam pelaksanaan klaim,

karena Clinical Pathway akan menjadi acuan untuk informasi perhitungan unit cost

sehingga hal tersebut dapat mengendali mutu dan biaya rumah sakit lebih optimal

lagi.

5.2 Pengaruh Komunikasi Terhadap Implementasi Kebijakan JKN tentang


Klaim INA CBG’s di Rumah Sakit Islam Malahayati Medan

Berdasarkan hasil penelitian dengan analisis multivariate dengan uji regresi

linier berganda didapatkan bahwa ada pengaruh signifikan antara variabel

komunikasi terhadap implementasi kebijkan JKN tentang klaim INA CBG’s.

Mengacu pada hasil stastik tersebut dapat dijelaskan bahwa semakin baik peran

komunikasi maka semakin baik implementasi kebijakan JKN tentang klaim INA

CBG’s, sebaliknya semakin tidak baik peran komunikasi maka semakin tidak baik

implementasi kebijakan JKN tentang klaim INA CBG’s.


Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan coordinator casemix didapat

bahwa peraturan/kebijakan sudah di sosialisasi atau dikomunikasikan dengan cukup

baik, hanya saja petugas/karyawan yang belum sepenuhnya menjalankan peraturan.

Hal ini sejalan dengan teori Edward III (1980) yang mengatakan bahwa

komunikasi berpengaruh signifikan terhadap implementasi kebijakan JKN tentang

klaim INA CBG’s. Penelitian Misroji (2014) juga menyatakan komunikasi

berpengaruh signifikan terhadap implementasi kebijakan, namun berbeda dengan

penelitian Adnan (2016) menyatakan bahwa komunikasi tidak berpengaruh signifikan

terhadap implementasi.

Rumah Sakit Islam Malahayati memiliki karyawan yang cukup terampil

dalam bidangnya, termasuk juga terampil dalam berkomunikasi, dibuktikan dari hasil

penelitian tentang sosialisasi tentang klaim INA CBG’s didapat bahwa terlaksana

dengan cukup baik, dan segala informasi tentang peraturan/kebijakan yang terkait

dengan klaim INA CBG’s juga disampaikan dan di terima dengan cukup jelas oleh

petugas, namun hal tersebut masih dapat di optimalkan lagi dengan lebih baik dengan

cara pihak manajemen memberikan pelatihan atau memfasilitasi petugas agar

mengikuti seminar, workshop mengenai komunikasi atau sosialisasi agar

implementasi kebijakan JKN tentang klaim INA CBG’s dapat terlaksana dengan

lebih baik lagi.

Keberhasilan implementasi suatu kebijakan diharapkan agar implementor

mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran

kebijakan harus dikomunikasikan kepada kelompok sasaran sehingga akan


mengurangi distorsi implementasi. Apabila tujuan dan sasaran suatu kebijakan tidak

jelas atau bahkan tidak diketahui sama sekali oleh kelompok sasaran, maka

kemungkinan akan terjadi resistensi dari kelompok sasaran (Edward, 1980).

Komunikasi merupakan faktor yang sangat penting karena komunikasi

berkaitan dengan penyampaian informasi, peraturan atau kebijakan yang menjadi

pedoman bagi petugas Rumah Sakit Islam Malahayati dalam melaksanakan klaim

INA CBG’s agar terlaksana dengan baik. Implementasi kebijakan akan berjalan

efektif bila mereka yang melaksanakan keputusan mengetahui apa yang harus mereka

lakukan (Subarsono, 2005).

Berdasarkan pembahasan di atas peneliti dapat menyimpulkan bahwa

komunikasi sudah berjalan dengan cukup baik, namun walaupun demikian

komunikasi harus dapat ditingkatkan lebih baik lagi dengan mengikuti pelatihan,

seminar dan workshop agar petugas lebih berkompeten dalam menyampaikan dan

menerima suatu informasi yang berkaitan dengan implementasi klaim INA CBG’s.

5.3 Pengaruh Sumber Daya Terhadap Implementasi Kebijakan JKN tentang


Klaim INA CBG’s di Rumah Sakit Islam Malahayati Medan

Berdasarkan hasil penelitian dengan analisis multivariate dengan uji regresi

linier berganda didapatkan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara variabel

sumber daya dengan implementasi kebijakan JKN tentang klaim INA CBG’s.

Mengacu pada hasil uji statistik tersebut dapat dijelaskan bahwa semakin menurun

kualitas dan kuantitas sumber daya maka pelaksanaan kebijakan JKN tentang klaim

INA CBG’s semakin tidak baik, sebaliknya semakin meningkat kualitas dan kuantitas

sumber daya maka pelaksanaan klaim INA CBG’s semakin baik.


Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan kasubag SDM&P didapat

bahwa jumlah SDM sudah mencukupi, hanya saja masih ada sebagian karyawan yang

kurang patuh terhadap peraturan/kebijakan yang sudah dibuat. Sarana prasarana juga

sudah cukup baik, walaupun masih banyak yang harus di tingkatkan lagi seperti

jaringan internet yang sering terganggu dan mati mendadak, alat-alat penunjang

medis seperti endoscopy, CT.Scan belum tersedia di rumah saki (Kasubag SDM & P,

32 tahun).

Hal ini sejalan dengan penelitian Wahyudin dkk, 2016 yang menyatakan

bahwa dimensi sumber daya dengan tingkat signifikasi 0,000 dan standar koefisien

0,208 menggambarkan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara kecukupan staf

atau tenaga kesehatan serta ketersediaan fasilitas atau sarana prasarana yang memadai

terhadap keberhasilan implementasi kebijakan dan kualitas pelayanan. Penelitian

Adnan, 2016 juga menyatakan bahwa sumber daya berpenguruh positif terhadap

implementasi kebijakan. Ini sesuai dengan teori Edward III (1980) yang menyatakan

bahwa sumberdaya memengaruhi implementasi. Hal ini juga sesuai dengan penelitian

Hardhinawati, (2012) yang menyatakan bahwa salah satu faktor yang memengaruhi

Implementasi Program Percepatan Penanggulangan Kemiskinan di Kota Batu yaitu

sumber daya. Purwita, (2013) menyatakan bahwa pelaksanaan program JKBM di

RSUD Wangaya Bali didukung oleh faktor yang paling dominan berpengaruh yaitu

sumber daya.

Rumah Sakit Islam Malahayati memiliki karyawan yang sudah cukup baik,

baik itu skill, ketrampilan dan kemampuan dalam melakukan pekerjaannya termasuk
dalam pelaksananaan klaim INA CBG’s, namun kualitas SDM yang mungkin masih

perlu ditingkatkan lagi, begitu juga denga fasilitas sarana prasarana yang mungkin

masih kurang lengkap seperti alat CT.Scan, endoscopi, PICU, NICU yang belum

tersedia di rumah sakit, sehingga jika ada pasien yang membutuhkan alat tersebut

pasien tidak perlu di rujuk lagi ke rumah sakit lain.

Implementasi suatu kebijakan atau program perlu didukung oleh sumber daya,

baik sumber daya manusia maupun sumber daya lainnya. Keberhasilan proses

implementasi suatu kebijakan atau program juga dipengaruhi oleh kemampuan dalam

mengolah dan memanfaatkan sumber daya yang tersedia secara optimal. Ketersediaan

dan kemampuan staf adalah indikator sumber daya yang paling penting dalam

menentukan keberhasilan proses implementasi. Kegagalan yang sering terjadi dalam

implementasi suatu kebijakan atau program salah satunya disebabkan oleh karena staf

yang tidak mencukupi, memadai, ataupun tidak kompeten dibidangnya. Penambahan

jumlah staf dan implementor saja tidak cukup, tetapi diperlukan juga kecukupan staf

dengan keahlian dan kemampuan yang diperlukan (kompeten dan kapabel) dalam

mengimplementasikan suatu kebijakan atau program serta melaksanakan tugas yang

diinginkan oleh kebijakan maupun program itu sendiri. Selain ketersediaan dan

kemampuan staf, ada pula beberapa sumber daya lainnya yang perlu diperhatikan

dalam proses implementasi suatu kebijakan atau program yaitu fasilitas atau sarana

dan prasarana. Fasilitas juga merupakan faktor yang penting dalam indikator

keberhasilan implementasi suatu kebijakan atau program. Implementor mungkin

memiliki staf yang mencukupi, mengerti apa yang harus dilakukan dan memiliki
wewenang untuk melaksanakan tugasnya, tetapi tanpa adanya fasilitas pendukung

berupa sarana dan prasarana maka implementasi suatu kebijakan atau program

tersebut tidak akan berhasil (Pramana, 2015).

Menurut Edward, (1980) walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan

secara jelas dan konsisten, tetapi bila implementor kekurangan sumber daya untuk

melaksanakan, implementasi tidak akan berjalan dengan efektif, tanpa sumber daya,

kebijakan hanya tinggal di atas kertas dan menjadi dokumen saja. Sumber daya

tersebut dapat berwujud sumber daya manusia, yakni ketrampilan dan kehandalan

implementor, serta fasilitas-fasilitas atau sarana prasarana.

Berdasarkan pembahasan di atas peneliti dapat menyimpulkan bahwa sumber

daya (staf) sudah memiliki skill atau ketrampilan yang baik, namun jumlah SDM

yang perlu ditambahkan lagi sesuai dengan kebutuhan di lapangan, sedangkan sarana

dan prasarana serta infrastruktur sudah cukup memadai, namun masih perlu

ditingkatkan lagi agar pelaksanaan kebijakan JKN tentang klaim INA CBG’s dapat

terlaksana dengan lebih baik lagi.

5.4 Pengaruh Disposisi Terhadap Implementasi Kebijakan JKN tentang


Klaim INA CBG’s di Rumah Sakit Islam Malahayati Medan

Berdasarkan hasil penelitian dengan analisis multivariate dengan uji regresi

linier berganda didapatkan bahwa secara parsial disposisi tidak berpengaruh

signifikan terhadap implementasi kebijkan JKN tentang klaim INA CBG’s. Mengacu

pada hasil stastik tersebut dapat dijelaskan walaupun disposisi berjalan dengan baik
belum tentu implementasi kebijakan JKN tentang klaim INA CBG’s berjalan dengan

baik. Pada penelitian ini bukan berarti variabel disposisi tidak penting dalam

pelaksanaan kebijakan JKN tentang klaim INA CBG’s, namun ada variabel lain yang

lebih dominan berpengaruh pada implementasi kebijakan JKN tentang klaim INA

CBG’s di rumah sakit.

Hal ini sejalan dengan penelitian Adnan, 2016 yang menyatakan bahwa

disposisi tidak berpengaruh signifikan terhadap implementasi kebijakan, namun tidak

sesuai dengan teori Edward, 1980 yang menyatakan bahwa disposisi berpengaruh

signifikan terhadap implementasi kebijkan.

Hal ini kemungkinan terjadi karena disposisi berupa dukungan, komitmen dan

kerja sama petugas belum berjalan secara optimal seperti sebagian dokter spesialis

kurang memiliki komitmen yang baik dalam melaksanakan peraturan-peraturan yang

terkait klaim INA CBG’s, sebagian dokter spesialis kurang patuh dalam mengisi

resume medis secara lengkap dengan tulisan yang mudah di baca, sebagian dokter

spesialis merujuk atau mengirim pasiennya ke rumah sakit sering tidak mengikuti

prosedur, serta sesama petugas sering terjadi konflik kerja.

Berdasarkan hasil survey awal penliti juga didapat bahwa di Rumah Sakit

Islam Malahayati pelaksanaan klaim INA CBG’s belum berjalan secara efektif, hal

ini disebabkan karena kurangnya komitmen/kerjasama petugas dalam menjalankan

prosedur atau peraturan-peraturan yang sudah ditetapkan, contohnya 4 dari 6 rekam

medis pasien pulang terlambat diserahkan oleh perawat/kepala ruangan ke petugas

BPJS dan rekam medis sering dalam keadaan tidak lengkap, sehingga membutuhkan
waktu yang lebih lama lagi dalam melakukan proses klaim, karena rekam medis harus

dipulangkan kembali ke ruangan untuk di lengkapi, akibatnya dapat menambah daftar

klaim susulan. Contoh lainnya seperti petugas admisi sering menerima pasien BPJS

rawat inap kiriman dari dokter spesialis dengan berkas yang tidak lengkap dan tidak

sesuai prosedur, dimana kelengkapan berkas dapat memengaruhi proses klaim, biaya

atau besaran klaim/tarif sampai dengan gagal klaim yang berdampak pada biaya

operasional rumah sakit.

Hal ini juga sejalan dengan hasil wawancara peneliti dengan coordinator

casemix didapat bahwa kepatuhan, komitmen/kerja sama tim sudah cukup baik,

namun tetap harus ditingkatkan lagi agar lebih baik lagi, sehingga tidak ada lagi

dokter spesialis yang megisi resume medis yang tidak lengkap, dokter spesialis tidak

meresep obat-obatan di luar DPHO, serta hasil-hasil pemeriksaan dilampirkan secara

lengkap sehingga pelaksanaan klaim INA CBG’s juga terlaksana dengan lebih baik

lagi.

Berdasarkan hasil observasi dan telaah dokumen yang peneliti lakukan pada

survey awal juga didapat bahwa total klaim JKN tarif INA CBG’s rawat inap tahun

2014 adalah 30,647,920,553,00, rawat jalan adalah 2,077,714,697,00. Total selisih

kerugian rawat inap tahun 2014 adalah 5,541,981,149,00, dan rawat jalan adalah

140,036,685,00. Total klaim JKN tarif INA CBG’s rawat inap tahun 2015 adalah

28,717,649,900,00, rawat jalan adalah 3,488,306,557,00. Total selisih kerugian rawat

inap tahun 2015 adalah 4,581,049,316,00, dan rawat jalan adalah 124,145,476,00

(Tim BPJS Internal RS).


Berdasarkan penjelasan di atas peniliti berasumsi bahwa dukungan, komitmen

dan kerja sama petugas belum terlaksana secara optimal di karenakan sistem reward

dan sistem remunerasi yang belum berjalan, sehingga petugas/karyawan belum

sepenuhnya menunjukkan komitmen atau dukungan yang optimal terhadap

implementasi JKN tentang klaim INA CBG’s di Rumah Sakit Islam Malahayati

Medan.

Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor,

seperti dukungan, komitmen, kerjasama tim, respon dan sifat demokratis. Apabila

implementor memiliki disposisi yang baik, maka dia akan dapat menjalankan

kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Ketika

implementor memiliki sikap atau perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan,

maka proses implementasi kebijakan juga menjadi tidak efektif Edwards, (1980).

Berdasarkan pembahasan di atas peneliti dapat menyimpulkan bahwa secara

umum disposisi sudah berjalan dengan cukup baik, namun walaupun demikian

disposisi bukan menjadi suatu faktor pendorong pada pelaksanaan kebijakan JKN

tentang klaim INA CBG’s, namun ada faktor lain yang lebih dominan yaitu faktor

sumber daya dan komunikasi.

5.5 Pengaruh Struktur Birokrasi Terhadap Implementasi Kebijakan JKN


tentang Klaim INA CBG’s di Rumah Sakit Islam Malahayati Medan

Berdasarkan hasil penelitian dengan analisis multivariate dengan uji regresi

linier berganda didapatkan bahwa secara parsial struktur birokrasi tidak berpengaruh

signifikan terhadap implementasi kebijkan JKN tentang klaim INA CBG’s. Mengacu
pada hasil stastik tersebut dapat dijelaskan walaupun struktur birokrasi berjalan

dengan baik belum tentu implementasi kebijakan JKN tentang klaim INA CBG’s

berjalan dengan baik. Pada penelitian ini bukan berarti variabel struktur birokrasi

tidak penting dalam pelaksanaan kebijakan JKN tentang klaim INA CBG’s, namun

ada variabel lain yang lebih dominan berpengaruh pada implementasi kebijakan JKN

tentang klaim INA CBG’s di rumah sakit.

Sementara itu berdasarkan hasil wawacara peneliti dengan koordinator

casemix didapat bahwa semua SOP sudah tersedia, pelaksanaanya juga cukup baik

walaupun masih ada sebagian petugas yang kurang mengaplikasikan SOP pada

pekerjaannya.

Hal ini tidak sejalan dengan teori Edward, (1980) yang menyatakan bahwa

struktur birokrasi berpengaruh signifikan terhadap implementasi kebijakan, namun

berbeda dengan penellitian Adnan, 2016 yang menyatakan bahwa struktur birokrasi

tidak berpengaruh signifikan terhadap implementasi kebijakan.

Rumah Sakit Islam Malahayati memiliki struktur organisasi yang cukup baik

sesuai kualifikasi, beban kerja dan tanggung jawab, SOP juga tersedia dengan cukup

rapi, serta pelaksanaan SOP juga terlaksana dengan cukup baik, namun walaupun

demikian birokrasi harus dapat ditingkatkan lagi agar lebih baik terutama pada

pelaksanaan SOP seperti bekerja atau memberi pelayanan serta merujuk dan

menerima pasien beradsarkan SOP.

Menurut Edward, (1980) struktur birokrasi sangat penting dalam pelaksanaan

suatu kebijakan. Walaupun sumber daya untuk melaksanakan suatu kebijakan


tersedia, atau para pelaksana kebijakan mengetahui apa yang seharusnya dilakukan,

dan mempunyai keinginan untuk melaksanakan suatu kebijakan, kemungkinan

kebijakan tersebut tidak dapat dilaksanakan atau direalisasikan karena terdapatnya

kelemahan dalam struktur birokrasi. Kebijakan yang begitu kompleks menuntut

adanya kerjasama banyak orang, ketika stuktur birokrasi tidak kondusif pada

kebijakan yang tersedia, maka hal ini akan menyebabkan sumber daya-sumber daya

menjadi tidak efektif dan menghambat jalannya kebijakan. Birokrasi sebagai

pelaksana sebuah kebijakan harus dapat mendukung kebijakan yang telah diputuskan

secara politik dengan jalan melakukan koordinasi dengan baik dan melakukan setiap

pekerjaan berdasarkan SOP. Dengan menggunakan SOP, para pelaksana dapat

memanfaatkan waktu yang tersedia. SOP menjadi pedoman bagi setiap implementor

dalam bertindak. (Subarsono, 2005).

Berdasarkan pembahasan di atas peneliti dapat menyimpulkan bahwa struktur

birokrasi sudah berjalan dengan cukup baik, namun walaupun demikian disposisi

bukan menjadi suatu faktor pendorong pada pelaksanaan kebijakan JKN tentang

klaim INA CBG’s, namun ada faktor lain yang lebih dominan yaitu faktor sumber

daya dan komunikasi.

5.6. Implikasi Penelitian

5.6.1 Implikasi terhadap Rumah Sakit

Hasil penelitian ini berimplikasi bagi rumah sakit karena dengan pelaksanaan

klaim INA CBG’s yang tidak efektif atau buruk maka pendapatan rumah sakit akan

menurun sehingga akan mengalami kerugian yang berdampak pada biaya operasional
rumah sakit dan pelayanan kesehatan. Hal tersebut berimplikasi terhadap peran

manajemen Rumah Sakit Islam Malahayati Medan meningkatkan pelaksanaan

komunikasi atau sosialisasi, kualitas sumber daya baik itu ketrampilan

petugas/karyawan dengan memberikan atau memfasilitasi pelatihan-pelatihan yang

dibutuhkan yang terkait dengan pelaksanaan klaim INA CBG’s secara berkala, dan

meningkatkan sarana prasarana lebih baik lagi, serta menjalankan sistem reward bagi

petugas yang berprestasi, serta menjalankan sistem remunerasi untuk meningkatkan

disposisi serta meningkatkan struktur birokrasi agar lebih baik lagi dalam

menjalankan implementasi kebijakan JKN tentnag klaim INA CBG’s.

5.6.2 Implikasi terhadap petugas yang terkait dengan pelaksanaan proses klaim
INA CBG’s di Rumah Sakit Islam Malahayati Medan

Hasil penelitian ini berimplikasi untuk peningkatan pelaksanaan implementasi

klaim INA CBG’s di Rumah Sakit Islam Malahayati. petugas/karyawan yang terkait

diberikan pelatihan oleh pihak rumah sakit untuk meningkatkan komunikasi atau

sosialisasi tentang peraturan/kebijakan secara baik dan jelas, sehingga tidak terjadi

miss komunikasi, dan pesan atau peraturan yang disampaikan dapat diterima secara

baik dan menyeluruh, selain itu dengan terlaksananya sistem reward bagi petugas

yang berprestasi dan sistem remunerasi maka petugas/karyawan pasti akan lebih

meningakatkan lagi kepatuhan, dukungan, kerja sama serta komitmennya terhadap

implementasi kebijakan JKN tentang klaim INA CBG’s, dengan demikian maka

klaim IN ACBG’s dapat dilakukan secara tepat waktu setiap bulannya, serta dapat

menghindari gagal klaim yang berakibat terjadinya kerugian bagi rumah sakit yang

berdampak pada biaya operasional rumah sakit dan pelayanan kesehatan.

Berdasarkan uraian tersebut di atas maka skema hasil penelitian dapat dilihat pada

tabel di bawah ini :


IMPLEMENTASI KLAIM
INA CBG’s

Komunikasi Sumber Daya Disposisi Struktur Birokrasi

Intervensi : Intervensi : Intervensi : Intervensi :


1) Rumah sakit 1) Rumah sakit 1) Rumah sakit 1) Rumah sakit
memeberi memberikan menjalankan melakukan
atau pelatihan seperti sistem reward monitoring dan
memfasilitasi pelatihan bagi petugas evaluasi
petugas dalam tentang sistem yang terhadap
mengikuti coding, costing berprestasi dan struktur
pelatihan- dan alin-lain menjalankan organisasi dan
pelatihan untuk mengasah sistem pelaksanaan
sesuai yang ketrampilan remunerasi SOP
dibutuhkan. petugas lebih 2) petugas 2) Petugas
2) Petugas yang baik lagi, serta meningkatkan menjalankan
terkait menyediakan kerjasama, pekerjaannya
menerapkan sarana dan komitmen dan sesuai
pelatihan yang prasarana yang kepatuhan wewenang,
telah dibutuhkan terhadap jabatan dan
diberikan oleh lebih lengkap peraturan/kebij uraian
pihak rumah dan lebih baik akan yang tugasnya, serta
sakit dengan lagi. sudah melaksanakan
mensosialisasi 2) Petugas ditetapkan pekerjaannya
kan melaksanakan lebih baik lagi. sesuai SOP
peraturan/kebi pekerjaannya dengan lebih
jakan yang lebih terampil baik lagi
terkait dengan dan lebih baik
implementasi lagi, dan dengan
klaim INA adanya sarana
CBG’s secara prasarana lebih
baik, jelas dan lengkap pasien
menyeluruh. tidak perlu
dirujuk lagi
untuk
mendapatkan
pelayanan yang
dibutuhkan

Gambar 5.1 Skema Hasil Penelitian


5.3. Keterbatasan Penelitian

1. Peneliti tidak meneliti faktor lain yang mungkin berpengaruh terhadap

implementasi kebijakan JKN tentang klaim INA CBG’s, sehingga pada hasil

penelitian ini nilai R Square didapat di bawah 50%.

2. Keterbatasan waktu dalam penelitian ini membuat peneliti tidak dapat melakukan

penelitian terhadap sampel yang lebih besar.

3. Hasil kuesioner sangat dipengaruhi oleh tingkat kejujuran responden, sehingga

hasil yang diperoleh sangat bergantung kepada tingkat kejujurannya.


BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah disampaikan pada

bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa komunikasi, sumber daya, disposisi dan

struktur birokrasi secara serempak berpengaruh signifikan terhadap implementasi

kebijakan JKN tentang klaim INA CBG’s, namun secara parsial hanya variabel

sumber daya dan komunikasi yang berpengaruh signifikan terhadap implementasi

kebijakan JKN tentang klaim INA CBG’s di Rumah Sakit Islam Malahayati Medan.

6.2 Saran

Diharapkan kepada Pimpinan Rumah Sakit Islam Malahayati Medan agar

tetap mempertahankan dan meningkatkan komunikasi yang lebih baik, sumber daya

yang handal dan profesionalisme, komitmen dan kerja sama yang lebih baik serta

menjalankan segala pekerjaan dengan berpedoman kepada SOP agar mampu

memberikan pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan JKN tentang

klaim INA CBG’s di Ruamh Sakit Islam Malahayati Medan, seperti :

1. Komunikasi yaitu dengan cara Rumah Sakit Islam Malahyati memberi atau

menfasilitiasi karyawan untuk mengikuti pelatihan komunikasi seperti

komunikasi efektif, pelatihan tentang pengkodingan dan lain-lain serta

meningkatkan ketrampilannya dengan mensosialisasikan segala peraturan secara


jelas, konsisten dan mudah untuk dipahami oleh seluruh staf yang menjalankan

klaim INA CBG’s di Rumah Sakit Islam Malahayati Medan.

2. Sumber Daya yaitu dengan cara Rumah Sakit Islam Malahayati meningkatkan

ketrampilan, kehandalan dan skill staf dan karyawan dengan lebih baik dengan

cara mengikuti pelatihan dan seminar di bidang profesi masing-masing, serta

menambah karyawan jika memang diperlukan agar karyawan dapat bekerja

sesuai porsi pekerjaannya masing-masig, serta meningkatkan kualitas sarana dan

parasarana yang lebih baik dan lebih memadai lagi di Rumah Sakit Islam

Malahayati Medan.

3. Disposisi yaitu dengan cara Rumah Sakit Islam Malahayati agar meningkatkan

dukungan, kerja sama dan kepatuhan terhadap semua peraturan-peraturan yang

ada di Rumah Sakit Islam Malahayati terutama peraturan yang terkait dengan

kliam INA CBG’s agar agar pelaksanaannya dapat terlaksana dengan baik tanpa

terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti banyaknya klaim susulan, gagal

klaim yang dapat merugikan rumah sakit dengan cara memberi reward bagi

petugas yang berprestasi serta menjalanakan sistem remunerasi.

4. Struktur birokrasi yaitu dengan cara Rumah Sakit Islam Malahayati agar

menyususn struktur organisasi rumah sakit sesuai dengan kualifikasi,

kemampuan dan beban kerja lebih baik lagi, serta melakukan monitoring dan

evaluasi terhadap petugas, dan diharapkan kepada seluruh karyawan agar bekerja

sesuai dengan SOP agar output yang dihasilkan sesuai dengan yang diharapkan.
DAFTAR PUSTAKA

Adnan, 2015. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Implementasi Rencana Peningkatan


Mutu Pendidikan Dasar di Kabupaten Padang Pariaman. Tesis
Universitas Brawijaya. Malang

Agung, 2013. Faktor-Faktor Determinan yang Mempengaruhi Implementasi


Program Jaminan Kesehatan Bali Mandara di RSUD Wangaya
Denpasar”. Jurnal Kebijakan dan Manajemen Publik,

Ambarriani, 2015. Besaran kliam INA CBG’s. Diakses 21 maret 17;


http://manajemenrumahsakit.net/2015/07/besaran-klaim-ina-cbgs-bisakah-
menutup-biaya/

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. 2014. Info BPJS Kesehatan Media Internal
Resmi BPJS Kesehatan Edisi VIII. Jakarta.

Depkes RI, 2009. Sistem Kesehatan Nasional (Bentuk dan Cara Penyelenggaraan
Pembangunan Kesehatan). Jakarta.

DJSN, 2014. Evaluasi Implementasi Tarif INA-CBG’S Dalam Jaminan Kesehatan


Nasional. Diakses 28 maret 2017;
https://inacbg.blogspot.co.id/2014/10/evaluasi-implementasi-tarif-ina-
cbgs.html

Firmanda D, 2005. Pedoman Penyusunan Clinical Pathways dalam rangka


implementasi Sistem DRGs Casemix di rumah sakit. Disampaikan dalam
Sidang Pleno Komite Medik RS Fatmawati, Jakarta.

Jauharin, 2014. Faktor Faktor Ynag Mempengaruhi Selisih Tarif Rawat Inap Ina
Cbg’s Dengan Tarif Rumah Sakit Pasien Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN) Di RSUD Leuwiliang Periode Januari April 2014. Tesis Pasca
Sarjana Universitas Indonesia. Jakarta.

Kebijakan Kesehata Indoesia (KKI), 2016. Kerugian BPJS Kesehatan 2016


Diperkirakan Mencapai Rp 9,7 Triliun. Diakses 16 maret 2017;
http://kebijakankesehatanindonesia.net/25-berita/berita/3023-kerugian-
bpjs-kesehatan-2016-diperkirakan-mencapai-rp-9-7triliun

Kemenkes RI, 2014 Buku Pegangan Sosialisasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional. Jakarta: Bakti Husada.
Maharani, 2016. Penyakit Terkait Rokok Paling Banyak Sedot Dana BPJS. Diakses 16 maret
2017;
http://health.kompas.com/read/2016/07/30/080000723/Penyakit.Terkait.R
okok.Paling.Banyak.Sedot.Dana.BPJS

Malonda, 2015 Analysis BPJS Filing Claims in Dr Sam Ratulangi Tondano Hospital.
Artikel Penelitian, Program Pascasarjana Universitas Sam Ratulangi
Manado, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi
Manado

Mawaddah, 2015. Analisis Perbedaan Pembiayaan Berbasis Tarif INA-CBG’s


dengan Tarif Riil Rumah Sakit Pada Pasien Peserta Jkn Kasus Diabetes
Mellitus Tipe II Rawat Inap Kelas III di Rumah Sakit Kalisat Jember
Periode Januari – Juni 2015. Skripsi Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan, Universitas Muhammadiyah. Yogyakarta

Mohamad Rosminah, 2012. Hospital Universiti Sains Malaysia by Using UNU-CBG


Grouper: is it Feasible to Support Apex Programme. Articles from BMC
Health Services Research are provided here courtesy of BioMed Central.
School of Health Sciences, Universiti Sains Malaysia, Kubang Kerian,
Kelantan, Malaysia

Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta

Nurhidayati Retno, 2016. Analisis Perbedaan Tarif Klaim Indonesian Case Base
Groups (InaCbgs) Berdasarkan Kelengkapan Diagnosis Dan Prosedur
Medis Pasien Rawat Bersama Trisemester I Di Rsud Kota Yogyakarta
Tahun 2015. Publikasi Ilmiah Universitas Muhammadiyah surakarta.

Pramana, 2015. Implementasi Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Poli


Geriatri Rumah Sakit Umum (Rsu) Dr Soetomo Surabaya. Jurnal Ilmu
Administrasi Negara. Surabaya

Pribadi Firman, 2016. Strategi dalam Mengantisipasi INA CBG’s di Rumah Sakit.
Diakses 28 maret 2017;
http://firmanpribadi.staff.umy.ac.id/strategidalam-mengantisipasi-ina-
cbgs-di-rumah-sakit/

Subarsono, A2005. Analisis Kebijakan Publik Konsep. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sudra,2010. Statistik Rumah Sakit.Yogyakarta: Graha Ilmu

Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Bisnis. Bandung: Alfabeta

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, kualitatif,


dan R&D. Bandung: Alfabeta
Suprapto dan Priatmojo, 2014. Penyakit Kronis ditanggung BPJS. Diakses 16 Maret
2017;
http://nasional.news.viva.co.id/news/read/473357-tak-usah-pusing-
penyakit-kronis-ditanggung-bpjs

Teguh, 2015. Benahi sistem JKN. Diakses 17 Maret 17;


http://health.kompas.com/read/2016/07/30/080000723/Penyakit.Terkait.R
okok.Paling.Banyak.Sedot.Dana.BPJS tgl 16.03.17

Thabrany, Hasbullah. 2014. Jaminan Kesehatan Nasional. Edisi kedua. Jakarta: PT


RajaGrafindo Persada.

Wahab, Solichin Abdul. 2004. Analisis Kebijakan: Dari Formulasi Ke Implementasi


Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bumi Aksara

Wahyudin, 2016. Pengaruh Implementasi Kebijakan Program Jaminan Kesehatan


Nasional (Jkn) Terhadap Kualitas Pelayanan Kesehatan di Puskesmas
Donggala Kabupaten Donggala. Jurnal Katalogis, Volume 4 Nomor 11.
Palu, Sulawesi Tengah

Wibawa, Samodera.1994. Implementasi Kebijakan Publik. Jakarta: Balai Pustaka


Jakarta.

Winarno, Budi, 2012. Kebijakan Publik. Edisi dan Reviis Terbaru, Yogyakarta:
CAPS.

________ 2004. Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional. Jakarta

________ 2010. Peraturan Menteri Kesehatan No. 71 tahun 2010 tentang Pelayanan
Kesehatan Nasional. Jakarta

________ 2013. Peraturan Presiden No. 12 tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan.
Jakarta

________ 2013. Peraturan Presiden No. 111 tahun 2013 tentang perubahan Atas
Peraturan Persiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan.
Jakarta.

________ 2014. Peraturan menteri kesehatan republik indonesia Nomor 27 tahun


2014 Tentang Petunjuk teknis Sistem Indonesian Case Base Groups
(INA-CBGS). Jakarta.

________ 2016. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 76 Tahun


2016 tentang Pedoman Indonesian Case Base Groups (INA-CBG)
Dalam pelaksanaan jaminan kesehatan nasional. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai