Anda di halaman 1dari 14

KASUS DEFISITNYA BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL KESEHATAN

(BPJS - KESEHATAN)

UJIAN AKHIR SEMESTER


MATA KULIAH LINGKUNGAN BISNIS & HUKUM KOMERSIAL

Di tulis oleh :
Khusnul Hayati Osnawanto
1810247038

PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
TAHUN AJARAN 2018/2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT Atas segala rahmat dan kuasaNya
mempermudah kami dalam pengerjaan tugas akhir ini. Shalawat serta salam selalu tercurah kepada
Nabi Muhammad SAW, yang berkatnya lah manusia terlepas dari jaman jahiliah ke jaman ilmu
pengetahuan seperti saat ini.
Makalah ini dibuat dalam rangka pemenuhan tugas akhir sebagai pengganti Ujian Akhir
Semester pada mata kuliah Lingkungan Bisnis dan Hukum Komersil yang diampu oleh Bapak Dr.
H. Kasman Arifin, SE., MM., Ak., CA., CISA. Makalah ini memuat tentang sebuah sudut pandang
ataupun opini terkait kasus defisitnya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS-
Kesehatan).
Semoga tulisan yang telah kami susun ini dapat memberikan banyak manfaat kepada
pembaca. Dan kami juga berharap segala bentuk kritik dan saran yang membangun dari dosen
kami tercinta dan para pembaca. Terima kasih.

Pekanbaru, 5 Desember 2019


Penulis

Khusnul Hayati Osnawanto


Defisit BPJS Kesehatan
Mampukah BPJS Kesehatan bertahan?
Oleh Khusnul Hayati Osnawanto
Magister Akuntansi Universitas Riau Angkatan XXV

Apa yang sebenarnya terjadi dibalik defisit BPJS Kesehatan?

Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) adalah suatu tata cara penyelenggaraan program
jaminan sosial oleh beberapa badan penyelenggaraan jaminan sosial. Di Indonesia, badan hukum
yang dibentuk khusus untuk menyelenggarakan jaminan sosial bidang kesehatan adalah BPJS
(Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan.
Sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional (SJSN) maka dibentuklah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial melalui Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Dengan Undang-
Undang ini, dibentuk dua BPJS, yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS
Kesehatan mulai beroperasi menyelenggarakan Program Jaminan Kesehatan pada tanggal 1
Januari 2014 yang dirancang untuk mencapai Universal Health Coverage (UHC) bagi seluruh
warga negara Indonesia dan merupakan transformasi kelembagaan PT Askes (Persero).

Sudah 5 tahun BPJS Kesehatan beranjak sejak bersulih dari PT Askes (Persero). Namun,
persoalan defisit yang di dera BPJS Kesehatan tidak bisa dibilang remeh. Sebagaimana yang kita
ketahui sejak awal beroperasi, badan ini telah turut serta meringankan beban rakyat Indonesia
dalam dunia kesehatan. Berita defisit yang di alami oleh BPJS Kesehatan setiap tahun ini
membawa kerisauan di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Mulai dari kekhawatiran masyarakat
akan semakin tingginya peningkatan iuran pesera sampai kekhawatiran masyarakat terhadap rules
penggunaan BPJS Kesehatan dalam pengklaiman penyakit yang kian dibatasi.

Ibarat penyakit, defisit pelaksana Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ini kian hari
kian menahun. Dilihat dari laporan keuangan yang di publish oleh BPJS Kesehatan , setelah defisit
sebesar Rp3,3 triliun pada tahun pertamanya, di tahun 2014 lalu defisitnya kian bengkak hingga
menyentuh Rp5,7 triliun pada tahun 2015. Kemudian, menjadi Rp9,7 Triliun pada tahun 2016.
Pada tahun 2017 angka defisit ini terus meningkat yakni sebesar Rp9,75 Triliun, sementara pada
tahun 2018 mengalami penurunan sebesar Rp 9,1 Triliun. Pada tahun 2019 di proyeksi akan
kembali meningkat sebesar Rp 28 Triliun. ( sumber : www.pantau.com )
Sumber : www.pantau.com

Lalu, Apa faktor yang menyebabkan terjadinya defisit pada BPJS Kesehatan ini?

Jika kita kembali membuka dan melihat laporan keuangan BPJS Kesehatan ini maka kita
akan dapat segera melihat hal apa yang menyebabkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Kesehatan ini kian mengalami defisit. Hal utama yang paling mendasari adalah “Pendapatan
BPJS lewat Iuran Peserta tidak sebanding dengan besarnya Klaim yang harus dibayar.”
Sederhananya, besar pasak daripada tiang.

(sumber : https://bpjs-kesehatan.go.id )
Dari data yang dilansir dalam web BPJS Kesehatan bisa dilihat bahwa setiap tahun angka
beban Jaminan Kesehatan semakin meningkat. Angka ini tidak mampu ditutupi oleh pendapatan
Iuran BPJS Kesehatan. Meskipun kita tahu, BPJS Kesehatan itu sendiri dibuat dengan rancangan
untuk tidak menghasilkan laba bagi dirinya sendiri dan tujuan utamanya adalah untuk memberikan
manfaat yang semaksimal mungkin bagi seluruh pengguna BPJS Kesehatan. Akan tetapi dalam
pelaksanaannya, seluruh pengelolaan dana jaminan sosial yang ada akan digunakan untuk
pengembangan program kerja dan kepentingan seluruh pengguna atau peserta BPJS Kesehatan itu
sendiri. Sehingga, defisit yang dialami badan ini tentunya akan dapat menghambat pengembangan
program serta kepentingan seluruh pengguna.

Data aktual yang dimuat dalam situs BPJS Kesehatan www.bpjs-kesehatan.go.id


memperlihatkan bahwasanya setiap tahun jumlah pemanfaatan pelayanan kesehatan ini semakin
meningkat. Peningkatan ini merepresentasikan tingginya jumlah klaim yang tak bisa di hindari.
Tingginya angka pemanfaatan pelayanan kesehatan ini juga di dasari dengan meningkatnya jumlah
peserta BPJS Kesehatan. Dengan meningkatnya pengguna jaminan kesehatan ini di Indonesia,
maka banyak orang berpikir bahwa terdapat peningkatan dana yang masuk pada badan ini. Namun
sangat disayangkan bahwa hal itu bukanlah kenyataan. Banyaknya pengguna atau peserta tidaklah
selalu sebagai suatu hal yang baik. Bukanlah hal yang menjadi patokan pasti bagi kesejahteraan
suatu badan.

Faktor lainnya yang dapat saya simpulkan diantaranya :

1. Nominal premi iuran yang masih jauh dibawah itungan aktuaria


Penyebab utama defisit pada BPJS Kesehatan sebenarnya sudah terlihat jelas saat
beban pengeluaran lebih besar dari pendapatannya, atau dengan kata lainnya adalah klaim
yang harus dibayarkan jauh melebihi jumlah iuran pesertanya. Setoran premi yang murah
dan tidak ada batasan plafon tidak sebanding dengan pertumbuhan jumlah peserta serta
nominal klaim yang diajukan. Iuran yang rendah ini dapat mengcover semua penyakit
termasuk Critical Illness walaupun termasuk ‘pre-existing condition’ meskipun tidak ada
proses underwiritting nya. Sistem Iuran pada BPJS Kesehatan ini hanya dibagi berdasarkan
kelas seperti dibawah ini :
Jika kita bandingkan dengan Negara tetangga, Singapura. Dimana mereka juga
memiliki lembaga seperti BPJS yang disebut dengan MediSave. Dalam penetapan iuran
MediSave tidak membagi berdasarkan kelas seperti BPJS kesehatan ini melainkan system
iurannya memperhatikan faktor usia dan juga Income, seperti dibawah ini :

(sumber : www.medisave.co.id )
Faktor usia ini akan sangat berpengaruh terhadap resiko yang akan di tanggung.
Semakin tua usia maka akan semakin besar resiko penyakit yang akan dialami oleh peserta,
sehingga jumlah iuran yang dibayarkan akan semakin tinggi. Dikarenakan, umumnya
penyakit usia lanjut membutuhkan biaya yang besar serta penanganan yang lebih kompleks
dalam proses penyembuhan. Sementara, dalam BPJS Kesehatan iuran di pukul rata yang
pada akhirnya banyak dijumpai kasus iuran yang dibayar tidak sebanding dengan penyakit
yang di cover oleh BPJS Kesehatan.
Kesalahan lainnya menurut pendapat saya yang dapat menyebabkan BPJS
Kesehatan ini jebol dikarenakan tidak adanya pembatasan manfaat tersebut. Mari kita lihat
kembali Negara tetangga kita Singapura, dalam MediSave mereka membatasi manfaat
biaya yang bisa di cover dalam penanganan penyakit :

Lalu bagaimana kalau misalnya tagihan yang diterima lebih besar dari manfaatnya?

Maka masyarakat yang bersangkutan bisa menggunakan limit dari orang terdekat,
seperti keluarga. Dengan catatan, hal ini nantinya juga akan mengurangi limit keluarga
yang digunakan tersebut. Berikut table manfaat yang bisa digunakan masyarakat
singapura:
Di tabel tersebut pemerintah Singapura menetapkan batas atas untuk meng-cover
pembiayaan tersebut. Hal ini dilakukan bukan semata-mata untuk meraup keuntungan
(laba),bukan. Karena memang program ini adalah murni milik pemerintah untuk melayani
rakyatnya serta pemenuhan hak-hak masyarakat khususnya di bidang kesehatan. akan
tetapi, pembatasan ini dilakukan agar pendapatan dan biaya yang dikeluarkan tidak
mismatch sehingga lembaga ini dapat terus memberikan pelayanan kepada masyarakat.

BPJS Kesehatan diharapkan dapat menyelenggarakan program jaminan sosial


kesehatan yang berkualitas dan berkesinambungan. Faktanya, terdapat permasalahan
mendasar bahwa premi yang harus dibayarkan peserta belum sesuai dengan hitungan para
ahli atau belum sesuai hitungan akturia yang lazim digunakan dalam program seperti ini.
Kondisi ini menimbulkan situasi underfunded program yang secara terstruktur akan
berpengaruh terhadap kesinambungan (sustainabilitas) terhadap program jaminan
kesehatan. Penetapan iuran oleh pemerintah belum sesuai dengan besaran iuran yang
diusulkan oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional dalam policy brief penyesuaian besaran
iuran JKN-KIS (mismatch). Dalam bahasa sederhana, dapat dikatakan bahwa penetapan
manfaat belum disesuaikan dengan kemampuan pendanaan program.

Memang pada dasarnya BPJS bukan perusahaan asuransi biasa. Ia adalah hasil
keputusan politik. Akibatnya, ada hal-hal yang seharusnya menjadi bagian dari praktek
perusahaan asuransi yang prudent, tidak bisa benar-benar dijalankan oleh BPJS.

Sebagai contoh: Sejak awal BPJS berjalan, semua orang langsung bisa mendaftar
sebagai anggota BPJS dan asuransinya langsung berlaku. Walaupun kebijakan ini
kemudian sedikit diubah, dengan cara menunda pengaktifan beberapa minggu setelah
mendaftar, tetap saja ini salah satu masalahnya.

Dalam praktek asuransi yang "normal", setiap orang yang akan masuk harus
menjalani penyaringan terlebih dahulu. Orang dengan risiko tinggi akan dibebani biaya
premi lebih besar. Orang yang memiliki pra-kondisi misalnya serangan jantung
sebelumnya atau sudah didiagnosa dengan penyakit kritis misalnya kanker, akan dibebani
jauh lebih besar atau kondisinya tidak ditanggung.

Dalam BPJS, tidak ada penyaringan semacam itu. Semua orang bisa mendaftar
tanpa peduli kondisi yang sudah ada, dan keanggotaannya bisa langsung berlaku (dengan
sedikit penundaan saat ini) dengan premi yang merata. Akibatnya beban pengeluaran BPJS
menjadi sangat besar. Bayangkan banyak orang dengan gagal ginjal tahap akhir atau
penyakit jantung koroner yang memerlukan tindakan bernilai puluhan sampai ratusan juta
mendaftar hanya dengan biaya tidak sampai 100 ribu rupiah (sudah termasuk ongkos
tranport dan lain-lain), dan bulan berikutnya sudah bisa langsung ditangani dengan beban
pertanggungan sebesar itu.

Kelihatan tidak masuk akal jika ditinjau dari praktek bisnis, sekali lagi memang
BPJS bukan perusahaan asuransi biasa. Ia dibentuk untuk menjalankan amanat undang-
undang. Tetapi, letak masalahnya harus disadari oleh pengambil kebijakan dan
dicarikan jalan keluar yang tepat tanpa mengorbankan jutaan orang yang saat ini
benar-benar menggantungkan jiwanya pada layanan BPJS.

BPJS tidak bisa menolak melayani pasien dengan pra kondisi. Bayangkan, apa yang
akan ditulis di headline media jika BPJS melakukan itu. Pemerintah akan jadi bulan-
bulanan kritik. Di lain pihak, banyak orang yang akan jadi korban jika kebijakannya
diperketat. Oleh karena ini menurut saya adalah keputusan politik, konsekuensi yang
timbul juga harus ditangani secara politik. Pemerintah dan DPR harus menyadari bahwa
dengan praktek bisnis seperti ini, mau tidak mau BPJS memang ditakdirkan untuk defisit.
Kecuali ada kebijakan baru untuk mensubsidi BPJS atau mengubah system BPJS seperti
apa yang sudah dilakukan oleh beberapa Negara, salah satunya Singapura.

2. Tingkat kepatuhan peserta dalam membayar iuran secara rutin yang masih sangat
rendah
Banyaknya peserta yang menunggak dalam melakukan pembayaran iuran BPJS ini
juga dapat memberikan pengaruh terhadap defisitnya BPJS Kesehatan. ketika sakit, peserta
menggunakan BPJS untuk mengcover biaya pengobatannya. Akan tetapi, ketika mereka
sudah tidak butuh lagi seakan-akan banyak orang melupakan kewajibannya untuk
membayar kewajiban tersebut. Alhasil, akan menyebabkan penunggakan pembiayaan.
BPJS memang mempunyai kekurangan ini itu. Dan sekarang pemerintah sedang berusaha
melakukan improving pada badan ini. Akan tetapi, kita sebagai masyarakat jangan tutup
mata dengan kewajiban kita. Ada peran masyarakat yang juga bisa membuat BPJS defisit.
Dari kita yang tidak rutin membayar iuran, baru daftar menjelang sakit serta gaya hidup
sehat masyarakat yang harus di tingkatkan.

3. Salah sasaran PBI


Pada kenyataannya, sebagian warga memanfaatkan program PBI padahal tidak
semua warga tersebut miskin. Sebagian warga yang tergolong mampu bahkan ikut
mendaftar menjadi peserta PBI. Mereka mendapat pelayanan sama dengan peserta JKN
yang membayar premi. Kondisi ini terjadi karena puskesmas tidak ikut memantau peserta
program PBI-JKN. Aparat pelaksana program tidak mengetahui kemampuan ekonomi
sesungguhnya dari peserta PBI-JKN akibat tidak adanya survei dari fasilitas pelayanan kesehatan
primer. Peserta hanya melampirkan keterangan tidak mampu dari RT/RW, kelurahan, dan
kecamatan, tanpa ada survei lanjutan dari puskesmas. Dampaknya, warga lebih mudah mendaftar
menjadi peserta PBI-JKN meski memiliki kemampuan ekonomi baik. Bahkan, tak sedikit warga
yang memanfaatkan kesempatan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan melalui JKN tanpa
membayar premi. Hal ini tentunya juga akan berdampak terhadap arus kas BPJS Kesehatan.

4. Regulasi pemerintah yang belum optimal

5. Masih kurangnya program riil promotif & preventif kesehatan. konsentrasinya


masih banyak pada kuratif. Oleh sebab itu, masih tinggi angka “Casthropic Disease”
yang notabene paling memberatkan BPJS Kesehatan.

Apa solusi untuk mengatasi Defisit yang sedang dialami oleh BPJS pada saat sekarang ini?

Menurut pendapat saya beberapa solusi yang bisa dilakukan untuk mengatasi defisit yang sedang
dialami BPJS Kesehatan diantaranya :

1. Penyesuaian Iuran Premi


2. Menerapkan kebijakan biaya urunan (cost sharing) khusus untu penyakit katastropik
3. BPJS adalah basic rights bagi seluruh masyarakat, namun social security harus dibarengi
dengan social policy yang menyeluruh. Sudahkah masyarakat di edukasi tentang pola
hidup sehat? Bagaimana dengan penyediaan fasilitas umum penunjang kesehatan (public
transport, air bersih, dll)?
4. Suntikan dana yang lebih besar dari pemerintah

Bagaimana analisa defisit BPJS Kesehatan ini dari sisi laporan keuangan?

Penyebab defisit BPJS Kesehatan juga dapat kita lihat dari hasil analisa data iuran dan
beban yang bersumber dari laporan keuangan BPJS Kesehatan, sebagai berikut :
Tahun 2014 (Sumber : www.bpjs-kesehatan.go.id)
Tahun 2015 (sumber : www.bpjs-kesehatan.go.id )

Analisis Pendapatan Iuran


Pendapatan Iuran DJS Kesehatan bersumber dari Penerima Bantuan Iuran (PBI), Bukan
Penerima Bantuan Iuran (Non PBI), Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU), dan Bukan Pekerja.
Tahun 2014, pendapatan iuran DJS Kesehatan secara keseluruhan adalah Rp. 40,7 Triliun dengan
uraian kontribusi dari total iuran PBI sebesar Rp 21,2 Triliun, total iuran Non PBI sebesar Rp 16,2
Triliun, total iuran PBPU sebesar Rp 1,88 Triliun dan total iuran Bukan Pekerja sebesar Rp 1,32
Triliun. Tahun 2015, pendapatan iuran DJS Kesehatan naik sebesar Rp. 52,7 Triliun dengan uraian
kontribusi dari total iuran PBI sebesar Rp 22,2 Triliun, total iuran Non PBI sebesar Rp 24,2 Triliun,
total iuran PBPU sebesar Rp 4,67 Triliun dan total iuran Bukan Pekerja sebesar Rp 1,65 Triliun.
Tahun 2016, pendapatan DJS Kesehatan naik sebesar Rp 67,4 Triliun dengan uraian kontribusi
dari total iuran PBI sebesar Rp 28,4 Triliun, total iuran Non PBI Rp 31,5 Triliun, total iuran PBPU
Rp 5,72 Triliun dan total iuran Bukan Pekerja sebesar Rp 1,62 Triliun. Tahun 2017, pendapatan
DJS Kesehatan naik sebesar Rp 74,2 Triliun dengan uraian kontribusi dari total iuran PBI sebesar
Rp 30,5 Triliun, total iuran Non PBI Rp 35,3 Triliun, total Iuran PBPU Rp 6,71 Triliun dan total
iuran Bukan Pekerja sebesar Rp 1,65 Triliun.
Analisis Beban
Beban Jaminan Kesehatan pada tahun 2014 terdiri atas rawat jalan tingkat pertama, rawat
jalan tingkat lanjutan, rawat inap tingkat pertama rawat inap tingkat lanjutan, pelayanan kesehatan
khusus, Jamkesmen, Jamkestama, pelayanan kesehatan penyakit khusus katastropik dan promotif
dan preventif dengan total Rp 42, 65 Triliun. Bila diuraikan kontribusi beban rawat jalan tingkat
pertama sebesar Rp 8,63 Triliun, rawat inap tingkat pertama sebesar Rp 444,8 Miliar, rawat jalan
tingkat lanjutan sebesar Rp 8,16 Triliun, rawat inap tingkat lanjutan sebesar Rp 25,15 Triliun,
pelayanan kesehatan khusus sebesar Rp 410,8 Juta, Jamkesmen sebesar Rp 3,59 Miliar,
Jamkestama sebesar Rp 3,68 Miliar, pelayanan kesehatan penyakit khusus katastropik sebesar Rp
97,7 Miliar dan promotif dan preventif sebesar Rp 146, 9 Miliar. Pada tahun 2015, 2016 dan 2017
pelayanan kesehatan khusus, Jamkesmen, Jamkestama, pelayanan kesehatan penyakit khusus
katastropik sudah tidak masuk lagi ke dalam Beban Jaminan Kesehatan. Di tahun 2015 total Beban
Jaminan Kesehatan adalah Rp 57,08 Triliun yang bila diuraikan terdiri dari pendapatan rawat jalan
tingkat pertama sebesar 10,79 Triliun, rawat inap tingkat pertama sebesar Rp 710,8 Miliar, rawat
jalan tingkat lanjutan sebesar Rp 13,61 Triliun, rawat inap tingkat lanjutan sebesar Rp 31,85, dan
promotif dan preventif sebesar Rp99,32 Miliar. Di tahun 2016 total Beban Jaminan Kesehatan
adalah Rp 67,24 Triliun yang bila diuraikan terdiri dari pendapatan rawat jalan tingkat pertama
sebesar Rp 12,30 Triliun, rawat inap tingkat pertama sebesar Rp 768,2 Miliar, rawat jalan tingkat
lanjutan sebesar Rp 16,53 Triliun, rawat inap tingkat lanjutan sebesar Rp 37,48 Triliun, dan
promotif dan preventif Rp 142,4 Miliar. Di tahun 2017 total Beban Jaminan Kesehatan adalah Rp
84,44 Triliun yang bila diuraikan terdiri dari pendapatan rawat jalan tingkat pertama sebesar Rp
12,77 Triliun, rawat inap tingkat pertama sebesar Rp 894,5 Miliar, rawat jalan tingkat lanjutan
sebesar Rp 23,52 Triliun, rawat inap tingkat lanjutan sebesar Rp 47,04 Triliun, dan promotif dan
preventif Rp 207,7 Miliar.

Dari hasil analisis pendapatan dan beban DJS Kesehatan diatas, dapat dilihat bahwa
kenaikan pendapatan selalu dibarengi dengan kenaikan beban DJS Kesehatan yang terus
bertambah dari tahun ke tahun. Pendapatan iuran DJS Kesehatan yang terus meningkat dari tahun
2014 hingga 2017. Di tahun 2014, pendapatan DJS Kesehatan secara keseluruhan adalah Rp 41,51
Triliun dengan kontribusi 98% dari pos pendapatan iuran sebesar Rp 40,71 Triliun. Di tahun 2015,
pendapatan DJS Kesehatan keseluruhan naik sebesar Rp 55,65 Triliun dengan kontribusi 95% dari
pos pendapatan iuran sebesar Rp 52,77 Triliun. Di tahun 2016, pendapatan DJS Kesehatan naik
sebesar Rp 74,40 Triliun dengan kontribusi 91% dari pos pendapatan iuran sebesar Rp 67,40
Triliun. Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, pendapatan DJS Kesehatan pada tahun 2017
diketahui sebesar Rp 78,35 Triliun. Kontribusi pos pendapatan iuran pada tahun 2017 ini lebih
tinggi dari tahun-tahun sebelumnya yaitu 99%. Kontribusi yang tinggi ini dikarenakan pada tahun
2017 Pemerintah memberikan bantuan dana sebesar Rp 3,6 Triliun. Apabila tidak ada bantuan dari
Pemerintah maka besaran pos pendapatan iuran DJS Kesehatan pada tahun 2017 tidak jauh
berbeda dari tahun sebelumnya hanya sebesar Rp 74,75 Triliun. Sedangkan untuk beban DJS
Kesehatan juga terjadi kenaikan setiap tahunnya dari laporan keuangan DJS Kesehatan tahun 2014
hingga 2017. Hal ini dipengaruhi oleh Beban Jaminan Kesehatan yang memberikan kontribusi
terbesar bagi beban DJS Kesehatan. Pada tahun 2014 beban DJS Kesehatan tercatat sebesar Rp
42,65 Triliun dengan porsi 95% dari total beban yaitu Rp 44,82 Triliun. Tahun 2015 beban DJS
Kesehatan naik menjadi Rp 57,08 Triliun dengan porsi 93% dari total beban yaitu Rp 61.41 Triliun.
Tahun 2016 naik menjadi Rp 67,24 Triliun dengan porsi 91% dari total beban yaitu Rp 73.89
Triliun. Terakhir pada tahun 2017 Beban Jaminan Kesehatan naik drastis menjadi Rp 84,44 Triliun
dengan porsi 91% dari total beban yaitu Rp 92,81 Triliun.

Hasil analisis menunjukkan bahwa defisit yang terjadi diakibatkan beberapa hal,
diantaranya: Biaya manfaat yang dibayarkan setiap tahunnya lebih tinggi daripada pendapatan
iuran yang ada dan beban yang paling menyerap biaya BPJS Kesehatan adalah beban jaminan
kesehatan. Khususnya beban jaminan kesehatan pada pelayanan rawat inap tingkat lanjutan.

Sumber Referensi

https://bpjs-kesehatan.go.id

https://www.cpf.gov.sg/Members/Schemes/schemes/healthcare/medisave

https://www.cnbcindonesia.com/news/20191007153718-4-104993/wamenkeu-ungkap-
borok-bpjs-kesehatan-hingga-defisit-rp-32-t

www.pantau.com

https://djsn.go.id/berita/detail/djsn-review-dan-analisis-laporan-keuangan-bpjs

https://news.detik.com/kolom/d-4144570/di-balik-defisit-bpjs-kesehatan

https://ejournal.upi.edu/index.php/aset/article/download/16898/9859

Anda mungkin juga menyukai