Anda di halaman 1dari 48

0

ANALISA IMPLEMENTASI KOORDINASI MANFAAT


TERHADAP KEPUASAN PESERTA BADAN USAHA
DI BPJS KESEHATAN TAHUN 2019

SKRIPSI

Oleh :
Nama : Khusnul Chotimah
NPM : 13410041 P

PROGRAM STUDI SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS MALAHAYATI
BANDAR LAMPUNG
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesehatan merupakan hal yang penting bagi kehidupan setiap manusia.

Seluruh kegiatan sehari-hari tentunya akan berjalan baik jika diiringi dengan

kondisi fisik yang prima. Bahkan, lebih banyak manusia yang rela

menggelontorkan banyak uang untuk menopang kesehatannya. Sakit bukanlah

hal yang kecil, ketika tubuh atau kondisi fisik tidak prima maka akan sangat

merugikan manusia. Resiko datangnya sakit tidak dapat diprediksi kapan

tibanya, walaupun manusia menjaga mati-matian kesehatannya namun jika

memang ditakdirkan sakit maka tidak dapat di tolak. Keadaaan seperti inilah

yang membuat manusia memerlukan perlindungan kesehatan. Pemerintah kini

mewajibkan Asuransi di Indonesia bagi seluruh masyarakat Indonesia tanpa

terkecuali. Dengan kata lain, Asuransi secara universal yang dimaksud ialah

dengan Jaminan Kesehatan Nasional yang kini menjadi BPJS. Masyarakat

mau tidak mau harus memilikinya , karena seluruh pekerja di Indonesia juga

wajib memiliki BPJS ini. Pada kenyataannya, masih banyak pelayanan BPJS

ini yang dirasa kurang memenuhi kebutuhannya.

Asuransi kesehatan swasta memainkan peran besar dan meningkat di seluruh

dunia. Pengalaman internasional dan menunjukkan bahwa peran asuransi

kesehatan swasta signifikan di negara-negara dengan disparitas tingkat

pendapatan dan struktur sistem kesehatan yang sangat tinggi. Pada negara-
2

negara dengan tingkat pengeluaran pribadi yang sangat tinggi, para pembuat

kebijakan menyadari peran asuransi kesehatan swasta dalam sistem kesehatan

mereka dan mengatur sektor ini dengan tepat sehingga mendukung tujuan

tercapainya cakupan universal dan ekuitas (Sekhri, 2014).

Bagaimana Peran Asuransi Kesehatan Swasta dalam Kebijakan Kesehatan

Negara Berkembang. Pengalaman menunjukkan bahwa sistem asuransi

kesehatan swasta yang buruk memang bisa memperparah ketidaksetaraan,

menyediakan cakupan hanya untuk muda dan sehat, dan menyebabkan

eskalasi biaya Namun, ketika diatur dengan baik, asuransi kesehatan swasta

dapat memainkan peran positif dalam meningkatkan akses dan pemerataan di

banyak negara. Akhirnya, asuransi kesehatan swasta terus menjadi penting

bahkan di negara-negara di mana cakupan universal telah dicapai. Peran

Asuransi swasta akan melengkapi system public karena mereka berkembang.

(Sekhri, 2014).

Coordination of Benefit di Indonesia berpacu dengan Jaminan Kesehatan

Nasional. Sejak diberlakukannya Undang Undang No. 24 tahun 2011 tentang

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) maka Indonesia mengalami

reformasi dalam pembiayaan Kesehatan meskipun demikian kebijakan ini

tetap memberikan peluang kepada Asuransi Komersial untuk bersinergi

melaksanakan JKN sebagai mitra dengan melaksanakan skema Coordination

of Benefit (COB).
3

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat per 31 Desember 2013, jumlah

perusahaan perasuransian yang memiliki izin usaha untuk beroperasi di

Indonesia adalah 400 perusahaan, terdiri atas 140 perusahaan asuransi dan

reasuransi, dan 260 perusahaan penunjang asuransi. Jumlah premi bruto

industri asuransi pada tahun 2013 mencapai Rp193,06 triliun, meningkat

9,76% dari angka tahun sebelumnya Rp 175,89 triliun. Datam lima tahun

terakhir, pertumbuhan rata-rata premi bruto adalah sekitar 16,3%.

Sejak 1 Januari 2014, Indonesia telah menerapkan Jaminan Kesehatan

Nasional (JKN) dengan kepesertaan bersifat wajib. Sebelum JKN

diimplementasikan, sebagian besar penduduk Indonesia mengeluarkan biaya

sendiri (out of pocket) untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Hasil Riset

Kesehatan Dasar tahun 2013 menunjukkan bahwa sumber pembiayaan

kesehatan penduduk Indonesia baik rawat jalan maupun rawat inap masih

didominasi oleh biaya sendiri (out of pocket) mencapai 67,9 persen untuk

rawat jalan dan 53,5 persen untuk rawat inap (Kemenkes, 2013).

Adanya program JKN pada Januari 2014, disambut baik oleh peserta yang

belum memiliki jaminan kesehatan. Namun demikian, bagi peserta yang telah

menggunakan jaminan kesehatan perusahaan (Jamsostek atau asuransi

komersial), kehadiran program JKN yang wajib dapat memaksa peserta dan

menimbulkan ketidaknyamanan. Hal ini karena sebelumnya mereka telah

terbiasa menikmati paket manfaat dan pelayanan yang lebih baik. Untuk

mengantisipasi kekhawatiran tersebut, Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional


4

(DJSN) menyatakan bahwa meskipun prinsip bisnis BPJS Kesehatan (asuransi

sosial) dan asuransi komersial berbeda, keduanya dapat tetap saling bersinergi

melalui mekanisme koordinasi manfaat atau Coordination of Benefit (COB).

Fungsi COB adalah untuk meng koordinasikan santunan/manfaat asuransi

diantara dua atau lebih asuradur yang menjamin orang yang sama dengan

tujuan untuk mencegah terjadinya pembayaran yang berlebih dari biaya yang

harus dibayarkan (Ilyas, 2011). Dalam mekanisme COB, peserta JKN

memperoleh beberapa keuntungan yaitu memungkinkan naik kelas perawatan,

mendapatkan benefit yang tidak ditanggung dalam JKN, mendapatkan

perawatan lanjutan eksklusif, dan dapat berobat ke RS swasta yang belum

bekerjasama dengan BPJS Kesehatan.

Skema COB semakin diminati oleh perusahaan asuransi swasta. Hal ini karena

pada 2019, ditargetkan seluruh masyarakat Indonesia telah menjadi peserta

BPJS Kesehatan (BPJS Kesehatan, 2014). BPJS Kesehatan sebagai penjamin

pertama telah memberikan manfaat yang cukup komprehensif sehingga beban

klaim asuransi kesehatan komersial dapat berkurang. Peluang tersebut tidak

disia-siakan oleh perusahaan asuransi kesehatan komersial yang ada di

Indonesia. BPJS Kesehatan mencatat sebanyak perusahaan Asuransi

Kesehatan Tambahan (AKT) telah menandatangani kerjasama skema COB

(BPJS Kesehatan, 2016).

Jumlah peserta JKN sampai dengan Februari 2017 yaitu 174.757.722 orang

(68.5% dari jumlah penduduk Indonesia). Jumlah kepesertaan asuransi swasta


5

baik produk individu dan grup tahun 2014 sebanyak 7.659.139 orang atau 3%

dari total populasi (OJK 2014). Jumlah peserta AKT yang telah terdaftar

sebagai peserta COB sebanyak 234.636 orang (BPJS Kesehatan, 2016).

Implementasi program JKN hingga saat ini telah memasuki tahun keempat,

tentunya sudah cukup banyak peserta JKN yang memiliki AKT melakukan

program COB.

Data di RS Umum Pusat Rujukan Nasional tahun 2016 menunjukkan

sebanyak 142 pasien JKN melakukan kenaikan kelas perawatan atas

permintaan sendiri. Dari 142 pasien terbagi menjadi 80% pasien naik ke kelas

VIP dan 20% naik ke kelas utama. Praktik COB selain dilakukan oleh peserta

BPJS juga dilakukan oleh peserta AKT yang memiliki dua atau lebih produk

AKT. Saat ini banyak keluarga yang memiliki cakupan ganda jaminan

kesehatan. Tentunya hal tersebut menjadi masalah yang cukup serius di dalam

sistem asuransi kesehatan. Di bawah program COB, asuradur kedua

(pembayar sekunder) akan menanggung sebagian besar atau keseluruhan biaya

yang tidak dijamin oleh asuradur pertama (pembayar primer). Namun pada

praktiknya banyak peserta yang mencoba untuk dapat mengambil keuntungan

dengan mendapatkan penggantian yang jauh melebihi dari biaya aktual

(Pamjaki, 2005)

Sebagai studi pendahuluan dilakukan analisa data klaim COB pada 5 AKT

yang bekerjasama dengan salah satu TPA di Jakarta periode 2014 sampai

dengan 2016. Diketahui sebanyak 36% adalah COB dari BPJS Kesehatan.
6

Dari jumlah tersebut sebanyak 24% merupakan klaim COB dari rumah sakit

pemerintah, 48% dari rumah sakit swasta, sementara sisanya sebesar 26%

tanpa keterangan. Produk AKT yang menjadi pambayar kedua pun bervariatif,

sebanyak 95% merupakan produk indemnity, 5% sisanya merupakan produk

cash plan.

Implementasi konsep COB (BPJS Kesehatan dengan AKT atau AKT dengan

AKT) di Indonesia telah berjalan lama. Namun pada praktiknya sering

ditemukan peserta atau provider mengambil keuntungan dari asuradur dengan

mengajukan klaim COB yang sebelumnya telah dijamin penuh oleh asuradur

pertama. Hal ini tentunya dapat menyebabkan over insurance dan pada

akhirnya meningkatkan biaya kesehatan.

Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran tentang

Implementasi Koordinasi Manfaat Terhadap Kepuasan Peserta Badan Usaha

Di BPJS Kesehatan Tahun 2019.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka perumusan masalah dalam

penelitian ini adalah: “Bagaimanakah Implementasi Koordinasi Manfaat

Terhadap Kepuasan Peserta Badan Usaha Di BPJS Kesehatan Tahun 2019?”.


7

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui implementasi koordinasi manfaat terhadap kepuasan

peserta badan usaha di BPJS Kesehatan Tahun 2019.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Aplikatif

Hasil penelitian ini diharapakan dapat menjadi acuan dalam implementasi

koordinasi manfaat terhadap kepuasan peserta badan usaha di BPJS

Kesehatan.

2. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pengetahuan dasar dalam

pengembangan ilmu khususnya memahami implementasi koordinasi

manfaat terhadap kepuasan peserta badan usaha di BPJS Kesehatan.

E. Ruang Lingkup

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan

fenomenologi dilakukan untuk menganalisis implementasi koordinasi manfaat

terhadap kepuasan peserta badan usaha di BPJS Kesehatan. Informan dalam

penelitian ini adalah HRD Badan udaha yang double cover health insurance

antara BPJS dan AKT. Peneliti akan melakukan penelitian pada Oktober 2018.

Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data primer yang merupakan

hasil dari wawancara mendalam. Analisa data yang dilakukan peneliti dengan

memulai mengorganisasikan semua, membaca secara keseluruhan dan

membuat catatan pinggir mengenai data yang dianggap penting kemudian


8

melakukan pengkodean data, kemudian menemukan dan mengelompokkan

data, pernyataan yang tidak relevan dengan topik dan pertanyaan maupun

pernyataan yang bersiat repetitif atau tumpang tindih dihilangkan, pernyataan

tersebut kemudian dikumpulkan ke dalam unit makna lalu, mengembangkan

uraian secara keseluruhan sehingga menemukan esensi dari fenomena

tersebut, memberikan penjelasan secara natural mengenai esensi dari

fenomena yang diteliti, selanjutnya membuat laporan pengalaman setiap

partisipan. Setelah itu, gabungan dari gambaran tersebut ditulis.


9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Coordination Of Benefit

1. Definisi Coordination Of Benefit

Definisi COB Coordination of Benefit (COB) adalah Suatu proses

dimana dua atau lebih penanggung (payer) yang menanggung orang yang

sama untuk benefit asuransi kesehatan yang sama, membatasi total benefit

dalam jumlah tertentu yang tidak melebihi jumlah pelayanan kesehatan

yang dibiayakan.

Dalam dunia asuransi, Coordination of Benefit (CoB) berlaku bila

ada kerjasama antara dua perusahaan asuransi untuk menanggung satu

nasabah yang sama agar nasabah mendapatkan manfaat maksimal dari

program asuransi yang dia pilih. Namun bukan berarti CoB merupakan

usaha nasabah untuk cari untung dengan klaim dobel, sama sekali bukan

seperti itu. Saat ini Coordination of Benefit di Indonesia melalui BPJS

Kesehatan bisa menjadi pembayar klaim utama, sementara asuransi

komersial sebagai sekunder atau pendukung. Dalam prakteknya, jika ada

klaim dari peserta, BPJS akan membayar klaim sampai dengan besaran

yang dicakup oleh BPJS dan asuransi swasta akan menutup sisanya sesuai

dengan besaran yang ditanggung. Untuk mendapatkan jaminan BPJS dan

asuransi swasta sekaligus, masyarakat sebaiknya membeli asuransi yang

sudah memiliki COB dengan BPJS. Dengan demikian pasien BPJS


10

nantinya bisa dengan mudah mendapatkan fasilitas tambahan selama

tersedia seperti pindah kelas di RS serta memperoleh layanan alkes. Selain

itu pasien BPJS bisa langsung dirujuk ke RS swasta yang belum

bekerjasama dengan BPJS.

Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sudah

menyelesaikan mengenai aturan teknis skema Coordination of Benefit

(CoB) atau koordinasi manfaat program Jaminan Kesehatan Nasional

(JKN). Kerjasama CoB adalah suatu proses dimana dua atau lebih

penanggung (payer) yang menanggung orang yang sama untuk benefit

asuransi kesehatan yang sama, membatasi total benefit dalam jumlah

tertentu yang tidak melebihi jumlah pelayanan kesehatan yang

dibiayakan.Di mana disini adalah kerjasama pembayaran dan manfaat

yang terjalin antara BPJS Kesehatan dan asuransi umum.

2. Dasar Hukum Peraturan COB

UU NO 40 TAHUN 2004

Pasal 23

(1) Manfaat jaminan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22


diberikan pada fasilitas kesehatan milik Pemerintah atau swasta yang
menjalin kerjasama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

(2) Dalam keadaan darurat, pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat


(1), dapat diberikan pada fasilitas kesehatan yang tidak menjalin kerja
sama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
11

(3) Dalam hal di suatu daerah belum tersedia fasilitas kesehatan yang
memenuhi syarat guna memenuhi kebutuhan medik sejumlah peserta,
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial wajib memberikan kompensasi.

(4) Dalam hal peserta membutuhkan rawat inap di rumah sakit, maka kelas
pelayanan di rumah sakit diberikan berdasarkan kelas standar.

(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur
lebih lanjut dalam Peraturan Presiden.

PERPRES NO 12 TAHUN 2013

Pasal 24

Peserta yang menginginkan kelas perawatan yang lebih tinggi dari pada
haknya, dapat meningkatkan haknya dengan mengikuti asuransi kesehatan
tambahan, atau membayar sendiri selisih antara biaya yang dijamin oleh
BPJS Kesehatan dengan biaya yang harus dibayar akibat peningkatan
kelas perawatan.

KOORDINASI MANFAAT

Pasal 27

(1) Peserta Jaminan Kesehatan dapat mengikuti program asuransi


kesehatan tambahan.

(2) BPJS Kesehatan dan penyelenggara program asuransi kesehatan


tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan
koordinasi dalam memberikan Manfaat untuk Peserta Jaminan Kesehatan
yang memiliki hak atas perlindungan program asuransi kesehatan
tambahan.
12

PERMENKES NO 71 TAHUN 2013

Pasal 21

(1) Peserta yang menginginkan kelas perawatan yang lebih tinggi dari
pada haknya, dapat meningkatkan haknya dengan mengikuti asuransi
kesehatan tambahan, atau membayar sendiri selisih antara biaya yang
dijamin oleh BPJS Kesehatan dengan biaya yang harus dibayar akibat
peningkatan kelas perawatan.

(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bagi
Peserta Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan tidak diperkenankan
memilih kelas yang lebih tinggi dari haknya.

B. BPJS Kesehatan

Pada era JKN (Jaminan Kesehatan Nasional), perusahaan asuransi

komersial ikut bersinergi datam mensukseskan pelaksanaan JKN dengan

menjadi mitra dan melakukan koordinasi manfaat atau Coordination Of

Benefit (COB) serta telah dibuktikan dengan ditandatangani kesepakatan

bersama antara PT ASKES (Persero) dengan AAJI (Asosiasi Asuransi Jiwa

Indonesia) dan AAUI (Asosiasi Asuransi Umum Indonesia) No 260/SPK/1113

jo. No. 774/AAJI/2013 jo. No. 02/Moll/AAUI-ASKES/2013 tentang

Koordinasi Manfaat dalam Implementasi Jaminan Sosial Bidang Kesehatan

pada tanggal 14 November 2013.

Industri asuransi menjadi salah satu pilar dalam pertumbuhan ekonomi

menurut data dari Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia Tahun 2015, Maka di

Indonesia jumlah masyarakat yang memiliki polis private health insurance


13

di Indonesia cukup besar, tetapi pada periode implementasi JKN jumlah

tertanggung dan premi cenderung mengalami penurunan.

CoB BPJS diharapkan jadi solusi kendala di lapangan bagi nasabah

asuransi yang saat ini punya dua produk asuransi, yaitu BPJS Kesehatan dan

asuransi swasta. Nasabah yang ikut dua program asuransi, maka untuk klaim

medis menjadi tanggungan BPJS Kesehatan, namun jika melebihi plafon yang

ditentukan maka biaya akan ditanggung oleh asuransi swasta lainnya yang dia

ikuti. Hanya satu asuransi swasta aja yang diperkenankan, walaupun saat ini

ada begitu banyak asuransi swasta yang sudah bekerja sama dengan BPJS

Kesehatan.

Dengan adanya skema CoB, maka kesdaran masyarakat untuk ikut

asuransi makin tinggi sehingga memperluas pangsa pasar asuransi karena

masyarakat makin sadar bahwa BPJS Kesehatan bisa jadi belum mencukupi

kebutuhan mereka sehingga bagi yang punya dana lebih bisa ikut tambahan

asuransi swasta. Skema CoB ini akan membuat mereka makin nyaman dalam

ikut doubel program asuransi seperti itu.

Perusahaan yang mendaftarkan karyawannya pada asuransi swasta

tambahan juga akan punya nilai tambah di mata karyawannya, proses saat ini

juga mudah, cukup satu pintu melalui pembayaran dan proses di BPJS

tersebut.

COB BPJS, sebagai bentuk peningkatan layanan bagi masyarakat, Badan

Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan membuka ruang seluasnya

bagi peserta untuk mendapatkan manfaat lebih (khususnya dalam hal manfaat
14

non medis) melalui skema koordinasi manfaat atau coordination of

benefit (CoB) dengan perusahaan asuransi komersial. Selain tertuang dalam

Pasal 28 Peraturan Presiden No 111 Tahun 2013, skema COB ini diharapkan

akan meningkatkan pelayanan bagi peserta yang mampu membayar lebih

khususnya untuk kenyamanan.

Ada 19 perusahaan asuransi jiwa dan 11 perusahaan asuransi umum yang

telah melakukan koordinasi manfaat dengan BPJS kesehatan. Koordinasi

manfaat adalah suatu proses koordinaasi, pelayanan kesehatan diantara dua

atau lebih asuradur yang menjamin orang yang sama, tujuannya untuk

mencegah terjadinya Pembayaran yang berlebih dari biaya yang harus

dibayarkan kepada provider atau tertanggung. Koordinasi manfaat atau

coordination of benefit (COB) antara BPJS Kesehatan dengan asosiasi

asuransi, memiliki peran ganda. selain, dapat dijadikan sebagai sarana

sosialisasi program JKN, kalangan asuransi swasta diijinkankan memasarkan

produk kesehatan itu.

Intinya, koordinasi manfaat berlaku apabila peserta BPJS Kesehatan

membeli asuransi kesehatan tambahan dari Penyelenggara Program Asuransi

Kesehatan Tambahan atau badan penjamin lainnya yang notabene asuransi

komersial yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Koordinasi manfaat

yang diperoleh peserta BPJS Kesehatan tidak melebihi total jumlah biaya

pelayanan kesehatannya artinya mempunyai dua asuransi tidak menyebabkan

peserta mendapatkan keuntungan dari sakit yang dideritanya. Koordinasi

manfaat yang ditanggung oleh BPJS Kesehatan adalah pelayanan kesehatan


15

yang sesuai kesepakatan antara BPJS Kesehatan dengan asuransi komersial

(Samosir, 2014).

Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan,

pada pasal 24 dimana peserta yang menginginkan kelas perawatan yang lebih

tinggi dari haknya dapat mengikuti asuransi kesehatan tambahan. Selisih

antara biaya yang dijamin oleh BPJS Kesehatan dengan biaya atas kelas yang

lebih tinggi dari haknya dapat dibayar oleh peserta yang bersangkutan ,

Pemberi kerja, atau Asuransi kesehatan tambahan. Dijelaskan datam Peraturan

Direksi BPJS nomor 04 tahun 2014 pada pasal 1 ayat 2 bahwa BPJS

Kesehatan merupakan penjamin utama atas program jaminan kesehatan.

COB ini sesuai tertuang dalam Peraturan BPJS Kesehatan Nomor 4

Tahun 2016, yang isinya:

1. Perusahaan atau badan usaha dapat mendaftarkan kepesertaan JKN-KIS

melalui perusahaaan AKT.

2. Pembayaran iuran atau premi dapat dilakukan secara bersamaan dengan

pembayaran premi AKT.

3. Jika perusahaan atau badan usaha memiliki lebih dari satu asuransi

kesehatan tambahan, maka koordinasi manfaat hanya dapat dilakukan oleh

salah satu asuransi kesehatan yang bermitra dengan BPJS Kesehatan.

4. COB JKN-KIS dapat menggunakan rujukan yang berasal dari FKTP non

BPJS Kesehatan yang bermitra dengan perusahaan AKT. Jadi, Anda dapat

langsung ke fasilitas kesehatan (rumah sakit) yang telah bekerja sama


16

dengan perusahaan AKT. Namun rujukan tersebut ditujukan untuk non

spesialistik.

Permasalahan yang terjadi pada koordinasi manfaat program jaminan

kesehatan adalah mekanisme pelayanan yang meliputi sistem rujukan

berjenjang. sistem rujukan berjenjang diberlakukan oleh BPJS Kesehatan

tujuannya untuk memastikan bahwa kasus yang dirujuk adalah benar-benar

diperlukan secara medis dan ditentukan oleh dokter sehingga, bukan

merupakan keinginan sendiri dari pasien (tanpa indikasi medis) karena

pelayanan kesehatan yang diberikan tanpa indikasi medis adalah salah satu

pelayanan yang tidak dijamin BPJS Kesehatan. Fasilitas kesehatan tingkat

pertama tersebut akan merujuk ke rnmah sakit yang dituju dengan jenjang

diatasnya. peserta pemilik duajaminan kesehatan.

BPJS Kesehatan dan asuransi komersial tidak dapat langsung

mengawinkan manfaat dari kedua jaminan tersebut. Untuk mendapatkan

pelayanan kesehatan di rumah sakit yang dituju dan asuransi komersial,

peserta koordinasi manfaat tidak bisa memilih rumah sakit sesuai dengan

keinginannya. Selain permasalahan sistem rujukan dan terbatasnya fasilitas

kesehatan yang melayani peserta koordinasi manfaat, ada permasalahan

double cost yang dikeluarkan oleh pihak perusahaan dimana perusahaan harus

membayar premi dua asuransi bagi karyawannya namun manfaat yang

didapatkan hanya satu.

Sesuai dengan prinsip koordinasi manfaat BPJS Kesehatan, koordinasi

manfaat yang diperoleh peserta tidak melebihi total jumlah biaya pelayana
17

kesehatannya artinya jika jumlah biaya perawatan yang diklaim rumah sakit

Iebih besar dari tarif Indonesia Case Based Groups (Ina CBG's), asuransi

tambahan yang akan membayar selisihnya namun jika tidak melebihi dari tarif

Ina CBG maka tidak akan ada pembayaran dari asuransi tambahan sebagai

penjamin kedua.

1. Proses BPJS Kesehatan

Pertama, peserta BPJS Kesehatan tidak bisa langsung ke RS, tetapi harus

melalui fasilitas kesehatan (faskes) pertama (setingkat Puskesmas, atau

dokter praktek/klinik yang ditunjuk) sebagai perujuk untuk peserta BPJS

Kesehatan. Artinya, sebagai pasien Anda tidak bisa meminta rujukan dari

sembarang faskes, melainkan hanya di faskes dimana Anda terdaftar.

Peserta BPJS Kesehatan hanya bisa langsung ke RS dalam hal kondisi

darurat. Akbatnya banyak orang yang merasa asuransi kesehatan BPJS

sangat rumit. Hal ini tidak berlaku bagi peserta asuransi biasa. Mereka bisa

saja langsung ke RS tanpa harus melalui tahapan faskes tingkat pertama

dan seterusnya. Bagi sebagian orang, kepraktisan seperti ini sangat penting

meski membayar asuransi swasta dengan premi yang lebih mahal untk

mendapatkannya.

Kedua, dalam prakteknya saat ini, ternyata tidak semua obat dan layanan

untuk peserta BPJS Kesehatan ditanggung. Dalam banyak kasus, keluarga

pasien harus membeli obat-obat tertentu yang tidak ditanggung oleh BPJS

Kesehatan. Terkadang keluarga pasien harus kesana-kemari mencari obat-

obat tesebut padahal pasien sudah membutuhkannya. Bila keluarga pasien


18

tidak memiliki persediaan uang pada saat itu, maka akibatnya bisa fatal.

Pengguna asuransi swasta umumnya ditanggung sesuai dengan premi yang

dibayarkan. Selisih atau kekurangan pembayaran baru diperhitungkan

secara kumulatif setelah pasien akan meninggalkan RS.

2. Perluasan Manfaat Atas Jaminan Fasilitas Kesehatan

BPJS Kesehatan tidak memiliki perluasan jaminan seperti yang dimiliki

oleh asuransi swasta, misalnya adalah naiknya kelas perawatan. Pasalnya,

maksimal kelas perawatan yang diberikan oleh BPJS Kesehatan adalah

Kelas 1. Jadi bila peserta jaminan kesehatan menghendaki kelas perawatan

yang lebih tinggi, misalnya VIP atau VVIP, maka selisih biaya menjadi

beban peserta dan atau asuransi swasta yang di ikuti peserta.

Karena itu bagi Anda yang telah menjadi peserta BPJS Kesehatan,

pemerintah memperbolehkan untuk mengikuti program asuransi tambahan

atau asuransi swasta lainnya. Tujuannya, Anda dapat memperoleh jaminan

perlindungan tambahan sesuai keinginan dan kebutuhan.

3. Asuransi Penyakit Kritis

Perlindungan BPJS Kesehatan pada dasarnya sudah cukup memadai.

Namun dalam kasus-kasus tertentu, perawatan penyakit kritis ternyata

tidak hanya di rumah sakit, tetapi juga perawatan lanjutan baik di rumah

maupun berobat jalan yang juga terkadang memerlukan biaya yng tidak

sedikit. BPJS Kesehatan mungkin mencover sebagian besar obat-obatan

dan layanan kesehatan. Akan tetapi biaya-biaya lain seperti transportasi

dan obat-obatan premium jika diperlukan, tidaklah dijamin.


19

Belum lagi bila keluarga menginginkan penggunaan alat medis (misalnya

cincin untuk jantung) yang lebih berkualitas. Biaya yang diperlukan akan

lebih besar. Kekurangan ini bisa ditutupi dengan mengambil fasilitas

tambahan (rider) pada asuransi kesehatan swasta, yaitu perlindungan

penyakit kritis. Dengan mengambil fasilitas tambahan ini pasien akan

menerima uang tunai sebesar pertanggungan jika ia dideteksi menderita

salah satu penyakit kritis yang disepakati dalam polis. Uang tunai pastinya

akan sangat bermanfaat mengingat penyakit kritis biasanya menelan biaya

yang cukup besar.

4. Perlindungan BPJS Kesehatan.

a. Pelayanan COB di FKTP

Pelayanan kesehatan di FKTP BPJS Kesehatan diberikan sesuai

manfaat yang dijamin dalam program JKN/KIS. BPJS Kesehatan tidak

menjamin pelayanan kesehatan pada FKTP yang non Faskes atau tidak

bekerjasama dengan BPJS Kesehatan kecuali dalam kondisi gawat

darurat. Pada pelayanan kondisi gawat darurat di FKTP non Faskes

BPJS Kesehatan maka penagihan klaim dilakukan faskes ke BPJS

Kesehatan sesuai ketentuan yang berlaku. Sementara untuk FKTP

berbentuk klinik/dokter praktik perorangan yang bekerjasama dengan

asuransi kesehatan tambahan tapi belum bekerjasama dengan BPJS

Kesehatan maka BPJS Kesehatan dapat bekerjasama dengan FKTP

tersebut. Namun, harus sesuai dengan persyaratan administrasi dan

memiliki kompetensi dokter layanan primer. Guna menjaga mutu


20

pelayanan, klinik/dokter praktik perorangan bisa melakukan kerjasama

tertutup (khusus bagi peserta tertentu). Hal itu bisa dilakukan dengan

memenuhi sejumlah syarat yakni jumlah dokter dan peserta terdaftar

sudah maksimal ketentuan, letak FKTP terlokalisir dan tidak dapat

diakses peserta umum. Atau permintaan dari klinik/ dokter perorangan

karena keterbatasan kemampuan dan sarana sehingga pelayanan hanya

dimungkinkan untuk badan usaha tertentu.

b. Pelayanan COB di Faskes Lanjutan

1) Faskes BPJS Kesehatan

Untuk faskes tingkat lanjut yang bekerjasama dengan BPJS

Kesehatan, pelayanan kesehatan yang dijamin harus mengikuti

ketentuan yang berlaku dan peserta mendapatkan benefit sesuai

program JKN/KIS. Jika tidak sesuai ketentuan, pelayanan tidak

dijamin BPJS Kesehatan dan jadi tanggungan asuransi kesehatan

tambahan sesuai polis yang diperjanjikan. Biaya pelayanan

kesehatan yang tidak sesuai ketentuan itu tidak dapat ditagihkan

asuransi kesehatan tambahan atau peserta kepada BPJS Kesehatan.

Peserta COB yang menginginkan kelas perawatan lebih tinggi,

BPJS Kesehatan hanya menanggung biaya yang sesuai hak peserta.

Kemudian, faskes menagih ke BPJS Kesehatan lewat tagihan

kolektif. Jika ada selisih maka dibayar asuransi kesehatan

tambahan atau peserta sesuai polis yang diperjanjikan. Kelas

perawatan yang lebih tinggi yakni kelas perawatan rawat inap yang
21

lebih tinggi dari kelas yang menjadi hak peserta. Saat ini,

pelayanan poli eksekutif belum berlaku COB karena belum ada

regulasi tentang pengaturan klinik rawat jalan eksekutif oleh

Kementerian Kesehatan. Jika telah diatur dalam regulasi maka poli

eksekutif dapat berlaku COB.

2) Non Faskes COB

Koordinasi manfaat biaya pelayanan kesehatan dapat dilakukan

pada faskes yang belum bekerjasama dengan BPJS Kesehatan

namun bisa melayani COB atau non faskes COB. Tapi, itu hanya

dapat dilakukan secara terbatas di RS tertentu. Fajriadinur

menjelaskan sampai Mei 2015 jumlah non faskes COB berjumlah

11 RS dan Juli 2015 nanti ada penambahan 13 RS. Penambahan

dan pengurangan daftar non faskes COB dilakukan melalui surat

persetujuan direktur pelayanan BPJS Kesehatan. Untuk

mempermudah pelayanan terhadap peserta COB di FKTP BPJS

Kesehatan, data non faskes COB itu akan dimasukan dalam

aplikasi P-Care. Serta dapat digunakan dokter FKTP sebagai tujuan

rujukan atas indikasi medis ke non faskes COB. Peserta COB yang

mendapat pelayanan kesehatan pada non faskes COB tidak

menggunakan kartu BPJS Kesehatan tapi kartu yang diterbitkan

asuransi tambahan.Klaim yang dapat diajukan asuransi kesehatan

tambahan ke BPJS Kesehatan ada dua jenis. Pertama, pelayanan

rawat inap tingkat lanjutan (RITL) di non faskes COB, mengikuti


22

ketentuan sistem rujukan berjenjang dari FKTP BPJS Kesehatan

kecuali gawat darurat. Penagihan klaim yang diajukan asuransi

kesehatan tambahan harus melampirkan asal rujukan dari FKTP

BPJS Kesehatan. Ketentuan pelayanan rawat inap yakni kelas

perawtan sesuai atau di atas hak kelas BPJS Kesehatan. Jika peserta

dirawat di kelas yang lebih rendah daripada haknya di BPJS

Kesehatan maka biayanya tidak dapat ditanggung BPJS Kesehatan.

BPJS Kesehatan mengganti biaya dengan tarif maksimal sebesar

RS tipe C berdasarkan regionalisasi tarif INA-CBGs tempat faskes

berada. Jika biaya klaim yang diajukan asuransi kesehatan lebih

rendah dari tarif INA-CBGs maka klaim dibayar sesuai pengajuan.

Penagihan biaya pelayanan rawat inap ada dua alternatif yaitu

biaya dibayar terlebih dulu oleh asuransi kesehatan tambahan

kemudian ditagih ke BPJS Kesehatan. Atau peserta membayar dulu

kemudian menagih ke asuransi kesehatan tambahan dan asuransi

itu menagih ke BPJS Kesehatan. Penagihan biaya tidak berlaku

klaim perorangan ke BPJS Kesehatan (reimbursement). Kedua,

gawat darurat. Peserta COB dalam keadaan gawat darurat dapat

dilayani di non faskes COB. Jika sudah teratasi kondisi gawat

daruratnya, peserta pulang atau dirujuk ke faskes BPJS Kesehatan

untuk diberikan perawatan lanjutan di faskes tersebut. Penagihan

biaya pelayanannya dapat dilakukan dengan cara faskes mengih

langsung ke BPJS Kesehatan sesuai ketentuan penagihan klaim


23

gawat darurat yang berlaku. Atau dibayarkan terlebih dulu oleh

asuransi kesehatan tambahan kemudian ditagihkan ke BPJS

Kesehatan. Bisa juga peserta membayar terlebih dulu kemudian

menagihkan ke asuransi kesehatan tambahan selanjutnya asuransi

kesehatan tambahan menagih ke BPJS Kesehatan. BPJS Kesehatan

membayar dengan tarif INA-CBGs sesuai tipe RS yang ditetapkan

Kemenkes dan berdasarkan regionalisasi tarif INA-CBGs tempat

faskes berada. Apabila kondisi gawat darurat sudah teratasi tapi

pasien tidak bersedia dirujuk ke faskes BPJS Kesehatan tapi tetap

menginginkan dirawat inap di faskes tersebut maka pengajuan

klaim dan tarif pembayaran mengikuti ketentuan rawat inap di non

faskes COB (tarif INA-CBGs tipe C berdasarkan regionalisasi).

Pelayanan gawat darurat yang dapat dijamin adalah sesuai dengan

kriteria gawat darurat yang berlaku.

Perlindungan BPJS Kesehatan sangatlah baik dan telah mencukupi

layanan kesehatan standar sampai tindakan-tindakan medis yang

besar seperti operasi atau cuci darah. Hanya saja, pemberian

layanan masih cenderung birokratis, kurang praktis dan cenderung

membingungkan. Hal-hal ini tidak didapati pada nasabah asuransi

swasta yang cenderung mendapat layanan lebih cepat dan praktis di

RS. Asuransi swasta memiliki biaya lebih tinggi dibandingkan

BPJS, namun ada kelebihan dan keuntungan yang tidak atau belum

ditawarkan oleh BPJS. Jika memang masih ingin membeli polis


24

asuransi swasta, maka perlu mencari produk asuransi yang telah

bekerjasama dengan BPJS Kesehatan dalam bentuk coordination of

benefit(COB) sehingga masyarakat tidak perlu membayar dobel

untuk perlindungan yang sama. Produk asuransi yang sudah COB

dengan BPJS Kesehatan akan menanggung biaya-biaya layanan

kesehatan jika melebihi jumlah yang telah di-cover oleh BPJS

Kesehatan.

Menurut staf ahli Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Mahlil

Ruby, BPJS sebagai asuransi sosial pada dasarnya berbeda dengan

asuransi swasta. Pasalnya, BPJS bersifat wajib untuk seluruh

penduduk Indonesia. Karena pesertanya adalah seluruh rakyat

Indonesia, di BPJS berlaku rancangan perlindungan satu tarif. Pada

asuransi swasta, keanggotaannya bersifat sukarela. Paket

perlindungan dirancang oleh asuransi tersebut dan besaran iuran

disesuaikan dengan paket yang dipilih peserta.

Menurut Mahlil, sebetulnya biaya kesehatan yang ditanggung BPJS

sudah cukup maksimal. Akan tetapi jika pasien menginginkan

layanan lebih yang tidak ditanggung oleh BPJS, maka selisihnya

harus dibayar sendiri oleh pasien atau jika ada, asuransi swasta

yang menanggungnya. “Misalnya, kalau si pasien ingin

memasang ring jantung yang lebih bagus, tentu harganya akan

lebih mahal. Kalau misalnya yang ditanggung Rp 100.000,


25

sementara harga ring yang bagus itu Rp 150.000, maka selisih

harga itu yang harus dibayarkan oleh pasien.” jelas Mahlil Ruby

pada sebuah seminar yang diselenggarakan oleh Willis Indonesia di

Jakarta bulan Maret 2014 lalu.

5. Prinsip COB BPJS Kesehatan

Skema Coordination of Benefit

Koordinasi manfaat yang diberlakukan bila peserta BPJS Kesehatan

membeli asuransi kesehatan tambahan dari Penyelenggara Program

Asuransi Kesehatan Tambahan atau Badan Penjamin lainnya yang

bekerjasama dengan BPJS Kesehatan. BPJS Kesehatan nantinya akan

menjamin biaya sesuai tarif yang berlaku pada program Jaminan

Kesehatan Nasional (JKN), sedangkan selisihnya akan menjadi tanggung


26

jawab asuransi komersial selama sesuai dengan ketentuan dan prosedur

yang berlaku. Melalui mekanisme ini, peserta asuransi bisa naik kelas

perawatan, mendapatkan benefit lain yang tidak ditanggung dalam aturan

JKN, serta mendapatkan perawatan lanjutan yang ekslusif dan bisa berobat

di rumah sakit swasta yang belum bekerjasama dengan BPJS Kesehatan,

jika dalam keadaan gawat darurat. BPJS Kesehatan nantinya akan

menjamin biaya sesuai tarif yang berlaku pada program JKN, sedangkan

selisihnya menjadi tangung jawab asuransi komersial selama sesuai

dengan ketentuan dan prosedur yang berlaku.

6. Proses Klaim

Proses klaim juga semakin mudah, artinya jika peserta program BPJS

Kesehatan punya CoB dengan asuransi swasta maka saat dia sakit bisa

berobat di rumah sakit yang dia pilih dengan memilih rujukan dari rumah

sakit yang kerjasama dengan asuransi swasta tersebut. Selama ini kendala

peserta BPJS Kesehatan adalah saat klaim harus melalui mekanisme

rujukan berjenjang dari faskes tingkat 1 dan seterusnya.

Dengan makin banyaknya asuransi yang bermitra dengan BPJS Kesehatan

dalam bentuk CoB maka akan memudahkan nasabah memilih layanan

kesehatan yang dia inginkan sesuai dengan rujukan sakit yang dia

dapatkan.

Dengan adanya skema CoB antara BPJS dan asuransi swasta, nasabah kini

tak perlu ragu lagi dengan kendala yang ada di lapangan karena secara
27

konsep, CoB ini memberikan kepastian bahwa BPJS Kesehatan menjamin

biaya sesuai tarif dan jika biaya melebihi plafon maka asuransi swasta

yang akan menutup kekurangan tersebut.

7. Ketentuan Coordination of Benefits

a. Saat opname (rawat inap), nasabah menggunakan salah satu asuransi

kesehatan, disebut penanggung pertama. Jika produk dilengkapi

kartu cashless, nasabah tinggal menunjukkan kartu ke petugas admin

Rumah Sakit. Nasabah tidak dapat menggunakan dua kartu askes pada

saat bersamaan.

b. Jika penanggung pertama sudah membayar seluruh biaya tagihan

rumah sakit, maka nasabah tidak dapat melakukan klaim ke asuransi

kesehatan yang satunya lagi (disebut penanggung kedua). Di sini tidak

berlaku COB.

c. Tapi jika tagihan RS melebihi limit yang dapat ditanggung oleh

penanggung pertama, maka nasabah dapat mengklaimkan selisih biaya

atau ekses klaim ke penanggung kedua dengan cara reimbursement. Di

sinilah berlaku skema COB atau koordinasi manfaat.

d. Penanggung kedua ini pun hanya dapat membayar sesuai limit manfaat

yang dimilikinya. Jika penanggung kedua ini tidak mampu membayar

semua selisih, dan nasabah memiliki asuransi kesehatan ketiga, maka

selisihnya bisa diklaimkan ke penanggung ketiga.

e. Dengan prinsip indemnity, maka berapa pun produk asuransi

kesehatan yang dimiliki nasabah, dia hanya dapat mendapatkan


28

penggantian maksimum sebesar biaya yang dibebankan rumah sakit,

dengan batasan setinggi-tingginya sesuai limit dari produk asuransi

kesehatan yang dia ambil. Dengan kata lain, nasabah tidak bisa cari

untung dari asuransi kesehatan. Itulah tujuan dari dibuatnya skema

COB atau koordinasi manfaat.

8. Cara Melakukan Klaim COB

a. Mengisi formulir klaim asuransi kesehatan

b. Lampiran yang diperlukan:

c. Resume medis yang diisi dan ditandatangani dokter serta dicap RS

d. Surat Koordinasi Manfaat (asli) dari asuransi penanggung pertama

disertai perincian biaya yang dibayarkan dan tidak dibayarkan. Di surat

ini disertakan juga salinan seluruh dokumen klaim yang telah disetujui

penanggung pertama, meliputi surat persetujuan klaim, kuitansi,

perincian biaya, salinan resep, dan hasil tes diagnostik.

e. Kuitansi asli selisih biaya (ekses klaim) yang dibayar oleh nasabah

berikut perincian biaya dari ekses klaim.

f. Semua dokumen dikirim ke kantor pusat perusahaan asuransi atau

dititip lewat agen.

g. Contoh Surat Koordinasi Manfaat

h. Berikut adalah contoh Surat Koordinasi Manfaat. Surat ini harus

diminta ke asuransi pertama setelah rawat inap selesai, dan ditujukan

ke asuransi kedua.
29

Contoh Pengajuan Coordination of Benefit


30

9. Perbedaan Koordinasi Benefit dan Double Klaim

a. Koordinasi Benefit

Koordinasi manfaat dari dua buah asuransi kesehatan mungkin saja

dilakukan. Ketentuan ini akan memaksimalkan perawatan dan

pelayanan kesehatan.

Syarat yang harus dipenuhi agar Anda bisa mendapatkan fasilitas CoB

sebagai berikut:

1) surat keterangan yang dikeluarkan oleh asuransi penjamin pertama

yang berisi total biaya yang telah dibayarkan oleh asuransi

penjamin pertama,

2) salinan hasil resume medis yang berisi diagnosis medis dari rumah

sakit, serta formulir klaim perusahaan asuransi swasta.

b. Double Claim

Double claim berbeda dengan Coordination of Benefit (CoB). Fasilitas

CoB umumnya terdapat dalam produk asuransi kesehatan tradisional

atau murni. Pada CoB asuransi penjamin pertama menanggung biaya

perawatan kita sesuai dengan manfaat yang dimiliki. Jika ada

kelebihan biaya atau excess claim, biaya tersebut dapat ditagihkan

kepada asuransi penjamin kedua.

Sementara itu, proses double claim dapat dilakukan bila kita memiliki

produk asuransi kesehatan yang memiliki manfaat Santunan Harian.

Biasanya, produk sejenis ini dikategorikan sebagai rider atau asuransi


31

kesehatan tambahan yang dapat dimiliki bila kita memiliki asuransi

jiwa. Melalui fasilitas double claim, Anda bisa mendapatkan

penggantian biaya perawatan sesuai dengan manfaat yang dimiliki dari

dua asuransi penjamin.

Syarat Double Claim


Syarat yang harus dipenuhi agar Anda bisa mendapatkan
fasilitas double claim sebagai berikut:

1) salinan dokumen klaim lengkap (salinan kuitansi pembayaran dan

rincian biaya rumah sakit yang telah dilegalisir oleh Rumah Sakit,

2) resume medis dan

3) formulir klaim Perusahaan Asuransi Swasta

Setiap perusahaan asuransi memiliki aturan masing-masing mengenai

rentang waktu pengajuan klaim. Namun pada umumnya maksimum 30

hari dari tanggal kwitansi dari rumah sakit. Oleh sebab itu, persyaratan

yang harus dilengkapi harus dapat segera disiapkan agar klaim pada

asuransi penjamin kedua dapat dilakukan dan segera dicairkan.


32

C. Kepuasan

1. Pengertian Kepuasan

Kepuasan menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah merasa senang,

perihal (hal yang bersifat puas, kesenangan, kelegaan dan sebagainya).

Kepuasan menurut (Nusalam, 2003:15) adalah perasaan senang seseorang

yang berasal dari perbandingan antara kesenangan terhadap aktivitas dan

suatu produk dengan harapannya. Kepuasan Menurut (Kotler, 2004:42),

perasaan senang atau kecewa seseorang yang muncul setelah

membandingkan antara persepsi atau kesannya terhadap kinerja atau hasil

suatu produk dan harapan-harapannya.(Nursalam, 2014: 342)

2. Teori Kepuasan SERVQUAL

Tinjauan mengenai konsep kualitas layanan sangat ditentukan oleh berapa

besar kesenjangan (gap) antara persepsi pasien atas kenyataan pelayanan

yang diterima, dibandingkan dengan harapan pelanggan atas kenyataan

pelayanan yang harus diterima. Kelima kesenjangan (gap) tersebut

disajikan dalam skema grand theory Parasuman, Zeithaml dan Berry

( 1985) dan diuraikan berikut ini.Grand teori yang dikembangkan

Pasaruman, Zeithaml dan Berry dalam Muninjaya (2011), penyampaian

jasa oleh pihak penyedia jasa bias terancam gagal kalau berbagai

kesenjangan dibiarkan berkembang tanpa ada intervensi untuk

mencegahnya, atau tidak ada upaya khusus untuk mengurangi dampak

buruknya. Penjelasan mengenai kelima kesenjangan tersebut yaitu:


33

a. Kesenjangan antara harapan pengguna jasa dengan persepsi manajemen.

Manajemen institusi pelayanan kesehatan belum mampu secara tepat

mengidentifikasi dan memahami harapan (ekspetasi) para pengguna jasa

pelayanan kesehatan.

b. Kesenjangan antara persepsi manajemen spesifikasi kualitas jasa.

Kesenjangan akan terjadi jika pemahaman manajemen RS tentang

harapan pengguna jasa pelayanan kesehatan tidak diterjemahkan menjadi

aksi nyata spesifik.

c. Kesenjangan antara spesifikasi kualitas jasadan penyampaiannya.

Standar pelayanan dan cara penyampaian jasa sudah tersusun dengan

baik, tetapi muncul kesenjangan karena staf pelaksana pelayanan di garis

depan seperti perawat, bidan, dan dokter umum di sebuah rumah sakit

belum mendapat pelatihan khusus tentang teknik penyampaian jasa

pelayanan tersebut.

d. Kesenjangan antara penyampaian jasa dan harapan pihak eksternal.

Harapan pengguna jasa sangat dipengaruhi oleh cara staf dan manajemen

rumah sakit berkomunikasi dengan masyarakat calon pengguna jasanya.

e. Kesenjangan antara jasa yang diterima pengguna dan diharapkan..

Kesenjangan ini terjadi jika konsumen mengukur kinerja institusi

pelayanan kesehatan dengan cara berbeda, termasuk persepsi pengguna

yang berbeda terhadap kualitas jasa pelayanan kesehatan yang

diharapkan.
34

Berdasarkan penelitian-penelitian yang dilakukan Parasuraman et.al.dalam

Tjiptono (2000: 67-70) ditemukan sepuluh dimensi kualitas pelayanan atau

service quality, yaitu tangibles, reliability, responsiveness,

communication, credibility, security, competence, courtesy,

understanding/knowing the customer, dan acces. Dari sepuluh dimensi

kualitas tersebut dalam perkembangannya selanjutnya Parasuraman, et.al.

dalam Tjiptono (2000:70) merangkum menjadi lima dimensi pokok

dengan tujuan untuk meningkatkan reliabilitas data hasil dari pengukuran

kualitas pelayanan. Lima dimensi tersebut yaitu tangibles, reliability,

responsiveness, assurance, dan empathy atau yang lebih dikenal dengan

SERVQUAL. (Sunyoto, 2013: 45-46)

a. Expected Service

Expected service merupakan pelayanan yang diharapkan oleh

pelanggan yang meliputi harapan pelanggan terhadap bukti fisik,

kehandalan, daya tanggap, jaminan, dan empati penyedia pelayanan.

Cara mengukur expected service adalah dengan memberikan

pertanyaan tertutup kepada pelanggan tentang harapan terhadap

pelayanan dengan pilihan jawaban dalam rentang “sangat tidak

penting” sampai “sangat penting” (Parasuraman etal.,1988).

b. Perceived Service

Perceived service merupakan pelayanan yang dirasakan atau

diterima oleh pelanggan. Perceived service dapat diartikan kenyataan

pelanggan, penilaiannya meliputi limadimensi SERVQUALyaitu


35

tangibles, reliability, responsiveness, assurance, dan empathy. Cara

mengukur perceived service dengan memberikan pertanyaan kepada

pelanggan tentang pelayanan yang diterima dengan pilihan jawaban

dalam rentang “sangat tidak setuju” sampai “sangat setuju”

(Parasuraman et al 1988).

c. Perceived Service Quality

Cara menukur perceived service quality adalah dengan menghitung

skor gap atau selisih antara nilai perceived service dan expected

service. Apabila hasil skor gap adalah negatif, maka dinyatakan

bahwa kepuasan pasien terhadap kualitas pelayanan kurang

memuaskan, apabila hasil skor gap sama dengan nol maka

dinyatakan bahwa kualitas pelayanan memuaskan, dan apabila hasil

skor gap positif maka dinyatakan bahwa kualitas pelayanan sangat

memuaskan. (Parasuraman et al., 1988)

Hasil pengukuran perceived service quality merupakan suatu evaluasi

kinerja penyelenggara atau penyedia pelayanan. Expected service dan

perceived service sendiri dipengaruhi oleh lima dimensi yaitu tangibles,

reliability, responsiveness, assurance, dan empathy yang akan dijelaskan

secara rinci dalam teori kepuasan SERVQUAL.

Menurut Parasuraman, 2001 (dalam Nursalam, 2014: 303-309) ada lima

dimensi kualitas pelayanan. Kelima dimensi pokok tersebut yaitu :

a. Bukti nyata (tangibles), yaitu bentuk aktualisasi nyata secara fisik

dapat terlihat atau digunakan oleh pegawai sesuai dengan penggunaan


36

dan pemanfaatannya yang dapat dirasakan membantu pelayanan yang

diterima oleh orang yang menginginkan pelayanan, sehingga puas atas

pelayanan yang dirasakan, yang sekaligus menunjukkan prestasi kerja

atas pemberian pelayanan yang diberikan. Hal ini meliputi fasilitas

fisik contoh gedung, gudang, perlengkapan dan teknologi kedokteran

yang digunakan serta penampilan pegawainya.

b. Keandalan (reliability), yaitu dalam memberikan pelayanan, setiap

pegawai diharapkan memiliki kemampuan dalam pengetahuan,

keahlian, kemandirian, penguasaan dan profesionalisme kerja yang

tinggi, sehingga aktivitas kerja yang dikerjakan menghasilkan bentuk

pelayanan yang memuaskan, tanpa ada keluhan dan kesan yang

berlebihan atas pelayanan yang diterima oleh masyarakat. Kinerja

harus sesuai dengan harapan pelanggan yang berarti ketepatan waktu,

pelayanan yang sama untuk semua pasien tanpa kesalahan, sikap yang

simpatik dan dengan akurasi yang tinggi.

c. Daya Tanggap (responsiveness), yaitu setiap pegawai dalam

memberikan bentuk-bentuk pelayanan, mengutamakan aspek

pelayanan yang sangat mempengaruhi perilaku orang yang mendapat

pelayanan, sehingga diperlukan kemampuan daya tanggap dari

pegawai untuk melayani masyarakat sesuai dengan tingkat

penyerapan, pengertian, ketidaksesuaian atas berbagai hal bentuk

pelayanan yang tidak diketahuinya. Hal ini memerlukan adanya

penjelasan yang bijaksana, mendetail, membina, mengarahkan dan


37

membujuk agar menyikapi segala bentuk-bentuk prosedur dan

mekanisme kerja yang berlaku dalam suatu organisasi, sehingga

bentuk pelayanan mendapat respon positif.

d. Jaminan (assurance), yaitu bentuk kepastian dari suatu pelayanan

sangat ditentukan oleh jaminan dari pegawai yang memberikan

pelayanan, sehingga orang yang menerima pelayanan merasa puas dan

yakin bahwa segala bentuk urusan pelayanan yang dilakukan atas

tuntas dan selesai sesuai dengan kecepatan, ketepatan, kemudahan,

kelancaran dan kualitas layanan yang diberikan.

e. Empati (empathy), yaitu pemahaman dan pengertian dalam

kebersamaan asumsi atau kepentingan terhadap suatu hal yang

berkaitan dengan pelayanan. Pelayanan akan berjalan dengan lancar

dan berkualitas apabila setiap pihak yang berkepentingan dengan

pelayanan memiliki adanya rasa empati yang menyelesaikan atau

mengurus atau memiliki komitmen yang sama terhadap pelayanan.

Dimana suatu perusahaan maupun rumah sakit diharapkan memiliki

pengetahuan dan pengertian tentang pelanggan secara spesifik, serta

memiliki waktu pengoperasian yang nyaman bagi pasien.


38

D. Kerangka Pikir

Berdasarkan telaah pustaka diatas maka dapat disusun kerangka teori

sebagai berikut:

Gambar 2.1 Kerangka Pikir

DIMENSI MUTU
PELAYANAN

1. Tangibles KEPUASAN
2. Reliability
3. Responsiveness
4. Assurance
5. Empathy

Sumber: Parasuraman, 2001 dalam Nursalam 2015


39

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif. Penelitian kualitatif

merupakan penelitian yang digunakan untuk menyelidiki, menemukan,

menggambarkan, dan menjelaskan kualitas atau keistimewaan dari pengaruh

sosial yang tidak dapat dijelaskan, diukur atau digambarkan melalui

pendekatan kuantitatif (Saryono & Anggraini, 2011).

B. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan pada Oktober 2018 di BPJS Kesehatan.

C. Rancangan Penelitian

Penelitian ini dengan menggunakan pendekatan fenomenologi atau disebut

dengan perspektif fenomenologi (Saryono & Anggraeni, 2013). Perspektif

fenomenologi adalah memberikan deskripsi, refleksi, interpretasi, dan modus

riset yang menyampaikan intisari dari pengalaman individu yang diteliti.

Fenomenologi berkontribusi mendalami pemahaman berbagai perilaku,

tindakan dan gagasan masing-masing individu dan diterima secara benar ingin

melakukan penggalian Implementasi Koordinasi Manfaat Terhadap Kepuasan

Peserta Badan Usaha Di BPJS Kesehatan Tahun 2019.

39
40

D. Subjek Penelitian

Sampel dalam penelitian kualitatif terdiri dari tiga jenis yaitu: Purposive

sampling, quota sampling dan snowballing sampling. Dalam penelitian ini

jenis sampling yang digunakan adalah Purposive sampling. Jumlah sampel

bisa ditentukan sebelum penelitian atau pada saat penelitian bergantung

kepada sumber data yang ada, tersedianya waktu penelitian, serta bergantung

dari tujuan penelitian. Jumlah sampel juga ditentukan oleh teori saturation

yaitu berhenti mengumpulkan data jika tidak ada lagi informasi yang baru

(Martha & Kresno, 2017). Adapun sampel dalam penelitian ini adalah HRD

dari Badan udaha yang double cover health insurance antara BPJS dan AKT,

yaitu:

1. Agung Podomoro Land

2. Bank Permata

3. Wijaya Karya

4. Pegadaian

5. Indosat

6. Telkomse

7. Bank BNI
41

E. Definisi Istilah

Tabel 3.2 Definisi Istilah

No Istilah Definisi Istilah


1 COD Suatu proses dimana dua atau lebih penanggung (payer) yang
menanggung orang yang sama untuk benefit asuransi kesehatan yang
sama, membatasi total benefit dalam jumlah tertentu yang tidak
melebihi jumlah pelayanan kesehatan yang dibiayakan

2 Kepuasan Perbandingan antara harapan pelanggan terhadap persepsi pelanggan


pada pelayanan BPJS Kesehatan

F. Pengumpulan Data

Wawancara merupakan alat re-checking atau pembuktian terhadap

informasi atau keterangan yang diperoleh sebelumnya. Teknik wawancara

yang digunakan dalam penelitian ini adalah Wawancara mendalam (in-depth

interview) adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian

dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan

informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan

pedoman (guide) wawancara, di mana pewawancara dan informan terlibat

dalam kehidupan social yang relatif lama (Saryono & Anggraeni, 2013).

Wawancara mendalam dilakukan terhadap HRD dari Badan udaha yang

double cover health insurance antara BPJS dan AKT. Waktu wawancara

menyesuaikan dengan kesibukan kerja partisipan dan waktu maksimal untuk

setiap satu pertemuan wawancara adalah 60 menit untuk mencegah

kebosanan. Jika dalam waktu yang maksimal tersebut data dirasa belum

lengkap, wawancara dapat dilakukan pada pertemuan berikutnya dengan

terlebih dahulu membuat kontrak dengan partisipan.


42

Sarana untuk membantu proses pengumpulan data menurut

Sugiyono (2016), berupa:

a. Buku catatan: berfungsi untuk mencatat semua percakapan dengan

sumber data.

b. Tape recorder: berfungsi untuk merekam semua percakapan atau

pembicaraan. Sebelum menggunakan tape recorder dalam wawancara

peneliti meminta izin kepada informan apakah diperbolehkan atau

tidak.

c. Camera: untuk mendokumentasikan saat peneliti sedang melakukan

pembicaraan dengan informan/sumber data. Dengan adanya foto dan

video ini, maka dapat meningkatkan keabsahan penelitian akan lebih

terjamin, karena peneliti betul-betul melakukan pengumpulan data.

G. Pengolahan Data

Data yang telah dikumpulkan baik dari informan maupun dari data

sekunder akan dianalisis dengan cara kualitatif. Analisis dilakukan

berdasarkan informasi berasal dari informan dilengkapi dengan data sekunder

berupa data-data pendukung dan dibandingkan dengan pengamatan di

lapangan.

Untuk melakukan validasi data dilakukan triangulasi. Triangulasi yang

dilakukan meliputi metode, sumber data dan analisis data. Metode yang

digunakan adalah metode wawancara mendalam dengan observasi langsung.

Sumber yaitu menggunakan responden yang berbeda untuk melakukan cross


43

check dan juga penelitian data sekunder. Analisis data membandingkan hasil

yang didapat dengan tinjauan pustaka yang ada.

Menurut Saryono & Anggraini (2013), uji keabsahan data dalam penelitian

kualitatif meliputi uji credibility (validitas internal), transferability (validitas

eksternal), dependability (reliabilitas), dan confirmability (obyektivitas). Akan

tetapi keabsahan data dalam penelitian ini hanya akan melakukan uji

credibility saja atau validitas interbal.

1. Uji Kredibilitas

Kredibilitas merupakan kriteria untuk memenuhi nilai kebenaran dari data

dan informasi yang dikumpulkan, artinya, hasil penelitian harus dapat

dipercaya oleh semua pembaca secara kritis dan dari responden sebagai

informan.

Cara memperoleh tingkat kepercayaan hasil penelitian, yaitu:

a. Memperpanjang masa pengamatan (prolonged engagement),

memungkinkan peningkatan derajat kepercayaan data yang

dikumpulkan, bisa mempelajari kebudayaan dan dapat menguji

informasi dari responden, dan untuk membangun kepercayaan para

responden terhadap peneliti dan juga kepercayaan diri peneliti sendiri.

b. Pengamatan yang terus-menerus (persistent observation), untuk

menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat

relevan dengan persoalan atau isu yang sedang diteliti, serta

memusatkan diri pada hal-hal tersebut sebagai rinci.


44

c. Triangulasi (triangulation), pemeriksaan keabsahan data yang

memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data untuk keperluan

pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data tersebut.

Triangulasi sumber data yaitu pengecekan data dari berbagai sumber

dan member check baik pengecekan pada medical record informan,

anggota keluarga yang dekat dengan informan dan lai-lain.

d. Mengadakan pengecekan anggota (member checking), yaitu dengan

menguji kemungkinan dugaan-dugaan yang berbeda dan

mengembangkan pengujian-pengujian untuk mengecek analisis,

dengan mengaplikasiannya pada data, serta dengan mengajukan

pertanyaan-pertanyaan tentang data.

e. Analisis kasus negative (negative case analysis)

f. Pengecekan atas kecukupan referensial (referencial adequacy checks).

2. Transferabilitas (transferability)

Seberapa mampu suatu hasil penelitian kualitatif dapat dihasilkan

dan dialihkan pada keadaan atau konteks lain atau kelompok atau

partisipan lainnya merupakan pertanyaan untuk menilai kualitas tingkat

keteralihan atau transferabilitas. Penelitian kualitatif memiliki keterbatasan

pada aspek generalisasi disebkan karena tujuan utama dari penelitian

kualitatif adalah untuk memahami suatu fenomena atau situasi kehidupan

secara mendalam, bukan untuk menggeneralisasikan hasil temuan riset

tersebut. kriteria ini digunakan untuk memenuhi criteria bahwa hsil


45

penelitian yang dilakukan dalam konteks (setting) tertentu dapat ditransfer

ke subjek lain yang memeiliki tipologi yang sama.

3. Dependabilitas (dependability)

Kriteria ini dapat digunakan untuk menilai apakah proses

penelitian kualitatif bermutu atau tidak,. Teknik terbaik yang digunakan

adalah dependability audit dengan meminta dependent dan independent

auditor untuk mereview aktivitas peneliti. cara yang dapat dilakukan

peneliti untuk memperoleh hasil penelitian atau data yang konsisten

melakukan suatu analisis data yang terstruktur dan mengupayakan untuk

menginterpretasikan hasil studinya dengan benar sehingga para pembaca

dapat membuat kesimpulan yang sama dalam menggunakan perspektif,

data mentah dan dokumen analisis studi yang sedang dilakukan.

4. Konfirmabilitas (conformability)

Konfirmabilitas menggantikan aspek objektivitas pada penelitian

kuantitaitif, namun tidak persis sama arti dari keduanya. Yaitu kesediaan

peneliti untuk mengungkap secara terbuka proses dan elemen-elemen

penelitiannya. Hal ini dapat dilakukan dengan membicarakan hasil

penelitian dengan orang yang tidak ikut dan tidak berkepentingan dalam

penelitian dengan tujuan agar hasil dapat lebih objektif. Konfirmabilitas

merupakan criteria untuk menilai mutu tidaknya hasil penelitian.jika

dependabilitias digunakan untuk menilai kualitas dari proses yang

ditempuh oleh peneliti, maka konfirmabilitas untuk menilai kualitas hasil

penelitian.
46

H. Analisis Data

Menurut Saryono & Anggraeni (2013) langkah-langkah analisis data

pada studi fenomenologi, yaitu:

1. Peneliti memulai mengorganisasikan semua data atau gambaran

menyeluruh tentang fenomena pengalaman yang telah dikumpulkan

2. Membaca secara keseluruhan dan membuat catatan pinggir mengenai data

yang dianggap penting kemudian melakukan pengkodean data.

3. Menemukan dan mengelompokkan makna pernyataan yang dirasakan oleh

responden dengan melakukan horizonaliting yaitu setiap pernyataan pada

awalnya diperlakukan memiliki nilai yang sama. Selanjutnya, pernyataan

yang tidak relevan dengan topik dan pertanyaan maupun pernyataan yang

bersiat repetitif atau tumpang tindih dihilangkan, sehingga yang tersisa

hanya horizons (arti tekstural dan unsur pembentuk atau penyusun dari

phenomena yang tidak mengalamin penyimpangan).

4. Pernyataan tersebut kemudian dikumpulkan ke dalam unit makna lalu

ditulis gambaran tenntang bagaimana pengalaman tersebut terjadi. 5.

Selanjutnya penelitian mengembangkan uraian secara keseluruhan dari

fenomena tersebut sehingga menemukan esensi dari fenomena tersebut.

Kemudian mengembangkan texttural desciption (mengenai fenomena yang

terjadi pada responden) dan structural description (yang menjelaskan

bagaimana fenomena itu terjadi).


47

5. Penelitian kemudian memberikan penjelasan secara natural mengenai

esensi dari fenomena yang diteliti dan mendapatkan makna pengalaman

responden mengenai fenomena tersebut.

6. Membuat laporan pengalaman setiap partisipan. Setelah itu, gabungan dari

gambaran tersebut ditulis.

Anda mungkin juga menyukai