Anda di halaman 1dari 17

MODUL ASURANSI, PEMBIAYAAN, KODEFIKASI TINDAKAN DI YANKES

(RMK413)

MODUL 6
JAMINAN KESEHATAN NASIONAL

DISUSUN OLEH
PUTERI FANNYA, SKM, M.Kes

UNIVERSITAS ESA UNGGUL


2020

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id 0 / 17
JAMINAN KESEHATAN NASIONAL

1) Kemampuan Akhir Yang Diharapkan


Setelah mempelajari modul ini, diharapkan mahasiswa mampu :
1)Memahami Konsep Jaminan Kesehatan Nasional

2) Uraian dan Contoh


Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
Dalam modul ini materi yang disajikan lebih terfokus pada JKN-KIS (Kartu
Indonesia Sehat) atau yang dikenal dengan BPJS Kesehatan
a. Definisi
Terbitnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional (SJSN) menjadi suatu bukti yang kuat bahwa pemerintah dan
pemangku kepentingan terkait memiliki komitmen yang besar untuk
mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyatnya. Melalui SJSN
sebagai salah satu bentuk perlindungan sosial, pemerintah bermaksud
menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang
layak. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN juga
mengamanatkan bahwa program jaminan sosial wajib bagi seluruh penduduk
Indonesia. Program tersebut juga meliputi program jaminan kesehatan yang
dilaksanakan dan dikelola melalui suatu badan penyelenggara jaminan sosial.
Badan penyelenggara jaminan sosial yang ditunjuk oleh pemerintah telah diatur
dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) yang terdiri dari BPJS Kesehatan dan BPJS
Ketenagakerjaan. Program jaminan kesehatan yang diselenggarakan oleh
BPJS Kesehatan telah dimulai sejak 1 Januari 2014.
Pemerintah Indonesia menerapkan JKN bagi seluruh rakyatnya secara
bertahap hingga 1 Januari 2019. Hal ini sebagai wujud kinerja pemerintah
dalam upaya mencapai derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya
sebagaimana yang tertuang dalam tujuan pembangunan kesehatan. Oleh
karena itu, program JKN diterapkan mengikuti pola pembiayaan yang bersifat
wajib. Artinya, seluruh penduduk Indonesia (tanpa terkecuali) harus telah
menjadi peserta program pada tanggal 1 Januari 2019. Melalui penerapan JKN,
pemerintah mengharapkan tidak akan ada lagi penduduk Indonesia, khususnya

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id 1 / 17
masyarakat kurang mampu, yang tidak berobat ke fasilitas kesehatan karena
tidak memiliki biaya (Mukti & Moertjahjo, 2008).
Menurut Peraturan Presiden RI No. 12 Tahun 2013 tentang Jaminan
Kesehatan, jaminan kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan
agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan
dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap
orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah.
Jaminan ini disebut Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) karena semua
penduduk Indonesia wajib menjadi peserta jaminan kesehatan yang dikelola
oleh BPJS termasuk orang asing yang telah bekerja paling singkat enam bulan
di Indonesia dan telah membayar iuran.
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)diterapkan berdasarkan pola pembiayaan
pra-upaya, artinya pembiayaan kesehatan dikeluarkan sebelum atau tidak
dalam kondisi sakit. Pola pembiayaan ini mengacu pada kaidah“jumlah besar”
dan “perangkuman risiko”. Artinya, agar risiko dapat disebarkan secara luas dan
direduksi secara efektif, maka pola pembiayaan ini membutuhkan peserta
dengan jumlah besar. Oleh karena itu, pada pelaksanaannya, pemerintah
mewajibkan seluruh penduduk Indonesia menjadi peserta JKN agar
kaidah“jumlah besar” tersebut dapat dipenuhi. Perangkuman risiko terjadi ketika
sejumlah individu yang berisiko sepakat untuk menghimpun risiko kerugian
dengan tujuan mengurangi beban (termasuk biaya kerugian/klaim) yang harus
ditanggung masing-masing individu ketika salah satu individu tersebut
mengalami kerugian/bencana(Azwar, 1996; Murti, 2000).
Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikembangkan di Indonesia
merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang bersifat
wajib (mandatory). Program ini diselenggarakan melalui mekanisme asuransi
sosial yang bertujuan agar seluruh penduduk Indonesia terlindungi dalam
sistem asuransi sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan dasar kesehatan.
Ketentuan tersebut didasarkan pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004
tentang SJSN (Nurman & Martini, 2008).
b. Maksud, tujuan, dan ruang lingkup JKN
Pada dasarnya, JKN dimaksudkan untuk:
1) mewujudkan kendali mutu dan kendali biaya dalam pelayanan kesehatan;
2) memperkuat layanan kesehatan primer dan sistem rujukannya;

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id 2 / 17
3) mengutamakan upaya promotif-preventif dalam pelayanan kesehatan untuk
menekan kejadian penyakit. Hal ini akan berdampak pada berkurangnya
orang yang berobat dan pembiayaan kesehatan menjadi lebih efisien.
Pelaksanaan program JKN mengacu pada Peraturan Presiden RI No. 12
Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan yang bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak dengan cara memberikan
perlindungan kesehatan. Bentuk perlindungan kesehatan ini merupakan
manfaat dari pemeliharaan kesehatan dalam rangka memenuhi kebutuhan
dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar
iuran jaminan kesehatan atau iurannya dibayar oleh pemerintah. Iuran jaminan
kesehatan adalah sejumlah uang yang dibayarkan secara teratur oleh peserta,
pemberi kerja dan/atau pemerintah untuk program jaminan kesehatan. Atas
dasar iuran yang dibayarkan tersebut, setiap peserta berhak memperoleh
manfaat jaminan kesehatan yang bersifat pelayanan kesehatan perorangan.
Pelayanan kesehatan yang dapat diperoleh mencakup pelayanan promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Pelayanan kesehatan juga termasuk
pelayanan obat dan bahan medis habis pakai sesuai dengan kebutuhan medis
yang diperlukan (Novana, 2013).
Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 28 Tahun 2014
tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional, ruang
lingkup pengaturan dalam Pedoman Pelaksanaan Program JKN ini meliputi
penyelenggaraan, peserta dan kepesertaan, pelayanan kesehatan, pendanaan,
badan penyelenggara dan hubungan antar lembaga. Selain itu, ruang
lingkupnya juga meliputi monitoring dan evaluasi, pengawasan, dan
penanganan keluhan.
c. Prinsip-prinsip JKN
Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mengacu pada
prinsip-prinsip sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yaitu:
1) Kegotongroyongan
Dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), prinsip gotong royong
diartikan sebagai kegiatan tolong menolong antarpeserta. Peserta yang
mampu membantu peserta yang kurang mampu, peserta yang sehat
membantu yang sakit atau yang berisiko tinggi, dan peserta yang sehat

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id 3 / 17
membantu yang sakit. Hal ini dapat terwujud karena kepesertaan SJSN
bersifat wajib untuk seluruh penduduk, tanpa pandang bulu. Dengan
demikian, melalui prinsip gotong royong, jaminan sosial diharapkan dapat
menumbuhkan jiwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
2) Nirlaba
Dana yang dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan
(BPJS Kesehatan) adalah dana amanah yang dikumpulkan dari masyarakat
bukan ditujukan untuk mencari laba (for profit oriented). Sebaliknya, tujuan
utamanya adalah untuk memenuhi sebesar-besarnya kepentingan peserta.
3) Keterbukaan, Kehati-hatian, Akuntabilitas, Efisiensi, dan Efektivitas
Prinsip-prinsip manajemen ini mendasari seluruh kegiatan pengelolaan dana
yang berasal dari iuran peserta dan hasil pengembangannya. Keterbukaan
menunjukkan adanya keterbukaan informasi, baik dalam proses
pengambilan keputusan maupun dalam mengungkapkan informasi yang
sesuai dengan kebutuhan dalam upaya penyelenggaraan dan pengelolaan
danaprogram. Kehati-hatian menunjukkan kegiatan pengelolaan dana yang
disesuaikan dengan peraturan perundangan yang berlaku. Akuntabilitas
merupakan prinsip kejelasan dari struktur sistem dan pertanggungjawaban
pengelolaan dana. Efisiensi dan efektivitas merujuk pada pengelolaan dana
yang tepat, cermat, dan berdaya guna.
4) Portabilitas
Prinsip portabilitas jaminan sosial dimaksudkan untuk memberikan jaminan
yang berkelanjutan kepada peserta sekalipun mereka berpindah pekerjaan
atau tempat tinggal tetapi tetap dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
5) Kepesertaan Bersifat Wajib
Prinsip ini mewajibkan seluruh rakyat menjadi peserta sehingga setiap orang
dapat terlindungi. Meskipun kepesertaan bersifat wajib bagi seluruh rakyat,
penerapannya tetap disesuaikan dengan kemampuan ekonomi rakyat dan
pemerintah serta kelayakan penyelenggaraan program.
6) Dana Amanah
Dana yang terkumpul dari iuran peserta merupakan dana titipan kepada
badan penyelenggara untuk dikelola sebaik-baiknya dalam rangka
mengoptimalkan dana tersebut untuk kesejahteraan peserta.

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id 4 / 17
7) Hasil Pengelolaan Dana Jaminan Sosial
Hasil pengelolaan dana jaminan sosial dipergunakan seluruhnya untuk
pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta

d. Manfaat JKN
Manfaat JKN terdiri dari 2 (dua) hal, yaitu manfaat medis dan manfaat non-
medis. Manfaat medis berupa pelayanan kesehatan. Pelayanan yang diberikan
bersifat paripurna (preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif) dan tidak
dipengaruhi oleh besarnya iuran yang telah dibayarkan oleh peserta. Manfaat
non-medis meliputi akomodasi dan ambulans. Manfaat akomodasi ditujukan
bagi peserta yang dirawat inap. Layanan rawat inap sesuai dengan hak kelas
perawatan peserta. Manfaat ambulans hanya diberikan untuk pasien rujukan
dari fasilitas Kesehatan dengan kondisi tertentu sesuai rekomendasi dokter dan
telah ditetapkan oleh BPJS Kesehatan.
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 28 Tahun 2014 tentang Pedoman
Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional telah mengatur jenis
manfaat yang dapat diperoleh oleh peserta JKN. Manfaat yang dijamin dalam
JKN terdiri dari:
1) Pelayanan kesehatan di FKTP yang merupakan pelayanan kesehatan non-
spesialistik, meliputi:
a. administrasi pelayanan;
b. pelayanan promotif dan preventif;
c. pemeriksanaan, pengobatan, dan konsultasi medis;
d. tindakan medis non-spesialistik, baik operatif maupun non-operatif;
e. pelayanan obat dan bahan medis habis pakai;
f. transfusi darah sesuai dengan kebutuhan medis
g. pemeriksaan penunjang diagnostik laboratorium tingkat pratama; dan
h. rawat inap tingkat pertama sesuai dengan indikasi medis.
Pelayanan kesehatan tingkat pertama sebagaimana dimaksud di atas untuk
pelayanan medis mencakup:
a. kasus medis yang dapat diselesaikan secara tuntas di pelayanan
kesehatan tingkat pertama;

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id 5 / 17
b. kasus medis yang membutuhkan penanganan awal sebelum dilakukan
rujukan;
c. kasus medis rujuk balik;
d. pemeriksaan, pengobatan, dan tindakan pelayanan kesehatan gigi
tingkat pertama;
e. pemeriksaan ibu hamil, nifas, ibu menyusui, bayi, dan anak balita oleh
bidan atau dokter; dan
f. rehabilitasi medik dasar.
2) Pelayanan Kesehatan di FKRTL/Rujukan Tingkat Lanjutan yang mencakup:
a. administrasi pelayanan;
b. pemeriksaan, pengobatan dan konsultasi spesialistik oleh dokter
spesialis dan subspesialis;
c. tindakan medis spesialistik, baik bedah maupun nonbedah sesuai
dengan indikasi medis;
d. pelayanan obat dan bahan medis habis pakai;
e. pelayanan penunjang diagnostik lanjutan sesuai dengan indikasi medis;
f. rehabilitasi medis;
g. pelayanan darah;
h. pelayanan kedokteran forensik klinik;
i. pelayanan jenazah (pemulasaran jenazah) pada pasien yang
meninggal di fasilitas kesehatan (tidak termasuk peti jenazah);
j. perawatan inap non-intensif;
k. perawatan inap di ruang intensif; dan
l. akupunktur medis.
3) Manfaat pelayanan promotif dan preventif yang mencakup:
a. penyuluhan kesehatan perorangan, meliputi paling sedikit penyuluhan
mengenai pengelolaan faktor risiko penyakit dan perilaku hidup bersih
dan sehat;
b. imunisasi dasar, yaitu:
1) Baccile-Calmett-Guerin (BCG),
2) Difteri-Pertusis-Tetanus dan Hepatitis-B (DPT-HB),
3) Polio, dan

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id 6 / 17
4) Campak;
c. Keluarga Berencana, yaitu:
1) konseling,
2) kontrasepsi dasar,
3) vasektomi,
4) tubektomi, dan
5) termasuk komplikasi KB bekerja sama dengan lembaga yang
membidangi keluarga berencana
d. vaksin untuk imunisasi dasar dan alat kontrasepsi dasar disediakan oleh
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.
e. pelayanan skrining kesehatan tertentu diberikan secara selektif untuk
mendeteksi risiko penyakit dan mencegah dampak lanjutan, yaitu:
1) diabetes mellitus tipe II,
2) hipertensi,
3) kanker leher rahim,
4) kanker payudara, dan
5) penyakit lain yang ditetapkan Menteri;
f. Pelayanan penunjang untuk pelayanan skrining kesehatan tertentu yang
merupakan pelayanan yang termasuk dalam lingkup nonkapitasi, yang
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pemeriksaan penunjang pelayanan skrining kesehatan meliputi:
1) pemeriksaan gula darah,
2) pemeriksaan IVA untuk kasus kanker leher rahim, dan
3) pemeriksaan pap smear.
g. Khusus untuk kasus dengan pemeriksaan IVA positif dapat ditambah
dengan pelayanan Terapi Krio.
4) Manfaat Pelayanan Kebidanan dan Neonatal dalam JKN yang mencakup:
a) pemeriksaan antenatal care (ANC) berupa:
1) pemeriksaan fisik,
2) pengukuran tinggi badan dan berat badan,
3) pemeriksaan tekanan darah,
4) pengukuran lingkar lengan atas,

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id 7 / 17
5) pemeriksaan tinggi fundus uteri,
6) pemeriksaan denyut jantung janin,
7) pemeriksaan posisi janin,
8) pemeriksaan Hb,
9) pemeriksaan golongan darah,
10) tes celup glukoprotein urin,
11) imunisasi,
12) pemberian suplemen besi dan asam folat,
13) konseling, dan
14) mengonsultasikan ke dokter pada trimester pertama atau sedini
mungkin;
b) pemeriksaan ANC sesuai standar diberikan dalam bentuk paket minimal
4 (empat) kali pemeriksaan;
c) pemeriksaan postnatal care (PNC)/neonatus sesuai standar diberikan
dalam bentuk paket minimal 3 (tiga) kali kunjungan ibu dan 3 (tiga) kali
kunjungan bayi; dan
d) pelayanan kebidanan dan neonatal yang dilakukan oleh bidan atau
dokter, sesuai kompetensi dan kewenangannya.
5) Pelayanan alat kesehatan yang jenis dan plafon harga ditetapkan oleh
Menteri. Pelayanan alat bantu kesehatan yang dijamin meliputi:
a. kaca mata, yang diberikan paling cepat 2 tahun sekali atas indikasi
medis minimal (sferis 0,5D dan silindris 0,25D);
b. slat bantu dengar, yang diberikan paling cepat 5 tahun sekali atas
indikasi medis;
c. protesa alat gerak, meliputi kaki palsu dan tangan palsu yang diberikan
paling cepat 5 tahun sekali atas indikasi medis;
d. protesa gigi, yang diberikan paling cepat 2 tahun sekali atas indikasi
medis untuk gigi yang sama;
e. korset tulang belakang, yang diberikan paling cepat 2 tahun sekali atas
indikasi medis;
f. collar neck, yang diberikan paling cepat 2 tahun sekali atas indikasi
medis; dan

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id 8 / 17
g. kruk, yang diberikan paling cepat 5 tahun sekali atas indikasi medis.
6) Manfaat pelayanan obat
Pelayanan obat untuk peserta JKN pada fasilitas kesehatan mengacu pada
daftar obat yang tercantum dalam formularium nasional dan harga obat
yang tercantum dalam e-katalog obat. Pelayanan obat untuk peserta JKN di
FKTP dilakukan oleh apoteker di instalasi farmasi klinik pratama/ruang
farmasi di Puskesmas/apotek sesuai ketentuan perundang-undangan. Jika
Puskesmas belum memiliki apoteker maka pelayanan obat dapat dilakukan
oleh tenaga teknis kefarmasian dengan pembinaan apoteker dari Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota. Pelayanan obat untuk peserta JKN di FKRTL
dilakukan oleh apoteker di instalasi farmasi rumah sakit/klinik utama/apotek
sesuai ketentuan perundang-undangan.
Kebutuhan obat adakalanya tidak sesuai dengan formularium nasional.
Penggunaan obat di luar formularium nasional di FKTP dapat digunakan
apabila sesuai dengan indikasi medis dan sesuai dengan standar
pelayanan kedokteran yang biayanya sudah termasuk dalam kapitasi dan
tidak boleh dibebankan kepada peserta. Penggunaan obat di luar
formularium nasional di FKRTL hanya dimungkinkan setelah mendapat
rekomendasi dari Ketua Komite Farmasi dan Terapi dengan persetujuan
Komite Medik atau Kepala/Direktur Rumah Sakit yang biayanya sudah
termasuk dalam tarif INA-CBGs dan tidak boleh dibebankan kepada
peserta.
Tidak semua manfaat yang berupa pelayanan kesehatan dijamin oleh program
JKN. Manfaat yang tidak dijamin dalam program JKN meliputi:
a. pelayanan kesehatan yang dilakukan tanpa melalui prosedur sebagaimana
diatur dalam peraturan yang berlaku;
b. pelayanan kesehatan yang dilakukan di Fasilitas Kesehatan yang tidak
bekerja sama dengan BPJS Kesehatan, kecuali dalam keadaan darurat;

c. pelayanan kesehatan yang telah dijamin oleh program jaminan kecelakaan


kerja terhadap penyakit atau cedera akibat kecelakaan kerja atau
hubungan kerja;

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id 9 / 17
d. pelayanan kesehatan yang telah dijamin oleh program jaminan kecelakaan
lalu lintas yang bersifat wajib sampai nilai yang ditanggung oleh program
jaminan kecelakaan lalu lintas;
e. pelayanan kesehatan yang dilakukan di luar negeri;
f. pelayanan kesehatan untuk tujuan estetik;
g. pelayanan untuk mengatasi infertilitas;
h. pelayanan meratakan gigi (ortodonsi);
i. gangguan kesehatan akibat sengaja menyakiti diri sendiri, atau akibat
melakukan hobi yang membahayakan diri sendiri;
j. pengobatan komplementer, alternatif dan tradisional, termasuk akupunktur
nonmedis, shinshe, chiropractic, yang belum dinyatakan efektif
berdasarkan penilaian teknologi kesehatan (health technology
assessment);
k. pengobatan dan tindakan medis yang dikategorikan sebagai percobaan
(eksperimen);
l. alat kontrasepsi, kosmetik, makanan bayi, dan susu;
m. perbekalan kesehatan rumah tangga;
n. pelayanan kesehatan akibat bencana pada masa tanggap darurat,
kejadian luar biasa/wabah;
o. biaya pelayanan kesehatan pada kejadian tak diharapkan yang dapat
dicegah (preventable adverse events). Preventable adverse events adalah
cedera yang berhubungan dengan kesalahan/kelalaian penatalaksanaan
medis termasuk kesalahan terapi dan diagnosis, ketidaklayakan alat dan
lain-lain sebagaimana kecuali komplikasi penyakit terkait; dan
p. biaya pelayanan lainnya yang tidak ada hubungan dengan manfaat
jaminan kesehatan yang diberikan.

e. Kepesertaan JKN
Peserta JKN adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling
singkat 6 (enam) bulan di Indonesia yang telah membayar iuran atau yang
iurannya dibayar pemerintah. Peserta dalam program JKN terdiri atas 2
kelompok yaitu:
1. Peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) jaminan kesehatan, dan
Universitas Esa Unggul
http://esaunggul.ac.id 10 /
17
2. Peserta bukan Penerima Bantuan Iuran (PBI) jaminan kesehatan.
Peserta PBI Jaminan Kesehatan adalah fakir miskin dan orang tidak mampu.
Peserta bukan PBI jaminan kesehatan adalah pekerja penerima upah dan
anggota keluarganya serta bukan pekerja dan anggota keluarganya. Peserta
JKN akan diberikan nomor identitas tunggal oleh Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan). Peserta Askes sosial dari PT.
Askes (Persero), peserta jaminan pemeliharaan kesehatan (JPK) dari PT.
(Persero) Jamsostek, peserta program Jamkesmas, dan TNI/POLRI yang
belum mendapatkan nomor identitas tunggal peserta dari BPJS Kesehatan,
tetap dapat mengakses pelayanan dengan menggunakan identitas yang sudah
ada. Anak pertama sampai dengan anak ketiga dari peserta pekerja penerima
upah sejak lahir secara otomatis dijamin oleh BPJS Kesehatan. Bayi baru lahir
untuk anak keempat dan seterusnya harus didaftarkan selambat-lambatnya 3 x
24 jam hari kerja sejak yang bersangkutan dirawat atau sebelum pasien pulang
(bila pasien dirawat kurang dari 3 hari). Jika sampai waktu yang telah ditentukan
pasien tidak dapat menunjukkan nomor identitas peserta JKN, pasien
dinyatakan sebagai pasien umum.

f. Sumber pendanaan JKN


Sumber pendanaan dalam penyelenggaraan JKN berasal dari iuran peserta PBI
dan bukan PBI. Iuran peserta PBI dibayar oleh Pemerintah. Iuran peserta
Bukan PBI dibayar oleh pekerja dan pemberi kerja (peserta yang bersangkutan).
g. Hambatan/masalah penyelenggaraan JKN
Mengutip media hukumonline.com, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN)
telah melakukan monitoring dan evaluasi terhadap penyelenggaraan program
JKN/KIS yang diselenggarakan BPJS Kesehatan pada semester I tahun 2016.
Hasilnya, DJSN menemukan 8 masalah penyelenggaraan JKN dan Kartu
Indonesia Sehat (KIS) yang perlu diperbaiki. Kedelapan masalah itulah yang
selama ini dianggap sebagai bagian dari penghambat program JKN/KIS.
Pertama, aspek kepesertaan. Penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK)
sebagai syarat pendaftaran peserta JKN/KIS yang diatur dalam Peraturan BPJS
Kesehatan No. 1 Tahun 2014 dan Surat Edaran (SE) BPJS Kesehatan No. 17
Tahun 2016 sebagai syarat mutlak kepesertaan JKN. Kebijakan ini dapat
menghambat perluasan kepesertaan. Untuk itu, DJSN menyarankan agar

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id 11 /
17
mekanisme pendaftaran yang menyangkut aspek kepesertaan diubah sesuai
dengan Perpres No. 28 Tahun 2016 yang menyebutkan bahwa NIK bukan
syarat wajib kepesertaan. Syarat kepesertaan adalah identitas. Jika NIK belum
bisa disediakan oleh instansi yang bertanggung jawab, BPJS Kesehatan
mestinya dapat menyediakan identitas sementara untuk peserta yang belum
punya NIK.
Kedua, soal pelayanan yang menyangkut prinsip portabilitas. Prinsip portabilitas
dalam program JKN/KIS yang berjalan selama ini belum optimal. Namun,
sejumlah fasilitas kesehatan menyebut ada kebijakan BPJS Kesehatan yang
membatasi pelayanan bagi peserta yang berobat di luar FKTP tempat peserta
terdaftar. Batasan tersebut berupa peserta hanya bisa mendapat pelayanan di
FKTP tersebut maksimal 3 kali. Ada juga FKTP yang menolak melayani peserta
dari FKTP wilayah lain dengan alasan mekanisme pembayaran untuk
portabilitas belum jelas. Jika tetap ingin dilayani, peserta harus menghubungi
FKTP di daerah asalnya terlebih dahulu. DJSN merekomendasikan agar
pembatasan pelayanan sebanyak 3 kali itu hanya ditujukan kepada peserta
yang terdaftar di fasilitas kesehatan yang masih dalam satu kabupaten/kota,
menyediakan petugas call center di daerah untuk pelayanan portabilitas, dan
mengembangkan pola pembayaran khusus kepada FKTP yang memberi
pelayanan kepada peserta yang berasal dari FKTP daerah lain.
Ketiga, regionalisasi rujukan. Pelayanan dalam program JKN/KIS dilaksanakan
secara berjenjang mulai dari FKTP sampai FKRTL. Beberapa provinsi di
Indonesia seperti Sumatera Selatan dan DKI Jakarta mengatur rujukan itu
berdasarkan wilayah administratif pemerintahan daerah. DJSN menilai
regionalisasi rujukan tidak tepat karena dapat menyebabkan peserta terhambat
untuk mengakses pelayanan kesehatan. Peserta harus menempuh jarak yang
jauh dengan biaya yang relatif besar untuk mencapai sebuah fasilitas
kesehatan. Masalah rujukan juga dialami peserta karena FKTP hanya boleh
merujuk ke RS tipe C terlebih dulu. Akan tetapi, tidak semua RS tipe C
mempunyai fasilitas dan sumber daya yang memadai sehingga bisa melayani
peserta sesuai kondisi rujukan. Hal ini akan menimbulkan kesan pelayanan
terhadap peserta menjadi diperlambat atau dipersulit. Bahkan, hal ini dapat
menyebabkan kondisi penyakit yang diderita peserta menjadi lebih parah. Untuk
mengatasi masalah rujukan tersebut, DJSN mengusulkan agar regionalisasi

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id 12 /
17
rujukan diatur ulang dengan didasarkan pada “konsep jangkauan” dan
“kemampuan” fasilitas kesehatan terkait.
Keempat, kriteria kegawatdaruratan (emergency). Selama dua tahun program
JKN/KIS berjalan, kriteria kegawatdaruratan telah menjadi kendala pelaksanaan
pelayanan kesehatan. Hal ini karena belum adanya regulasi yang
mengelompokkan kondisi-kondisi yang tergolong gawat darurat atau bukan
secara detail. DJSN memberikan rekomendasi kepada BPJS Kesehatan dan
perhimpunan profesi tenaga kesehatan untuk menetapkan kriteria darurat yang
terperinci. Selanjutnya, BPJS Kesehatan dituntut agar mampu mengumpulkan
informasi tentang kemampuan dan ketersediaan tempat tidur di fasilitas
kesehatan yang bekerjasama sehingga pasien yang memang dalam kondisi
gawat darurat dapat segera dipindahkan ke fasilitas kesehatan yang
bekerjasama dengan BPJS Kesehatan.
Kelima, pembagian kelas perawatan. Pembagian kelas perawatan pada
pelayanan rawat inap yang ada saat ini dinilai DJSN tidak sesuai dengan
amanat UU SJSN dan UU BPJS. Regulasi itu jelas menyebut kelas perawatan
bagi peserta yang membutuhkan rawat inap menggunakan kelas standar tanpa
ada pembagian kelas. Pembagian kelas I, II, dan III yang berlangsung saat ini
berdampak pada diskriminasi pelayanan karena iuran yang dibayarkan oleh
masing-masing peserta berbeda, tergantung kelas perawatannya. Diskriminasi
ini bertentangan dengan prinsip kemanusiaan sebagaimana amanat UU SJSN
dan UU BPJS. Untuk itu, DJSN merekomendasikan agar pembagian kelas
perawatan dapat ditinjau ulang.
Keenam, pengadaan obat-obatan. DJSN berpendapat bahwa daftar obat yang
terdapat di dalam e-catalog tidak dapat memenuhi kebutuhan. E-catalog bukan
satu-satunya cara untuk pengadaan obat dalam program JKN/KIS. Obat yang
tidak ada di dalam e-catalog seharusnya dapat mengacu pada harga pasar.
Akan tetapi, Permenkes No. 59 Tahun 2014 tentang Standar Tarif Pelayanan
Kesehatan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan
menyebutkan pengajuan klaim atas obat program rujuk balik, obat penyakit
kronis, dan kemoterapi serta biaya pelayanan kefarmasian hanya mengacu
pada harga dasar obat sesuai e-catalog. Untuk itu, DJSN merekomendasikan
agar Permenkes itu ditinjau ulang sehingga dapat disesuaikan.

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id 13 /
17
Ketujuh, klasifikasi tarif INA-CBGs. Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang No. 40
Tahun 2004 tentang SJSN telah mengamanatkan besarnya pembayaran
kepada fasilitas kesehatan untuk setiap wilayah ditetapkan berdasarkan
kesepakatan antara BPJS dan asosiasi fasilitas kesehatan di wilayah tersebut.
Ketentuan tersebut tidak terpenuhi karena tarif INA-CBGs sudah ditetapkan
berdasarkan regional sehingga menutup ruang kesepakatan antara BPJS
Kesehatan dan asosiasi faskes untuk menentukan tarif. DJSN menilai
pembagian tarif INA-CBGs berdasarkan tipe RS berdampak pada mutu
pelayanan di daerah terpencil sehingga prinsip ekuitas tidak terwujud
sebagaimana amanat UU SJSN. Padahal, RS tipe paling rendah sampai tinggi
memberikan standar pelayanan yang sama. Untuk mengatasi hal tersebut,
DJSN merekomendasikan Kementerian Kesehatan membuat kisaran tarif
sebagai ruang untuk kesepakatan antara BPJS Kesehatan dan asosiasi fasilitas
kesehatan. Selanjutnya, Kementerian Kesehatan juga harus membuat tarif yang
acuannya bukan tipe kelas RS tapi kemampuan RS.
Kedelapan, pembagian jasa medis di RS pemerintah. Selama ini, pengaturan
pembagian jasa medis di RS pemerintah berstatus badan layanan umum (BLU)
hanya mencantumkan presentase maksimal. Hal ini dikhawatirkan akan
disalahgunakan oleh pihak manajemen RS yang berujung pada kerugian
tenaga medis. Sementara itu, RS atau fasilitas kesehatan pemerintah daerah
yang belum berstatus BLUD dapat mengalami penundaan dan ketidakpastian
pembagian remunerasinya. Hal ini akan berdampak pada penurunan motivasi
tenaga pelaksana sehingga berpengaruh terhadap mutu pelayanan peserta
JKN/KIS. Untuk mengatasi masalah tersebut, DJSN memberikan rekomendasi
agar pemerintah segera membuat dan menyosialisasikan aturan terkait
pengaturan jasa medis di fasilitas kesehatan.

C. Latihan
1. Konsep jaminan kesehatan dapat diartikan sebagai ….
A. jaminan hari tua
B. perlindungan kemiskinan
C. perlindungan kebangkrutan
D. manfaat pemeliharaan kesehatan
2. Di Indonesia, jaminan kesehatansecara spesifik telah diatur dalam ….
A. Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2004
Universitas Esa Unggul
http://esaunggul.ac.id 14 /
17
B. Undang – Undang Nomor 24 Tahun 2011
C. Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013
D. Permenkes RI Nomor 36 Tahun 2015
3. Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) diterapkan berdasarkan pola pembiayaan
pra-upaya yang artinya adalah ….
A. pembiayaan kesehatan dikeluarkan pada saat kondisi sakit
B. pembiayaan kesehatan dikeluarkan sesuai dengan keperluan
C. pembiayaan kesehatan dikeluarkan kapan pun saat dibutuhkan
D. pembiayaan kesehatan dikeluarkan sebelum atau tidak dalam kondisi sakit
4. Pola pembiayaan yang diterapkan pada JKN adalah ….
A. jumlah besar dan perangkuman risiko
B. jumlah kecil dan perangkuman risiko
C. jumlah besar dan penanggungan risiko
D. jumlah kecil dan penanggungan risiko
5. Program JKN yang dikembangkan di Indonesia bersifat wajib yang artinya
adalah ….
A. seluruh warga Indonesia harus menjadi peserta
B. seluruh buruh dan pekerja harus menjadi anggota
C. seluruh pegawai pemerintah harus menjadi anggota
D. seluruh penduduk yang tidak mampu harus menjadi anggota
D. Kunci Jawaban
1) D
2) C
3) D
4) A
5) A

E. Daftar Pustaka
1. Azwar, A. 1996. Pengantar Administrasi Kesehatan. Jakarta: Binarupa
Aksara.
2. Mukti, A. G. & Moertjahjo. 2008. Sistem Jaminan Kesehatan: Konsep
Desentralisasi Terintegrasi. Yogyakarta: PT KHM.
3. Murti, B. 2000. Dasar-Dasar Asuransi Kesehatan. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius.

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id 15 /
17
4. Nurman, A. & Martini, A. 2008. Merumuskan Skema Penyediaan Jaminan
Pelayanan Kesehatan yang Sesuai untuk Daerah. Bandung: Perkumpulan
Inisiatif.
5. Novana, U. P. 2013. Konsep Pelayanan Primer di Era JKN. Jakarta:
Direktorat Bina Upaya Kesehatan Dasar Ditjen Bina Upaya Kesehatan
Kemenkes RI.
6. Undang - Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS).
7. Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional.
8. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt57bd0ba444be5/8-masalah-
penghambat-jaminan-kesehatan-nasional.

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id 16 /
17

Anda mungkin juga menyukai