Anda di halaman 1dari 19

MATERI 9

Konsep Jaminan Kesehatan Nasional

A. DEFINISI JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (JKN)


Kesadaran akan pentingnya jaminan perlindungan sosial terus berkembang. Hal
ini sesuai dengan amanat pada Pancasila dan UUD 1945 yang menyebutkan bahwa
Negara mengembangkan Sistem Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Selanjutnya, terbitnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional (SJSN) menjadi suatu bukti yang kuat bahwa pemerintah dan pemangku
kepentingan terkait memiliki komitmen yang besar untuk mewujudkan kesejahteraan
sosial bagi seluruh rakyatnya. Melalui SJSN sebagai salah satu bentuk perlindungan
sosial, pemerintah bermaksud menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi
kebutuhan dasar hidupnya yang layak.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN juga mengamanatkan
bahwa program jaminan sosial wajib bagi seluruh penduduk Indonesia. Program
tersebut juga meliputi program jaminan kesehatan yang dilaksanakan dan dikelola
melalui suatu badan penyelenggara jaminan sosial. Badan penyelenggara jaminan sosial
yang ditunjuk oleh pemerintah telah diatur dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang terdiri dari BPJS
Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Program jaminan kesehatan yang
diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan telah dimulai sejak 1 Januari 2014.
Pemerintah Indonesia menerapkan JKN bagi seluruh rakyatnya secara bertahap
hingga 1 Januari 2019. Hal ini sebagai wujud kinerja pemerintah dalam upaya mencapai
derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya sebagaimana yang tertuang dalam
tujuan pembangunan kesehatan. Oleh karena itu, program JKN diterapkan mengikuti
pola pembiayaan yang bersifat wajib. Artinya, seluruh penduduk Indonesia (tanpa
terkecuali) harus telah menjadi peserta program pada tanggal 1 Januari 2019. Melalui
penerapan JKN, pemerintah mengharapkan tidak akan ada lagi penduduk Indonesia,
khususnya masyarakat kurang mampu, yang tidak berobat ke fasilitas kesehatan karena
tidak memiliki biaya (Mukti & Moertjahjo, 2008).

Banyak pihak menyambut baik inisiatif pemerintah tersebut, mengingat penerapan


JKN merupakan upaya pemerintah dalam melaksanakan Undang-undang Dasar 1945,
khususnya terkait pemenuhan hak atas kesehatan bagi warganya. Namun di sisi lain,
ada juga pihak yang merasa khawatir akan “runtuhnya” konsep paradigma sehat yang
sudah dibangun selama ini akibat penerapan pola pembiayaan tersebut. Untuk itu, kita
perlu memahami tentang konsep jaminan kesehatan secara komprehensif agar dapat
mendukung program pemerintah dan terjaganya konsep paradigma sehat.
Menurut Peraturan Presiden RI No. 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan,
jaminan kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta
memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi
kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar
iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah. Jaminan ini disebut Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN) karena semua penduduk Indonesia wajib menjadi peserta jaminan
kesehatan yang dikelola oleh BPJS termasuk orang asing yang telah bekerja paling
singkat enam bulan di Indonesia dan telah membayar iuran.
Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikembangkan di Indonesia
merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang bersifat wajib
(mandatory). Program ini diselenggarakan melalui mekanisme asuransi sosial yang
bertujuan agar seluruh penduduk Indonesia terlindungi dalam sistem asuransi sehingga
mereka dapat memenuhi kebutuhan dasar kesehatan. Ketentuan tersebut didasarkan
pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN (Nurman & Martini, 2008).

B. Maksud, Tujuan dan Ruang Lingkup JKN


Pada dasarnya, JKN dimaksudkan untuk: 1) mewujudkan kendali mutu dan
kendali biaya dalam pelayanan kesehatan; 2) memperkuat layanan kesehatan
primer dan sistem rujukannya; 3) mengutamakan upaya promotif-preventif dalam
pelayanan kesehatan untuk menekan kejadian penyakit. Hal ini akan berdampak
pada berkurangnya orang yang berobat dan pembiayaan kesehatan menjadi lebih
efisien.

Pelaksanaan program JKN mengacu pada Peraturan Presiden RI No. 12


Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan yang bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak dengan cara memberikan
perlindungan kesehatan. Bentuk perlindungan kesehatan ini merupakan manfaat
dari pemeliharaan kesehatan dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar
kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran
jaminan kesehatan atau iurannya dibayar oleh pemerintah. Iuran jaminan
kesehatan adalah sejumlah uang yang dibayarkan secara teratur oleh peserta,
pemberi kerja dan/atau pemerintah untuk program jaminan kesehatan. Atas
dasar iuran yang dibayarkan tersebut, setiap peserta berhak memperoleh
manfaat jaminan kesehatan yang bersifat pelayanan kesehatan perorangan.
Pelayanan kesehatan yang dapat diperoleh mencakup pelayanan promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Pelayanan kesehatan juga termasuk pelayanan
obat dan bahan medis habis pakai sesuai dengan kebutuhan medis yang
diperlukan (Novana, 2013).
Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 28 Tahun 2014
tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional, ruang
lingkup pengaturan dalam Pedoman Pelaksanaan Program JKN ini meliputi
penyelenggaraan, peserta dan kepesertaan, pelayanan kesehatan, pendanaan,
badan penyelenggara dan hubungan antar lembaga. Selain itu, ruang lingkupnya
juga meliputi monitoring dan evaluasi, pengawasan, dan penanganan keluhan

Sasaran Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)


ini adalah seluruh komponen mulai dari pemerintah (pusat dan daerah), BPJS,
fasilitas kesehatan, peserta, dan pemangku kepentingan lainnya. Sasaran
tersebut digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan program Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN).
Unsur-unsur penyelenggaraan dalam JKN meliputi:
1. Regulator

Regulator merupakan unsur yang bertugas dan berwenang untuk


menentukan kebijakan, melakukan monitoring, dan evaluasi
penyelenggaraan program JKN. Unsur ini meliputi berbagai
kementerian/lembaga terkait antara lain Kementerian Koordinator
Kesejahteraan Rakyat, Kementerian Kesehatan, Kementerian Keuangan,
Kementerian Sosial, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi,
Kementerian Dalam Negeri, dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN).
2. Peserta Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)

Peserta Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) adalah seluruh


penduduk Indonesia, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6
(enam) bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran.
3. Pemberi Pelayanan Kesehatan

Pemberi Pelayanan Kesehatan adalah seluruh fasilitas layanan kesehatan


primer (Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama - FKTP) dan rujukan (Fasilitas
Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut - FKRTL)

4. Badan Penyelenggara

Badan Penyelenggara adalah badan hukum publik yang menyelenggarakan


program jaminan kesehatan sebagaimana yang ditetapkan oleh Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS).

C. Prinsip-Prinsip JKN
Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mengacu pada
prinsip- prinsip sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yaitu:
a. Kegotongroyongan

Dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), prinsip gotong royong


diartikan sebagai kegiatan tolong menolong antarpeserta. Peserta yang
mampu membantu peserta yang kurang mampu, peserta yang sehat
membantu yang sakit atau yang berisiko tinggi,. Hal ini dapat terwujud
karena kepesertaan SJSN bersifat wajib untuk seluruh penduduk, tanpa
pandang bulu. Dengan demikian, melalui prinsip gotong royong, jaminan
sosial diharapkan dapat menumbuhkan jiwa keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
b. Nirlaba

Dana yang dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial


Kesehatan (BPJS Kesehatan) adalah dana amanah yang dikumpulkan dari
masyarakat bukan ditujukan untuk mencari laba (for profit oriented).
Sebaliknya, tujuan utamanya adalah untuk memenuhi sebesar-besarnya
kepentingan peserta.
c. Keterbukaan, Kehati-hatian, Akuntabilitas, Efisiensi, dan Efektivitas

Prinsip-prinsip manajemen ini mendasari seluruh kegiatan


pengelolaan dana yang berasal dari iuran peserta dan hasil
pengembangannya. Keterbukaan menunjukkan adanya keterbukaan
informasi, baik dalam proses pengambilan keputusan maupun dalam
mengungkapkan informasi yang sesuai dengan kebutuhan dalam upaya
penyelenggaraan dan pengelolaan danaprogram. Kehati-hatian
menunjukkan kegiatan pengelolaan dana yang disesuaikan dengan
peraturan perundangan yang berlaku. Akuntabilitas merupakan prinsip
kejelasan dari struktur sistem dan pertanggungjawaban pengelolaan dana.
Efisiensi dan efektivitas merujuk pada pengelolaan dana yang tepat, cermat,
dan berdaya guna.

d. Portabilitas

Prinsip portabilitas jaminan sosial dimaksudkan untuk memberikan


jaminan yang berkelanjutan kepada peserta sekalipun mereka berpindah
pekerjaan atau tempat tinggal tetapi tetap dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.

e. Kepesertaan Bersifat Wajib

Prinsip ini mewajibkan seluruh rakyat menjadi peserta sehingga setiap


orang dapat terlindungi. Meskipun kepesertaan bersifat wajib bagi seluruh
rakyat, penerapannya tetap disesuaikan dengan kemampuan ekonomi
rakyat dan pemerintah serta kelayakan penyelenggaraan program.

f. Dana Amanah

Dana yang terkumpul dari iuran peserta merupakan dana titipan kepada
badan penyelenggara untuk dikelola sebaik-baiknya dalam rangka
mengoptimalkan dana tersebut untuk kesejahteraan peserta.

g. Hasil Pengelolaan Dana Jaminan Sosial

Hasil pengelolaan dana jaminan sosial dipergunakan seluruhnya untuk


pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta

D. Manfaat JKN
Manfaat JKN terdiri dari 2 (dua) hal, yaitu manfaat medis dan manfaat non-medis.
Manfaat medis berupa pelayanan kesehatan. Pelayanan yang diberikan bersifat
paripurna (preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif) dan tidak dipengaruhi oleh
besarnya iuran yang telah dibayarkan oleh peserta. Manfaat non-medis meliputi
akomodasi dan ambulans. Manfaat akomodasi ditujukan bagi peserta yang dirawat
inap. Layanan rawat inap sesuai dengan hak kelas perawatan peserta. Manfaat
ambulans hanya diberikan untuk pasien rujukan dari fasilitas Kesehatan dengan kondisi
tertentu sesuai rekomendasi dokter dan telah ditetapkan oleh BPJS Kesehatan.
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 28 Tahun 2014 tentang Pedoman
Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional telah mengatur jenis manfaat yang
dapat diperoleh oleh peserta JKN. Manfaat yang dijamin dalam JKN terdiri dari:
1. Pelayanan kesehatan di FKTP yang merupakan pelayanan kesehatan non-
spesialistik,
meliputi:
a. administrasi pelayanan;
b. pelayanan promotif dan preventif;
c. pemeriksanaan, pengobatan, dan konsultasi medis;
d. tindakan medis non-spesialistik, baik operatif maupun non-operatif;
e. pelayanan obat dan bahan medis habis pakai;
f. transfusi darah sesuai dengan kebutuhan medis

g. pemeriksaan penunjang diagnostik laboratorium tingkat pratama; dan


h. rawat inap tingkat pertama sesuai dengan indikasi medis.

Pelayanan kesehatan tingkat pertama sebagaimana dimaksud di atas untuk


pelayanan medis mencakup:
a. kasus medis yang dapat diselesaikan secara tuntas di pelayanan kesehatan
tingkat
pertama;
b. kasus medis yang membutuhkan penanganan awal sebelum dilakukan rujukan;
c. kasus medis rujuk balik;
d. pemeriksaan, pengobatan, dan tindakan pelayanan kesehatan gigi tingkat
pertama;
e. pemeriksaan ibu hamil, nifas, ibu menyusui, bayi, dan anak balita oleh bidan
atau dokter; dan
f. rehabilitasi medik dasar.

2. Pelayanan Kesehatan di FKRTL/Rujukan Tingkat Lanjutan yang mencakup:


a. administrasi pelayanan;
b. pemeriksaan, pengobatan dan konsultasi spesialistik oleh dokter spesialis dan
subspesialis;
c. tindakan medis spesialistik, baik bedah maupun nonbedah sesuai dengan
indikasi medis;
d. pelayanan obat dan bahan medis habis pakai;
e. pelayanan penunjang diagnostik lanjutan sesuai dengan indikasi medis;
f. rehabilitasi medis;
g. pelayanan darah;
h. pelayanan kedokteran forensik klinik;
i. pelayanan jenazah (pemulasaran jenazah) pada pasien yang meninggal di
fasilitas kesehatan (tidak termasuk peti jenazah);
j. perawatan inap non-intensif;
k. perawatan inap di ruang intensif; dan
l. akupunktur medis.
3. Manfaat pelayanan promotif dan preventif yang mencakup:
a. penyuluhan kesehatan perorangan, meliputi paling sedikit penyuluhan
mengenai pengelolaan faktor risiko penyakit dan perilaku hidup bersih dan
sehat;
b. imunisasi dasar, yaitu:
1) Baccile-Calmett-Guerin (BCG),
2) Difteri-Pertusis-Tetanus dan Hepatitis-B (DPT-HB),
3) Polio, dan
4) Campak;
c. Keluarga Berencana, yaitu:
1) konseling,
2) kontrasepsi dasar,
3) vasektomi,

4) tubektomi, dan
5) termasuk komplikasi KB bekerja sama dengan lembaga yang membidangi
keluarga berencana;
d. vaksin untuk imunisasi dasar dan alat kontrasepsi dasar disediakan oleh
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.
e. pelayanan skrining kesehatan tertentu diberikan secara selektif untuk
mendeteksi risiko penyakit dan mencegah dampak lanjutan, yaitu:
1) diabetes mellitus tipe II,
2) hipertensi,
3) kanker leher rahim,
4) kanker payudara, dan
5) penyakit lain yang ditetapkan Menteri;
f. Pelayanan penunjang untuk pelayanan skrining kesehatan tertentu yang
merupakan pelayanan yang termasuk dalam lingkup nonkapitasi, yang
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pemeriksaan penunjang pelayanan skrining kesehatan meliputi:
1) pemeriksaan gula darah,
2) pemeriksaan IVA untuk kasus kanker leher rahim, dan
3) pemeriksaan pap smear.
g. Khusus untuk kasus dengan pemeriksaan IVA ((Inspeksi Visual Asam Asetat)
pemeriksaan awal untuk mendeteksi cancer serviks positif dapat ditambah
dengan pelayanan Terapi Krio.
4. Manfaat Pelayanan Kebidanan dan Neonatal dalam JKN yang mencakup:
a. pemeriksaan antenatal care (ANC) berupa:
1) pemeriksaan fisik,
2) pengukuran tinggi badan dan berat badan,
3) pemeriksaan tekanan darah,
4) pengukuran lingkar lengan atas,
5) pemeriksaan tinggi fundus uteri,
6) pemeriksaan denyut jantung janin,
7) pemeriksaan posisi janin,
8) pemeriksaan Hb,
9) pemeriksaan golongan darah,
10) tes celup glukoprotein urin,
11) imunisasi,
12) pemberian suplemen besi dan asam folat,
13) konseling, dan
14) mengonsultasikan ke dokter pada trimester pertama atau sedini mungkin;
b. pemeriksaan ANC sesuai standar diberikan dalam bentuk paket minimal 4
(empat) kali pemeriksaan;
c. pemeriksaan postnatal care (PNC)/neonatus sesuai standar diberikan dalam
bentuk paket minimal 3 (tiga) kali kunjungan ibu dan 3 (tiga) kali kunjungan
bayi; dan

d. pelayanan kebidanan dan neonatal yang dilakukan oleh bidan atau dokter,
sesuai kompetensi dan kewenangannya.
5. Pelayanan alat kesehatan yang jenis dan plafon harga ditetapkan oleh Menteri.
Pelayanan alat bantu kesehatan yang dijamin meliputi:
a. kaca mata, yang diberikan paling cepat 2 tahun sekali atas indikasi medis
minimal (sferis 0,5D dan silindris 0,25D);
b. slat bantu dengar, yang diberikan paling cepat 5 tahun sekali atas indikasi
medis;
c. protesa alat gerak, meliputi kaki palsu dan tangan palsu yang diberikan paling
cepat 5 tahun sekali atas indikasi medis;
d. protesa gigi, yang diberikan paling cepat 2 tahun sekali atas indikasi medis
untuk gigi yang sama;
e. korset tulang belakang, yang diberikan paling cepat 2 tahun sekali atas indikasi
medis;
f. collar neck, yang diberikan paling cepat 2 tahun sekali atas indikasi medis; dan
g. kruk, yang diberikan paling cepat 5 tahun sekali atas indikasi medis.
6. Manfaat pelayanan obat

Pelayanan obat untuk peserta JKN pada fasilitas kesehatan mengacu pada
daftar obat yang tercantum dalam formularium nasional dan harga obat yang
tercantum dalam e-katalog obat. Pelayanan obat untuk peserta JKN di FKTP
dilakukan oleh apoteker di instalasi farmasi klinik pratama/ruang farmasi di
Puskesmas/apotek sesuai ketentuan perundang-undangan. Jika Puskesmas belum
memiliki apoteker maka pelayanan obat dapat dilakukan oleh tenaga teknis
kefarmasian dengan pembinaan apoteker dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
Pelayanan obat untuk peserta JKN di FKRTL dilakukan oleh apoteker di instalasi
farmasi rumah sakit/klinik utama/apotek sesuai ketentuan perundang-undangan.
Kebutuhan obat adakalanya tidak sesuai dengan formularium nasional.
Penggunaan obat di luar formularium nasional di FKTP dapat digunakan apabila
sesuai dengan indikasi medis dan sesuai dengan standar pelayanan kedokteran
yang biayanya sudah termasuk dalam kapitasi dan tidak boleh dibebankan kepada
peserta. Penggunaan obat di luar formularium nasional di FKRTL hanya
dimungkinkan setelah mendapat rekomendasi dari Ketua Komite Farmasi dan
Terapi dengan persetujuan Komite Medik atau Kepala/Direktur Rumah Sakit yang
biayanya sudah termasuk dalam tarif INA-CBGs dan tidak boleh dibebankan kepada
peserta.
Tidak semua manfaat yang berupa pelayanan kesehatan dijamin oleh program
JKN.

Manfaat yang tidak dijamin dalam program JKN meliputi:


1. pelayanan kesehatan yang dilakukan tanpa melalui prosedur sebagaimana diatur
dalam
peraturan yang berlaku;
2. pelayanan kesehatan yang dilakukan di Fasilitas Kesehatan yang tidak bekerja sama
dengan BPJS Kesehatan, kecuali dalam keadaan darurat;

3. pelayanan kesehatan yang telah dijamin oleh program jaminan kecelakaan kerja
terhadap penyakit atau cedera akibat kecelakaan kerja atau hubungan kerja;
4. pelayanan kesehatan yang telah dijamin oleh program jaminan kecelakaan lalu
lintas yang bersifat wajib sampai nilai yang ditanggung oleh program jaminan
kecelakaan lalu lintas;
5. pelayanan kesehatan yang dilakukan di luar negeri;
6. pelayanan kesehatan untuk tujuan estetik;
7. pelayanan untuk mengatasi infertilitas;
8. pelayanan meratakan gigi (ortodonsi);
9. gangguan kesehatan akibat sengaja menyakiti diri sendiri, atau akibat melakukan
hobi yang membahayakan diri sendiri;
10. pengobatan komplementer, alternatif dan tradisional, termasuk akupunktur
nonmedis, shinshe, chiropractic, yang belum dinyatakan efektif berdasarkan
penilaian teknologi kesehatan (health technology assessment);
11. pengobatan dan tindakan medis yang dikategorikan sebagai percobaan
(eksperimen);
12. alat kontrasepsi, kosmetik, makanan bayi, dan susu;
13. perbekalan kesehatan rumah tangga;
14. pelayanan kesehatan akibat bencana pada masa tanggap darurat, kejadian luar
biasa/wabah;
15. biaya pelayanan kesehatan pada kejadian tak diharapkan yang dapat dicegah
(preventable adverse events). Preventable adverse events adalah cedera yang
berhubungan dengan kesalahan/kelalaian penatalaksanaan medis termasuk
kesalahan terapi dan diagnosis, ketidaklayakan alat dan lain-lain sebagaimana
kecuali komplikasi penyakit terkait; dan
16. biaya pelayanan lainnya yang tidak ada hubungan dengan manfaat jaminan
kesehatan yang diberikan.

E. Prosedur dan kompensasi Pelayanan


Peserta yang memerlukan pelayanan kesehatan pertama-tama harus
memperoleh pelayanan kesehatan pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
(FKTP). Bila Peserta memerlukan pelayanan kesehatan tingkat lanjutan, hal itu
harus dilakukan melalui rujukan oleh FKTP kecuali dalam keadaan
kegawatdaruratan medis.

Bila di suatu daerah belum tersedia Fasilitas Kesehatan yang memenuhi


syarat guna memenuhi kebutuhan medis sejumlah peserta, BPJS Kesehatan wajib
memberikan kompensasi berupa: penggantian uang tunai, pengiriman tenaga
kesehatan, atau penyediaan fasilitas kesehatan tertentu. Penggantian uang tunai
hanya digunakan untuk biaya pelayanan kesehatan dan transportasi.

F. KEPESERTAAN JKN
Peserta JKN adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling
singkat 6 (enam) bulan di Indonesia yang telah membayar iuran atau yang
iurannya dibayar pemerintah. Peserta dalam program JKN terdiri atas 2 kelompok
yaitu:
1. Peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) jaminan kesehatan, dan
2. Peserta bukan Penerima Bantuan Iuran (PBI) jaminan kesehatan.

Peserta PBI Jaminan Kesehatan adalah fakir miskin dan orang tidak mampu. Peserta
bukan PBI jaminan kesehatan adalah pekerja penerima upah dan anggota keluarganya
serta bukan pekerja dan anggota keluarganya. Peserta JKN akan diberikan nomor
identitas tunggal oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS
Kesehatan). Peserta Askes sosial dari PT. Askes (Persero), peserta jaminan pemeliharaan
kesehatan (JPK) dari PT. (Persero) Jamsostek, peserta program Jamkesmas, dan
TNI/POLRI yang belum mendapatkan nomor identitas tunggal peserta dari BPJS
Kesehatan, tetap dapat mengakses pelayanan dengan menggunakan identitas yang
sudah ada. Anak pertama sampai dengan anak ketiga dari peserta pekerja penerima
upah sejak lahir secara otomatis dijamin oleh BPJS Kesehatan. Bayi baru lahir untuk
anak keempat dan seterusnya harus didaftarkan selambat-lambatnya 3 x 24 jam hari
kerja sejak yang bersangkutan dirawat atau sebelum pasien pulang (bila pasien dirawat
kurang dari 3 hari). Jika sampai waktu yang telah ditentukan pasien tidak dapat
menunjukkan nomor identitas peserta JKN, pasien dinyatakan sebagai pasien umum.
Setiap Peserta JKN mempunyai hak sebagai berikut:
1. mendapatkan nomor identitas tunggal peserta;
2. memperoleh manfaat pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan yang bekerja
sama dengan BPJS Kesehatan. Setiap peserta mempunyai hak mendapat pelayanan
kesehatan yang dilaksanakan secara berjenjang dimulai dari pelayanan kesehatan
tingkat pertama. Pelayanan kesehatan tingkat kedua hanya dapat diberikan atas
rujukan dari pelayanan kesehatan tingkat pertama. Pelayanan kesehatan tingkat
ketiga hanya dapat diberikan atas rujukan dari pelayanan kesehatan tingkat kedua
atau tingkat pertama, kecuali pada keadaan gawat darurat, kekhususan
permasalahan kesehatan pasien, pertimbangan geografis, dan pertimbangan
ketersediaan fasilitas. Fasilitas kesehatan yang dimaksud meliputi:
a. pelayanan kesehatan Rawat Jalan Tingkat Pertama (RJTP) dan Rawat Inap
Tingkat Pertama (RITP),
b. pelayanan kesehatan Rawat Jalan Tingkat Lanjutan (RJTL) dan Rawat Inap
Tingkat Lanjutan (RITL),
c. pelayanan gawat darurat, dan
d. pelayanan kesehatan lain yang ditetapkan oleh menteri;

3. memilih fasilitas kesehatan tingkat pertama yang bekerja sama dengan BPJS
Kesehatan sesuai yang diinginkan. Perpindahan fasilitas kesehatan tingkat pertama
selanjutnya dapat dilakukan setelah 3 (tiga) bulan. Khusus bagi peserta: 1) Askes
sosial dari PT. Askes (Persero), 2) Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) dari PT.
(Persero) Jamsostek, 3) program Jamkesmas, dan 4) TNI/POLRI, penyelenggaraan
JKNdan penentuan FKTP bagi yang bersangkutan ditetapkan oleh BPJS Kesehatan
pada 3 (tiga) bulan pertama;dan
4. mendapatkan informasi dan menyampaikan keluhan terkait dengan pelayanan
kesehatan dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Setiap Peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) berkewajiban untuk:
1. mendaftarkan diri dan membayar iuran, kecuali Penerima Bantuan Iuran (PBI)
jaminan kesehatan yang pendaftaran dan pembayaran iurannya dilakukan oleh
Pemerintah;
2. mentaati prosedur dan ketentuan yang telah ditetapkan; dan
3. melaporkan perubahan data kepesertaan kepada BPJS Kesehatan dengan
menunjukkan identitas peserta pada saat pindah domisili, pindah kerja, menikah,
perceraian, kematian, kelahiran, dan lain-lain.

Tahapan kepesertaan JKN disesuaikan dengan peta jalan (roadmap) menuju


jaminan kesehatan semesta/Universal Health Coverage (UHC) di tahun 2019. Pada
tahap awal, kepesertaan program JKN yang dimulai 1 Januari 2014 terdiri dari peserta
PBI Jaminan Kesehatan (pengalihan dari program Jamkesmas), Anggota TNI dan PNS di
lingkungan Kementerian Pertahanan dan anggota keluarganya, Anggota POLRI dan PNS
di lingkungan POLRI, dan anggota keluarganya, peserta asuransi kesehatan sosial dari
PT. Askes (Persero) beserta anggota keluarganya, peserta jaminan pemeliharaan
kesehatan (JPK) dari PT. (Persero) Jamsostek dan anggota keluarganya, peserta Jaminan
Kesehatan Daerah (Jamkesda) yang telah berintegrasi dan peserta mandiri (pekerja
bukan penerima upah dan pekerja penerima upah). Tahap selanjutnya sampai dengan
tahun 2019, seluruh penduduk menjadi peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

G. SUMBER PENDANAAN JKN


Sumber pendanaan dalam penyelenggaraan JKN berasal dari iuran peserta PBI
dan bukan PBI. Iuran peserta PBI dibayar oleh Pemerintah. Iuran peserta Bukan
PBI dibayar oleh pekerja dan pemberi kerja (peserta yang bersangkutan).

H. HAMBATAN/MASALAH PENYELENGGRAAN JKN


Mengutip media hukumonline.com, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN)
telah melakukan monitoring dan evaluasi terhadap penyelenggaraan program
JKN/KIS yang diselenggarakan BPJS Kesehatan pada semester I tahun 2016.
Hasilnya, DJSN menemukan 8 masalah penyelenggaraan JKN dan Kartu Indonesia
Sehat (KIS) yang perlu diperbaiki. Kedelapan masalah itulah yang selama ini
dianggap sebagai bagian dari penghambat program JKN/KIS.

Pertama, aspek kepesertaan. Penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK)


sebagai syarat pendaftaran peserta JKN/KIS yang diatur dalam Peraturan BPJS
Kesehatan No. 1 Tahun 2014 dan Surat Edaran (SE) BPJS Kesehatan No. 17 Tahun
2016 sebagai syarat mutlak kepesertaan JKN. Kebijakan ini dapat menghambat
perluasan kepesertaan. Untuk itu, DJSN menyarankan agar mekanisme pendaftaran
yang menyangkut aspek kepesertaan diubah sesuai dengan Perpres No. 28 Tahun
2016 yang menyebutkan bahwa NIK bukan syarat wajib kepesertaan. Syarat
kepesertaan adalah identitas. Jika NIK belum bisa disediakan oleh instansi yang
bertanggung jawab, BPJS Kesehatan mestinya dapat menyediakan identitas
sementara untuk peserta yang belum punya NIK.
Kedua, soal pelayanan yang menyangkut prinsip portabilitas. Prinsip
portabilitas dalam program JKN/KIS yang berjalan selama ini belum optimal.
Namun, sejumlah fasilitas kesehatan menyebut ada kebijakan BPJS Kesehatan yang
membatasi pelayanan bagi peserta yang berobat di luar FKTP tempat peserta
terdaftar. Batasan tersebut berupa peserta hanya bisa mendapat pelayanan di FKTP
tersebut maksimal 3 kali. Ada juga FKTP yang menolak melayani peserta dari FKTP
wilayah lain dengan alasan mekanisme pembayaran untuk portabilitas belum jelas.
Jika tetap ingin dilayani, peserta harus menghubungi FKTP di daerah asalnya
terlebih dahulu. DJSN merekomendasikan agar pembatasan pelayanan sebanyak 3
kali itu hanya ditujukan kepada peserta yang terdaftar di fasilitas kesehatan yang
masih dalam satu kabupaten/kota, menyediakan petugas call center di daerah
untuk pelayanan portabilitas, dan mengembangkan pola pembayaran khusus
kepada FKTP yang memberi pelayanan kepada peserta yang berasal dari FKTP
daerah lain.
Ketiga, regionalisasi rujukan. Pelayanan dalam program JKN/KIS dilaksanakan
secara berjenjang mulai dari FKTP sampai FKRTL. Beberapa provinsi di Indonesia
seperti Sumatera Selatan dan DKI Jakarta mengatur rujukan itu berdasarkan wilayah
administratif pemerintahan daerah. DJSN menilai regionalisasi rujukan tidak tepat
karena dapat menyebabkan peserta terhambat untuk mengakses pelayanan
kesehatan. Peserta harus menempuh jarak yang jauh dengan biaya yang relatif
besar untuk mencapai sebuah fasilitas kesehatan. Masalah rujukan juga dialami
peserta karena FKTP hanya boleh merujuk ke RS tipe C terlebih dulu. Akan tetapi,
tidak semua RS tipe C mempunyai fasilitas dan sumber daya yang memadai
sehingga bisa melayani peserta sesuai kondisi rujukan. Hal ini akan menimbulkan
kesan pelayanan terhadap peserta menjadi diperlambat atau dipersulit. Bahkan, hal
ini dapat menyebabkan kondisi penyakit yang diderita peserta menjadi lebih parah.
Untuk mengatasi masalah rujukan tersebut, DJSN mengusulkan agar regionalisasi
rujukan diatur ulang dengan didasarkan pada “konsep jangkauan” dan
“kemampuan” fasilitas kesehatan terkait.

Keempat, kriteria kegawatdaruratan (emergency). Selama dua tahun program


JKN/KIS berjalan, kriteria kegawatdaruratan telah menjadi kendala pelaksanaan
pelayanan kesehatan. Hal ini karena belum adanya regulasi yang mengelompokkan
kondisi-kondisi yang tergolong gawat darurat atau bukan secara detail. DJSN
memberikan rekomendasi kepada BPJS Kesehatan dan perhimpunan profesi tenaga
kesehatan untuk menetapkan kriteria darurat yang terperinci. Selanjutnya, BPJS
Kesehatan dituntut agar mampu mengumpulkan informasi tentang kemampuan
dan ketersediaan tempat tidur di fasilitas kesehatan yang bekerjasama sehingga
pasien yang memang dalam kondisi gawat darurat dapat segera dipindahkan ke
fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan.
Kelima, pembagian kelas perawatan. Pembagian kelas perawatan pada
pelayanan rawat inap yang ada saat ini dinilai DJSN tidak sesuai dengan amanat UU
SJSN dan UU BPJS. Regulasi itu jelas menyebut kelas perawatan bagi peserta yang
membutuhkan rawat inap menggunakan kelas standar tanpa ada pembagian kelas.
Pembagian kelas I, II, dan III yang berlangsung saat ini berdampak pada diskriminasi
pelayanan karena iuran yang dibayarkan oleh masing-masing peserta berbeda,
tergantung kelas perawatannya. Diskriminasi ini bertentangan dengan prinsip
kemanusiaan sebagaimana amanat UU SJSN dan UU BPJS. Untuk itu, DJSN
merekomendasikan agar pembagian kelas perawatan dapat ditinjau ulang.
Keenam, pengadaan obat-obatan. DJSN berpendapat bahwa daftar obat yang
terdapat di dalam e-catalog tidak dapat memenuhi kebutuhan. E-catalog bukan
satu-satunya cara untuk pengadaan obat dalam program JKN/KIS. Obat yang tidak
ada di dalam e-catalog seharusnya dapat mengacu pada harga pasar. Akan tetapi,
Permenkes No. 59 Tahun 2014 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Dalam
Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan menyebutkan pengajuan klaim atas
obat program rujuk balik, obat penyakit kronis, dan kemoterapi serta biaya
pelayanan kefarmasian hanya mengacu pada harga dasar obat sesuai e-catalog.
Untuk itu, DJSN merekomendasikan agar Permenkes itu ditinjau ulang sehingga
dapat disesuaikan.
Ketujuh, klasifikasi tarif INA-CBGs. Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang No. 40
Tahun 2004 tentang SJSN telah mengamanatkan besarnya pembayaran kepada
fasilitas kesehatan untuk setiap wilayah ditetapkan berdasarkan kesepakatan
antara BPJS dan asosiasi fasilitas kesehatan di wilayah tersebut. Ketentuan
tersebut tidak terpenuhi karena tarif INA-CBGs sudah ditetapkan berdasarkan
regional sehingga menutup ruang kesepakatan antara BPJS Kesehatan dan asosiasi
faskes untuk menentukan tarif. DJSN menilai pembagian tarif INA- CBGs
berdasarkan tipe RS berdampak pada mutu pelayanan di daerah terpencil sehingga
prinsip ekuitas tidak terwujud sebagaimana amanat UU SJSN. Padahal, RS tipe
paling rendah sampai tinggi memberikan standar pelayanan yang sama. Untuk
mengatasi hal tersebut, DJSN merekomendasikan Kementerian Kesehatan
membuat kisaran tarif sebagai ruang untuk kesepakatan antara BPJS Kesehatan dan
asosiasi fasilitas kesehatan. Selanjutnya, Kementerian Kesehatan juga harus
membuat tarif yang acuannya bukan tipe kelas RS tapi kemampuan RS.

Kedelapan, pembagian jasa medis di RS pemerintah. Selama ini, pengaturan


pembagian jasa medis di RS pemerintah berstatus badan layanan umum (BLU)
hanya mencantumkan presentase maksimal. Hal ini dikhawatirkan akan
disalahgunakan oleh pihak manajemen RS yang berujung pada kerugian tenaga
medis. Sementara itu, RS atau fasilitas kesehatan pemerintah daerah yang belum
berstatus BLUD dapat mengalami penundaan dan ketidakpastian pembagian
remunerasinya. Hal ini akan berdampak pada penurunan motivasi tenaga pelaksana
sehingga berpengaruh terhadap mutu pelayanan peserta JKN/KIS. Untuk mengatasi
masalah tersebut, DJSN memberikan rekomendasi agar pemerintah segera
membuat dan menyosialisasikan aturan terkait pengaturan jasa medis di fasilitas
kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai