PENDAHULUAN
Pelaksanaan Sistem Jaminan Sosial Nasional sebagai SJSN oleh Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS Kesehatan pada 1 Januari 2014 membawa Indonesia ke tahap penting
dalam sistem pembiayaan bagi masyarakat Seluruh rakyat Indonesia, setelah sebelumnya
bertransformasi dari Jaminan Pemeliharaan Kesehatan untuk Masyarakat Miskin JPKMM yang
dikenal sebagai asuransi kesehatan masyarakat miskin askeskin) menjadi Jaminan Sosial
(Kesehatan Masyarakat) Jamkesmas). Seluruh pihak wajib bekerja sama agar bisa terlaksana
dengan baik, masih ada beberapa hal yang mengganjal, bagi kesehatan dan pihak RS dalam hal
biaya. Diperlukan berbagai upaya untuk menyediakan dokter yang tak hanya dapat merawat
pasien, tapi memiliki kemampuan berorganisasi dan tindakan, sehingga lahirlah lebih banyak
program preventif-promotif dan rehabilitatif demi terwujudnya daerah yang menjadi tanggung
jawab dokter tersebut.
B. RUMUSAN MASALAH :
B. Tujuan Pembelajaran:
BAB II
PEMBAHASAN
Undang-Undang yang secara khusus mengatur jaminan sosial bagi tenaga kerja swasta
adalah Undang-Undang Nomor 3 tahun 1992 tenang Jaminan Tenaga Kerja (JAMSOSTEK),
yang mencakup program jaminan pemeliharaan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan
hari tua , jaminan pensiun dan jaminan kematian.
Adapun penjelasan manfaat lima hal yang termasuk SJSN tersebut adalah :
1. Jaminan Kesehatan
Jaminan Hari Tua diselenggarakan dengan tujuan untuk menjamin agar peserta menerima
uang tunai apabila memasuki masa pensiun, mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia.
4. Jaminan Pensiun
5. Jaminan Kematian
Prinsip ini diwujudkan dalam mekanisme gotong- royong dari peserta yang mampu
kepada peserta yamg kurang mampu dalam bentuk kepesertaan wajib bagi seluruh rakyat;
peserta yang berisiko rendah membantu yang berisiko tinggi; dan peserta yang sehat membantu
yang sakit. Melalui prinsip kegotong-royongan ini jaminan sosial dapat menumbuhkan
keadalan sosial bagi keseluruhan rakyat Indonesia.
2. Prinsip nirlaba
Pengelolaan dana amanat tidak dimaksudkan mencari laba (nirlaba) bagi Badan
Penyelenggara Jaminan sosial, akan tetapi tujuan utama penyelenggaraan jaminan sosial
adalah untuk memenuhi sebesar-besarnya kepentingan peserta. Dana amanat, hasil
pengembangannya, dan surplus anggaran akan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk
kepentingan peserta.
3. Prinsip keterbukaan
4. Prinsip Akuntabilitas
5. Kehati-hatian
6. Prinsip portabilitas
Kepesertaan wajib dimaksudkan agar seluruh rakyat menjadi peserta sehingga dapat
terlindungi. Meskipun kepesertaan bersifat wajib bagi seluruh rakyat, penerapannya tetap
disesuaikan dengan kemampuan ekonomi rakyat dan pemerintah serta kelayakan
penyelenggaraan program. Tahapan pertama dimulai dari pekerja di sektor formal, bersamaan
dengan itu sektor informal dapat menajdi peserta secara mandiri, sehingga pada akhirnya Sistem
Jaminan Sosial Nasional dapat mencakup seluruh rakyat.
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN) yang diselenggarakan dengan menggunakan mekanisme asuransi kesehatan
sosial yang bersifat wajib (mandatory) berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004
tentang SJSN dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak
yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh
Pemerintah Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) adalah suatu tata cara penyelenggaraan
program jaminan sosial oleh beberapa badan penyelenggara jaminan sosial Berdasarkan Undang-
undang Nomor 24 Tahun 2011, BPJS akan menggantikan sejumlah lembaga jaminan sosial yang
ada di Indonesia yaitu lembaga asuransi jaminan kesehatan PT Askes Indonesia menjadi BPJS
Kesehatan dan lembaga jaminan sosial ketenagakerjaan PT Jamsostek menjadi BPJS
Ketenagakerjaan.Transformasi PT Askes dan PT Jamsostek menjadi BPJS dilakukan secara
bertahap. Pada awal 2014, PT Askes akan menjadi BPJS Kesehatan, selanjutnya pada 2015
giliran PT Jamsostek menjadi BPJS Ketenagakerjaan.
Lembaga ini bertanggung jawab terhadap Presiden. BPJS berkantor pusat di Jakarta, dan
bisa memiliki kantor perwakilan di tingkat provinsi serta kantor cabang di tingkat kabupaten
kota.
Kepesertaan Wajib :
Setiap warga negara Indonesia dan warga asing yang sudah berdiam di Indonesia selama
minimal enam bulan wajib menjadi anggota BPJS. Ini sesuai pasal 14 UU BPJS. Setiap
perusahaan wajib mendaftarkan pekerjanya sebagai anggota BPJS. Sedangkan orang atau
keluarga yang tidak bekerja pada perusahaan wajib mendaftarkan diri dan anggota keluarganya
pada BPJS. Setiap peserta BPJS akan ditarik iuran yang besarnya ditentukan kemudian.
Sedangkan bagi warga miskin, iuran BPJS ditanggung pemerintah melalui Program Bantuan
Iuran. Menjadi peserta BPJS tidak hanya wajib bagi pekerja di sektor formal, namun juga pekerja
informal. Pekerja informal juga wajib menjadi anggota BPJS Kesehatan. Para pekerja wajib
mendaftarkan dirinya dan membayar iuran sesuai dengan tingkatan manfaat yang diinginkan.
Besaran iuran :
Sistem iuran yang dibuat adalah sistem gotong royong, iuran yang dibayarkan akan
digunakan untuk membiayai peserta lain yang membutuhkan (sedang sakit), begitu sebaliknya
ketika anda sakit, biaya berobat anda di rumah sakit akan ditanggung BPJS melalui iuran peserta
lainnya. BPJS Kesehatan telah melayani masyarakat sejak 1 Januari 2014 yang sebelumnya
adalah program ASKES. Semua Warga Negara diwajibkan untuk mendaftarkan diri dan anggota
keluarganya menjadi peserta BPJS baik itu melalui BPJS Mandiri atau PBI.
PEKERJA PENERIMA UPAH 4,5 % (per s/d 30 Juni 2015: Ranap kelas 1, kelas
SELAIN PNS DLL keluarga) 2
0,5% dari pekerja
dan Pasal 16C, 23
4% dari pemberi
5% (per kerja
keluarga)
mulai 1 Juli
2015:
1% dari pekerja
4% dari pemberi
kerja
A. Iuran Kelas 1
BPJS Kesehatan telah menetapkan biaya iuran untuk peserta kelas 1 sebesar besar iuran
peserta telah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2016. Peserta kelas 1 akan
mendapatkan fasilitas ruang rawat inap sesuai dengan kelas yang dipilih yaitu peserta akan
mendapatkan kamar kelas 1 untuk dirawat dan biayanya akan ditanggung BPJS Kesehatan.
B. Iuran Kelas 2
Iuran peserta kelas 2, yang juga telah menjadi ketetapan dalam peraturan yang berlaku.
Peserta tidak boleh menunggak, apabila menunggak maka status kartu bpjs akan dihentikan
sementara sampai peserta melunasi iuran yang tertunggak. Fasilitas yang diberikan juga sesuai
dengan hak nya, yaitu mendapatkan kamar rawat kelas 2. Peserta boleh mengajukan naik kelas
ruang rawat inap ke kelas 1, namun peserta akan dikenakan biaya selisih dari yang menjadi
tanggung BPJS Kesehatan.
C. Iuran Kelas 3
Iuran kelas 3 sebesar Rp25.500, ini kelas yang paling bawah dengan iuran terjangkau.
Bagi yang merasa tidak mampu maka bisa pilih kelas 3 ini. Apabila masih tidak mampu juga
maka disarankan untuk mengajukan bantuan untuk mendaftar menjadi peserta PBI.
BPJS adalah badan hukum yang dibentuk dengan Undang-Undang untuk menjalankan
sebagian penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan, yakni urusan penyelenggaraan program
jaminan sosial. BPJS tergolong lembaga-lembaga dalam sistem ketatanegaraan yang berada di
tingkat pusat. Dalam penyelenggaraan program jaminan sosial, BPJS terkait dengan fungsi-
fungsi aparatur pemerintah terkait, baik di tingkat Pusat maupun di Daerah. Keterkaitan fungsi
dan tugas dilaksanakan dalam bentuk upaya memadukan (mengitegrasikan), menyerasikan, dan
menyelaraskan berbagai kepentingan dan kegiatan yang saling berkaitan untuk pencapaian
sasaran dan tujuan bersama. Ketiga upaya ini dikenal dengan koordinasi fungsional, mulai dari
proses perumusan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pengendalian
(Lembaga Administrasi Negara, Sistem Administrasi Negara RI Edisi Ketiga, 1997).
1. Manajemen kepesertaan
2. Manajemen keuangan
Berdasarkan peraturan mentri kesehatan nomor 71, tahun 2013 yang termasuk (pemberi
pelayanan kesehatan tingkat pertama) adalah sebagai berikut:
a. Puskesmas
b. Klinik
c. Rumah sakit kelas D (Rumah sakit yang didirikan di desa tertinggal, perbatasan atau
kepulauan)
d. Praktik Dokter atau dokter gigi.
2. PPK II merupakan tingkat lanjut adalah pemberi pelayanan kesehatan di tingkat II yaitu :
1. Aspek kepesertaan, yaitu penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai syarat
pendaftaran peserta JKN/KIS. Ini diatur dalam Peraturan BPJS Kesehatan No. 1 Tahun 2014
dan Surat Edaran (SE) BPJS Kesehatan No. 17 Tahun 2016. Melihat ada yang perlu diperbaiki
dalam mekanisme pendaftaran itu karena Peraturan Presiden (Perpres) No. 19 Tahun 2016
yang telah diubah menjadi Perpres No. 28 Tahun 2016 menyebut NIK bukan syarat wajib
kepesertaan. Syarat kepesertaan adalah identitas. Jika NIK belum bisa disediakan oleh instansi
yang bertanggungjawab, BPJS Kesehatan mestinya menyediakan identitas sementara untuk
peserta yang belum punya NIK.
2. Soal pelayanan, menyangkut prinsip portabilitas. Prinsip portabilitas dalam program JKN/KIS
yang berjalan selama ini belum optimal. Portabilitas artinya setiap peserta dapat menikmati
layanan kesehatan berkelanjutan di seluruh wilayah Indonesia. Kalaupun seorang peserta
pergi ke daerah lain, ia tetap bisa mendapatkan layanan. Namun, dari sejumlah fasilitas
kesehatan (faskes) yang ditemui DJSN menyebut ada kebijakan BPJS Kesehatan yang
membatasi pelayanan bagi peserta yang berobat di luar faskes tingkat pertama (FKTP) tempat
peserta terdaftar. Peserta bisa mendapat pelayanan di FKTP itu maksimal 3 kali. Ada juga
FKTP menolak melayani peserta dari FKTP wilayah lain dengan alasan mekanisme
pembayaran untuk portabilitas belum jelas. Jika tetap ingin dilayani, ia harus menghubungi
layanan di daerah asal. Pemantauan DJSN menunjukan portabilitas pada kasus darurat relatif
berjalan. Tapi hal serupa tidak ditemui dalam portabilitas pelayanan non darurat. DJSN
merekomendasikan agar pembatasan pelayanan sebanyak 3 kali itu ditujukan kepada peserta
yang terdaftar di faskes yang masih dalam satu kabupaten/kota; menyediakan petugas call
center di daerah untuk pelayanan portabilitas; dan mengembangkan pola pembayaran khusus
kepada FKTP yang memberi pelayanan kepada peserta yang berasal dari FKTP daerah lain.
4. Soal kriteria gawat darurat (emergency). Selama dua tahun program JKN/KIS berjalan, kriteria
gawat darurat jadi kendala pelaksanaan pelayanan kesehatan di lapangan. Belum ada regulasi
yang detail mengelompokkan kondisi-kondisi yang tergolong gawat darurat atau bukan.
Penjaminan BPJS Kesehatan dalam kasus gawat darurat di faskes yang tidak bekerjasama
dengan BPJS Kesehatan hanya mengacu diganosa, bukan kriteria yang dimaksud darurat.
“Misalnya, kasus stroke dianggap darurat, kondisi apa yang dianggap masih darurat? Kriteria
stabil, seperti apa dianggap stroke stabil? Apakah penurunan kesadaran dianggap stabil?,” urai
Zaenal. DJSN merekomendasikan BPJS Kesehatan, IDI dan perhimpunan profesi untuk
menetapkan kriteria darurat dan stabil. BPJS Kesehatan dituntut mampu mengumpulkan
informasi tentang kemampuan dan ketersediaan tempat tidur di faskes yang bekerjasama.
Sehingga pasien darurat dapat dipindahkan ke RS yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan.
5. Perihal pembagian kelas perawatan. Pembagian kelas perawatan rawat inap yang ada saat ini
dinilai DJSN tidak sesuai dengan amanat UU SJSN dan UU BPJS. Regulasi itu jelas
menyebut kelas perawatan bagi peserta yang membutuhkan rawat inap menggunakan kelas
standar tanpa ada pembagian kelas.
Pembagian kelas I, II dan III sebagaimana berlangsung saat ini berdampak terhadap
diskriminasi pelayanan karena tarif yang dibayar berbeda, tergantung kelas perawatannya.
Diskriminasi ini bertentangan dengan prinsip kemanusiaan sebagaimana amanat UU SJSN dan
UU BPJS.
6. Pengadaan obat-obatan. DJSN berpendapat item obat dalam e-catalog tidak dapat memenuhi
kebutuhan. Karena itu e-catalog bukan satu-satunya cara untuk pengadaan obat dalam
program JKN/KIS. Item obat yang tidak ada di e-catalogdapat mengacu harga pasar. Tetapi
terkendala Permenkes No. 59 Tahun 2014 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Dalam
Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan. Beleid ini menyebut pengajuan klaim atas obat
program rujuk balik, obat penyakit kronis dan kemoterapi serta biaya pelayanan kefarmasian
mengacu pada harga dasar obat sesuai e-catalog. DJSN merekomendasikan agar Permenkes
itu ditinjau ulang.
7. Terkait klasifikasi tarif INA-CBGs. Pasal 24 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN
mengamanatkan besarnya pembayaran kepada faskes untuk setiap wilayah ditetapkan
berdasarkan kesepakatan antara BPJS dan asosiasi faskes di wilayah tersebut. Zaenal
mengatakan ketentuan itu tidak terpenuhi karena tarif INA-CBGs sudah ditetapkan
berdasarkan regional sehingga menutup ruang kesepakatan antara BPJS Kesehatan dan
asosiasi faskes untuk menentukan tarif. DJSN menilai pembagian tarif INA-CBGs
berdasarkan tipe RS berdampak pada mutu pelayanan di daerah terpencil sehingga tidak
terwujud prinsip ekuitas sebagaimana amanat UU SJSN. Padahal RS tipe paling rendah
sampai tinggi memberikan standar pelayanan yang sama. Pembayaran berdasarkan kelas di
RS itu dianggap DJSN bertentangan dengan pasal 19 ayat (1) UU SJSN. Untuk membenahi
masalah klasifikasi tarif INA-CBGs itu DJSN merekomendasikan Kementerian Kesehatan
membuat kisaran tarif sebagai ruang untuk kesepakatan antara BPJS Kesehatan dan asosiasi
faskes. Kemudian, membuat tarif yang acuannya bukan tipe kelas RS tapi kemampuan RS.
BPJS Kesehatan perlu menegosiasikan tarif kepada setiap faskes berdasarkan nilai
kredensialing.
8. Pembagian jasa medis di RS pemerintah. Selama ini pengaturan pembagian jasa medis di RS
pemerintah berstatus badan layanan umum (BLU) hanya mencantumkan presentase
maksimal. Dikhawatirkan ini disalahgunakan manajemen RS dan merugikan tenaga medis.
Sementara RS atau faskes pemerintah daerah yang belum BLUD pembagian remunerasinya
dapat tertunda dan tidak pasti. Jelas kondisi tersebut menurunkan motivasi tenaga pelaksana,
sehingga berpengaruh terhadap mutu pelayanan peserta JKN/KIS.
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) merupakan program pemerintah yang dibentuk
untuk menyelenggarakan program Jaminan Kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia, di mana
mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar kesehatan kepada setiap orang yang telah
membayar iuran atau iurannya di bayar oleh pemerintah. Di harapkan tahun 2019 kepesertaan
pada sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) ini bisa mencakup seluruh masyarakat Indonesia,
hal tersebut bukan hanya tugas dari BPJS Kesehatan yang merupakan Badan Penyelenggara
Program Jaminan Kesehatan Nasional tetapi merupakan pekerjaan rumah bagi kita sebagai
tenaga kesehatan terutama seluruh pelaksana pelayanan dasar di puskesmas sebagai suatu unit
pelaksana fungsional dan pusat pembangunan kesehatan serta pusat pelayanan kesehatan tingkat
pertama di wilayah kerjanya.
Sebagai program yang baru berjalan yaitu mulai beroperasi pada tanggal 1 Januari 2014,
banyak kendala dalam pelaksanaan Sistem Jaminan Sosial Kesehatan Nasional (SJSN) ini. Baik
dari proses pelaksanaan yang rumit dan berbelit-belit, maupun alur proses pembuatan kartu
peserta yang banyak memakan waktu sehingga membuat masyarakat jadi memilih sebagai
peserta umum yang hanya tinggal membayar tanpa melalui proses panjang dan berbelit. Serta
proses sosialisasi yang belum berjalan optimal membuat proses informasi mengenai Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN) belum sampai kepada masyarakat secara menyeluruh walaupun
dari Dinas Kesehatan maupun puskesmas yang sudah menyampaikan informasi secara terus
menerus.
Dalam pelaksaan SJSN kesehatan sejak 1 Januari 2014 hingga sekarang ada beberapa
masalah yang saya temukan pada masyarakat di dalam sistem pelayanan kesehatan sistem
pembayaran dan sistem mutu pelayanan kesehatan. Pelaksanan sistem jaminan sosial sendiri
masih banyak di temukan masalah seperti Pelaksanaan di lapangan, pelayanan kesehatan yang
diselenggarakan oleh PPK I (Puskesmas klinik) maupun PPK II (Rumah Sakit) sampai saat ini
masih bermasalah. Pasien harus mencari-cari kamar dari satu RS ke RS lainnya karena dibilang
penuh oleh RS, bukanlah hal yang baru dan baru sekali terjadi seperti yang bisa kita lihat di
berbagai media pemberitaan dan Masih kurangnya tenaga kesehatan yang tersedia di fasilitas
kesehatan sehingga peserta BPJS tidak tertangani dengan cepat. Masalah lain yang juga sering
dikeluhkan oleh masyarakat yaitu tidak semua obat ditanggung oleh BPJS atau hanya sejumlah
tertentu obat dapat diambil dengan menggunakan BPJS. Sehingga masyarakat harus kembali lagi
ke PPK I atau PPK II untuk mengambil kembali obat yang diminum selanjutnya.
Terkait dari masalah-masalah yang saya temukan diatas, masyarakat juga banyak yang
mengapresiasi baik untuk sistem SJSN ini. Masyarakat merasa sangat terbantu dengan adanya
sistem kesehatan ini terutama dalam masalah pembiayaan dengan Prinsip nirlaba yang bertujuan
memenuhi sebesar-besarnya kepentingan peserta. Sehinga masyarakat tingkat menengah ke
bawah juga dapat mendapatkan pelayanan kesehatan yang optimal tanpa mereka perlu harus
memikirkan biaya yang akan mereka keluarkan nanti. Sehingga banyak masyarakat yang dapat
tertangani penyakitnya lebih cepat sehingga tidak terjadi komplikasi atau penyakitnya menjadi
lebih parah.
Jadi menurut saya pelaksanaan SJSN kesehatan sejak di berlakukan tanggal 1 Januari
2014 hingga tanggal 31 Desember 2017 sudah cukup sesuai dengan Sembilan prinsip SJSN
kesehatan tetapi pada prinsip kepesertaan wajib untuk sekarang masih ada yang belum
menggunakan SJSN kesehatan yang di selenggarakan oleh BPJS.
Analisis menurut Ervina :
SJSN yang sudah disempurnakan bersama SPSN yang didukung oleh peraturan
perundang-undangan, pendanaan dan nomor induk kependudukan (NIK) akan dapat memberi
perlindungan penuh kepada masyarakat luas secara bertahap. Pengembangan SPSN dan SJSN
dilaksanakan dengan memerhatikan budaya dan sistem yang sudah mengakar di masyarakat luas.
Jaminan sosial juga diberikan kepada kelompok masyarakat yang kurang beruntung termasuk
masyarakat miskin, masyarakat yang tinggal di wilayah terpencil, tertinggal dan wilayah
bencana.