Anda di halaman 1dari 47

BAB I

PENDAHULUAN

Dengue haemorrhagic fever (DHF) atau demam berdarah dengue (DBD)


merupakan penyakit akibat infeksi virus dengue yang masih menjadi problem
kesehatan masyarakat. Virus dengue ditransmisikan oleh Aedes aegypti atau Aedes
albopictus. Penyakit ini ditemukan nyaris di seluruh belahan dunia terutama di
negara-negara tropik dan subtropik, baik sebagai penyakit endemik maupun
epidemik. Kejadian DBD biasanya berkaitan dengan datangnya musim penghujan.
Penderita yang terinfeksi akan memiliki gejala berupa demam, disertai dengan sakit
kepala, nyeri retro orbita, otot dan persendian, hingga perdarahan spontan.1,2
DBD telah menjadi masalah kesehatan masyarakat Indonesia selama 47 tahun
terakhir. Pada tahun 2001, WHO memasukkan Indonesia dalam kategori “A” pada
stratifikasi DBD, yang mengindikasikan tingginya angka perawatan rumah sakit dan
kematian akibat DBD, khususnya pada anak. Saat ini, diperkirakan terdapat sekitar
2,5 miliar orang di dunia beresiko terinfeksi virus dengue, dengan perkiraan 500.000
orang memerlukan rawat inap setiap tahunnya, dimana proporsi penderita sebagian
besar ialah anak-anak yang berusia kurang dari 15 tahun, dengan 2,5% diantaranya
dilaporkan meninggal dunia.3-5
Pemberian terapi pengobatan yang optimal pada penderita DBD dapat
menurunkan jumlah kasus dan kematian akibat penyakit ini. Pengobatan DBD pada
dasarnya bersifat suportif dan simptomatik. Pengobatan suportif berupa pengobatan
dengan pemberian cairan pengganti seperti cairan intavena dan pengobatan
simptomatik yakni berupa pemberian antipiretik bila suhu > 38,5oC.6,7
Angka kematian pada penyakit DBD yang tidak segera mendapat perawatan
akan terus meningkat, akan tetapi angka kematian tersebut dapat diminimalkan
dengan tindakan atau peatalaksanaan yang cepat dan tepat. Berdasarkan uraian diatas,
maka penulis tertarik untuk membahas tentang DBD.

1
BAB II
LAPORAN KASUS

II.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Sdr. A
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 19 tahun
Alamat : Mataram
No. RM : 030051
Tanggal masuk RS : 24 Oktober 2021

II.2 ANAMNESIS
a. Keluhan Utama
Demam hari ke-3
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan demam hari ke-3. Demamnya terus menerus
sepanjang hari. Demam turun bila diberi obat penurun panas, namun tidak lama
demam timbul lagi.
Keluhan disertai dengan seluruh tubuh terasa lemas dan pegal-pegal, mual, serta
nafsu makan menurun, tetapi minum masih mau sedikit-sedikit. Keluhan
lainnya seperti batuk, pilek, muntah, disangkal. Keluhan seperti adanya
mimisan, gusi berdarah, atau adanya bintik-bintik/ruam pada tubuh, disangkal.
Buang air besar (BAB) terakhir pagi hari sebelum masuk rumah sakit, 1 kali
dengan konsistensi biasa/normal, tidak bercampur darah. Buang air kecil
(BAK) dalam batas normal, warna kuning tidak bercampur darah.

2
c. Riwayat Penyakit Dahulu

Tabel 1. Riwayat penyakit dahulu pasien


Penyakit Umur Penyakit Umur Penyakit Umur
Alergi - Difteria - Jantung -
Cacingan - Diare - Ginjal -
DBD - Kejang - Darah -
Thypoid - Maag - Radang paru -
Otitis - Varicela - Tuberkulosis -
Parotis - Asma - Morbili -
Kesan : Pasien tidak memiliki riwayat penyakit apapun sebelumnya.

d. Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada anggota keluarga yang mengalami penyakit serupa sebelumnya.

e. Riwayat Sosio-Ekonomi
Pasien tinggal dengan kedua orang tuanya dirumah milik sendiri. Lingkungan
rumah bersih, terkadang ada debu, ventilasi baik, cahaya matahari cukup, air
minum dan air mandi berasal dari air tanah. Pola kebersihan diri cukup baik. Di
lingkungan rumah pasien (tetangga) ada yang mengalami keluhan serupa
seperti pasien dan sedang dilakukan perawatan inap di rumah sakit.
Kesan : Kesehatan lingkungan tempat tinggal pasien cukup baik.

II.3 PEMERIKSAAN FISIK


a. Keadaan umum : tampak sakit sedang
b. Tanda Vital
- Kesadaran : compos mentis
- Tekanan darah : 120/70 mmHg
- Frekuensi nadi : 90x/menit
- Pernapasan : 20x/menit
- Suhu tubuh : 37,6 oC

3
c. Data antropometri
- Berat badan : 55 kg
- Tinggi badan : 70 cm
d. Kepala
- Bentuk : normocephal
- Rambut : rambut hitam, tidak mudah dicabut, distribusi merata
- Mata : conjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil isokor,
RCL +/+, RCTL +/+
- Telinga : normotia, membran timpani intak, serumen -/-
- Hidung : bentuk normal, sekret -, nafas cuping hidung -/-
- Mulut : faring hiperemis -, T1-T1
e. Leher : KGB tidak membesar, kelenjar tiroid tidak membesar
f. Thorax
- Inspeksi : pergerakan dinding dada simetris
- Palpasi : gerak napas simetris, vokal fremitus simetris +/+
- Perkusi : sonor dikedua lapang paru
- Auskultasi : Pulmo SN vesikuler, ronki -/-, wheezing -/-
: Cor BJ I & II normal, murmur -, gallop -
g. Abdomen
- Inspeksi : perut datar
- Auskultasi : bising usus dalam batas normal
- Palpasi : supel, nyeri tekan (+) epigastrium, umbilical, hepar
dan lien tidak teraba membesar
- Perkusi : shifting dullness -, nyeri ketok -
h. Kulit : ikterik -, petechie -, purpura -
i. Ekstremitas : akral hangat, sianosis -, edema -, CRT <2s
: Tourniquet test (+)

III.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

4
Laboratorium darah
Waktu pemeriksaan : 24 Oktober 2021
Tabel 3. Pemeriksaan darah rutin pasien
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
HEMATOLOGI
Hemoglobin 15,4 g/dL 12 – 16
Hematokrit 42 % 35 – 47
Leukosit 7.120 ribu/uL 4 – 10
Trombosit 100.000 mm 150 – 450
NS1 positif negatif

III.5 DIAGNOSIS KERJA


Dengue haemorrhagic fever grade I

III.6 PENATAALAKSANAAN
a. Non medikamentosa
- Tirah baring
- Edukasi kepada keluarga tentang penyakit yang diderita
b. Medikamentosa
Konsul dr. Ommy,Sp. PD
- IVFD RL 30 tpm
- Inj Pumpicel 1 vial/hari dalam NS 100cc
- Inj Terfacef 1gr/hari (IV) bolus pelan
- Inj Trovensis 4mg/12 jam (IV)
- Inj Farmadol 1 flash/8jam (IV)

III.7 FOLLOW UP
25 Oktober 2021
Anamnesis

5
Pasien mengeluh lemas, pusing, mual, penurunan nafsu makan dan nyeri
perut. Muntah tidak ada. BAB dan BAK tidak ada keluhan.

Pemeriksaan fisik
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis (GCS 456)
 TD : 120/80 mmHg
Nadi : 90 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 36,6 oC
 Kepala/Leher : Anemis (-), ikterik (-), pembesaran KGB (-), deviasi trakea (-)
 Thoraks : simetris
Pulmo : vesikuler +/+, wheezing -/-, ronkhi -/-
Cor : S1 S2 tunggal (+), murmur (-), gallop (-)
 Abdomen : Datar, BU (+), timpani, nyeri tekan (+) epigastrium,
hepatosplenomegaly (-)
 Ekstremitas
Superior : akral hangat, CRT < 2 detik, edema -/-
Inferior : akral hangat, CRT < 2 detik, edema -/-

Tabel 4. Pemeriksaan darah rutin pasien


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
HEMATOLOGI
Hemoglobin 13,5 g/dL 12 – 16
Hematokrit 38 % 35 – 47
Leukosit 9.090 ribu/uL 4 – 10
Trombosit 105.000 mm 150 – 450

Assesment

6
Dengue haemorrhagic fever grade I

Planning
- Pantau TTV, gejala klinis
- Bed rest
- IVFD RL 30 tpm
- Inj Pumpicel 1 vial/hari dalam NS 100cc
- Inj Terfacef 1gr/hari (IV) bolus pelan
- Inj Trovensis 4mg/12 jam (IV)
- Inj Farmadol 1 flash/8jam (IV)

26 Oktober 2021
Anamnesis
Pasien mengeluh lemas, pusing, penurunan nafsu makan dan nyeri perut
minimal. Mual, muntah tidak ada. BAB dan BAK tidak ada keluhan.

Pemeriksaan fisik
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis (GCS 456)
 TD : 120/70 mmHg
Nadi : 92 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 36 oC
 Kepala/Leher : Anemis (-), ikterik (-), pembesaran KGB (-), deviasi trakea (-)
 Thoraks : simetris
Pulmo : vesikuler +/+, wheezing -/-, ronkhi -/-
Cor : S1 S2 tunggal (+), murmur (-), gallop (-)
 Abdomen : Datar, BU (+), timpani, nyeri tekan (+) epigastrium

7
 Ekstremitas
Superior : akral hangat, CRT < 2 detik, edema -/-
Inferior : akral hangat, CRT < 2 detik, edema -/-

Tabel 5. Pemeriksaan darah rutin pasien


Jenis Hasil Satuan Nilai Normal
HEMATOLOGI
Hemoglobin 13,5 g/dL 12 – 16
Hematokrit 37 % 35 – 47
Leukosit 5.660 ribu/uL 4 – 10
Trombosit 120.000 mm 150 – 450

Assesment
Dengue haemorrhagic fever grade I

Planning
- Pantau TTV, gejala klinis
- Bed rest
- IVFD Asering 20tpm
- Inj Santagesic 400mg
- Inj Ranitidin 2 x 50mg

27 Oktober 2021
Anamnesis
Pasien mengeluh lemas, nafsu makan membaik dan nyeri perut tidak ada.
Mual, muntah tidak ada. BAB dan BAK tidak ada keluhan.

Pemeriksaan fisik
Keadaan umum : tampak sakit sedang

8
Kesadaran : compos mentis (GCS 456)
 TD : 120/80 mmHg
Nadi : 88 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 36,5 oC
 Kepala/Leher : Anemis (-), ikterik (-), pembesaran KGB (-), deviasi trakea (-)
 Thoraks : simetris
Pulmo : vesikuler +/+, wheezing -/-, ronkhi -/-
Cor : S1 S2 tunggal (+), murmur (-), gallop (-)
 Abdomen : Datar, BU (+), timpani, nyeri tekan (-)
 Ekstremitas
Superior : akral hangat, CRT < 2 detik, edema -/-
Inferior : akral hangat, CRT < 2 detik, edema -/-

Tabel 6. Pemeriksaan darah rutin pasien


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
HEMATOLOGI
Hemoglobin 12,8 g/dL 12 – 16
Hematokrit 36 % 35 – 47
Leukosit 4.770 ribu/uL 4 – 10
Trombosit 155.000 mm 150 – 450

Assesment
Dengue haemorrhagic fever grade I

Planning
- Boleh pulang
- Paracetamol 3x1 bila timbul demam
- Ranitidine 2x1

9
- Becom-C 1x1

II.8 PROGNOSIS
- Ad vitam : Bonam
- Ad fungsionam : Bonam
- Ad sanationam : Bonam

10
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 DEFINISI
Dengue haemorrhagic fever (DHF) atau demam berdarah dengue (DBD)
merupakan suatu penyakit epidemik akut, disebabkan oleh virus yang ditransmisikan
oleh nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Penderita yang terinfeksi akan
memiliki gejala berupa demam ringan sampai tinggi, disertai dengan sakit kepala,
nyeri retro orbita, otot dan persendian, hingga perdarahan spontan.1,2
DBD merupakan penyakit yang masih menjadi problem kesehatan masyarakat.
Penyakit ini ditemukan nyaris di seluruh belahan dunia terutama di negara-negara
tropik dan subtropik, baik sebagai penyakit endemik maupun epidemik. Kejadian
Luar Biasa (KLB) dengue biasanya berkaitan dengan datangnya musim penghujan.1

II.2 EPIDEMIOLOGI
Penyakit DBD di Indonesia ditemukan pertama kali di Surabaya pada tahun
1968, empat belas tahun setelah KLB di Manila (Filipina), akan tetapi konfirmasi
virologis baru didapat pada tahun 1972. Penyakit ini menyebar ke berbagai daerah,
sehingga sampai tahun 1980 seluruh propinsi di Indonesia kecuali Timor-Timur telah
terjangkit penyakit. Sejak pertama kali ditemukan, jumlah kasus menunjukkan
kecenderungan meningkat, baik dalam jumlah maupun luas wilayah yang terjangkit
dan secara sporadis selalu terjadi KLB setiap tahun.8
DBD merupakan penyakit yang banyak ditemukan di sebagian besar wilayah
tropis dan subtropis, terutama Asia tenggara, Amerika dan Karibia. DBD telah
menjadi masalah kesehatan masyarakat Indonesia selama 47 tahun terakhir. Pada
tahun 2001, WHO memasukkan Indonesia dalam kategori “A” pada stratifikasi DBD,
yang mengindikasikan tingginya angka perawatan rumah sakit dan kematian akibat
DBD, khususnya pada anak.5,9

11
Saat ini, terjadi peningkatan jumlah kasus DBD dari tahun 1968, yaitu 58
kasus menjadi 126.675 kasus pada tahun 2015, dan 1.229 orang diantaranya
meninggal dunia. Terdapat sekitar 2,5 miliar orang di dunia beresiko terinfeksi virus
dengue, dengan perkiraan 500.000 orang memerlukan rawat inap setiap tahunnya,
dimana proporsi penderita sebagian besar ialah anak-anak yang berusia kurang dari
15 tahun, dengan 2,5% diantaranya dilaporkan meninggal dunia.3,4

II.3 ETIOLOGI
II.3.1 VIRUS DENGUE
Virus penyebab demam Dengue termasuk Arbovirus (arthropod - borne
viruses). Virus ini merupakan anggota keluarga dari Flaviviridae (flavi = kuning) dan
genus Flavivirus, bersama-sama dengan virus demam kuning. Morfologi virion
Dengue berupa partikel sferis dengan diameter nukleokapsid 30nm dan ketebalan
selubung 10nm. Genomnya berupa RNA (ribonucleic acid). Protein virus Dengue
terdiri dari protein C untuk kapsid dan core, protein M untuk membran, protein E
untuk selubung dan protein NS untuk protein non struktural.10

Gambar 1. Virus dengue

Saat ini telah diketahui ada 4 tipe virus Dengue, terdiri dari 4 serotipe yaitu
DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Tipe-tipe virus ini baru diketahui setelah Perang
Dunia II oleh Sabin yang berhasil mengisolasinya dari darah pasien pada epidemi di
Hawai, yang disebut sebagai tipe 1 (1952). Tipe 2 juga diisolasi oleh Sabin (1956)

12
dari pasien di New Guinea. Tipe 3 dan 4 diperoleh tahun 1960 dari pasien yang
mengalami DBD di Filipina pada tahun 1953.10,11
Virus Dengue memiliki tiga jenis antigen yang menunjukkan reaksi spesifik
terhadap antibodi yang sesuai yaitu:
a. Antigen yang dijumpai pada semua virus dalam genus Flavivirus dan
terdapat di dalam kapsid,
b. Antigen yang khas untuk virus Dengue saja dan terdapat pada semua tipe, 1
sampai 4, di dalam selubung,
c. Antigen yang spesifik untuk virus Dengue tipe tertentu saja, terdapat di
dalam selubung10

II.3.2 VEKTOR
DBD ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti yang menjadi vektor utama, serta
Aedes albopictus yang menjadi vektor pendamping. Kedua spesies nyamuk ini
ditemukan di seluruh wilayah Indonesia, hidup optimal pada ketinggian di atas 1000
meter di atas permukaan laut, tapi dari beberapa laporan dapat ditemukan pada daerah
dengan ketinggian sampai dengan 1.500 meter, bahkan di India dilaporkan dapat
ditemukan pada ketinggian 2.121 meter, serta di Kolombia pada ketinggian 2.200
meter.12
Nyamuk Aedes aegypti berasal dari Brazil dan Ethiopia, stadium dewasa
berukuran lebih kecil bila dibandingkan dengan rata-rata nyamuk lainnya. Kedua
spesies nyamuk tersebut termasuk ke dalam Genus Aedes dari Famili Culicidae.
Secara morfologi, keduanya sangat mirip, namun dapat dibedakan dari strip putih
yang terdapat pada bagian skutumnya. Skutum Aedes aegypti berwarna hitam dengan
dua strip putih sejajar di bagian dorsal tengah yang diapit oleh dua garis lengkung
berwarna putih. Sedangkan skutum Aedes albopictus yang juga berwarna hitam,
hanya berisi satu garis putih tebal di bagian dorsalnya.13,14

13
(a) (b)
Gambar 2. (a) Aedes aegypti, (b) Aedes albopictus

Sampai saat ini gigitan nyamuk merupakan satu-satunya cara transmisi atau
penyebaran virus Dengue dari satu orang ke orang lain. Virus Dengue memerlukan
waktu 8 sampai 10 hari untuk berkembang biak dan kemudian terkumpul dalam
kelenjar liur nyamuk, sejak saat tersebut nyamuk tersebut bersifat infeksius seumur
hidupnya. Jika nyamuk itu menggigit orang yang tidak memiliki kekebalan terhadap
virus Dengue, inokulasi virus bersama air liur akan menyebabkan penyakit.10
Nyamuk yang menularkan virus Dengue diketahui adalah nyamuk betina. Hal
ini tidak berarti bahwa nyamuk jantan tidak bisa mengandung virus Dengue, tetapi
nyamuk jantan tidak pernah menghisap darah manusia. Transmisi virus dapat terjadi
secara transovarial, yaitu dari nyamuk betina yang telah menghisap darah pasien
Dengue melalui telur, jentik-jentik, pupa (kepompong) sampai menjadi nyamuk
dewasa. Transmisi transovarial ini memungkinkan tetap adanya kejadian infeksi
Dengue meskipun vektor sudah banyak dibasmi dan perawatan serta pengobatan
pasien telah cukup berhasil menekan angka kesakitan.10
Nyamuk dewasa (jantan dan betina) yang keluar dari kepompong akan
mengadakan hubungan seksual. Sperma yang keluar disimpan dalam spermateka
nyamuk betina. Sebelum menghasilkan telur yang dibuahi, nyamuk betina
memerlukan darah dengan menggigit manusia atau pejamu lain, seperti monyet,
simpanse, kelinci, marmot, tikus dan hamster. Diperlukan waktu 2 - 3 hari untuk
perkembangan telur. Nyamuk Aedes biasanya berkembang biak di air tergenang yang
jernih pada berbagai tempat. Umumnya nyamuk bertelur pada siang hari dan

14
menghasilkan 60 - 90 butir telur. Dalam keadaan alamiah, seekor nyamuk betina
dapat bertelur sebanyak 10 kali. Untuk menjadi matang diperlukan waktu 24 - 72
jam.10
Aedes aegypti merupakan nyamuk domestik yang hidup dekat dengan manusia
dan tinggal di dalam rumah. Aedes albopictus bersifat semidomestik dan biasanya
terdapat di luar rumah di kawasan perumahan, juga di hutan. Kedua jenis nyamuk itu
biasanya aktif pada siang hari, tapi juga pada malam hari jika terdapat cahaya, dapat
menjadi aktif pula. Jika nyamuk betina tidak terganggu dalam proses menggigit dan
menghisap darah, ia akan menghisap darah sampai puas dan tidak akan menggigit
lagi sebelum bertelur. Jarak terbang nyamuk tersebut biasanya tidak melebihi 350
meter. Jentik-jentik dan nyamuk dewasa dapat ditemukan sepanjang tahun di semua
kota di Indonesia.10

II.4 FAKTOR RISIKO


Salah satu faktor risiko penularan DBD adalah pertumbuhan penduduk
perkotaan yang cepat, mobilisasi penduduk karena membaiknya sarana dan prasarana
transportasi dan terganggu atau melemahnya pengendalian populasi sehingga
memungkin terjadinya KLB. Faktor risiko lainnya adalah kemiskinan yang
mengakibatkan orang tidak mempunyai kemampuan untuk menyediakan rumah yang
layak dan sehat, pasokan air minum dan pembuangan sampah yang benar. Tetapi di
lain pihak, DBD juga bisa menyerang penduduk yang lebih makmur terutama yang
biasa bepergian.14,15
Faktor risiko yang menyebabkan munculnya antibodi IgM anti dengue yang
merupakan reaksi infesksi primer, berdasarkan hasil penelitian di wilayah Amazon
Brazil adalah jenis kelamin laki-laki, faktor ekonomi, dan migrasi. Sedangkan faktor
risiko terjadinya infeksi sekunder yang menyebabkan DBD adalah jenis kelamin laki-
laki, riwayat pernah terkena DBD pada periode sebelumnya serta migrasi ke daerah
perkotaan.16

II.5 PATOGENESIS

15
Nyamuk Aedes spp yang sudah terinfesi virus Dengue, akan tetap infektif
sepanjang hidupnya dan terus menularkan kepada individu yang rentan pada saat
menggigit dan menghisap darah. Setelah masuk ke dalam tubuh manusia, virus
Dengue akan menuju organ sasaran, yaitu sel kupffer hepar, endotel pembuluh darah,
nodus limpatikus, sumsum tulang, serta paru.17
Berdasarkan perannya, virus Dengue terdiri dari antobodi netralisasi atau
neutralizing antibody yang memiliki serotipe spesifik yang dapat mencegah infeksi
virus, dan antibody non netralising serotype yang mempunyai peran reaktif silang
dan dapat meningkatkan infeksi yang berperan dalam patogenesis DBD dan DSS.17
Terdapat dua teori atau hipotesis immunopatogenesis DBD dan DSS yang
masih kontroversial yaitu infeksi sekunder (secondary heterologus infection) dan
antibody dependent enhancement (ADE). Dalam teori atau hipotesis infeksi sekunder
disebutkan, bila seseorang mendapatkan infeksi sekunder oleh satu serotipe virus
Dengue, akan terjadi proses kekebalan terhadap infeksi serotipe virus Dengue
tersebut untuk jangka waktu yang lama. Tetapi jika orang tersebut mendapatkan
infeksi sekunder oleh serotipe virus Dengue lainnya, maka akan terjadi infeksi yang
berat. Ini terjadi karena antibody heterologus yang terbentuk pada infeksi primer,
akan membentuk kompleks dengan infeksi virus Dengue serotipe baru yang berbeda
yang tidak dapat dinetralisasi, bahkan cenderung membentuk kompleks yang
infeksius dan bersifat oponisasi internalisasi. Selanjutnya, akan teraktivasi dan
memproduksi IL-1, IL6, tumor necrosis factor-alpha (TNF-A) dan platelet activating
factor (PAF). Akibatnya akan terjadi peningkatan enhancement infeksi virus Dengue.
TNF-A akan menyebabkan kebocoran dinding pembuluh darah, merembesnya cairan
plasma ke jaringan tubuh yang disebabkan kerusakan endotel pembuluh darah yang
mekanismenya sampai saat ini belum diketahui dengan jelas. 10,18,19
Pendapat lain menjelaskan, kompleks imun yang terbentuk akan merangsang
komplemen. Komplemen adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan sejumlah
protein plasma dan protein membran sel yang berperanan dalam pertahanan tubuh.
Komplemen bukanlah antibodi, tetapi dapat dikatakan sebagai pelengkap bagi
antibodi dalam melakukan suatu proses pertahanan tubuh. Secara fisiologis ada empat

16
sistem yang berkaitan, yaitu aktivasi komplemen, pembentukan kinin, koagulasi dan
fibrinolisis. Sistem komplemen, mempunyai paling sedikit tiga fungsi, yaitu:
a. Menyebabkan lisisnya sel, bakteri dan virus berselubung
b. Opsonisasi terhadap sel asing, bakteri, virus, jamur untuk mempermudah
fagositosis
c. Membentuk fragmen-fragmen peptide, yang mengatur proses peradangan dan
respons imun10
Ada 2 jalan yang dapat ditempuh untuk terjadinya aktivasi komplemen yaitu the
classic complement pathway, yang diawali oleh adanya kompleks antigen - antibodi
(kompleks imun), dan the alternative complement pathway yang tidak selalu
memerlukan adanya antibodi. Unsur yang paling berperan dalam proses aktivasi
komplemen adalah C3a dan C5a yang mempunyai aktivitas anaphylatoxin, yang
menyebabkan kontraksi otot polos dan degranulasi sel mast serta basophil, sehingga
keluarlah histamin dan substansi vasoaktif lain yang akan menginduksi kebocoran
kapiler. Pada DBD, komplemen yang terbentuk, akan memiliki farmakologisnya
cepat dan pendek dan bersifat vasoaktif dan prokoagulan, sehingga menimbulkan
kebocoran plasma (syok hipolemik) dan perdarahan.10,20
Anak di bawah usia 2 tahun yang lahir dari ibu yang terinfeksi virus Dengue,
akan terjadi infeksi dari ibu ke anak. Dalam tubuh anak tersebut terjadi non
neutralizing antibodies akibat adanya infeksi yang persisten. Akibatnya, bila terjadi
infeksi virus Dengue pada anak tersebut, maka akan langsung terjadi proses
enhancing yang akan memacu makrofag mudah terinfeksi dan teraktifasi,
mengeluarkan IL-1, IL-6, TNF-A, serta PAF.21
Pada teori ADE disebutkan, jika terdapat antibodi spesifik terhadap jenis virus
tertentu, maka dapat mencegah penyakit yang diakibatkan oleh virus tersebut. Tetapi
sebaliknya, apabila antibodinya tidak dapat menetralisasi virus, justru akan
menimbulkan penyakit yang berat. Kinetik immunoglobulin spesifik virus Dengue di
dalam serum penderita DD, DBD dan DSS, didominasi oleh IgM, IgG-1 dan IgG-
3.18,22

17
Pada infeksi virus Dengue, viremia terjadi sangat cepat, hanya dalam beberapa
hari dapat terjadi infeksi di beberapa tempat, tetapi derajat kerusakan jaringan (tissue
destruction) yang ditimbulkan tidak cukup untuk menyebabkan kematian karena
infeksi virus. Kematian yang terjadi lebih disebabkan oleh gangguan metabolik.18
Teori lain menyebutkan, adanya tipe virus Dengue mutan yang memiliki
virulensi lebih tinggi, sehingga pada infeksi primer pun telah menimbulkan gejala
yang berat. Hal ini diperkirakan berkaitan dengan jenis vektornya. Virus yang
berkembang dan disebarkan oleh Aedes albopictus (vektor asli yang banyak dijumpai
diluar kawasan perumahan) tidak mengalami mutasi, dan menimbulkan penyakit
yang tidak berat. Virus yang disebarkan oleh Aedes aegypti (vektor yang diimport),
mengalami mutasi dan menyebabkan penyakit yang lebih berat. Akan tetapi sampai
saat ini belum ditemukan bukti ilmiah mutlak yang menyokong adanya jenis virus
mutan yang menimbulkan gejala berat tersebut.10

II.6 PATOFISIOLOGI
Walaupun DD dan DBD disebabkan oleh virus yang sama, tapi mekanisme
patofisiologinya berbeda dan menyebabkan perbedaan klinis. Perbedaan utama adalah
adanya syok yang khas pada DBD. Syok disebabkan kebocoran plasma yang diduga
karena proses immunologi, pada DD hal ini tidak terjadi. Manifestasi klinis DD
timbul akibat reaksi tubuh terhadap masuknya virus yang berkembang di dalam
peredaran darah dan ditangkap oleh makrofag. Selama 2 hari akan terjadi viremia
(sebelum timbul gejala) dan berakhir setelah 5 hari timbul gejala. Makrofag akan
menjadi antigen presenting cell (APC) dan mengaktifasi sel T-Helper, menarik
makrofag lain untuk memfagosit lebih banyak virus. T-helper akan mengaktifasi sel
T-sitotoksik yang akan menyebabkan lisis makrofag yang sudah memfagosit virus.
Kemudian mengaktifkan sel B yang akan melepas antibodi. Ada 3 jenis antibodi yang
telah dikenali, yaitu antibodi netralisasi, antibodi hemaglutinasi, antibodi fiksasi
komplemen. Proses tersebut akan menyebabkan terlepasnya mediator-mediator yang
merangsang terjadinya gejala sistemik seperti demam, nyeri sendi, otot, malaise dan
gejala lainnya.18,21

18
Setelah masuk dalam tubuh manusia, virus Dengue berkembang biak dalam sel
retikuloendotelial yang selanjutnya diikuti dengan viremia yang berlangsung 5-7 hari.
Akibat infeksi ini, muncul respon imun baik humoral maupun selular, antara lain anti
netralisasi, anti-hemaglutinin dan anti komplemen. Antibodi yang muncul pada
umumnya adalah IgG dan IgM. Pada infeksi Dengue primer, antibodi mulai terbentuk
dan pada infeksi sekunder kadar antibodi yang telah ada jadi meningkat.18
Antibodi terhadap virus dengue dapat ditemukan di dalam darah sekitar demam
hari ke-5, meningkat pada minggu pertama sampai dengan ketiga, dan menghilang
setelah 60-90 hari. Kinetik kadar IgG berbeda dengan kinetik kadar antibodi IgM,
oleh karena itu kinetik antibodi IgG harus dibedakan antara infeksi primer dan
sekunder. Pada infeksi primer antibodi IgG meningkat sekitar demam hari ke-14,
sedangkan pada infeksi sekunder antibodi IgG meningkat pada hari kedua. Oleh
karena itu diagnosa dini infeksi primer hanya dapat ditegakkan dengan mendeteksi
antibodi IgM setelah hari sakit kelima, diagnosis infeksi sekunder dapat ditegakkan
lebih dini dengan adanya peningkatan antibodi IgG dan IgM yang cepat.23
Patofisiologi primer dari DBD dan DSS adalah peningkatan akut permeabilitas
vaskuler yang mengarah ke kebocoran plasma ke dalam ruang ekstravaskuler,
sehingga menimbulkan hemokonsentrasi dan penurunan tekanan darah. Pada kasus
berat, volume plasma menurun lebih dari 20%, hal ini didukung penemuan post
mortem meliputi efusi pleura, hemokonsentrasi dan hipoproteinemi.23

19
Gambar 3. Bagan kejadian infeksi virus Dengue
II.7 MANIFESTASI KLINIS
Masa inkubasi virus dengue dalam manusia (inkubasi intrinsik) berkisar antara
3 sampai 14 hari sebelum gejala muncul, gejala klinis rata-rata muncul pada hari
keempat sampai hari ketujuh, sedangkan masa inkubasi ekstrinsik (di dalam tubuh
nyamuk) berlangsung sekitar 8-10 hari. Gejala DBD ditandai dengan manifestasi
klinis, yaitu :
a. Demam tinggi terus menerus selama 2-7 hari,
b. Perdarahan, seperti uji tourniquet positif, perdarahan kulit ataupun di tempat
lain
c. Hepatomegali,
d. Kegagalan peredaran darah (circulatory failure)11,21,24
Lama perjalanan penyakit dengue yang klasik umumnya berlangsung selama 7
hari dan terdiri atas 3 fase, yaitu:
a. Fase demam, berlangsung 3 hari
Pada fase demam yang berlangsung 3 hari, anak memerlukan minum yang
cukup karena demam tinggi. Anak biasanya tidak mau makan dan minum,
sehingga dapat mengalami dehidrasi. Umumnya anak akan tampak sakit

20
berat, pada bagian wajah dapat terlihat kemerahan (flushing), dan biasanya
tanpa batuk dan pilek. Saat ini nilai hematokrit masih normal dan viremia
berakhir pada fase ini.
b. Fase kritis,
Fase demam akan diikuti oleh fase kritis yang berlangsung pada hari ke-4
dan ke-5 (selama kurang lebih 24 – 48 jam). Pada fase kritis, demam turun,
sehingga disebut sebagai fase deffervescene. Fase ini kadang mengecoh
karena orangtua menganggap anaknya sembuh oleh karena demam turun,
padahal anak memasuki fase berbahaya. Kebocoran plasma menjadi nyata
dan mencapai puncak pada hari ke-5. Pada fase ini, akan tampak jumlah
trombosit menurun dan nilai hematokrit naik, organ-organ lain mulai terlibat.
Meski hanya berlangsung 24-48 jam, fase ini memerlukan pemantauan klinis
dan laboratoris yang ketat.

c. Fase penyembuhan
Setelah fase kritis pada DBD, anak memasuki fase penyembuhan, kebocoran
pembuluh darah berhenti seketika, plasma kembali dari ruang interstitial
masuk ke dalam pembuluh darah. Pada fase ini, jumlah trombosit mulai
meningkat dan hematokrit menurun. Fase ini hanya berlangsung 1-2 hari,
tetapi dapat menjadi fase berbahaya apabila cairan intravena tetap diberikan
dalam jumlah berlebih, yang menyebabkan anak dapat mengalami kelebihan
cairan dan terlihat sesak. Pada hari-hari tersebut, demam dapat meningkat
kembali tetapi tidak begitu tinggi, sehingga memberikan gambaran kurva
suhu seperti pelana kuda. Seringkali anak diberikan antibitiotik yang tidak
diperlukan. Pada fase ini anak terlihat riang, nafsu makan kembali muncul,
serta aktif seperti sebelum sakit.25

II.8 KLASIFIKASI
Terdapat beberapa klasifikasi DD atau DBD yang perlu diketahui, beberapa
diantaranya yaitu:

21
a. Klasifikasi Diagnosis Dengue WHO 1997
Dalam klasifikasi diagnosis WHO 1997, infeksi virus dengue dibagi dalam
tiga spektrum klinis yaitu undifferentiated febrile illness, demam dengue
(DD) dan demam berdarah dengue (DBD). Dalam perjalanan penyakit
infeksi dengue ditegaskan bahwa DBD bukan lanjutan dari DD namun
merupakan spektrum klinis yang berbeda. Perbedaan antara DD dan DBD
adalah terjadinya kebocoran plasma (plasma leakage) pada DBD, sedangkan
pada DD tidak.
Selanjutnya DBD diklasifikasikan dalam empat derajat penyakit, yaitu:
1. Derajat I dan II, untuk DBD tanpa syok,
2. Derajat III dan IV untuk dengue shock syndrome (DSS)
Kesulitan terjadi saat menentukan klasifikasi dengue berat (severe dengue)
karena tidak tercakup di dalam kriteria diagnosis WHO 1997. Jadi, kriteria
WHO yang telah dipergunakan selama tiga puluh tahun tersebut perlu dinilai
kembali.26
b. Klasifikasi Diagnosis Dengue WHO 2009
1. Dengue without warning signs,
Disebut juga sebagai probable dengue, sesuai dengan demam dengue dan
demam berdarah dengue derajat I dan II pada klasifikasi WHO 1997.
Pada kelompok dengue without warning signs, perlu diketahui apakah
pasien tinggal atau baru kembali dari daerah endemik dengue. Diagnosis
tersangka infeksi dengue ditegakkan apabila terdapat demam ditambah
minimal dua gejala seperti :
a) Mual disertai muntah,
b) Ruam (skin rash),
c) Nyeri pada tulang, sendi, atau retro-orbital,
d) Uji torniket positif,
e) Leukopenia,
f) Gejala lain yang termasuk dalam warning signs
2. Dengue with warning signs

22
Secara klinis terdapat gejala:
a) Nyeri perut,
b) Muntah terus-menerus,
c) Perdarahan mukosa,
d) Letargi/gelisah,
e) Hepatomegali ≥2cm,
f) Disertai kelainan parameter laboratorium, yaitu peningkatan kadar
hematokrit yang terjadi bersamaan dengan penurunan jumlah
trombosit dan leukopenia
Pasien dengue without warning signs dapat dipantau harian dalam rawat
jalan. Namun apabila warning signs ditemukan maka pemberian cairan
intravena harus dilakukan untuk mencegah terjadi syok hipovolemik.26

3. Severe dengue
Infeksi dengue diklasifikasikan sebagai severe dengue apabila terdapat :
a) Severe plasma leakage (perembesan plasma hebat), akan menyebabkan
syok hipovolemik dengan atau tanpa perdarahan
b) Severe bleeding (perdarahan hebat), terjadi perdarahan (hematemesis,
melena, atau perdarahan lain yang dapat mengancam kehidupan),
disertai kondisi hemodinamik yang tidak stabil sehingga memerlukan
pemberian cairan pengganti dan atau transfusi darah
c) Severe organ impairment (keterlibatan organ yang berat), termasuk
gagal hati, inflamasi otot jantung (miokarditis), keterlibatan neurologi
(ensefalitis), dan lain sebagainya
Setelah klasifikasi diagnosis dengue WHO 2009 disebarluaskan, beberapa
negara di Asia Tenggara mengadakan evaluasi kemungkinan
penggunaannya. Ternyata klasifikasi WHO 2009 belum dapat diterima
seluruhnya untuk menggantikan klasifikasi 1997, terutama untuk kasus anak.
Kemudian, batasan untuk dengue with atau without warning signs terlalu
luas, sehingga akan menyebabkan over diagnosis.26

23
c. Klasifikasi Diagnosis Dengue WHO 2011
Klasifikasi diagnosis dengue WHO 2011 disusun hampir sama dengan
klasifikasi diagnosis WHO 1997, namun kelompok infeksi dengue
simtomatik dibagi menjadi DD, DBD, dan expanded dengue syndrome yang
terdiri dari isolated organopathy dan unusual manifestation.25,27
1. Demam dengue atau dengue fever, demam disertai 2 atau lebih tanda :
a) Sakit kepala
b) Nyeri retro-orbital
c) Mialgia
d) Atralgia
Dengan disertai hasil laboratorium berupa, leukopenia, trombositopenia
dan uji serologi virus (+). Namun, tanpa disertai tanda kebocoran plasma
(plasma leakage).
2. DBD derajat I, demam dengan gejala dan hasil laboratorium seperti
demam dengue, disertai uji tourniquet positif. Terdapat tanda kebocoran
plasma berupa hematocrit meningkat >20%.
3. DBD derajat II, terdapat tanda derajat I disertai perdarahan spontan di
kulit atau perdarahan ditempat lain.
4. DBD derajat III, ditemukan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan
lemah, tekan nadi menurun (< 20mmHg) atau hipotensi (sistolik menurun
sampai <80 mmHg), disertai kulit yang lembab, akral dingin dan pasien
menjadi gelisah.
5. DBD derajat IV atau Dengue Syok Syndrom (DSS), terjadi syok berat
(profound shock), dengan nadi yang tidak teraba dan tekanan darah tidak
dapat diukur. Stadium ini dapat terjadi pada hari ke 3,4 dan 5 serangan
panas pada infeksi virus Dengue. Pada masa ini merupakan masa kritis
yang sering kali orang tua penderita atau penderita sendiri kurang
menyadarinya.
6. Expanded dengue syndrome

24
Kasus infeksi dengue dengan unusual manifestation tidak jarang terjadi
pada kasus anak. Unusual manifestation atau manifestasi yang tidak
lazim, pada umumnya berhubungan dengan keterlibatan beberapa organ,
seperti hati, ginjal, jantung, dan gangguan neurologis pada pasien infeksi
dengue. Kejadian unusual manifestation infeksi dengue tersebut dapat
pula terjadi pada kasus infeksi dengue tanpa disertai perembesan
plasma.28-30

Tabel 8. Expanded dengue syndrome

25
Sumber: Atypical manifestations of dengue, 2007.28

Tabel 9. Klasifikasi Derajat Infeksi Dengue ( WHO, 2011)


Grade Tanda dan Gejala Pemeriksaan Laboratorium
Demam dengue Demam dengan minimal dua - Leukopenia < 5000/mm3
kriteria berikut: - Trombositopenia (< 00.003
- Nyeri kepala - Peningkatan hematkcrit naik,
- Nyeri retroorbita biasanya 60- 10%
- Myalgia Tidak ada bukti kebocoran
- Atralgia/ nyeri tulang plasma
- Ruam (rash)
- Manifestasi perdarahan
- Tidak ada bukti kebocoran
plasma

26
DBD grade I Demam dan manifestasi Trombositopenia (< 1.000.0003
perdarahan (uji tourniquet - Peningkatan hematokrit naik,
positif) dan adanya bukti biasanya 5- 10%
kebocoran plasma Tidak ada bukti kebocoran
plasma
DBD grade II Sama seperti grade I, - Trombositopenia
ditambah adanya perdarahan (100.000/mm)
spontan - Peningkatan hematokrit naik,
biasanya ≥ 20%
DBD grade III Sama seperti grade I dan II, - Trombositopenia
ditambah adanyakegagalan (100.000/mm)
sirkulasi (nadi lemah, tekanan - Peningkatan hematokrit naik,
nadi < 20 mmHg, hipotensi, biasanya ≥ 20%
lemas)
DBD grade IV Sama seperti grade III, - Trombositopenia
ditambah bukti nyata adanya (100.000/mm)
syok dengan tekanan darah - Peningkatan hematokrit naik,
tidak terukur dan nadi tidak biasanya ≥ 20%
teraba

II.9 PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. Isolasi dan identifikasi virus, mempunyai nilai ilmiah tertinggi karena
penyebab infeksi dapat dipastikan. Akan tetapi virus Dengue relatif labil
terhadap suhu dan faktor-faktor fisiko kimiawi tertentu, dan masa viremia
sangat singkat sehingga keberhasilan cara ini sangat tergantung kepada
kecepatan dan ketepatan pengambilan bahan, juga pengolahan dan
pengirimannya. Isolasi dapat dilakukan pada nyamuk, biakan sel atau bayi
mencit. Waktu yang diperlukan cukup lama yaitu 7 - 14 hari, sehingga tidak
dapat digunakan untuk panduan terapi. Di samping itu biayanya relatif mahal
dan hanya dapat dilakukan oleh laboratorium tertentu saja. 10
b. Deteksi antigen adalah mencari bagian tertentu dari virus Dengue yang
menimbulkan penyakit baik yang berupa peptida ataupun asam nukleat.
Metode yang digunakan bisa immunofluorecence, immunoperoxydase, atau

27
polymerase chain reaction (PCR). Pemeriksaan immunofluorescence dan
immunoperoxydase biasanya tidak cukup sensitif untuk mendeteksi jumlah
antigen yang sangat sedikit di dalam sirkulasi. Kedua tes ini lebih sering
digunakan untuk mendeteksi antigen di jaringan pada penelitian post
mortem. Metode PCR lebih sensitif karena dapat mendeteksi antigen yang
sangat sedikit dalam darah dan dalam waktu yang relatif singkat. Akan tetapi
hanya laboratorium tertentu saja yang dapat melakukan metode diagnosis
molekular ini dan juga biayanya amat mahal. 10
c. Tes serologi merupakan jenis pemeriksaan yang paling sering dilakukan. Uji
serologis yang klasik adalah uji hambatan hemaglutinasi, uji pengikatan
komplemen dan uji netralisasi. Uji yang lebih modern adalah enzyme linked
immunosorbent assay (ELISA), immunoblot dan immunochromatography.
Uji netralisasi sebenarnya merupakan uji yang terbaik, akan tetapi tekniknya
sulit, sehingga jarang dipakai. Uji hambatan hemaglutinasi dan uji
pengikatan komplemen lebih mudah dilakukan tetapi lebih tidak spesifik.
Hasil yang positif hanya menunjukkan bahwa pasien sedang atau baru saja
terinfeksi oleh Flaviviridae dan tidak dapat memastikan apakah penyebabnya
virus Dengue, apalagi serotipe tertentu. Hal ini disebabkan oleh adanya
reaksi silang antara anggota Flavivridae dan antar tipe virus Dengue.10
Saat ini uji serologi Dengue IgM dan IgG seringkali dilakukan. Pada infeksi
primer, IgM akan muncul dalam darah pada hari ke-3, mencapai puncaknya
pada hari ke-5 dan kemudian menurun serta menghilang setelah 60-90 hari.
IgG baru muncul kemudian dan terus ada di dalam darah. Pada infeksi
sekunder, IgM pada masa akut terdeteksi pada 70% kasus, sedangkan IgG
dapat terdeteksi lebih dini pada sebagian besar (90%) pasien, yaitu pada hari
ke-2. Apabila ditemukan hasil IgM dan IgG negatif tetapi gejala tetap
menunjukkan kecurigaan DBD, dianjurkan untuk mengambil sampel kedua
dengan jarak 3-5 hari bagi infeksi primer dan 2-3 hari bagi infeksi sekunder.
IgM pada sesorang yang terkena infeksi primer akan bertahan dalam darah
beberapa bulan dan menghilang setelah 3 bulan.25

28
Dengan demikian, setelah fase penyembuhan, baik IgM maupun IgG dengue
akan tetap terdeteksi meskipun anak tidak menderita infeksi dengue. Setelah
3 bulan, hanya IgG yang bertahan di dalam darah. IgG dapat terdeteksi pada
pemeriksaan darah seseorang yang telah terinfeksi oleh salah satu serotipe
virus dengue. Hal itu disebabkan oleh IgG dalam darah bertahan dalam
jangka waktu yang lama bahkan dapat seumur hidup. Untuk itu, interpretasi
serologi tidak dapat berdiri sendiri, tetapi harus dilengkapi dengan
anmanesis, pemeriksaan fisis, serta pemeriksaan penunjang lainnya untuk
menegakkan diagnosis dengue. Pemeriksaan serologis terutama berguna
untuk membedakan antara infeksi primer dan sekunder.25

Gambar 4. Respon primer dan sekunder infeksi virus dengue


(Sumber : Soegijanto S, 2002)18

d. Pemeriksaan darah rutin, selalu dilakukan pada pasien dengue. Hasil


pemeriksaan laboratorium menunjukkan hampir 70% pasien dengue
mengalami :
1. Leukopeni (<5000/ul) yang akan kembali normal sewaktu memasuki fase
penyembuhan pada hari sakit ke-6 atau ke-7.
2. Jumlah trombosit mulai menurun pada hari ke-3 dan mencapai titik
terendah pada hari sakit ke-5. Trombosit akan mulai meningkat pada fase

29
penyembuhan serta mencapai nilai normal pada hari ke-7. Meski jarang,
ada pasien yang jumlah trombositnya mencapai normal pada hari ke-10
sampai ke-14.
3. Perubahan hemostatik dan kebocoran plasma merupakan petanda penting
dini diagnosis DBD. Peningkatan nilai hematokrit 20% atau lebih,
mencerminkan kebocoran plasma yang bermakna dan mengindikasikan
perlunya penggantian volume cairan tubuh. 25

Tabel 9. Serotipe dan tipe infeksi dengue pada penderita ruang rawat inap
Departemen IKA FKUI-RSCM

Sumber: Data rekam medik Departemen IKA FKUI-RSCM.25

Tabel 10. Serotipe penyebab infeksi virus dengue di Departemen IKA


RSCM 2006-2010 berdasarkan pemeriksaan RT-PCR

30
Sumber: Data rekam medik Departemen IKA FKUI-RSCM.25

Data ruang rawat inap Departemen IKA FKUI-RSCM mendapatkan, virus


dengue serotipe 1 (DEN-1) merupakan penyebab infeksi primer terbanyak,
sedangkan penyebab infeksi sekunder terbanyak adalah DENV-2. Beberapa
pasien mengalami infeksi campuran dua serotipe dengue. Selama kurun
waktu tahun 2006 – 2010, DEN-2 dan DEN-3 merupakan virus yang
terbanyak ditemukan sebagai penyebab infeksi dengue di ruang rawat inap
Departemen IKA FKUI-RSCM.25

II.10 PENATALAKSANAAN
Dalam tata laksana kasus dengue terdapat dua keadaan klinis yang perlu
diperhatikan yaitu:
a. Sistem triase
Dalam sistem triase, dapat dipilah pasien dengue dengan warning signs dan
pasien yang dapat berobat jalan namun memerlukan observasi lebih lanjut.
b. Tata laksana kasus DSS
Penatalaksaan DSS pada prinsipnya adalah dengan pemberian cairan yang
adekuat dan monitor kadar hematokrit. Apabila syok belum teratasi selama
2 x 30 menit, pastikan apakah telah terjadi perdarahan dan transfusi PRC
merupakan pilihan.25

31
Gambar 5. Alur triage yang dianjurkan
(Sumber : Modifikasi dari WHO, 2011)25,28

Tata laksana DD atau DBD sesuai dengan perjalanan penyakit yang terbagi atas
3 fase yang telah disebutkan.
a. Fase demam
Tata laksana pada fase demam DD atau DBD bersifat simtomatik dan
suportif. Parasetamol merupakan antipiretik pilihan pertama dengan dosis
10mg/kg/dosis selang 4 jam apabila suhu >38oC. Pemberian aspirin dan
ibuprofen merupakan kontra indikasi. Kompres hangat kadang membantu
apabila anak merasa nyaman dengan pemberian kompres. Pemberian
antipiretik tidak mengurangi tingginya suhu, tetapi dapat memperpendek
durasi demam.
Pengobatan suportif lain yang dapat diberikan antara lain berupa larutan
oralit, larutan gula-garam, jus buah, susu, dan lain-lain. Apabila pasien
memperlihatkan tanda dehidrasi dan muntah hebat, koreksi dehidrasi sesuai
kebutuhan. Apabila cairan intravena perlu diberikan, maka pada fase ini
biasanya kebutuhan sesuai rumatan. Semua pasien tersangka dengue harus

32
diawasi dengan ketat sejak hari sakit ke-3. pemberian cairan oral untuk
mencegah dehidrasi.31,28
b. Fase kritis
Periode kritis adalah waktu transisi, yaitu saat suhu turun pada umumnya
hari ke 3-5 fase demam. Pasien harus diawasi ketat terhadap kejadian syok
yang mungkin terjadi. Pemeriksaan kadar hematokrit berkala merupakan
pemeriksaan laboratorium yang terbaik untuk pengawasan hasil pemberian
cairan, yaitu menggambarkan derajat kebocoran plasma dan pedoman
kebutuhan cairan intravena. Hemokonsentrasi pada umumnya terjadi
sebelum dijumpai perubahan tekanan darah dan tekanan nadi. Tetesan
berikutnya harus selalu disesuaikan dengan tanda vital, kadar hematokrit,
dan jumlah volume urin. 28
Berikan cairan intravena sesuai dengan derajat dehidrasi sedang. Jenis cairan,
terbagi menjadi 2 yaitu:
a. Kristaloid: ringer laktat (RL), ringer asetat (RA), ringer maleate, natrium
klorida (NaCl), Dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat (D5/RL),
Dekstrosa 5% dalam larutan ringer asetat (D5/RA), Dekstrosa 5% dalam 1/2
larutan natrium klorida (D5/1/2NaCl) (Catatan: Untuk resusitasi syok
dipergunakan larutan kristaloid yang tidak mengandung dekstosa).
b. Koloid: Dekstran 40, Plasma, Albumin, Hidroksil etil starch 6%, gelafundin.
Cairan isotonik umumnya menghasilkan output atau prognosis yang lebih baik.
Kebutuhan cairan parenteral :
a. Berat badan < 15kg : 7ml/kgBB/jam
b. Berat badan 15 – 40kg : 5ml/kgBB/jam
c. Berat badan >40kg : 3ml/kgBB/jam25
Cairan parenteral umumnya hanya memerlukan waktu 24-48 jam sejak
kebocoran pembuluh kapiler spontan, sejak pemberian cairan dimulai. Pantau tanda
vital dan diuresis setiap jam. Periksa laboratorium (Ht, trombosit, leukosit dan Hb)
per 6 jam. Apabila terjadi perburukan klinis, berikan tatalaksana sesuai dengan tata
laksana syok atau DSS.

33
Tabel 11. Keuntungan dan kerugian beberapa kristaloid

Sumber : Update Management of Infectious Diseases and Gastrointestinal Disorders,


2012.25

c. Fase penyembuhan
Pada fase penyembuhan, ruam konvalesen akan muncul pada daerah
esktremitas. Perembesan plasma berhenti ketika memasuki fase
penyembuhan, saat terjadi reabsorbsi cairan ekstravaskular kembali ke dalam
intravaskuler. Apabila pada saat itu cairan tidak dikurangi, akan
menyebabkan edema palpebra, edema paru dan distres pernafasan.
Upayakan lama pemberian cairan jangan melebihi 24-48 jam. Segera
hentikan pemberian cairan apabila pasien sudah masuk fase penyembuhan
untuk menghindari terjadinya kelebihan cairan yang dapat mengakibatkan
bendungan/edema paru karena reabsorpsi ekstravasasi plasma.
Secara umum, sebagian besar pasien DBD akan sembuh tanpa komplikasi
dalam waktu 24-48 jam setelah syok. Tanda pasien masuk ke dalam fase
penyembuhan adalah :
1. Keadaan umum membaik
2. Meningkatnya nafsu makan
3. Tanda vital stabil

34
4. Ht stabil dan menurun sampai 35-40%
5. Diuresis cukup
Penderita dapat dipulangkan apabila dalam 24 jam tidak terdapat demam
tanpa antipiretik, kondisi klinis membaik, nafsu makan baik, nilai Ht stabil
tiga hari sesudah syok teratasi, tidak ada sesak napas atau takipnea, dan
jumlah trombosit >50.000/mm3.25

Bagan 1. Tata laksana penderita tersangka DBD

35
Bagan 2. Tata laksana kasus penderita DBD

36
Bagan 3. Tata laksana kasus DBD derajat I dan II

37
Bagan 4. Tata laksana kasus DBD derajat III dan IV

Beberapa kondisi yang harus diperhatikan dalam tata laksana DBD adalah :
a. Koreksi Ganggungan Metabolik dan Elektrolit
Hiponatremia dan asidosis metabolik sering menyertai pasien DBD atau
SSD, maka analisis gas darah dan kadar elektrolit sebaiknya diperiksa pada

38
DBD berat. Apabila asidosis tidak dikoreksi, akan memacu terjadinya
koagulasi intravascular disseminata (KID), sehingga tata laksana pasien
menjadi lebih kompleks. Pada umumnya, apabila penggantian cairan plasma
diberikan secepatnya dan dilakukan koreksi asidosis dengan natrium
bikarbonat, maka perdarahan terjadi sebagai akibat KID.32
b. Pemberian Oksigen
Terapi oksigen 2 liter per menit harus segera diberikan pada semua pasien
syok karena dapat terjadi hipoksia sistemik.25
c. Transfusi Darah
Pemeriksaan golongan darah cross-matching harus dilakukan pada setiap
pasien yang diduga mengalami pendarahan internal, terutama pada syok
yang berkepanjangan (prolonged shock). Pemberian transfusi darah
diberikan pada keadaan manifestasi perdarahan yang nyata. Kadangkala sulit
untuk mengetahui perdarahan internal apabila disertai hemokonsentrasi.
Penurunan hematokrit (misalnya dari 50% menjadi 40%), tanpa perbaikan
klinis walaupun telah diberikan cairan yang mencukupi, merupakan tanda
adanya perdarahan. Pemberian packed red cell (PRC) dimaksudkan untuk
mengatasi perdarahan karena cukup mengandung plasma, sel darah merah,
faktor pembekuan dan trombosit.28,31
Kunci tata laksana DD atau DBD terletak pada deteksi dini fase kritis, yaitu saat
suhu turun (the time of defervescence) yang merupakan fase awal terjadinya
kegagalan sirkulasi, dengan melakukan observasi klinis disertai pemantauan
kebocoran plasma dan gangguan hemostasis. Prognosis DBD terletak pada
pengenalan tanda-tanda bahaya secara awal dan pemberian cairan larutan garam
isotonik atau kristaloid sebagai cairan awal pengganti volume plasma sesuai dengan
derajat penyakit.25

II.11 EDUKASI

39
Penerangan pada pasien dan keluarga mengenai petanda gejala syok yang
mengharuskan pasien dibawa ke rumah sakit yang harus diberikan. Petanda tersebut
antara lain adalah:
a. Keadaan yang memburuk sewaktu pasien mengalami penurunan suhu
b. Setiap perdarahan yang ditandai dengan nyeri abdominal akut dan hebat
c. Mengantuk, lemah, tidur sepanjang hari, menolak untuk makan dan minum,
gelisah, sampai dengan perubahan tingkah laku
d. Kulit dingin dan lembab
e. Tidak buang air kecil selama 4-6 jam
Pasien harus dirawat apabila ada tanda-tanda syok, sangat lemah sehingga
asupan oral tidak dapat mencukupi, perdarahan, hitung trombosit <100.000/ mm3,
dan atau peningkatan Ht >10-20%, perburukan ketika penurunan suhu, nyeri
abdominal akut hebat, serta tempat tinggal yang jauh dari Rumah Sakit.25

40
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien datang dengan keluhan demam hari ke-3. Keluhan disertai dengan,
seluruh tubuh terasa lemas dan pegal-pegal, mual, serta nafsu makan menurun, tetapi
minum masih mau sedikit-sedikit. Keluhan seperti adanya mimisan, gusi berdarah,
atau adanya bintik-bintik/ruam pada tubuh, disangkal. Buang air besar (BAB) dan
buang air kecil (BAK) dalam batas normal, tidak ada keluhan.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan, TD 120/70mmHg, N 90 x/menit, RR
20x/mnt, T 37,6 C. Pada abdomen ditemukan nyeri tekan pada epigastrium,
umbilical, tidak teraba pembesaran hepar atau lien. Dilakukan uji tourniquet dan
didapatkan > 20 ptekie. Dari hasil lab darah rutin terdapat gambaran trombositopenia
(trombosit 100.000) dan NS1 positif. Sehingga pasien dirawat dengan diagnosis kerja
demam berdarah dengue atau dengue haemorrhagic fever grade 1.
Pada pasien didapatkan demam dengan menggigil, berlangsung terus menerus,
naik turun selama 3 hari, hari hal ini dikarenakan demam terjadi akibat reaksi antigen
antibodi yang memicu keluarnya mediator inflamasi terutama IL-1, IFN-gamma,
TNF-alfa, IL-2 dan histamine. Dimana IL1, TNF-alfa dan IFN gamma dikenal
sebagai pirogen endogen yang dapat menimbulkan demam. IL-1 bekerja langsung
pada pusat termoregulator sedangkan TNF-alfa dan IFN-gamma bekerja untuk
merangsang pelepasan IL-1. IL-1 dapat merubah asam arakidonat menjadi
prostaglandin-E2, selanjutnya PGE2 akan berdifusi ke hipotalamus atau berekasi
dengan cold sensitive neurons, dengan hasil akhir peningkatan thermostatic set point
yang menyebabkan aktivasi sistem saraf simpatis untuk menahan panas
(vasokonstriksi) dan memproduksi panas dengan menggigil.
Terdapat manifestasi perdarahan yang pada pasien ditandai dengan ptekie pada
uji tourniquet. Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-
antibodi selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi
trombosit dan mengaktivitasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel

41
pembuluh darah. Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DHF.
Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi
pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (Adenosin di-phosphat),
sehingga trombosit melekat satu sama lain. Hal ini akan menyebabkan trombosit
dihancurkan oleh RES (Reticulo Endothelial System) sehingga terjadi
trombositopenia. Selain itu juga terdapat teori yang menghubungkan trombositopenia
dengan meningkatnya megakariosit muda dalam sumsum tulang dan pendeknya masa
hidup trombosit diduga akibat meningkatnya restruksi trombosit.
Pada kasus, berdasarkan patokan diagnosis DHF menurut WHO tahun 2011,
gejala klinis dan laboratorium pada kasus ini didapatkan demam tinggi terus-menerus
selama 3 hari, disertai adanya gejala lain berupa myalgia dan terjadi manifestasi
perdarahan yaitu uji tourniquet positif. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan
trombositopenia (≤ 100.000/uL), walaupun tidak ditemukan tanda hemokonsentrasi,
yang dapat dilihat dari peningkatan nilai hematokrit ≥ 20% dibanding dengan nilai
hematokrit nilai normal. Ditemukan 3 sampai 4 patokan klinis, disertai
trombositopenia < 100.000, sudah cukup untuk klinis membuat diagnosis DHF.
Pada pasien ini diberikan infus RL karena dapat memenuhi kebutuhan cairan.
Pasien diberikan IVFD RL 30 tpm
Injeksi farmadol, digunakan untuk mengobati rasa nyeri pasien. Injeksi
pumpisel, digunakan untuk mengatasi nyeri perut pasien yang disebabkan karena
asam lambung pasien. Injeksi terfacef, digunakan untuk mengurangi infeksi yang
terjadi dalam tubuh pasien. Injeksi trovensis, digunakan untuk mengobati rasa mual
pasien.
Pada pasien ini di diagnosis banding dengan demam dengue (dengue fever) dan
demam chikungunya. Dengue fever manifestasi klinisnya sama seperti DHF.
Fenomena patofisiologi utama yang menentukan berat penyakit dan membedakan
dengue fever dari DHF, yaitu kebocoran plasma yang ditandai dengan hematokrit ≥
20% dan adanya plasma leakage.
Demam chikungunya merupakan suatu penyakit infeksi virus akut yang
ditandai dengan sekumpulan gejala yang mirip dengan gejala infeksi virus dengue,

42
yaitu demam mendadak, arthralgia, dan leukopenia. Gejala klinis yang sering
dijumpai pada anak umumnya demam tinggi mendadak, disertai sakit kepala,
fotofobia, myalgia dan atralgia yang melibatkan berbagai sendi, anoreksia, dan mual
muntah. Nyeri sendi merupakan gejala yang menonjol dan dapat menjadi persisten.
Pada kulit sering ditemukan ptekie atau ruam makulopapular pada tubuh dan
ekstremitas, sering terjadi limfadenopati hebat.

Tabel 12. Perbedaan infeksi virus Chikungunya dan Dengue

43
BAB V
KESIMPULAN

Infeksi virus dengue pada manusia tidak selalu mengakibatkan demam berdarah
dengue (DBD), melainkan mempunyai spektrum manifestasi klinis yang luas, mulai
dari asimtomatik, demam dengue (DD), DBD, sampai demam berdarah dengue
disertai syok atau dengue shock syndrome (DSS). Gambaran manifestasi klinis yang
bervariasi ini memperlihatkan sebuah fenomena gunung es dengan kasus DBD dan
DSS yang dirawat di rumah sakit sebagai puncak gunung es yang terlihat di atas
permukaan laut.
Seperti telah dipahami bahwa tanda dan gejala infeksi dengue tidak khas,
sehingga menyulitkan penegakan diagnosis terutama pada anak. Untuk itu, perlu
dipahami perjalanan penyakit agar tata laksana dilakukan secara bijak dalam rangka
upaya mengurangi kejadian yang tidak diinginkan.
Prinsip pemberian cairan untuk DBD adalah penggantian volume plasma.
Pilihan cairan resusitasi inisial untuk anak adalah kristaloid isotonis. Volume
pemberian cairan harus disesuaikan dengan kondisi klinis, tanda vital, produksi urin
dan kadar hematokrit. Evaluasi tanda klinis serta status hemodinamik pasien setelah
pemberian terapi cairan.

44
DAFTAR PUSTAKA

1. Djunaedi, D 2006, Demam Berdarah Dengue (DBD), Malang: Penerbit Universitas


Muhammadiyah Malang.
2. World Health Organization 2011, World Health Statistics 2011, France: WHO
Press.
3. Kemenkes RI 2016, Info Datin, 22 April – Hari Demam Berdarah Dengue, Situasi
DBD di Indonesia, Jakarta: Kemenkes RI.
4. World Health Organization 2014, Dengue and Severe dengue, Geneva: WHO
Press.
5. Andriani NWE, Tjitrosantoso H, Paulina V, Yamlean Y 2014, Kajian
Penatalaksanaan Terapi Pengobatan Demam Berdarah Dengue (Dbd) Pada
Penderita Anak Yang Menjalani Perawatan Di Rsup Prof. Dr. R.D Kandou
Tahun 2013, Jurnal Ilmiah – UNSRAT Vol. 3 No. 2, Manado: Pharmacon.
6. Khie C, Herdiman TP, Robert 2009, Diagnosis dan terapi cairan pada demam
berdarah dengue, Jakarta: FK UI.
7. Hadinegoro, Rezeki S, Soegijanto WS, Suroso 2004, Tatalaksana Demam
berdarah dengue Di Indonesia, Jakarta: Depkes RI.
8. Kristina, Isminah, Wulandaari 2004, Demam Berdarah Dengue, Jakarta: Depkes
RI.
9. Departemen Kesehatan RI 2003, Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit
Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue, Jakarta: Depkes RI.
10. Wiradharma D 1999, Diagnosis Cepat Demam Berdarah Dengue, Jurnal
Kedokteran Trisakti, Mei-Agustus 1999, Vol.18, No.2, Jakarta: FK Trisakti.
11. Kurane I 2007, Dengue Hemorrhagic Fever with Spesial Emphasis on
Immunopathogenesis. Comparative Immunology, Microbiology & Infectious
Disease Vol 30, Tokyo: PubMed.
12. Noor R 2009, Nyamuk Aedes aegypti [cited 5 Januari 2019]; Available from:
http://id.shvoong.com/medicine-andhealth/epidemiology-publichealth/
2066459-nyamuk-aedes-aegypti

45
13. Lestari K, Epidemiologi Dan Pencegahan Demam Berdarah Dengue (DBD) Di
Indonesia. Farmaka, Vol. 5 No. 3, Bandung: Farmaka.
14. Knowlton K, Solomon G, Rotkin-Ellman M, Pitch F 2009, Mosquito-Borne
Dengue Fever Threat Spreading in the Americas, New York: Natural Resources
Defense Council Issue Paper.
15. Wilder-Smith A, Gubler D 2008, Geographic Expansion of Dengue: the Impact
of International Travel Vol. 92, USA: Med Clin NAm.
16. Silva-Nunes MD, Souza V, Pannuti CS, et.al 2008, Risk Factors for Dengue
Virus Infection in Rural Amazonia: Population-based Cross-sectional Surveys
Vol 79 (4). USA: Am J Trop Med Hyg.
17. World Health Organization 2009, Dengue: Guidlines for Diagnosis, Treatment,
Prevention and Control. New Edition, Geneva: WHO Press.
18. Soegijanto S 2002, Patogenesa dan Perubahan Patofisiologi Infeksi Virus
Dengue [cited 5 Januari 2019], Available from: www.pediatrikcom/
buletin/20060220-8ma2gi-buletindoc
19. Dewi BE, Takasaki T, et.al 2007, Elevated Levels of Solube Tumour Necrosis
Factor Receptor 1, Thrombomodulin and Solube Endothelial Cell adhesion
Molecules in Patients with Dengue Hemorrhagic Fever Vol 31, New Delhi:
WHO Press.
20. Gibson RV 2010, Dengue Conundrums Vol 36, Netherlands: International Journal
of Antimicrobial Agents.
21. Candra A 2010, Demam Berdarah Dengue: Epidemiologi, Patogenesis, dan
Faktor Risiko Penularan Vol. 2 No. 2 Tahun 2010, Semarang: Aspirator.
22. Soegijanto S 2003, Prospek Pemanfaatan Vaksin Dengue Untuk Menurunkan
Prevalensi di Masyarakat, Surabaya: FK UNAIR.
23. Novriani H 2002, Respon Imun dan Derajat Kesakitan Demam Berdarah Dengue
dan Dengue Syndrome Pada Anak Vol 134, Jakarta: Cermin Dunia Kedokteran.
24. Nisa WD, Notoatmojo H, Rohmani A 2013, Karakteristik Demam Berdarah
Dengue pada Anak di Rumah Sakit Roemani Semarang, Semarang: Penerbit
Universitas Muhammadiyah

46
25. Hadinegoro SR, Kadim M, Devaera Y, Idris NS, Ambarsari CG, Update
Management of Infectious Diseases and Gastrointestinal Disorders, Jakarta:
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM
26. World Health Organization 2009, Dengue, guidelines for diagnosis, treatment,
prevention, and control. New edition, 2009. World Health Organization (WHO)
and Special Program for Research and Training in Tropical Diseases (TDR),
France: WHO Press.
27. Barniol J, Gaczkowski R et.al 2011, Usefulness and applicability of the revised
dengue case classification by disease: multi-centre study in 18 countries, UK:
BMC Infect Dis.
28. World Health Organization 2011, Comprehensive guidelines for prevention and
control of dengue and dengue haemorrhagic fever. Revised and expanded
edition, New Delhi: WHO.
29. Gulati S, Maheswari A 2007, Atypical manifestations of dengue, UK: Trop Med
Int Health.
30. Hadinegoro, Rezeki S, Soegianto S, Soeroso T, Waryadi S 2001, Tata Laksana
Demam Berdarah Dengue di Indonesia, Jakarta: Ditjen PPM&PL
Depkes&Kesos R.I.
31. World Health Organization 2009, Dengue guidelines for diagnosis, treatment,
prevention and control. New Edition, Geneva: WHO Press.
32. Sumpelmann R, Witt L, Brutt M, et.al 2010, Changes in acid-base, electrolyte
and hemoglobin concentrations during infusion of hydroxyethyl starch
130/0.42/6 : 1 in normal saline or in balanced electrolyte solution in children.
Pediatric Anesthesia, New Jersey: Blackwell Publishing Ltd.

47

Anda mungkin juga menyukai