Anda di halaman 1dari 6

Definisi

Difteri merupakan penyakit lama/kuno yang telah ada sejak Hippocrates. Hippocrates
memberikan gambaran klinis pertma difteri pada abad ke-4 SM. Gambaran klinis modern dibuat
oleh Joost van Lom pada tahun 1560 dan Baillou tahun 1576. Mereka menyebut penyakit
sebagai “quinsy”dan “croup”. Epidemik penyakit pertama tejadi di Spanyol, dikenal dengan
nama “morbus Suffocans” atau “garrotillo” atau mati lemas menyerupai garroting, yaitu metode
eksekusi criminal yang dijalankan Spanyol.1

Difteri pertama kali dikenal sebagai kumpulan gejala yang berbeda oleh patolog dan
klinisi dari Perancis, Pierre Bretonneau tahun 1825. Dia menggunakan kata diphtherete untuk
untuk kondisi penyakit menular, yang ditandai dengan adanya membran palsu pada faring dan
laring. Kata diphtherete berasal dari Bahasa Yunani diphtera yang artinya kulit atau
tersembunyi.1

Difteri adalah penyakit saluran napas atas yang ditandai dengan sakit tenggorokan, panas
dan adanya pseudomembran pada tonsil, faring dan atau rongga hidung yang disebabkan
Corynebacterium diphteriae dengan memproduksi toksin difteri. Toksin difteri yang diproduksi
Corynebacterium diphteriae dapat menyebabkan myocarditis, polyneuritis, dan efek sistemik
lainnya. Penyakit lebih sering terjadi pada individu yang tidak diimunisasi atau imunisasi yan
tidak adekuat. Individu yang mendapat imunisasi yang adekuat mendapat tingkat perlindungan
dari antitoksin untuk sepuluh tahun atau lebih.1,2

Difteri tonsil adalah suatu kelainan yang diakibatkan oleh penyakit difteri yang ditandai
dengan adanya membrane yang khas terjadi di atas daerah tonsil dengan meluas ke struktur
sekitarnya. Membran tampak kotor dan berwarna hijau dan bahkan dapat menyumbat pandangan
tonsil.2
Patofisiologi

Difteri adalah penyakit saluran napas atas yang ditandai dengan sakit tenggorokan, panas
dan adanya pseudomembran pada tonsil, faring , dana tau rongga hidung yang disebabkan
myocarditis, polyneuritis, dan efek sistemik lainnya. Gejala difteri yang lebih ringan dapat terjadi
pada kulit. Difteri ditularkan melalui kontak fisik secara langsung atau cairan aerosol dari
penderita. Difteri merupakan penyakit fatal yang sangat serius dengan CFR 5-10%. Pada usia
dibawah 5 tahun dan dewas lebih 40 tahun case fatality rate (CFR) bias mencapai 20%.1

Center for Diseases Control and Prevention (CDC) menggambarkan difteri sebagai
penyakit saluran napas atas yang ditandai dengan sakit tenggorok, demam tidak terlalu tinggi dan
adanya membrane pada tonsil, faring, dan atau hidung. Lesi lokal di saluran napas atas termasuk
luka nekrosis sel epitel. Sebagai hasil luka adalah terjadinya perdarahan dan terbentuk benang-
benang fibrin yang berhubungan dengan pertumbuhan Corynebacterium diphtheria secara cepat.
Jaringan memban ini disebut pseudomembran yang menutupi permukaan lesi menyebabkan
respiratory distress, bahkan kematian.1

Bakteri cenderung tidak menyerang jaringan bawah atau jauh dari infeksi local.
Bagaimanapun pada tempat ini mereka memproduksi toksin yang diserap dan disebarkan melalui
pembuluh limfe dan darah ke jaringan yang suseptibel. Perubahan degenerative terjadi pada
jaringan tersebut, termasuk jantung, otot, saraf perifer, adrenal, ginjal, hati, dan limpa
menyebabkan gejala sistemik.1

Patogenesitas Corynebacterium diphtheria meliputi 2 fenomena:1

1. Invasi bakteri pada jaringan local tenggorok, membentuk kolonisasi dan selanjutnya
berproliferasi. Sedikit pengetahuan tentang mekanisme adheren, tapi bakteri mempunyai
beberapa tipe pili. Toksin difteri mungkin juga ditemukan dan berperan pada kolonisasi.
2. Toksigenits (produksi toksin oleh bakteri). Toksin menyebabkan kematian sel dan
jaringan melalui penghambatan sintesis protein dalam sel. Meskipun toksin bertanggung
jawab terhadap gambaran leta penyakit, virulensi Corynebacterium diphteriae tidak
semata karena toksigenitasnya karena fase adheren terlihat mendahului toksigenesis. Tapi
belum dipastikan bahwa toksn berperan pada proses kolonisasi.
Beberapa spekulasi menarik tentang peranan toksin difteri pada kolonisasi. Mungkin toksin
membantu kolonisasi dengan membunuh sel epitel dan neutrophil. Tidak ada bukti yang
menjelaskan peran toksin pada siklus hidup organisme. Pada orang yang diimunisasi
Corynebacterium diphtheriae tidak ada pada tenggorok sebagai flora normal. Ini mungkin toksin
berperan pada kolonisasi individu yang tidak diimunisasi dan akibatnya strain toksigenik hampir
punah pada daerah dengan program imunisasi baik.1

Semua strain menghasilkan toksin yang identic dan mampu berkolonisasi di tenggorokan.
Perbedaan virulensi antar strain dapat dijelaskan dengan perbedaan kemampuan memproduksi
toksin (tingkat dan jumlahnya) dan perbedaan rata-rata pertumbuhan. Strain gravis memiliki
generation time (invitro) 60 menit, intermedius mempunyai generation time sekitar 100 menit
dan mitis sekitar 180 menit. Di tenggorokan (invivo), pertumbuhan yang lebih cepat
memungkinkan organisme menghabiskan suplai besi lebih cepat sehingga memungkinkan
organisme menghabiskan suplai besi lebih cepat sehingga memungkinkan produksi toksin lebih
cepat dan banyak. Toksin difteri diproduksi pada tempat infeksi dan kemudian menyebar melalui
pembuluh darah. Organisme tidak perlu masuk ke pembuluh darah untuk menghasilkan penyakit.
Gen tox yang mengkode toksin dibawa masuk ke dalam strain Corynebacterium diphteriae.1,2

Dua tahap yang dilalui agar toksin terproduksi adalah:1

1. Proteolytic cleavage dari leader sequence protein toksin selama sekresi dari sel bakteri
2. Pembelahan molekul toksin menjadi 2 polipeptida (A and B) yang tetap terikat dengan
sebuah ikatan disulfide. Ini merupakan proten dengan BM 58,300 kilo Dalton serupa
bentuk klasik A-B exotoxin.

Tiga region fungsional yang ada pada molekul toksin terdiri dari sebuah receptorbinding
region dan sebuah translocation region pada sub unit B serta catalytic region pada sub unit A.
Receptor untuk toksin adalah heparin-binding epidermal growth factor, yang berada pada
permukaan berbagai sel eukariot, khususnya jantung dan saraf sehingga terkihat gangguan
jantung dan saraf pada pasien difteri. Setelah terikat dengan sel host, translocation region masuk
ke endosomal membrane, memungkinkan perpindahan catalytic region ke dalam cytosol. Sub
unit A mencegah protein synthesis melalui inaktivasi elongation factor 2 (EF-2), sebuah factor
yang dibutuhkan untuk perpindahan nascent peptide chains pada ribosome. Karena pergantian
EF-2 sangat pelan dan hanya sekitar 1 molekul per ribosom sehingga diperkirakan 1 molekul
eksotoksin dapat menginaktivasi EF-2 dan mencegah sintesis protein.1

Imunitas didapat terhadap difteri merupakan antitoksin yang menetralisasi toksin. Imunitas
pasif di uterus bisa melalui plasenta dan dapat bertahan hingga 1-2 tahun setelah kelahiran.
Imunitas aktif mungkin bisa dihasilkan karena infeksi pada anak yang punya imunitas dan yang
terinfeksi oleh strain dengan virulensi rendah. Individu yang punya kekebalan baik mungkin bisa
sebagai tempat berdiamnya organisme selama beberapa minggu sampai beberapa
bulan.meningkatnya kasus difteri pada orang dewasa diperkirakan karena tidak mendapatkan
boster imunisasi.1

Penyulit

1. Obstruksi jalan nafas


Disebabkan oleh karena tertutup jalan nafas oleh membran diphtheria atau oleh
karena edema pada tonsil, faring, daerah sub mandibular dan cervical.
2. Efek toksin
Penyulit pada jantung berupa miokardioopati toksik bisa terjadi pada minggu ke dua,
tetapi bisa lebih dini (minggu pertama) atau lebih lambat (minggu ke enam).
Manifestasinya bisa berupa takhikardi, suara jantung redup, bising jantung, atau
aritmia. Bisa pula terjadi gagal jantung. Penyulit pada saraf (neuropati) biasanya
terjadi lambat, bersifat bilateral, terutama mengenai saraf motorik dan sembuh
sempurna. Kelumpuhan pada palatum molle pada minggu ke-3, suara menjadi
sengau, terjadi regurgitasi nasal, kesukaran menelan. Paralisis otot mata biasanya
pada minggu ke-5, meskipun dapat terjadi antara minggu ke-5 dan ke-7. Paralisa
ekstremitas bersifat bilateral dan simetris disertai hilangnya deep tendon reflexes,
peningkatan kadar protein dalam liquor cerebrospinalis. Bila terjadi kelumpuhan
pada pusat vasomotor dapat terjadi hipotensi dan gagal jantung.
3. Infeksi sekunder dengan bakteri lain
4. Setelah penggunaan antibiotika secara luas, penyulit ini sudah sangat jarang.1
1.Hendro R., Kambang Sariadji. Corynebacterium Diphteriae. Penerbit Yayasan Pustaka Obor
Indonesia. Jakarta: 2014

2. Adams, GL. Penyakit-penyakit Nasfaring dan Orofaring. Dalam: BOIES Buku Ajar Penyakit
THT (Fundamentals of Otolaryngology), edisi enam. EGC : Jakarta. 1997

Anda mungkin juga menyukai