Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

Herpes genitalis adalah penyakit menular seksual dengan prevalensi yang tinggi di
berbagai negara dan penyebab terbanyak penyakit ulkus genitalis. Infeksi herpes genitalis
adalah infeksi genitalia yang disebabkan oleh virus herpes simpleks (HSV) terutama HSV
tipe II. Dapat juga disebabkan oleh HSV tipe I pada 10-40% kasus. Sebagian besar terjadi
setelah kontak seksual secara orogenital.1,3

Infeksi akut yang disebabkan oleh virus herpes simpleks tipe I atau tipe II yang
ditandai oleh adanya vesikel yang berkelompok di atas kulit yang sembab dan eritematosa
pada daerah dekat mukokutan, sedangkan infeksi dapat berlangsung baik primer maupun
rekurens. Penyakit yang disebabkan oleh virus herpes simpleks dikenal dengan sebutan fever
blister, cold sore, herpes febrilis, herpes labialis, atau herpes progenitalis (genitalis). 1

Herpes simpleks berkenaan dengan sekelompok virus yang menulari manusia. Serupa
dengan herpes zooster, herpes simpleks menyebabkan luka-luka yang sangat sakit pada kulit.
Gejala pertama biasanya gatal-gatal dan kesemutan/perasaan geli, diikuti dengan lepuh yang
membuka dan menjadi sangat sakit. Infeksi ini dapat dorman (tidak aktif) dalam sel saraf
selama beberapa waktu namun tiba-tiba infeksi menjadi aktif kembali. 3,4

Herpes genitalis yang mana merupakan salah satu penyakit menular seksual dapat
diterapi dengan antivirus pilihan. Akan tetapi antivirus hanya memperingan gejala dan hanya
menunda kekambuhan. Kebanyakan individu mengalami gangguan psikologi dan psikososial
sebagai akibat dari nyeri yang timbul serta gejala lain yang menyertai ketika terjadi infeksi
aktif. Oleh karena penyakit herpes genital tidak dapat disembuhkan serta bersifat kambuh-
kambuhan, maka terapi sekarang difokuskan untuk meringankan gejala yang timbul,
menjarangkan kekambuhan, serta menekan angka penularan sehingga diharapkan kualitas
1.3
hidup dari pasien menjadi lebih baik setelah dilakukan penanganan dengan tepat. Pada
referat ini akan dijelaskan penanganan dan pencegahan dari penyakit herpes simpleks
genitalis, khususnya patofisiologi virus ini, dengan harapan dapat memberikan pengetahuan
kepada masyarakat untuk mengobati gejala klinis dengan tepat agar pasien-pasien yang sudah
terkena penyakit ini lebih cepat sembuh atau setidaknya mencegah penyakit ini menyebar
luas di masyarakat.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Definisi

Herpes genitalis adalah infeksi menular seksual umum yang mempengaruhi baik pria
maupun wanita. Fitur herpes genital termasuk rasa sakit, gatal dan luka di daerah genital.
Tetapi orang-orang banyak yang terinfeksi tidak memiliki tanda-tanda atau gejala herpes
genitalis. Orang yang terinfeksi dapat menular, bahkan jika ia tidak memiliki luka yang dapat
dilihat. 3,4

Herpes genitalis disebabkan oleh virus herpes simpleks (HSV). Kontak seksual
merupakan cara utama yang menyebarkan virus. Setelah infeksi awal, virus tertidur dalam
tubuh dan dapat aktif kembali beberapa kali dalam setahun.

Tidak ada obat untuk herpes genitalis, tapi obat-obatan dapat mengurangi gejala dan
mengurangi risiko menulari orang lain. Kondom juga dapat membantu mencegah penularan
virus. 1,3

II.2. Epidemiologi

Penyakit ini tersebar kosmopolit dan menyerang baik pria maupun wanita dengan
frekuensi yang tidak begitu berbeda. Infeksi primer oleh virus herpes simpleks (HSV) tipe I
biasanya dimulai pada usia anak-anak, sedangkan infeksi HSV tipe II biasanya terjadi pada
dekade II atau III, dan berhubungan dengan peningkatan aktifitas seksual. Antibodi terhadap
HSV-1 meningkat dengan usia dimulai pada masa kanak-kanak dan berkorelasi dengan status
sosial ekonomi, ras, dan kelompok budaya. Pada usia 30 tahun, 50% dari individu dalam
status sosial ekonomi tinggi dan 80% dalam status sosial ekonomi lebih rendah ditemukan
seropositif. Antibodi terhadap HSV-2 mulai muncul pada masa pubertas, berhubungan
dengan tingkat aktivitas seksual. Survei kesehatan terbaru nasional yang dilakukan di
Amerika Serikat mengungkapkan prevalensi antibodi HSV-2 dalam 45% dari ras kulit hitam,
22% dari ras Meksiko-Amerika, dan 17% dari ras kulit putih.5 Secara keseluruhan, angka
kematian yang terkait dengan infeksi herpes simpleks berhubungan dengan 3 situasi: infeksi
perinatal, ensefalitis, dan infeksi pada host immunocompromised.

2
II.3. Etiologi

Dua jenis infeksi virus herpes simpleks dapat menyebabkan herpes genitalis:1,2,3

 HSV-1. Ini adalah jenis yang biasanya menyebabkan luka atau vesikel meradang di
sekitar mulut, meskipun dapat menyebar ke area genital selama seks oral.
 HSV-2. Ini adalah jenis yang biasanya menyebabkan herpes genitalis. Virus menyebar
melalui kontak seksual dan kulit-ke-kulit. HSV-2 adalah sangat umum dan sangat
menular, apakah ada atau tidak memiliki luka terbuka.

Karena virus mati dengan cepat di luar tubuh, hampir tidak mungkin untuk
mendapatkan infeksi melalui kontak dengan toilet, handuk atau benda lain yang digunakan
oleh orang yang terinfeksi.

II.4. Patogenesis

HSV (baik tipe 1 dan 2) masuk ke famili Herpesviridae dan ke subfamili


Alphaherpesvirinae. Virus ini adalah virus DNA beruntai ganda ditandai dengan sifat biologis
yang unik berikut:2

 Neurovirulensi (kemampuan untuk menyerang dan bereplikasi dalam sistem saraf).


 Latensi (pembentukan dan pemeliharaan infeksi laten di ganglia sel saraf proksimal
dari lokasi infeksi): Pada infeksi HSV orofacial, ganglia trigeminal yang paling
sering terlibat, sementara, pada infeksi HSV genital, akar ganglia saraf sacral (S2- S5)
yang terlibat.
 Reaktivasi: Reaktivasi dan replikasi HSV laten, selalu di daerah yang dipersarafi oleh
ganglia di mana tempat virus latensi, dapat disebabkan oleh berbagai rangsangan
(misalnya, demam, trauma, stres emosional, sinar matahari, menstruasi), sehingga
berakibat infeksi berulang yang jelas atau samar-samar dan kemunculan kembali
HSV. Pada orang imunokompeten yang berada pada risiko yang sama tertular HSV-1
dan HSV-2 baik secara oral dan genital, HSV-1 reaktifasi lebih sering oral daripada
daerah genital. Demikian pula, HSV-2 mengaktifkan kembali 8-10 kali lebih umum di
daerah genital daripada di daerah orolabial. Reaktivasi lebih umum dan parah pada
individu immunocompromised.

3
Penyebaran infeksi herpes simpleks dapat terjadi pada orang dengan gangguan
imunitas sel T, seperti di penerima transplantasi organ dan pada individu dengan AIDS.
HSV tersebar di seluruh dunia. Manusia adalah satu-satunya reservoir alami, dan tidak ada
vektor yang terlibat dalam transmisi. Endemisitas mudah bertahan dalam masyarakat manusia
karena adanya infeksi laten, reaktivasi periodik, dan virus yang muncul tanpa gejala.
HSV ditularkan melalui kontak pribadi yang dekat, dan infeksi terjadi melalui inokulasi virus
ke permukaan mukosa rentan (misalnya, orofaring, serviks, konjungtiva) atau melalui celah-
celah kecil di kulit. Virus ini mudah dilemahkan pada suhu kamar dan dengan pengeringan,
maka, penyebaran secara aerosol dan fomitik jarang terjadi.

Gambar II.1. Patogenesis infeksi herpes.6

II.5. Gambaran Klinis

Infeksi HSV berlangsung dalam 3 tingkat, yaitu:1

1. Infeksi primer
2. Fase laten
3. Infeksi rekurens

4
Infeksi primer

Tempat predileksi HSV tipe I di daerah pinggang ke atas terutama di daerah mulut
dan hidung, biasanya dimulai pada usia anak-anak. Inokulasi dapat terjadi secara kebetulan,
misalnya kontak kulit pada perawat, dokter gigi, atau pada orang yang sering menggigit jari
(herpetic Whitlow). Virus ini juga sebagai penyebab herpes ensefalitis. Infeksi primer oleh
HSV tipe II mempunyai tempat predileksi di daerah pinggang ke bawah, terutama di daerah
genital, juga dapat menyebabkan herpes meningitis dan infeksi neonatus.

Daerah predileksi ini sering kacau karena adanya cara hubungan seksual seperti
orogenital, sehingga herpes yang terdapat di daerah genital kadang-kadang disebabkan oleh
HSV tipe I sedangkan di daerah mulut dan rongga mulut dapat disebabkan HSV tipe II.1,3

Infeksi primer berlangsung lebih lama dan lebih berat, kira-kira 3 minggu dan sering
disertai gejala sistemik, misalnya demam, malaise, dan anoreksia, dan dapat ditemukan
pembengkakan kelenjar getah bening regional.

Kelainan klinis yang dijumpai berupa vesikel yang berkelompok di atas kulit yang
sembab dan eritematosa, berisi cairan jernih dan kemudian menjadi seropurulen, dapat
menjadi krusta dan kadang-kadang mengalami ulserasi yang dangkal, biasanya sembuh tanpa
sikatriks. Pada perabaan tidak terdapat indurasi. Kadang-kadang dapat timbul infeksi
sekunder sehingga memberi gambaran yang tidak jelas. Umumnya didapati pada orang yang
kekurangan antibodi virus herpes simpleks. Pada wanita ada laporan yang mengatakan bahwa
80% infeksi VHS pada genitalia eksterna disertai infeksi pada serviks.

5
Gambar II.2. Progresifitas lesi pada infeksi herpes.6

6
Gambar II.3. Herpes genitalis infeksi primer pada penis dan vulva.7

Fase laten

Fase ini berarti pada penderita tidak ditemukan gejala klinis, tetapi HSV dapat
ditemukan dalam keadaan tidak aktif pada ganglion dorsalis.

Infeksi rekurens

Infeksi ini berarti HSV pada ganglion dorsalis yang dalam keadaan tidak aktif, dengan
mekanisme pacu menjadi aktif dan mencapai kulit sehingga menmbulkan gejala klinis.
Mekanisme pacu itu dapat berupa trauma fisik (demam, infeksi, kurang tidur, hubungan
seksual, dan sebagainya), trauma psikis (gangguan emosional, menstruasi), dan dapat pula
timbul akibat jenis makanan dan minuman yang merangsang.

Gejala klinis yang timbul lebih ringan daripada infeksi primer dan berlangsung kira-
kira 7-10 hari. Sering ditemukan gejala prodromal lokal sebelum timbul vesikel berupa rasa
panas, gatal, dan nyeri. Infeksi rekurens ini dapat timbul pada tempat yang sama (loco) atau
tempat lain/tempat di sekitarnya (non loco).

7
Gambar II.4. Herpes genitalis infeksi rekuren pada penis dan vulva.7

II.6. Diagnosis Banding

Pada daerah genitalia harus dibedakan dengan ulkus durum, ulkus mole, dan ulkus
mikstum, maupun ulkus yang mendahului penyakit limfogranuloma venereum.1

Tabel II.1. Diagnosis Banding Herpes Genitalis.


Ulkus pd Ulkus Durum Ulkus Molle Ulkus pada
Herpes (Sifilis) LGV
Genitalis
Ulkus/lesi primer
Jumlah >1, Soliter >1 Soliter
Tanda radang berkelompok - >> -
Eritema + - + -
Nyeri tekan + - + -
Bersih/kotor + Bersih Pus, kotor -
Tepi/dinding Serum vesikel Tidak Bergaung -
Indurasi Tidak bergaung - -
bergaung +
-
KGB regional
Tanda radang +/- - >> +
+/- + + +
Bengkak/tumor - - + +
Periadenitis - - +, serentak +, tidak
Supurasi + + + serentak
Lesi primer Berkurang atau
hilang
Pemeriksaan
penunjang Tzanck test: Mikroskop basil berkelompok
Sediaan hapus sel datia lapangan / berantai
berinti banyak gelap: +, Mikroskop

8
warna putih lapangan gelap: -
pada latar - -
TSS - belakang
gelap
Kultur bakteri, tes Tes Frei, tes
Pemeriksaan lain Kultur virus, VDRL: antibodi ikatan
tes antibodi, +(>=1/4) imunofluoresens, komplemen
tes DNA HSV TPHA: + biopsi, tes Ito-
FTA Abs: IgG Reenstierna,
+, IgM + autoinokulasi
Rontgen
tulang dan
thorax, LCS
Terapi Antivirus: Antibiotik: Antibiotik: Antibiotik:
asiklovir penisilin sulfonamid kotrimoksazol
(pilihan), (pilihan), (pilihan), (pilihan),
valasiklovir, tetrasiklin, streptomisin, tetrasiklin
famsiklovir sefalosporin, kanamisin,
azitromisin eritromisin,
kuinolon

Gambar II.5. Ulkus durum (sifilis stadium I). Erosi, jika diraba terdapat indurasi, tidak nyeri.

Gambar II.6. Ulkus molle. Ulkus multipel, pinggirnya polisiklik, dindingnya bergaung.

9
Gambar II.7. Limfogranuloma venereum (sindrom inguinal). Pasien biasanya datang dengan keluhan
sindrom inguinal.

II.7. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium tertentu untuk menunjang diagnosis:1,2,3,6,8

 Tzanck test. Pada percobaan Tzanck dengan pewarnaan Giemsa dapat ditemukan sel
datia berinti banyak dan badan inklusi intranuklear. Pemeriksaan ini berguna untuk
diagnosis cepat (biasanya dalam 1 jam). Tes ini tidak dapat membedakan HSV-1 dan
HSV-2. 2
 Pemeriksaan mikroskop elektron.

Gambar II.8. Virus herpes dalam pemeriksaan mikroskop elektron.6


 Pemeriksaan antibodi poliklonal dengan cara imunofluoresensi, imunoperoksidase,
dan ELISA. Titer antibodi tidak meningkat saat terjadi infeksi rekuren sehingga tidak
bisa untuk diagnosis HSV rekuren.2
 Kultur virus. Tes ini melibatkan mengambil sampel jaringan atau kerokan dari luka
untuk pemeriksaan di laboratorium. Tes ini merupakan kriteria standar untuk

10
diagnosis. Tes ini dapat menghasilkan hasil positif dalam waktu 48 jam inokulasi.
Dapat diberi pewarnaan imunofluoresensi untuk membedakan HSV-1 dan HSV-2.2
 Tes DNA HSV. Contoh darah, jaringan luka atau cairan tulang belakang dapat dites
untuk menetapkan keberadaan HSV dan menentukan jenis HSV. Pemeriksaan
dilakukan dengan teknik PCR. Diagnosis cepat untuk ensefalitis HSV.2

II.8. Penatalaksanaan

Tidak ada obat untuk herpes genitalis. Sampai saat ini belum ada terapi yang
memberikan penyembuhan radikal, artinya tidak ada pengobatan yang mencegah episode
rekurens secara tuntas.1,3 Apabila lesi basah karena cairan vesikel dapat dikompres terlebih
dahulu. Pengobatan dengan obat antivirus dapat:3

 Membantu luka sembuh lebih cepat selama infeksi awal


 Mengurangi keparahan dan durasi gejala pada infeksi berulang
 Mengurangi frekuensi kekambuhan
 Meminimalkan kemungkinan penularan virus herpes ke orang lain

Obat antivirus yang digunakan untuk herpes genitalis meliputi:1,2,3

 Idoksuridin. Pada lesi yang dini dapat digunakan obat topikal berupa salap/krim yang
mengandung preparat idoksuridin (stoxil, viruguent, virunguent-P) dengan cara
aplikasi, yang sering dengan interval beberapa jam. Analog timidin, dimasukkan ke
dalam DNA virus menggantikan timidin mengakibatkan cacat sintesis DNA &
akhirnya penghambatan replikasi virus. Juga menghambat timidilat fosforilase.1,2
 Acyclovir (Zovirax). Analog nukleosida purin sintetik dengan aktivitas terhadap
sejumlah herpesvirus, termasuk herpes simplex dan varicella-zoster. Sangat selektif
untuk sel yang terinfeksi virus karena afinitas tinggi untuk enzim timidin kinase virus.
Efek ini berfungsi untuk memusatkan monofosfat asiklovir dalam sel yang terinfeksi
virus. Monofosfat kemudian dimetabolisme menjadi bentuk trifosfat aktif oleh kinase
seluler. Molekul ini menginhibisi polimerase HSV dengan 30-50 kali potensi
polimerase DNA alpha manusia.
Preparat asiklovir yang dipakai secara topikal tampaknya memberikan masa depan
yang lebih cerah dibanding idoksuridin. Klinis hanya bermanfaat bila penyakit sedang

11
aktif. Dosis ganda disarankan untuk herpes simpleks infeksi proktitis atau okular.
Infeksi pada mata dapat juga diobati dengan asiklovir topikal.

Pengobatan infeksi primer: 200 mg per oral setiap 4 jam (5 kali / hari) selama 7-10
hari, atau 400 mg per oral 3 kali / hari selama 5-10 hari.
Terapi intermiten untuk rekurensi: 200 mg per oral setiap 4 jam (5 kali / hari) selama
5 hari, dimulai di awal tanda atau gejala rekurensi.
Supresi untuk rekurensi (bila rekuren >8 kali / tahun): 400 mg per oral 2 kali / hari
sampai 12 bulan, regimen alternatif berkisar dari 200 mg 3 kali / hari sampai 200 mg
5 kali / hari.
Ensefalitis HSV: 10-15 mg/kgBB intravena setiap 8 jam selama 14-21 hari.
 Famsiklovir (Famvir). Prodrug yang ketika berbiotransformasi menjadi metabolit
aktif, penciclovir, dapat menghambat sintesis / replikasi DNA virus. Digunakan untuk
melawan virus herpes simpleks dan varicella-zoster. Diindikasikan untuk pengobatan
episode rekuren atau terapi supresif dari herpes genital pada orang dewasa
imunokompeten.
Pengobatan episode rekuren: 1000 mg per oral 2 kali / hari selama 1 hari, dimulai
dalam waktu 6 jam dari onset gejala atau lesi.
Terapi supresif: 250 mg per oral 2 kali / hari sampai 1 tahun.
Pengobatan episode primer (off-label): 250 mg per oral 3 kali / hari selama 5-10 hari
 Valacyclovir (Valtrex). Prodrug yang cepat dikonversi ke obat aktif asiklovir. Lebih
mahal namun memiliki regimen dosis lebih nyaman dibandingkan asiklovir.
Episode primer:
 1 g per oral setiap 12 jam selama 10 hari
 CrCl 10-29 mL / menit: 1 g per oral per hari
 CrCl <10 mL / menit: 500 mg per oral per hari
Episode rekuren:
 500 mg setiap 12 jam selama 3 hari (tidak ada data tentang kemanjuran jika
mulai> 24 jam)
 CrCl <30 mL / menit: 500 mg per oral per hari
Supresi, imunokompeten:
 1 g per oral per hari
 CrCl <30 mL / menit: 500 mg per oral per hari

12
Supresi, imunokompeten dan 9 atau kurang rekurensi per tahun:
 500 mg per oral per hari
 CrCl <30 mL / menit: 500 mg per oral setiap 48 jam
Pengurangan transmisi, sumber pasangan : 500 mg per oral per hari

Obat diberikan bila mengalami gejala infeksi. Dapat juga minum obat setiap hari,
bahkan ketika tidak mengalami tanda-tanda infeksi, untuk meminimalkan peluang infeksi
berulang. Pasien yang mengalami komplikasi berat mungkin perlu dirawat di rumah sakit,
sehingga mereka dapat menerima obat antiviral intravena.

Untuk mencegah rekurens macam-macam usaha dapat dilakukan dengan tujuan


meningkatkan imunitas seluler, misalnya pemberian preparat lupidon H (untuk VHS tipe I)
dan lupidon G (untuk VHS tipe II) dalam satu seri pengobatan. Pemberian levamisol dan
isoprinosin atau asiklovir secara berkala menurut beberapa peneliti memberikan hasil yang
baik. Efek levamisol dan isoprinosin ialah sebagai imunostimulator. Pemberian vaksinasi
cacar sekarang sudah tidak dianut lagi.1

II.9. Pencegahan

Saran untuk mencegah herpes genitalis adalah sama seperti untuk mencegah infeksi
menular seksual lainnya. Kuncinya adalah untuk menghindari terinfeksi dengan HSV, yang
sangat menular sementara lesi timbul. Cara terbaik untuk mencegah infeksi adalah untuk
menjauhkan diri dari aktivitas seksual atau membatasi hubungan seksual hanya untuk satu
orang yang bebas infeksi. Edukasi yang dapat diberikan antara lain:3

 Gunakan kondom lateks selama setiap kontak seksual


 Batasi jumlah pasangan seks
 Hindari hubungan seksual jika salah satu pasangan memiliki herpes di daerah genital
atau tempat lain

II.10. Komplikasi

Komplikasi yang terkait dengan herpes genitalis dapat meliputi:3

 Infeksi menular seksual lainnya. Memiliki luka genitalis meningkatkan risiko


penularan atau tertular infeksi menular seksual lainnya, termasuk virus AIDS.

13
 Infeksi TORCH dan infeksi bayi baru lahir. Bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi
dapat terkena virus selama proses kehamilan dan kelahiran. Selama hamil, dapat
menyebabkan kelainan seperti infeksi TORCH lain, sepertio mikrosefali,
mikroftalmia, kalsifikasi intrakranial, dan korioretinitis. Hal ini dapat menyebabkan
kerusakan otak, kebutaan atau kematian bagi bayi yang baru lahir.1,2,3,4,9

 Masalah kandung kemih. Dalam beberapa kasus, luka yang berhubungan dengan
herpes genitalis dapat menyebabkan peradangan di sekitar uretra, pipa yang

mengalirkan urin dari kandung kemih ke dunia luar. Pembengkakan dapat menutup
uretra selama beberapa hari, membutuhkan pemasangan kateter untuk menguras
kandung kemih .
 Meningitis. Dalam kasus yang jarang, infeksi HSV menyebabkan radang selaput dan
cairan serebrospinal di sekitar otak dan sumsum tulang belakang.
 Inflamasi rektal (proktitis). Herpes genitalis dapat menyebabkan peradangan pada
lapisan rektum, terutama pada pria yang berhubungan seks dengan laki-laki.

II.11. Prognosis

Selama pencegahan rekurens masih merupakan problem, hal tersebut secara


psikologik akan memberatkan penderita. Pengobatan secara dini dan tepat akan memberi
prognosis yang lebih baik, yakni masa penyakit berlangsung lebih singkat dan rekurensi lebih
jarang.1

Pada orang dengan gangguan imunitas, misalnya pada penyakit-penyakit dengan


tumor di sistem retikuloendotelial, pengobatan dengan imunosupresan yang lama atau fisik
yang sangat lemah, menyebabkan infeksi ini dapat menyebar ke alat-alat dalam dan dapat
fatal. Prognosis akan lebih baik seiring dengan meningkatnya usia seperti pada orang
dewasa.1

14
BAB III

RINGKASAN

Herpes genitalis adalah infeksi menular seksual di daerah genital yang disebabkan
oleh HSV-1 maupun HSV-2. HSV-1 menyerang orofasial dan HSV-2 menyerang genital.
Gejala-gejalanya antara lain nyeri, gatal, dan luka di daerah genital, tetapi banyak yang tidak
menunjukkan gejala. Infeksi ini menyerang lebih sering pada pasien yang aktif secara
seksual, kematian dipengaruhi infeksi perinatal, infeksi SSP, dan infeksi pada orang
immunocompromised.

Herpes genitalis dibagi menjadi 3 fase yaitu, infeksi primer, fase laten, dan infeksi
rekuren. Infeksi primer berlangsung lebih lama dan lebih berat, kira-kira 3 minggu dan sering
disertai gejala sistemik, (demam, malaise, dan anoreksia, pembengkakan kelenjar getah
bening regional). Kelainan klinis berupa vesikel yang berkelompok di atas kulit yang sembab
dan eritematosa, berisi cairan jernih kemudian seropurulen, menjadi krusta dan mengalami
ulserasi yang dangkal, biasanya sembuh tanpa sikatriks, dan juga tidak terdapat indurasi, serta
dapat timbul infeksi sekunder.

Infeksi rekuren lebih ringan daripada infeksi primer selama 7-10 hari, ada faktor
pemicu, dapat di tempat yang sama atau tempat lain. Pemeriksaan penunjangnya antara lain
dengan Tzanck test, mikroskop elektron, tes antibodi, kultur virus, dan tes DNA HSV. Tidak
ada pengobatan herpes genitalis yang mencegah rekurensi secara tuntas. Penatalaksanaan
dengan antivirus hanya mempersingkat masa penyakit dan menunda fase rekurens.

Pencegahan dengan membatasi pasangan seksual, memakai kondom, dan antivirus


untuk mencegah infeksi rekuren. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain infeksi menular
seksual lainnya, infeksi perinatal, masalah kandung kemih, meningitis atau infeksi SSP
lainnya, dan infeksi rektum. Pengobatan secara dini dan tepat akan memberi prognosis yang
lebih baik, yakni masa penyakit berlangsung lebih singkat dan rekurensi lebih jarang.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Handoko RP. Herpes Simpleks. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu


Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Ke-5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2008. Hal.
381-3.
2. Salvaggio MR, Lutwick LI, Seenivasan M, et al. Herpes Simplex. Terakhir
diperbarui: 5 Januari 2012. Diakses: 1 Januari 2013. Tersedia di:
http://emedicine.medscape.com/article/218580-overview.
3. Mayo Clinic. Genital Herpes. Terakhir diperbarui: 21 Mei 2012. Diakses: 1 Januari
2013. Tersedia di: http://www.mayoclinic.com/health/genital-herpes/DS00179.
4. Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T, et al. Herpes Genitalis. Dalam:
Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T, et al. Ilmu Kandungan. Jakarta: Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2008. Hal 273-4.
5. Fleming DT, McQuillan GM, Johnson RE, et al. Herpes simplex virus type 2 in the
United States, 1976 to 1994. N Engl J Med. Oct 16 1997;337(16):1105-11.
6. Richwald GA, Warren TJ. The Diagnosis and Management of Genital Herpes: The
Silent Epidemic. Terakhir diperbarui: 8 Mei 2002. Diakses: 1 Januari 2013. Tersedia
di: http://www.medscape.org/viewarticle/439752.
7. Marques AR, Straus SE. Herpes Simplex. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, et al.
Fitzpatrick’s Dermatology Ini General Medicine. Seventh Edition. USA: McGraw
Hill Companies Inc.; 2008. Hal. 1873-84.
8. Fitzpatrick TB, Johnson RA, Wolff K, et al. Herpes Simplex. In: Fitzpatrick TB,
Johnson RA, Wolff K, et al. Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology. Third
Edition. USA: McGraw Hill Companies Inc.: 1997.
9. Ural SH, Peng TCC. Genital Herpes in Pregnancy. Terakhir diperbarui: 11 Oktober
2011. Diakses: 1 Januari 2013. Tersedia di: http://emedicine.medscape.com/
article/274874-overview.

16

Anda mungkin juga menyukai