Anda di halaman 1dari 28

ASUHAN KEPERAWATAN MATERNITAS

TENTANG

HERPES GENITALIS

Disusun Oleh

Thetiya Cica Yudo

462011047

UNIVESITAS KRISTEN SATYA WACANA


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDY ILMU KEPERAWATAN
2014
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Herpes adalah salah satu penyakit menular seksual yang paling umum.
Diperkirakan bahwa satu dari setiap lima remaja akan terinfeksi oleh penyakit ini.
Penelitian telah menunjukkan bahwa wanita lebih rentan untuk tertular infeksi ini
daripada pria. Hal ini akan merusak penyakit alat kelamin atau anus baik laki-laki
dan perempuan yang terinfeksi.
Herpes genital merupakan salah satu penyakit menular seksual yang sering
ditemui dan telah berhasil mempengaruhi kehidupan jutaan pasien beserta
pasangannya. Kebanyakan individu mengalami gangguan psikologi dan psikososial
sebagai akibat dari nyeri yang timbul serta gejala lain yang menyertai ketika terjadi
infeksi aktif. Oleh karena penyakit herpes genital tidak dapat disembuhkan serta
bersifat kambuh-kambuhan, maka terapi sekarang difokuskan untuk meringankan
gejala yang timbul, menjarangkan kekambuhan, serta menekan angka penularan
sehingga diharapkan kualitas hidup dari pasien menjadi lebih baik setelah dilakukan
penanganan dengan tepat.
Ini adalah penyakit menular yang disebabkan oleh penularan virus yang disebut
Herpes Simplex Virus (HSV). Virus ini akan ditularkan selama hubungan intim atau
selama kontak antara kedua alat kelamin pria dan wanita. Genital herpes
membuktikan bahwa penyakit ini terutama mulut mempengaruhi organ dan alat
kelamin HSV 1 mempengaruhi bibir berupa lepuh dan luka dingin, sedangkan HSV
2 menginfeksi alat kelamin manusia.
Wanita hamil terkeserang herpes bayi mempunyai risiko tinggi tertular. Virus
dapat ditularkan kepada janin melalui placenta selama kehamilan atau selama
persalinan vaginal. Pada infeksi selama kehamilan dapat meningkatkan risiko
keguguran, ketuban penurunan pertumbuhan. Sekitar 30-50% bayi yang lahir
melalui vagina dengan seorang ibu yang terinfeksi virus herpes. Bayi yang
dilahirkan perempuan mengalami serangan pada saat lahir, satu sampai empat
persen menjadi terinfeksi dengan herpes-simplex virus.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Definisi
Herpes merupakan erupsi vasikular yang disebabkan oleh infeksi virus
herpes simpleks. Sedangkan herpes genital merupakan infeksi organ genitalia
oleh virus herpes simpleks (HSV), ini merupakan penyakit hubungan seksual
yang infeksinya dapat berlangsung baik primer maupun rekurens (Hinchliff,
1999:207).
Penyakit herpes genitalis disebabkan oleh HSV anggota keluarga
herpesviridae. Saat ini telah dikenal dua tipe HSV yaitu HSV-1 dan HSV-2.
Herpes Genitalis dapat disebabkan oleh kedua HSV tersebut namun biasanya
lebih sering dikaitkan dengan HSV-2. Pada HSV-2 ini yang sering menimbulkan
infeksi genital serta lesi (lepuh) dibawah pinggang (Prasetyo, 2005:13).

2.2. Etiologi
Kelompok virus herpes sebagian besar terdiri dari virus DNA. Melakukan
replikasi secara intranuklear dan menghasilkan inklusi intranuklear khas yang
terdeteksi dalam preparat pewarnaan. HSV-1 dan HSV-2 adalah virus lipid-
enveloped double-stranded DNA yang termasuk dalam famili Herpesviridae.
Bagian inti sentral terdapat DNA virus dan dikelilingi oleh envelope yang terdiri dari
glikoprotein virus, membrane sel host, dan sebuah capsid. Tegumen terletak di
antara capsid dan envelope dan berbagai macam protein lain yang di bawah
masuk ke dalam sel yang terinfeksi saat terjadinya fusi. Replika virus herpes di
regulasi secara hati-hati melalui proses yang bertahap. Sesaat setelah infeksi,
terjadi transkrip dari 5 buah gen. yang di kode oleh gen tersebut menstimulasi
sintesis dari protein lain yang dibutuhkan untuk replikasi genom. Stelah terjadi
replikasi DNA, terjadi ekspresi dari gen HSV-2 yang berfungsi untuk mengkode
komponen structural dari virion.
Dua jenis infeksi virus herpes simpleks dapat menyebabkan herpes
genitalis yaitu sebagai berikut.
a. HSV-1. Ini adalah jenis yang biasanya menyebabkan luka atau vesikel
meradang di sekitar mulut, meskipun dapat menyebar ke area genital selama
seks oral.
b. HSV-2. Ini adalah jenis yang biasanya menyebabkan herpes genitalis. Virus
menyebar melalui kontak seksual dan kulit-ke-kulit. HSV-2 adalah sangat
umum dan sangat menular, apakah ada atau tidak memiliki luka terbuka.
HSV-2 tampak sebagai penyebab sekitar 80% dari lesi parineal dan genital
sedangkan HSV-1 dapat menyebabkan hanya sekitar 20% nya (Smeltzer dan
Bare, 1997:1543 ).
Terdapat tumpang tindih yang cukup besar antara HSV-1 dan HSV-2, yang
secara klinis tidak dapat dibedakan. HSV-1 Kontak manusia melalui mulut,
orofaring, permukaan mukosa, vagina, dan serviks tampak merupakan sumber
penting untuk tertular penyakit. Tempat lain yang rentan adalah laserasi pada kulit
dan konjungtiva. Biasanya virus mati pada ruangan akibat kekeringan. Saat
replikasi virus tidak terjadi , virus naik ke saraf sensori perifer dan tetap tidak aktif
dan ganglia saraf. Wabah lain terjadi ketika hospes menderita stres. Pada wanita
hamil dengan herpes aktif, bayi yang dilahirkan pervagina dapat terinfeksi oleh
virus. Terdapat resiko morbiditas dan mortalitas janin jika terjadi, karenanya seksio
sesarea mungkin dilakukan jika virus menjadi kambuh mendekati waktu
melahirkan (Smeltzer dan Bare, 1997:1543 ).
Karena virus mati dengan cepat di luar tubuh, hampir tidak mungkin untuk
mendapatkan infeksi melalui kontak dengan toilet, handuk atau benda lain yang
digunakan oleh orang yang terinfeksi

2.3. Epidemiologi
Penyakit ini tersebar kosmopolit dan menyerang baik pria maupun wanita
dengan frekuensi yang tidak begitu berbeda. Infeksi primer oleh virus herpes
simpleks (HSV) tipe I biasanya dimulai pada usia anak-anak, sedangkan infeksi
HSV tipe II biasanya terjadi pada dekade II atau III, dan berhubungan dengan
peningkatan aktifitas seksual. Antibodi terhadap HSV-1 meningkat dengan usia
dimulai pada masa kanak-kanak dan berkorelasi dengan status sosial ekonomi,
ras, dan kelompok budaya. Pada usia 30 tahun, 50% dari individu dalam status
sosial ekonomi tinggi dan 80% dalam status sosial ekonomi lebih rendah
ditemukan seropositif. Antibodi terhadap HSV-2 mulai muncul pada masa
pubertas, berhubungan dengan tingkat aktivitas seksual. Survei kesehatan terbaru
nasional yang dilakukan di Amerika Serikat mengungkapkan prevalensi antibodi
HSV-2 dalam 45% dari ras kulit hitam, 22% dari ras Meksiko-Amerika, dan 17%
dari ras kulit putih. Secara keseluruhan, angka kematian yang terkait dengan
infeksi herpes simpleks berhubungan dengan 3 situasi: infeksi perinatal,
ensefalitis, dan infeksi pada Hots immunocompromised
Infeksi virus herpes genitalis tidak hanya ditularkan melalui hubungan
seksual tetapi juga dapat ditularkan secara aseksual dari permukaan yang basah
atau melalui penularan mandiri (yaitu dengan menyentuh luka dingin dan
kemudian menyentuh area genital). Infeksi awal sangat nyeri dan berlangsung
selama satu minggu. (Smeltzer dan Bare, 1997:1543).
Secara umum resiko mendapatkan infeksi herpes genitalis dapat
dihubungkan dengan beberapa hal seperti, keaktifan seksual yang bertambah,
umur muda pada saat pertama kali melakukan seks, kenaikkan umur penderita,
bertambahnya jumlah partner seks secara bermakna, serta status imun penderita
(Dailli via Dailli dan Makes, 2002:90).
Makes via Dailli dan Makes (2002:75) pun menjelaskan lebih terperinci
mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kemudahan terinfeksinya HSV-2 di
antaranya yaitu umur, asal usul etnis, status sosio ekonomi atau tingkat
pendidikan, jenis kelamin, variasi geografis, status serologi HSV-1, dan perilaku
seksual seperti yang telah dijabarkan oleh Dailli. Dilihat dari perbedaan ras di
Baltimore ternyata wanita penderita kulit hitam lebih banyak dari kulit putih yakni,
kulit hitam berkisar 55% sedangkan kulit putih hanya 20% saja (Dailli via Dailli
dan Makes, 2002:90)
Pada wanita, gejala herpes genitalis adalah adanya lesi hipertik yang khas
pada leher rahim, vulva, vagina, dan kulit antara anus dan vagina. Lesi terasa
nyeri, dapat disertai demamyeri, badan terasa lemas, nyeri pada waktu buang air
kecil, dan pembesaran kelenjar limfe di daerah pangkal paha. Setelah terjadi lesi
tersebut HSV kemudian akan menetap seumur hidup di dalam tubuh penderita
dan dapat kambuh kembali bila ada faktor pencetus. Kekambuhan dapat
dicetuskan oleh stres baik fisik maupun emosional, demam, menstruasi, terpapar
sinar ultraviolet , radiasi sinar-X, penggunaan bahan kimia tau hormon tertentu,
transplantasi organ, adanya keadaan yang menyebabkan menurunkan kekebalan
tubuh, dan pengobatan kanker. Herpes genital kambuhan biasanya lebih ringan
dan lebih cepat sembuhnya (Prasetyo, 2005:14).

2.4. Tanda dan gejala

Gejala herpes genitalis yang muncul pada awal infeksi adalah sebagai berikut.
 1 – 2 Minggu
Tanda awal penyakit herpes yang paling sering muncul adalah timbul rasa
gatal di alat kelamin dan sekitarnya seperti pantat dan paha. Lalu akan muncul
bercak kemerahan yang kecil, yang diikuti oleh sekumpulan lepuhan kecil
yang terasa nyeri. Lepuhan ini pecah dan bergabung membentuk luka yang
melingkar. Luka yang terbentuk biasanya menimbulkan nyeri dan membentuk
keropeng.
 2 – 3 Minggu
Setelah pada minggu-minggu pertama infeksi menyebabkan rasa gatal,
selanjutnya akan diikuti dengan munculnya benjolan seperti jerawat atau bisul.
Setelah beberapa hari, bisul ini akan pecah dan menjadi luka terbuka yang
terasa perih dan sakit. Seperti luka pada umumnya yang berangsur kering
(kecuali jika di daerah lembab) dengan bekas luka yang cepat hilang.
Selain gatal dan bisul, 40% laki-laki dan 70% perempuan menunjukkan
gejala herpes lainnya seperti nyeri, demam, flu, sakit kepala, dan gemetaran
pada kelenjar. Pada awal infeksi herpes, kelenjar bisa gemetaran pada daerah
seperti leher. Gejala lainnya seperti susah buang air kecil dan rasa tidak
nyaman pada area genital, baik pada pria maupun wanita. Kelenjar getah
bening selangkangan biasanya agak membesar. Gejala awal ini sifatnya lebih
nyeri, lebih lama dan lebih meluas dibandingkan gejala berikutnya dan
mungkin disertai dengan demam dan tidak enak badan.
Pada pria, lepuhan dan luka bisa terbentuk di setiap bagian penis,
termasuk kulit depan pada penis yang tidak disunat. Pada wanita, lepuhan dan
luka bisa terbentuk di vulva dan leher rahim. Jika penderita melakukan
hubungan seksual melalui anus, maka lepuhan dan luka bisa terbentuk di
sekitar anus atau di dalam rektum.
Meski bisul akibat infeksi sudah kering, virus ini tetap bertahan dalam
tubuh dan sewaktu-waktu bisa kambuh lagi. Tanda awal herpes genital yang
kambuh adalah rasa gatal. Rasa gatal pada wanita lebih ringan dibanding
pada pria. Rata-rata frekuensi kambuhnya adalah 4 kali pada tahun pertama.
Meski demikian, jumlah kambuh mungkin saja bervariasi mengingat kondisi
tubuh tiap-tiap orang berbeda.

2.5. Manifestasi klinis


Infeksi herpes genitalis berlangsung dalam 3 tingkat yaitu sebagai berikut.
1. Infeksi primer
Infeksi primer yang biasanya disertai gejala (simtomatik) meskipun dapat
pula tanpa gejala (asimtomatik). Keadaan tanpa gejala kemungkinan karena
adanya imunitas tertentu dari antibodi yang bereaksi silang dan diperoleh
setelah menderita infeksi tipe 1 saat anak-anak. Masa inkubasi yang khas
selama 3 – 6 hari (masa inkubasi terpendek yang pernah ditemukan 48 jam)
yang diikuti dengan erupsi papuler dengan rasa gatal, atau pegal-pegal yang
kemudian menjadi nyeri dan pembentukan vesikel dengan lesi vulva dan
perineum yang multipel dan dapat menyatu. Adenopati inguinalis yang bisa
menjadi sangat parah. Gejala sistemik mirip influenza yang bersifat sepintas
sering ditemukan dan mungkin disebabkan oleh viremia. Vesikel yang
terbentuk pada perineum dan vulva mudah terkena trauma dan dapat terjadi
ulserasi serta terjangkit infeksi sekunder. Lesi pada vulva cenderung
menimbulkan nyeri yang hebat dan dapat mengakibatkan disabilitas yang
berat. Retensi urin dapat terjadi karena rasa nyeri yang ditimbulkan ketika
buang air kecil atau terkenanya nervus sakralis. Dalam waktu 2 – 4 minggu,
semua keluhan dan gejala infeksi akan menghilang tetapi dapat kambuh lagi
karena terjadinya reaktivasi virus dari ganglion saraf. Kelainan pada serviks
sering ditemukan pada infeksi primer dan dapat memperlihatkan inflamasi
serta ulserasi atau tidak menimbulkan gejala klinis.
2. Fase laten
Fase Laten. Tidak ditemukan gejala klinis , tetapi HSV dapat ditemukan
dalam keadaan tidak aktif pada ganglion dorsalis. Penularan dapat terjadi
pada fase ini, akibat pelepasan virus terus berlangsung meskipun dalam
jumlah sedikit.
3. Infeksi rekurens
Infeksi rekuren. Setelah infeksi mukokutaneus yang primer, pertikel-
partikel virus akan menyerang sejumlah ganglion saraf yang berhubungan dan
menimbulkan infeksi laten yang berlangsung lama. Infeksi laten dimana
partikel-partikel virus terdapat dalam ganglion saraf secara berkala akan
terputus oleh reaktivasi virus yang disebut infeksi rekuren yang
mengakibatkan infeksi yang asimtomatik secara klinis ( pelepasan virus )
dengan atau tanpa lesi yang simtomatik. Lesi ini umumnya tidak banyak, tidak
begitu nyeri serta melepaskan virus untuk periode waktu yang lebih singkat (2
– 5 hari) dibandingkan dengan yang terjadi pada infeksi primer, dan secara
khas akan timbul lagi pada lokasi yang sama. Walaupun sering terlihat pada
infeksi primer, infeksi serviks tidak begitu sering terjadi pada infeksi yang
rekuren.

2.6. Patofisiologi
Herpes simpleks menyebabkan timbulnya erupsi pada kulit atau selaput
lendir. Erupsi ini akan menghilang meskipun virusnya tetap ada dalam keadaan
tidak aktif di dalam ganglia (badan sel saraf), yang mempersarafi rasa pada
daerah yang terinfeksi. Secara periodik, virus ini akan kembali aktif dan mulai
berkembangbiak, seringkali menyebabkan erupsi kulit berupa lepuhan pada lokasi
yang sama dengan infeksi sebelumnya.
PATHWAY

Kontak Kontak
  Seksual
Langsung

Virus Herpes
Simplex (HSV

Perkembangan
HSV II

Infeksi primer Fase Laten Infeksi Rekuren

Gejala simtomatik HSV tidak aktif pada Ganglion saraf


ganglion dorsalis Infeksi laten
Gejala asimtomatik
2.7. Pemeriksaan diagnostic
Virus herpes ini dapat ditemukan pada vesikel dan dapat dibiak. Pada
keadaan tidak ada lesi dapat diperiksa antibodi HSV. Pada percobaan Tzanck
dengan pewarnaan Giemsa dapat ditemukan sel datia berinti banyak dan badan
inklusi intranuklear (Handoko via Djuanda dkk, 2005:380).
2.8. Penatalaksanaan
Sampai saat ini belum ada terapi untuk infeksi HSV-2 yang memberikan
penyembuhan radikal, artinya tidak ada pengobatan yang dapat mencegah
episode rekurens secara tuntas, tetapi pengobatan hanya ditujukan untuk
menghilangkan gejala. Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mencegah
penyebaran infeksi, membuat paisen nyaman, menurunkan resiko kesehatan
potensial, dan melakukan program konseling serta pendidikan. (Smeltzer dan
Bare, 1997:1544).
a. Edukasi
Pasien dengan herpes genitalis harus di nasehati untuk menghindari
hubungan seksual selama gejala muncul dan selama 1 sampai 2 hari
setelahnya dan menggunakan kondom antara perjangkitan gejala. Terapi
supresi dengan antiviral dapat menjadi pilihan untuk individu yang peduli
transmisi pada pasangannya.
b. Obat Antiviral
Pengobatan dengan obat antivirus dapat membantu luka sembuh lebih
cepat selama infeksi awal, mengurangi keparahan dan durasi gejala pada
infeksi berulang, mengurangi frekuensi kekambuhan, dan meminimalkan
kemungkinan penularan virus herpes ke orang lain.
Obat antivirus yang biasanya digunakan untuk herpes genitalis yaitu
sebagai berikut.
1) Idoksuridin.
Pada lesi yang dini dapat digunakan obat topikal berupa salap/krim
yang mengandung preparat idoksuridin (stoxil, viruguent, virunguent-P)
dengan cara aplikasi, yang sering dengan interval beberapa jam. Analog
timidin, dimasukkan ke dalam DNA virus menggantikan timidin
mengakibatkan cacat sintesis DNA & akhirnya penghambatan replikasi
virus. Juga menghambat timidilat fosforilase.
2) Asiklovir
Analog nukleosida purin sintetik dengan aktivitas terhadap sejumlah
herpes virus, termasuk herpes simplex dan varicella-zoster. Sangat
selektif untuk sel yang terinfeksi virus karena afinitas tinggi untuk enzim
timidin kinase virus. Efek ini berfungsi untuk memusatkan monofosfat
asiklovir dalam sel yang terinfeksi virus. Monofosfat kemudian
dimetabolisme menjadi bentuk trifosfat aktif oleh kinase seluler. Molekul ini
menginhibisi polimerase HSV dengan 30-50 kali potensi polimerase DNA
alpha manusia. Klinis hanya bermanfaat bila penyakit sedang aktif. Dosis
ganda disarankan untuk herpes simpleks infeksi proktitis atau okular.
Asiklovir ini juga tersedia untuk penggunaan topikal, oral dan intravena.
Secara umum, asiklovir mengurangi durasi infeksi dan infektif dalam
mengobati dan sering mencegah kekambuhan
 Pengobatan infeksi primer: 200 mg per oral setiap 4 jam (5 kali / hari)
selama 7-10 hari, atau 400 mg per oral 3 kali / hari selama 5-10 hari.
 Terapi intermiten untuk rekurensi: 200 mg per oral setiap 4 jam (5
kali/hari) selama 5 hari, dimulai di awal tanda atau gejala rekurensi.
 Supresi untuk rekurensi (bila rekuren >8 kali / tahun): 400 mg per oral
2 kali / hari sampai 12 bulan, regimen alternatif berkisar dari 200 mg 3
kali / hari sampai 200 mg 5 kali / hari. Ensefalitis HSV: 10-15 mg/kgBB
intravena setiap 8 jam selama 14-21 hari.
Akan tetapi, terdapat efek samping akan penggunaan asiklovir
tersebut. Asiklovir umumnya dapat ditoleransi dengan baik. Asiklovir
topikal dalam larutan polietilen glikol dapat menyebabkan iritasi mukosa
dan rasa terbakar bila dioleskan pada lesi genital. Kadang-kadang
asiklovir oral dapat menimbulkan mual, diare, ruam kulit, atau sakit kepala;
dan pernah ada laporan neurotoksisitas dan penurunan fungsi ginjal. Efek
samping valasiklovir berupa sakit kepala, mual, dan diare. Penggunaan
asiklovir selama 5 tahun untuk terapi supresi herpes genitalis dinyatakan
aman (Goldberg dkk via Muchtar, 2002:285). Tidak terlihat peningkatan
cacat bawaan pada wanita hamil yang menggunakan asiklovir (Reiff-
Eldridge dkk via Muchtar, 2002:285). Keamanan valasiklovir sama dengan
asiklovir pada pemberian oral. Pada penderita defisiensi imun, dosis tinggi
valasiklovir dapat menimbulkan gejala pusing, halusinasi, penurunan
fungsi ginjal, trombositopenia yang bisa fatal (Feinberg dkk via Muchtar,
2002:285).
3) Famsiklovir.
Famsiklovir akan berbiotransformasi menjadi metabolit aktif,
penciclovir, dapat menghambat sintesis / replikasi DNA virus. Digunakan
untuk melawan virus herpes simpleks dan varicella-zoster. Diindikasikan
untuk pengobatan episode rekuren atau terapi supresif dari herpes genital
pada orang dewasa imunokompeten.
 Pengobatan episode rekuren: 1000 mg per oral 2 kali / hari selama 1
hari, dimulai dalam waktu 6 jam dari onset gejala atau lesi.
 Terapi supresif: 250 mg per oral 2 kali / hari sampai 1 tahun.
 Pengobatan episode primer (off-label): 250 mg per oral 3 kali / hari
selama 5-10 hari
4) Valacyclovir.
Valacyclovir akan cepat dikonversi ke obat aktif asiklovir. Lebih mahal
namun memiliki regimen dosis lebih nyaman dibandingkan asiklovir.
 Episode primer: 1 g per oral setiap 12 jam selama 10 hari, CrCl 10-29
mL / menit: 1 g per oral per hari, CrCl <10 mL / menit: 500 mg per oral
per hari.
 Episode rekuren: 500 mg setiap 12 jam selama 3 hari (tidak ada data
tentang kemanjuran jika mulai> 24 jam), CrCl <30 mL / menit: 500 mg
per oral per hari.
 Supresi, imunokompeten: 1 g per oral per hari, CrCl <30 mL / menit:
500 mg per oral per hari
 Supresi, imunokompeten dan 9 atau kurang rekurensi per tahun: 500
mg per oral per hari, CrCl <30 mL / menit: 500 mg per oral setiap 48
jam
 Pengurangan transmisi, sumber pasangan : 500 mg per oral per hari
c. Topikal
Pensiklovir krim 1 % (tiap 2 jam selama 4 hari) atau Asiklovir krim 5% (5
kali sehari selama 5 hari). Idealnya, krim ini digunakan 1 jam setelah
munculnya gejala, meskipun juga pemberian yang terlambat juga di laporkan
masih efektif dalam mengurangi gejala serta membatasi perluasan daerah lesi.
d. Pada ibu hamil
1) Infeksi asimptomatik
Pemeriksaan skrining serologi TORCH pada wanita hamil umumnya
mencakup pemeriksaan serologi HSV tipe 1 dan 2. Apabila hasil
pemeriksaan menunjukkan HSV seropositif maka harus dijelaskan kepada
calon si ibu mengenai transmisi HSV tersebut dan kemudian
mencantumkan adanya riwayat penyakit HSV pada catatan medik pasien.
Apabila selama kehamilan tidak terjadi rekurensi infeksi maka persalinan
dapat berlangsung pervaginam dengan menghindari pemakaian alat
(cunam atau vakum) dan pemecahan selaput ketuban tanpa indikasi
obstetric jelas. Apabila terjadi rekurensi infeksi maka penangan
selanjutnya mengikuti skema penalaksanaan infeksi herpes genitalis
dengan infeksi rekurens.
Karena VHS pada asimptomatik dalam keadaan laten berada di dalam
inti sel, maka eradikasi virus secara total hampir tidak mungkin terjadi,
sehingga pengobatan biasanya ditujukan kepada ibu hamil dengan infeksi
primer, yang mengalami rekurensi, atau yang menunjukkan isolat virus
positif yang berasal dari daerah genital baik dari vulva maupun serviks.
Apabila hasil pemeriksaan laboratorium pada si ibu menunjukkan HSV
seronegatif, maka suami juga harus diperiksa serologi HSV nya, dan
apabila hasilnya positif, maka harus dijelaskan kepada pasangan tersebut
mengenai transmisi HSV dan dianjurkan untuk memakai kondom bila
bersetubuh. Apabila terjadi infeksi primer maka penanganan selanjutnya
mengikuti skema penatalaksanaan infeksi herpes genitalis dengan infeksi
primer. Namun bila tidak terjadi infeksi primer, cukup memberikan tanda
pada catatan medik si ibu dan bayi adanya risiko HSV dan bayi kemudian
diobservasi.
2) Infeksi Primer
Infeksi HSV Primer dalam kehamilan dibagi menjadi Infeksi primer
pada kehamilan trimester I dan II Pasien yang terinfeksi herpes genitalis
pada masa ini segera diobati dengan asiklovir intravena atau per oral
tergantung berat penyakit.
Dosis asiklovir 1000 – 1200 mg / hari yakni 5 x 200 mg atau
pemberian tiap 8 jam (300 mg, 400 mg, dan 300 mg) per oral. Ada juga
memberikan dengan dosis 200 mg / 4 jam per oral. Lama pengobatan
bervariasi, ada yang menganjurkan sekurang – kurangnya 7 hari tergantung
beratnya penyakit , namun ada yang menganjurkan sampai 4 minggu
terakhir kehamilan karena dapat mencegah rekurensi pada kehamilan
aterm dan mengurangi kejadian seksio sesaria.
Untuk kasus berat terutama disertai dengan gejala neurologi sentral,
dianjurkan pemberian asiklovir intavena dengan dosis 7,5 mg / kg BB tiap 8
jam selama 10 – 14 hari atau sampai terbentuk krusta. Bila memungkinkan
pada masa ini tentukan tipe spesifik serologinya untuk menentukan apakah
infeksi ini disebabkan HSV-1 atau HSV-2.Disamping untuk menentukan
apaka gejala ini merupakan infeksi primer, gejala pertama non primer atau
gejala pertama infeksi rekurens. Keadaan ini akan mempengaruhi
penatalaksanaan persalinan karena terdapat perbedaan risiko transmisi
HSV pada bayi. Apabila pasien selanjutnya tidak mengalami infeksi
rekurens sampai hamil aterm maka persalinan dapat berlangsung
pervaginam dengan catatan tidak memakai alat, mencantumkan riwayat
HSV pada catatan medik dan mendidik pasangan tersebut mengenai
herpes neonatal.
 Pada ibu kehamilan 30 – 34 minggu :
Pertama – tama harus dilakukan dulu apakah benar si ibu
menderita infeksi primer, misal dengan menentukan tipe spesifik
serologi. Apabila ya segera dilakukan terapi dengan asiklovir tergantung
berat – ringannya penyakit, atau mulai memberikan asiklovir supresif
terus menerus sampai partus untuk menekan viral shedding. Apabila
ternyata si ibu tidak menderita infeksi primer, maka penatalaksanaan
mengikuti skema infeksi rekurens.
 Pada ibu kehamilan lebih dari 34 minggu:
Berikan terapi asiklovir intravena atau peroral tergantung beratnya
penyakit, dan rencanakan untuk melakukan seksio sesaria untuk
mengurangi risiko transmisi HSV pada bayi. Kemudian langsung
memeriksa kultur dari bayi dalam 12 – 24 jam. Bayi diberikan terapi
dengan asiklovir atau diobservasi dan mulai diberikan terapi bila timbul
gejala. Apabila dalam persiapan seksio sesaria terjadi partus
pervaginam, dilakukan kultur dari bayi dalam 12 – 24 jam dan
pertimbangkan untuk memulai pemberian asiklovir. Apabila hasil kultur
negatif, asiklovir dihentikan, sebaliknya bila positif bayi diobati sebagai
bayi dengan infeksi herpes neonatal.
3) Infeksi rekurens
Wanita dengan riwayat infeksi rekurens sebaiknya diberi tanda riwayat
penyakit HSV pada catatan medik ibu dan bayi. Pada awal persalinan
segera dilakukan pemeriksaan untuk mencari lesi HSV. Pemberian asiklovir
supresif pada akhir kehamilan (2 – 4 minggu) dengan tujuan untuk
mengurangi angka seksio sesaria dan insiden herpes neonatal saat ini
sedang diteliti. Apabila tidak dijumpai lesi maka persalinan dapat
berlangsung pervaginam karena risiko herpes neonatal rendah, sedang
apabila lesi timbul pada saat partus, maka untuk rencana persalinan perlu
pertimbangan yang matang antara risiko transmisi virus pada bayi dan
risiko seksio sesaria pada ibu. Pada persalinan pervaginam risiko transmisi
HSV pada bayi sangat rendah (kurang dari 3%). Bila persalinan
berlangsung pervaginam dapat diberikan asiklovir supresif. Segera
dilakukan kultur dari bayi 12 – 24 jam, bayi diobservasi dengan ketat
untuk tanda – tanda herpes neonatal meskipun risiko penularan rendah.
Namun ada yang berpedapat bila dijumpai lesi genital saat persalinan
diperlukan tindakan seksio sesaria.
e. Pada Ibu Bersalin
American Infectius diseases Society for Obstetrics and Gynecology
mengusulkan penanganan infeksi VHS dalam persalinan sebagai berikut :
1) Wanita hamil dengan riwayat herpes genitalis tetapi tidak menunjukkan
gejala aktif :
 Pemeriksaan kultur seminggu sekali tidak perlu dikerjakan
 Bila pada saat melahirkan tidak terdapat lesi genital, persalinan
diusahakan pervaginam.
 Untuk mengidentifikasi kemungkinan tertularnya bayi baru lahir,
kultur virus dari ibu perlu dikerjakan pada saat ibu dalam persalinan
dan dari anak segera setelah dilahirkan. Isolasi ibu tidak perlu
dikerjakan.
2) Wanita dengan lesi klinis herpes genitalis :
 Lesi herpes genitalis terjadi saat ibu dalam persalinan, seksio sesaria
merupakan pilihan terbaik untuk mengurangi resiko terinfeksinya bayi
baru lahir
 Bila lesi terjadi pada akhir kehamilan, tetapi belum dalam persalinan
perlu dilakukan kultur tiap 3 – 5 hari, untuk meyakinkan tidak adanya
virus pada saat persalinan sehingga dapat menurunkan angka
seksio sesaria.
 Pada keadaan ketuban pecah dini, seksio sesaria sebaiknya
dikerjakan sebelum 6 jam, meskipun seksio sesaria yang dikerjakan
sesudahnya, tetap lebih baik dari persalinan pervaginam.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

Contoh Kasus
Ny. A umur 26 tahun, beralamatkan di Jl. Kemiri Salatiga, datang kerumah sakit dengan
diantar oleh suaminya. Ny. A mengeluh adanya rasa tidak nyaman dan adanya lepuhan
yang bergerombol dan dikelilingi oleh daerah kemerahan membentuk sebuah
gelembung cair pada daerah kemaluannya. Sebelumnya Ny. A mengalami gatal-gatal
selama 4 hari. Ny. A mengeluh nyeri di daerah kemaluannya apalagi saat BAK. Ibu
mengatakan pekerjaanya hanya di rumah mengurus rumah tangga dan suaminya
bekerja sebagai supir dan jarang di rumah. Dari hasil observasi keadaan umum ibu
lemas, kesadaran Compos Mentis, status emosional stabil, tekanan darah 110/80
mmHg, nadi 74 kali/menit, pernafasan 25 kali/menit, suhu 38,5 0 C, terdapat vesikel
yang multipel di daerah vulva. Leukosit < 4000/mmk

3.1. Pengkajian
1. Identitas Klien
Nama : Ny. A
Umur : 26 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Jl. Kemiri, Salatiga
Diagnosa Medis : Herpes Genitalia
Keluhan Utama : Gatal dan nyeri pada daerah kemaluan
2. Riwayat Peyakit Sekarang
Ny. A mengeluh adanya rasa tidak nyaman dan adanya lepuhan yang
bergerombol dan dikelilingi oleh daerah kemerahan membentuk sebuah
gelembung cair pada daerah kemaluannya. Sebelumnya Ny. A mengalami
gatal-gatal selama 4 hari. Ny. A mengeluh nyeri di daerah kemaluannya
apalagi saat BAK.
3. Riwayat Penyakit terdahulu
Sebelumnya pasien tidak pernah mengalami penyakit seperti ini, pasien
juga tidak memiliki alergi. Jika merasa gatal biasanya diolesi minyak kayu
putih bisa hilang dengan sendirinya.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Suami pernah terkena herpes simpleks sebelumnya, tapi herpes
menyerang daerah bibir dan sekitarnya. Dua minggu yang lalu penyakitnya
kambuh tapi sekarang sudah sembuh.
5. Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan TTV
Tekanan Darah : 110/80 mmHg,
Nadi : 74 kali/menit,
RR : 23 kali/menit,
Suhu : 38,3 0 C
b. Pemeriksaan B1 – B6
1) B1 (Breathing)
Paru – paru
 Inspeksi : Simetris, statis, dinamis
 Palpasi : Sterm fremitus kanan = kiri
 Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
 Auskultasi : Suara dasar vesikuler, suara tambahan ( - )
2) B2 (Blood)
Jantung
 Inspeksi : Simetris, statis, dinamis
 Palpasi : Teraba normal
 Perkusi : Konfigurasi jantung dalam batas normal
 Auskultasi : Normal (S1 S2 tunggal)
3) B3 (Brain)
Kesadaran composmentis (GCS : 4-5-6)
4) B4 (Bladder)
Disuria, BAK 5x sehari, adanya lepuhan yang bergerombol yang
dikelilingi daerah kemerahan membentuk sebuah gelembung cair pada
daerah kemaluan.
5) B5 ( Bowel )
Nafsu makan agak menurun, tetapi porsi makanan tetap habis.
 Inspeksi : Datar
 Palpasi : Supel, tidak ada massa
 Perkusi : Timpani
 Auskultasi : Bising usus ( + )
6) B6 ( Bone )
Tidak ditemukan lesi atau odem pada ekstrimitas atas maupun
bawah. Kulit lembab, bersih, turgor baik, tidak terdapat pitting edema,
warna kulit sawo matang, tidak ada hiperpigmentasi.
a. Pola Manajemen Kesehatan
Pasien mengatakan jika ada keluarga yang sakit maka segera dibawa
tempat pelayanan kesehatan terdekat baik itu poliklinik maupun dokter.
b. Pola Nutrisi
Sebelum sakit pasien makan dengan porsi sedang 3 x sehari ditambah
makanan ringan serta minum 4 gelas/ hari. Namun saat sakit nafsu makan
pasien berkurang, tetapi tidak sampai kehilangan nafsu makan.
c. Pola Eliminasi
Untuk BAK pasien mengalami gangguan selama sakitnya, walaupun
pasien tetap kencing dengan frekuensi seperti biasanya, tetapi pasien
merasa nyeri saat berkemih.
d. Pola Tidur dan Istirahat
Sebelum sakit pasien tidak ada keluhan dengan kebiasaan tidurnya yaitu
6- 8 jam/ hari. Ketika sakit pasien kadang mengeluh kesulitan untuk tidur
karena merasakan nyeri dan gatal pada daerah genetalia.
e. Pola Persepsi Dan Kognitif
Pasien tidak mengalami disorientasi tempat dan waktu. Semua alat indera
pasien masih berfungsi dalam batas normal.
f. Pola Aktivitas
Pasien mampu beraktivitas seperti biasanya, tapi agak mengurangi
aktivitasnya karena pasien merasakan nyeri saat berjalan. Pasien terlihat
meringis menahan nyeri saat berjalan. Selain itu, pasien mengatakan
kurang enak badan seperti panas dalam.
g. Pola Persepsi Diri dan Konsep Diri
Pasien kurang tahu kondisi penyakitnya saat ini tetapi akan berusaha
menerima segala kondisinya saat ini. Pasien tidak merasa malu dan
rendah diri dengan kondisinya saat ini.
h. Pola Peran Dan Hubungan
Pasien tidak mengalami masalah dalam hubungan sosialnya. Pasien
merupakan ibu rumah tangga.
i. Pola Seksualitas dan Reproduksi
Pasien berjenis kelamin perempuan, sudah menikah dan mempunyai
seorang anak. Selama sakit pola seksualitas terganggu.
j. Pola Koping dan Toleransi Stress
Pasien merasa yakin bahwa suatu saat penyakitnya akan sembuh, tetapi
harus memerlukan suatu usaha dan tak lupa untuk terus berdoa.
k. Pola Nilai dan Kepercayaan/ Agama
Pasien masih menjalankan ibadah rutin
3.2. Analisa Data dan Diagnosa Keperawatan
1. Analisa Data
No. Data Masalah Etiologi Diagnosa
1 DS. Nyeri akut Agen cedera : Nyeri akut
 Pasien mengatakan biologis berhubungan
merasa tidak nyaman dengan agen
karena adanya lepuhan cedera :
dan benjolan pada biologis
daerah kemaluannya
 Pasien mengatakan
sakit pada daerah
kemaluannya apalagi
saat buang air kecil.
DO
 Adanya lepuhan yang
bergerombol yang
dikelilingi daerah
kemerahan
membentuk sebuah
gelembung cair pada
daerah kemaluan.
 Pasien terlihat meringis
menahan nyeri saat
berjalan

2. DS Hipertermia Penyakit Hipertermia


Pasien merasa kurang berhubungan
enak badan dan seperti dengan
panas dalam. penyakit
DO
Pemeriksaan TTV
 Tekanan Darah :
110/80 mmHg,
 Nadi : 74 kali/menit,
 RR : 23 kali/menit,
 Suhu : 38,3 0 C
 Adanya lepuhan yang
bergerombol yang
dikelilingi daerah
kemerahan
membentuk sebuah
gelembung cair pada
daerah kemaluan.
3 DS Disfungsi Perubahan Disfungsi
Pasien mengatakan pola seksual struktur seksual
seksualnya terganggu tubuh : proses berhubungan
selama sakit penyakit dengan
Pasien merasa sakit perubahan
pada daerah struktur
kemaluannya tubuh : proses
DO penyakit.
 Adanya lepuhan yang
bergerombol yang
dikelilingi daerah
kemerahan
membentuk sebuah
gelembung cair pada
daerah kemaluan
 Pasien terlihat meringis
menahan nyeri saat
berjalan

2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera : biologis
b. Hipertermia berhubungan dengan penyakit
c. Disfungsi seksual berhubungan dengan perubahan struktur tubuh : proses
penyakit.
3.3. Intervensi Keperawatan
No. Diagnosa Tujuan dan Intervensi Rasional
Kriteria Hasil
1. Nyeri akut Setelah dilakukan  Kaji tingkat nyeri  Untuk
tindakan 1 x 1 jam pasien mengetahui
berhubungan
nyeri pasien dapat  Ajarkan teknik ambang rasa
dengan agen teratasi atau kompres dengan air nyeri pasien dan
berkurang dengan hangat mengetahui
cedera :
kriteria hasil :  Minta kepada tindakan apa
biologis  Pasien pasien untuk yang akan kita
mengungkapkan menjaga berikan
nyeri hilang / kebersihan dan selanjutnya.
berkurang. kelembapan daerah  untuk
 Pasien tidak kemaluannya meringankan
meneringis saat  Kolaborasi nyeri pasien
berjalan pemberian obat  menhindari
 Lepuhan yang analgesik dan perkembangan
ada didaerah asiklovir bakteri dan jamur
kemaluan didaerah yang
pasien sakit
berkurang  obat analgesik
membantu
mengurangi
sakit, obat
asiklovir
membantu dalam
penyembuhan
herpes.
2. Hipertermia Setelah dilakukan  Monitor tanda-  Karena jika
tindakan 1 x 24 jam tanda vital pasien tanda-tanda vital
berhubungan
suhu tubuh pasien seperti TD, RR, pasien
dengan akan kembali Nadi, Suhu rendah/tinggi dari
normal dengan normal
penyakit
kriteria hasil : menunjukan
 TD normal : adanya shock
100/60 mmHg –
120/80 mmHg
 Nadi normal :
70-80 x/menit
 Suhu normal :
36,6oC – 37,2 oC
 Pernapasan
normal : 16-20
x/menit

3. Disfungsi Setelah dilakukan  Pantau disfungsi  untuk menjaga


tindakan seksual keintiman pasien
seksual
keperawatan 1x24 (peningkatan  membantu
berhubungan jam disfungsi kualitas keintiman) memberikan
seksual pasien  Konseling seksual pengetahuan
dengan
dapat teratasi  berikan informasi kepada pasien
perubahan dengan kriteria untuk
hasil : meningkatkan
struktur
 Pemulihan fungsi seksual
tubuh : seksual:  diskusikan efek
menunjukkan penyakit terhadap
proses
pemulihan seksualitas
penyakit. seksual
 Pengendalian
penyakit
menular sek
(PMS)
 Mengungkapkan
kenyamanan
seksual.

3.4. Implementasi
No No. Diagnosa Implementasi Respon Nama, TTD
. perawat
1 1  mengkaji tingkat nyeri  tingkat nyeri pasien Cica
pasien
ada di on 5, nyeri
 mengajarkan teknik
kompres dengan air dirasakan diderah
hangat kemaluan sampai
 meminta kepada
pasien untuk menjaga ke bagian
kebersihan dan selangkangan paha
kelembapan daerah
kemaluannya  klien mengatakan
 memberikan obat nyerinya sedikit
analgesik dan
asiklovir kepada berkurang
pasien  pasien merasakan
nyaman
 nyeri dirasakan
sedikit berkurang
2 2 Memonitor tanda-tanda  Tekanan Darah : cica
vital pasien seperti TD, 110/80 mmHg,
RR, Nadi, Suhu  Nadi : 70
kali/menit,
 RR : 20 kali/menit,
 Suhu : 36,5 0 C

3 3  memantau disfungsi  pasien cica


seksual (peningkatan
mengatakan
kualitas keintiman)
 memberikan suaminya dapat
konseling seksual mengerti setelah
 meberikan informasi
untuk meningkatkan diberikan
fungsi seksual penjelasan
 mendiskusikan efek
penyakit terhadap  pasien
seksualitas mengatakan dalam
melakukan
hubungan
menggunakan
kondom
 pasien
mengatakan efek
penyakit terhadap
seksualitasnya
adalah jarang
melakukan
hubungan seksual

3.5. Evaluasi
No. Diagnosa Evaluasi
1 Nyeri akut berhubungan S : pasien mengatakan
dengan agen cedera : nyeri yang dirasakan
biologis sudah berkurang
O : Pasien tidak terliat
meringis lagi saat berjalan
A : masalah teratasi
sebagian
P: Lanjutkan Intervensi
2 Hipertermia S : pasien mengatakan
berhubungan dengan sudah baikan
penyakit O : TTV pasien normal
A : masalah sudah teratasi
P : Hentikan intervensi
3 Disfungsi seksual S : pasien mengatakan
berhubungan dengan
pola seksualnya sudah
perubahan struktur
tubuh : proses penyakit sedikit membaik
O : suami pasien sudah
mengerti
A : masalah teratasi
sebagian
P : lanjutkan intervensi
Daftar Pustaka

Herdman, Heather. 2012. Diagnosa Keperawatan Nanda. Jakarta : EGC


Purnomo, Whidi. 2013 Makalah Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Herpes
Genitalis. (http://whidipurnomo.blogspot.com/2013/05/asuhan-keperawatan-pada-
klien-dengan.html). Diakses pada Tanggal 12 Agustus 2014
Seravina, Camelia. 2014. Herpes Genitalis.
(http://www.scribd.com/doc/228268998/Herpes-Genitalis). Diakses pada Tanggal 12
Agustus 2014
Susilaningsih, Ewi. 2012. Herpes Genitalis.
(http://22wiany.blogspot.com/2012/11/herpes-genitalis.html). Diakses pada Tanggal 11
Agustus 2014
Tanjung, Eka. 2012. Makalah Herpes Genital.
(http://bidanpurnamashop.blogspot.com/2012/03/makalah-herpes-genitalis.html).
Diakses pada Tanggal 11 Agustus 2014

Anda mungkin juga menyukai