PENDAHULUAN
penyakit ini mendapat perhatian besar dari penderita dan pusat pelayanan
kesehatan.3
Herpes genitalis merupakan salah satu penyakit menular seksual yang disebabkan oleh
virus. Herpes genitalis adalah infeksi yang disebabkan oleh herpes simpleks virus (HSV)
yang umumnya disebabkan oleh HSV tipe 2 ( HSV 2), tetapi bisa juga karena HSV tipe 1.
Sebagian besar terjadi setelah kontak seksual secara orogenital.3,4
B. EPIDEMIOLOGI
Penyakit ini tersebar kosmopolit dan menyerang baik pria maupun wanita dengan
frekuensi yang tidak berbeda. Infeksi primer oleh virus herpes simpleks (VHS) tipe 1 biasanya
dimulai pada usia anak anak, sedangkan infeksi VHS tipe 2 biasanya terjadi pada dekade II
atau III, dan berhubungan dengan peningkatan aktivitas seksual. Pada negara berkembang infeksi
ini sering terjadi pada remaja yang sering berganti pasangan, hal tersebut juga tampak pada
penduduk dengan sosial ekonomi menengah kebawah.1,3
Virus herpes simpleks tipe 2 yang paling sering menyebabkan ulkus genital di negara
negara industri. Serosurvey untuk antibodi spesifik telah menunjukkan peningkatan lebih dari
30 % pada prevalensi infeksi HSV 2 selama 2 dekade. Prevalensi HSV 2 lebih besar 20 % pada
dewasa di USA. Berdasarkan hasil penelitian National Health and Nutrition Study ras kulit putih
15% laki laki dan 20 % wanita memiliki HSV 2 yang postif. Sedan gkan pada ras kulit hitam,
35% laki laki dan 55% memiliki HSV 2 positif. Sekitar 60 90% dari wanita pekerja seks di
seluruh dunia memiliki antibodi terhadap HSV -2.5
Risiko penularan pada pasangan monogami, di mana hanya satu pasangan terinfeksi,
sekitar 5% sampai 10% per tahun, dengan perempuan memiliki risiko lebih besar daripada lakilaki untuk memperoleh HSV-2 dari pasangan mereka yang terinfeksi. Infeksi HSV-1 tidak
mengurangi risiko terinfeksi HSV-2 lagi.6
C. ETIOLOGI
Herpes simpleks virus tipe -1 : pada umumnya menyebabkan lesi atau luka pada sekitar
wajah, bibir, mukosa mulut dan leher. Biasanya penderita terinfeksi virus ini pada usia
kanak kanak melalui udara dan sebagian kecil melalui kontak langsung. Herpes tipe ini
D. PATOGENESIS
2
Infeksi dengan HSV dimulai dengan kontak virus dengan mukosa (orofaring, serviks,
konjungtiva) atau kulit yang abrasi. Replikasi virus dalam sel epidermis dan dermis
menyebabkan destruksi seluler dan peradangan. Respon seluler awal berupa meningkatnya sel
polimorfonuklear (PMN) diikuti dengan respon limfositik, jika replikasi virus dihambat akan
terjadi reepitelisasi pada lesi. Selama infeksi awal, HSV menyebar melalui pembuluh limfe
menuju limfonodus regional, penyebaran virus lebih lanjut dihambat oleh mekanisme imun
seluler dan humoral. Masuknya virus kedalam sel dimulai dari perlengketan virus pada sel yang
sesuai dengan glikoprotein virus pada amplop virion berikatan dengan komponen permukaan sel
pada tahap interaksi dan puncakya adalah penetrasi nukleokapsid ke dalam sitoplasma sel,
setelah penetrasi, nukloekapsid ditransformasi ke dalam inti sel.3
Selama infeksi primer virus menuju ganglion radiks dorsalis, mengikuti serabut saraf
tepi. Setelah lesi primer pada kulit menyembuh, virus kemudian menetap dalam periode laten
dan keberadaannya tidak dapat dideteksi di ganglion radiks dorsalis, sampai timbul periode
reaktivasi. Respon imun dapat membatasi replikasi virus sehingga infeksi akut dapat membaik.
Respon ini tidak dapat mengeliminasi infeksi laten yang menetap dalam ganglia seumur hidup
pejamu. Latensi semata tidak menimbulkan penyakit, namun infeksi laten dapat mengalami
reaktivasi sehingga menghasilkan virion yang bila dilepas dari ujung saraf dapat menginfeksi sel
epitel di dekatnya untuk menghasilkan lesi kulit rekurens atau pelepasan virus asimtomatik.2
Faktor pemicu terjadinya reaktivasi dapat berupa demam, kelelahan, sinar ultra violet,
trauma mekanik, bahan kimia, hormon, menstruasi, hubungan seksual, stres emosional, dan
keadaan imunokompromais.2
Selain kulit, organ organ tubuh yang diserang adalah alat kelamin luar (genitalia
eksterna), selaput lendir mulut, tenggorokan, mata, saluran kemih (uretra), anus, vagina, dan
serviks uteri. Penularan lesi orolabial terjadi melalui droplet dan kontak langsung dengan lesi
atau saliva yang mengandung virus. Penularan lesi genital dimulai bila sel epitel mukosa saluran
genital pejamu yang rentan terpajan virus yang terdapat dalam lesi atau sekret genital orang yang
terinfeksi. Walaupun herpes orolabialis paling sering disebabkan oleh HSV-1 dan herpes genitalis
terutama disebabkan oleh HSV-2, kadang-kadang HSV-2 dapat mengakibatkan lesi-lesi oral,
demikian pula HSV-1 dapat menyebabkan lesi genital. Hal ini dikaitkan dengan aktivitas seksual
secara orogenital. 2
E. PENULARAN
Herpes genital menyebar melalui kontak kulit dengan kulit, selama virus masih aktif
dalam masa inkubasi. Lesi pada kulit berisi virus HSV-2 yang aktif dan dapat menular.
3
Orang dengan herpes genital yang sudah berulang dengan tanpa gejala dapat menularkannya,
hal ini disebut shedding asimtomatik. Shedding asimtomatik terjadi secara bersamaan dari
beberapa tempat (penis, vagina, leher rahim, dan rektum). Selain itu, seseorang dengan
infeksi HSV-2 bisa memiliki lesi yang tidak terlalu berat atau memiliki lesi yang berulang
dan tidak menimbulkan gejala. Sebagian besar penularan herpes genital terjadi selama masa
inkubasi, dimana belum muncul gejala, atau mendapatkannya dari seseoang yang sudah
terinfeksi.6
F. GEJALA KLINIS
Masa inkubasi dari HSV adalah 2 20 hari. 63% dari HSV tipe 2 dan 37% dari HSV
tipe 1 infeksi pertama tidak menimbulkan gejala (asimptomatik). Gejala biasanya timbul antara 3
9 hari setelah infeksi. Hanya 9,2% dari pasien dengan HSV -2 positif yang mengetahui gejala
dari herpes genital. Sedangkan 90,8% tidak menyadari gejala dari herpes genital. 7
1. Herpes genital primer
Banyak pasien dengan infeksi primer tidak bergejala. Biasanya gejala yang timbul
adalah demam, sakit kepala, malaise, mialgia, mencapai puncaknya dalam waktu 3 4 hari
setelah onset pertama dari lesi. Lesi berupa plak yang eritem dan biasanya diikuti oleh vesikel
yang berkelompok yang berubah menjadi pustul dan cepat membentuk erosi superfisial atau
ulkus yang tidak nyeri. Pada laki- laki lebih sering pada glans penis, preputium, dan frenulum,
korpus penis lebih jarang terlihat. Pada wanita lebih sering pada labia mayor/minor, perineum,
dan lipatan paha bagian dalam. Penyembuhan berlangsung 2 3 minggu, tetapi bisa
mengakibatkan komplikasi dan gejala yang berat dalam menyulitkan diagnosis. Gejala lokal
yang dominan ialah nyeri, rasa gatal, disuria, serta keluarnya cairan uretra dan vagina. 3,7
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Tzanck Smear
Metode diagnostik yang paling cepat, murah, dan sering digunakan. Yang diambil adalah
apusan sitologik (usapan Tzanck) yang diambil dari dasar vesikel yang baru dibuka. Sediaan
diambil kemudian dibuat apusan tipis diatas slide mikroskop, dikeringkan kemudian
5
diwarnai dengan pewarnaan Giemsa atau wright. Hasilnya positif jika terdapat gambaran
giant keratinosit sel. Pemeriksaan ini tidak sensitif dan hanya memberikan gambaran dari
infeki virus herpes.7
2. Isolasi/kultur virus
Merupakan pemeriksaan gold standard untuk VHS. Pemeriksaan ini hanya dilakukan
pada pasien dengan lesi aktif. Tindakan tersebut dilakukan dengan mengambil cairan dari
dasar vesikel yang masih utuh dengan cara apusan, dipindahkan ke media pengangkut,
diangkut di dalam es dan di in okulasi pada biakan sel yang tepat. Hasilnya dilihat dalam
waktu 1 10 hari. Positif pada 70% lesi yang aktif. Ciri khas kelainan sel pada VHS adalah
sel raksasa berinti banyak,sinsitium,dan degenerasi balon dapat terdeteksi 1 -2 hari setelah
in okulasi virus.
degeneratif akibat virus pada sel yang di inokulasi oleh virus dan untuk mengklasifikasikan
virus sebagai bagian dari famili herpes viridae. Biasanya diperlukan waktu 2 7 hari untuk
mencapai sensitivitas maksimum guna mengamati perubahan sitopatologik.7
3. HSV Antigen Detection
Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan yang cepat, sensitif dan spesifik untuk
mendeteksi antigen VHS dengan antibodi monoklonal dan penentuan tipe virus dengan
4.
5.
bersifat rekuren. Gejala dan tanda dihubungkan dengan HSV-2. Tes darah yang mendeteksi HSV1 dan HSV-2 dapat menolong meskipun hasilnya tidak terlalu memuaskan. Pada stadium dini
erupsi vesikel sangat khas akan tetapi pada stadium lanjut tidak khas lagi, penderita harus
dideteksi dengan kemungkinan penyakit lain, termasuk chancroid dan kandidiasis. Konfirmasi
virus dapat dilakukan melalui mikroskop elektron atau kultur jaringan.3
I. DIAGNOSIS BANDING
1. Ulkus Durum
Kelainan kulit dimulai berupa papul lentikuler yang permukaannya segera menjadi
erosi, umumnya kemudian menjadi ulkus. Ulkus tersebut biasanya bulat, soliter, dasarnya ialah
jaringan granulasi berwarna merah dan bersih. Dindingnya tidak bergaung, kulit sekitarnya tidak
menunjukkan tanda tanda radang akut. Yang khas adalah ulkus tersebut indolent dan teraba
indurasi. Kelainan tersebut umumnya berlokasi pada genitalia eksterna. Pada laki laki tempat
yang sering dikenai ialah sulkus korinarius, sedangkan pada perempuan di labia mayor dan
minor.3
Gambar 3. Ulkus durum, tampak erosi kulit dan sekitarnya tidak menunjukkan
tanda tanda radang akut.
2. Ulkus Mole
Lesinya kebanyakan multipel, jarang soliter, biasanya pada daerah genital, jarang
pada daerah ekstra genital. Mula mula kelainan kulit berupa papul, kemudian menjadi
vesikopustul pada tempat inokulasi cepat pecah menjadi ulkus. Ulkus kecil, lunak pada perabaan,
tidak terdapat indurasi, berbentuk cawan pinggir tidak rata, sering bergaung dan dikelilingi halo
yang eritematous. Ulkus sering tertutup jaringan yang nekrotik dasar ulkus berupa jaringan
7
granulasi yang mudah berdarah, yang pada perabaan terasa nyeri. Tempat predileksi pada laki
laki ialah permukaan mukosa preputium, sulkus koronarius, prenulum penis, dan batang penis.
Pada perempuan ialah labia, klitoris, fourchette, festibuli, anus, dan serviks.3
Gambar 4. Ulkus mole, tampak ulkus berbentuk cawan pinggir tidak rata dan
dikelilingi halo yang eritematous.
3.
Kandidiasis
Kandidiasis adalah penyakit jamur, yang bersifat akut atau subakut disebabkan oleh
spesies Candida, biasanya oleh spesies Candida Albicans dan dapat mengenai mulut, vagina,
kulit, kuku, bronki, atau paru. Keluhan utama pada kandidiosis vulvovaginitis adalah gatal di
daerah vulva. Pada yang berat terdapat pula rasa panas, nyeri sesudah miksi, dan dispaenuria.
Pada kelainan yang berat juga terdapat edema pada labia minora dan ulkus ulkus yang
dangkal pada labia minora dan sekitar introitus vaginal.1
Gambar 5. Kandidiasis, tampak ulkus dangkal pada daerah vulva dan sekitar
introitus vaginal.
8
J. PENATALAKSANAAN
Secara umum penatalaksanaan dari infeksi VHS dimulai dengan pencegahan. Selain itu
pasien juga diberikan konseling. Tidak ada terapi spesifik untuk eradikasi VHS artinya tidak ada
terapi untuk benar benar mencegah episode rekuren secara tuntas. Cukup dengan merawat lesi
yang ada agar tidak pecah. Pendekatan penatalaksanaan terkini untuk infeksi VHS tidak
mengarah pada eradikasi virus namun meliputi pencegahan penularan, supresi rekurensi,
meringankan perjalanan klinis, penyebaran virus dan kompilkasi, paliatif dan mempercepat
kesembuhan. 1
Anti virus yang pertama kali dikembangkan untuk herpes genitalis adalah asiklovir yang
merupakan analog dari acyclic nucleosid, termasuk juga valasiklovir, dan famciclovir. Semuanya
dapat dipakai untuk terapi pada genital herpes primer, herpes genital rekuren, dan terapi supresif.
Terapi supresif dimaksudkan untuk menekan replikasi VHS, mencegah terjadinya rekurensi dan
juga mengurangi resiko penularan HSV ke pasangan seksual yang tidak terinfeksi.8
Acyclovir adalah senyawa pertama ditujukkan sebagai antivirus dengan mekanisme
mencegah kation virus yang mempengaruhi sintesis asam nukleat dari virus. Acyclovir memiliki
indeks terapeutik yang sangat menguntungkan karena aktiv dalam sel yang terinfeksi dan
menghambat enzim polimerase DNA virus.9
Rekomendasi saat ini untuk pengobatan antivirus tergantung pada penyakit klinis,
imunitas,dan apakah infeksi saat ini merupakan episode primer atau berulang. Tabel di bawah ini
menggambarkan dosis untuk kasus yang berbeda. Untuk infeksi herpes yang sudah meluas atau
berat tetap digunakan acyclovir intravena.9
10
11
Konseling
Pendekatan terapi yang lebih baik digunakan adalah melakukan konseling terhadap
penderita. Mengingat dampak psikologis yang mungkin terjadi, maka diperlukan konseling
sebagai bagian integral keberhasilan manajemen herpes genitalis dengan harapan tercapainya
beberapa tujuan (goals) yang jelas yaitu untuk menjelaskan herpes genitalis, pasien patuh minum
obat/mengobati sesuai ketentuan, kembali untuk follow up teratur sesuai jadwal, meyakinkan
pentingnya pemeriksaan mitra seksual dan turut berusaha agar mitra tersebut bersedia diperiksa
dan diobati bila perlu, mencegah penularan. Konseling dilakukan pada saat kunjungan penderita
berikutnya karena pada kunjungan pertama saat didiagnosis ditegakkan penderita masih
mengalami stres.3,10
Konseling harusnya meliputi :10
1. Kebiasaan
2. Penggunaan obat antivirus untuk mengontrol gejala
3. Mendiskusikan resiko penularan melalui kontak seksual
4. Tidak boleh melakukan hubungan seksual selama lesi masih aktif atau pada saat
stadium prodromal.
12
Vaksin yang telah dikembangkan menggunakan virus yang berasal dari glikoprotein antigen gB
dan gD yang diproduksi dengan teknologi rekimbinan DNA. Vaksin HSV tidak hanya mencegah
herpes genital primer tetapi juga mengurangi atau mengeliminasi resiko dari infeksi.11
DAFTAR PUSTAKA
1. Handoko R P. Herpes Simpleks Dalam: Ilmu Penyakit Kulit & Kelamin 5 th Ed. Djuanda
A, Hamzah M, Aisah S.(Editors). Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta;
2008. Hal 381 83.
2. Mitaart A H. Infeksi Herpes pada Pasien Imunokompeten. Bagian Ilmu Kesehatan Kulit
& Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi. Manado. 2010. Hal 83 92.
3. Saenong R H, Djawad K, Amin S. Herpes Genitalis Dalam: Penyakit Menular Seksual.
Amiruddin Muh. D.(Editors). Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Makassar;
2004. Hal 179 96.
4. Jatmiko A C, Nurharini F, Dewi D K, Murtiastutik D. Penderita Herpes Genitalis di
Divisi Infeksi Menular Seksual Unit Rawat Jalan Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD
14
Dr. Soetomo Surabaya Periode 2005 2007. Departemen Ilmu Kesehatan Kulit &
Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Surabaya. Hal 102 7.
5. Rhoda L, Ashley, Wald Anna. Genital Herpes: Riview of the Epidemic and Potential Use
of Type Specific Serology.1999. Departments of Laboratory Medicine. University of
Washington. Hal 1 8.
6. Jamaes W, Berger T, Elston D. Andres Disease Of The Skin Clinical Dermatologi
Thent Edition 2006. Hal 367-372.
7. Fitzpatrick T B. Jhonson R A. Wolf K. Suurmond D. Genital Herpes In: Color Atlas &
Synopsis of Clinical Dermatology Common & Serius Disease. 2001. Hal 874 81.
8. Kimberlin D W, Rouse D J. Genital Herpes. Departments of Pediatrics and Obstetrics and
Gynecology, University of Alabama at Birmingham. 2004. Hal 1970 76.
9. Fitzpatrick T B. Jhonson R A. Wolf K. Suurmond D.Dermatologi in General Medicine
Seventh-Edition Volume 1 & 2. Hal 1873-1880
10. Brugha R, Keersmaekers, Renton A, Meheus A. Genital Herpes Infection : A Review.
International Epidemiological Association 1997. Hal 698 709.
11. Anonym. Clinical Effectiveness Group (British Association for Sexual Health and HIV)
In: National Guideline for the Management of Genital Herpes. 2007. Hal 1 26.
LAMPIRAN
15