Anda di halaman 1dari 14

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN HERPES GENITAL

DISUSUN OLEH:

Bawendu Surianti Yuliana


(14901-16026)

PROGRAM PROFESI NERS XVI


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN IMMANUEL
BANDUNG
2017
LAPORAN PENDAHULUAN HERPES GENITAL

A. DEFINISI

Herpes genitalis merupakan salah satu penyakit menular seksual yang sering

ditemuidan telah berhasil mempengaruhi kehidupan jutaan pasien beserta

pasangannya. Kebanyakanindividu mengalami gangguan psikologi dan psikososial

sebagai akibat dari nyeri yangtimbul serta gejala lain yang menyertai ketika terjadi

infeksi aktif. Oleh karena penyakitherpes genital tidak dapat disembuhkan serta

bersifat kambuh-kambuhan, maka terapisekarang difokuskan untuk meringankan

gejala yang timbul, menjarangkan kekambuhan,serta menekan angka penularan

sehingga diharapkan kualitas hidup dari pasien menjadi lebih baik setelah dilakukan

penanganan dengan tepat.

B. ETIOLOGI

HSV tipe I dan II merupakan virus herpes homonis yang merupakan virus DNA.

Virus herpes simpleks hanya menginfeksi manusia. Terdapat dua tipe virus herpes

simpleks, yaitu HSV-1, yang biasanya menyebabkan infeksi herpes nongenital

(orofacial); dan HSV-2, yang biasanya menyebabkan infeksi herpes genital pada laki-

laki dan perempuan (Melancon, 2014). Akan tetapi kedua tipe virus tersebut dapat

menginfeksi baik

pada area orofacialmaupungenitaldandapatmenyebabkaninfeksiakutdan rekuren

(Marques,2008). Pembagian tipe I dan II berdasarkan karakteristik pertumbuhan pada

mediakultur,antigenic marker, dan lokasi klinis (tempat predileksi).Terdapat

perbedaanantara kedua tipe HSV secara biologis, contohnya tingkat rekurensi infeksi

HSV-2 padagenital lebih sering daripada HSV-1. Sebaliknya, infeksi nongenital yang

disebabkanHSV-1 tingkat rekurensinya lebih tinggi daripada HSV-2. Infeksi HSV


genital terjadienam kali lebih sering daripada infeksi HSV pada orolabial (Melancon,

2014).

Penularan herpes genitalis diperlukan kontak langsung dengan jaringan

atausekret dari penderita infeksi HSV. Kebanyakan infeksi pada alat genital

didapatkan

dari partner dengan infeksi subklinis. Pasangan yang aktif secara seksual dan sama-

samaterinfeksi HSV tidak akan mengalami reinfeksi satu sama lain. Autoinokulasi

dapatmenyebabkanherpetic whitlow atau keratokonjungtivitis, terutama saat infeksi

primer,namun jarang pada infeksi herpes rekuren. Belum ada bukti penelitian bahwa

HSVdapat menular melalui fomites, penggunaan pakaian atau handuk secara

bersamaataupun dari lingkungan. Penularan perinatal kepada bayi baru lahir dapat

terjadi,terutama jika infeksi baru terjadi pada kehamilan trimester akhir (Handsfield,

2011).

HSV memiliki kemampuan untuk menyerang dan melakukan replikasi di

dalam jaringan saraf, kemudian virus tersebut memasuki masa laten di dalam jaringan

saraf,terutama di ganglia trigeminal untuk HSV-1, dan pada ganglia sacralis untuk

HSV-2.Akhirnya, virus laten tersebut melakukan reaktivasi dan bereplikasi

sehinggamenyebabkan penyakit pada kulit(Melancon, 2014).

C. FAKTOR RESIKO

Timbulnya penyakit herpes bisa dipicu oleh:

1. pemaparan cahaya matahari

2. Demam

3. Stres fisik/emosional

4. Penekanan sistem kekebalan

5. Obat-obatan atau makanan tertentu


D. KLASIFIKASI

Tempat predileksi HSV-1 di daerah pinggang ke atas terutama di daerah mulutdan

hidung, biasanya dimulai pada usia anak-anak. Inokulasi dapat terjadi secarakebetulan,

misalnya kontak kulit pada perawat, dokter gigi, atau pada orang yang

seringmenggigit jari (herpetic Whitlow). Virus ini juga sebagai penyebab herpes

ensefalitis.Infeksi primer oleh HSV-2 mempunyai tempat predileksi di daerah

pinggang ke bawah,terutama di daerah genital, juga dapat menyebabkan herpes

meningitis dan infeksineonatus. Daerah predileksi ini sering kacau karena adanya cara

hubungan seksualseperti oro-genital, sehingga herpes yang terdapat di daerah genital

kadang-kadangdisebabkan oleh HSV-1 sedangkan di daerah mulut dan rongga mulut

dapat disebabkanoleh HSV-2 (Handoko,2010).

1. Primary Genital Herpes

adalah saat pasien pertama kali terinfeksi HSV. Infeksi primer berlangsunglebih

lama dan lebih berat, kira-kira 3 minggu dan sering disertai gejalasistemik

misalnya demam,malese, dan anoreksia, dan dapat ditemukan

pembengkakankelenjar getah bening regional, limfadenopati regional,neuropati

regional dan keterlibatan mukosa (cervicitis, uretritis). Kelainanklinis yang

dijumpai berupa vesikel yang berkelompok di atas kulit yangsembab dan

eritematosa, berisi cairan jernih dan kemudian menjadiseropurulen, dapat menjadi

krusta dan kadang-kadang mengalami ulserasiyang dangkal, biasanya sembuh

tanpa sikatriks. Pada perabaan tidak terdapatindurasi. Kadang-kadang dapat timbul

infeksi sekunder sehingga memberigambaran yang tidak jelas. Umumnya didapati

pada orang yang kekuranganantibodi virus herpes simpleks. Pada wanita ada

laporan yang mengatakan bahwa 80% infeksi HSV pada genitalia eksterna disertai

infeksi pada serviks.


2. Initial Nonprimary Genital Herpes

Infeksi terjadi pada orang yang sebelumnya pernah terinfeksi oleh HSV tipelain,

biasanya orang yang baru saja terinfeksi HSV-2 sebelumnya seropositifterhadap

HSV-1. Pada jenis ini, manifestasi penyakit secara sistemik

jarangterjadi(Handsfield, 2011).

3. Recurrent Genital Herpes

Pada jenis ini, infeksi terjadi untuk kedua kalinya atau berikutnya olehtipe virus

yang sama. Infeksi ini berarti HSV pada ganglion dorsalis yangdalam keadaan

tidak aktif, dengan mekanisme pacu menjadi aktif danmencapai kulit sehingga

menimbulkan gejala klinis. Mekanisme pacu tersebutdapat berupa trauma fisik

(demam, infeksi, kurang tidur, hubungan seksual,dsb), trauma psikis (gangguan

emosional, menstruasi), dan dapat pula timbulakibat jenis makanan dan minuman

yang merangsang. Infeksi rekurens inidapat timbul pada tempay yang sama (loco)

atau tempat lain/tempat disekitarnya (non loco)(Handoko,2010).

Herpes genitalis akibat HSV-2 biasanya lebih sering mengalamireaktivasi daripada

herpes genitalis akibat HSV-1. Manifestasi klinis padaherpes genitalis rekuren

biasanya lebih ringan dan lebih singkat dari padainfeksi pertama, biasanya

berlangsung kira-kira 7 sampai 10 hari. Seringditemukan gejala prodormal lokal

sebelum timbul vesikel berupa rasa panas,gatal, dan nyeri. Bersama dengan herpes

genital rekuren dapat ditemukancervicitis, uretritis, limfadenopati, neuropati,

gejala sistemik, namun sangat jarang (Handsfield, 2011).

4. Subclinical Infection

Sebagian besar infeksi HSV bersifat subklinis, termasuk tipeprimary,nonprimary

initial ,ataurecurrent herpes. Pada herpes genitalis fase ini


berarti pada penderita tidak ditemukan gejala klinis, tetapi HSV dapat ditemukand

alam keadaan tidak aktif pada ganglion dorsalis.

E. PATOFIOLOGI

Herpes zoster bermula dari Infeksi primer dari VVZ (virus varisells zoster) ini

pertama kali terjadi di daerah nasofaring. Disini virus mengadakan replikasi dan

dilepas ke darah sehingga terjadi viremia permulaan yang sifatnya terbatas dan

asimptomatik. Keadaan ini diikuti masuknya virus ke dalam Reticulo Endothelial

System (RES) yang kemudian mengadakan replikasi kedua yang sifat viremianya

lebih luas dan simptomatik dengan penyebaran virus ke kulit dan mukosa. Sebagian

virus juga menjalar melalui serat-serat sensoris ke satu atau lebih ganglion sensoris

dan berdiam diri atau laten didalam neuron. Selama antibodi yang beredar didalam

darah masih tinggi, reaktivasi dari virus yang laten ini dapat dinetralisir, tetapi pada

saat tertentu dimana antibodi tersebut turun dibawah titik kritis maka terjadilah

reaktivasi dari virus sehingga terjadi herpes zoster.

Patofisiologi herpes simpleks masih belum jelas, ada kemungkinan :

a. Infeksi primer akibat transmisi virus secara langsung melalui jalur neuronal

dari perifer ke otak melalui saraf Trigeminus atau Offactorius.

b. Reaktivitas infeksi herpes virus laten dalam otak.

c. Pada neonatus penyebab terbanyak adalah HSV-2 yang merupakan infeksi dari

secret genital yang terinfeksi pada saat persalinan.

F. TANDA DAN GEJALA

Masa inkubasi herpes genitalis biasanya berkisar antara 3-5 hari untuk infeksi

primeryang simtomatik, kadang 10 hari, jarang mencapai 3 minggu.

1. Primary Genital Herpes


Lesi pada daerah genital atau perianal multipel, biasanya bilateral.

Umumnyadapat ditemukanvaginal discharge, Urethral dischargeumum

ditemukan padalaki-

laki, biasanya disertai dengan disuria berat. Lesi kutaneus munculsetelah 7-15

hari berupa papul, menjadi vesikel, menjadi pustul, menjadiulkus, lalu menjadi

krusta.Lesi pada mukosa atau permukaan yang lembab (misalnya introitus

vagina,labia minor, uretra, rektum) mengalami ulserasi lebih awal, sering

disertaidengan nyeri yang berat dan tidak berubah menjadi krusta. Nyeri dan

bengkak

padadaerahinguinaljugaseringditemukan,biasanyabilateral.Infeksiyangdidapatk

an melalui seks secara anal dapat dirasakan nyeri pada rektum, keluarcairan,

tenesmus, dan beberapa gejala dari proctitis. Demam, malaise, nyerikepala

juga sering ada, dan kadang-kadang fotofobia dan kaku pada leher (Handsfield,

2011).

2. First Episode Nonprimary Genital Herpes

Lesi yang ditemukan pada tipe ini biasanya lebih sedikit daripada

infeksi primer.Biasanyaterjadi selama 10-

20 hari.Nyeridanbengkakpadadaerahinguinal lebih jarang ditemukan daripada

infeksi primer.

3. Recurrent Genital Herpes

Pada herpes genitalis rekuren biasanya terbentuk lesi berkelompok yang

terdiridari 2-10 lesi, lokasinya di bagian lateral dari garis tengah dan hanya

terdapatdi satu sisi tubuh. Lesi tersebut biasanya timbul 2-3 cm dari lokasi

lesisebelumnya. Gejala infeksi rekuren selain dapat terjadi di genital dan


perianal, juga dapat terjadi di daerah bokong, paha, dan perut bagian bawah (d

isebut juga area boxer shorts). Lesi yang paling sering ditemukan adalah

lesiulseratif atipikal, tanpa didahului oleh periode vesikular ataupun

pustular.Gejala neurologis prodormal biasanya muncul 1-2 hari sebelum

timbul lesi , biasanyaberupa paresthesia

(rasaterbakar,kesemutan),atauhypesthesiapadadaerah lesi atau di sepanjang

perjalanan nervus sakralis. Gejala sistemik dan pembengkakan daerah

inguinal jarang ditemukan.

Gambar 1. Herpes genitalis rekuren pada penis. Vesikel berkelompok dengan krusta di
bagian sentral,dasar yang meninggi dan berwarna merah. 4B. Herpes genitalis rekuren
pada vulva. Erosi berukuran besar dan sangat nyeri di labia.
Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 7th ed

G. DIAGNOSTIK PENUNJANG

Terdapat beberapa metode pemeriksaan laboratorium yang dapat digunakan

untukmenunjang penegakan diagnosis infeksi HSV, tentunya dengan spesifisitas

dansensitivitas yang beragam. Metode-metode tersebut antara lain:

1. Pemeriksaan sitology

Pemeriksaan sitologi dilakukan denganTzanck smears, pewarnaanPapanicolaou

atau Romanovsky, dan imunofluoresens.Tzanck


smearsdenganpewarnaanGiemsamenggunakanbahan dari kerokan lesi kulit atau mu

kosa.Dapat ditemukan sel datia berinti banyak dan badan inklusi

intranuklear.Inimerupakan pemeriksaan yang murah, namun spesifisitas dan

sensitivitasnya rendah (Handoko,2010).

2. Pemeriksaaan biologi molecular

Akhir-akhir ini, deteksi DNA HSV berdasarkan amplifikasi asam nukleat

dan polymerase chain reaction (PCR) sudah menjadi metode alternatif

karena pemeriksaan ini empat kali lebih sensitif, hasilnya tidak dipengaruhi oleh

cara pengumpuan

sampeldanprosestransportasisertapengerjaannyalebih cepatdaripada kultur virus.

Sampel pemeriksaan didapatkan dari swab, kerokan lesikulit, cairan dari vesikel,

eksudat dari dasar vesikel, atau sampel dari mukosayang tidak terdapat lesi.

Keuntungan dari pemeriksaan ini adalah sensitivitasdan spesifisitas nya paling

tinggi daripada pemeriksaan yang lain.

Namun pemeriksaan ini hanya bisa dilakukan di laboratorium tertentu yang

memilikifasilitas yang mendukung pemeriksaan tersebut.

3. Kultur virus

Kultur virus digunakan untuk menentukan tipe virus, sudah lama menjadilandasan

untuk penegakan diagnosis infeksi HSV selama dua dekade terakgirdan sudah

ditentukan sebagai gold standard diagnosis laboratoris untukninfeksi HSV.

Sampel diambil dari swab, kerokan lesi kulit, cairan dari vesikel,eksudat dari dasar

vesikel, atau dari mukosa yang tanpa lesi. Pemeriksaan inicukup mahal, tidak lebih
sensitif dari PCR, sensitivitasnya bervariasi darirendah ke tinggi tergantung

keadaan klinis pasien dan spesifisitasnya cukup tinggi.

4. Deteksi antigen virus

Antigen virus dapat dideteksi olehdirect immunofluorescence (IF)assay dengan

menggunakan antibodi monoklonal spesifik yang sudah diberi labelfluorescein,

atau olehenzyme immunoassay (EIA) pada swab. Sampel diambildari swab,

kerokan dari lesi, cairan dari vesikel, dan eksudat dari dasar vesikel.Spesifisitas

kedua pemeriksaan tersebut cukup tinggi, yaitu berkisar antara 62-100% untuk

pemeriksaan ELISA, dan padaimmunoperoxidase staining dapatmencapai 90%.

Sensitivitas kedua pemeriksaan tersebut cukup tinggi, yaitu berkisar antara 85-

90%.

H. ASUHAN KEPERAWATAN (minimal 4 diagnosa keperawatan merujuk pada

NANDA)

A. Pengkajian

a. Riwayat :

Riwayat menderita penyakit cacar

Riwayat immunocompromised (HIV/AIDS, leukimia)

Riwayat terapi radiasi

b. Diet

c. Keluhan utama

Nyeri

Sensasi gatal

Lesi kulit
Kemerahan

Fatique

d. Riwayat psikososial

Kondisi psikologis pasien

Kecemasan

Respon pasien terhadap penyakit

e. Pemeriksaan fisik

Tanda vital

Tes diagnostic

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

Berdasarkan data pengkajian, diagnosa keperawatan utama yang muncul adalah :

1) Gangguan rasa nyaman nyeri b.d proses inflamasi virus

2) Gangguan integritas kulit b.d vesikel yang mudah pecah

3) Gangguan citra tubuh b.d perubahan penampilan, sekunder akibat penyakit herpes.

4) Potensial terjadi penyebaran penyakit b.d infeksi virus Kurang pengetahuan

C. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN

Diagnosa Perencanaan Keperawatan


No
Tujuan dan Kriteria Hasil Rencana Keperawatan
Keperawatan
1. Gangguan rasa nyaman Tujuan : 1) Kaji kualitas & kuantitas
nyeri Rasa nyaman terpenuhi nyeri
setelah tindakan
keperawatan 2) Kaji respon klien terhadap
nyeri
Kriteria hsil :
Rasa nyeri 3) Jelaskan tentang proses
berkurang/hilang penyakitnya
Klien bias istirahat
dengan cukup 4) Ajarkan teknik distraksi
Ekspresi wajah tenang dan relaksasi

5) Hindari rangsangan nyeri

6) Libatkan keluarga untuk


menciptakan lingkungan
yang teraupeutik

7) Kolaborasi pemberian
analgetik sesuai program
2. Gangguan integritas Tujuan : 1) Kaji tingkat kerusakan
kulit Integritas kulit tubuh kulit
kembali dalam waktu 7-10
hari 2) Jauhkan lesi dari
Kriteria hasil : manipulasi dan
Tidak ada lesi baru kontaminasi
Lesi lama mengalami
involusi 3) Kelola tx topical sesuai
program

4) Berikan diet TKTP


3. Gangguan citra tubuh Tujuan : 1) Ciptakan hubungan saling
Setelah dilakukan tindakan percaya antara klien-
keperawatan gangguan perawat.
citra tubuh akan 2) Dorong klien untuk
hilang/berkurang menyatakan perasaannya ,
terutama tentang cara
Kriteria hasil : iamerasakan , berpikir,
Klien mengatakan dan atau memandang dirinya.
menunjukkan 3) Jernihkan kesalahan
penerimaan atas konsepsi individu tentang
penampilannya dirinya,
penatalaksanaan,atau
Menunjukkan keinginan perawatan dirinya.
dan kemampuan untuk 4) Hindari mengkritik .
melakukan perawatan 5) Jaga privasi dan
diri lingkungan individu.
6) Berikan informasi yang
Melakukan pola-pola dapat dipercaya dan
penanggulangan yang penjelasan informasi
baru yangtelah diberikan.
7) Tingkatkan interaksi
social.
8) Dorong klien untuk
melakukan aktivitas.
9) Hindari sikap terlalu
melindungi, tetapi terbatas
pada permintaan individu.
10) Dorong klien dan keluarga
untuk menerima keadaan.
11) Beri kesempatan klien
untuk berbagi pengalaman
dengan orang lain.
12) Lakukan diskusi tentang
pentingnya
mengkomunikasikan
penilaian kliendan
pentingnya sistem daya
dukungan bagi mereka.
13) Dorong klien untuk
berbagi rasa, masalah,
kekuatiran, dan
persepsinya.
4. Potensial terjadi Tujuan :
penyebaran penyakit Setelah perawatan tidak 1) Isolasikan klien
terjadi penyebaran penyakit
2) Gunakan teknik aseptic
dalam perawatannya

3) Batasi pengunjung dan


minimalkan kontak
langsung

4) Jelaskan pada
klien/keluarga proses
penularannya
DAFTAR PUSTAKA

Handoko RP. Herpes Simpleks. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu PenyakitKulit

dan Kelamin. 6th ed. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran UniversitasIndonesia;

2010. P.380-2

Handsfield HH. Color Atlas & Synopsis of Sexually Transmitted Diseases. 3rd ed. New

York: McGraw-Hill; 2011. P.109-31

Herdman, T.H. & Kamitsuru, S. 2014. NANDA International Nursing Diagnoses:

Definitions & Classification, 20152017. 10 nd ed. Oxford: Wiley Blackwell.

Legoff J, Pere H, Belec L. Diagnosis of Genital Herpes Simplex Virus Infection in

theClinical Laboratory. Virology Journal 2014; 11: 1-17. doi:10.1186/1743-422X-11-83.

Marques AR, Straus SE. Herpes Simplex. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest

BA, Paller AS, Leffell DJ. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine.7th ed. New

York: McGraw-Hill; 2008. P.1873-85

Melancon JM. Herpes Simplex. In: Arndt KA, Hsu JTS, Alam M, Bhatia A, Chilukuri S.

Manual of Dermatologic Therapeutics. 8th ed. Philadelphia: Lippincott Williams &

Wilkins; 2014. P.150-9

Anda mungkin juga menyukai