Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PRAKTIK

PRAKTIK KEPERAWATAN 4 (PK 4)


KEPERAWATAN MATERNITAS
MAHASISWA PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN
KEPERAWATAN

LAPORAN PENDAHULUAN
HERPES SIMPLEKS

Disusun oleh :
Muhammad Arfian Nur Rizky Matnur Heldalina
NIM. P07220218016

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KALIMANTAN TIMUR
JURUSAN KEPERAWATAN PROGRAM STUDI SARJANA
TERAPAN KEPERAWATAN
TAHUN 2021
BAB I
LAPORAN PENDAHULUAN

Nama Perceptee : Muhammad Arfian Nur Rizky M.H.


NIM : P07220218016
Tanggal Praktik : 8- 12 Januari 2021

A. Judul Kasus
Laporan Pendahuluan : Herpers Simplex

B. Pengertian
Herpes simpleks adalah infeksi akut yang disebabkan oleh herpes simpleks virus
(HSV) tipe I atau tipe II yang ditandai dengan adanya vesikel yang berkelompok di atas
kulit yang sembab dan eritematosa pada daerah dekat mukokutan (Handoko, 2010).

Penyakit herpes simpleks tersebar kosmopolit dan menyerang baik pria maupun
wanita dengan frekuensi yang tidak berbeda. Infeksi primer oleh herpessimpleks virus
(HSV) tipe I biasa pada usia anak-anak, sedangkan infeksi HSV tipe II biasa terjadi pada
dekade II atau III dan berhubungan dengan peningkatan aktivitas seksual (Handoko,
2010).

C. Etiologi
Herpes simpleks virus (HSV) tipe I dan II merupakan virus herpeshominis yang
merupakan virus DNA. Pembagian tipe I dan II berdasarkan karakteristik pertumbuhan
pada media kultur, antigenic marker dan lokasi klinis tempat predileksi (Handoko,
2010). HSV tipe I sering dihubungkan dengan infeksi oral sedangkan HSV tipe II
dihubungkan dengan infeksi genital. Semakin seringnya infeksi HSV tipe I di daerah
genital dan infeksi HSV tipe II di daerah oral kemungkinan disebabkan oleh kontak
seksual dengan cara oral-genital (Habif, 2004).

D. Tanda & Gejala


Infeksi herpes simpleks virus berlangsung dalam tiga tahap: infeksi primer, fase laten
dan infeksi rekuren.

a. Infeksi primer
Pada infeksi primer herpes simpleks tipe I tempat predileksinya pada daerah
mulut dan hidung pada usia anak-anak. Sedangkan infeksi primer herpes simpleks
virus tipe II tempat predileksinya daerah pinggang ke bawah terutama daerah
genital.Infeksi primer berlangsung lebih lama dan lebih berat sekitar tiga minggu
dan sering disertai gejala sistemik, misalnya demam, malaise dan anoreksia.
Kelainan klinis yang dijumpai berupa vesikel berkelompok di atas kulit yang
sembab dan eritematosa, berisi cairan jernih dan menjadi seropurulen, dapat
menjadi krusta dan dapat mengalami ulserasi (Handoko, 2010).

b. Infeksi fase laten


Pada fase laten penderita tidak ditemukan kelainan klinis, tetapi herpes simpleks
virus dapat ditemukan dalam keadaan tidak aktif pada ganglion dorsalis
(Handoko, 2010).
c. Infeksi rekuren

Pada tahap infeksi rekuren herpes simpleks virus yang semula tidak aktif di
ganglia dorsalis menjadi aktif oleh mekanisme pacu (misalnya: demam, infeksi,
hubungan seksual) lalu mencapai kulit sehingga menimbulkan gejala klinis yang
lebih ringan dan berlangsung sekitar tujuh sampai sepuluh hari disertai gejala
prodormal lokal berupa rasa panas, gatal dan nyeri. Infeksi rekuren dapat timbul
pada tempat yang sama atau tempat lain di sekitarnya (Handoko, 2010).

E.
F. Patofisiologi
Infeksi primer: HSV masuk melalui defek kecil pada kulit atau mukosa dan
bereplikasi lokal lalu menyebar melalui akson ke ganglia sensoris dan terus bereplikasi.
Dengan penyebaran sentrifugal oleh saraf-saraf lainnya menginfeksi daerah yang lebih
luas. Setelah infeksi primer HSV masuk dalam masa laten di ganglia sensoris (Sterry,
2006).

Menurut Habif (2004) infeksi HSV ada dua tahap: infeksi primer, virus menyerang
ganglion saraf; dan tahap kedua, dengan karakteristik kambuhnya penyakit di tempat
yang sama. Pada infeksi primer kebanyakan tanpa gejala dan hanya dapat dideteksi
dengan kenanikan titer antibody IgG. Seperti kebanyakan infeksi virus, keparahan
penyakit meningkat seiring bertambahnya usia. Virus dapat menyebar melalui udara via
droplets, kontak langsung dengan lesi, atau kontak dengan cairan yang mengandung
virus seperti ludah. Gejala yang timbul 3 sampai 7 hari atau lebih setelah kontak yaitu:
kulit yang lembek disertai nyeri, parestesia ringan, atau rasa terbakar akan timbul
sebelum terjadi lesi pada daerah yang terinfeksi. Nyeri lokal, pusing, rasa gatal, dan
demam adalah karakteristik gejala prodormal.
Vesikel pada infeksi primer HSV lebih banyak dan menyebar dibandingkan infeksi
yang rekuren. Setiap vesikel tersebut berukuran sama besar, berlawanan dengan vesikel
pada herpes zoster yang beragam ukurannya. Mukosa membran pada daerah yang lesi
mengeluarkan eksudat yang dapat mengakibatkan terjadinya krusta. Lesi tersebut akan
bertahan selama 2 sampai 4 minggu kecuali terjadi infeksi sekunder dan akan sembuh
tanpa jaringan parut (Habif, 2004).
Virus akan bereplikasi di tempat infeksi
primer lalu viron akan ditransportasikan oleh
saraf via retrograde axonal flow ke ganglia
dorsal dan masuk masa laten di ganglion.
Trauma kulit lokal (misalnya: paparan sinar
ultraviolet, abrasi) atau perubahan sistemik
(misalnya: menstruasi, kelelahan, demam)
akan mengaktifasi kembali virus tersebut
yang akan berjalan turun melalui saraf perifer
ke tempat yangtelah terinfeksi sehingga
terjadi infeksi rekuren. Gejala berupa rasa
gatal atau terbakar terjadi selama 2 sampai 24
jam dan dalam 12 jam lesi tersebut berubah dari kulit yang eritem menjadi papula hingga
terbentuk vesikel berbentuk kubah yang kemudian akan ruptur menjadi erosi pada
daerah mulut dan vagina atau erosi yang ditutupi oleh krusta pada bibir dan kulit. Krusta
tersebut akan meluruh dalam waktu sekitar 8 hari lalu kulit tersebut akan reepitelisasi
dan berwarna merah muda (Habif, 2004).
Infeksi HSV dapat menyebar ke bagian kulit mana saja, misalnya: mengenai jari-jari
tangan (herpetic whitlow) terutama pada dokter gigi dan perawat yang melakukan
kontak kulit dengan penderita. Tenaga kesehatan yang sering terpapar dengan sekresi
oral merupakan orang yang paling sering terinfeksi (Habif, 2004). Bisa juga mengenai
para pegulat (herpes gladiatorum) maupun olahraga lain yang melakukan kontak tubuh
(misalnya rugby) yang dapat menyebar ke seluruh anggota tim (Sterry, 2006)
G. Pemeriksaan Diagnostik
a. Kultur virus
Kultur virus herpes bertujuan untuk mendiagnosis adanya virus herpes. Kultur
virus herpes dilakukan dengan mengambil sampel melalui metode swab dari area
kulit atau genital yang terinfeksi, untuk selanjutnya di periksa di laboratorium.
Pemeriksaan kultur virus ini terutama dilakukan untuk mendeteksi atau
mengkonfirmasi keberadaan virus herpes, sekaligus menentukan jenis virus herpes
yang menginfeksi.
b. Pemeriksaan Tzank
Pemeriksaan Tzank dilakukan dengan mengambil sampel dari ruam kulit untuk
selanjutnya diperiksa di bawah mikroskop. Hasil pemeriksaan ini bisa menentukan
apakah lesi yang timbul disebabkan oleh virus herpes. Kendati demikian,
pemeriksaan ini tidak bisa mengidentifikasi jenis virus herpes yang menyebabkan
infeksi.
c. Tes antibodi
Saat terserang virus, tubuh memproduksi antibodi sebagai perlawanan. Tes
antibodi bertujuan untuk mendeteksi ada tidaknya antibodi terhadap virus herpes.
Tes antibodi dilakukan dengan mengambil sampel darah, kemudian dianalisis di
laboratorium untuk dicek keberadaan antibodi yang terbentuk akibat infeksi virus
herpes.
Hasil tes antibodi akan sangat membantu diagnosis pada pasien yang tidak
mengalami luka atau lepuhan pada kulit. Pemeriksaan ini sering digunakan
mendiagnosis infeksi HSV 1 atau pun HSV 2.

H. Penatalaksanaan Medis
Pada lesi yang dini dapat digunakan obat topikal berupa salep/krim yang
mengandung preparat idoksuridin (stoxil, viruguent, virunguent-P) atau preparat
asiklovir (zovirax). Pengobatan oral preparat asiklovir dengan dosis 5 x 200 mg per
hari selama 5 hari mempersingkat kelangsungan penyakit. Pemberian parenteral
asiklovir atau preparat adenine arabinosid (vitarabin) dengan tujuan penyakit yang
lebih berat atau terjadi komplikasi pada organ dalam (Handoko, 2010).
Pada terapi sistemik digunakan asiklovir, valasiklovir, atau famsiklovir. Jika
pasien mengalami rekuren enam kali dalam setahun, pertimbangkan untuk
menggunakan asiklovir 400 mg atau valasiklovir 1000 mg oral setiap hari selama satu
tahun. Untuk obat oles digunakan lotion zinc oxide atau calamine. Pada wanita hamil
diberi vaksin HSV sedangkan pada bayi yang terinfeksi HSV disuntikkan asiklovir
intravena (Sterry, 2006)..

I. KOMPLIKASI
Komplikasi akibat infeksi virus herpes juga bisa tergantung pada jenis virus yang
menginfeksi. Saat terinfeksi virus herpes simpleks, beberapa komplikasi yang bisa
timbul antara lain:
 Penyebaran infeksi ke bagian tubuh lain
 Hepatitis
 Radang paru-paru
 Radang otak dan selaput otak
 Esofagitis
 Kematian jaringan retina mata.

J.
K. Proses Keperawatan (Sesuai Teori)
1. Pengkajian
a. Anamnesis
1. Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan, suku/bangsa, agama,
status perkawinan, tanggal masuk rumah sakit, nomor register dan diagnosa
medik.
2. Keluhan utama
Gejala yang sering menyebabkan penderita datang ketempat pelayanan
kesehatan adalah nyeri pada lesi yang timbul.
3. Riwayat penyakit sekarang
 Kembangkan pola PQRST pada setiap keluhan klien.
 Pada beberapa kasus, timbul lesi/vesikel perkelompok pada penderita yang
mengalami demam atau penyakit yang disertai peningkatan suhu tubuh
atau pada penderita yang mengalami trauma fisik maupun psikis.
 Penderita merasakan nyeri yang hebat, terutama pada area kulit yang
mengalami peradangan berat dan vesikulasi hebat.
4. Riwayat penyakit dahulu
Sering diderita oleh klien yang pernah mengalami penyakit herpes simplex
atau memiliki penyakit seperti ini.
5. Riwayat penyakit keluarga
Ada anggota keluarga atau teman dekat yang terinfeksi virus ini.
6. Riwayat psikososial
Klien dengan penyakit kulit, terutama yan lesinya berada pada bagian muka
atau yang dapat dilihat orang, biasanya mengalami gangguan konsep diri. Hal
itu meliputi perubahan citra tubuh, ideal diri, harga diri penampilan peran,
atau identitas diri. Reaksi yang mungkin timbul adalah:
 Menolak untuk menyentuh atau melihat salah satu bagian tubuh.
 Menarik diri dari kontak social.
 Kemampuan untuk mengurus diri berkurang
b. Pola fungsi kesehatan
Adapun yang harus dikaji antara lain:
1. Aktivitas/Istirahat
Tanda : Kurang tidur/gangguan tidur; gangguan hubungan seksual, emosional
dan menstruasi pada wanita; sering berganti-ganti pasangan; hubungan
seksual yang tidak aman; malaise
2.
3. Sirkulasi
Tanda : Kulit hangat, demam; peningkatan TD/nadi akibat demam, nyeri,
ansietas; kemerahan di sekitar vulva; sakit kepala.
4. Eliminasi
Tanda : rabas purulent pada wanita; disuria (nyeri saat berkemih); rasa
terbakar/melepuh
5. Makanan/Cairan
Tanda : anoreksia, penurunan BB akibat ansietas
6. Nyeri/Kenyamanan
Tanda : nyeri pada area vulva/genitalia; nyeri pada otot (mialgia); radang
papula dan vesikel yang berkelompok di permukaan genital; gatal
c. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum klien bergantung pada luas, lokasi timbulnya lesi, dan daya
tahan tubuh klien. Pada kondisi awal/pada proses peradangan, dapat terjadi
peningkatan suhu tubuh atau demam dan perubahan tanda-tanda vital yang lain.
Pada pengkajian kulit, ditemukan adanya vesikel-vesikel berkelompok yang
nyeri, dan penglihatan klien.
Untuk mengetahui adanya nyeri, kita dapat mengkaji respon klien terhadap
nyeri akut secara fisiologis atau melalui respon perilaku. Secara fisiologis, terjadi
diaphoresis (berkeringat), peningkatan denyut jantung, peningkatan pernapasan,
dan peningkatan tekanan darah, pada perilaku, dapat juga dijumpai menangis,
merintih, atau marah. Lakukan pengukuran nyeri dengan menggunakan skala
nyeri 0-10 untuk orang dewasa. Untuk anak-anak, pilih skala yang sesuai dengan
usia perkembangannya, bisa menggunakan skala wajah untuk mengkaji nyeri
sesuai usia dan libatkan anak dalam pemilihan

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada kasus Herpes simpleks
berdasarkan SDKI (2017), diantaranya :
1) Nyeri akut (D.0077) b.d agen pencedera fisiologis (inflamasi, infeksi herpes)
2) Gangguan Integritas/kulit (D.0129) b.d neuropati perifer (Herpes), faktor
mekanis (menggaruk lesi)
3) Hipertermia (D.0130) b.d proses penyakit (infeksi herpes)
4) Gangguan citra tubuh (D.0083) b/d perubahan struktur/bentuk tubuh
5) Pola seksual tidak efektif (D.0071) b.d ketakutan terinfeksi penyakit
menular seksual, hambatan hubungan dengan pasangan
6) Ansietas (D.0080) b.d krisis situasional, kurang terpapar informasi
7) Defisit pengetahuan (D.0111) b.d kurang terpapar informasi
8) Risiko infeksi (D.0142) d.d penyakit kronis (herpes), ketidak-adekuatan
pertahanan tubuh primer (kerusakan integritas kulit)

3. Rencana Tindakan Keperawatan


Rencana tindakan keperawatan yang terdiri dari tujuan dan kriteria hasil sesuai
SLKI (2019) dan intervensi keperawatan sesuai SIKI (2018), diantaranya :
Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil
No.
Keperawatan (SLKI) Intervensi Keperawatan (SIKI)
1. Nyeri akut (D.0077) Tujuan : Setelah dilakukan 1.1 Manajemen nyeri (I.08238)
b.d agen pencedera intervensi keperawatan dikolaborasikan dengan
fisiologis (inflamasi, selama 1 x 30 menit, maka pemberian analgetik (I.08243)
infeksi herpes) status tingkat nyeri pasien
menurun. (L.08066) Observasi

Kriteria hasil :  Identifikasi lokasi,


Karakteristik, durasi,
 Frekuensi nadi pasien frekuensi, kualitas,
membaik (60-100 intensitas nyeri
x/menit)  identifikasi skala nyeri
 Pola nafas pasien  Identifikasi factor
membaik (16-20 x/menit) memperberat dan
 Keluhan nyeri pasien memperingan nyeri
menurun (skala 0)  Identifikasi riwayat
alergi obat
 Monitor efektifitas
analgetik

Terapeutik

 Fasilitasi istirahat dan


tidur

Edukasi

 Jelaskan penyebab,
periode, dan pemicu
nyeri
 Jelaskan strategi
meredakan nyeri
 Jelaskan efek terapi dan
efek samping obat

Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian
farmakologis (analgetik)
2. Gangguan Tujuan : Setelah dilakukan 2.1 Perawatan integritas Kulit
Integritas/kulit intervensi keperawatan (I.11353)
(D.0129) b.d neuropati selama 3 x 8 jam, maka
perifer (Herpes), status integritas kulit dan Observasi
faktor mekanis jaringan pasien meningkat.  Identifikasi penyebab
(menggaruk lesi) (L.14125) gangguan integritas kulit
Kriteria hasil : Terapeutik
 Kerusakan jaringan  Ubah posisi tiap 2 jam jika
menurun tirah baring
 Nyeri menurun (skala 0)  Lakukan pemijatan pada
 Kemerahan menurun area menonjolan tulang, jika
 Jeringan parut menurun perlu
 Gunakan produk berbahan
pertolium atau minyak pada
kulit kering
 Gunakan produk berbahan
ringan dan/alami dan
hipoalergik pada kulit
sensitif
 Hindarkan produk berbahan
dasar alkohol pada kulit
kering

Edukasi

 Anjurkan menggunankan
pelembab (mis. Lotion)
 Anjurkan minum yang
cukup
 Anjurkan meningkatkan
asupan nutrisi
 Anjurkan meningkatkan
asupan buah dan sayur
 Anjurkan menghindari
terpapar suhu ekstrem
 Anjurkan mandi dengan
sabun secukupnya

2.2 Perawatan luka (I.14564)


dikolaborasikan dengan
Perawatan area insisi
(I.14558)

Observasi

 Monitor karakteristik luka


(mis. Drainasi, warna,
ukuran, bau)
 Periksa lokasi insisi adanya
kemerahan, bengkak, dan
tanda-tanda dehisensi
 Monitor proses penyebuhan
area insisi
 Monitor tanda dan gejala
infeksi
 Monitor tanda-tanda infeksi

Terapeutik

 Lepaskan balutan dan


plester secara perlahan
 Cukur rambut disekitar
daerah luka, jika perlu
 Bersihkan dengan cairan
NaCl atau pembersih
nontoksik, sesuai kebutuhan
 Bersihkan jaringan nekrotik
 Usap area insisi dari area
yang bersih menuju area
yang kurang bersih
 Berikan salep yang sesuai
ke kulit/lesi, jika perlu
 Pasang balutan sesuai
dengan jenis luka
 Pertahankan teknik steril
saat melakukan perawtan
luka
 Ganti balutan luka sesuai
jadwal
 Berikan diet dengan kalori
30-35 kkal/kgBB/hari dan
protein 1,25-1,5
gr/kgBB/hari

Edukasi

 Jelaskan tanda dan gejala


infeksi
 Anjurkan mengkonsumsi
makanan tinggi protein dan
kalori
 Ajarkan prosedur perawatan
luka secara mandiri

Kolaborasi

 Kolaborasi prosedur
debridement, jika perlu
 Kolaborasi pemberian
antibiotik, jika perlu

3. Hipertermia (D.0130) Tujuan : Setelah dilakukan 3.1 Manajemen termoregulasi


b.d proses penyakit intervensi selama 1 x 3 jam, (I.08238) dikolaborasikan
(infeksi herpes) maka status termoregulasi dengan Pemberian obat oral
pasien membaik. (L.14134) (I.03128)

Kriteria Hasil: Observasi

 Suhu tubuh pasien dalam  Identifikasi penyebab


batas normal (36,5 – 37,5 hipertermia (dehidrasi,
ᵒC) infeksi)
 Frekuensi nafas pada  Monitor suhu tubuh
batas normal (16-20  Monitor kompikasi
x/menit) hipertermia
 Observasi kemungkinan
alergi, interaksi dan kontra-
indikasi obat

Terapeutik

 Sediakan lingkungan yang


sejuk
 Longgarkan atau lepaskan
pakaian
 Berikan oksigen, jika perlu
 pemberian antiperitik atau
aspirin
 Lakukan prinsip 6 benar
 Berikan obat sebelum/
sesudah makan sesuai
kebutuhan

Edukasi

 Anjuran tirah baring

Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian
cairan dan elektrolit
intravena, jika perlu
 Kolaborasi pemberian
antipiretik, jika perlu
 Jelaskan jenis obat , alasan
pemberian, tindakan yang
diharapkan, dan efek
samping sebelum
pemberian
4. Gangguan citra tubuh Tujuan : Setelah dilakukan 4.1 Promosi citra tubuh (I.09305)
(D.0083) b/d perubahan intervensi selama 1 x 1 jam, dikolaborasikan dengan
struktur/bentuk tubuh maka status citra tubuh promosi koping (I.09312)
pasien meningkat.
(L.09067) Observasi

Kriteria hasil :  Identifikasi harapan citra


tubuh berdasarkan tahap
 Verbalisasi kecacatan perkembangan
bagian tubuh menurun  Identifikasi perubahan citra
 Verbalisasi perasaan tubuh yang mengakibatkan
negatif tentang isolasi sosial
perubahan tubuh  Monitor frekuensi
menurun pernyataan kritik terhadap
 Verbalisasi kekhawatiran diri sendiri
pada penolakan/reaksi
orang lain Terapeutik
 Respon nonverbal pada  Diskusikan perubahan
perubahan tubuh tubuh dan fungsinya
membaik  Diskusikan perbedaan
 Hubungan sosial penampian fisik terhadap
membaik harga diri
 Diskusikan cara
mengembangkan harapan
citra tubuh secara realistis
 Diskusikan presepsi pasien
dan keluarga tentang
perubahan citra tubuh

Edukasi

 Jelaskan kepada keluarga


tentang perawatan
perubahan citra tubuh
 Anjurkan mengungkapkan
gambaran diri tentang citra
tubuh
 Latih pengungkapan
kemampuan diri kepada
orang lain maupun
kelompok

5. Pola seksual tidak Tujuan : setelah dilakukan 5.1 Edukasi seksualitas (I.12447)
efektif (D.0071) b.d intervensi selama 3 x 8 jam, dikolaborasikan dengan
ketakutan terinfeksi maka status kontrol resiko konseling seksualitas (I.07214)
penyakit menular pasien dan keluarga
seksual, hambatan meningkat (L.14128) Observasi
hubungan dengan  Identifikasi kesiapan dan
pasangan Kriteria hasil :
kemampuan menerima
 Kemampuan mencari informasi
informasi tentang faktor
resiko meningkat  Identifikasi masalah sistem
reproduksi, masalah
 Kemampuan
seksualitas dan penyakit
mengidentifikasi faktor
menular
risiko meningkat
 Kemampuan melakukan  Monitor stres, kecemasan,
stratefi kontrol resiko depresi dan penyebab
meningkat disfungsi seksual

Terapeutik

 Sediakan materi dan media


pendidikan kesehatan
 Jadwalkan pendidikan
kesehatan sesuai kesepakatan
 Berikan kesempatan untuk
bertanya

Edukasi

 Jelaskan jenis obat , alasan


pemberian, tindakan yang
diharapkan, dan efek
samping sebelum
pemberian
 Edukasi anatomi dan
fisiologi sistem reproduksi
 Jelaskan resiko tertular
penyakit menular seksual

Kolaborasi

 Kolaborasi dengan spesialis


seksologi, jika perlu

6. Ansietas (D.0080) b.d Tujuan : Setelah dilakukan 6.1 Reduksi ansietas (I.09314)
krisis situasional, intervensi selama 1 x 1 jam,
kurang terpapar maka status tingkat ansietas Observasi
informasi pasien dan keluarga  Identifikasi saat tingkat
menurun. (L.09093) ansieras berubah
Kriteria Hasil:  Identifikasi kemamopuan
mengambil keputusan
 Frekuensi pernapasan  Monitor tanda-tanda ansietas
pasien membaik (16-20
x/menit) Terapeutik
 Frekuensi nadi pasien
 Ciptakan suasana terapeutik
membaik (60-100
untuk menumbuhkan
x/menit)
kepercayaan
 Tekanan darah pasien  Temani pasien untuk
membaik Pola tidur mengurangi kecemasan, jika
pasien membaik (7-9 perlu
jam/hari)  Pahami situasi yang
 Pasien dan keluarga tidak membuat ansietas
merasa kebingungan  Dengarkan dengan penuh
 Pasien dan keluarga tidak perhatian
merasa khawatir  Motivasi mengidentifikasi
 Pasien dan keluarga tidak situasi yang memicu
merasa gelisah dan kecemasan
tegang  Diskusikan perencanaan
realistis tntang peristiwa
yang akan datang

Edukasi

 Jelaskan prosedur, termasuk


sensasi yang akan dialami
 Informasikan secara faktual
mengenai diagnosis,
pengobatan, dan prognosis
 Amjurkan mngungkapkan
perasaan dan pressepsi
 Latih teknik relaksasi

7. Defisit pengetahuan Tujuan : Setelah dilakukan 7.1 Edukasi kesehatan (I.12383)


(D.0111) b.d kurang intervensi selama 1 x 1 jam,
terpapar informasi maka status tingkat Observasi
pengetahuan pasien dan  Identifikasi kesiapan dan
keluarga membaik. kemampuan menerima
(L.12111) informasi
Kriteria hasil : Terapeutik
 Pola tidur pasien  Sediakan materi dan media
membaik (7-9 jam/hari) pendidikan kesehatan
 Pasien dan keluarga tidak  Jadwalkan pendidikan
merasa kebingungan kesehatan sesuai
 Pasien dan keluarga tidak kesepakatan
merasa khawatir  Berikan kesempatan untuk
 Pasien dan keluarga tidak bertanya
merasa gelisah dan
tegang Edukasi

 Jelaskan faktor resiko yang


dapat mempengaruhi
kesehatan

8 Risiko infeksi (D.0142) Tujuan : Setelah dilakukan 8.1 Pencegahan infeksi (I.14539)
d.d penyakit kronis intervensi selama 1 x 1 jam,
(herpes), ketidak- maka status tingkat
Observasi
adekuatan pertahanan pengetahuan pasien dan
tubuh primer keluarga membaik.  Monitor tanda dan gejala
(kerusakan integritas (L.12111) infeksilokal dan sistemik
kulit)
Kriteria hasil : Terapeutik
 Pola tidur pasien  Lakukan prinsip 6 benar
membaik (pasien, obat, dosis, waktu,
 Pasien dan keluarga tidak rutem dokumentasi)
merasa kebingungan  Batasi jumblah pengunjung
 Pasien dan keluarga tidak  Berikan perawatan kulit
merasa khawatir  Cuci tangan sebelum dan
 Pasien dan keluarga tidak sesudah kontak dengan
merasa gelisah dan pasien dan lingkungan
tegang pasien
 Pertahankan teknik aseptik
pada pasien beresiko tinggi

Edukasi

 Jelaskan tanda dan gejala


infeksi
 Ajarkan cara mencuci
tangan dengan benar
 Ajarkan cara memeriksa
kondisi luka dan luka
operasi
 Anjurkan meningkatkan
asupan nutrisi dan cairan

Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian
imunisasi, jika perlu

8.2 Perawatan persalinan resiko


tinggi (I.07228)

Observasi

 Identifikasi kondisi umum


pasien
 Monitor tanda-tanda vital
pada ibu dan janin
 Monitor tanda persalinan
 Identifikasi posisi janin
dengan USG
 Identifikasi pendarahan
pascapersalinan
Terapeutik

 Dukung orang terdekat


 Gunakan tindakan
pencegahan universal
 Fasilitasi rotasi manual
kepala janin dan oksiput
posterior ke posisi anterior,
jika perlu
 Lakukan resusitasi neonatal,
jika perlu
 Dokumentasikan prosedur

Edukasi

 Jelaskan prosedur tindakan


yang dilakukan
 Jelaskan karakteristik bayi
baru lahir yang terkait
dengan kelahiran beresiko
tinggi

Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian
anestesi maternal, sesuai
kebutuhan

8.3 Manajemen imunisasi


(I.14508) dikolaborasikan
dengan pemberian obat
intravena (I.02065)

Observasi

 Identifikasi riwayat
kesehatan dan riwayat alergi
 Identifikasi status imunisasi
setiap kunungan ke
pelayanan kesehatan
 Identifikasi kemungkinan
alergi, interaksi dan
kontraindikasi obat
 Verivikasi obat sesuai
indikasi
 Periksa tanggal kadaluarsa
 Monitor efek terapeutik

Terapeutik

 Berikan suntikan pada bayi


di bagian paha anterolateral
 Dokumentasikan informasi
vaksinasi
 Jadwalkan imunisasi pada
interval waktu yang tepat

Edukasi

 Jelaskan tujuan,manfaat,
reaksi yang terjadi , jadwal
dan efek samping
 Informasikan imunisasi yang
diwajibkan pemerintah
(hepatitis B, BCG, difteri,
tetanus, pertusis,
H.Influenza, polio, campak,
measles, rubela)
 Informasikan imunisasi yang
melindungi terhadap
penyakit namun saat ini
tidak diwajibkan pemerintah
(herpes)

Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian
anestesi maternal, sesuai
kebutuhan
DAFTAR ISI

PPNI, T. P. S. D. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan:


Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
PPNI, T. P. S. D. (2017). Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan: Dewan
Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
PPNI, T. P. S. D. (2017). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan:
Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Bickley Lynn S & Szilagyi Peter G. (2018). Buku Saku Pemeriksaan Fisik & Riwayat
Kesehatan (p. 49). p. 49.
Elizabeth J. Corwin. (2011). Buku Saku Patofisiologi Corwin. Jakarta: Adityamedi
Katsambas, Andreas. 2015. European Handbook of Dermatological Treatments. New
York:Spinger
Hadinegoro , dkk. 2010. Terapi Asiklovir Pada Anak Dengan Varisela Tanpa Penyulit .
Departemen Ilmu Kesehatan Anak, RS Dr Cipto Mangunkusumo, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Sari Pediatri, Vol. 11, No. 6, April 2010
Wasitaatmadja,S,M. 2010 Anatomi Kulit dan Faal Kulit. ed. 6 Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Anda mungkin juga menyukai