Anda di halaman 1dari 75

56

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masa depan kesehatan masyarakat Indonesia yang ingin dicapai melalui

pembangunan kesehatan ditandai dengan penduduk yang hidup dalam

lingkungan dan perilaku hidup sehat, baik jasmani, rohani maupun sosial.

Masalah penyehatan lingkungan yaitu pembuangan tinja merupakan salah satu

dari berbagai masalah kesehatan yang perlu mendapatkan perhatian khusus

(Pulungan, 2015). Tingkat pencapaian pembinaan PHBS di Rumah Tangga

dapat diukur melalui 10 indikator, salah satu yang harus diperhatikan adalah

kepemilikan jamban (Kemenkes, 2011).

Masalah kesehatan adalah suatu masalah yang sangat kompleks, yang

saling berkaitan dengan masalah-masalah lain diluar kesehatan itu sendiri.

Demikian pula pemecahan masalah kesehatan masyarakat, tidak hanya dilihat

dari segi kesehatannya sendiri, tapi harus dilihat dari seluruh segi yang ada

pengaruhnya terhadap masalah “sehat-sakit” atau kesehatan tersebut. Menurut

Hendrik L. Blum ada 4 faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan

masyarakat, yaitu faktor keturunan, lingkungan, perilaku, dan pelayanan

kesehatan. Status kesehatan akan tercapai optimal, bilamana keempat faktor

tersebut secara bersama-sama mempunyai kondisi yang optimal. Jika salah satu

faktor saja berada dalam keadaan yang terganggu, maka status kesehatan

bergeser di bawah optimal (Pulungan, 2015).

1
2

Faktor lain yang harus diperhatikan adalah manusia mempunyai

kapasitas terbatas dalam pemprosesan informasi, yang menyatakan

dibutuhkannya respon adaptif, artinya, signifikansi stimulus akan dievaluasi

melalui proses pemantauan dan keputusannya dibuat atas dasar respon

pengatasan masalah. Hal ini menunjukan bahwa proses adaptasi manusia

membutuhkan waktu untuk dapat berubah dari kebiasaan buang air besar di

sungai/kali menjadi pembangunan jamban disekitar rumah (Putranti, 2013).

Pembuangan tinja yang dilaksanakan secara tidak layak tanpa memenuhi syarat

sanitasi dapat menyebabkan terjadinya pencemaran tanah dan sumber

penyediaan air bersih (Helmi, 2015).

Jamban yang ada di Desa Prasung yang terdiri dari 1287 kepala keluarga

(KK), yaitu 370 kepala keluarga memiliki kualitas jamban tidak sehat, bahkan

41 kepala keluarga tidak memiliki fasilitas buang air besar (BAB) tersebut.

Kepemilikan jamban dipengaruhi oleh beberapa faktor yang ada di masyarakat,

baik faktor non teknis yang berupa faktor tingkat pengetahuan masyarakat,

sosial-ekonomi dan budaya maupun faktor teknis yang berupa tersedianya

bahan dan tenaga terampil yang tersedia di masyarakat. Kepemilikan jamban

menjadi perhatian dikarenakan karena banyaknya faecal borne diseases yang

terjadi, salah satunya adalah diare disertai dengan banyak komplikasi yang

akhirnya dapat menyebabkan kematian (Putranti, 2013). Sebagai contoh diare

yang menempati nomer urut 8 dari 10 kasus terbanyak di Kecamatan Buduran.

Dimana di Desa Prasung sendiri terdapat 134 kasus penyakit diare yang

tercatat di Puskesmas Buduran. Dengan latar belakang di atas, peneliti


3

bertujuan untuk mengetahui hubungan faktor tingkat pengetahuan masyarakat

tentang penularan penyakit saluran alat cerna dengan kualitas jamban di Desa

Prasung kecamatan Buduran, Sidoarjo.

B. Rumusan Masalah

Adakah hubungan antara tingkat pengetahuan tentang penularan penyakit

saluran alat cerna dengan kualitas Jamban di Desa Prasung Kecamatan

Buduran, Sidoarjo?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan tentang penularan

penyakit saluran alat cerna dengan kualitas jamban di Desa Prasung

Kecamatan Buduran Sidoarjo.

2. Tujuan khusus

a. Untuk mendeskripsikan kualitas fasilitas pembuangan tinja

masyarakat (KK) (jamban yang baik, kurang baik dan yang tidak

memiliki jamban) di Desa Prasung Kecamatan Buduran, Sidoarjo

b. Untuk mendeskripsikan tingkat pengetahuan tentang penularan

penyakit saluran alat cerna masyarakat (KK) di Desa Prasung

Kecamatan Buduran, Sidoarjo.


4

c. Untuk mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan tentang

penularan penyakit saluran alat cerna dengan kualitas jamban di

Desa Prasung Kecamatan Buduran, Sidoarjo

D. Manfaat Hasil Penelitian

1. Bagi masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi

masyarakat tentang pentingnya untuk memiliki jamban yang sehat

sehingga dapat menekan kejadian penyakit yang berhubungan saluran

cerna

2. Bagi institusi

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam

mencegah penularan penyakit berbasis saluran alat cerna terutama yang

berkaitan dengan penyediaan jamban di Desa Prasung dan desa lain yang

memiliki karkteristik mendekati keadaan Desa Prasung.

3. Bagi peneliti

Sebagai upaya mengembangkan pengetahuan dalam pelaksanaan

penelitian, penulisan hasil penelitian dan menambah wawasan serta bekal

pengetahuan dalam bekerja di masyarakat.

4. Bagi pengembangan ilmu

Dapat menyediakan data-data tentang faktor-faktor yang melatarbelakangi

kualitas jamban sebagai bahan penelitian lebihh lanjut.


5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Penyakit Saluran Alat Cerna

1. Anatomi saluran pencernaan

Saluran pencernaan (traktus digestivus) pada dasarnya dalah suatu

saluran (tabung) dengan panjang sekitar 30 kaki (9 m) yang berjalan melalui

bagian tengah tubuh dari mulut ke anus. Saluran cerna terbagi menjadi

saluran cerna atas dan bawah yang dipisahkan oleh ligamentum treitz yang

merupakan bagian duodenum pars ascending yang berbatasan dengan

jejunum (Bangun, et al, 2006).

Intestinum Tenue dan Intestinum Crassum merupakan bagian saluran

pencernaan makanan (traktus digestivus). Setelah melewati pilorus disebut

Intestinum Tenue atau usus halus2. Usus halus adalah tabung yang kira-kira

sekitar dua setengah meter panjangnya dalam keadaan hidup. Angka yang

biasa diberikan, enam meter adalah penemuan setelah mati bila otot telah

kehilangan tonusnya. Usus halus memanjang dari lambung sampai katup

ilio-kolika, tempat bersambungnya dengan usus besar (Bangun, et al, 2006).

Usus halus terletak di daerah umbilikus dan dikelilingi oleh usus besar

dan dibagi dalam beberapa bagian yaitu duodenum, jejunum, dan ileum.

Karena tidak mempunyai mesenterium maka duodenum disebut juga

Intestinum Tenue non Mesenteriale dan jejunum serta ileum yang

5
6

mempunyai mesenterium disebut Intestinum Tenue Mesenteriale. (Bangun,

et al, 2006).

Duodenum disebut juga usus dua belas jari yaitu 12 jari orang yang

bersangkutan (panjang kira-kira 25 cm) yaitu bagian usus setelah pilorus

sampai pada permulaan jejunum, berbentuk sepatu kuda, dan kepalanya

mengelilingi kepala pankreas. Saluran empedu dan saluran pankreas masuk

ke dalam duodenum pada suatu lubang yang disebut ampula

hepatopankreatika, atau ampula vateri, sepuluh sentimeter dari pilorus

(Evelyn, 2006).

Duodenum ini sebagian besar letaknya secundair Retro

Peritoneal (semasa fetus muda letaknya Intra peritoneal kemudian pada

fetus lebih tua letaknya beralih melekat pada dinding belakang abdomen)

letaknya rapat pada dinding abdomen belakang kanan dan didepannya

dilapisi oleh peritoneum viscerale (Evelyn, 2006).

Sambungan duodenum dengan jejunum disebut flexura duodeno

jejunalis. Permukaan dalam duodenum dilapisis mukosa. Permukaan

mukosa pada bulbus tinggi mencapai 1 cm dan satu sama lainnya berjarak

0.5 cm. Pada pertengahan duodenum pars desendens di bagian kiri terdapat

muara bersama duktus choledochus (saluran empedu) dan ductus wirsungi

(saluran pankreas) (Evelyn, 2006).

Colon transversum berjalan melintang di depan pars descendens dan

di atas pars horizontalis. Pankreas terdapat di sebelah kiri dari duodenum

pars descendens. Hepar lobus kanan terdapat di depan duodenum pars


7

superior dan duodenum pars descendens. Arteri dan vena mesenterica

superior berada di depan duodenum pars horizontalis (pars inferior). V.

cava inferior dan aorta abdominalis berada di belakang duodenum(Evelyn,

2006).

Jejunum adalah usus halus lanjutan duodenum yang panjangnya kira-

kira ½ meter, penampangnya berkisar 25-35 mm. Jejunum berkelok-kelok

dan berada di bawah colon transversum dan ditutupi oleh omentum mayus.

Permulaannya pada flexura duodeno jejunalis (level L2) dan berakhir pada

sacro iliaca junction kanan. Penampang permulaan 33.5 cm dan makin ke

kaudal makin kecil 2.5 cm. Jejunum mempunyai mesenterium lengkap;

permukaan mukosa jejunum memperlihatkan Plicae Mucosa Circulare yang

pada apangkalnya agak tinggi (kira-kira 5 cm) dan jarang, makin ke kaudal

lebih rendah (kira-kira 2 cm) dan lebih rapat. Disini terdapat limfonodi

solitaris (sebesar kepala jarum pentul) (Evelyn, 2006).

Ileum adalah usus halus lanjutan jejunum yang menempati rongga

perut kawasan hypogastrica, panjang ileum ini berkisar 2-2.5 meter dengan

lumen permulaan 25 mm dan lumen kaudal 20 mm. Ileum ini warnanya

agak kemerahan sebab mempunyai banyak kapiler. Absorpsi makanan

terutama terjadi pada usus ini. Ileum mempunyai mesenterium lengkap.

Permukaan mukosa memperlihatkan plicae mucoase semisircularis agak

rendah (kira-kira 2 mm) dan rapat, pada bagian kaudal plika lebih lengkap.

Disini terdapat limfonodi aggregati (peyer plexus) (Carlos, et al. 2007).


8

Dinding usus halus terdiri atas 4 lapisan dasar. Yang paling luar

(lapisan serosa) dibentuk oleh peritonium. Peritonium mempunyai lapisan

viiseral dan parietal, dan ruang yang terletak di antara lapisan-lapisan ini

disebut sebagai rongga peritonium. Peritonium melipat dan meliputi hampir

seluruh viscera abdomen. Nama-nama khusus telah diberikan pada lipatan-

lipatan peritonium. Mesenterium merupakan lipatan peritonium lebar yang

menyerupai kipas yang menggantung jejunum dan ileum dari dinding

posterior abdomen, dan memungkinkan usus bergerak dengan leluasa.

Mesenterium menyokong pembuluh darah dan limfe yang menyuplai ke

usus. Omentum mayus merupakan lapisan ganda peritonium yang

menggantung dari kurvatum mayor lambung dan berjalan turun di depan

visera abdomen menyerupai celemek. Omentum biasanya mengandung

banyak lemak dan kelenjar limfe yang membantu melindungi terhadap

infeksi. Omentum minus merupakan lipatan peritoneum yang terbentang dari

kurvatura minor lambung dan bagian atas duodenum, menuju ke hati,

membentuk ligamentum suspensorium hepatogastrika dan ligamentum

hepatoduodenale. Salah satu fungsi penting peritonium adalah mencegah

gesekan antara organ-organ yang berdekatan sebagai pelumas (Carlos, et al.

2007).

Colon transversum berjalan melintang di depan pars descendens dan

di atas pars horizontalis. Pankreas terdapat di sebelah kiri dari duodenum

pars descendens. Hepar lobus kanan terdapat di depan duodenum pars

superior dan duodenum pars descendens. Arteri dan vena mesenterica


9

superior berada di depan duodenum pars horizontalis (pars inferior). V.

cava inferior dan aorta abdominalis berada di belakang duodenum (Carlos,

et al. 2007).

Jejunum adalah usus halus lanjutan duodenum yang panjangnya kira-

kira ½ meter, penampangnya berkisar 25-35 mm. Jejunum berkelok-kelok

dan berada di bawah colon transversum dan ditutupi oleh omentum mayus.

Permulaannya pada flexura duodeno jejunalis (level L2) dan berakhir pada

sacro iliaca junction kanan. Penampang permulaan 33.5 cm dan makin ke

kaudal makin kecil 2.5 cm. Jejunum mempunyai mesenterium lengkap;

permukaan mukosa jejunum memperlihatkan Plicae Mucosa Circulare yang

pada apangkalnya agak tinggi (kira-kira 5 cm) dan jarang, makin ke kaudal

lebih rendah (kira-kira 2 cm) dan lebih rapat. Disini terdapat limfonodi

solitaris (sebesar kepala jarum pentul) (Carlos, et al. 2007).

Ileum adalah usus halus lanjutan jejunum yang menempati rongga

perut kawasan hypogastrica, panjang ileum ini berkisar 2-2.5 meter dengan

lumen permulaan 25 mm dan lumen kaudal 20 mm. Ileum ini warnanya

agak kemerahan sebab mempunyai banyak kapiler. Absorpsi makanan

terutama terjadi pada usus ini. Ileum mempunyai mesenterium lengkap.

Permukaan mukosa memperlihatkan plicae mucoase semisircularis agak

rendah (kira-kira 2 mm) dan rapat, pada bagian kaudal plika lebih lengkap.

Disini terdapat limfonodi aggregati (peyer plexus) (Carlos, et al. 2007).

Dinding usus halus terdiri atas 4 lapisan dasar. Yang paling luar

(lapisan serosa) dibentuk oleh peritonium. Peritonium mempunyai lapisan


10

viiseral dan parietal, dan ruang yang terletak di antara lapisan-lapisan ini

disebut sebagai rongga peritonium. Peritonium melipat dan meliputi hampir

seluruh viscera abdomen. Nama-nama khusus telah diberikan pada lipatan-

lipatan peritonium. Mesenterium merupakan lipatan peritonium lebar yang

menyerupai kipas yang menggantung jejunum dan ileum dari dinding

posterior abdomen, dan memungkinkan usus bergerak dengan leluasa.

Mesenterium menyokong pembuluh darah dan limfe yang menyuplai ke

usus. Omentum mayus merupakan lapisan ganda peritonium yang

menggantung dari kurvatum mayor lambung dan berjalan turun di depan

visera abdomen menyerupai celemek. Omentum biasanya mengandung

banyak lemak dan kelenjar limfe yang membantu melindungi terhadap

infeksi. Omentum minus merupakan lipatan peritoneum yang terbentang dari

kurvatura minor lambung dan bagian atas duodenum, menuju ke hati,

membentuk ligamentum suspensorium hepatogastrika dan ligamentum

hepatoduodenale. Salah satu fungsi penting peritonium adalah mencegah

gesekan antara organ-organ yang berdekatan sebagai pelumas (Carlos, et al.

2007).

2. Fisiologi saluran pencernaan

Usus halus mempunyai dua fungsi utama yaitu pencernaan dan

absorpsi bahan-bahan nutrisi dan air. Semua aktivitas lainnya mengatur dan

mempermudah berlangusngnya proses ini. Proses pencernaan dimulai dari

mulut dan lambung oleh kerja ptialin, HCL, pepsin, mukus, renin, dan lipase

lambung terhadap makaann yang masuk. Proses ini berlanjut di duodenum


11

terutama oleh kerja enzim-enzim pankreas yang menghidrolisis karbohidrat,

lemak, dan protein menjadi zat-zat yang lebih sederhana. Mukus juga

memberikan perlindungan terhadap asam. Sekresi empedu dari hati

membantu proses pencernaan dengan mengemulsikan lemak sehingga

memberikan permukaan yang lebih luas bagi kerja lipase pankreas (Glenda,

et al. 2003).

Kerja empedu terjadi akibat sifat deterjen asam-asam empedu yang

dapat melarutkan zat-zat lemak dengan membentuk misel. Misel merupakan

agregat asam empedu dan molekul-molekul lemak. Lemak membentuk inti

hidrofobik, sedangkan asam empedu karena merupakan molekul polar,

membentuk permukaan misel dengan ujung hidrofobik menghadap ke luar

menuju medium cair. Bagian sentral misel juga melarutkan vitamin-vitamin

larut lemak, dan kolesterol. Jadi, asam-asam lemak bebas, gliserida, dan

vitamin larut lemak dipertahankan dalam larutan sampai dapat diabsorpsi

oleh permukaan sel epitel (Glenda, et al. 2003).

Proses pencernaan disempurnakan oleh sejumlah enzim yang terdapat

dalam getah usus (sukus enterikus). Banyak enzim-enzim ini terdapat dalam

brush border vili dan mencerna zat-zat makanan sambil diabsorpsi (Glenda,

et al. 2003).

Dua hormon berperan penting dalam pengaturan pencernaan usus.

Lemak yang bersentuhan dengan mukosa duodenum menyebabkan

kontraksi kandung empedu yang dioerantarai oleh kerja kolesitokinin. Hasil-

hasil pencernaan protein tak lengkap yang bersentuhan dengan mukosa


12

duodenum merangsang sekresi getah pankreas yang kaya-enzim; hal ini

diperantarai oleh pankreozimin (Glenda, et al. 2003).

Asam lambung yang bersentuhan dengan mukosa usus menyebabkan

dikeluarkannya hormon lain, yaitu sekretin, dan jumlah yang dikeluarkan

sebanding dengan jumlah asam yang mengalir melalui duodenum. Sekretin

merangsang sekresi getah yang mengandung bikarbonat dari pankreas,

merangsang sekresi empedu dari hati, dan memperbesar kerja CCK

(Sherwood, 2001).

Pergerakan segmental usus mencampur zat-zat yang dimakan dengan

sekret pankreas, hepatobiliar, dan sekresi usus, dan pergerakan peristaltik

mendorong isi dari salah satu ujung ke ujung lain dengan kecepatan absorpsi

optimal dan asupan kontinu isi lambung (Sherwood, 2001).

Usus besar mempunyai berbagai fungsi yang semuanya berkaitan

dengan proses akhir isi usus. Fungsi usus besar yang paling penting adalah

absorpsi air dan elektrolit, yang sudah hampir selesai dalam kolon dekstra.

Kolon sigmoid berfungsi sebagai reservoir yang menampung masa feses

yang sudah terdehidrasi hingga berlangsungnya defekasi (Sherwood, 2001).

Pada umumnya usus besar bergerak secara lambat. Gerakan usus besar

yang khas adalah gerakan pengadukan haustral. Kantung atau haustra

meregang dan dari waktu ke waktu otot sirkular akan berkontraksi untuk

mengosongkannya. Gerakan ini tidak progresif tetapi menyebabkan isi usus

bergerak bolak-balik dan mermas-remas sehingga memberi waktu untuk

terjadinya absorpsi. Terdapat dua jenis peristaltik propulsif : (1) kontraksi


13

lambat dan tidak teratur, berasal dari segmen proksimal dan bergerak ke

depan, menymbat beberapa haustra; dan (2) peristaltik massa, merupakan

kontraksi yang melibatkan segmen kolon. Gerakan peristaltik ini

menggerakkan massa feses ke depan, akhirnya merangsang defekasi.

Kejadian ini timbul dua sampai tiga kali sehari dan dirangsang oleh refleks

gatrokolik setelah makan, terutama setelah makanan yang pertama kali

dimakan pada hari itu (Simadibrata, et al. 2007).

Propulsi feses ke dalam rektum menyebabkan terjadinya distensi

dinding rektum dan merangsang refleks defekasi. Defekasi dikendalikan

oleh sfingter ani eksterna dan interna. Sfingter interna dikendalikan oleh

sistem saraf otonom, sedangkan sfingter eksterna dikendalikan oleh sistem

saraf voluntar. Refleks defekasi terintegrasi pada medula spinalis segmen

sakral kedua dan keempat. Serabut parasimpatis mencapai rektum melalui

saraf splangnikus panggul dan menyebabkan terjadinya kontraksi rektum

dan relaksasi sfingter interna. Pada waktu rektum yang tergang

berkontraksi, otot levator ani berelaksasi, sehingga menyebabkan sudut dan

anulus anorektal hilang. Otot sfingter interna dan eksterna berelaksasi pada

waktu anus tertarik ke atas melebihi tinggi masa feses. Defekasi dipercepat

dengan tekanan intraabdomen yang meningkat akibat kontraksi voluntar

otot dada dengan glotis yang tertutup, dan kontraksi otot abdomen secara

terus menerus (manuver atau peregangan valsalva). Defekasi dapat

dihambat oleh kontraksi voluntar sfingter eksterna dan levator ani. Dinding
14

rektumsecara bertahap menjadi relaks dan keinginan defekasi menghilang

(Simadibrata, et al. 2007).

3. Penyakit saluran pencernaan

a. Gastro enteritis

1) Definisi

Gastroenteritis adalah adanya inflamasi pada membran mukosa

saluran pencernaan dan ditandai dengan diare dan muntah (Chow et

al., 2010).

Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk

cair atau setengah cair (setengah padat), kandungan air tinja lebih

banyak dari biasanya lebih dari 200 gram atau 200 ml/24 jam

(Simadibrata K et al., 2009).

2) Etiologi

Penyakit gastroenteritis dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu :

a) Faktor infeksi (Virus, bakteri, parasit dan protozoa).

b) KFaktor makanan (Malabsorbsi, keracunan makanan).

3) Gambaran klinis

Manifestasi klinis penyakit gastroenteritis bervariasi.

Berdasarkan salah satu hasil penelitian yang dilakukan pada orang

dewasa, mual(93%), muntah(81%) atau diare(89%), dan nyeri

abdomen(76%) adalah gejala yang paling sering dilaporkan oleh

kebanyakan pasien. Tanda - tanda dehidrasi sedang sampai berat,


15

seperti membran mukosa yang kering, penurunan turgor kulit, atau

perubahan status mental, terdapat pada <10 % pada hasil pemeriksaan.

Gejala pernafasan, yang mencakup radang tenggorokan, batuk, dan

rinorea, dilaporkan sekitar 10% (Bresee Et al., 2012).

Beberapa gejala klinis yang sering ditemui adalah :

a) Diare

Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja

berbentuk cair atau setengah cair(setengah padat), kandungan air

tinja lebih banyak dari biasanya lebih dari 200 gram atau 200 ml

dalam 24 jam (Simadibrata K et al., 2009).

b) Mual dan muntah

Muntah diartikan sebagai adanya pengeluaran paksa dari isi

lambung melalui mulut. Pusat muntah mengontrol dan

mengintegrasikan terjadinya muntah. Lokasinya terletak pada

formasio retikularis lateral medulla oblongata yang berdekatan

dengan pusat - pusat lain yang meregulasi pernafasan, vasomotor,

dan fungsi otonom lain. Pusat - pusat ini juga memiliki peranan

dalam terjadinya muntah. Stimuli emetic dapat ditransmisikan

langsung ke pusat muntah ataupun melalui chemoreceptor trigger

zone(chow etal., 2010).

Muntah dikoordinasi oleh batang otak dan dipengaruhi oleh

respon dari usus, faring, dan dinding torakoabdominal.Mekanisme

yang mendasari mual itu sendiri belum sepenuhnya diketahui,


16

tetapi diduga terdapat peranan korteks serebrikarena mual itu

sendiri membutuhkan keadaan persepsi sadar (Hasler, 2012).

c) Nyeri perut

Banyak penderita yang mengeluhkan sakit perut. Rasa sakit

perut banyak jenisnya. Hal yang perlu ditanyakan adalah apakah

nyeri perut yang timbul ada hubungannnya dengan makanan,

apakah timbulnya terus menerus, adakah penjalaran ke tempat lain,

bagaimana sifat nyerinya dan lain - lain. Lokasi dan kualitas nyeri

perut dari berbagai organ akan berbeda, misalnya pada lambung

dan duodenum akan timbul nyeri yang berhubungan dengan

makanan dan berpusat pada garis tengah epigastrium atau pada

usus halus akan timbul nyeri di sekitar umbilikus yang mungkin

sapat menjalar ke punggung bagian tengah bila rangsangannya

sampai berat. Bila pada usus besar maka nyeri yang timbul

disebabkan kelainan pada kolon jarang bertempat di perut bawah.

Kelainan pada rektum biasanya akan terasa nyeri sampai daerah

sakral (Sujono Hadi,2002).

b. Penyakit cacingan

Cacing merupakan salah satu parasit pada manusia dan hewan

yang sifatnya merugikan dimana manusia merupakan hospes untuk

beberapa jenis cacing yang termasuk Nematoda usus. Sebagian besar

dari Nematoda ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di

Indonesia. Diantara Nematoda usus tedapat sejumlah spesies yang


17

penularannya melalui tanah (Soil Transmitted Helminths) diantaranya

yang tersering adalah Ascaris lumbricoides, Necator americanus,

Ancylostoma duodenale dan Trichuris trichiura (Gandahusada, 2000).

1) Ascaris lumbricoides

Gejala cacingan sering dikacaukan dengan penyakit-penyakit

lain. Pada permulaan mungkin ada batuk-batuk dan eosinofilia. Anak

yang menderita cacingan biasanya lesu, tidak bergairah dan kurang

konsentrasi belajar. Pada anak-anak yang menderita Ascariasis

lumbricoides perutnya tampak buncit, perut sering sakit, diare, dan

nafsu makan kurang. Biasanya anak masih dapat beraktivitas walau

sudah mengalami penuruanan kemampuan belajar dan produktivitas.

Pemeriksaan tinja sangat diperlukan untuk ketepatan diagnosis yaitu

dengan menemukan telur-telur cacing di dalam tinja tersebut. Jumlah

telur juga dapat dipakai sebagai pedoman untuk menentukan

beratnya infeksi (Depkes RI, 2006).

2) Ancylostoma (cacing tmbang)

Gejala klinis berupa lesu, tidak bergairah, konsentrasi belajar

kurang, pucat, rentan terhadap penyakit,, prestasi kerja menurun, dan

anemia merupakan manifestasi klinis yang sering terjadi. Di samping

itu juga terdapat eosinofilia (Depkes RI, 2006)

3) Trichuris trichiura

Infeksi Trichuris trichiura yang ringan biasanya tidak

memberikan gejala klinis yang jelas atau sama sekali tanpa gejala.
18

Sedangkan infeksi berat dan menahun terutama pada anak

menimbulkan gejala seperti diare, disenteri, anemia, berat badan

menurun dan kadang-kadang terjadi prolapsus rektum. Infeksi

Trichuris trichiura yang berat juga sering disertai dengan infeksi

cacing lainnya atau protozoa. Diagnosa dibuat dengan menemukan

telur di dalam tinja (Gandahusada, 2000).

b. Demam thypoid

1) Definisi

Tipes atau thypus adalah penyakit infeksi bakteri pada usus

halus dan terkadang pada aliran darah yang disebabkan oleh Bakteri

Salmonella typhosa atau Salmonella paratyphi A, B dan C, selain ini

dapat juga menyebabkan gastroenteritis (radang lambung). Dalam

masyarakat penyakit ini dikenal dengan nama Tipes atau thypus,

tetapi dalam dunia kedokteran disebut Typhoid fever atau Thypus

abdominalis karena berhubungan dengan usus di dalam perut

(Widoyono, 2002).

Typus abdominalis adalah penyakit infeksi akut yang biasanya

mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari

1 minggu, gangguan pencernaan dan gangguan kesadaran (Sudoyo,

2009).

2) Etiologi

Penyakit tipes Thypus abdominalis merupakan penyakit yang

ditularkan melalui makanan dan minuman yang tercemar oleh


19

bakteri Salmonella typhosa, (food and water borne disease).

Seseorang yang sering menderita penyakit tifus menandakan bahwa

dia mengkonsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi

bakteri ini. Salmonella thyposa sebagai suatu spesies, termasuk

dalam kingdom Bakteria, Phylum Proteobakteria, Classis Gamma

proteobakteria, Ordo Enterobakteriales, Familia

Enterobakteriakceae, Genus Salmonella. Salmonella thyposa adalah

bakteri gram negative yang bergerak dengan bulu getar, tidak

berspora mempunyai sekurang-kurangnya tiga macam antigen yaitu:

antigen 0 (somatik, terdiri dari zat komplek lipopolisakarida),

antigen H (flagella) dan antigen V1 (hyalin, protein membrane).

Dalam serum penderita terdapat zat anti (glutanin) terhadap ketiga

macam anigen tersebut (Zulkhoni, 2011).

3) Manifestasi klinis

Masa tunas demam typhoid berlangsung antara 10-14 hari.

Gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai

dengan berat, dari asimtomatik hingga gambaran penakit yang khas

disertai komplikasi hingga kematian. Pada minggu pertama gejala

klnis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan

penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu : demam, nyeri kepala,

pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare,

perasaan tidak enak diperut, batuk dan epistaksis. Pada pemeriksaan


20

fisik hanya didapatkan suhu tubuh meningkat. Sifat demam adalah

meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hingga malam hari

(Widodo Joko, 2006).

4) Penatalaksanaan

Masa tunas demam typhoid berlangsung antara 10-14 hari.

Gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai

dengan berat, dari asimtomatik hingga gambaran penakit yang khas

disertai komplikasi hingga kematian. Pada minggu pertama gejala

klnis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan

penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu : demam, nyeri kepala,

pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare,

perasaan tidak enak diperut, batuk dan epistaksis. Pada pemeriksaan

fisik hanya didapatkan suhu tubuh meningkat. Sifat demam adalah

meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hingga malam hari

(Widodo Joko, 2006)

B. Jamban

1. Definisi jamban

Menurut Soeparman (2003), jamban adalah suatu ruangan yang

mempunyai fasilitas pembuangan kotoran manusia yang terdiri atas tempat

jongkok atau tempat duduk dengan leher angsa atau tanpa leher angsa

(cemplung) yang dilengkapi dengan unit penampungan kotoran dan air


21

untuk membersihkan. Pengertian lainnya tentang jamban adalah pengum-

pulan kotoran manusia di suatu tempat sehingga tidak menyebabkan bibit

penyakit yang ada pada kotoran manusia dan menganggu estetika

(Hasibuan, 2009). Sementara menurut Kementrian Kesehatan RI jamban

sehat adalah fasilitas pembuangan tinja yang efektif untuk memutus rantai

penularan penyakit (Kemenkes, 2008).

2. Jenis-jenis jamban

Ada dua jenis atau metode pembuangan tinja yaitu: (1) pembuangan

tinja tanpa air (excreta disposal without water carriage) dan (2)

pembuangan tinja menggunakan air (excreta disposal with water carriage).

Keduanya harus dirancang agar memenuhi persyaratan di atas.

a. Pembuangan tinja tanpa air penggelontor

Yang dimaksud pembuangan tinja tanpa air adalah pembungan

tinja tanpa air untuk menggelontor, sehingga metode ini tidak perlu

dilengkapi dengan water seal atau yang lebih sering disebut leher angsa.

Umumnya jenis ini banyak digunakan di daerah pedesaan atau daerah

yang sulit untuk mendapatakna air bershi ( untuk penggelontor) (Sarudji,

2012). Ada beberapa macam yang tergolong dalam jenis pembuangan tinja

ini:

1) Kakus sederhana (simple latrine atau pit privy)

Jenis ini sering disebut kakus cemplung. Konstruksinya terdiri

atas lubang galian semacam sumuran tapi dindingnya tidak perlu kedap
22

air. Dindingnya bisa terbuat dari anyaman bambu, pasangan batu merah

atau bahan lain untuk memperkuat. Sederhana dalam pembuatannya,

banyak dijumpai di pedesaan. Biasanya tidak dilengkapi dudukan,

sering dikombinasi dengan bowl angsa latrin atau leher angsa yang

berfungsi sebagai water shield apabila dapat diperoleh cukup banyak air

penggelontor. Bau masih sering mengganggu apabila tidak

menggunakan leher angsa. Murah dan mudah dalam pengadaannya.

Dengan bangunan pelindung, dan tidak menjadi satu kesatuan dengan

ruamh induk.

Keuntungan dari jenis ini adalah murah dalam pembuatannya dan

mudah pemeliharaannya, sehingga di daerah pedesaan setiap keluarga

mampu membuatnya sendiri. Di samping itu kotoran yang telah

menjadi humus dapat digunakan sebagai pupuk organik. Kerugiannya

adalah sering timbul bau apabila lupa menutup atau tutupnya kurang

baik (rapat), dapat dimasukii oleh serangga atau binatang lain, harus

dibangun setidak-tidaknya 10 meter dari sumur atau sumber air bersih.

Bila sudah penuh lbang galian cukup ditimbun dan dibiarkan sekitar 3

bulan untuk mengubah kotoran menjadi humus. Sekalipun demikian

pemanfaatan pupuk ini harus hati-hati karena kemungkinan masih

terdapat telur-telur cacing gelang.

2) Kakus kolong (Vault privy)


23

Yaitu tempat pembuangan tinja yang terdiri atas bak berdinding

lapir semen kedap air, ditanam di dalam tanah (kolong) tetapi tidak

berfungsi sebagai bak pembusuk (septic tank), melainkan hanya untuk

melindungi bahaya kontaminasi terhadap tanah di sekitarnya. Tentu saja

pembuatannya lebih mahal demikian juga pengoperasiannya, karena

bila sudah penuh harus dikosongkan/dikuras, sehingga tidak praktis

dilaksanakan baik di pedesaan maupun di perkotaan. Jenis ini sudah

tidak atau jarang dipergunakan lagi.

3) Kakus dengan bak pengurai (septic privy)

Metode pembuangan tinja ini menggunakan bak pengurai (septic

tank) yang kedap air, hanya saja tidak menggunakan air penggelontor

tetapi pengoperasiannya perlu penambahan air untuk mengisi agar

dalam bak tersebut tidak kekurangan air yang dimanfaatkan sebagai

media penguraian. Untuk tempat dengan lahan yang masih luas

dilengkapi dengan saluran untuk pembuangan air dari ruang

pembusukan menuju resapan. Tetapi untuk lahan yang sempit, bagian

terakhir ini tidak ada, sehingga relatif usianya pendek (cepat penuh).

Kerugiannya adalah usia kakus tidak terlalul lama, apabila sudah penuh

isi kakus harus dikosongkan atau dikuras. Keuntungannya adalah tidak

memerlukan air yang banyak, dapat dibangun di rumah dengan lahan

sempit, dan tidak perlu jauh dari sumur (bila tidak menggunakan pipa

resapan).
24

4) Kakus kimia (chemical toilet)

Jenis ini mahal dalam pengoperasiannya, kapasitasnya terbatas

dan perlu perhatian khusus terutama bila sudah penuh karena biasanya

yang menjadi masalah adalah cara pengosongannya. Dalam

pengoperasiannya menggunakan cousti soda untuk membunuh bakteri

dan menghancurkan padatan fekal, sehingga memiliki keuntungan

seperti terhindarnya penemaran tanah atau air tanah dan tidak berbau.

Untuk kapasitas 100-125 galon diberikan coustic soda 25 pon yang

dilarutkan dalam 10-15 galon air. Mungkin masyarakat sekarang tidak

lagi mengunakan jenis ini tetapi dalam ukuran yang lebih kecil cocok

untuk kepentingan kendaraan umum misalnya pesawat terbang, bus,

kereta api dan sejenisnya.

5) Kakus gantung (overhung latrine)

Jenis ini merupakan sarana pembuanga kotoran yang terletak di

atas badan air atau kolam. Khusus pembuangan kotoran ke badan

air/sungai sebaiknya tidak dilakukan karena untuk perlindungan badan

air yang mungkin airnya digunakan untuk berbagai macam keperluan

rumah tangga pada bagian hilirnya. Sedangkan bila dibuat di atas kolat

atau empang perlu diperitmbangkan ekologis dalam pengoperasiannya

Untuk menghindari bau, melindungi tinja dari jangkauan serangga dan

peletakan buang bagian untuk berhajat sesuai dengna keinginan

pemakainya, pembuangan tinja tanpa air (tanpa septic tank) bisa


25

dilengkapi atau dikombinasi dengan menambah leher angsa (water seal)

apabila cukup tersedia air penggelontor (Sarudji, 2012).

b. Pembuangan tinja dengan air penggelontor (water sealed latrine)

Yang dimaksud dengan pembuangan tinja yang menggunakan air

adalah pembuangan tinja yang dalam pengoperasiannya menggunakan air

penggelontor, karena air di samping untuk penggelontor juga untuk

mengisi bak pengurai (septic tank). Oleh sebab itu model ini dilengkapi

dengan septic tank. Air yang digunakan untuk penggelntor juga berfungsi

sebagai media penguraian tinja yang dioerlukan oleh mikroorganisme

pengurai. Persyaratakn utama yang harus diperhatikan adalah tersedianya

air yang cukup untu pengoperasiannya. Dengan meggunakan air

penggelontor ini maka tempat jongkok untuk berhajat dilengkapi denga

leher angsa (water seal). Keuntungan dari water sealed latrine ini adalah

terpisahnya ruangan pembusuk/pengurai (septic tank) dengan ruangan di

luarnya sehingga bau tidak akan tercium dari luar dan tidak ada

kemungkinan terjangkaunya serangga untuk mencapai faeces. Beberapa

literatur menyebutkan metode pembungan tinja semacam ini disebut septic

toilet atau bahkan hanya menyebut septic tank saja (Sarudji, 2012).

Konstruksi dari septic toilet ini terdiri atas beberpa bagian:

1) Closet yaitu tempat/fasilitas untuk behajat

2) Saluran kotoran menuju ke septic tank

3) septic tank
26

4) Saluran air sumur resapan

5) Sumur resapan

Toilet atau closet tempat berhajat dapat ditempatkan dimana

perancang rumah tempat tinggal mengehendaki. Bisa dekat dengan kamar

tidur, didekat tempat menjemur pakaian, atau dimana saja dikehendaki,

karena masalah bau sudah dapat diatasi dengan water sealed latrine,

sekalipun aspek estetika juga harus dipertimbangkan. Salah satu contoh

pertimbangan estetika adalah suara gelontor air yang keras jangan sampai

terdengar dari ruang makan misalnya, atau oleh tetangga bagi tetangga

yang tinggal di rumah susun (Sarudji, 2012).

Saluran kotoran yang menuju ke septic tank harus cukup besar,

setidak-tidaknya diameter 12 cm, dan mempunyai kemiringan (slope) yang

cukup (setidak-tidaknya 1%), tidak terlalu jauh/panjang serta tidak banyak

berkelok, untuk menghindari kebuntuan saluran tersebut. Ujung saluran

yang menuju septic tank ini dilengkapi dengan pipa bentuk T (Sarudji,

2012).

Bak pengurai (septic tank) adalah bagian utama kakus ini. Cara

pembuangan tinja dengan menggunakan bak pengurai adaah yang paling

banyak digunakan dalam model yang menggunakan air (water carriage

latrine). Metode ini berdasarkan pada suatu sistem penguraian tinja dala

media air, yang setelah mengalami retensi dalam periode waktu yang

cukup kemudian dialirkan kesumur resapan atau kemedia lingkungan


27

lainnya. Selama dalam periode retensi (retention period) 24 jam untuk

kegunaan rumah tangga dapat mereduksi 60-70% padatan tersuspensi

dalam tangki pengurai, kemudian akan berubah bentuk mejadi lumpur

yang mengendap didasar tangki pengurai, air dan gas. Padatan faeces yang

belum terurai terapung dibagian permukaan disebut scum. Baik lumpur

maupun padatan yang terapung tersebut dirombak oleh bakteri anaerob

membentuk gas dan air. Ini dikenal dengan istilah digestio, dan selama

proses tersebut bakteri patogen sebagian besar atau seluruhnya hancur.

Beberapa studi menyebutkan bahwa basil thypus dan disentri masih

dijumpai tetap hidup dalam septic tank selama 5 hari. Oleh sebab itu

periode waktu penahanan (retention period) dalam septic tank harus

diperhitungkan dalam waktu tersebut, terutama apabila air dari septic tank

akan dilepas langsung ke lingkungan seperti badan air. Padatan di reduksi

dalam volume yang lebih kecil dab berubah sifatnya. Lumpur yang telah

terdegesi dengan baik akan homogen dengan warna gelap. Telur cacing

tambang mungkin masih selamat dari degesi, dan lumpur yang telah kering

dapat digunakan sebagai pupuk secara aman (Sarudji, 2012).

Aliran langsung antara inlet dan outlet harus dicegah dengan

memasang pipa T di ujug akhir pipa inlet dan ujung awal pipa outlet. Hal

ini akan menjaga agar proses degesi dan sedimentasi berjalan efektif.

Lebih baik lagi apabila dipasang penyekat antara daerah inlet, daerah

sedimentasi, dan daerah outlet, sehingga terbentuk tiga ruangan dalam

septic tank (Sarudji, 2012).


28

Ruangan pertama akan menahan tinja agar tidak langsung ke

daerah sedimentasi, ruang kedua adalah ruang yang terbesar sebagai ruang

utama tempat proses degesi berlangsung. Sedang ruang ketiga adalah

ruang untuk memberi kesempatan proses penyempurnaan penguraian, agar

supaya air keluar melalui outlet aman untuk dialirkan ke sumur resapan

atau bahkan ke badan air (Sarudji, 2012).

C. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepemilikan jamban


1. Faktor sosial-ekonomi
a. Tingkat pendidikan

Pendidikan merupakan segala upaya yang direncanakan untuk

mempengaruhi orang lain baik individu maupun masyarakat, sehingga

mereka melakukan apa yang diharapkan, dalam hal ini ditunjukan untuk

menggugah kesadaran masyarakat dalam meningkatkan pengetahuan

masyarakat, tentang pemeliharaan dan peningkatan kesehatan, disamping

itu dalam konteks ini juga memberikan pengertian-pengertian tentang

tradisi kepercayaan masyarakat baik yang merugikan maupun

menguntungkan.Pendidikan kesehatan ditujukan untuk menggugah

kesadaran, memperbaiki atau meningkatkan pengetahuan masyarakat

tentang pemeliharaan dan peningkatan kesehatan baik bagi dirinya

sendiri, keluarganya, maupun masyarakat.Disamping itu dalam konteks

ini pendidikan kesehatan juga memberikan pengertian-pengertian tentang

tradisi, kepercayaan masyarakat, dan sebagainya, baik yang merugikan

maupun yang menguntungkan masyarakat (Notoatmodjo 2003).


29

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Eti Mertiana pada

tahun 2016, menunjukkan bahwa ada hubungan faktor pendidikan

terhadap kepemilikan jamban keluarga di masyarakat. Tingkat pendidikan

yang rendah akan sulit memahami pesan atau informasi yang disampaikan.

Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin mudah menerima

informasi sehingga banyak pula pengetahuan yang dimiliki.

Dengan demikian dapat disimpulkan dari bahwa tingkat

pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan derajat

kesehatan seseorang, karena dengan bekal pendidikan yang cukup

seseorang dapat memperoleh informasi dan sehingga dapat disimpulkan

bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan semakin

sadar dan peduli terhadap kebersihan diri dan lingkungannya

Pendidikan kesehatan adalah mengubah perilaku dari yang

merugikan atau tidak sesuai dengan norma kesehatan ke arah tingkah

laku yang menguntungkan kesehatan atau normal yang sesuai dengan

kesehatan (Notoatmodjo, 2010)


b. Tingkat penghasilan

Status ekonomi dapat mempengaruhi penyediaan jamban. Secara

umum dapat dikatakan, semakin miskin rumah tangga semakin kecil

persentase untuk menyediakan jamban sehat sebaliknya semakin tinggi

status ekonomi semakin besar persentase untuk menyediakan jamban

sehat. Dari hasil penelitian yang di lakukan oleh Eti mertiana tahun 2016,

menunjukkan bahwa ada hubungan faktor ekonomi terhadap

kepemilikan jamban keluarga di masyarakat. Sejalan dengan penelitian


30

lainnya ditemukan bahwa hanya sebagian kecil rumah tangga yang

memiliki jamban sendiri (pribadi) yakni sekitar 39,5 %. Angka ini jauh

lebih kecil dibandingkan dengan jumlah rumah tangga yang tidak

memiliki jamban pribadi yakni sebesar 60,5%. Hal ini disebabkan karena

faktor ekonomi responden yang rendah, sehingga tidak mampu untuk

membuat jamban sehat. Status ekonomi seseorang juga akan menentukan

tersedianya suatu fasilitas yang diperlukan untuk kegiatan tertentu,

sehingga status sosial ekonomi ini akan mempengaruhi perubahan

perilaku pada diri seseorang. Dengan demikian dapat disimpulkan dari

hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti tersebut bahwa ekonomi

merupakan alat ukur tingkat kesejahteraan suatu masyarakat. Karena

ekonomi merupakan indikator penentu perilaku masyarakat dalam

pemenuhan kebutuhan sehari - hari termasuk pemanfaatan jamban

keluarga.

c. Jenis pekerjaan

Pada penelitian yang dilakukan oleh Nilansari tahun 2015,

menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pekerjaan

dengan perilaku Buang Air Besar Sembarangan (BABS). Responden

dengan pekerjaan tidak formal memiliki resiko perilaku 3,535 kali lebih

besar untuk berperilaku Buang Air Besar Sembarangan (BABS) daripada

responden dengan pekerjaan formal. Pada hasil penelitian variabel

pekerjaan, rata-rata pekerjaan masyarakat yaitu pada sektor non formal

(Buruh tani, petani, pedagang/wiraswasta) kebanyakan masyarakat


31

bekerja sebagai buruh tani sehingga penghasilan yang diperoleh tidak

menentu dan kurang memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sedangkan

masyarakat yang bekerja pada sektor formal terbiasa dengan lingkungan

pekerjaan yang bersih dan sehat sehingga manset masyarakat yang

bekerja di sektor formal lebih baik dan merasa perlu untuk hidup sehat

dan beraktifitas sesuai pekerjaannya. Hasil penelitian ini sejalan dengan

pendapat Soemardji (1999) menyatakan perbedaan tingkat partisipasi

responden yang tidak bekerja juga terkait dengan aspek psikologis,

artinya masyarakat yang tidak bekerja mengkondisikan dirinya seperti

merasa tidak perlu berpartisipasi.

2. Pengetahuan tentang penularan penyakit saluran alat cerna


a. Pengetahuan tentang penyebab penyakit atau patogen
Yang dimaksud patogen adalah mikroba (bakteri, rickettsia, virus,

atau parasit) yang menyebabkan penyakit pada manusia atau pejamu

(Sarudji, 2012).
Beberapa penyakit saluran alat cerna dapat disebabkan oleh

patogen-patogen tersebut, seperti misalnya demam thypoid, gastro

enteritis atau diare, cacingan, dan lain-lain.


b. Pengatahuan tentang reservoir atau pejamu
Reservoir, pejamu (host) adalah tempat hidup dan berkembang

biak patogen atau penyebab penyakit. Manusia sebagai reservoir (human

reservoir) adalah pasien atau carrier, sedangkan reservoir penyakit

zoonosis adalah hewan (animal reservoir), beberapa jenis jamur hidup

dan berkembang biak pada lingkungan dan menyebabkan penyakit pada

manusia adalah environmental reservoir. Mata rantai ini termasuk di


32

dalamnya sumber infeksi (source of infection) seperti air, susu, makanan

atau baha/benda lain yang terkontaminasi (Sarudji, 2012).

Manusia merupakan sumber penting dari penyakit, penyakit

infeksi yang ditularkan oleh tinja merupakan salah satu penyebab

kematian.

Berdasarkan skema alur penularan penyakit diatas maka perlu

dilakukan tindakan pencegahan agar penyakit menular berbasis

lingkungan tidak menjadi wabah dalam masyarakat setempat.

Pencegahan itu memutuskan alur penularan penyakit menggunakan

rintangan sanitasi dan mengisolasi tinja dengan jamban sehat. Rintangan

sanitasi ini mencegah kontaminasi tinja sebagai sumber infeksi pada air,

tangan, dan vektor (serangga).

c. Pengetahuan tentang pintu keluar


Pintu keluar adalah tempat lewat mana patogen keluar dari tubuh

reservoir, seperti saluran alat cerna (mulut untuk muntahan, anus untuk

ekskreta), hidung untuk penyakit saluran pernapasan, luka gigitan

nyamuk untuk penyakit yang ditularkan oleh nyamuk dsb (Sarudji,

2012).
Seperti yang telah dijelaskan di atas, pada penyakit saluran alat

cerna sebagian besar menunjukkan manifestasi klinis berupa muntahan

apabila dari mulut dan ekskreta apabila dari anus. Sebagai contoh pada

penyakit gastro enteritis yang menunjukkan klinis seperti muntah, diare

dan nyeri perut. Begitu pula dengan demam thypoid, yang sering

menunjukkan manifestasi klinis pada saluran alat cerna.


d. Pengatahuan tentang cara menular
33

Cara penularan dikelompokkan kedalam cara langsung, tidak

langsung dan melalui udara. Penularan tak langsung melalui vehikel atau

vektor (Sarudji, 2012).


Banyak media sebagai cara penularan, sebagai contoh setelah

buang air besar, tidak mencuci tangan. Maka bakteri-bakteri yang

terkandung dalam tinja tersebut dapat saja ikut tertelan saat kita makan

sehingga dapat menyebabkan berbagai macam penyakit. Selain itu,

makanan yang diletakkan di atas meja tanpa ditutupi oleh tudung saji.

Dapat saja dihinggapi oleh lalat yang membawa bakteri-bakteri sehingga

dapat menyebabkan berbagai macam penyakit pula.


d. Pengetahuan tentang pintu masuk
Pintu infeksi adalah tempat lewat mana infeksi berlangsung mana

pejamu yang rentan, seperti hidung, mulut, luka gigitan nyamuk, luka

jarum suntik, kelenjar lendir dsb (Sarudji, 2012).


f. Pengatahuan suseptibilitas
sekalipun ada patogen yang masuk tetapi apabila pejamu tersebut

memiliki kekebalan terhadap patogen yang bersangkutan maka penularan

tidak akan terjadi. Jadi yang dimaksud pejamu yang rentan di sini adalah

pejamu yang tidak memiliki kekebalan terhadap penyebab penyakit yang

masuk ke dalam tubuh sehingga menungkinkan terjadinya infeksi (Sarudji,

2012).

3. Faktor pelayanan kesehatan masyarakat


a. Program peningkatan sanitasi dasar
1) Pembuangan tinja
Pembuangan tinja rumah tangga merupakan bagian rumah yang

sangat penting baik di daerah perkotaan maupun pedesaan. Bedanya

di daerah pedesaan umunya masih tersedia lahan yang cukup luas


34

dan beberapa kondisi tertentu di daerah pedesaan sulit diperoleh air

yang cukup. Sementara di daerah perkotaan lahan untuk pemukiman

makin sulit dan mahal untuk memperolehnya sehingga perlu

beberapa pertimbangan yang masak bagaimana dengan lahan yang

sempit tetapi kebutuhan akan sarana pembungan tinja terpenuhi

tanpa menggangu aspek kesehatan masyarakat maupun lingkungan.

Sebaliknya didaerah perkotaan umumnya pemenuhan sarana air

minum atau air bersih cukup. Kondisi yang berbeda antara daerah

pedesaan dan perkotaan tersebut menjadi faktor yang mempengaruhi

jenis atau model pembuangan tinja yang dipilih (Sarudji, 2012).


Dalam penyediaan pembuangan tinja ini diperlukn beberapa

persyaratan sebagai berikut:


a) Tidak menimbulkan kontaminasi pada air tanah dan sumber air

atau sumur
b) Tidak menimbulkan kontaminasi pada air permukaan
c) Tidak menimbulkan kontaminasi pada tanah permukaan.
d) Tinja tidak dapat dijangkau oleh lalat atau binatang lainnya.
e) Tidak menimbulkan bau dan terlindung dari pandangan, serta

memenuhi syarat estetika lainnya


f) Metode yang digunakan sederhana, tidak mahal baik dari segi

konstruksi maupun pengoperasian serta perawatannya.


2) Pembuangan air limbah
Sistem pembuangan air limbah dapat dikatagorikan kedalam:

(1) Sistem pembuangan air limbah individu (individual sewage

disposal system); (2) Sistem pembuangan air limbah perkotaan

(municipal sewage disposal system) (Sarudji, 2012).


Pembuangan air limbah individu melayani perumahan,

sekolah, kampus, institusi, fasilitas pemukiman wisatawan, dan


35

beberapa tempat lain yang tidak didapat sistem pembuangan limbah

kota. Sedangkan sistem pembungan air limbah kota tergolong sistem

pengolahan air limbah terpadu sebagai pusat pengolahan mulai awal

sampai pembuangan akhir limbah untuk melayani seluruh waga kota

(Sarudji, 2012).
Sebagian besar rumah tangga di indonesia pembuangan air

limbahnya belum memnuhi syarat sanitasi, 41,3% membuang

langsung ke saluran terbuka, 18,9% ke atas permukaan tanah, dan

14,9% di penampungan terbuka di pekarangan, sehingga berpotensi

mencemari air tanah dan badan air (Sarudji, 2012).


3) Pembuangan sampah (Solid waste disposal)
Yang dimaksud dengan pembuangan sampah (akhir) adalah

kegiatan menyingkirkan sampah dengan metode tertentu dengan

tujuan agar sampah tidak lagi menggangu kesehatan lingkungan

(termasuk ekosistem) atau kesehatan masyarakat.


Ada dua istilah yang harus dibedakan dalam lingkup

pembuangan sampah (solid waste disposal) ini yaitu: pembuangan

sampah saja dan pembuangan akhir sampah (final disposal). Solid

waste disposal adalah istilah umum untuk suatu lokasi

pembuangan sampah. Lokasi tersebut bisa jadi memiliki kegiatan

pembakaran sampah (inceneration), pengomposan (composting),

pemanfaatan sampah untuk makanan ternak atau babi (hogfeeding),

pengambilan lemak dari sampah (pulveration), atau hanya sebagian

dari kegiatan tersebut. Umumnya kegiatan tersebut dilakukan di


36

suatu lokasi (disposal site), yang didalamnya terdapat final

disposal.

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS


37

A. KerangkaKonsep

PENGETAHUAN TENTANG
PENULARAN PENYAKIT
SALURAN ALAT CERNA
1. Penyebab penyakit
2. Sumber infeksi
3. Pintu keluar
4. Cara menular
5. Pintu masuk
6. Suseptibilitas

Yang ditelit

Yang tdak di
telit
FAKTOR INTERNAL:
Tingkat pendidikan
Tingkat penghasilan
Gambar 1. Kerangka Konsep Penelitian Hubungan TingkatFAKTOR Pengetahuan
Jenis pekerjaan LINGKUNGAN:
Masyarakat tentang Penularan Penyakit Saluran Alat Cerna dengan Kualitas
Fasilias Buang Air Besar di Desa Prasung, Kecamatan Buduran,
PerilakuSidoarjo.
masyarakat
sekitar
Kondisi geografis

37
KUALITAS
FASILITAS
BAB
FAKTOR PELAYANAN
KESEHATAN:
Program peningkatan sanitasi dasar
diteliti 38
Penyuluhan kesehatan
Peningkatan peranserta masyarakat
Tidak diteliti

Kerangka Konsep Penelitian

Kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, salah satu

faktor yang memengaruhi derajat kesehatan masyarakat yaitu fasilitas untuk

buang air besar (BAB). Seperti telah diketahui bahwa tinja atau human waste

banyak mengandung bakteri dan kuman patogen apabila mengontaminasi

makanan dan minuman. Sebagian besar kuman penyakit ini dapat menyebabkan

berbagai macam masalah kesehatan terutama penyakit yang berhubungan dengan

alat saluran cerna.


Tidak semua orang memiliki akses untuk mendapatkan pendidikan dan

pengetahuan yang baik. Kurangnya pendidikan dan pengetahuan masyarakat

mengenai penyakit yang berhubungan dengan alat saluran cerna dapat

menyebabkan kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya untuk memiliki

fasilitas untuk BAB yang berkualitas. Fasilitas yang dimaksud yaitu memiliki

akses untuk dapat BAB secara sehat, dalam arti kata tinja yang dihasilkan tidak

menimbulkan gangguan kesehatan. Namun, pengetahuan yang kurang akan

penyebab atau cara penularan penyakit-penyakit alat saluran cerna ini justru akan

membuat masyarakat kurang memperhatikan kualitas dari fasilitas BAB yang

tersedia.
Sarana dan prasarana yang dibangun untuk memfasilitasi pembuangan

tinja bertujuan agar dikemudian hari sisa kotoran yang merupakan sarang kuman

penyakit tidak menyebabkan gangguan kesehatan bagi masyarakat. Oleh karena

itu, penting sekali untuk memiliki fasilitas BAB yang berkualitas. Penulis

beranggapan bahwa tingkat pengetahuan dan pendidikan seseorang memengaruhi

kesadaran masyarakat akan memiliki fasilitas BAB yang sehat. Sehingga, melalui
39

penelitian ini penulis ingin mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan dan

pendidikan seseorang akan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan alat

saluran cerna dengan kualitas dari fasilitas BAB yang dimilikinya, dalam hal ini

yaitu jamban.

Penjelasan Kerangka Konseptual Penelitian


Menurut Hendrik L. Bloom ada 4 faktor yang mempengaruhi kesehatan,

baik kesehatan individu maupun kesehatan masyarakat, yaitu keturunan,

lingkungan, perilaku, dan pelayanan kesehatan. Status kesehatan akan tercapai

optimal, bilamana keempat faktor tersebut secara bersama-sama mempunyai

kondisi yang optimal. Jika salah satu faktor saja berada dalam keadaan yang

terganggu, maka status kesehatan bergeser di bawah optimal

Lingkungan yang sehat dipengaruhi oleh perilaku hidup sehat, salah satu

yang berpengaruh didalamnya yaitu penggunaan jamban sehat. Desa Prasung, data

jamban yang tidak sehat total 370 kepala keluarga. Salah satu faktor yang diyakini

berpengaruh terhadap kualitas jamban yaitu tingkat pengetahuan masyarakat akan

penyakit-penyakit, khususnya penyakit alat saluran cerna yang dapat ditimbulkan

akibat kualitas jamban yang tidak sehat.

B. Hipotesis Penelitian

Ada hubungan antara tingkat pengetahuan masyarakat tentang penularan

penyakit saluran alat cerna dengan kualitas fasilitas buang air besar di Desa

Prasung, Kecamatan Buduran, Sidoarjo.


40

BAB IV
METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Penelitian ini termasuk penelitian observasional dengan menggunakan

rancangan cross sectional.Cross sectional merupakan pendekatan yang

datanya dikumpulkan sekaligus pada suatu waktu atau dalam sekali

pengambilan data (point time approach).

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Kecamatan Buduran pada bulan April – Mei

2017

C. Populasi dan Sampel Penelitian


1. Populasi
Populasi penelitian ini adalah kepala keluarga (KK) yang bertempat

tinggal di Desa Prasung sebanyak 1287 Kepala Keluarga. yang dimaksud

dengan KK adalah orang yang bertanggung jawab terhadap suatu keluarga


2. Sampel
a. Besar sampel

Besar sampel pada penelitian ini adalah untuk menetukan jumlah sampel

pada suatu penelitian. Rumus yang digunakan untuk menentukan besar

sampel adalah sebagai berikut :

n = Zα2 X p X q
d2

= (1,96)2 X 0,5 X 0,5


40 2
(0,1)
= 0,9604
41

0,01
= 96,04
= 97 rumah warga
Keterangan :
Zα = Standar deviasi dengan standar confidence level 95% adalah 1,96
p = proporsi kepala keluarga yang tidak paham tentang penyakit
yang berhubungan saluran cerna
q = proporsi kepala keluarga yang paham tentang penyakit
yang berhubungan saluran cerna
d = 0,1 presisi

Dari hasil perhitungan tersebut dapat diketahui besar sampel dalam penelitian

ini adalah sebanyak 97 rumah warga di Desa Prasung Kecamatan Buduran

Sidoarjo.

b. Teknik pengambilan sampel

Teknik Simple random sampling digunakan untuk pengambilan sampel

yaitu cara pengambilan sampel diambil secara acak dari keseluruhan

populasi

c. Kriteria inklusi dan eksklusi


a) Kriteria inklusi
(a) KK yang bertempat tinggal di Desa Prasung setidak-tidaknya 6

bulan terakhir.
(b) Bisa baca tulis
(c) Kondisi kesehatan baik, kesehatan tidak mengganggu pada

waktu wawancara/mengisi kuesioner;


b) Kriteria eksklusi
(a) Tidak berada di tempat pada waktu penelitian sampai diulang

2x;
(b) KK dengan gangguan jiwa

D. Variabel Penelitian
1. Variabel bebas
Variabel bebas pada penelitian ini adalah:
42

Tingkat pengetahuan tentang penularan penyakit saluran alat cerna

(disingkat: pengetahuan penularan penyakit).

2. Variabel terikat

Variabel terikat pada penelitian ini adalah kualitas fasilitas buang air besar

(disingkat: kualitas jamban).

E. Definisi Istilah/Definisi Operasional

Tabel : Definisi, Kategori/Kriteria, Alat Ukur dan Skala Data Variabel.


Kategori/kriteria
Variabel Definisi Oprasional Alat ukur Skala Data
Terikat: Kualitas fasilitas buang Yang dimaksud: Kuesioner Ordinal
air besar adalah keadaan 1.Sehat : bila jamban dan check
kualitas tempat berdefekasi yang dilengkapi list.
jamban dengan kategori: dengan septic tank.
1. Sehat 2. Kurang Sehat :
2. Kurang Sehat bila jamban yang
3. Tidak sehat tidak dilengkapi
septic tank.
3. Tidak Sehat : bila
menggunakan
tempat defekasi di
tempat terbuka
(open defecation)

Bebas : Pengetahuan tentang Yang dimaksud: Kuesioner Ordinal


penularan penyakit 1. paham : bila skor dan check
Tingkat saluran alat cerna adalah jawaban benar list.
pengetahua Tingkat adalah > 75%
n tentang pengetahuanyang 2. kurang paham :
penularan diperoleh dari jawaban bila skor jawaban
penyakit 12 buah pertanyaan benar antara 56-
saluran alat dalam kuesioner dengan 75%
cerna. kategori: 3. tidak paham: bila
(pengetahu 1.Paham skor jawaban benar
an 2.Kurang paham < 56%.
penularan 3.Tidak paham
penyakit)
\

F. Prosedur Penelitian
1. Teknik pengumpulan data
43

Data primer diperoleh dari kuistioner antara factor social ekonomi

dengan kepemilkikan jamban di desa Prasung Kecamatan Buduran Sidoajo.

Sementara data sekunder diambil dari data rekam medik puskesmas.

Populasi
Kepala Keluarga di Desa Prasung Kecamatan Buduran, Sidoarjo

Besar Sampel
97 KK

Tehnik Pengambilan Sampling


Pengumpulan
Menggunakan Datasampling
simple random
1. Penjelasan, 2. Mengisi/penandatanganan informed
consent, 3. Pengisian kuesioner/wawancara
Pengolahan dan Analisis Data

Kesimpulan

Hasil Penelitian

Gambar IV.1Alur Penelitian tentang Hubungan Pengetahuan tentang


penularan penyakit saluran cerna dengan kualitas jamban di Desa Prasung
44

2. Jadwal pengumpulan data


No Kegiatan I II III IV
1 Pembuatan Proposal
2 Pendekatan Kepala Desa
Prasung

3 Penyuluhan

4 Pengolahan data

5 Penyusunan Laporan

6 Presentasi

G. Analisis Data

Analisis data yang digunakan pada penelitian ini menggunakan analisis

univariat dan bivariat. Analisis univariat dilakukan untuk menganalisis setiap

variabel yang ada secara deskriptif yaitu mendeskripsikan demografi pasien

seperti umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, alamat dan pekerjaan

sekaligus. Analisis bivariat bertujuan untuk mengetahui hubungan yang

signifikan antara hubungan pengetahuan tentang penyakit saluran alat cerna

dengan kualitas jamban di desa Prasung Kecamatan Buduran Sidoajo.

Kemudian dilakukan perhitungan menggunakan uji statistik korelasi spearman

pada derajat kepercayaan 95% dan α = 5% (0,05) dengan bantuan program dari

komputer SPSS 16 for windows (Mongisidi Gabby, 2015)

BAB V
45

HASIL PENELITIAN

A. Gambaran Umum Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di DesaPrasung Kecamatan Buduran pada

bulan Mei 2017.Desa Prasung adalah salah satu desa yang terletak di

Kecamatan Buduran Kabupaten Sidoarjo. Luas wilayah yaitu 1 ha dengan

jumlah penduduk terdiri dari 1287 KK. Penduduk dalam desa Prasung

mempunyai pekerjaan sebagai petani dan Ibu Rumah Tangga. Sedangkan

tingkat pendidikan penduduk sebagian besar masih rendah.Desa Prasung

terletak dekat dengan sungai yang mengarah kearah Desa Kepetingan.

Batas wilayah Desa Prasung sebagai berikut :

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Banjarsari

2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Siwalan Panji

3. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Wadungasih

4. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Sawohan

B. Karateristik Responden

Berdasarkan hasil penyebaran kuesioner di Desa Prasung, diperoleh

data yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

1. Umur responden

Tabel V.1 Distribusi Responden Berdasarkan Umur di Desa Prasung


Kecamatan Buduran, Kabupaten Sidoarjo
46
Umur Frekuensi Persentase %
46

< 50 tahun 51 52.6


≥ 50 tahun 46 47.4
Total 97 100
Sumber: Hasil Survei, 2017

Gambar V.1 Proporsi Responden Berdasarkan Umur di Desa Prasung,


Kecamatan Buduran, Kabupaten Sidoarjo.

Tabel V.1 dan Gambar V.1 menunjukkan bahwa dari 97 responden

yang diteliti, sebagian besar responden di Desa Prasung (52,6%) berusia

<50 tahun dan sebanyak 47,4% berusia ≥50 tahun.

2. Tingkat pendidikan

Tabel V.2 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan di


Desa Prasung, Kecamatan Buduran, Kabupaten Sidoarjo

Tingkat Pendidikan Frekuensi Persentase %


SD 40 41.2
SMP 19 19.6
SMA 31 32
PerguruanTinggi 7 7.2
Total 97 100.0
Sumber: Hasil Survei, 2017

Gambar V.2 Proporsi Responden Berdasarkan Tingkat


Pendidikandi Desa Prasung, Kecamatan Buduran, Kabupaten Sidoarjo
47

Tabel V.2 dan Gambar V.2 menunjukkan bahwa sebagian besar

responden di Desa Prasung berpendidikan rendah (SD dan SMP), yaitu

sebanyak 60,8% dan sisanya sebanyak 39,2% berpendidikan tinggi (SMA

dan Perguruan Tinggi).

3. Kualitas Jamban

Tabel V.3 Distribusi Responden Berdasarkan Kualitas Jamban di Desa


Prasung, Kecamatan Buduran, Kabupaten Sidoarjo

KualitasJamban Frekuensi Persentase %


Sehat 79 81.4
KurangSehat 9 9.3
TidakSehat 9 9.3
Total 97 100.0
Sumber: Hasil Survei, 2017

Gambar V.3 Proporsi Responden Berdasarkan Kualitas Jamban di


Desa Prasung, Kecamatan Buduran, Kabupaten Sidoarjo

Tabel V.3 dan Gambar V.3 menunjukkan bahwa di Desa Prasung

umumnya sudah memiliki jamban sehat yaitu sebanyak 81,4%, tetapi masih

terdapat KK yang belum memiliki jamban krang atau tidak sehat (18,6%)

4. Tingkat Pengetahuan

Tabel V.4. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pengetahuan


Tentang Penyakit Diare di Desa Prasung, Kecamatan Buduran,
Kabupaten Sidoarjo

Tingkat Pengetahuan Frekuensi Presentase


Paham 26 26,8%
Kurang Paham 9 9,27%
48

Tidak Paham 62 63,93%


Total 97 100%
Sumber: Hasil Survei, 2017

Tabel V.4 menunjukkan bahwa sebagian besar responden (63,93%) di

Desa Prasung tidak paham tentang penyakit diare.

TabelV. 5. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pengetahuan


Tentang Penyakit Typoid di Desa Prasung, Kecamatan Buduran,
Kabupaten Sidoarjo

Tingkat Pengetahuan Frekuensi Presentase


Paham 37 38,16 %
Kurang Paham 10 10,3%
Tidak Paham 50 51,54%
Total 97 100%

Sumber: Hasil Survei, 2017

Tabel V.5 menunjukkan bahwa sebagian besar responden (51,54%)

tidak paham tentang penyakit diare.


49

Tabel V.6 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pengetahuan


Tentang Penyakit Cacingan di Desa Prasung, Kecamatan Buduran,
Kabupaten Sidoarjo

Tingkat Pengetahuan Frekuensi Presentase


Paham 28 28,86%
Kurang Paham 13 13,41%
Tidak Paham 56 57,73 %
Total 97 100%

Tabel V.6 menunjukkan bahwa sebagian besar responden (57,73%)

tidak paham tentang penyakit cacingan.

TabelV.7 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pengetahuan


tentang Penyakit Saluran Alat Cerna di Desa Prasung, Kecamatan
Buduran, Kabupaten Sidoarjo

Tingkat Pengetahuan Frekuensi Persentase %


Paham 32 33,0
KurangPaham 19 19.6
Tidak Paham 46 47.4
Total 97 100.0
Sumber: Hasil Survei, 2017

Gambar V.7 Proporsi Responden Berdasarkan Tingkat Pengetahuan


tentang Penyakit Saluran Alat Cerna di Desa Prasung, Kecamatan
Buduran, Kabupaten Sidoarjo

Tabel V.7 dan Gambar V.7 menunjukkan bahwa hampir separuh

responden (47,4) di Desa Prasung tidak paham mengenai penyakit saluran

alat cerna,.
50

C. Analisis

Setelah diketahui karakteristik masing-masing variabel (univariat) dapat

diteruskan dengan analisis bivariat untuk mengetahui hubungan antar variabel.

Berikut ini akan disajikan hasil pengujian menggunakan uji Spearman

Correlation.

Tabel V.8 Kualitas Jamban menurut Tingkat Pengetahuan tentang


Penyakit Saluran Alat Cerna di Desa Prasung, Kecamatan Buduran,
Kabupaten Sidoarjo

Kualitas Jamban
Tingkat Total p value
Pengetahuan Tidak sehat Kurang Sehat Sehat

Tidak paham 4 (20%) 4 (20%) 12 (60%) 20 (100%)


Kurang Paham 4 (9,5%) 5 (11,9%) 33 (78,6%) 42 (100%)

0,200
Paham 5 (14,3%) 2 (5,7%) 28 (80%) 35 (100%)

Total 13 (13,4%) 11 (11,3%) 73 (75,3%) 97 (100%)


Sumber : Hasil Survei, 2017

Dan berdasarkan hasil uji statistik Tabel V.8 dengan Spearman

correlation test diperoleh nilai Sig. p = 0,200 (> 0,05), artinya tidak ada

hubungan antara tingkat pengetahuan tentang penyakit saluran alat cerna

dengan kualitas jamban.

Masyarakat desa Prasung memiliki karakteristik yang unik. Apabila

diperhatikan Tabel V.8 tersebut tampak bahwa kelompok masyarakat yang

tidak paham tentang penyakit saluran alat cerna justru sebagian besar (60%)

memiliki jamban sehat, demikian juga yang kurang paham, sebagian besar

(78,65%) juga memiliki jamban sehat. Hal seperti ini wajar apabila yang

paham sebagian besar (80%) memiliki jamban sehat. Peningkatan kepemilikan


51

jamban menurut kategori tingkat pengetahuan memang ada secara berurutan

mulai dari 60%, 78,65% dan 80% dari faktor risiko tingkat pengetahuan yang

tidak paham kurang paham dan paham, tetapi tidak bermakna. Dari kenyataan

ini, berarti pengetahuan tentang penyakit saluran alat cerna bukan satu-satunya

faktor risiko yang menyebabkan tingkat kepemilikan jamban di Desa Prasung.

Ada faktor risiko lain yang mempengaruhi.

BAB VI
PEMBAHASAN
52

Salah satu upaya untuk mencegah berkembangnya penyakit dan menjaga

lingkungan menjadi bersih dan sehat dengan cara membangun jamban di setiap

rumah. Karena jamban merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia. Maka

diharapkan tiap individu untuk memanfaatkan fasilitas jamban untuk buang air

besar. Penggunaan jamban akan bermanfaat untuk menjaga lingkungan tetap

bersih, nyaman dan tidak berbau (Dedi dan Ratna, 2013).

Hubungan antara pembuangan tinja dengan status kesehatan bisa secara

langsung yaitu mengurangi kejadian penyakit yang diakibatkan karena

kontaminasi dengantinja (kolera, disentri, typus, dll), efek tidak langsung biasanya

berhubungan dengan komponen sanitasi lingkungan seperti menurunnya kondisi

higiene lingkungan.

Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan yang bersifat kognitif

merupakan domain yang sangat penting bagi terbentuknya suatu tindakan.

Tindakan yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku

yang tidak didasari oleh pengetahuan responden tentang pentingnya memiliki

jamban keluarga dirumah. Pengetahuan yang dibahas dalam penelitian ini adalah

tentang penyakit saluran alat cerna yang dapat tertular apabila tidak memiliki

jamban dan buang air besar di sembarang tempat. Pengetahuan sangat erat

hubungannya dengan tindakan seseorang dalam hal ini pengetahuan tentang

pemanfaatan jamban keluarga dirumah akan sangat mempengaruhi perilaku

seseorang. Sesuai dengan penelitian Kamria dkk (2013) menyatakan bahwa

tingkat pengetahuan masyarakat tentang kesehatan lingkungan sangat penting,

karena akan mempengaruhi perilaku masyarakat.


53
53

Kedua pendapat tersebut sesuai dengan hipotesis yang dibangun dalam

penelitian ini yaitu “tingkat pengetahuan tentang penyakit saluran alat cerna

berhungan dengan kualitas jamban”.

Ternyata pendapat-pendapat tersebut bertentangan dengan hasil penelitian

ini yang menurut analisis disebutkan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat

pengetahuan tentang penyakit saluran alat cerna dengan kualitas jamban di Desa

Prasung Kecamatan Buduran, Sidoarjo.

Dengan berbagai kenyataan di atas telah disebutkan bahwa karakeristik

masyarakat desa Prasung ini unik. Untuk lebih jelasnya uraian selanjutnya dapat

dilihat Tabel berikut (Lihat Tabel V.9).

Tabel V.9 Distribusi Frekuensi Kualitas Jamban menurut Tingkat


Pengetahuan tentang Penyakit Saluran Alat Cerna di Desa Prasung,
Kecamatan Buduran, Kabupaten Sidoarjo

Kualitas Jamban
Tingkat Pengetahuan Total
Tidak sehat Kurang Sehat Sehat

Tidak paham 4 (30,8%) 4 (36,4%) 12 (16,4%) 20 (20,6%)


Kurang Paham 4 (30,8%) 5 (45,4%) 33 (45,2%) 42 (43,3%)

Paham 5 (38,4%) 2 (18,2%) 28 (38,4%) 35 (36,1%)

Total 13 (100%) 11 (100%) 73 (100%) 97 (100%)


Sumber : Hasil Survei, 2017

Dari distribusi frekuensi kualitas jamban yang tidak sehat, kurang sehat

maupun yang sehat, maka dapat diperhatikan hal-hal sebagai berikut:

Pertama: pada kepemilikan jamban dengan kualitas tidak sehat distribusi

frekuensi tingkat pengetahuan mereka hampir merata, yaitu 30,8% untuk yang
54

tidak paham , 30,8% untuk yang kurang paham dan 38,4 % untuk yang paham.

Rupanya kelompok pemilik jamban tidak sehat ini sama sekali tidak

memperhatikan hubungannya dengan kesehatan. Bisa jadi karena faktor lain

seperti kurangnya dana, ada kebiasaan membuang hajat di tempat terbuka yang

ada di dekat tempat tinggal atau tempat kegiatan mereka sehari-hari atau sebab

lainnya.

Kedua: untuk kelompok pemilik jamban yang kurang sehat justru mereka

yang paham akan penyakit saluran alat cerna hanya 18,2 % yang memiliki

jamban, jauh lebih kecil dibanding yang tidak atau kurang paham (36,4% dan

45,4%). Tentu saja hal ini sangat bertentangan dengan pendapat Soekidjo

Notoatmodjo (2003) dan Kamria dkk (2013), yang pada intinya menyatakan

bahwa tingkat pengetahuan akan memberi kemungkinan berpengaruh terhadap

perilaku kesehatan.

Ketiga: sedangkan kelompok pemilik jamban sehat didominasi mereka yang

tingkat pengetahuannya kurang ( 45,2%) diatas kelompok masyarakat yang

tingkat pengetahuannya baik (paham) yaitu 38,4%. Artinya bisa diasumsikan

bahwa tingkat pemahaman yang baik tidak menjamin kepemilikan jamban

yang berkualitas sehat.


57

Green, 1980 dalam Notoatmodjo (2003) menyebutkan bahwa perilaku

dibentuk oleh tiga faktor yaitu faktor predisposisi (predisposing factor), yang

terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan

sebagainya, faktor pendukung (enabling factor), yang terwujud dalam lingkungan

fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana dan

faktor pendorong (reinforcing factor) yang terwujud dalam sikap dan perilaku

petugas kesehatan atau petugas lain, yang merupakan kelompok referensi dari

perilaku masyarakat.

Rupanya hipotesis yang dilandasi oleh faktor prdisposisi (predisposing

factor) yang diharapkan terwujud dari pengetahuan tentang penularan penyakit

saluran alat cerna ternyata tidak mengubah perilaku untuk memiliki jamban sehat.

Faktor pendukung (enabling factor) seperti lingkungaan fisik, geografi, kebiasaan

masyarakat terdekat (tetangga) sangat mungkin memengaruhi kepemilikan

kualitas jamban yang dimiliki oleh masyarakat Desa Prasung. Apabila masyarakat

sekitar beranggapan bahwa tidak punya jamban adalah hal yang biasa, maka hal

tersebut akan mendukung perilaku orang di sekitarnya. Sebaliknya apabila

masyarakat tersebut dekat dengan perilaku memiliki jamban sehat adalah hal

penting, maka tetangga akan meniru. Bahkan beberapa kelompok masyarakat

berpendapat bahwa kepemilikan jamban yang baik akan menjadi status symbol

untuk masyarakat yang berada (sebagai simbol masyarakat yang mampu/kaya).

Faktor pendukung lain misalnya adalah kondisi geografi. Masyarakat yang tinggal

di tepi aliran sungai cenderung untuk buang air besar (BAB) langsung ke sungai
60

di Desa Prasung untuk mengadakan penyuluhan mengenai jamban sehat sehingga

banyak warga yang terdorong untuk membuat jamban.

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Erlinawati (2009) yang

menunjukkan bahwa pendidikan dan pengetahuan ibu tidak berhubungan dengan

perilaku penggunaan jamban. Dalam penelitian lain pengetahuan, sikap,

ketersediaan air, peraturan dan sangsi sosial tidak berhubungan dengan perilaku

buang air besar (Simanjuntak, 2009). Penelitian Erlinawati (2009) juga

menyebutkan bahwa pengetahuan ibu tidak berpengaruh terhadap perilaku

menggunakan jamban (p=0,292). Selain itu, Penelitian yang dilakukan oleh Dya

Candra (2013) menyebutkan bahwa banyak warga memiliki pengetahuan yang

baik tentang jamban akan tetapi perilaku dalam pembuangan tinja di jamban

masih kurang. Sehingga dalam penelitiannya tidak ada hubungan antara tingkat

pengetahuan dengan perilaku dalam pembuangan tinja. Namun penelitian ini tidak

sejalan dengan beberapa penelitian, seperti Penelitian yang dilakukan oleh I

Nengah Darsana (2012), menunjukkan bahwa ada hubunganpengetahuan terhadap

kepemilikan jamban. Dan juga hasil penelitian Ibrahim, dkk (2012) yang

menyebutkan terdapat hubungan antara pengetahuan dengan pemanfaatan jamban

(p=0,000).
61

BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1. Sebagian besar warga Prasung sudah memiliki jamban dengan kualitas sehat

(81.4%) apabila dibandingkan dengan yang kurang sehat (9.3%) dan tidak

sehat (9.3%).
2. Masih banyak warga Prasung yang belum memahami dan mengerti tentang

penyakit saluran alat cerna (47.4%) apabila dibandingkan dengan yang

kurang paham (19.6%) dan yang sudah mengerti dan mengetahui tentang

penyakit saluran alat cerna (33%)


3. Tidak ada hubungan antara tingkat pengetahuan tentang penyakit saluran

alat cerna dengan kualitas jamban di Desa Prasung, Kecamatan Buduran,

Kabupaten Sidoarjo yang di tunjukkan dengan hasil uji Spearmen

Correlation diperoleh nilai Sig. = 0,200 (>0,05).

B. Saran
1. Bagi subjek penelitian
Diharapkan agar para warga Desa Prasung memacu diri untuk dapat lebih

paham mengenai penyakit saluran alat cerna yang dapat di tularkan dari

perilaku penggunaan jamban yang tidak sehat, sehingga dapat memutus

rantai penularan penyakit dan dapat meningkatkan kualitas hidup yang lebih

sehat.
2. Bagi Petugas kesehatan
a. Berusaha mengetahui faktor risiko sesungguhnya yang mendorong tidak

dimilikinya jamban maupun yang memiliki jamban tidak sehat.


b. Pendekatan secara persuasif yang intens perlu dilakukan apabila

memungkinkan pendekatan secara personal untuk mengetahui faktor

risiko seperti dimaksud pada butir a, sehingga lebih mudah dalam

memecahkan persoalan kepemilikan kualitas jamban.

60
62

c. Pendekatan kepada tokoh masyarakat yang berpengaruh terhadap

individu-individu yang bersangkutan untuk membantu memotivasi

kepemilikan jamban sehat.


3. Bagi penelitian selanjutnya
Perlu adanya penelitian selanjutnya untuk mengeksplor faktor-faktor risiko

yang memicu tidak dimilikinya kualitas jamban yang sehat.

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Prabu Mangkunegara. 2003. Perencanaan dan Pengembangan Sumber


Daya Manusia. Bandung: Refika Aditama.

Bangun Mulia, AAI, Prof. DR. L. Aulia, AAI, dan Prof. Dr. A. Effendi, AAI.
2006. Abdomen. dr, Simbar Siitepu, AAI. Buku Ajar Anatomi 2 : Kepala,
Leher, Thorax, Abdomen, Pelvis Edisi 4. Medan : Bagian Anatomi FK
USU.

Carlos Junqueira Louis dan José Carnerio. 2007. Saluran Cerna dalam Histologi
Dasar: Teks Dan Atlas. Jakarta: EGC.

Chow, C.M., Leung, A.K.C., Hon, K.L., 2010. Acute Gastroenteritis : From
Guideline to Real Life. Clinical and Experimental Gastroenterology, 3:97-
112.
63

Dedi Alamsyah dan Ratna Mulia Wati. 2013. Pilar Dasar Ilmu Kesehatan
Masyarakat. Nuha Medika. Yogyakarta.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia.2006.Pedoman Pengendalian


Cacingan. Jakarta: Lampiran Keputusan Menteri Kesehatan RI.

Destiya, Linda Kurniawati. 2015. Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap


Perilaku Kepala Keluarga dalam Pemanfaatan Jamban di Pemukiman
Kampung Nelayan Tambak Lorok Semarang. Fakultas Ilmu Keolahragaan
Universitas Negeri Semarang. Semarang.

Dya Candra. 2013. Hubungan antara Kepemilikan Jamban dengan Kejadian Diare
di Desa Karangagung Kecamatan Palang Kabupaten Tuban. Surabaya:
Departemen Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Airlangga.
Erlinawati Pane. 2009. Pengaruh Perilaku Keluarga terhadap Penggunaan Jamban.
Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Volume 3 Nomor 5. Hlm 230-234.

Evelyn, Pearce. 2006. Saluran Pencernaan dan Pencernaan Makanan. Evelyn


Pearce Anatomi Dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta : Gramedia.

Glenda N Linseth. 2003. Gangguan Hati, Kandung Empedu dan Pankreas. In :


Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit. Volume 1. Edisi 6. Jakarta: EGC, 493-494.

Gandahusada, S., Ilahude, H.D., Pribadi, W. 2000. Parasitologi Kedokteran.


Jakarta: FK UI.

Hasibuan, Malayu S.P. 2009. Manajemen Sumber Daya Manusia: Dasar,


Pengertian, dan Masalah Edisi Revisi. Jakarta : Bumi Aksara.

Hasler, W. L., 2012. Nausea, Vomiting, and Indigestion; Dalam: Harrison’s


Principles of Internal Medicine. USA : The Mc Graw-Hill Companies Inc.

Helmi, A.F. 2015. Beberapa Teori Psikologi Lingkungan. Buletin Psikologi edisi
Sep 23;7(2) tahun 2015.

I Nengah Darsana, dkk. 2014. Faktor - faktor yang Berhubungan dengan


Kepemilikan Jamban Keluarga di Desa Jehem, Kecamatan Tembuku,
Kabupaten Bangli Tahun 2012. Jurnal Kesehatan Lingkungan Vol.4 No.2
november 2014: 124-143.

Ibrahim, I., D.Nuraeni, dan T.Ashar. 2012. Faktor Nfaktor Yang Berhubungan
Dengan Pemanfaatan Jamban Di Desa Pintu Langit Jae Kecamatan
Padangsidimpuan Angkoloa Julu Tahun 2012. 21 januari 2015 (15:52).
64

Kamria, dkk. 2013. Faktor Faktor yang Mempengaruhi Masyarakat Terhadap


Pemanfaatan Jamban Keluarga di Desa Bontotallasa Dusun Makuring
Kabupaten Maros. Volume 3 Nomor 1 Tahun 2013. hlm 99-102.

Kementerian RI. 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia Tahun
2007. Jakarta: Depkes

Kemenkes RI. 2011. Promosi Kesehatan di Daerah Bermasalah Kesehatan.


Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Pendidikan Dan Perilaku Kesehatan. Jakarta:


Rineka Cipta.

Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Pendidikan Dan Perilaku Kesehatan. Jakarta:


Rineka Cipta.

Nurfita, Alviana Sari. 2016. Hubungan Tingkat Pengetahuan, Sikap dan Tingkat
Pendapatan dengan Perilaku Buang Air Besar Keluarga di Desa
Kerjokidul Kecamatan Ngadirojo Kabupaten Wonogiri. Jurnal Universitas
Muhammadiyah Surakarta diakses pada tanggal 25 April 2017.

Pulungan, A.A. 2015. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kepemilikan


Jamban Keluarga di Desa Sipange Julu Kecamatan Sayur Matinggi
Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2013 dalam jurnal Lingkungan dan
Kesehatan Kerja edisi 25 Maret 2015. Medan: Media Universitas Sumatra
Utara diakses pada tanggal 25 April 2017.

Putranti, D.C. dan Sulistyorini, L., 2013. Hubungan antara Kepemilikan Jamban
dengan Kejadian Diare di Desa Karangagung Kecamatan Palang
Kabupaten Tuban dalam Jurnal Kesehatan Lingkungan edisi 7 Juli 2013
hal 54-63. Surabaya: Jurnal Kesehatan Lingkungan Universitas Airlangga
Surabaya diakses pada tanggal 24 April 2017.

Sarudji, Didik. 2012. Kesehatan Lingkungan. Surabaya: Media Ilmu.

Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata K, M., Setiasi, S. (eds). 2009. BukuAjar Ilmu
Penyakit Dalam. Interna Publishing, Jakarta : 548-55

Sherwood, Lauralee. 2001. Sistem Pencernaan dalam Fisiologi Manusia : Dari


Sel Ke Sistem. Jakarta: EGC.

Simadibrata, K., Daldiyono, dkk. 2006. Buku Ajar Anatomi 2 : Kepala, Leher,
Thorax, Abdomen, Pelvis, Edisi 4. Medan: Bagian Anatomi FK USU.

Simadibrata, K.M. 2007. Diare Akut dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
I Edisi Keempat. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.

Soeparman. 2003. Pembuangan Tinja dan Limbah Cair. Jakarta : EGC.


65

Sudoyo A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S. 2009. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing.

Sujono, Hadi. 2002. Lambung dalam buku Gastroenterologi Edisi 7. Bandung:


Penerbit Buku Alumni.

Wira, Ida Ayu Dwidyaniti. 2014. Hubungan Antara Persepsi Mutu Pelayanan
Asuhan Keperawatan dengan Kepuasan Pasien Rawat Inap Kelas III di
RSUD Wangaya, Kota Denpasar. Denpasar : Bagian Program Pascasarjana
Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Udayana diakses pada
tanggal 27 April 2017.

Widodo, Joko. 2006. Membangun Birokrasi Berbasis Kinerja. Jakarta: Bayumedai


Publishing.

Widoyono. 2008. Penyakit tropis: Epidemiologi, Penularan, Pencegahan &


Pemberantasannya. Jakarta: Penerbit Erlangga.

WHO. 1984. Glossary of term used in health for all series . Geneva: WHO
Zulkoni, A. 2011. Parasitologi untuk Keperawatan, Kesehatan Masyarakat,
Teknik Lingkungan. Yogyakarta: Nuha Medika.

Lampiran 1
Tabel SPSS
66

Lampiran 2
Informed consent

SURAT PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN


(Informed Consent)

Setelah mendapat penjelasan dengan baik tentang tujuan dan manfaat


penelitian yang berjudul “Hubungan Tingkat Pengetahuan tentang Penyakit
Saluran Alat Cerna dengan Kualitas Jamban di Desa Prasung, Kecamatan
Buduran, Sidoarjo”, saya mengerti bahwa saya diminta untuk
mengisi kuesioner dan menjawab pertanyaan tentang berbagai
hal yang berkaitan dengan pengetahuan tentang penyakit
saluran alat cerna. Saya memerlukan waktu sekitar 15-20 menit
sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Saya
memahami bahwa penelitian ini tidak membawa risiko. Apabila
ada pertanyaan yang menimbulkan respon emosional, penelitian
akan dihentikan dan peneliti akan memberi dukungan.
Saya mengerti bahwa catatan mengenai data penelitian
akan dirahasiakan, dan kerahasiaannya ini akan dijamin.
Informasi mengenai identitas saya tidak akan ditulis pada
instrumen penelitian dan akan tersimpan secara terpisah di
tempat yang aman.
Saya mengerti bahwa saya berhak menolak untuk
berperan sebagai responden atau mengundurkan diri setiap saat
tanpa adanya sanksi atau kehilangan semua hak saya.
67

Saya telah diberi kesempatan untuk bertanya mengenai


penelitian ini atau mengenai keterlibatan saya dalam penelitian
ini, dan telah dijawab dengan memuaskan.
Secara sukarela saya sadar dan bersedia berperan dalam
penelitian ini dengan menandatangani surat persetujuan menjadi
responden.

Sidoarjo,................................
Responden,

(..........................................)
Saksi :

1. ........................................(tanda tangan)

(..........................................)(nama terang)

2. ........................................(tanda tangan)

(..........................................)(nama terang)

Lampiran 3

Kuesioner penelitian

KUESIONER

“Hubungan Tingkat Pengetahuan tentang


Penyakit Saluran Alat Cerna dengan Kualitas
Jamban di Desa Prasung, Kecamatan Buduran,
Sidoarjo”

Petunjuk Pengumpulan Data


1. Memberi salam sebelum masuk ke tempat tinggal
responden
2. Memeperkenalkan diri dan memberitahukan maksud dan
tujuan penelitian ini kepada responden
3. Meminta kesediaan responden menjadi sampel dalam
penelitian ini dengan cara mengisi tanda tangan di lembar
persetujuan menjadi responden
4. Melakukan wawancara sesuai dengan kuesioner
68

5. Apabila saat wawancara terdapat jawaban tambahan dari


responden agar dicatat
6. Setelah wawancara selesai, ucapkan terima kasih kepada
responden

PETUNJUK: Isi jawaban responden pada kolom-kolom


yang tersedia dengan kode-kode yang sesuai/ coret salah
satu pilihan jawaban
A. DATA UMUM RESPONDEN
a. Nama Kepala
Keluarga : ........................................................
b. Nama
Responden : ................................................................
c. Alamat : Desa
...........................................................RT/RW ..................
...................................................... ……….
d. Usia : ..............................................................................
.....
e. Jenis
Kelamin : .....................................................................
f. Pendidikan
Terakhir : ...........................................................
g. Mata
Pencaharian : ................................................................
h. Pendapatan per
bulan : ...........................................................

B. KEPEMILIKAN JAMBAN
1) Apakah anda memiliki jamban di rumah?
1. Ya 2. Tidak
2) Jika ya, apakah jamban anda sudah memiliki septic tank dan
resapan?
69

1. Ya 2. Tidak
3) Jika tidak, dimana anda Buang air besar?
a. Sungai
b. Sawah
c. Halaman/kebun
d. Lain-lain.............
C. PENGETAHUAN TENTANG PENULARAN PENYAKIT
SALURAN ALAT CERNA
1. Manakah yang bisa membuat sakit perut ?
a. Kuku yang kotor
b. Minus es
c. Menghirup udara pabrik
d. Mainan telepon

2. Kapan harus mencuci tangan ?


a. Sebelum BAB
b. Setelah BAB
c. Setelah bangun tidur
d. Saat mau tidur

3. Apa yang termasuk gejala cacingan ?


a. Gatal di dubur
b. Mata merah
c. Sariawan
d. Batuk pilek

4. Setiap berapa lama sekali minum obat cacing


a. Setahun sekali
b. Jika sakit
c. Tidak perlu
d. Setiap 6 bulan sekali

5. Dimana tidak bisa ditemukan telur cacing?


a. Pasir
b. Tanah
c. Air
d. Api

6. Bagaimana cara mencuci tangan yang benar ?


a. Dengan air saja
b. Dengan air dan sabun
c. Dengan pasir
d. Tidak perlu mencuci tangan

7. Apa yang menyebabkan sakit tipes ?


70

a. Menonton tv
b. Tidur siang
c. Jajan sembarangan
d. Mandi malam hari

8. Apa penyebab tifoid ?


a. Cacing
b. Virus
c. Bakteri
d. Kucing

9. Apa gejala tipes ?


a. Demam
b. Batuk
c. Mata merah
d. Gatal-gatal

10. Bagaimana cara agar tidak terkena sakit tipes ?


a. Mandi 3x sehari
b. Olahraga berat
c. Minum susu
d. Tidak jajan sembarangan

11. Mana yang termasuk penyakit saluran alat cerna ?


a. Diare
b. Flu
c. Hepatitis
d. Diabetes

12. Apa yang tidak menyebabkan diare ?


a. Virus
b. Merokok
c. Parasit
d. Bakteri

13. Apa itu diare ?


a. BAB hitam
b. BAB keras
c. BAB cair lebih dari 3x
d. Tidak BAB

14. Apa yang bisa menyebabkan diare


a. Tidak mencuci tangan sebelum makan
b. Merokok
c. Makan makanan asin
d. Mengobrol dengan orang sakit diare

15. Bagian organ tubuh apa yang terserang sakit diare ?


a. Otak
b. Saluran pernafasan
71

c. Saluran kencing
d. Saluran pencernaan

16. Apa yang bisa diberikan saat diare ?


a. Air tajin
b. Sari buah
c. Oralit
d. Kuah sayur

Lampiran 4
Dokumentasi
Penelitian
72
57
74

Lampiran 5

BERITA ACARA PERBAIKAN

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG PENYAKIT


SALURAN ALAT CERNA DENGAN KUALITAS JAMBAN DI DESA PRASUNG,
KECAMATAN BUDURAN, SIDOARJO

Pembimbing: Prof. H. Didik Sarudji, M.Sc

NO. Penulisan Awal Setelah Perbaikan Tanda Tangan

1. Cara penulisan nama Telah ditambahkan yang


anggota kelompok, benar Prof. H. Didik Sarudji, MSc
pembimbing, dan Nik. 09419 - ET
penguji pada cover,
lembar pengesahan
dan kata pengantar
2. Cara penulisan nama Telah ditambahkan yang
anggota kelompok, benar
pembimbing, dan
penguji pada cover, Sukma Sahadewa, dr., M.Ke
lembar pengesahan
NIP. 103434 – ET
dan kata pengantar
3. Cara penulisan nama Telah ditambahkan yang
anggota kelompok, benar
pembimbing, dan
penguji pada cover, Ayu Cahyani, dr., MKKK
lembar pengesahan 11555-ET
dan kata pengantar
4. Cara penulisan Telah ditambahkan yang
abstrak benar
Sukma Sahadewa, dr., M.Ke
NIP. 103434 - ET

5. Cara penulisan Telah ditambahkan yang


abstrak benar
75

Ayu Cahyani, dr., MKKK


11555-ET
6. Kesimpulan tidak Telah ditambahkan yang
singkron dengan benar
tujuan umum dan
khusus Sukma Sahadewa, dr., M.Ke
NIP. 103434 - ET
7. Penambahan lokasi Telah ditambahkan yang
dan tahun pada daftar benar
tabel dan daftar
gambar Ayu Cahyani, dr., MKKK
11555-ET
8. Tambahkan daftar Telah ditambahkan yang
pustaka yang tidak benar
ada
Ayu Cahyani, dr., MKKK
11555-ET
9. Cara penulisan daftar
pustaka

Ayu Cahyani, dr., MKKK


11555-ET

Surabaya, Mei 2017


Mengetahui,
76

Penguji 1/ Pembimbing Penguji 2

Prof. H. Didik Sarudji, M.Sc Sukma Sahadewa, dr., M.Kes


NIK. 09419 - ET NIP. 103434 – ET

Penguji 3

Ayu Cahyani, dr., MKKK


NIK.11555-ET

Anda mungkin juga menyukai