Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN KASUS

Stroke Hemoragik

Pembimbing:
dr. Iqbal Mochammad, Sp.S, M.Sc

Oleh:
dr. Shiva Valeska Ardhaniswari

PROGRAM DOKTER INTERNSHIP


Periode 2022
RSUD dr. Soeroto
NGAWI
1

I. KETERANGAN UMUM
 Nama : Tn. MW
 Umur : 63 tahun
 Jenis Kelamin : Laki-laki
 Alamat : Waruk, Ngawi
 Pekerjaan : Petani
 Status Pernikahan : Menikah
 Agama : Islam
 Jaminan Kesehatan : BPJS Kelas III
 Tanggal Masuk : 16 Maret 2022

II. ANAMNESIS
 Alloanamnesa: Adik ipar dan Istri (17/03/2022 Pukul 12.00)
 Keluhan utama: Penurunan kesadaran
 Riwayat penyakit sekarang:
Pasien datang ke IGD RSUD dr. Soeroto pukul 11.00 WIB dengan
keluhan penurunan kesadaran sejak kurang lebih 5 jam SMRS. Keluhan
penurunan kesadaran dirasakan mendadak, saat pasien sedang beraktivitas.
Sebelum terjadi keluhan, keluarga pasien mengatakan bahwa pasien
mengeluhkan nyeri kepala yang hebat serta nyeri badan. Nyeri kepala
dirasakan seperti ditusuk, terus-menerus dan semakin berat. Keluhan disertai
mual dan muntah berisi darah merah kehitaman sebanyak >10x menyembur
dan kira-kira setiap muntah sebanyak 100-200cc, serta lemah badan terutama
badan sebelah kiri dan mulut mencong ke sebelah kiri.
 Keluhan Penyerta:
Keluhan disertai dengan kejang sebanyak 1x saat tiba di IGD selama >
15 menit, kelojotan seluruh tubuh, dan diantara maupun setelah kejang
kesadaran pasien tetap tidak membaik. Keluhan tidak disertai dengan panas
2

badan maupun batuk-batuk sebelumnya. Diketahui 5 tahun terakhir pasien


sering mengonsumsi obat warung 2 tablet setiap harinya untuk mengurangi
keluhan nyeri kepala. Riwayat mengonsumsi jamu-jamuan disangkal.
Keluhan tidak disertai baal/kesemutan pada mulut maupun tangan dan
kaki, pusing berputar, telinga berdenging, penglihatan ganda, dan penglihatan
gelap sebelumnya. Keluhan tidak disertai dengan nyeri perut, kembung,
maupun sendawa asam sebelumnya. Keluhan sesak nafas saat beraktivitas
maupun istirahat disangkal. Riwayat penurunan BB drastis dalam beberapa
bulan terakhir disangkal. Riwayat trauma disangkal. BAB dan BAK tidak ada
keluhan.
 Riwayat Penyakit Dahulu:
Pasien memiliki riwayat stroke ringan sejak 2 tahun lalu sebanyak 2x
dan berobat ke puskesmas namun setelahnya pasien tidak kontrol teratur.
Pasien juga memiliki riwayat hipertensi yang baru diketahui saat mengalami
stroke ringan pertama kali 2 tahun lalu tetapi tidak berobat secara teratur.
Riwayat penyakit jantung, paru-paru, DM, ginjal, hati, dan lambung tidak
diketahui.
 Riwayat Sosial Ekonomi:
Pasien sehari-hari bekerja sebagai petani, namun semenjak mengalami
stroke ringan pasien tidak bekerja dan tidak dapat mengendarai motor seperti
biasanya, namun pasien masih dapat berjalan dengan baik tanpa bantuan.
Pasien merupakan perokok aktif, sehari pasien menghabiskan kurang
lebih 5 batang rokok. Pasien juga memiliki riwayat konsumsi alkohol saat
masih muda. Sehari-hari pasien jarang mengonsumsi sayur, pasien hanya
mengonsumsi makanan yang kering seperti nasi dengan ayam goreng, serta
gorengan lainnya.
 Riwayat Alergi:
Tidak ada.
3

 Riwayat Keluarga:
Riwayat keluhan serupa pada keluarga tidak diketahui.
4

III. PEMERIKSAAN FISIK


(17/03/2022)
 Keadaan Umum
Kesan sakit : Sakit berat.
Terpasang NGT berisi cairan merah kehitaman.
Terpasang urine catheter, output kurang lebih 180cc, jernih.
Kesadaran : Sopor (GCS 7: E2M3V2)
Tensi : 187/110 mmHg
Nadi : 75x/menit
Pernafasan : 37x/menit dalam dan cepat (Kussmaul Breathing)
Suhu : 37,7oC
SpO2 : 98% dengan nasal kanul 3 lpm
Turgor : Kembali cepat (< 2 detik)

 Status Generalis
Kepala : Normocephal
Mata : Conjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-,
pupil anisokhor 3,5 mm (kanan), 2 mm (kiri), RCL -/-, RCTL -/-
Hidung : PCH (-)
Mulut : Sianosis (-)
Leher : Tidak ada pembesaran KGB, HJR (-)
Thorax : Bentuk dan gerak ka=ki simetris, dalam dan cepat (Kussmaul
Breathing)
sonor kanan=kiri, VBS ka=ki, Rh -/-, Wh -/-
Jantung : Bunyi jantung I dan II murni, regular, murmur (+) diastolik
Abdomen : Datar, lembut, bising usus (+) normal, H/L Tidak teraba membesar.
Genital : Tidak dilakukan Pemeriksaan
Ekstremitas : Edema (-), atrofi (-), akral hangat, CRT < 2detik
5

 Status Neurologis
Rangsang Meningeal : Kaku kuduk (+), Brudzinski (-), Lasegue (-), Kernig (-)
Nervus Cranialis :
• N. I : Tidak dilakukan pemeriksaan
• N. II: Tidak dilakukan pemeriksaan
• N. III, IV, VI: RCL -/-, RCTL -/-, pupil anisohkhor 3,5 mm (Kanan), 2 mm
(Kiri), doll’s eye (+)
• N. V: Tidak dilakukan pemeriksaan
• N. X: Tidak dilakukan pemeriksaan
• Parese N.VII dan N.XII sinistra (Lateralisasi sinistra)
• Motorik : Atas : 2/1
Bawah : 2/1
• Sensorik : Nyeri : Atas +/+, Bawah -/-
Taktil, thermi, diskriminasi : Tidak dilakukan pemeriksaan
• Refleks Fisiologis: Atas : Biceps : N/↓ ; Triceps : N/↓
Bawah : KPR : N/↓ ; APR: Tidak dilakukan pemeriksaan
• Refleks Patologis: Atas : Hoffman -/+, Tromner -/+
Bawah : Babinski -/+, Chaddock -/-, Gordon -/+, Oppenheim
-/-, Schaeffer -/-
• Fungsi Luhur : Sulit dinilai
• Koordinasi : Tidak dilakukan pemeriksaan
• Gerakan abnormal : Tidak dilakukan pemeriksaan

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


a.) Usulan Pemeriksaan Penunjang:
 Glukosa Darah Sewaktu (GDS)
 Laboratorium Darah Rutin: Hemoglobin, hematokrit, leukosit, trombosit.
6

 Profil Lipid: Kolesterol total, HDL, LDL, trigliserida.


 Fungsi Ginjal: Ureum, kreatinin.
 EKG
 Foto Thoraks
 CT scan kepala

b.) Pemeriksaan Penunjang (16/03/2022)


1. Laboratorium Darah
DARAH LENGKAP
 Hemoglobin (HGB) 12.4 (11 - 16 g/dl)
 Leukosit (WBC) 8.27 (4 - 10 10^3/µL)
 Eritrosit (RBC) 5.44 (3.5 - 5.5 x10^6/µL)
 Trombosit (Platelet) 263 (100 - 300 10^3/µl)
 Hematokrit (HCT) 39.3 (37 - 54 %)
 HITUNG JENIS:
 Basofil 0.3 (0 - 1 %)
 Eosinofil 0.3 (0 - 4 %)
 Neutrofil 88.2 * (55 - 80 %)
 Limfosit 7.2 * (22 - 44 %)
 Monosit 4.0 (0 - 7 %)
 MCV 72.3 * (80 - 100 fL)
 MCH 22.8 * (27 - 34 pg)
 MCHC 31.6 * (32 - 36 g/dl)
 RDW 14.9 (11 - 16 %)
FAAL HATI
 SGOT (AST) 46 * (1 - 31 U/L)
 SGPT (ALT) 23 (1 - 42 U/L)
7
8

FAAL GINJAL
 Creatinin enzymatic 1.75 * (0.6 - 1 mg/dl)
 Urea 51 * (10 - 50 mg/dl)
LEMAK
 Cholesterol total 228 (50 - 250 mg/dL)
 Trigliserida 132 (37 - 149 mg/dL)
GULA DARAH
 Gula darah Sewaktu 121 * (60 - 110 mg/dL)
ELEKTROLIT
 Natrium 136 mmol/L (135-145)
 Kalium 3.9* mmol/L (4.00-5.00)
 Chlorida - (98-107 mmol/L)
 Kalsium 1.12 mmol/L (1.12-1.32)

2. COVID-19 Swab Rapid Covid 19 Antigen (Program BLUD) NEGATIF


3. Rontgen Thorax AP (16/03/2022)
Aorta : tak tampak elongasi
Cor : CTR > 50%, apex melebar ke laterocaudal. Pinggang jantung baik
Pulmo: Corakan vascular normal. Tak tampak kesuraman, kalsifikasi dan
fibrosis. Diafragma dan Sinus kostofrenikus baik.
KESAN :
COR : CARDIOMEGALI (LEFT VENTRICLE)
PULMO : TAK TAMPAK KELAINAN
9

V. PENEGAKKAN DIAGNOSIS
• Klinis : - Penurunan Kesadaran
- Stroke Hemorragik
- Stress Ulcer
- Sepsis
- Gangguan Elektrolit
- HT Kronik dengan LVH
 Topis : Sistem Carotis Dextra
 Etiologi : Perdarahan Intraserebal
 Faktor Risiko : Hipertensi tidak terkontrol
 Siriraj Score : 4 (>1: stroke hemoragik)
 Gadjah Mada : Nyeri kepala (+), penurunan kesadaran, (+), refleks Babinski
(+)
 Stroke perdarahan intraserebral

a.) Diagnosis Differensial


1. Penurunan Kesadaran dengan Stroke Hemoragik Sistem Carotis Dextra ec. Susp.
Perdarahan Intraserebral + Stress Ulcer ec. Perdarahan Saluran Cerna Atas +
Sepsis + Gangguan Elektrolit + HT Kronik dengan LVH
2. Penurunan Kesadaran dengan Stroke Hemoragik Sistem Carotis Dextra ec. Susp.
Perdarahan Sub Arachnoid + Stress Ulcer ec. Perdarahan Saluran Cerna Atas +
Sepsis + Gangguan Elektrolit + HT Kronik dengan LVH

b.) Diagnosis Kerja


Penurunan Kesadaran dengan Stroke Hemoragik Sistem Carotis Dextra ec. Susp.
Perdarahan Intraserebral + Stress Ulcer ec. Perdarahan Saluran Cerna Atas + Sepsis +
Gangguan Elektrolit + HT Kronik dengan LVH
10

VI. PENATALAKSANAAN
a.) Usulan Penatalaksanaan
Umum
1. Bed rest total. Head Up 30⁰C
2. Stabilisasi jalan napas dan pernapasan.
 Memperbaiki jalan nafas (ABC), pemasangan pipa orofaring (jika ditemukan
gangguan pada airway).
 Suplai oksigen (untuk pasien hipoksia).
2. Stabilisasi hemodinamik (sirkulasi)
 Berikan cairan kristaloid atau koloid intravena, hindari cairan hipotonik
seperti glukosa.
 Optimalisasi tekanan darah.
 Pemantauan jantung dilakukan 24 jam (cardiac monitoring).
 Koreksi elektrolit, asidosis, atau alkalosis)
3. Pengelolaan nutrisi
 Pemasangan NGT (Jika pasien mengalami gangguan menelan, sebagai
dekompresi dan menilai adanya perdarahan pada kasus yang disertai dengan
perdarahan saluran cerna).
 Pada keadaan akut kebutuhan kalori 25-30 kkal/kg/hari dengan komposisi Kh
30-40%, lemak 20-35%, protein 20-30%.
Khusus
1. Pengendalian Tekanan Darah Pada Stroke Hemoragik
Peningkatan tekanan darah sering terjadi pada perdarahan intracranial.
Tekanan darah yang tinggi diketahui berkaitan dengan ekspansi hematoma,
perburukan fungsi neurologis, disabilitas, dan bahkan kematian. Oleh karena
itu pada kasus perdarahan intrakranial, penurunan tekanan darah bermanfaat
dan relatif aman. Pasien dengan TD sistolik 150-220mmHg tanpa
kontraindikasi antihipertensi, penurunan tekanan darah sistolik hingga
11

140mmHg dinyatakan aman (kelas I, peringkat bukti A), dan bermanfaat


(kelas II, peringkat bukti B). Sementara itu pasien dengan TD sistolik
>220mmHg boleh dilakukan penurunan tekanan darah agresif dengan
antihipertensi intravena dan pengawasan ketat (kelas III, peringkat bukti C).
Tekanan darah diturunkan sebaiknya menggunakan obat antihipertensi kerja
singkat (short-acting) sehingga dosis dapat dititrasi dan disesuaikan dengan
respon tekanan darah dan status neurologis pasien. Obat-obat yang dapat
dipergunakan yaitu nikardipine, labetalol, esmolol atau natrium nitroprusside
dengan cara penurunan sebagai berikut : (kelas III, peringkat bukti C).
 Nicardipine 5 mg/jam sebagai dosis awal, lalu dinaikkan 2,5 mg/jam
setiap 5-15 menit sampai efek yang diinginkan. Dosis maksimumnya
adalah 15 mg/jam.
 Labetalol diberikan dosis intermitten 10-20 mg IV dalam 1-2 menit,
boleh diulang satu kali.
 Hydralazine dapat diberikan 10-20 mg IV setiap 4-6 jam. Hydralazine
sebaiknya tidak dijadikan pilihan utama karena walaupun waktu
paruhnya hanya 3 jam, tetapi efeknya pada tekanan darah dapat
bertahan hingga 100 jam sehingga efeknya tidak dapat diprediksi.
 Enalaprilat dapat diberikan 0,625-1,2 mg IV setiap 6 jam.
 Natrium nitroprusside seharusnya dihindari pada kasus kegawatan
neurologi karena dapat meningkatkan ICP. Tetapi jika dibutuhkan
penurunan tekanan darah segera dan obat lain tidak efektif, pasien
dapat diberikan natrium nitroprusside 0,25-10 μg/kg/menit. Dosis awal
sebaiknya lebih rendah. Pasien tidak boleh mendapat nitroprusside
lebih dari 24 jam dan dosis tertinggi yang dapat diberikan adalah 2
μg/kg/menit.
 Diltiazem merupakan salah satu pilihan pada hipertensi emergensi dan
hipertensif ensefalopati, juga dapat digunakan untuk menurunkan
12

tekanan darah pada stroke iskemik akut yang akan diberikan


trombolitik. Diltiazem juga dapat digunakan untuk menurunkan
tekanan darah pada stroke perdarahan tanpa menimbulkan peningkatan
tekanan intrakranial. Obat ini secara spesifik dapat menurunkan
tekanan darah pada kasus stroke dengan komorbid takiaritmia, angina
tidak stabil, miokard infark, dan supra ventricular tachycardia.
 Obat antihipertensi parenteral lainnya.
Tata laksana emergensi hipertensi arterial:
 Jika TD sistolik >200 mmHg atau MAP >150 mmHg, cepat turunkan
TD dengan obat IV dan monitor TD setiap 5 menit.
 Jika TD sistolik >180 mmHg atau MAP >130 mmHg dan terdapat
bukti peningkatan tekanan intracranial, turunkan TD secara berlanjut
atau intermittent, pertahankan CPP >80 mmHg.
 Jika TD sistolik >180 mmHg atau MAP >130 mmHg dan tidak
terdapat bukti peningkatan tekanan intracranial, turunkan TD secara
ringan dengan berlanjut atau intermittent.
 Mempertahankan cerebral perfusion pressure (CPP) Pasien dengan
perdarahan intraserebral seharusnya mempunyai tekanan darah
terkontrol tanpa menurunkan tekanan darah berlebihan. Usahakan
tekanan darah sistole
2. Kejang
Pemilihan obat disesuaikan secara individual karena ada obat lain untuk
stroke yang dipakai secara bersamaan :
 Karbamazepin dan fenitoin sodium adalah pilihan utama pada kejang
fokal.
 Karbamazepin diberikan dengan target kadar plasma 20-50γmol/L.
Karbamazepin dapat menyebabkan hiponatremia.
13

 Fenitoin dapat diberikan dengan dosis 15-20 mg/kg BB/hari oral atau i.v.
Dosis inisial 100 mg oral atau iv 3 kali/hari. Dosis rumatan 300-400 mg
oral/hari dengan dosis terbagi. Dosis fenitoin sodium yang dianjurkan
adalah hingga kadar serum mencapai 14-23 ug/mL. Pemberian dapat
dihentikan setelah 1 bulan bebas kejang. Fenitoin sodium parenteral
bermanfaat pula untuk perbaikan status mental dan proses menelan (kelas
IV). Interaksi fenitoin dengan warfarin akan mengurangi efek terapeutik
keduanya (kelas IV).
 Penggunaan lamogtrigin lebih baik daripada karbamazepin dalam
mengatasi kejang karena dapat mempertahankan masa bebas kejang lebih
lama. (kelas I, peringkat bukti B).
 Okskarbazepin secara klinis lebih aman daripada karbamazepin. Obat ini
memiliki efek hiponatremia. Obat efektif mengatasi kejang pada porfiria
kutanea tarda (kelas III).
 Topiramat dipakai sebagai terapi tambahan pada kejang parsial refrakter.
Obat ini digunakan sebagai monoterapi. Dosis untuk dewasa antara 300-
1600 mg/hari (kelas III).
 Gabapentin efektif sebagai monoterapi pada kejang parsial (kelas III).
Dosis gabapentin 900 mg/hari (berat badan kurang dari 75 kg) dan 1200
mg (berat badan lebih dari 75 kg). Gabapentin merupakan pilihan pada
pasien dengan gagal hati dan porfiria (kelas III).
 Lorazepam, merupakan pilihan pertama yang diberikan pada onset akut
dan status epileptikus.
 Benzodiazepin tetap menjadi pilhan penanganan kejang pada pase akut.
79% kejang terkontrol dengan benzodiazepin.
 Penggunaan lorazepam lebih baik daripada diazepam karena memliki
masa kerja yang lebih panjang. Masa kerja 12 jam dibandingkan dengan
20 menit.
14

 Levetirasetam juga digunakan untuk status epileptikus (kelas III) dan


pasien yang menderita porfiria (kelas III). Jika obat ini diberikan dalam 4
hari pertama dengan dosis 3000 mg/hari, tingkat responnya meningkat
sampai dengan 43% (kelas III). l) rtPA (Alteplase) dapat tetap diberikan
pada pasien dengan kejang pada stroke akut (kelas IV).
 Sodium valproate dosis 20-40 mg/kg BB.
 Profilaksis boleh dipertimbangkan bila kejang setelah perdarahan
intraserebral dan subaraknoid (kelas III, peringkat bukti B).
 Lesi tunggal di serebelum atau subkorteks tidak memerlukan terapi
profilaksis.
 Pemberian antikonvulsan sebagai profilaksis pada pasien stroke tanpa
kejang tidak dianjurkan (kelas III, peringkat bukti B).
 Terapi profilaksis tidak diperlukan kecuali pada perdarahan subaraknoid
dan perdarahan intraserebral yang luas.
3. Stress Ulcer
 Pasien dipuasakan bila masih terjadi perdarahan aktif.
 Pasien dengan stress ulcer harus dilakukan tata laksana A-B-C (airway,
breathing, circulation) yang adekuat.
 Diperlukan petugas yang terlatih dalam mengenali tanda gagal napas dan
mampu melakukan bantuan dasar untuk jalan napas.
 Pada perdarahan yang banyak (lebih dari 30% dari volume sirkulasi),
perlu diganti dengan transfusi darah (peringkat bukti C). Dapat diberikan
cairan pengganti berupa koloid atau kristaloid sebelum transfusi untuk
mengganti kehilangan volume sirkulasi (peringkat bukti B) berupa infus
NaCl 0,9% atau RL atau plasma expander.
 Pasang NGT dan lakukan irigasi dengan air es tiap 6 jam sampai darah
berhenti.
15

 Pemberian penghambat pompa proton (PPI) seperti omeprazole atau


pantoprazole, diberikan secara intravena dengan dosis 80 mg bolus,
kemudian diikuti pemberian infus 8 mg/jam selama 72 jam berikutnya.
 Hentikan pemakaian antitrombotik. Pemakaian aspirin dapat diteruskan
bila terdapat indikasi yang jelas (peringkat bukti A).
 Pemberian nutrisi makanan cair jernih (MCJ) diet pasca-hematemesis
sangat membantu percepatan proses penyembuhan stress ulcer.
Pemberian nutrisi harus mengandung kadar serat tinggi dan hindari
makanan yang merangsang atau mengiritasi lambung.
4. Sepsis
Sepsis dan syok sepsis merupakan suatu kedaruratan medis yang
mengancam nyawa dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi,
sehingga surviving sepsis campaign (SSC) merekomendasikan bahwa
pengobatan dan resusitasi harus dimulai sedini mungkin. Penanganan sepsis
yang cepat dan adekuat sangat berperan dalam keberhasilan penanganan
sepsis disamping faktor-faktor lain seperti ada tidaknya penyakit komorbid,
usia dan respons individu.
Oleh karena pentingnya penanganan sepsis yang cepat dan adekuat maka
SSC memberikan cara penilaian yang mudah untuk dilaksanakan melalui
skoring quick sequential organ failure assesment (qSOFA) dan SOFA. Pada
pasien ini, didapatkan penurunan kesadaran dan takipneu yang secara klinis
memiliki nilai skor 2 dari 3 kriteria qSOFA), GCS di bawah 13, laju napas
lebih dari 22 kali permenit kemudian didapatkannya perubahan nilai skor
SOFA penuh yang lebih dari atau sama dengan 2 dibanding dengan nilai
baseline.
Syok yang timbul pada pasien sepsis dengan gejala klinis hipotensi,
penghantaran oksigen yang tidak adekuat, dan hipoksia jaringan yang
merupakan kombinasi dari hipovolemia, penurunan tonus vaskular, kegagalan
16

mikrovaskular dan disfungsi dari jantung dengan derajat abnormalitas yang


bervariasi pada setiap pasien. Oleh karena itu, penilaian hemodinamik pada
pasien sepsis dan syok sepsis memegang peranan penting sebelum resusitasi
awal diberikan. Langkah ini akan memberi masukan pada kita sebelum
menentukan apakah pasien tersebut mmebutuhkan cairan tambahan atau tidak,
berapa jumlah yang dibutuhkan, berapa lama dan target apa yang akan dicapai
dalam tatalaksana tersebut yang akan bergantung pada penilaian hemodinamik
serta evaluasi secara keseluruhan atas kondisi fisik pasien. Panduan SSC
tahun 2016 dan pembaharuan tahun 2018 merekomendasikan pemberian
cairan kristaloid sedikitnya 30 ml/kgBB segera setelah pasien terdiagnosis
sepsis dalam satu jam pertama dan selesai dalam waktu 3 jam.
Pemberian cairan tambahan dapat dilakukan berdasarkan penilaian yang
cermat pada respon pasien terhadap pemberian cairan karena beberapa bukti
menunjukkan bahwa balans cairan positif dapat berbahaya, disamping itu
pemberian cairan yang besar dalam waktu yang singkat juga sering
menimbulkan masalah baru akibat volume overload dan tidak tercapainya
target hemodinamik mengingat patofisiologi kebocoran vaskular pada pasien
sepsis.
Antibiotik empiris yang diberikan pada memiliki faktor resiko diantaranya
berupa penyakit serebrovaskular atau kardiovaskular maka sebaiknya
diberikan antibiotik kombinasi spektrum luas untuk bakteri gram positif dan
negatif dengan aktivitas antipseudomonas (cefalosporin generasi keempat,
golongan karbapenem dengan aminoglikosida atau fluorokuinolon) yang
disesuaikan dengan peta kuman di RS setempat.
5. Neuroprotektan
Terdapat beberapa macam neuroprotektan, namun yang terbukti efektif dan
banyak digunakan adalah citicholine dan pirasetam. Citicholine memiliki
mekanisme kerja meningkatkan pembentukan choline dan menghambat
17

perusakan phophatydilcholine (level neuronal), dan meningkatkan aliran


darah otak, konsumsi O2, juga menurunkan resistensi vaskular (level
vaskular).
6. Rehabilitasi
Rehabilitasi fungsional (fisioterapi, terapi bicara)
Fisioterapi untuk melatih otot-otot anggota gerak, terapi bicara dilakukan
pada penderita yang mengalami gangguan komunikasi.
Psikososial (social support)
Dukungan sosial terutama dukungan keluarga terhadap penderita sangat
diperlukan karena penderita stroke sering mengalami depresi akibat kondisi
kecacatannya.
7. Tindakan Operatif:
Pengambilan keputusan tergantung lokasi dan ukuran hematoma dan status
neurologis pasien. Secara umum, kraniektomi dekompresi dengan ekspansi
dura direkomendasikan pada hematoma cerebellar yang besar disertai
penekanan pada brain stem atau hidrosefalus akibat terhambatnya aliran CSF,
termasuk juga pada pasien dengan hematoma lobaris yang terletak < 1 cm dari
permukaan korteks, walaupun sudah mendapat terapi obat (kelas I, peringkat
bukti B). Pasien dengan pendarahan pada thalamus dan ganglia basalis
biasanya tidak memerlukan intervensi bedah. Belum ada cukup bukti bahwa
evakuasi hematoma atau kraniektomi dekompressi saja memperbaiki outcome
setelah perdarahan intrakranial (kelas III, peringkat bukti C). Namun,
berdasarkan STICH trial kraniotomi dekompresi dapat mengurangi risiko
kematian pada pasien dengan perdarahan intracranial yang mengalami koma,
hematoma besar dengan pergeseran midline, atau peningkatan tekanan
intracranial yang tidak membaik dengan obat (kelas III, peringkat bukti C).
Kraniotomi dekompresi yang sangat dini kurang jelas manfaatnya
dibandingkan dengan evakuasi hematoma ketika kondisi pasien mengalami
18

penurunan, dan dapat disertai peningkatan risiko perdarahan berulang. (kelas


III, peringkat bukti A). Pasien dengan intracerebral hemorrhage supratentorial
seharusnya dirawat di unit stroke (kelas I, peringkat bukti B). Indikasi
Pembedahan:
 Hematoma cerebellar dengan diameter >3 cm yang disertai penekanan
brain stem dan atau hidrosefalus akibat obstruksi ventrikel sebaiknya
dilakukan pembedahan dekompresi (kelas I, peringkat bukti B).
 Pasien dengan perdarahan serebelum yang mengalami perburukan
kondisi neurologis, atau mengalami kompresi batang otak, dan / atau
hidrosefalus akibat obstruksi ventrikel sesegera mungkin harus
menjalani pembedahan dekompresi untuk mengatasi perdarahan (kelas
I, peringkat bukti B).
 Drainase ventrikel sebagai terapi inisial pasien tersebut tidak
direkomendasikan (kelas IV, peringkat bukti C). Waktu yang
direkomendasikan untuk pembedahan masih kontroversial.
Pembelajaran yang ada saat ini mencakup onset 4-96 jam dengan
luaran terbaik adalah pembedahan dalam 21 jam pertama.
 Evakuasi rutin ICH supratentorial dengan kraniotomi standar dalam 96
jam tidak direkomendasikan (kelas III, peringkat bukti A). Secara
umum, pada pasien dengan ICH supratentorial, pembedahan tidak
jelas manfaatnya (kelas III, peringkat bukti A), kecuali pada pasien
dengan perburukan klinis (kelas III, peringkat bukti A), koma,
hematoma besar dengan midline shift, peningkatan TIK yang tidak
membaik dengan obat (kelas III, peringkat bukti C) dan dinilai sebagai
life saving therapy (kelas III, peringkat bukti C).
19

b.) Penatalaksanaan (Ruangan)


Advis dr. Iqbal Mochammad Sp.S:
 Inf Nacl 16tpm  Pengendalian kebutuhan cairan dan akses iv
 Inf Manitol 4x125  Mengurangi edema otak dan mengendalikan TTIK
 Nikardipin 7,5 ml/jam  Antihipertensi untuk mengendalikan TD dan MAP
 Inj Asam traneksamat 2 x 500 mg  Antifibrinolitik, mengatasi dan
mengendalikan perdarahan
 Inj Ranitidin 2x1  H2 Receptor Agonist (Gastroprotektor)
 Inj Meropenem 2 x 1 gr  Antibiotik spektrum luas (Beta lactam) sebagai
pengendalian infeksi
 Inj Sanmol 3x1  Antipiretik, analgetic (Supportif)
 inj Phenitoin 2 x 1 amp  Antiepileptic Agent untuk pengendalian kejang
 Inj. Citicolin 2 x 500 mg  Neuroprotektan
 Quo ad Vitam : Dubia ad Malam
 Quo ad Functionam : Dubia ad Malam

VII. PROGNOSIS
 Quo ad Vitam : Dubia ad Malam
 Quo ad Functionam : Dubia ad Malam
20

VIII. FOLLOW UP

Anda mungkin juga menyukai