Anda di halaman 1dari 3

Kenaikan Iuran BPJS untuk Menutupi Defisit BPJS serta Kaitannya dengan

Pelayanan dan Tenaga Kefarmasian.

Oleh: Seprika Prameswhari

Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) terdiri dari


beberapa jenis, di antaranya BPJS, KIS dan ASKES. BPJS merupakan salah satu
program jaminan kesehatan nasional di Indonesia. Menurut Undang-Undang RI
No.40 Tahun 2004 yang berbunyi, ”BPJS merupakan badan hukum yang di
bentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial.” Defenisi ini sangat
jelas menerangkan keberadaan BPJS sebagai badan hukum untuk tujuan ‘sosial’.

BPJS berkewajiban memberikan jaminan, terpenuhinya kebutuhan dasar


hidup yang layak bagi setiap pesertanya. Dan setiap peserta di wajibkan
membayar iuran per bulannya. Jumlah yang di bayar tergantung pada kelas yang
dipilih. Beberapa waktu lalu telah beredar isu tentang kenaikan tarif BPJS.
Kenaikan ini tentu membawa pengaruh terhadap pihak-pihak yang bersentuhan
dengan BPJS.

Sisi Sosial

BPJS yang terdiri dari tiga kelas ini, seharusnya memberikan pelayan yang
sama baiknya di setiap kelas. Namun pada kenyataannya perbedaan kelas juga
berimbas pada pelayanan yang didapatkan. Sebagai contoh adanya kasus-kasus
pasien BPJS yang meninggal karena ditolak oleh pihak rumah sakit. Ini
dibuktikan dalam kasus ditolaknya rawat inap pasien BPJS di RSUD Kajen Jawa
Tengah atas nama Badryah (57) yang mengalami sakit perut hebat di sertai nyeri
di seluruh tubuh.Keluarga pasien sudah meminta untuk di rawat inap,tetapi rumah
sakit menolak sehingga Badryah (57) meninggal dunia.Hal ini tentu tidak sesuai
dengan yang seharusnya didapatkan pasien BPJS,dimana semua pasien atau
peserta BPJS seharusnya mendapatkan pelayanan yang terbaik

Kejadian tersebut berkaitan dengan tunggakan BPJS kepada Rumah Sakit


yang semakin meningkat. Hal ini membuat beberapa Rumah Sakit tidak mau atau
memutuskan kerja sama dengan BPJS. Kejadian ini sangat memprihatinkan dan
tentu sudah melenceng dari tujuan awal BPJS dibentuk yaitu sebagai badan
hukum yang bertujuan untuk sosial.

Polemik Kenaikan BPJS

Dilansir dari beberapa sumber pemberitaan, kenaikan tarif BPJS mencapai


100% dari iuran sebelumnya. Perubahan tarif BPJS ini juga dipertegas dalam
Pasal 34 Perpres 75 tahun 2019.Kenaikan tersebut pada kelas I sebesar
Rp.160.000,00/orang/bulan, kelas II sebesar Rp.110.000,00/orang/bulan dan kelas
III sebesar Rp.42.000,00/orang/bulan.

Kenaikan tersebut dikabarkan berlaku per 1 Januari 2020. Kenaikan tarif


BPJS ini ditujukan untuk mentupi defisit BPJS yang mencapai angka Rp.32,84
triliun. Kenaikan ini pun memicu polemik berbagai pihak, seperti masyarakat
umum, industri farmasi, pelayanan dan tenaga kesehatan.Sedangkan pada
kenyataannya masih banyak masalah seputar BPJS ini,terutama masalah
pelayanan yang didapatkan peserta BPJS.Dan tak jarang ditemukan kasus-kasus
seputar BPJS yang mengundang rasa empati kita sebagai makhluk sosial,mulai
dari kasus telat dilayaninya pasien BPJS karena tidak mampu membayar secara
kontan serta kasus ditolaknya pasien BPJS walau dalam keadaan darurat
sekalipun.

Bagi masyarakat umum tentunya kenaikan tarif BPJS ini bukan


merupakan solusi yang sesungguhnya. Justru menambah beban bagi masyarakat
yang kurang mampu. Sedangkan pemerintah sendiri masih memberikan suntikan
subsidi untuk BPJS.

Sedangkan bagi industri farmasi, semakin besar defisit BPJS ini akan
semakin berdampak negatif. Dikarenakan besarnya tunggakan BPJS terhadap
industri farmasi menyebabkan kesulitan dalam pengadaan obat dan
pendistribusian obat. Industri farmasi dituntut untuk melejitkan produk obat
generik yang meningkat setiap tahunnya. Keadaannya walaupun kebutuhan obat
meningkat hingga 2-3 kali lipatnya, tetapi hal ini akan menyebabkan industri
farmasi beroperasi di bawah harga jual yang seharusnya. Dampaknya banyak
apotek kehilangan konsumen dan penurunan omset secara drastis.

Pada pelayanan kesehatan bebagai tenaga kesehatan terlibat dalam


pelayanan pasien BPJS, termasuk salah satunya tenaga kefarmasian. Di sisi lain,
/peran pharmacist dalam BPJS kesehatan atau JKN kurang diperhatikan. Padahal
dalam BPJS perlu adanya pengelolaan biaya dan penjaminan mutu obat.
Penjaminan mutu obat itu sendiri dilaksanakan oleh seorang tenaga kefarmasian,
dimulai dari pengadaan obat, penyimpanan, verifikasi resep yang masuk,
memberikan informasi seputar obat dan juga memastikan efektifitas obat dan
keamanannya. Ini juga sudah dipertegas dalam Undang-Undang RI No.36 Tahun
2009 Pasal 98 Ayat 2 yang berbunyi, ”Setiap orang yang tidak memiliki keahlian
dan kewenangan dilarang mengadakan, menyimpan, mengolah, mempromosikan
dan mengedarkan obat dan bahan yang berkhasiat obat." Dan yang berwenang
dalam hal ini adalah tenaga kefarmasian.

Regulasi yang Mendukung

BPJS dengan tujuan awal selaku badan hukum sosial, untuk menjamin
kebutuhan dasar yaitu kesehatan bagi pesertanya. Tentu selayaknya memiliki
regulasi yang mendorong ke arah tujuan tersebut. Saya tidak setuju dengan
kenaikan tarif BPJS yang mencapai 2 kali lipat (100%) dari yang
sebelumnya,karena dinilai kurang etis untuk dijadikan sarana menutupi defisit
BPJS dan pelunasan tunggakan yang semakin meningkat.

Dikarenakan akan berdampak negatif baik pada masyarakat, industri


farmasi, pelayanan dan tenaga kesehatan. Demikian pula pada tenaga kefarmasian
yang membutuhkan regulasi yang jelas dan tegas yang mendukung agar tenaga
kefarmasian dapat melaksanakan fungsinya dengan baik. Dan turut
menyelenggarakan sistem jaminan sosial kepada masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai