Anda di halaman 1dari 16

Nama : Merlin Yuliestiana

NPM

:113213121

Obstetri dan Ginekologi sosial


Membuat kajian dan analsis dari issue obstetri ginekologi.
TEMA : SISTEM RUJUKAN

Penataan Sistem Rujukan Kesehatan Perorangan di Tingkat Pelayanan Kesehatan


Dasar merupakan isu penting menjelang pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
yang dimulai Januari 2014. Untuk antisipasi pelaksanaan JKN, Dinas Kesehatan
Kabupaten melaksanakan kegiatan Penataan Sistem Rujukan Perorangan Tingkat
Pelayanan Kesehatan Dasar melalui Pembentukan Tim Penataan Sistem Rujukan.
Proses selanjutnya adalah diskusi tentang pelaksanaan rujukan perorangan mulai
dari tingkat masyarakat, Puskemas dan jaringannya dan rumah sakit. Proses berjalan
dengan partisipatif aktif dari seluruh peserta. Sistem rujukan perorangan fokus pada
Fasilitas Puskesmas sesuai dengan fungsinya yaitu sebagai Pusat Pemberdayaan
Masyarakat, Pusat Pembangunan berwawasan Kesehatan dan Pusat Pelayanan Kesehatan.
Yang menjadi akar masalah rujukan di Kabupaten adalah budaya masyarakat dimana
rujukan atas permintaan sendiri (APS) masih tinggi yaitu sebesar 30 %. Oleh karena itu
dalam menyusun Pedoman Sistem Rujukan agar memperhatikan isue-isue yang ada
selama ini yaitu:

Kriteria seperti kapan pasien harus dirujuk,

Peningkatan Kapasitas Puskesmas, Puskesmas PONED,

Networking berkaitan dengan transportasi, ambulance,

Rujukan berbasis Masyarakat

Dimensi Budaya: tiga (3) terlambat yaitu terlambat mengambil keputusan,


terlambat transportasi dan terlambat penanganan.

Kegiatan diakhiri dengan Pembentukan Tim Penataan Sistem Rujukan melalui SK


Bupati yang atas saran Prof.Dr.Ascobat agar dijadikan satu dengan Tim DHA dan Tim
SDM dan disepakati menjadi Kelompok Kerja (Pokja) Penguatan Sistem Kesehatan.
Pokja Sistem Rujukan bersama dengan technical assistance rujukan akan melaksanakan
diagnostic managerial yaitu menyusun proposal teknis, desk analisis, kunjungan
lapangan, draft awal dan Seminar draft Sistem Rujukan Perorangan Kabupaten dan
finalisasi Model Sistem Rujukan Perorangan Kabupaten.
Dengan terbentuknya Pokja Penataan Sistem Rujukan Perorangan Tingkat Pelayanan
Kesehatan Dasar ini diharapkan dapat tersusunnya Model Sistem Rujukan Perorangan di
Kabupaten untuk antisipasi pelaksanaan JKN Januari mendatang.
Peserta konferensi yang sebagian besar memang berasal dari dunia kesehatan seperti
produsen obat, asuransi jiwa, pemilik klinik dan tentunya juga rumah sakit. Sebelum saya
sampaikan perihal marketing dan public relations, pada konferensi tersebut saya
sampaikan 2 isu penting pada dunia perumah sakitan Indonesia saat ini.
Pertama ialah Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Saya tak ingin bicara, bagaimana
amanat Undang-Undang SJSN dan UU BPJS menyangkut jaminan kesehatan ini. Saya
hanya ingin membawa pikiran kita menghadirkan lebih dekat 1 Januari 2014. Dimana
pada saat itu secara resmi dilaksanakannya JKN. Setiap orang, penduduk Indonesia harus
mempunyai jaminan kesehatan. Bagi pekerja, pemilik usaha mendaftarkan pekerjanya
dan membayarkan bagi iurannya kepada BPJS. Bagi rakyat yang tak mampu, iurannya
dibayarkan oleh Negara.
Artinya apa? Akan terjadi perubahan perilaku konsumen kesehatan, khususnya pasien.
Bila selama ini sebagian besar masyarakat dalam mendapatkan pelayanan kesehatan
menggunakan sistem out of pocket alias merogoh kantong sendiri. Sejak 2014, pasien
yang berobat harus dengan jaminan kesehatan. Tanpa jaminan kesehatan yang jelas,
pasien tak akan terlayani dengan baik. Pasien akan dilayani di rumah sakit sebagai
fasilitas pelayanan kesehatan tingkat lanjut jika pasien telah mendapat pelayanan
kesehatan tingkat dasar. Ini berarti harus melalui sistem rujukan kesehatan.
Pasien dengan jaminan kesehatan akan dapat diklaim

biaya pengobatan dan

perawatannya, jika telah dilakukan diagnosa, anamnesa dan tindakan medisnya sesuai

dengan standar. Tindakan yang dapat diklaim jika dilakukan sesuai dengan indikasi
medis dan masuk dalam Ina-CBGs yang secara sistem telah dilakukan pengelompokan
diagnostik dan tindakan yang harus dilakukan. Ditargetkan sekitar 120 juta lebih
penduduk Indonesia, akan menjadi peserta pertama JKN pada masa transisi. Ini perlu
penyesuaian dari semua pihak, baik rakyat, pemerintah, provider termasuk rumah sakit,
dan stakeholder lain.
Ada kecenderungan masyarakat Indonesia untuk coba-coba sesuatu yang baru. Kemudian
diteruskan dengan menggunakan secara maksimal hak yang mungkin bisa didapatnya.
Demikianlah gambaran bagaimana Kartu Jakarta Sehat di Jakarta. Yang biasanya sakit flu
cukup istirahat atau minum tablet yang beli di warung sebelah, karena punya KJS maka
pergilah ke puskesmas dan

minta rujukan

ke rumah sakit. Disertai ekspektasi

sedemikian tinggi akibat janji politik akan berobat gratis. Dampaknya terjadi
penumpukan pasien dengan antrian panjang

yang

rata-rata 5x lebih banyak dari

biasanya. Bisa dibayangkan, fasilitas yang tersedia tak dapat menampung lonjakan
jumlah pasien ini. Akibatnya, komplain dan pengaduan pasien pun meningkat tajam
disebabkan ada gap/jurang antara harapan dan kenyataan.
Secara singkat dapat dikatakan, JKN seperti backbone yang akan menopang perubahan
sistem lain dan perilaku masyarakat. Kalau tak diantisipasi rumah sakit akan babak belur.
Jika rumah sakit gagal melakukan penyesuaian atau bahkan tak mampu menciptakan
layanan kesehatan yang melebihi ekspektasi, maka bisa dipastikan akan dirundung
masalah tiada henti.
Isu kedua ini sudah menghantam dunia perumahsakitan beberapa bulan atau
tahun-tahun kemarin hingga hari ini. Yaitu kemajuan informasi, media massa dan
media sosial. Akhir-akhir ini, rumah sakit seakan berada dibawah titik nadir pencitraan.
Persepsi komersial, tak berperikemanusiaan dan mencari semata-mata untung
disejajarkan dengan pembentukan opini bahwa rumah sakit menolak pasien. Rumah sakit
selalu pada di-stigma-kan salah, lebih tepatnya, dipersalahkan.
Ini tak boleh dibiarkan. Perlu adanya keseimbangan informasi dan peningkatan konten
positif tentang rumah sakit. Tak dipungkiri memang ada atau beberapa rumah sakit
berpelayanan buruk. Namun tidak bijak jika terus menyuburkan sikap gebyah uyah,
penyamarataan, bahwa rumah sakit Indonesia memberikan pelayanan buruk. Ada yang

menarik, booming media sosial atau semakin familernya masyarakat Indonesia dengan
internet membawa dampak berubahnya perilaku pasien rumah sakit. Pasien semakin
kritis karena mendapat pasokan informasi dari internet. Terjadi hubungan komunikasi
yang horisontal antara dokter dan pasien. Keluhan terhadap layanan rumah sakit pun
dengan sangat mudah menyebar luas dan menjadi konsumsi publik.
Tentu saja, ini tantangan sangat besar rumah sakit. Ada gawean besar kehumasan untuk
mengembalikan citra dan reputasi rumah sakit. Diperlukan pemahanan dan kemampuan
mengelola media massa dan media sosial. Dibutuhkan manajemen media relations yang
handal oleh rumah sakit.
Jaminan Kesehatan Nasional dan perkembangan media massa dan media sosial,
merupakan 2 isu penting diantara isu-isu lain, yang harus menjadi perhatian utama para
pengelola dan pemilik rumah sakit. Di sisi lain, kita berharap ada proses pendewasaan
dari perilaku masyarakat dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit.
Namun sebelum berharap perubahan pada masyarakat, rumah sakit semestinya terlebih
dahulu menata diri untuk memberikan pelayanan yang bermutu, aman dan terjangkau.
Semoga.
Minim Pemahaman Sistem Rujukan BPJS Kesehatan Setiap orang memiliki
risiko jatuh sakit dan membutuhkan biaya cukup besar ketika berobat ke rumah sakit.
Apalagi, jika sakit yang dideritanya merupakan penyakit yang kronis atau tergolong berat.
Untuk memberikan keringanan biaya, pemerintah mengeluarkan Program JKN (Jaminan
Kesehatan Nasional). Program pelayanan kesehatan yang merata dan tidak diskriminatif,
diatur dalam Undang-undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN), kemudian diimplementasikan ke dalam Undang-Undang (UU) Nomor
24 Tahun 2011 tentang Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS).
Kedua aturan itu, dimaksudkan untuk menjamin pemerataan dan keadilan serta
kemandirian masyarakat. Pada bidang kesehatan akan dikelola dan dilaksanakan BPJS
Kesehatan, yang merupakan transformasi PT Askes (Persero) dan bidang jaminan hari
tua, dilaksanakan BPJS Ketenagakerjaan, yang merupakan transformasi PT Jamsostek
(persero).

Dalam kwartal pertama pelaksanaan JKN yang dioperatori BPJS Kesehatan,


memang sudah berjalan relatif baik. Namun upaya reformasi program jaminan sosial
untuk memberikan perlindungan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, masih dihadapkan
dengan berbagai permasalahan di lapangan.
Sebagai suatu sistem yang besar dan baru berlangsung dalam tempo yang masih
relatif singkat, implementasi BPJS terutama BPJS Kesehatan masih jauh dari sempurna.
Dalam monitoring dan evaluasi yang telah lakukan oleh berbagai pihak, khususnya DJSN
(Dewan Jaminan Sosial Nasional) yang telah diberikan mandat oleh konstitusi untuk
melakukan monitoring dan evaluasi, banyak permasalahan di lapangan.
Permasalahan ini harus dipahami sebagai koreksi positif bagi BPJS. Sedangkan,
DJSN dan Pemerintah terutama dari aspek regulasi dan teknis operasional yang harus
dibenahi dan disempurnakan. Karena kalau tidak, SJSN ini akan rapuh. Penerapan
pelayanan berjenjang, sistem kapitasi, dan standardisasi penggunaan obat mutlak
dilakukan agar sistem asuransi kesehatan sosial berjalan baik.
Sejak dioperasionalkan 1 Januari 2014, BPJS Kesehatan memiliki beragam
permasalahan, banyak aspek yang belum matang dan menjadi persoalan. Kurangnya
sosialisasi dan perubahan struktur di dalam BPJS dinilai menjadi penyebab munculnya
permasalahan tersebut. Padahal, BPJS Kesehatan sangat dibutuhkan dan harus tetap
dilaksanakan.
Masalah itu, justru muncul pada unsur pengaplikasiannya, seperti di rumah sakit
tersier, khususnya pada aspek rujukan, biaya, dan kepersertaan BPJS. Banyak masyarakat
yang belum tahu teknis mendapatkan pelayanan sesuai dengan aturan main BPJS
Kesehatan. Dengan diberlakukannya BPJS Kesehatan, masyarakat yang akan berobat ke
rumah sakit umum pemerintah dengan kartu BPJS harus mendapat rujukan dari dokter,
klinik/puskesmas, atau rumah sakit umum daerah
Kebanyakan masyarakat belum tahu mengenai sistem rujukan. Inilah yang menjadi
persoalan, ketika sudah datang ke rumah sakit tersier pasien akan dilayani jika sudah
mendapatkan rujukan dari peyanan kesehatan primer. Sistem rujukan sudah diatur dalam
Peraturan Menteri Kesehatan No. 001/2012 Tentang Sistem Rujukan Pelayanan
Kesehatan Perorangan (PMK).

Sistem rujukan adalah suatu sistem penyelenggaraan kesehatan yang melaksanakan


pelimpahan tanggung jawab yang timbal balik terhadap satu kasus penyakit atau masalah
kesehatan secara vertikal dalam arti dari unit yang berkemampuan kurang kepada unit
yang lebih mampu atau secara horizontal dalam arti unit-unit yang setingkat
kemampuannya. Sistem rujukan mengatur alur dari mana dan harus ke mana seseorang
yang mempunyai masalah kesehatan tertentu untuk memeriksakan masalah kesehatannya.
Sistem ini diharapkan semua memperoleh keuntungan. Misalnya, pemerintah
sebagai penentu kebijakan kesehatan (policy maker), manfaat yang akan diperoleh di
antaranya, membantu penghematan dana dan memperjelas sistem pelayanan kesehatan.
Bagi masyarakat sebagai pemakai jasa pelayanan akan meringankan biaya pengobatan
karena pelayanan yang diperoleh sangat mudah. Bagi pelayanan kesehatan (health
provider), mendorong

jenjang

karier tenaga kesehatan, selain

meningkatkan

pengetahuan maupun keterampilan, serta meringankan beban tugas.


Sistem rujukan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara berjenjang sesuai dengan
kebutuhan medis. Pada pelayanan kesehatan tingkat pertama, peserta dapat berobat ke
fasilitas kesehatan primer seperti puskesmas, klinik, atau dokter keluarga yang
tercantum pada kartu peserta BPJS Kesehatan. Apabila peserta memerlukan pelayanan
lanjutan oleh dokter spesialis, maka peserta dapat dirujuk ke fasilitas kesehatan tingkat
kedua atau fasilitas kesehatan sekunder. Pelayanan kesehatan di tingkat ini hanya bisa
diberikan jika peserta mendapat rujukan dari fasilitas primer. Rujukan ini hanya diberikan
jika pasien membutuhkan pelayanan

kesehatan spesialistik dan fasilitas

kesehatan

primer yang ditunjuk untuk melayani peserta, tidak dapat memberikan pelayanan
kesehatan sesuai dengan kebutuhan peserta karena keterbatasan fasilitas, pelayanan, dan
atau ketenagaan. Jika penyakit peserta masih belum dapat

tertangani di fasilitas

kesehatan sekunder, maka peserta dapat dirujuk ke fasilitas kesehatan tersier. Di sini,
peserta akan mendapatkan penanganan dari dokter sub-spesialis yang menggunakan
pengetahuan dan teknologi kesehatan sub-spesialiastik.
Peserta JKN harus mengikuti sistem rujukan yang ada. Sakit apa pun, kecuali
dalam keadaan

darurat, harus berobat ke fasilitas

kesehatan

primer, tidak boleh

langsung ke rumah sakit atau dokter spesialis. Jika ini dilanggar peserta harus bayar
sendiri.

Namun realitas di lapangan tak semudah membalikkan telapak tangan. Perpindahan


jaminan kesehatan ini banyak mengalami kendala. Sistem rujukan pasien dirasakan
masih tidak efektif dan efisien, masih banyak masyarakat belum mendapat menjangkau
pelayanan kesehatan, akibatnya terjadi penumpukan pasien yang luar biasa di rumah sakit
besar tertentu. Pemahaman masyarakat tentang alur rujukan sangat rendah sehingga
mereka tidak mendapatkan pelayanan sebagaimana mestinya. Pasien menganggap sistem
rujukan birokrasinya cukup rumit, sehingga pasien langsung merujuk dirinya sendiri
untuk mendapatkan kesehatan tingkat kedua atau ketiga.
Keluhan lain terkait sistem rujukan BPJS yang dirasakan adalah ketidaksiapan
tenaga kesehatan dan kurangnya

fasilitas di layanan kesehatan primer, kasus yang

seharusnya dapat ditangani di layanan primer/sekunder tetapi langsung dirujuk ke rumah


sakit tersier. Lain halnya dengan keluhan PNS di mana jika rujukan harus melalui
puskesmas sementara mereka harus bekerja lamanya proses pengurusan tersebut
menghabiskan jam kerja para PNS. Sistem rujukan seharusnya tidak membuat PNS
kesulitan. Idealnya rujukan tidak hanya berasal dari Puskesmas, namun juga layanan
primer lain, misalnya klinik tempat pekerja tersebut. Kasus lain yang menuai protes
program JKN adalah mutasi peserta Jamsostek ke BPJS, seorang manula gagal mendapat
pelayanan perawatan kesehatannya karena salah satu rumah sakit swasta yang
sebelumnya merupakan rujukan Jamsostek menolaknya.
Seharusnya ada masa transisi yang memberi peluang penerapan sistem tidak secara
kaku. Masyarakat yang tinggal di kepulauan juga menjadi korban kurangnya sosialisasi
mengenai sistem rujukan pada BPJS. Perjalanan jauh yang telah ditempuh dengan
menyeberangi pulau dan biaya tidak sedikit menjadi sia-sia karena rumah sakit terpaksa
menolak pasien. Pelayanan rujukan juga menjadi sesuatu yang rumit di daerah seperti
Papua. Banyak daerah yang tidak bisa dijangkau oleh kendaraan darat, sehingga
diperlukan heli-ambulans untuk mengangkut pasien gawat atau pasien rujukan. Namun
fasilitas ini tidak tersedia di BPJS. Tidak jarang juga penolakan oleh rumah sakit
dilakukan karena ruangan benar-benar penuh. Ini tentu saja menyebabkan mutu
pelayanan rumah sakit jadi menurun. Seharusnya pasien tersebut dapat dirujuk ke rumah
sakit lain yang setingkat. Namun ada banyak rumah sakit yang menolak (swasta) atau
belum siap (swasta dan pemerintah) untuk bekerjasama dengan BPJS.

Untuk menjamin berjalannya sistem rujukan berjenjang BPJS

maka perlu

dilakukan langkah-langkah yaitu sosialisasi yang terus-menerus guna menamankan


kesadaran masyarakat tentang sistem rujukan berjenjang, masyarakat menilai sistem
rujukan terkesan berbelit-belit ini dipicu oleh keengganan masyarakat untuk antre di
layanan primer seperti Puskesmad. Pembenahan sarana dan prasarana yang memadai di
setiap tingkat pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan. Kompetensi petugas kesehatan
perlu disiapkan dan ditingkatkan sehingga mampu menangani kasus sesuai tingkat
layanannya. Kebijakan sistem rujukan yang ditetapkan harus lebih komprehensif
mencakup jejaring yang melibatkan swasta, dan membuka seluas-luasnya kesempatan
bagi klinik yang mau bergabung dengan BPJS sehingga tidak terjadi antrean di
Puskesmas.
Peran perawat dalam sistem rujukan berjenjang adalah memahami secara jelas
mengenai sistem rujukan karena perawat adalah petugas garda depan yang selalu menjadi
tempat bertanya pasien atau masyarakat yang membutuhkan dan perawat harus selalu
meningkatkan kompetensi agar dapat memberikan pelayanan kesehatan secara
professional yang dibutuhkan pasien.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan sistem rujukan perlu dilakukan secara terusmenerus oleh pemerintah agar menjamin setiap masyarakat mendapatkan layanan
kesehatan yang sesuai dengan haknya.
Meninggalnya bayi usia tujuh hari, Dera Nur Anggraini, akibat tidak mendapat
layanan unit perawatan intensif bayi baru lahir atau neonatal intensive care unit, NICU,
menunjukkan buruknya sistem rujukan pelayanan kesehatan di Indonesia. Rumah sakit
yang jadi rujukan pun masih bertumpu pada rumah sakit pemerintah, belum
memanfaatkan rumah sakit swasta.
Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dalam seminar Perubahan
Lingkungan dan Strategi Rumah Sakit Nirlaba di Indonesia di Jakarta, Selasa (19/2),
mengatakan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sedang coba menghubungkan seluruh
kelurahan di DKI dengan kabel optik. Sistem ini diharapkan juga bisa menghubungkan
semua fasilitas layanan publik, termasuk rumah sakit di Jakarta.

Jika sistem tersebut sudah terbangun, upaya pencarian rumah sakit (RS) rujukan
cukup dilakukan melalui sistem informasi yang bisa menampilkan ketersediaan tempat
tidur atau ruang perawatan seluruh RS di Jakarta. Jadi, RS asal yang mencarikan rumah
sakit rujukan, bukan keluarga pasien, ujarnya.
Sistem ini juga akan dihubungkan dengan nomor panggilan gawat darurat 119.
Data ini juga bisa diakses pengelola ambulans sehingga dapat membawa pasien gawat
darurat ke RS terdekat yang punya layanan.
Dalam seminar, sejumlah RS mengeluhkan membeludaknya pasien ke rumah sakit
sejak Kartu Jakarta Sehat (KJS) diluncurkan. Bahkan, tak jarang keluarga pasien
mengintimidasi petugas. Pasien juga banyak yang tidak mau tahu bahwa fasilitas yang
tersedia di RS terbatas.
Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) meminta agar Menteri
Kesehatan segera mengaudit beberapa rumah sakit di Jakarta terkait kasus meninggalnya
Dera. Ketua Satuan Tugas Perlindungan Anak KPAI M Ihsan mengatakan, ada indikasi
tak benar yang terlihat dari pengajuan rujukan pengobatan yang tidak dapat dipenuhi oleh
beberapa RS besar akibat terbatasnya ruang perawatan.
Tidak terkait KJS
Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Dien Emawati, Selasa kemarin, memanggil
perwakilan delapan RS yang diminta merawat Dera. Bersama Direktur Jenderal Bina
Usaha Kesehatan Kemenkes Akmal Taher, Dien menggelar jumpa pers untuk
mengklarifikasi berbagai isu seputar meninggalnya Dera.
Ini tidak ada hubungannya dengan status pasien yang menggunakan KJS. Bayi Dera
dalam kondisi khusus dan perlu alat khusus, yaitu NICU. Dari delapan rumah sakit yang
dihubungi RS Zahira, ada yang tidak memiliki NICU. Ada juga yang memiliki NICU,
tetapi penuh,
Dien menambahkan, dari segi pembiayaan, tidak ada masalah. Pasien dari kelas apa pun
akan diperlakukan sama. Jika memerlukan NICU, harus diberikan. Hal senada
disampaikan Akmal. Menurut Akmal, dari delapan RS itu, tidak ada yang meminta uang
muka kepada orangtua Dera.

Keduanya mengakui, jumlah NICU di Jakarta masih sangat minim, yaitu 143 unit yang
tersebar di Jakarta Pusat (45 unit), Jakarta Utara (14), Jakarta Barat (33), Jakarta Selatan
(16), dan Jakarta Timur (35). Idealnya, jumlah NICU sebanyak 1-3 persen dari angka
kelahiran.
Dari delapan RS yang dihubungi, empat RS, yaitu RS Budhi Asih, RS St Carolus, RS
Asri, dan RS Tria Dipa, tidak punya NICU. Di RSCM ada 10 NICU, tetapi penuh. Ada
tiga pasien yang mestinya dirawat di NICU terpaksa hanya dirawat di UGD karena
memang penuh, kata Akmal.
Ke depan, lanjut Akmal, sangat logis menambah kapasitas NICU. Namun, penambahan
tidak sekadar alat, tetapi juga tenaga andal, seperti dokter spesialis dan perawat yang
mahir menangani anak dalam kondisi gawat. Dien menargetkan, minimal di setiap RSUD
memiliki NICU.
Infrastruktur pendukung
Pemerintah Provinsi DKI dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menjalin kerja sama
memperbaiki infrastruktur pendukung program KJS. Kedua pihak sepakat menambah
jumlah tenaga medis, membangun sistem rujukan, menentukan jenis obat, dan jenis
penyakit pasien peserta KJS.
Lebih baik terlambat memperbaiki sistem pendukung daripada tidak sama sekali.
Perbaikan ini penting untuk mengendalikan penggunaan anggaran sehingga tidak jebol
karena tingginya tagihan klaim RS, tutur Kepala Bidang Kesejahteraan Anggota IDI
Jakarta Kartini, Selasa di Jakarta.
Pemprov DKI, kata Kartini, belum menyebut jumlah dokter untuk memperkuat pelayanan
di tingkat puskesmas. Kerja sama ini baru kami bicarakan hari Senin. Nota kerja sama
sedang kami selesaikan, ka
Tahun 2015 merupakan tahun awal pertaruhan politik di bawah era
kepemimpinan presiden baru. Transisi kepemimpinan dari Susilo Bambang Yudhoyono
ke Joko Widodo akan banyak memberi perubahan pada berbagai kebijakan di sektor
kunci terutama sektor kesehatan. Salah satu isu yang kurang mendapat perhatian di tahun
lalu adalah terkait mutu pelayanan kesehatan. Outlook ini memberi gambaran peluang

dan tantangan dalam upaya meningkatkan mutu layanan kesehatan dalam era JKN.
Outlook ini ditujukan bagi pemerhati sistem kesehatan, regulator, fasilitas kesehatan,
masyarakat, media massa maupun pelaksana dalam sistem JKN.
Tepat hari Kamis (1 Januari 2015) lalu, sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
"merayakan" ulang tahun pertama. Sistem ini dirancang untuk menjamin ketersediaan
pelayanan kesehatan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa kecuali. Dalam
setahun perjalanan JKN, banyak harapan yang belum optimal tercapai termasuk aspek
mutu dalam pelayanan kesehatan.

World Health Organization (WHO)


pada tahun 2006 telah mengeluarkan dokumen dengan judul: Quality of Care "a Process
For Making Strategic Choices in Health System". Dalam dokumen ini WHO
mengidentifikasi setidaknya enam dimensi mutu pelayanan kesehatan yang perlu
diwujudkan oleh setiap negara, yaitu pelayanan kesehatan yang: efektif, efisien, mudah
diakses, aman, tepat waktu dan mengutamakan pasien.
Dari enam dimensi mutu (bagan 1), aksesibilitas adalah dimensi yang paling sering
diukur dan diklaim keberhasilannya antara lain bahwa semua penduduk Indonesia dapat
mendaftar BPJS. Meskipun kemudian akses lebih lanjut ke pelayanan kesehatan sering
menjadi pertanyaan seperti yang terjadi diberbagai provinsi terpencil yang memiliki
keterbatasan SDM kesehatan dan sumber daya lain. Dimensi mutu lainnya seperti
efektifitas, efisiensi, aman, tepat waktu, dan mengutamakan pasien belum diukur.

Isu dan Tren


Sepanjang tahun 2014, media dihebohkan dengan berbagai isu pelayanan kesehatan
dalam sistem JKN. Mulai isu tentang pasien yang ditolak berobat hingga menemui ajal,
rumah sakit yang "membuang" pasien, hingga dokter kandungan yang dipenjara karena
tuduhan melalaikan pasien. Apa sebab terjadinya berbagai kondisi semacam ini?
Bila dilihat melalui sudut pandang "rantai efek peningkatan mutu pelayanan kesehatan"
dari Donald Berwick (bagan 2), kondisi ini disumbang oleh berbagai faktor penyebab.
Mulai dari regulator, provider (level organisasi), dan tenaga kesehatan (level mikro)
berperan dalam dalam terjadinya kondisi tersebut.

Pada level regulator, kebijakan yang diberlakukan dalam era JKN ini bersifat "pasang
surut", dimana satu kebijakan diberlakukan namun tidak disertai dengan rangkai
kebijakan lainnya. Misalnya Jaminan Kesehatan Nasional telah berupaya mengendalikan
harga melalui penerapan kapitasi dan INA-CBGs, namun tidak disertai dengan
pengembangan sistem remunerasi baru bagi tenaga kesehatan. Kemudian negara telah
menyusun regulasi mengenai kemudahan pendaftaran peserta BPJS, namun tidak disertai
dengan upaya pemerataan fasyankes dan SDM-nya. Lalu, pemerintah telah menyusun
regulasi mengenai sistem rujukan namun kurang memberikan informasi kepada

masyarakat terkait dengan mutu Puskesmas dibanding RS, dan kurang mendorong
pengembangan sistem rujukan daerah, regional hingga nasional serta prosedur detail
rujukan untuk kasus-kasus spesifik seperti KIA dan wabah.
BPJS Telah menetapkan persyaratan ijin dan akreditasi untuk provider namun tidak
terlibat dalam merevisi standar perijinan dan akreditasi agar memiliki kaitan yang kuat
dengan JKN. Di sisi lain, proses akreditasi RS belum memastikan adanya peningkatan
mutu yang diterima oleh pasien. Sedangkan standar akreditasi Puskesmas hingga kini
belum juga diterbitkan.
Pada level organisasi, tidak banyak perubahan manajerial dalam pengelolaan sarana
pelayanan kesehatan. Hingga detik-detik terakhir pelaksanaan JKN, banyak RS ataupun
Puskesmas tidak memiliki persiapan yang cukup, mereka masih menjalankan organisasi
seperti sebelumnya. Tidak banyak perubahan yang dilakukan baik dalam pelayanan
utama maupun pelayanan penunjang seperti yang diidentifikasi oleh Michel Porter dalam
Model Value Chain (1985).
Pengelolaan manajemen pelayanan klinis (clinical care) sebagai pelayanan utama tidak
banyak berubah, pelayanan masih diberikan seperti sebelumnya, pendekatan tim,
penerapan clinical governance, penerapan continium of care masih belum banyak
dilakukan. Pelayanan penunjang seperti pengelolaan SDM sebagai tulang punggung
utama sarana pelayanan kesehatan tidak banyak mengalami perubahan, perhitungan
jumlah SDM terlambat mengantisipasi peningkatan jumlah pasien, perhitungan
remunerasi juga tidak berubah masih banyak yang berbasis fee for service. Pengelolaan
keuangan juga belum menghitung secara cermat posisi keuangan RS terhadap pola INA
CBGs ataupun Puskesmas dengan kapitasinya. Penggunaan IT juga tidak dimanfaatkan
secara maksimal.
Minimnya intervensi regulasi maupun manajerial membuat berbagai alat peningkatan
mutu di dalam aspek teknis pelayanan kesehatan juga tidak banyak diterapkan, atau
diterapkan tanpa terkait dengan upaya peningkatan mutu dalam JKN.
Dalam buku Quality by Desain: A Clinical Microsystem Approach (Nelson, Batladen dan
Godfrey, 2007) disebutkan berbagai tools peningkatan mutu klinis di tingkat mikro,
seperti penerapan siklus PDSA/PDCA, FMEA, RCA, Audit Medik/Klinik, Clinical

Pathways, penggunaan indikator klinis dan sebagainya. Berbagai indikator ini telah
dijalankan oleh berbagai RS namun belum terkait langsung dengan JKN, BPJS pun
belum mengintegrasikan berbagai tools tersebut kedalam program evaluasinya.
Dampak dari ketiadaan upaya perbaikan di tingkat mikro membuat adanya perilaku para
klinisi yang bekerja tidak sesuai SOP. Tenaga-tenaga kesehatan ini juga menurunkan
standar pelayanan yang diberikan kepada pasien akibat adanya persepsi tarif INA CBG's
yang rendah. Sistem kapitasi "menciptakan" mindset tenaga kesehatan untuk "lebih rajin"
merujuk pasien dan kurang giat bekerja (money oriented). Bahkan, ada juga yang sampai
melakukan kecurangan dalam pelayanan kesehatan (fraud). Sepanjang tahun 2014 lalu
potensi fraud layanan kesehatan sudah terdeteksi banyak terjadi di rumah sakit. Bukan
tidak mungkin di tahun 2015 fraud akan semakin besar. Ini berpotensi meningkatkan
biaya kesehatan dan menurunkan mutu pelayanan kesehatan.
Kegiatan-kegiatan maupun perilaku yang dilakukan oleh regulator hingga level mikro
sistem berdampak secara tidak langsung kepada pasien, selaku pengguna layanan
kesehatan. Boleh dikatakan saat tahun 2014, pasien merasa senang dan terbantu dengan
adanya JKN ini. Mereka berbondong-bondong untuk menjadi peserta BPJS. Namun, di
balik respon baik pasien untuk menjadi peserta BPJS, mereka tidak serta merta paham
hak dan kewajiban sebagai peserta. Beberapa pasien BPJS diketahui diminta untuk
membeli obat di luar rumah sakit, ditolak secara halus di rumah sakit dengan alasan
bahwa pelayanan yang dibutuhkan tidak ditanggung BPJS, hingga benar-benar tidak
dilayani di rumah sakit dengan optimal. Bila kejadian ini berlangsung terus, bukan tidak
mungkin peserta akan kecewa dan tidak percaya lagi dengan sistem ini. Bahkan, bukan
tidak mungkin, pasien-pasien yang paham dan proaktif dapat melakukan tuntutan kepada
provider.

Menjawab Tantangan Ke depan


Seluruh pihak yang terlibat dalam pelaksanaan sektor kesehatan perlu bekerja sama untuk
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan yang lebih baik. Mulai dari level regulator
hingga level mikro untuk menjamin pelaksanaan program JKN yang lebih baik. Masingmasing pihak perlu melakukan terobosan untuk menjawab tantangan yang terjadi di tahun
2015 ini (mengisi titik-titik pada bagan 2 diatas).

Regulator perlu memperbaiki standar dan proses perijinan,, sertifikasi mutu serta
keselamatan, mengembangkan sistem dan melakukan upaya pemerataan fasyankes dan
SDM-nya, memberikan informasi kepada masyarakat dan media masa mengenai tingkat
mutu sarana pelayanan kesehatan, mengembangkan sistem rujukan daerah, regional
hingga nasional. Sistem perijinan dan akreditasi tersebut juga harus dibuktikan dapat
memberikan dampak perbaikan baik ditingkat organisasi, tingkat mikro dan yang utama
perbaikan pelayanan yang dirasakan oleh pasien/masyarakat.
Regulator juga perlu mengembangkan sistem anti fraud dalam pelayanan kesehatan
dengan cara: penyusunan Permenkes mengenai Upaya Pencegahan, Deteksi dan
Penindakan Fraud dalam JKN; mendorong penyusunan dan pengesahan Pedoman
Nasional Praktek Kedokteran (PNPK) dari berbagai organisasi profesi; mendorong
penyusunan dan implementasi Clinical Pathway di RS sebagai salah satu upaya efisiensi
dan mencegah fraud layanan kesehatan; Blended learning anti fraud bagi Dinkes di
samping bagi RS; Realisasi pembentukan lembaga anti fraud di level sarana pelayanan
kesehatan, BPJS dan Kemenkes/Dinkes; mendorong penggunaan IT untuk melakukan
pencegahan, deteksi, dan penindakan fraud di internal RS dan BPJS; serta membangun
kemitraan dengan berbagai pihak untuk mendukung terbentuknya sistem Pencegahan,
Deteksi, dan Penindakan Fraud dalam era JKN.
Pada level organisasi, perlu dipastikan penerapan clinical governance dan penerapan
continium of care sebagai basis pelayanan klinis. Memastian pelayanan penunjang seperti
pengelolaan SDM terkait dengan perhitungan jumlah SDM dan perhitungan remunerasi.
Perhitungan secara cermat posisi keuangan RS terhadap pola INA CBGs ataupun
Puskesmas dengan kapitasinya. Penggunaan IT untuk mengukur dan meningkatkan mutu
pelayanan. Memastikan berbagai tools peningkatan mutu klinis dapat diterapkan di RS
dan Puskesmas, seperti penerapan siklus PDSA/PDCA, FMEA, RCA, Audit
Medik/Klinik, Clinical Pathways, penggunaan indikator klinis dan sebagainya.
Berbagai tools tersebut memang tidak secara langsung berpengaruh terhadap program
JKN yang saat ini berjalan. Namun, dengan pemanfaatan tools ini diharapkan faskes
dapat mengoptimalkan pelayanan yang diberikan kepada pasien JKN sehingga
meningkatkan kepercayaan peserta terhadap program JKN ini. Selain itu, tools
peningkatan mutu klinis seperti audit medik/ klinik dan clinical pathways membantu
mengidentifikasi pelayanan medis yang tidak sesuai dan tidak efisien. Dengan

penggunaan tools mutu ini kejadian-kejadian tidak diharapkan dalam pelaksanaan JKN
dapat diminimalisir.
Terakhir, namun juga terpenting dari sisi akuntabilitas JKN adalah perlunya menetapkan
indikator mutu untuk setidaknya enam dimensi mutu pelayanan kesehatan yaitu: efektif,
efisien, mudah diakses, aman, tepat waktu dan mengutamakan pasien. Kemudian
melakukan proses pengukuran secara periodik dan analisa serta sosialisai kepada berbagi
pihak terkait.
Catatan: Apa yang telah PKMK lakukan selama ini?
Untuk mendukung perbaikan mutu pelayanan kesehatan di Indonesia, Divisi Mutu
PKMK telah terlibat secara aktif dalam pengembangan, penerapan dan evaluasi berbagai
upaya peningkatan mutu dalam berbagai tingkat intervensi baik regulasi, manajemen
maupun tehnis.
Pada tahun 2014 Divisi Mutu PKMK terlibat dalam: Pengambangan dan penerapan
sistem rujukan baik di Provinsi DKI Jakarta, DIY dan NTT; Pengembangan sistem
outsourcing tenaga kesehatan melalui Program Sister Hospital di NTT; Penyusunan
Pedoman Pencegahan, Deteksi, dan Penindakan Fraud di Rumah Sakit bersama BUK
Kementerian Kesehatan; Menyelenggarakan berbagai blended learning (gabungan antara
pelatihan konvensional dengan e-learning) anti fraud untuk peneliti dan dosen; manajer
dan staf rumah sakit; serta untuk pimpinan dan staf BPJS; hingga mendampingi kegiatan
identifikasi potensi fraud di RS.

Anda mungkin juga menyukai