NPM
:113213121
perawatannya, jika telah dilakukan diagnosa, anamnesa dan tindakan medisnya sesuai
dengan standar. Tindakan yang dapat diklaim jika dilakukan sesuai dengan indikasi
medis dan masuk dalam Ina-CBGs yang secara sistem telah dilakukan pengelompokan
diagnostik dan tindakan yang harus dilakukan. Ditargetkan sekitar 120 juta lebih
penduduk Indonesia, akan menjadi peserta pertama JKN pada masa transisi. Ini perlu
penyesuaian dari semua pihak, baik rakyat, pemerintah, provider termasuk rumah sakit,
dan stakeholder lain.
Ada kecenderungan masyarakat Indonesia untuk coba-coba sesuatu yang baru. Kemudian
diteruskan dengan menggunakan secara maksimal hak yang mungkin bisa didapatnya.
Demikianlah gambaran bagaimana Kartu Jakarta Sehat di Jakarta. Yang biasanya sakit flu
cukup istirahat atau minum tablet yang beli di warung sebelah, karena punya KJS maka
pergilah ke puskesmas dan
minta rujukan
sedemikian tinggi akibat janji politik akan berobat gratis. Dampaknya terjadi
penumpukan pasien dengan antrian panjang
yang
biasanya. Bisa dibayangkan, fasilitas yang tersedia tak dapat menampung lonjakan
jumlah pasien ini. Akibatnya, komplain dan pengaduan pasien pun meningkat tajam
disebabkan ada gap/jurang antara harapan dan kenyataan.
Secara singkat dapat dikatakan, JKN seperti backbone yang akan menopang perubahan
sistem lain dan perilaku masyarakat. Kalau tak diantisipasi rumah sakit akan babak belur.
Jika rumah sakit gagal melakukan penyesuaian atau bahkan tak mampu menciptakan
layanan kesehatan yang melebihi ekspektasi, maka bisa dipastikan akan dirundung
masalah tiada henti.
Isu kedua ini sudah menghantam dunia perumahsakitan beberapa bulan atau
tahun-tahun kemarin hingga hari ini. Yaitu kemajuan informasi, media massa dan
media sosial. Akhir-akhir ini, rumah sakit seakan berada dibawah titik nadir pencitraan.
Persepsi komersial, tak berperikemanusiaan dan mencari semata-mata untung
disejajarkan dengan pembentukan opini bahwa rumah sakit menolak pasien. Rumah sakit
selalu pada di-stigma-kan salah, lebih tepatnya, dipersalahkan.
Ini tak boleh dibiarkan. Perlu adanya keseimbangan informasi dan peningkatan konten
positif tentang rumah sakit. Tak dipungkiri memang ada atau beberapa rumah sakit
berpelayanan buruk. Namun tidak bijak jika terus menyuburkan sikap gebyah uyah,
penyamarataan, bahwa rumah sakit Indonesia memberikan pelayanan buruk. Ada yang
menarik, booming media sosial atau semakin familernya masyarakat Indonesia dengan
internet membawa dampak berubahnya perilaku pasien rumah sakit. Pasien semakin
kritis karena mendapat pasokan informasi dari internet. Terjadi hubungan komunikasi
yang horisontal antara dokter dan pasien. Keluhan terhadap layanan rumah sakit pun
dengan sangat mudah menyebar luas dan menjadi konsumsi publik.
Tentu saja, ini tantangan sangat besar rumah sakit. Ada gawean besar kehumasan untuk
mengembalikan citra dan reputasi rumah sakit. Diperlukan pemahanan dan kemampuan
mengelola media massa dan media sosial. Dibutuhkan manajemen media relations yang
handal oleh rumah sakit.
Jaminan Kesehatan Nasional dan perkembangan media massa dan media sosial,
merupakan 2 isu penting diantara isu-isu lain, yang harus menjadi perhatian utama para
pengelola dan pemilik rumah sakit. Di sisi lain, kita berharap ada proses pendewasaan
dari perilaku masyarakat dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit.
Namun sebelum berharap perubahan pada masyarakat, rumah sakit semestinya terlebih
dahulu menata diri untuk memberikan pelayanan yang bermutu, aman dan terjangkau.
Semoga.
Minim Pemahaman Sistem Rujukan BPJS Kesehatan Setiap orang memiliki
risiko jatuh sakit dan membutuhkan biaya cukup besar ketika berobat ke rumah sakit.
Apalagi, jika sakit yang dideritanya merupakan penyakit yang kronis atau tergolong berat.
Untuk memberikan keringanan biaya, pemerintah mengeluarkan Program JKN (Jaminan
Kesehatan Nasional). Program pelayanan kesehatan yang merata dan tidak diskriminatif,
diatur dalam Undang-undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN), kemudian diimplementasikan ke dalam Undang-Undang (UU) Nomor
24 Tahun 2011 tentang Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS).
Kedua aturan itu, dimaksudkan untuk menjamin pemerataan dan keadilan serta
kemandirian masyarakat. Pada bidang kesehatan akan dikelola dan dilaksanakan BPJS
Kesehatan, yang merupakan transformasi PT Askes (Persero) dan bidang jaminan hari
tua, dilaksanakan BPJS Ketenagakerjaan, yang merupakan transformasi PT Jamsostek
(persero).
jenjang
meningkatkan
kesehatan
primer yang ditunjuk untuk melayani peserta, tidak dapat memberikan pelayanan
kesehatan sesuai dengan kebutuhan peserta karena keterbatasan fasilitas, pelayanan, dan
atau ketenagaan. Jika penyakit peserta masih belum dapat
tertangani di fasilitas
kesehatan sekunder, maka peserta dapat dirujuk ke fasilitas kesehatan tersier. Di sini,
peserta akan mendapatkan penanganan dari dokter sub-spesialis yang menggunakan
pengetahuan dan teknologi kesehatan sub-spesialiastik.
Peserta JKN harus mengikuti sistem rujukan yang ada. Sakit apa pun, kecuali
dalam keadaan
kesehatan
langsung ke rumah sakit atau dokter spesialis. Jika ini dilanggar peserta harus bayar
sendiri.
maka perlu
Jika sistem tersebut sudah terbangun, upaya pencarian rumah sakit (RS) rujukan
cukup dilakukan melalui sistem informasi yang bisa menampilkan ketersediaan tempat
tidur atau ruang perawatan seluruh RS di Jakarta. Jadi, RS asal yang mencarikan rumah
sakit rujukan, bukan keluarga pasien, ujarnya.
Sistem ini juga akan dihubungkan dengan nomor panggilan gawat darurat 119.
Data ini juga bisa diakses pengelola ambulans sehingga dapat membawa pasien gawat
darurat ke RS terdekat yang punya layanan.
Dalam seminar, sejumlah RS mengeluhkan membeludaknya pasien ke rumah sakit
sejak Kartu Jakarta Sehat (KJS) diluncurkan. Bahkan, tak jarang keluarga pasien
mengintimidasi petugas. Pasien juga banyak yang tidak mau tahu bahwa fasilitas yang
tersedia di RS terbatas.
Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) meminta agar Menteri
Kesehatan segera mengaudit beberapa rumah sakit di Jakarta terkait kasus meninggalnya
Dera. Ketua Satuan Tugas Perlindungan Anak KPAI M Ihsan mengatakan, ada indikasi
tak benar yang terlihat dari pengajuan rujukan pengobatan yang tidak dapat dipenuhi oleh
beberapa RS besar akibat terbatasnya ruang perawatan.
Tidak terkait KJS
Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Dien Emawati, Selasa kemarin, memanggil
perwakilan delapan RS yang diminta merawat Dera. Bersama Direktur Jenderal Bina
Usaha Kesehatan Kemenkes Akmal Taher, Dien menggelar jumpa pers untuk
mengklarifikasi berbagai isu seputar meninggalnya Dera.
Ini tidak ada hubungannya dengan status pasien yang menggunakan KJS. Bayi Dera
dalam kondisi khusus dan perlu alat khusus, yaitu NICU. Dari delapan rumah sakit yang
dihubungi RS Zahira, ada yang tidak memiliki NICU. Ada juga yang memiliki NICU,
tetapi penuh,
Dien menambahkan, dari segi pembiayaan, tidak ada masalah. Pasien dari kelas apa pun
akan diperlakukan sama. Jika memerlukan NICU, harus diberikan. Hal senada
disampaikan Akmal. Menurut Akmal, dari delapan RS itu, tidak ada yang meminta uang
muka kepada orangtua Dera.
Keduanya mengakui, jumlah NICU di Jakarta masih sangat minim, yaitu 143 unit yang
tersebar di Jakarta Pusat (45 unit), Jakarta Utara (14), Jakarta Barat (33), Jakarta Selatan
(16), dan Jakarta Timur (35). Idealnya, jumlah NICU sebanyak 1-3 persen dari angka
kelahiran.
Dari delapan RS yang dihubungi, empat RS, yaitu RS Budhi Asih, RS St Carolus, RS
Asri, dan RS Tria Dipa, tidak punya NICU. Di RSCM ada 10 NICU, tetapi penuh. Ada
tiga pasien yang mestinya dirawat di NICU terpaksa hanya dirawat di UGD karena
memang penuh, kata Akmal.
Ke depan, lanjut Akmal, sangat logis menambah kapasitas NICU. Namun, penambahan
tidak sekadar alat, tetapi juga tenaga andal, seperti dokter spesialis dan perawat yang
mahir menangani anak dalam kondisi gawat. Dien menargetkan, minimal di setiap RSUD
memiliki NICU.
Infrastruktur pendukung
Pemerintah Provinsi DKI dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menjalin kerja sama
memperbaiki infrastruktur pendukung program KJS. Kedua pihak sepakat menambah
jumlah tenaga medis, membangun sistem rujukan, menentukan jenis obat, dan jenis
penyakit pasien peserta KJS.
Lebih baik terlambat memperbaiki sistem pendukung daripada tidak sama sekali.
Perbaikan ini penting untuk mengendalikan penggunaan anggaran sehingga tidak jebol
karena tingginya tagihan klaim RS, tutur Kepala Bidang Kesejahteraan Anggota IDI
Jakarta Kartini, Selasa di Jakarta.
Pemprov DKI, kata Kartini, belum menyebut jumlah dokter untuk memperkuat pelayanan
di tingkat puskesmas. Kerja sama ini baru kami bicarakan hari Senin. Nota kerja sama
sedang kami selesaikan, ka
Tahun 2015 merupakan tahun awal pertaruhan politik di bawah era
kepemimpinan presiden baru. Transisi kepemimpinan dari Susilo Bambang Yudhoyono
ke Joko Widodo akan banyak memberi perubahan pada berbagai kebijakan di sektor
kunci terutama sektor kesehatan. Salah satu isu yang kurang mendapat perhatian di tahun
lalu adalah terkait mutu pelayanan kesehatan. Outlook ini memberi gambaran peluang
dan tantangan dalam upaya meningkatkan mutu layanan kesehatan dalam era JKN.
Outlook ini ditujukan bagi pemerhati sistem kesehatan, regulator, fasilitas kesehatan,
masyarakat, media massa maupun pelaksana dalam sistem JKN.
Tepat hari Kamis (1 Januari 2015) lalu, sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
"merayakan" ulang tahun pertama. Sistem ini dirancang untuk menjamin ketersediaan
pelayanan kesehatan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa kecuali. Dalam
setahun perjalanan JKN, banyak harapan yang belum optimal tercapai termasuk aspek
mutu dalam pelayanan kesehatan.
Pada level regulator, kebijakan yang diberlakukan dalam era JKN ini bersifat "pasang
surut", dimana satu kebijakan diberlakukan namun tidak disertai dengan rangkai
kebijakan lainnya. Misalnya Jaminan Kesehatan Nasional telah berupaya mengendalikan
harga melalui penerapan kapitasi dan INA-CBGs, namun tidak disertai dengan
pengembangan sistem remunerasi baru bagi tenaga kesehatan. Kemudian negara telah
menyusun regulasi mengenai kemudahan pendaftaran peserta BPJS, namun tidak disertai
dengan upaya pemerataan fasyankes dan SDM-nya. Lalu, pemerintah telah menyusun
regulasi mengenai sistem rujukan namun kurang memberikan informasi kepada
masyarakat terkait dengan mutu Puskesmas dibanding RS, dan kurang mendorong
pengembangan sistem rujukan daerah, regional hingga nasional serta prosedur detail
rujukan untuk kasus-kasus spesifik seperti KIA dan wabah.
BPJS Telah menetapkan persyaratan ijin dan akreditasi untuk provider namun tidak
terlibat dalam merevisi standar perijinan dan akreditasi agar memiliki kaitan yang kuat
dengan JKN. Di sisi lain, proses akreditasi RS belum memastikan adanya peningkatan
mutu yang diterima oleh pasien. Sedangkan standar akreditasi Puskesmas hingga kini
belum juga diterbitkan.
Pada level organisasi, tidak banyak perubahan manajerial dalam pengelolaan sarana
pelayanan kesehatan. Hingga detik-detik terakhir pelaksanaan JKN, banyak RS ataupun
Puskesmas tidak memiliki persiapan yang cukup, mereka masih menjalankan organisasi
seperti sebelumnya. Tidak banyak perubahan yang dilakukan baik dalam pelayanan
utama maupun pelayanan penunjang seperti yang diidentifikasi oleh Michel Porter dalam
Model Value Chain (1985).
Pengelolaan manajemen pelayanan klinis (clinical care) sebagai pelayanan utama tidak
banyak berubah, pelayanan masih diberikan seperti sebelumnya, pendekatan tim,
penerapan clinical governance, penerapan continium of care masih belum banyak
dilakukan. Pelayanan penunjang seperti pengelolaan SDM sebagai tulang punggung
utama sarana pelayanan kesehatan tidak banyak mengalami perubahan, perhitungan
jumlah SDM terlambat mengantisipasi peningkatan jumlah pasien, perhitungan
remunerasi juga tidak berubah masih banyak yang berbasis fee for service. Pengelolaan
keuangan juga belum menghitung secara cermat posisi keuangan RS terhadap pola INA
CBGs ataupun Puskesmas dengan kapitasinya. Penggunaan IT juga tidak dimanfaatkan
secara maksimal.
Minimnya intervensi regulasi maupun manajerial membuat berbagai alat peningkatan
mutu di dalam aspek teknis pelayanan kesehatan juga tidak banyak diterapkan, atau
diterapkan tanpa terkait dengan upaya peningkatan mutu dalam JKN.
Dalam buku Quality by Desain: A Clinical Microsystem Approach (Nelson, Batladen dan
Godfrey, 2007) disebutkan berbagai tools peningkatan mutu klinis di tingkat mikro,
seperti penerapan siklus PDSA/PDCA, FMEA, RCA, Audit Medik/Klinik, Clinical
Pathways, penggunaan indikator klinis dan sebagainya. Berbagai indikator ini telah
dijalankan oleh berbagai RS namun belum terkait langsung dengan JKN, BPJS pun
belum mengintegrasikan berbagai tools tersebut kedalam program evaluasinya.
Dampak dari ketiadaan upaya perbaikan di tingkat mikro membuat adanya perilaku para
klinisi yang bekerja tidak sesuai SOP. Tenaga-tenaga kesehatan ini juga menurunkan
standar pelayanan yang diberikan kepada pasien akibat adanya persepsi tarif INA CBG's
yang rendah. Sistem kapitasi "menciptakan" mindset tenaga kesehatan untuk "lebih rajin"
merujuk pasien dan kurang giat bekerja (money oriented). Bahkan, ada juga yang sampai
melakukan kecurangan dalam pelayanan kesehatan (fraud). Sepanjang tahun 2014 lalu
potensi fraud layanan kesehatan sudah terdeteksi banyak terjadi di rumah sakit. Bukan
tidak mungkin di tahun 2015 fraud akan semakin besar. Ini berpotensi meningkatkan
biaya kesehatan dan menurunkan mutu pelayanan kesehatan.
Kegiatan-kegiatan maupun perilaku yang dilakukan oleh regulator hingga level mikro
sistem berdampak secara tidak langsung kepada pasien, selaku pengguna layanan
kesehatan. Boleh dikatakan saat tahun 2014, pasien merasa senang dan terbantu dengan
adanya JKN ini. Mereka berbondong-bondong untuk menjadi peserta BPJS. Namun, di
balik respon baik pasien untuk menjadi peserta BPJS, mereka tidak serta merta paham
hak dan kewajiban sebagai peserta. Beberapa pasien BPJS diketahui diminta untuk
membeli obat di luar rumah sakit, ditolak secara halus di rumah sakit dengan alasan
bahwa pelayanan yang dibutuhkan tidak ditanggung BPJS, hingga benar-benar tidak
dilayani di rumah sakit dengan optimal. Bila kejadian ini berlangsung terus, bukan tidak
mungkin peserta akan kecewa dan tidak percaya lagi dengan sistem ini. Bahkan, bukan
tidak mungkin, pasien-pasien yang paham dan proaktif dapat melakukan tuntutan kepada
provider.
Regulator perlu memperbaiki standar dan proses perijinan,, sertifikasi mutu serta
keselamatan, mengembangkan sistem dan melakukan upaya pemerataan fasyankes dan
SDM-nya, memberikan informasi kepada masyarakat dan media masa mengenai tingkat
mutu sarana pelayanan kesehatan, mengembangkan sistem rujukan daerah, regional
hingga nasional. Sistem perijinan dan akreditasi tersebut juga harus dibuktikan dapat
memberikan dampak perbaikan baik ditingkat organisasi, tingkat mikro dan yang utama
perbaikan pelayanan yang dirasakan oleh pasien/masyarakat.
Regulator juga perlu mengembangkan sistem anti fraud dalam pelayanan kesehatan
dengan cara: penyusunan Permenkes mengenai Upaya Pencegahan, Deteksi dan
Penindakan Fraud dalam JKN; mendorong penyusunan dan pengesahan Pedoman
Nasional Praktek Kedokteran (PNPK) dari berbagai organisasi profesi; mendorong
penyusunan dan implementasi Clinical Pathway di RS sebagai salah satu upaya efisiensi
dan mencegah fraud layanan kesehatan; Blended learning anti fraud bagi Dinkes di
samping bagi RS; Realisasi pembentukan lembaga anti fraud di level sarana pelayanan
kesehatan, BPJS dan Kemenkes/Dinkes; mendorong penggunaan IT untuk melakukan
pencegahan, deteksi, dan penindakan fraud di internal RS dan BPJS; serta membangun
kemitraan dengan berbagai pihak untuk mendukung terbentuknya sistem Pencegahan,
Deteksi, dan Penindakan Fraud dalam era JKN.
Pada level organisasi, perlu dipastikan penerapan clinical governance dan penerapan
continium of care sebagai basis pelayanan klinis. Memastian pelayanan penunjang seperti
pengelolaan SDM terkait dengan perhitungan jumlah SDM dan perhitungan remunerasi.
Perhitungan secara cermat posisi keuangan RS terhadap pola INA CBGs ataupun
Puskesmas dengan kapitasinya. Penggunaan IT untuk mengukur dan meningkatkan mutu
pelayanan. Memastikan berbagai tools peningkatan mutu klinis dapat diterapkan di RS
dan Puskesmas, seperti penerapan siklus PDSA/PDCA, FMEA, RCA, Audit
Medik/Klinik, Clinical Pathways, penggunaan indikator klinis dan sebagainya.
Berbagai tools tersebut memang tidak secara langsung berpengaruh terhadap program
JKN yang saat ini berjalan. Namun, dengan pemanfaatan tools ini diharapkan faskes
dapat mengoptimalkan pelayanan yang diberikan kepada pasien JKN sehingga
meningkatkan kepercayaan peserta terhadap program JKN ini. Selain itu, tools
peningkatan mutu klinis seperti audit medik/ klinik dan clinical pathways membantu
mengidentifikasi pelayanan medis yang tidak sesuai dan tidak efisien. Dengan
penggunaan tools mutu ini kejadian-kejadian tidak diharapkan dalam pelaksanaan JKN
dapat diminimalisir.
Terakhir, namun juga terpenting dari sisi akuntabilitas JKN adalah perlunya menetapkan
indikator mutu untuk setidaknya enam dimensi mutu pelayanan kesehatan yaitu: efektif,
efisien, mudah diakses, aman, tepat waktu dan mengutamakan pasien. Kemudian
melakukan proses pengukuran secara periodik dan analisa serta sosialisai kepada berbagi
pihak terkait.
Catatan: Apa yang telah PKMK lakukan selama ini?
Untuk mendukung perbaikan mutu pelayanan kesehatan di Indonesia, Divisi Mutu
PKMK telah terlibat secara aktif dalam pengembangan, penerapan dan evaluasi berbagai
upaya peningkatan mutu dalam berbagai tingkat intervensi baik regulasi, manajemen
maupun tehnis.
Pada tahun 2014 Divisi Mutu PKMK terlibat dalam: Pengambangan dan penerapan
sistem rujukan baik di Provinsi DKI Jakarta, DIY dan NTT; Pengembangan sistem
outsourcing tenaga kesehatan melalui Program Sister Hospital di NTT; Penyusunan
Pedoman Pencegahan, Deteksi, dan Penindakan Fraud di Rumah Sakit bersama BUK
Kementerian Kesehatan; Menyelenggarakan berbagai blended learning (gabungan antara
pelatihan konvensional dengan e-learning) anti fraud untuk peneliti dan dosen; manajer
dan staf rumah sakit; serta untuk pimpinan dan staf BPJS; hingga mendampingi kegiatan
identifikasi potensi fraud di RS.