Anda di halaman 1dari 66

ANALISIS PENGARUH KINERJA DOKTER SMF BEDAH UMUM

DALAM SISTEM INA-CBGs PADA PELAYANAN BPJS


TERHADAP PENGENDALIAN BIAYA PELAYANAN
KESEHATAN DI RUMAH SAKIT
BUDI KEMULIAAN BATAM

PROPOSAL TESIS

Untuk memenuhi persyaratan


mencapai derajat Sarjana S2

Program Studi
Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat
Konsentrasi
Manajemen Rumah Sakit

Oleh:
ANJARI WAHYU WARDHANI
NIM :

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2017

HALAMAN PERSETUJUAN
ANALISIS PENGARUH KINERJA DOKTER SMF BEDAH UMUM
DALAM SISTEM INA-CBGs PADA PELAYANAN BPJS
TERHADAP PENGENDALIAN BIAYA PELAYANAN
KESEHATAN DI RUMAH SAKIT
BUDI KEMULIAAN BATAM

Telah disetujui sebagai Usulan Penelitian Tesis


Untuk memenuhi persyaratan Pendidikan Program Pasca Sarjana

Program Studi
Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat

Menyetujui
Pembimbing I

Pembimbing II

Mengetahui
Ketua Program Studi
Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat

HALAMAN USULAN PENELITIAN


ANALISIS PENGARUH KINERJA DOKTER SMF BEDAH UMUM
DALAM SISTEM INA-CBGs PADA PELAYANAN BPJS
TERHADAP PENGENDALIAN BIAYA PELAYANAN
KESEHATAN DI RUMAH SAKIT
BUDI KEMULIAAN BATAM

Bukti Pengesahan Hasil Revisi Proposal Penelitian Tesis


Untuk Memenuhi Persyaratan Pendidikan Program Pasca Sarjana

Telah diseminarkan pada tanggal ………


Setelah diadakan perbaikan, selanjutnya disetujui untuk dilakukan
penelitian

Penguji Penguji

Pembimbing II Pembimbing I

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat ALLAH SWT yang telah melimpahkan

rahmat, taufik dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga dapat

menyelesaikan penyusunan proposal tesis yang berjudul “Analisis

Pengaruh Kinerja Dokter SMF Bedah Umum Dalam Sistem INA-CBGs

Pada Pelayanan BPJS Terhadap Pengendalian Biaya Pelayanan

Kesehatan di Rumah Sakit Budi Kemuliaan Batam”. Penyusuna proposal

tesis ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh

gelar Magister Kesehatan Masyarakat pada Program Pasca Sarjana

Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Konsentrasi Manajemen Rumah

Sakit Universitas Diponegoro Semarang.

Dalam penyusunan proposal tesis ini, penulis banyak

mendapatkan bimbingan, masukan dan motivasi dari berbagai pihak,

untuk itu pada kesempatan ini penulis haturkan ucapan terima kasih dan

penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL

HALAMAN PERSETUJUAN

HALAMAN USULAN PENELITIAN

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Perumusan Masalah

C. Pertanyaan Penelitian

D. Tujuan Penelitian

E. Manfaat Penelitian

F. Keaslian Penelitian

G. Ruang Lingkup Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembiayaan pelayanan kesehatan masih menjadi isu penting di negara

– negara berkembang (Ile dan Garr, 2011). Menurut WHO (2010), rata-

rata orang menghabiskan 5 hingga 10 % dari pendapatan mereka untuk

pembiayaan pelayanan kesehatan, sedangkan orang yang paling miskin

dapat membelanjakan sepertiga pendapatannya. WHO (2010) juga

mensinyalir 100 juta orang dapat menjadi miskin akibat membiayai

pelayanan kesehatannya, dan 150 juta orang menghadapi kesulitan untuk

membayar pelayanan kesehatan. Belanja kesehatan seperti ini merupakan

belanja kesehatan katastropik karena melebihi kapasitas membayar

(capacity to pay) rumah tangga (Thabrany, 2014).

Di negara maju seperti Jerman dengan rata rata Gross Domestic

Product (GDP) sebesar 32.680 dolar amerika, pembiayaan

kesehatan 10% menggunakan out of pocket. Sedangkan Indonesia

menganggarkan sekitar 2,5% GDP untuk kesehatan, 70% menggunakan

out of pocket (Kemenko Kesra RI, 2012).

Di Amerika, dikenal hukum the law of medical money yaitu berapapun

jumlah uang yang disediakan untuk pelayanan kesehatan akan habis, baik

karena kebutuhan konsumen (pasien) maupun karena keinginan para

penyedia pelayanan kesehatan (health provider) untuk memberikan

pelayanan yang optimal sesuai dengan dana yang tersedia. Di Indonesia

pun hampir serupa, pelayanan kesehatan masih bersifat konsumtif


tanpa memperhatikan cost effectiveness dan cost efficiency. Sehingga

biaya pelayanan kesehatan menjadi melambung (Sulastomo, 2007).

Untuk mengatasi hal itu, World Health Assembly (WHA) ke-58 tahun

2005 di Jenewa mendorong setiap negara mengembangkan Universal

Health Coverage (UHC) atau cakupan kesehatan semesta bagi seluruh

penduduknya. Maka pemerintah Indonesia melaksanakannya melalui

program Jaminan Kesehatan atau Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Program JKN dimulai dengan diberlakukannya undang- Undang Nomor

40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN)

dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan

Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS) (Thabrany, 2014). Selain itu,

cakupan kesehatan semesta diwujudkan dengan visi Indonesia sehat

2020 yang dibangun atas dasar 3 (tiga) pilar, yaitu lingkungan sehat,

perilaku sehat , dan pelayanan kesehatan yang bermutu, adil , merata, dan

terjangkau oleh seluruh masyarakat (Sulaeman, 2014). Keterjangkauan

oleh seluruh masyarakat ini meliputi keterjangkauan akses pelayanan

kesehatan, ketersediaan dan keterjangkauan dalam segi pembiayaan

pelayanan kesehatan (Adisasmito, 2010).

Pemerintah pun berupaya untuk mempercepat terselenggaranya sistem

jaminan sosial nasional secara menyeluruh bagi rakyat Indonesia.

Karenanya di Indonesia, pada tanggal 1 Januari 2014 didirikan suatu

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan yang selaras

dengan tujuan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam

mengembangkan jaminan kesehatan untuk semua penduduk. BPJS

Kesehatan ini merupakan badan hukum yang dibentuk untuk

menyelenggarakan program kesehatan (Peraturan BPJS Kesehatan

Nomor 1 Tahun 2014).


Badan penyelenggara jaminan sosial kesehatan (BPJS kesehatan)

adalah badan hukum publik yang bertanggung jawab kepada presiden

dan berfungsi menyelenggarakan program jaminan kesehatan bagi

seluruh penduduk indonesia termasuk orang asing yang bekerja paling

singkat 6 (enam) bulan di indonesia. BPJS sendiri merupakan

transformasi dari empat badan usaha milik Negara (BUMN) yaitu PT.

Askes, Jamsostek, Taspen dan Asabri.

Untuk menyediakan jaminan kesehatan bagi masyarakat maka

pemerintah perlu bekerja sama dengan rumah sakit sebagai Penyedia

Pelayanan Kesehatan (PPK). Pada era globalisasi seperti sekarang ini

perkembangan dunia kesehatan sangat pesat, terutama dari pelayanan

kesehatan yang diberikan rumah sakit untuk menarik calon pasien. Di

Indonesia, Rumah Sakit sangat banyak jumlahnya baik itu rumah sakit

milik pemerintah maupun rumah sakit swasta. Setiap rumah sakit juga

berlomba-lomba menyediakan pelayanan kesehatan yang memuaskan

agar pasien tidak pindah ke rumah sakit lain.

Rumah sakit adalah insitusi pelayanan kesehatan yang

menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna

yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat

darurat. Dimana rumah sakit memegang peranan penting terhadap

meningkatnya derajat kesehatan masyarakat (Undang- Undang Republik

Indonesia Nomor 44 Tahun 2009)

Rumah sakit adalah suatu lembaga komunitas yang berperan

sebagai jasa penyembuhan penderita dan pemulihan kesehatan pasien.

Pelayanan professional dan handal diperlukan untuk menjadi pilihan

utama masyarakat, hal itu juga perlu ditunjang dengan pemberian fasilitas
yang memadai dan memberikan pelayanan yang terbaik kepada pasien.

Rumah sakit bukan hanya institusi yang memberikan pelayanan

kesehatan kepada masyarakat semata. Namun untuk menjaga

kelangsungan operasionalnya, rumah sakit juga memerlukan

pendapatan yang mana salah satu pendapatan rumah sakit yaitu

berasal dari pelayanan jasa dan fasilitas yang diberikan kepada pasien.

Salah satu fasilitas yang diberikan adalah fasilitas jasa rawat inap. Rawat

inap adalah pelayanan medis kepada pasien untuk tujuan pengamatan,

diagnosa, pengobatan, rehabilitasi, dan pelayanan kesehatan lainnya

dimana pasien perlu menginap untuk mendapat perawatan yang lebih

intensif.

Program jaminan kesehatan nasional BPJS yang diprogram

pemerintah menggunakan sistem managed care, sehingga yang

mengajukan klaim adalah dari pihak penyedia pelayanan kesehatan yaitu

puskesmas, klinik ataupun rumah sakit. Penyedia Pelayanan Kesehatan

Tingkat Primer (puskesmas, klinik dan sebagainya) dibayarkan secara

kapitasi oleh BPJS Kesehatan yaitu PPK (Penyedia Pelayanan

Kesehatan) dibayar dimuka per orang per bulan (per member per

month) tergantung jumlah peserta yang memilih PPK Primer tersebut.

Sedangkan Penyedia Pelayanan Kesehatan Tingkat Lanjutan (Rumah

Sakit) dibayarkan melalui tarif INA CBGs oleh BPJS Kesehatan.

Managed care ( managed health care ) adalah system yang

mengintrasikan antara pembiayaan dan pelayanan kesrhatan yang tepat

dengan ciri-ciri sebagai berikut : kontrak dengan dokter atau rumah sakit

yang terpilih untuk memberikan pelayanan komprehensif termasuk promosi

dan prevensi kepada populasi peserta,pembayaran kepada provider

dengan system pembayaran prospektif termasuk termasuk


kapitasi,pembayaran premi per orang perbulan telah di tentukkan

sebelumnya,adanya kendali utilisasi dan mutu dimana dokter atau rumah

sakit telah menerima kendali tersebut dalam kontrak. Dalam managed care

pembayaran pada provider tidak berdasarkan fee for service dan

reimbursement akan tetapi besar biaya telah ditentukan.

Sistem INA CBGs ini menganut sistem prospective payment yaitu

metode pembayaran yang dilakukan atas layanan kesehatan yang

besarannya sudah diketahui sebelum pelayanan kesehatan diberikan.

Sistem INA CBGs di Indonesia merupakan sistem casemix based group

dengan pengertian yang dapat disederhanakan adalah biaya satuan per

diagnosis penyakit atau kelompok penyakit, bukan biaya satuan per jenis

pelayanan medis atau non medis yang diberikan.

Sistem INA CBGs lebih lanjut diatur pada Permenkes No. 27 Tahun

2014 tentang Juknis Sistem INA CBGs. Sedangkan Tarif Pelayanan

Kesehatan Program JKN diatur pada Permenkes No.69 Tahun 2013 yang

kemudian diperbaiki dalam Peraturan Menteri Kesehatan No.59 Tahun

2014 tentang Standar Tarif JKN. Tarif INA CBGs mempunyai 1.077

kelompok tarif terdiri dari 789 kode grup atau kelompok rawat inap

dan 288 kode grup atau kelompok rawat jalan, menggunakan

sistem koding dengan ICD (international statistical classification of

diseases and related health problems) yang mana ICD-10 untuk diagnosis

serta ICD-9-CM untuk prosedur atau tindakan.

Dalam mengimplementasikan pembayaran klaim rumah sakit

oleh BPJS kesehatan dengan sistem INA CBGs, BPJS Kesehatan

dan Rumah Sakit menggunakan aplikasi INA CBGs. BPJS kesehatan

khususnya pada unit Manajemen Pelayanan Kesehatan Rujukan memiliki


staf verifikator dengan tugas untuk memastikan atau melakukan

pengecekan terhadap klaim yang diajukan oleh pihak Rumah Sakit, serta

memverifikasi apakah klaim akan disetujui dan dibayar atau tidak.

BPJS mulai berlaku di Indonesia sejak bulan Januari 2014.

Namun sampai saat ini, BPJS kesehatan sebagai badan penyelenggara

dalam pelaksanaannya masih menemui kendala atau permasalahan dari

program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Selain masalah pelayanan

kesehatan yang diterima oleh peserta, masalah lainnya yang juga menjadi

perhatian adalah terkait klaim pelayanan oleh penyedia pelayanan

kesehatan yang menyediakan pelayanan kesehatan untuk peserta

kepada BPJS kesehatan. Pengajuan klaim oleh Penyedia Pelayanan

Kesehatan (PPK) kepada BPJS kesehatan sering ditemui berbagai

permasalahan, seperti permasalahan berkas klaim, banyaknya klaim

susulan, ketidaksesuaian tarif yang diajukan RS dengan tarif INA CBGs

atau yang dibayarkan BPJS Kesehatan, kejanggalan pengkodean

diagnosis penyakit, ataupun keterlambatan pembayaran klaim oleh BPJS

kesehatan.

Banyaknya tuntutan untuk peningkatan kualitas pelayanan

membutuhkan berbagai dana investasi yang tidak sedikit dan sekaligus

dibutuhkan tenaga yang professional dalam pengelolaannya.

Perkembangan pengelolaan rumah sakit dipengaruhi tuntutan

lingkunan eksternal dan internal rumah sakit tersebut. Tuntutan

eksternal adalah dari para stakeholder , dimana rumah sakit dituntut

untuk memberikan pelayanan yang bermutu dengan biaya pelayanan

kesehatan yang terkendali, yang akhirnya memberikan kepuasan pasien.

Sedangkan tuntutan internal adalah cost containment (pengendalian

biaya).
Amal C. Sjaaf (1994) dalam makalahnya mengatakan : ‘Hanya

rumah sakit yang dapat menyediakan layanan yang bermutu dengan

pembiayaan yang relatif rendah dapat unggul dalam kompetisi ketat

tersebut”.

Cost containment (pengendalian biaya) merupakan cara atau

upaya mengendalikan pembiayaan atau penekanan biaya sampai

ketitik cost effectiveness, bukan ketitik efficiency. Artinya berapa

besaran biaya yang secara rasional dibutuhkan untuk pelayanan tertentu

dan berapa besar pembiayaan untuk perawatan atau pemeliharaan

peralatan secara rasional. (Hanna Permana Subanegara,2010)

Cost containment (pengendalian biaya) sangat erat hubungannya

dengan unit cost, semakin tinggi pemborosan maka semakin tinggi unit

cost. Sebab pembiayaan yang boros secara langsung akan menyebabkan

peningkatan variable cost. Sedangkan unit cost ditentukan oleh variable

cost dan fixed cost. (Hanna Permana Subanegara, 2010).

Cost containment meliputi 4 tahap yaitu cost awareness (kesadaran

biaya), cost monitoring (pemantauan biaya), cost management

(manajemen biaya) dan cost incentive (biaya insentive). (Sabarguna,

2007).

Cost containment (Pengendalian biaya) merupakan masalah

yang kompleks karena dipengaruhi oleh berbagai pihak yaitu

mekanisme pasar, perilaku ekonomis, sumber daya professional dan

yang tidak kalah penting adalah perkembangan teknologi. Rumah sakit

pemerintahan yang terdapat di tingkat pusat dan daerah tidak lepas dari

pengaruh perkembangan tuntutan tersebut. Biaya kesehatan cenderung


terus meningkat,dan rumah sakit dituntut untuk secara mandiri

mengatasi masalah tersebut. Demikian pula Rumah Sakit Budi Kemuliaan

Batam, dimana karena terbatasnya anggaran yang diterima sedangkan

biaya kesehatan terus meningkat dan jumlah pasien yang dilayani

semakin meningkat, membuat pihak managemen harus terus

memikirkan cara untuk dapat memberikan pelayanan yang terbaik

dan bermutu untuk seluruh masyarakat Batam yang membutuhkan

pelayanan kesehatan.

RS Budi Kemuliaan Batam merupakan salah satu Rumah Sakit

milik swasta yang melayani jasa kesehatan bagi masyarakat Batam dan

sekitarnya. Rumah Sakit Budi Kemuliaan mulai menerapkan pelayanan

pengobatan BPJS kepada peserta BPJS sejak mulai berjalannya

program BPJS kesehatan tersebut pada bulan januari 2014 yang lalu.

RS Budi Kemuliaan mempunyai fasilitas unit pelayanan Instalasi

Gawat Darurat, Rawat Jalan dan Rawat Inap. Data kunjungan pasien

rawat Jalan periode Januari – Desember 2017 dapat dilihat pada table 1.1

sedangkan kunjungan rawat inap periode Januari – Desember 2017 dapat

dilihat pada table 1.2

Table 1.1 Kunjungan Pasien Unit Rawat Jalan

Periode Januari – Desember 2017

LANGGANAN
NO BUPEL UMUM NON BPJS BPJS JUMLAH
BPJS
BPJS TK COB
1 JANUARI 2,353 724 3,617 31 87 6,812
2 FEBRUARI 1,593 510 2,527 33 80 4,743
3 MARET 2,287 855 3,886 40 114 7,182
4 APRIL 1,950 635 3,414 45 104 6,148
5 MEI 2,007 607 3,603 51 120 6,388
6 JUNI 1,522 413 2,790 35 61 4,821
7 JULI 1,955 614 3,917 52 115 6,653
8 AGUSTUS 1,817 574 3,885 52 107 6,435
9 SEPTEMBER 1,745 533 3,836 67 74 6,255
10 OKTOBER 1,755 591 3,971 84 70 6,471
11 NOVEMBER 1,734 598 4,262 65 63 6,722
12 DESEMBER 1,715 596 4,191 39 53 6,594
JUMLAH 22,433 7,250 43,899 594 1,048 75,224

Data pasien rawat jalan periode Januari sampai dengan Desember

2017 sejumlah 75224 orang. Pasien umum sejumlah 22433 orang ; pasien

non BPJS sejumlah 7250 orang ; pasien BPJS sejumlah 43899 orang ;

paisen TK sejumlah 594 orang ; pasien BPJS COB sejumlah 1048 orang.

Dari table diatas dapat dilihat bahwa kunjungan terbesar adalah pasien

BPJS, kemudian pasien umum, BPJS COB, non BPJS, TK.

Table 1.2 Kunjungan Pasien Unit Rawat Inap

Periode Januari – Desember 2017

LANGGANAN
NO BUPEL UMUM NON BPJS BPJS JUMLAH
BPJS
BPJS TK COB
1 JANUARI 286 91 520 11 25 933
2 FEBRUARI 254 61 559 11 21 906
3 MARET 272 76 552 19 18 937
4 APRIL 232 45 445 9 16 747
5 MEI 278 67 496 9 17 867
6 JUNI 183 40 416 6 13 658
7 JULI 240 51 528 7 22 848
8 AGUSTUS 198 55 566 12 13 844
9 SEPTEMBER 214 55 539 20 8 836
10 OKTOBER 200 58 653 18 14 943
11 NOVEMBER 196 43 663 17 8 927
12 DESEMBER 230 60 630 11 13 944
JUMLAH 2,783 702 6,567 150 188 10,390

Data pasien rawat inap periode Januari sampai dengan Desember

2017 sejumlah 10390 orang. Pasien umum sejumlah 2783 orang ; pasien

non BPJS sejumlah 702 orang ; pasien BPJS sejumlah 6567 orang ;

pasien TK sejumlah 150 orang ; pasien BPJS COB sejumlah 188 orang.

Dari table diatas dapat dilihat bahwa kunjungan terbanyak adalah pasien

BPJS, kemudian pasien umum, non BPJS, BPJS COB dan pasien TK.

Tabel 1.3 Data Klaim Rawat Inap SMF Bedah Umum

Periode Januari – Desember 2017

JML
NO BUPEL PASIEN TARIF RS TARIF INACBGS FPK SELISIH
1 JANUARI 98 Rp 682,850,058 Rp 628,420,000 Rp 512,968,000 (Rp54,430,058)
2 FEBRUARI 75 Rp 483,128,500 Rp 499,515,479 Rp 383,502,000 (Rp116,013,479)
3 MARET 43 Rp 266,432,000 Rp 332,614,051 Rp 217,878,800 (Rp114,735,251)
4 APRIL 80 Rp 526,218,500 Rp 546,148,867 Rp 433,057,900 (Rp113,090,967)
5 MEI 71 Rp 509,311,900 Rp 561,594,564 Rp 432,436,100 (Rp129,158,464)
6 JUNI 69 Rp 388,169,100 Rp 469,231,649 Rp 309,010,000 (Rp160,221,649)
7 JULI 98 Rp 628,420,000 Rp 682,850,058 Rp 512,968,000 (Rp115,452,000)
8 AGUSTUS 86 Rp 691,886,780 Rp 688,406,500 Rp 444,000,200 (Rp247,886,580)
9 SEPTEMBER 79 Rp 570,289,898 Rp 540,324,600 Rp 373,912,100 (Rp47,581,414)
10 OKTOBER 98 Rp 753,069,423 Rp 666,416,300 Rp 492,658,500 (Rp260,410,923)
11 NOVEMBER 106 Rp 900,512,895 Rp 769,515,400 Rp 564,279,800 (Rp336,233,095)
12 DESEMBER 90 Rp 684,555,133 Rp 602,958,700 Rp 475,090,900 (Rp209,464,233)
TOTAL 993 Rp7,084,844,187 Rp6,987,996,168 Rp5,151,762,300 (Rp1,904,678,113)

Data klaim rawat inap SMF bedah umum periode Januari sampai

dengan Desember 2017 sejumlah 993 pasien. Tariff RS sejumlah Rp

7.084.844.187 ; tarif inacbg’s sejumlah Rp 6.987.996.168 ; nilai FPK

sejumlah Rp 5.151.762.300 ; selisih sejumlah Rp 1.904.678.113.

Berdasarkan hasil penelitian di bagian pengelolaan pendapatan RS

Budi Kemuliaan Batam, penulis menemukan berbagai macam masalah


yang terjadi dalam sistem dan pengendalian biaya klaim pelayanan pasien

BPJS pada kasus bedah umum salah satunya adalah kurangnya

pemahaman dokter terhadap sistem paket INACBG’s sehingga perlu

evaluasi dan perbaikan secara komprehensif. Dengan didasari fakta

tersebut, maka diidentifikasi “Belum optimalnya Pengelolaan Sistem

Pengendalian Biaya Klaim Pasien BPJS Kasus Bedah Umum di Rumah

Sakit Budi Kemuliaan Batam”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan penulis diatas

serta untuk mencapai tujuan penelitian yang sesuai dengan persyaratan

dan dapat memberikan manfaat pada penulisan tesis ini, maka penulis

membatasi masalah dalam penelitian ini dengan perumusan masalah

sebagai berikut: “Bagaimana pengaruh kinerja dokter smf bedah umum

terhadap proses pengendalian biaya klaim layanan kesehatan di Rumah

Sakit Budi Kemuliaan Batam?”

C. Pertanyaan Penelitian

a. Bagaimana kinerja dokter SMF Bedah Umum dalam memberikan

pelayanan kesehatan ?

b. Bagaimana pengetahuan dokter SMF Bedah Umum tentang proses

alur klaim BPJS Kesehatan ?

c. Bagaimana hubungan manage care dengan pengendalian biaya ?

d. Bagaimana hubungan pengendalian biaya dengan dengan efisiensi

biaya pelayanan kesehatan ?

D. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Melakukan evaluasi kinerja dokter smf bedah umum terhadap proses


pengendalian biaya klaim layanan kesehatan di Rumah Sakit Budi

Kemuliaan Batam

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui kebijakan, sistem dan pengelolaan proses

pengendalian biaya klaim layanan kesehatan di RS Budi Kemuliaan

Batam

b. Memberikan masukan / problem solving terhadap permasalahan

kinerja dokter smf bedah umum terhadap proses pengendalian klaim

layanan kesehatan di RS Budi Kemuliaan Batam

E. Manfaat Penelitian

1. Bagi Pemerintah

- Mengetahui apakah system pembayaran INACBG’s bagi pasien

BPJS di rumah sakit sudah sesuai

- Mengetahui apakah tarif dalam INACBG’s sudah memenuhi

harapan dokter

- Sebagai bahan evaluasi dalam pelaksanaan program BPJS

Kesehatan

2. Bagi Rumah Sakit

- Mengetahui kinerja dokter smf bedah umum di rumah sakit

- Sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan besaran jasa

medis pasien BPJS Kesehatan

- Sebagai masukan untuk melakukan evaluasi terhadap kinerja

dokter di rumah sakit

3. Bagi Dokter di Rumah Sakit

- Mengetahui tentang sistem pembiayaan paket INACBG’s

- Sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan diagnosa dan

prosedur tindakan yang sesuai sehingga tidak mengganggu sistem


pembiayaan layanan kesehatan di rumah sakit.

F. Keaslian Penelitian
G. Ruang Lingkup

1. Ruang lingkup keilmuan

Penelitian ini termasuk dalam ilmu kesehatan masyarakat dengan

kajian di Bidang Manajemen Rumah Sakit dengan menitikberatkan

pada pengaruh kinerja dokter SMF Bedah Umum dalam program

BPJS Kesehatan terhadap pengendalian biaya pelayanan kesehatan.

2. Ruang lingkup Masalah

Lingkup masalah penelitian ini dibatasi pada pengaruh kinerja dokter

SMF bedah umum terhadap pengendaliaan biaya guna mencapai

efisiensi biaya pelayanan kesehatan.

3. Ruang lingkup sasaran

Lingkup sasaran dalam penelitian ini dibatasi pada dokter SMF Bedah

Umum yang melayani program BPJS Kesehatan

4. Ruang lingkup lokasi

Lokasi penelitian ini adalah Rumah Sakit Budi Kemuliaan Batam.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Asuransi

1. Pengertian Asuransi

Dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun

1992, Asuransi atau pertanggungan didefinisikan sebagai perjanjian

antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung

mengikatkan diri kepada tetanggung, dengan menerima premi

asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena

kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan,

atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan

diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak

pasti, atau untuk pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau

hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. Obyek asuransi itu

sendiri dapat berupa benda dan jasa, jiwa dan raga, kesehatan

manusia, tanggung jawab hukum, serta semua kepentingan lainnya

yang dapat hilang, rusak, rugi dan atau berkurang nilainya.

Asuransi sosial merupakan mekanisme pengumpulan iuran

yang bersifat wajib dari peserta, guna memberikan perlindungan

kepada peserta atas risiko sosial ekonomi yang menimpa mereka dan

atau anggota keluarganya (UU SJSN No.40 tahun 2004). Sistem

Jaminan Sosial Nasional (SJSN) adalah tata cara penyelenggaraan

program Jaminan Sosial oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

(BPJS) Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Jaminan Sosial adalah

bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat


memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Selain dari

pengertian diatas, asuransi sosial sesuai dengan yang diatur dalam

pasal 1 angka 3 Undang- undang No. 2 Tahun 1992 yaitu Program

asuransi sosial adalah program asuransi yang diselenggarakan

secara wajib berdasarkan suatu undang-undang, dengan tujuan

untuk memberikan perlindungan dasar kesejahteraan masyarakat.

Kebutuhan masyarakat akan terciptanya jaminan sosial menjadi

salah satu faktor pendorong timbulnya asuransi sosial ditengah- tengah

masyarakat. hal tersebut menjadi suatu kebutuhan mengingat didalam

menjalankan kehidupanya masyarakat dapat terkena penyakit-

penyakit tertentu yang dapat menghabat pekerjaanya. Oleh karena itu

berkenaan dalam tujuan mensejahterakan seluruh masyarakat maka

negara dituntut untuk menaggulangani hal- hal yang menyebabkan

kesejahteraan masyarakat menurun khusunya dalam hal kesehatan

sehingga perlunya pemerintah untuk menyelenggarakan asuransi

sosial.

2. Tujuan Asuransi Sosial

Tujuan asuransi sosial adalah menyediakan program-program

untuk menjamin kesejahteraan sosial baik masyarakat umum, maupun

bagi masyarakat yang tidak diuntungkan, adanya asuransi diharapkan

agar para korban yang termasuk golongan lemah (golongan tidak

mampu) tidak berada dalam keadaan terlantar dan tanpa suatu sumber

penghasilan apabila terjadi suatu peristiwa yang mengakibatkan

kerugian terhadap mereka yang termasuk golongan lemah, dari uraian

diatas jelas bahwa asuransi sosial merupakan program pemeliharaan

kesejahteraan dan pendapatan dengan cara redistribusi kekayaan dari


segmen masyarakat yang lebih mampu kepada segmen masyarakat

yang kurang mampu.

Asuransi sosial timbul karena kebutuhan akan terselenggaranya

suatu jaminan sosial (social security) bagi masyarakat sehingga

jaminan sosial merupakan suatu hal yang mendesak dan tidak dapat

ditunda. Setiap jaminan sosial selalu mempunyai tujuan dan fungsi

ganda yaitu sosial dan ekonomis. Tujuan dan fungsi sosial diwujudkan

dalam bentuk perlindungan terhadap risiko yang mengakibatkan

hilangnya pendapatan seseorang yang mendapat kecelakaan seperti

jaminan hari tua, sakit dan kematian, dengan demikian korban akan

memperoleh bantuan pada saat yang benar-benar dibutuhkannya yang

mana akan membantu tercapainya ketenangan kerja dan produktivitas

meningkat, didalam mengatasi hal yang demikian pemerintah

mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang mewajibkan

masyarakatnya untuk membayar iuran wajib. Hal ini didasarkan pada

kewajiban pemerintah yang tugasnya adalah untuk melindungi

kesejahteraan umum bagi warga negaranya, sebab asuransi sosial

bertitik tolak pada upaya perlindungan bagi golongan lemah, baik

kondisi sosialnya maupun posisi keuangan perseorangannya. Adapun

unsur-unsur dari asuransi sosial adalah :

1. Bertujuan untuk kepentingan umum

2. Bersifat wajib

3. Harus ada hukum yang bersifat public

4. Dikelola oleh Perusahaan Negara dan di Indonesia biasanya

berbentuk Perum dan kemudian ada yang beralih menjadi Persero

Pengertian asuransi tidak terbatas hanya pada memberikan

perlindungan pada tertanggung saja, tetapi juga kepada seluruh


anggota masyarakat. Pengertian asuransi yang seperti ini dikenal

dengan nama asuransi sosial (social insurance) yang kesehatan

termasuk didalamnya. Pada saat ini jenis asuransi juga semakin

bervariasi, mula-mula lebih terarah pada barang, kemudian pada jasa,

untuk selanjutnya ketika hidup dan kehidupan mulai dapat dinilai dalam

bentuk rupiah (concept of human life value), berkembanglah asuransi

jiwa (life insurance) serta asuransi kesehatan (health insurance).

Asuransi kesehatan adalah suatu instrumen sosial yang dapat

menjamin seseorang untuk memenuhi kebutuhan pemeliharaan

kesehatan tanpa mempertimbangkan keadaan ekonomi orang tersebut

ketika membutuhkan pelayanan kesehatan. Dasar asuransi kesehatan

adalah menghilangkan ketidakpastian yang dihadapi seseorang dari

kemungkinan kebutuhan pengobatan karena ketidakpastian dari insiden

sakit dan biaya pengobatan.

Menurut Azwar asuransi kesehatan adalah suatu sistem dalam

pembiayaan kesehatan dimana dilakukan pengelolaan dana yang

berasal dari iuran teratur peserta untuk membiayai pelayanan

kesehatan yang dibutuhkan oleh peserta. Adapun pihak yang terlibat

dalam asuransi kesehatan adalah :

a. Peserta (client), yakni mereka yang terdaftar sebagai anggota,

membayar sejumlah iuran (premi) dengan mekanisme tertentu

dan karena itu ditanggung biaya kesehatannya.

b. Badan penyelenggara asuransi (health insurance institution),

yakni pihak yang bertanggung jawab mengumpulkan dan

mengelola iuran serta membayar biaya kesehatan yang

dibutuhkan peserta

Penyedia pelayanan (health provider), yakni pihak yang


bertanggung jawab menyediakan pelayanan kesehatan bagi peserta

dan untuk itu mendapatkan imbalan jasa dari badan asuransi.

3. Pola Asuransi Kesehatan

Pelaksanaan asuransi kesehatan mengenal beberapa

pola didalam pelaksanaanya, yakni :

a. Pola Tripartie

Pola tripartie merupakan pola asuransi dimana fungsi

pembiayaan dan penyediaan pelayanan kesehatan dilakukan

terpisah oleh institusi yang berbeda. Perusahaan asuransi

membiayai pelayanan kesehatan yang diberikan oleh pemberi

pelayanan kesehatan swasta pada fasilitas kesehatan yang bukan

milik perusahaan asuransi. Bentuk asuransi ini merupakan yang

paling sederhana karena perusahaan asuransi hanya

bertanggung jawab mengembalikan uang tanggungan yang

jumlahnya ditetapkan di muka untuk melindungi peserta dari suatu

peristiwa dan tidak mengenal kajian utilisasi (utilization review)

untuk mengontrol biaya.

b. Pola Bipartie

Pola bipartie menggunakan model managed care dimana fungsi

pembiayaan dan penyediaan pelayanan kesehatan dilakukan oleh

satu instansi sehingga perusahaan dapat melakukan kontrol

langsung terhadap pemberi pelayanan kesehatan.

4. Managed Care

Managed care adalah suatu konsep yang masih terus

berkembang, sehingga belum mempunyai definisi yang satu dan

universal. Namun secara umum managed care dapat didefinisikan


sebagai suatu sistem dimana pelayanan kesehatan terlaksana

secara terintegrasi dengan sistem pembiayaan yang mempunyai lima

elemen (Juanita, 2002), yaitu:

a) Penyelenggaraan pelayanan oleh provider

tertentu

b) Memiliki kriteria khusus untuk penetapan

provider

c) Memiliki program pengawasan mutu dan manajemen

utilisasi

d) Penekanan pada upaya promotif dan preventif

e) Adanya financial insentive bagi peserta yang melaksanakan

pelayanan sesuai prosedur.

Menurut International Foundation of Employee Benefit

Plans (2003), managed care merupakan pengaturan

perawatan/pelayanan kesehatan yang mencakup strategi biaya,

alokasi risiko antara proses asuransi, penyedia dan pengusaha, serta

klaim administrasi dan pelaporan. Tujuan dari pengaturan ini adalah

untuk membantu masyarakat atau sekelompok orang untuk

memenuhi kebutuhan dalam pelayanan kesehatan.

Menurut WHO (2000), managed care adalah suatu sistem yang

mencoba mengintegrasikan antara pembiayaan dan pemberian

pelayanan kesehatan yang sesuai bagi anggotannya. Managed care

merupakan pendekatan komprehensif yang melibatkan perencanaan,

pendidikan, pemantauan, koordinasi, pengendalian kualitas, akses,

pembiayaan, serta kontrol pemanfaatan terlibat.

Menurut (Henny, 2007) Managed care adalah suatu sistem

pembiayaan pelayanan kesehatan yang disusun berdasarkan jumlah


anggota yang terdaftar dengan kontrol mulai dari perencanaan

pelayanan serta meliputi ketentuan :

a. Ada kontrak dengan penyelenggara pelayanan kesehatan

untuk pelayanan yang komprehensif

b. Penekanan agar peserta tetap sehat sehingga utilitasi

berkurang

c. Unit layanan harus memenuhi standar yang telah

ditetapkan

d. Ada program peningkatan mutu pelayanan.

Perlu dikembangkannya asuransi kesehatan nasional dengan

managed care sebagai bentuk operasional dengan cakupan asuransi

yang akan semakin luas maka diperlukan juga jaringan pelayanan yang

semakin luas pula. Akan semakin banyak tuntutan terhadap pelayanan

yang berkualitas baik terhadap penyelenggaraan asuransi kesehatan

maupun penyelenggaraan pelayanan kesehatan. Adapun factor-faktor

utama dalam managed care yaitu:

1. Mengelola pembiayaan dan pemberian jasa pelayanan kesehatan

2. Menggunakan teknik kendali biaya

3. Membagi risiko keuangan antara provider dan badan asuransi

Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa secara garis

besar pengertian managed care adalah suatu sistem penyelenggaraan

pelayanan kesehatan yang menyelaraskan kendali mutu dan kendali

biaya kesehatan untuk memberikan pelayanan kesehatan yang efektif

dan efisien.

5. Ciri-ciri managed care

Managed care mempunyai ciri sebagai berikut:

a. Adanya kerjasama antara pemberi layanan jasa kesehatan


(provider) dan lembaga penyelenggara asuransi.

b. Monitoring dan kontrol pelayanan yang diberikan.

c. Adanya pembatasan Penyelenggara Pelayanan Kesehatan

(PPK) atau Provider.

d. Menciptakan layanan kesehatan yang sesuai dengan

standar yang ditetapkan.

e. Menekankan pada pemeliharaan peserta untuk mengurangi

utilitas pelayanan.

f. Adanya program peningkatan mutu dan Utilization Review (UR).

g. sistem reimbursement yang membuat pelayanan kesehatan

(dokter, puskesmas, rumah sakit, dll) dapat

mempertanggungjawabkan biaya dan kualitas layanan kesehatan.

6. Bentuk managed care

Managed care terdiri dari 3 bentuk yaitu, Health Maintenance

Organization (HMO), Preferred Provider Organization (PPO), dan Point

of Servie (POS).

a. Health Maintenance Organization (HMO)

HMI merupakan suatu bentuk managed care yang mempunyai

ciri sebagai berikut :

1. Pembayaran premi didasarkan pada perhitungan kapitasi.

Kapitasi adalah pembayaran terhadap penyelenggara

pelayanan kesehatan berdasarkan jumlah sasaran anggota,

biasanya didasarkan atas konsep wilayah dan bukan

berdasarkan jumlah pelayanan yang diberikan.

2. Terikat pada lokasi tertentu.

3. Pembayaran out of pocket sangat minimal.

4. Mempunyai dua bentuk HMO, yaitu HMO merupakan badan


penyelenggara merangkap sebagai penyelenggara pelayanan

kesehatan sehingga control lebih baik dan mengurangi utilisasi

yang berlebihan. Kedua, HMO mengontrol penyelenggara

pelayanan kesehatan.

5. Pilihan provider/penyelenggara pelayanan kesehatan adalah

terbatas, diperlukan waktu untuk menukar provider.

6. Ada pembagian risiko dengan provider/pemnyelenggara

pelayanan kesehatan.

7. Kendali biaya dan pemanfaatan tinggi.

8. Ada kemungkinan mutu pelayanan rendah.

Beberapa tipe HMO adalah :

a) Staff-model, dimana dokter secara langsung menjadi

pegawai HMO dan diberikan imbalan dengan system gaji.

b) Group-model, dimana HMO mengontrak dokter secara

kelompok dan biasanya didasarkan atas kapitasi.

c) Network-model, dimana HMO mengontrak lebih dari

satu grup dokter.

d) Individual Practice Assosiation (IPA), dimana HMO

mengontrak sejumlah dokter dari beberapa jenis praktik

dan biasanya didasarkan

pada fee for service

b. Preferred Provider Organization (PPO), dan Point of Servie

(POS)

Merupakan bentuk managed care yang memberikan jaminan

pilihan PPK yang lebih luas kepada konsumen yaitu provider

yang termasuk dalam jaringan dan provider yang tidak termasuk

dalam jaringan pelayanan sehingga harus dibayar penuh. Ciri-


ciri dari PPO dan POS adalah sebagai berikut :

a) Pelayanan bersifat

komprehensif.

b) Kebebasan memilih PPK.

c) Isentif untuk menggunakan

PP murah.

d) Pembayaran PPK berdasarkan fee for service dengan

potongan harga.

e) Pengeluaran out of pocket

sedang.

f) Inflasi biaya relative masih

tinggi.

g) Ada kendali utilitas dan

mutu.

h) Tumbuh paling cepat.

Namun menurut Sulastomo (2000), konsep dasar bentuk-bentuk

Managed Care Organization dapat dikenali sebagai berikut :

1. HMO (Health Maintenance Organization) adalah sistem

pemeliharaan kesehatan yang terorganisir, yang bertanggung

jawab atas pembiayaan kesehatan (financing of healthcare) dan

pemberian pelayanan kesehatan (the delivery of care) yang

komprehensif, terhadap sekelompok masyarakat yang menjadi

pesertanya (enrolled population) dengan pembayaran pradana

praupaya (prepaid) dalam jumlah yang tetap (fixeed fee). Adapun

prototipe dari HMO yang sering diperkenalkan adalah Kaiser

Permanente Health Plant, dimana Kaiser Permanente Health Plan

memiliki jaringan pelayanan kesehatan yang lengkap (RS,


laboratorium, klinik, apotik, dan lain-lainnya), dengan dokter-dokter

bekerja purna waktu (staf model) serta pembayaran berdasarkan

berdasar kapitasi (capitation basis). Sekarang dikenal 7 (model)

HMO dengan berbagai variasi karakteristik yang berbeda terhadap

kepemilikan serta hubungan dengan jaringan PPK (Health

Providers), sistem pembiayaan (financing of healthcare) dan

sistem pemberian pelayanan kesehatan (the delivery care).

2. Preferred Providers Organization (PPO) adalah sebuah

lembaga/organisasi dari sekelompok profesi/dokter dan institusi

kesehatan yang menyelenggarakan perjanjian (contract

arrangment) dengan perusahaan/Perusahaan Asuransi

Kesehatan/HMO serta third party administration lainnya, pada

sekelompok peserta sesuai dengan biaya yang disepakati

bersama. Meskipun dokter-dokter tidak dalam posisi menanggung

risiko seluruh pembiayaan kesehatan, dokter-dokter dapat

memperoleh pembayaran atas dasar kapitasi, khususnya

apabila terikat pada IPA model (Independent Practice

Association). Peranan dari PPO dalam hubungan dengan pihak

ketiga, misalnya MCO, adalah menetapkan/memilih PPK,

negosiasi tarif pelayanan, melaksanakan program penjaga mutu

dan pemanfaatan pelayanan (utilization review). Meskipun

demikian, dalam perkembangannya PPO juga memungkinkan

peserta untuk memilih PPK lain dengan menerapkan prinsip cost

sharing.

3. Independent Practice Association (IPA) juga sering dikenal sebagai

Individual Practice Association adalah sekelompok dokter

(yang jumlahnya tidak besar) yang menyetujui untuk dapat


melayani sekelompok peserta MCO. IPA dapat dalam bentuk not

for profit maupun for profit organization, sekedar partnership dan

lain sebagainya. Peranan IPA sering sangat penting dalam

penyelenggaraan sebuah program MCO, baik dalam memberikan

pelayanan kesehatan maupun menetapkan biaya pelayanan

kesehatan, misalnya pelaksanaan konsep kapitasi adanya IPA,

MCO juga dapat memperoleh garansi dalam pengendalian mutu

pelayanan kesehatan (quality assurance programme) melalui

(misalnya) program peer review dan bahkan penggunaan

pelayanan kesehatan (utilization review).

4. Independent Practitioner Organization (IPO) adalah sebuah

organisasi yang dibentuk oleh kalangan profesi dan masyarakat

kedokteran untuk mengevaluasi kepersertaan mereka dalam

program MCO, tetapi lebih berperan dalam kepesertaan seorang

dokter dalam program MCO, tetapi lebih berperan sebagai

semacam clearing house bagi anggotanya untuk memperoleh

informasi tentang perkembangan MCO dan lain-lainya.

Dengan perkembangan sebagaimana yang dikemukakan

diatas, managed care sesungguhnya lebih merupakan suatu

pendekatan untuk mengendalikan biaya pelayanan kesehatan,

melalui berbagai upaya pengembangan sistem pelayanan dan

pembiayaan yang efisien dan effektif, untuk memperoleh

pelayanan kesehatan yang optimal dan bermutu.

7. Teknik-teknik managed care

Salah satu bentuk paling mendasar mengenai managed care

adalah Penyelenggara Pelayanan Kesehatan (PPK) untuk memberikan


perawatan dan pelayanan kesehatan kepada pasien. Sistem ini

dilakukan secara terpadu mencakup satu atau lebih terhadap hal

berikut ini:

a. Dokter dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya yang ditunjuk

sebagai Penyelenggara Pelayanan Kesehatan (PPK) bagi

pendaftar (pasien).

b. Standar yang jelas untuk memilih penyelenggara pelayanan

kesehatan.

c. Adanya program tinjauan pemanfaatan (utilization review) dan

program peningkatan kualitas.

d. Menekankan pada penanganan promotif dan preventif.

e. Adanya financial insentive untuk mendorong pasien

menggunakan pelayanan kesehatan secara efisien serta

Penyelenggara Pelayanan Kesehatan (PPK) dapat

mempertanggungjawabkan biaya dan kualitas layanan

kesehatannya.

Sebuah survei yang diterbitkan oleh America’s Health Insurance

pada tahun 2009 menyebutkan bahwa pasien yang tidak mendaftar

sebagai anggota pelayanan kesehatan terkadang dikenakan biaya

perawatan yang sangat tinggi dibandingkan yang telah mendaftar

sebagai anggota. Terdapat beberapa teknik managed care yang dapat

digunakan baik untuk program yang berbasis PPK dan yang bukan

berbasis PPK. Berikut adalah teknik-teknik managed care :

1. Care and Disesase Management (C/DM)

C/DM adalah sebuah sistem intervensi kesehatan yang

terkoordinasi diperuntukkan bagi pasien yang memerlukan upaya


perawatan diri (self- care) yang signifikan. Menurut Green

(2009), care management merupakan suatu rancangan program

kesehatan yang menangani pasien dengan kondisi kronis yang

dianggap beresiko tinggi akibat kombinasi dari berbagai

masalah kesehatan, sosial, dan fungsional. Sedangkan disease

management merupakan program yang mengelola pasien dengan

penyakit tertentu seperti diabetes atau hipertensi (Green, 2009).

Dari kedua pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa care and

disease management sangat cocok diperuntukkan bagi pasien

yang mengalami masalah penyakit kronis seperti diabetes,

gagal ginjal, gagal jantung, dan hipertensi.

Konsep dari C/DM adalah saling berbagi pengetahuan,

membangun pengetahuan, tanggung jawab dan rencana

perawatan dengan praktisi kesehatan atau kerabat dekat

(keluarga, teman, pengasuh). Agar program ini efektif, diperlukan

implementasi sistem secara menyeluruh dengan dukungan sosial

masyarakat, profesional klinis selaku penyedia pelayanan

kesehatan bersedia untuk bertindak sebagai mitra bagi pasien,

serta sumberdaya yang memadai.

Secara keseluruhan, program C/DM berpotensi untuk

mengurangi biaya perawatan kesehatan dengan mengurangi

penggunaan pelayanan medis yang tidak perlu. Selain itu program

C/DM telah mampu meningkatkan kesehatan dan kualitas

pelayanan kesehatan bagi penderita penyakit kronis dengan cara

mencegah atau meminimalkan efek dari penyakit melalui

peningkatan pengetahuan, keterampilan, mengontrol gaya hidup

untuk meminimalkan gejala penyakit, dan pemberian


perawatan yang integratif. Jadi, manfaat yang diperoleh pasien

dengan teknik care and disease management (C/DM) adalah

meskipun dengan biaya perawatan kesehatan yang minimal dan

masa perawatan yang singkat namun pasien akan memperoleh

hasil perawatan yang optimal.

2. Case management

Menurut Powell (1996) dalam tesis Kgasi (2010), case

management adalah proses mendapatkan layanan yang tepat

terhadap klien yang tepat. Artinya, sebuah proses kolaboratif yang

menilai, merencanakan, mengimplementasikan, mengkoordinasi,

memonitoring dan mengevaluasi pilihan dan layanan untuk

memenuhi kebutuhan dan peningkatan kesehatan individu

melalui komunikasi dan ketersediaan sumber daya. Proses

pelayanan kesehatan ini betujuan untuk memberikan kualitas

kesehatan dan meningkatkan kualitas hidup klien dengan biaya

yang minimal.

Case management mengembangkan sistem untuk

mengidentifikasi dan menangani kasus beresiko tinggi dan

berbiaya tinggi. Kasus beresiko tinggi yang ditangani dengan case

management adalah kanker, HIV/AIDS, insiden pembuluh darah

otak, transplantasi organ, luka bakar parah, kehamilan beresiko

tinggi, neonatus resiko tinggi, luka bakar parah, cedera tulang

belakang dan penyakit neuromuskular. Kasus beresiko tinggi ini

telah meningkatkan potensi komplikasi medis dan masa

perawatan di rumah sakit yang berkepanjangan sehingga

meningkatkan biaya perawatan.


B. Pengertian Budaya Organisasi Menurut Para Ahli

Kata budaya pertama kali dikemukakan oleh seorang antropologi

bernama Edward B. Tylor pada tahun 1871 yang menyatakan bahwa :

“Budaya adalah sekumpulan pengetahuan, keyakinan, seni, moral, hokum,

adat, kapabilitas, dan kebiasaan yang diperoleh oleh seseorang sebagai

anggota sebuah perkumpulan atau komunitas tertentu. Dalam sosiologi

budaya diterjemahkan sebagai kumpulan symbol, mitos,dan ritual yang

penting dalam memahami sebuah realitas sosial”.

Menurut Robbins (1996:289):

“Budaya organisasi adalah suatu persepsi bersama yang dianut oleh

anggota-anggota organisasi itu”.

Menurut pandangan Davis (1984):

“Budaya organisasi merupakan pola keyakinan dan nilai-nilai

organisasional yang dipahami, dijiwai dan dipraktikkan oleh organisasional

sehingga pola tersebut memberikan arti tersendiri dan menjadi dasar

berperilaku dalam organisasional”.

Menurut pandangan Schein (1992):

“Budaya organisasi sebagai suatu pola dari asumsi-asumsi dasar yang

ditemukan, diciptakan atau dikembangkan oleh suatu kelompok tertentu

dengan maksud agar organisasi belajar mengatasi atau menanggulangi

masalah-masalahyang timbul sebagai akibat adaptasi eksternal dan

integrasi internal yang sudah berjalan cukup baik. Sehingga perlu

diajarkan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang benar untuk

memahami, memikirkan dan merasakan berkenaan dengan masalah-

masalah tersebut”.

Kartono (1994 :138); mengatakan bahwa bentuk kebudayaan yang muncul

pada kelompok-kelompok kerja di perusahaan-perusahaan berasal dari


macam-macam sumber, antara lain : dari stratifikasi kelas sosial asal buruh –

buruh/pegawai, dari sumber-sumber teknis dan jenis pekerjaan, iklim psikologis

perusahaan sendiri yang diciptakan oleh majikan, para direktur dan manajer-

manajer yang melatarbelakangi iklim kultur buruh-buruh dalam kelom pok kecil-

kecil yang informal. Hidayat (2002); we were all born of human beings and

then grew up by social upbringing with culture environment. Since cultures

always process plural nation language, tradition and relegion are

indispensably diverse.

Lebih lanjut Wahab (2008: 297) menyatakan bahwa budaya

organisasi (termasuk sekolah) adalah “ Shared orientations that hold the

unit together and give together and give it a distinctive identity”. Hal

tersebut bisa diartikan sebagai Orientasi bersama yang memegang unit

bersama-sama dan memberikan bersama- sama dan memberikan

identitas yang berbeda. Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa dalam

budaya yang kuat, keyakinan dan nilai dipegang teguh, dibagi luas dan

menjadi perilaku organisasi. Budaya dimanivestasikan dalam norma-

norma, nilai yang dibagikan dan asumsi-asumsi dasar dengan tingkat

kedalaman dan abstraksi yang berbeda.

Dari berbagai definisi tersebut di atas pada prinsipnya budaya

organisasi merupakan nilai, anggapan, asumsi, sikap dan norma perilaku

yang telah melembaga kemudian terwujud dalam penampilan, sikap dan

tindakan sehingga menjadi identitas dari organisasi tertentu.

Budaya organisasi mengarah pada kualitas lingkungan internal

organisasi yang dialami orang yang berada di dalamnya. Budaya

organisasi sebagai keadaan lingkungan kerja yang dipersiapkan oleh para

anggotanya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dan


diasumsikan berpengaruh terhadap motivasi serta perilaku anggotanya.

Budaya organisasi biasanya tidak tertulis tetapi keberadaannya

sangat menentukan kehidupan organisasi. Budaya berhubungan erat

dengan kekuasaan dalam membentuk sistem nilai organisasi. Kekuasaan

dan budaya organisasi mencakup faktor manusia, yakni non rasionalitas,

kepentingan yang beragam, koalisi dominan, keuasaan dan otoritas serta

keyakinan, tata nilai dan persepsi umum yang berteman.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa yang

dimaksud dengan budaya organisasi adalah suatu keadaan yang berlaku

dalam lingkungan kerja yang mengatur anggotanya untuk taat terhadap

segenap nilai, norma dan aturan yang sudah ditetapkan dalam rangka

mewujudkan tujuan organisasi.

1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Budaya Organisasi

Budaya organisasi mempunyai pengertian sebagai aturan main

yang ada didalam perusahaan yang akan menjadi pegangan dari

“masyarakat organisasi” dalam menjalankan kewajibannya dan

nilai-nilai untuk berperilaku didalam organisasi tersebut.

Budaya organisasi dapat dibangun melalui berbagai macam

sumber, baik dari internal maupun eksternal organisasi. Dapat pula

karena ditanamkan oleh pendiri, pengalaman yang dibawa oleh para

pemimpin berikutnya, maupun sumber daya manuasia lain yang

dibawa masuk dalam ke dalam orgasisasi.

Vecchio (Wibowo, 2010:65) mengidentifikasi adanya empat

faktor yang dapat mempengaruhi budaya organisasi, yaitu:

1) Keyakinan dan nilai-nilai pendiri organisasi dapat menjadi

pengaruh kuat pada penciptaan budaya organisasi.


2) Norma sosial organisasi juga dapat memainkan peran

dalam menentukan budaya organisasi.

3) Masalah adaptasi eksternal dan sikap terhadap

kelangsungan hidup merupakan tantangan bagi

organisasi yang harus dihadapi anggotanya

melalui penciptaan budaya organisasi.

4) Masalah integrasi internal dapat mengarahkan pada

pembentukan budaya organisasi.

Dari pandangan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa

sumber budaya organisasi terutama berasal dari keyakinan, nilai-nilai,

norma-norma, adaptasi dan integrasi internal. Keempat sumber budaya

organisasi ini sangat berpengaruh kuat terhadap pembentukan dan

penciptaan organisasi sehingga harus dapat dipertahankan dan

dikembangkan secara maksimal.

Sementara itu, menurut Baron (Wibowo, 2010:65) ada tiga

sumber yang dapat menciptakan budaya organisasi, yaitu:

1) Company founder (pendiri perusahaan).

2) Experimence with the environment (pengalaman dengan

lingkungan).

3) Contach with others (kontak dengan orang lain).

Dari pandangan diatas dapat disimpulkan bahwa sumber

budaya organisasi terutama berasal dari pendiri organisasi yang

memiliki kemampuan dasar pengalaman melakukan adaptasi dan

integrasi dengan lingkungan internal dan eksternalnya.

C. Pengertian dan Ruang Lingkup Kinerja

Akhir-akhir ini kinerja telah menjadi terminologi atau konsep yang


sering dipakai orang dalam berbagai pembahasan dan pembicaraan,

khususnya dalam kerangka mendorong keberhasilan organisasi atau

sumber daya manusia. Terlebih, saat ini organisasi dihadapkan pada

tantangan kompetisi yang tinggi, era kompetisi pasar global, kemajuan

teknologi informasi, mauun tuntutan pelanggan atau pengguna jasa

layanan yang semakin kritis.

Bahkan, kinerja akan selalu menjadi isu aktual dalam organisasi karena

apapun organisasinya kinerja merupakan pertanyaan kunci terhadap

efektivitas atau keberhasilan organisasi. Organisasi yang berhasil dan

efektif merupakan organisasi dengan individu yang didalamnya memiliki

kinerja yang baik.

Konsep kinerja pada dasarnya merupakan perubahan atau pergeseran

paradigma dari konsep produktivitas. Pada awalnya, orang sering kali

menggunakan istilah produktivitas untuk menyatakan kemampuan

seseorang atau organisasi dalam mencapai tujuan atas sasaran tertentu.

Menurut Andersen (1995), paradigma produktivtas yang baru adalah

paradigma kinerja secara actual yang menurut pengukuran secara actual

keseluruhan kinerja organisasi, tidak hanya efisiensi atau dimensi fisik,

tetapi juga dimensi non fisik (intangible).

Terkait dengan konsep kinerja, Rummler dan Brache (1995)

mengemukakan adal 3 (tiga) level kinerja, yaitu :

1. Kinerja organisasi merupakan pencapaian hasil (outcome) pada level

atau unit analisis organisasi. Kinerja pada level organisasi ini terkait

dengan tujuan organisasi, rancangan organisasi dan manajemen

organisasi.

2. Kinerja proses merupakan kinerja pada proses tahapan dalam

menghasilkan produk atau pelayanan. Kinerja pada level proses ini


dipengaruhi oleh tujuan proses, rancangan proses dan manajemen

proses.

3. Kinerja individu/pekerjaan merupakan pencapaian atau efektivitas

pada tingkat pegawai atau pekerjaan. Kinerja pada level ini dipengaruhi

oleh tujuan, rancangan pekerjaan dan manajemen pekerjaan serta

karakteristik individu.

Dalam berbagai literatur, pengertian tentang kinerja sangat beragam.

Akan tetapi, dari berbagai perbedaan pengertian, dapat dikategorikan

dalam dua garis besar pengertian dibawah ini :

1. Kinerja merujuk pengertian sebagai hasil. Dalam konteks hasil,

Bernardin (2001, 143) menyatakan bahwa kinerja merupakan catatan

hasil yang diproduksi (dihasilkan) atas fungsi pekerjaan tertentu atau

aktivitas-aktivitas selama periode waktu tertentu.

2. Kinerja merujuk pngertian sebagai perilaku. Terkait dengan kinerja

sebagai perilaku, Murphy, 1990 (dalam Ricard, 2002) menyatakan

bahwa kinerja merupakan seperangkat perilaku yang relevan dengan

tujuan organisasi atau unit organisasi tampat orang bekerja. Dalam

pengertian ini, kinerja mencakup tindakan-tindakan dan perilaku yang

relevan dengan tujuan organisasi. Kinerja bukan konsekuensi atau

hasil tindakan, tetapi tindakan itu sendiri (Campbell, 1993 dalam Ricard

2003).

a. Pendekatan Pengukuran Kinerja

Membicarakan kinerja akan selalu terkait dengan ukuran atau

standart kinerja. Untuk dapat melakukan pengukuran kinerja dengan

baik, banyak pakar atau ahli yang berpendapat tentang standar kinerja

yang dapat digunaka, tetapi kebanyakan pendapat bervariasi. Martin

dan Bartol (dalam Bohlander, dkk, 2001) menyatakan bahwa standar


kinerja seharusnya didasarkan pada pekerjaan, dikaitkan dengan

persyaratan yang dijabarkan dari analisis pekerjaan dan tercermin

dalam deskripsi pekerjaan dan spesifikasi pekerjaan.

Terkait dengan ukuran dan standar kinerja, David Devries dkk,

(1981) menyatakan bahwa dalam melakukan pengukuran kinerja ada

3 (tiga) pendekatan, yaitu :

1. Pendekatan personality trait, yaitu dengan mengukur umpan balik,

kepemimpinan, inisiatif dan sikap

2. Pendekatan perilaku, yaitu dengan mengukur umpan balik,

kemampuan presentasi, respond terhadap complain pelanggan

3. Pendekatan hasil, yaitu dengan mengukur kemampuan produksi,

kemampuan menyelesaikan produk

Menurut Dick Grote (1996) dalam bukunya The Complete Guide to

Performance Appraisal menyatakan bahwa dalam pengukuran atau

penilaian kinerja ada tiga pendekatan, yaitu :

1. Penilaian atau pengukuran kinerja berbasis pelaku

2. Penilaian atau pengukuran kinerja berbasis perilaku

3. Penilaian atau pengukuran kinerja berbasis hasil

Dari berbagai pendapat ahli tersebut, standar pengukuran kinerja

dapat dilakukan dengan mengukur 4 hal, yaitu :

1. Pengukuran kinerja dikaitkan dengan mengukur pekerjaan, uraian

pekerjaan

2. Pengukuran kinerja dilakukan dengan mengukur sifat/karakter

pribadi (traits)

3. Pengukuran kinerja dilakukan dengan mengukur hasil dari

pekerjaan yang dicapai

4. Pengukuran kinerja dilakukan dengan mengukur perilaku atau


tindakan-tindakan dalam mencapai hasil

b. Dimensi Kinerja

Dimensi atau indicator kinerja merupakan aspek-aspek yang

menjadi ukuran dalam menilai kinerja. Ukuran-ukuran dijadikan tolak

ukur dalam menilai kinerja. Adapun survey literatur mengenai dimensi

atau indicator yang menjadi ukuran kinerja adalah sebagai berikut :

John Miner (1998), mengemukakan 4 dimensi yang dapat

dijadikan sebagai tolok ukur dalam menilai kinerja, yaitu :

1. Kualitas, yaitu tingkat kesalahan, kerusakan, kecermatan

2. Kuantitas, yaitu jumah pekerjaan yang dihasilkan

3. Penggunaan waktu dalam bekerja, yaitu tingkat ketikdakhadiran,

keterlambatan, waktu kerja efektif atau jam kerja yang hilang

4. Kerja sama dengan orang lain dalam bekerja

Bernardin (2001) menyampaikan ada 6 kriteria dasar atau dimensi

untuk mengukur kinerja, yaitu :

1. Quality terkait dengan prose atau hasil mendekati sempurna/ideal

dalam memenuhi maksud dan tujuan

2. Quantity terkait dengan satuan jumlah atau kuantitas yang

dihasilkan

3. Timeliness terkait dengan waktu yang diperlukan dalam

menyelesaikan aktivitas atau menghasilkan produk

4. Cost-effectiveness terkait dengan tingkat penggunaan sumber-

sumber organisasi (orang,uang,material,teknologi) dalam

mendapatkan atau memperoleh hasil atau pengurangan

pemborosan dalam penggunaan sumber-sumber organisasi

5. Need for supervision terkait dengan kemampuan individu dapat

menyelesaikan pekerjaan atau fungsi-fungsi pekerjaan tanpa


asistensi pimpinan atau intervensi pengawasan pimpinan

6. Interpersonal impact terkait dengan kemampuan individu dalam

meningkatkan perasaan harga diri, keinginan baik dan kerjasama

diantara sesame pekerja dan anak buah

Dwiyanto (2002) mengemukakan terdapat 5 indikator untuk

mengukur kinerja organisasi, yaitu :

1. Produktivitas, dengan mengukur tingkat efisiensi, efektifitas

pelayanan dan tingkat pelayanan public dalam rangka mencapai

hasil yang diharapkan

2. Kualitas layanan, dengan mengukur kepuasan masyarakat

terhadap layanan yang diberikan

3. Responsitas, dengan mengukur kemampuan organsasi untuk

mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas

pelayanan dan mengembangkan program-program pelayanan

public sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat

4. Responsibilitas, menjelaskan atau mengukur kesesuianan

pelaksanaan kegiatan organisasi public yang dilakukan dengan

prinsip-prinsip administrasi yang benar atau sesuai dengan

kebijakan organisasi

5. Akuntabilitas, seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi

public tunduk pada para pejabat politik yang dipilih oleh rakyat atau

ukuran yang menunjukkan tingkat kesesuaian penyelenggaraan

pelayanan dengan ukuran nilai-nilai atau norma eksternal yang

ada dimasyarakat atau yang dimiliki para stakeholder

D. Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM)

1. Pergeseran paradigma manajemen Sumber Daya Manusia

Pergeseran dalam memandang sumber daya manusia (SDM)


telah terjadi dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini. Pada

awalnya, sumber daya manusia tak lebih dari factor produksi yang

lain, sementara kini sumber daya manusia dipandang sebagai factor

strategis dan sangat menentukan dalam merealisasikan visi dan misi

organisasi disbanding dengan factor yang lain. Pergeseran itu

menimbulkan konsekuensi perubahan atau pergeseran dalam

perspektif pemikiran maupun praktik pengelolaan sumber daya

manusia, baik itu di lingkungan organisasi public maupun organisasi

bisnis. Pada awalnya, sumber daya manusia menggunakan

terminologi personalia, administrasi kepegawaian (AK), atau

manajemen personalia (MP). Kemudian, berubah menjadi

terminology Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM).

Dalam paradigma yang baru (MSDM), divisi SDM memiliki

kontribusi dalam menentukan masa depan organisasi melalui

orientasi fungsional, bukan lagi pengawasan, pengarahan dan

pengendalian saja tetapi sudah mencakup pengembangan,

kreatikvitas, fleksibilitas dan manajemen proaktif (Bowen dkk, dalam

Setyawan). Inti dari pembahasan MSDM adalah memberdayakan,

mengembangkan, mempertahankan SDM dalam organisasi agar

mampu memberikan kontribusi secara optimal terhadap pencapaian

tujuan organisasi berdasarkan keahlian, pengetahuan dan

kemampuan yang dimiliki.

Pergeseran paradigma dari administrasi atau manajemen

personalia ke arah manajemen sumber daya manusia akan terlihat

dari pola kerja. Pola kerja pada paradigma lama pengelolaan SDM

cenderung reaktif, ruang lingkup teknis administrasi yang terkesan

terpisah dengan satuan lini maupun tujuan organisasi, hubungannya


bersifat topdown dan iklim kerja atau budaya organisasi kurang

mendapatkan perhatian penting. Pada paradigma baru pengelolaan

SDM bersifat proaktif, ada keterkaitan dengan satuan lini maupun visi

dan misi organisasi, hubungan bersifat mitra dan memerhatikan iklim

kerja yang kondusif guna produktifitas kerja.

Dari ilustrasi pergeseran paradigma manajemen sumber daya

manusia tersebut, dua hal yang sangat penting untuk dilakukan

organisasi adalah sebagai berikut :

a. Menempatkan peran manajemen sumber daya manusia secara

tepat

b. Memfungsikan manajemen sumber daya manusia secara optimal

sesuai dengan nilai strategisnya

Peranan manajemen sumber daya manusia akan sangat

menentukan terhadap keberhasilan atau kegagalan organisasi dalam

mencapai tujuan. Suatu organisasi apabila peranan manajemen

sumber daya manusianya tidak optimal, kontribusi pegawai terhadap

pegawai terhadap keberhasilan organisasinya juga tidak akan

optimal. Walaupun potensi sumber daya manusia yang dimiliki

organisasi sangat berkualitas, tetapi apabila tidak ada pemberdayaan

secara optimal, kontribusi tehadap pencapaian tujuan organisasi juga

akan jauh dari harapan. Oleh karena itu, kelembagaan atau unit

organisasi yang membidangi manajemen sumber daya manusia

untuk setiap organisasi menjadi sangat penting bagi keberlangsungan

organisasi.

2. Aspek strategis yang berkontribusi terhadap kinerja sumber daya

manusia

Banyak faktor yang menyebabkan sumber daya manusia


memiliki kinerja yang unggul sehingga mampu mendorong

keberhasilan organisasi. Aspek strategis sumber daya manusia agar

dapat memberikan kontribusi yang maksimal terhadap keberhasilan

organisasi adalah sebagai berikut :

a. Aspek kompetensi

Menurut Lyle Spencer & Signe Spencer (1993), karakteristik

dasar kompetensi memiliki hubungan kausal atau sebab akibat

dengan kriteria yang dijadikan acuan efektif atau berperformansi

superior ditempat kerja atau situasi tertentu. Kompetensi sebagai

atribut kualitas sumber daya manusia berpengaruh signifikan

terhadap kinerja individu.

b. Aspek Budaya Organisasi

Budaya organisasi memiliki kontribusi yang menentukan

dalam membentuk perilaku pegawai. Budaya organisasi

merupakan nilai, sikap-sikap yang telah diyakini pegawai

sehingga telah menjadi perilaku pegawai dalam keseharian.

Budaya organisasi akan mempengaruhi anggota organisasi

dalam mencapai tujuan organisasi.

Menurut Robbin (2003), budaya organisasi terbentuk dari

persepsi subjektif anggota organisasi tehadap nilai-nilaik inovasi,

toleransi resiko, tekanan pada tim dan dukungan orang. Persepsi

keseluruhan itu akan membentuk budaya atau kepribadian

organisasi. Selanjutnya, budaya organisasi akan mempengaruhi

kinerja dan kepuasan karyawan, baik mendukung atau tidak

mendukung.
c. Aspek system penghargaan (reward system)

Sistem penghargaan terkait dengan cara organisasi

memberikan pengakuan dan imbalan kepada pegawai dalam

kerangka menjaga keselarasan antara kebutuhan individu

dengan tujuan organisasi.

Edward Lawyer (1991) mengidentifikasikan bahwa system

penghargaan memiliki 6 dampak atau pengaruh terhadap

efektifiktas organisasi, yang mencakup; daya tarik dan hak

memiliki, motivasi kinerja pegawai, motivasi pengembangan

keterampilan, pengaruh budaya, memperkuat kembali struktur

dan biaya. Dengan diberikan penghargaan, baik berupa finansial

maupun non finansial pegawai cenderung memiliki harapan

(ekspektasi) untuk memperoleh penghargaan tersebut. Oleh

karenanya, bentuk penghargaan sedapat mungkin membuat

orang tertarik dan mendorong untuk mencapainya. Jarak waktu

pemberian penghargaan yang terlalu lama dari aktivitas

pekerjaan dapat menyebabkan penghargaan menjadi tidak

efektif.

E. Teori Pengetahuan

Definisi

Pengetahuan merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang

melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi

melalui pancaindra manusia yakni : penglihatan, pendengaran, penciuman,

rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui

mata dan telinga (Notoadmodjo, 2003 : 121).


Pengetahuan (knowledge) adalah suatu proses dengan menggunakan

pancaindra yang dilakukan seseorang terhadap objek tetentu dapat

menghasilkan pengetahuan dan keterampilan (Hidayat, 2007).

Pengetahuan seseorang biasanya diperoleh dari pengalaman yang

berasal dari berbagai macam sumber seperti media poster, kerabat dekat,

media massa, media elektronik, buku petunjuk, petugas kesehatan, dan

sebagainya. Pengetahuan dapat membentuk keyakinan tertentu, sehingga

seseorang berperilaku sesuai dengan keyakinannya tersebut (Istiari,

2000). Pengetahuan adalah sesuatu yang diketahui berkaitan dengan

proses pembelajaran (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005).

1. Jenis pengetahuan

Pemahaman masyarakat mengenai pengetahuan dalam konteks

kesehatan sangat beraneka ragam. Pengetahuan merupakan bagian

perilaku kesehatan. Jenis pengetahuan di antaranya sebagai berikut :

a. Pengetahuan implisit

Pengetahuan implisit adalah pengetahuan yang masih tertanam

dalam bentuk pengalaman seseorang yang berisi faktor-faktor yang

bersifat nyata, seperti keyakinan pribadi perspektif, dan prinsip.

Pengetahuan seseorang biasanya sulit ditransfer ke orang lain baik

secara tertulis ataupun lisan. Pengetahuan implisit sering kali berisi

kebiasaan dan budaya bahkan bisa tidak disadari. Contoh

sederhana: seseorang yang telah mengetahui tentang bahaya

merokok bagi kesehatan, namun ternyata dia merokok.

b. Pengetahuan eksplisit

Pengetahuan ekspilisit adalah pengetahuan yang telah

didokumentasikan atau disimpan dalam wujud nyata, bisa dalam


wujud perilaku kesehatan. Pengetahuan nyata dideskripsikan

dalam tindakan-tindakan yang berhubungan dengan kesehatan.

Contoh sederhana: seseorang yang telah mengetahui tentang

bahaya merokok bagi kesehatan dan ternyata dia tidak merokok.

2. Cara Mendapatkan Pengetahuan

Dari berbagai macam cara yang telah digunakan untuk memperoleh

kebenaran, pengetahuan sepanjang sejarah, dapat dikelompokkan

menjadi dua, yakni :

a. Cara Tradisional

Cara-cara penemuan pengetahuan pada periode ini dilakukan

sebelu ditemukan metode ilmiah, yang meliputi :

1) Cara Coba Salah (Trial and Error)

Cara coba-coba ini dilakukan dengan menggunakan

kemungkinan tersebut tidak berhasil, dicoba kemungkinan

yang lain. Apabila tidak berhasil, maka akan dicoba

kemungkinan yang lain lagi sampai didapatkan hasil mencapai

kebenaran.

2) Cara Kekuasaan atau Otoritas

Dimana pengetahuan diperoleh berdasarkan pada otoritas

atau kekuasaan baik tradisi, otoritas pemerintahan, otoritas

pemimpin agama, maupun ahli ilmu pengetahuan.

3) Berdasarkan Pengalaman Pribadi

Hal ini dilakukan dengan cara mengulang kembali

pengalaman yang diperoleh dalam memecahkan

permasalahan yang dihadapi pada masa yang lalu. Apabila

dengan cara yang digunakan tersebut orang dapat


memecahkan masalah yang sama, orang dapat pula

menggunakan cara tersebut.

4) Melalui Jalan Pikiran

Dari sini manusia telah mampu menggunakan penalarannya

dalam memperoleh pengetahuannya. Dengan kata lain, dalam

memperoleh kebenaran pengetahuan, manusia telah

menggunakan jalan fikiran.

b. Cara Modern

Cara baru atau modern dalam memperoleh pengetahuan pada

dewasa ini lebih sistematis, logis, dan ilmiah. Cara ini disebut

metode ilmiah. (Notoadmodjo, 2005 : 11-14).

3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan

a. Umur

Umur adalah usia individu yang terhitung mulai saat dilahirkan

sampai saat beberapa tahun. Semakin cukup umur tingkat

kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam

berfikir dan bekerja dari segi kepercayaan masyarakat yang lebih

dewasa akan lebih percaya dari pada orang belum cukup tinggi

kedewasaannya. Hal ini sebagai akibat dari pengalaman jiwa

(Nursalam, 2001 : 25)

b. Pendidikan

Tingkat pendidikan berarti bimbingan yang diberikan oleh

seseorang terhadap perkembangan orang lain menuju ke arah

suatu cita-cita tertentu (Sarwono, 1992, yang dikutip Nursalam,

2001). Pendidikan adalah salah satu usaha untuk

mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di

luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. (Notoatmodjo, 1993).


Pendidikan mempengaruhi proses belajar, menurut IB Marta

(1997), makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah orang

tersebut untuk menerima informasi.

Pendidikan diklasifikasikan menjadi :

(a) Pendidikan tinggi: akademi/ PT

(b) Pendidikan menengah: SLTP/SLTA

(c) Pendidikan dasar : SD

Dengan pendidikan yang tinggi maka seseorang akan cenderung

untuk mendapatkan informasi baik dari orang lain maupun dari

media masa, sebaliknya tingkat pendidikan yang kurang akan

menghambat perkembangan dan sikap seseorang terhadap nilai-

nilai yang baru diperkenalkan (Koentjaraningrat, 1997, dikutip

Nursalam, 2001).

c. Pengalaman

Pengalaman merupakan guru yang terbaik (experient is the best

teacher), pepatah tersebut bisa diartikan bahwa pemngalaman

merupakan sumber pengetahuan, atau pengalaman itu

merupakan suatu cara untuk memperoleh suatu kebenaran

pengetahuan. Oleh sebab itu pengalaman pribadi pun dapat

dijadikan sebagai upaya untuk memperoleh pengetahuan. Hal ini

dilakukan dengan cara mengulang kembali pengetahuan yang

diperoleh dalam memecahkan persoalan yang dihadapi pada

masa lalu (Notoatmodjo, 2002 : 13)

F. Pengertian Sistem Casemix INACBG’s

Sistem casemix merupakan suatu sistem pengelompokan beberapa

diagnosis penyakit yang mempunyai gejala atau ciri yang sama serta

pemakaian sumber daya (biaya perawatan) yang sama dan prosedur atau
tindakan pelayanan di suatu rumah sakit kedalam grup-grup. Sistem

pembayaran pelayanan kesehatan diberikan secara paket, dimana

pembayaran atau biaya telah ditentukan sebelum pelayanan diberikan.

Sistem ini dikaitkan dengan pembiayaan dengan tujuan meningkatkan

mutu dan efektifitas pelayanan. Casemix merupakan penggabungan dari

komponen costing, coding, clinical pathway dan teknologi informasi.

Case Base Groups (CBG's), yaitu cara pembayaran perawatan pasien

berdasarkan diagnosis-diagnosis atau kasus-kasus yang relatif sama.

Sistem pembayaran pelayanan kesehatan yang berhubungan dengan

mutu, pemerataan dan jangkauan dalam pelayanan kesehatan yang

menjadi salah satu unsur pembiayaan pasien berbasis kasus campuran,

merupakan suatu cara meningkatkan standar pelayanan kesehatan rumah

sakit. Rumah Sakit akan mendapatkan pembayaran berdasarkan rata-rata

biaya yang dihabiskan untuk suatu kelompok diagnosis. Pengklasifikasian

setiap tahapan pelayanan kesehatan sejenis kedalam kelompok yang

mempunyai arti relatif sama. Setiap pasien yang dirawat di sebuah RS

diklasifikasikan ke dalam kelompok yang sejenis dengan gejala klinis yang

sama serta biaya perawatan yang relatif sama.

Sistem Casemix INA CBGs adalah suatu pengklasifikasian dari

episode perawatan pasien yang dirancang untuk menciptakan kelas-kelas

yang relative homogen dalam hal sumber daya yang digunakan dan

berisikan pasien2 dengan karakteristik klinik yang sejenis. Case Base

Groups (CBG's), yaitu cara pembayaran perawatan pasien berdasarkan

diagnosis-diagnosis atau kasus-kasus yang relatif sama. Rumah Sakit

akan mendapatkan pembayaran berdasarkan rata-rata biaya yang

dihabiskan oleh untuk suatu kelompok diagnosis. Pengklasifikasian setiap

tahapan pelayanan kesehatan sejenis kedalam kelompok yang


mempunyai arti relatif sama. Setiap pasien yang dirawat di sebuah rumah

sakit diklasifikasikan ke dalam kelompok yang sejenis dengan gejala klinis

yang sama serta biaya perawatan yang relatif sama.

INA CBGs merupakan kelanjutan dari aplikasi Indonesia Diagnosis

Related Groups (INA DRGs). Aplikasi INA CBGs menggantikan fungsi dari

aplikasi INA DRG yang saat itu digunakan pada Tahun 2008. Sistem yang

dijalankan dalam INA CBG menggunakan sistem casemix dari UNU-IIGH

(The United Nations University- International Institute for Global Health).

Dalam pembayaran menggunakan CBG's, baik Rumah Sakit maupun

pihak pembayar tidak lagi merinci tagihan berdasarkan rincian pelayanan

yang diberikan, melainkan hanya dengan menyampaikan diagnosis keluar

pasien dan kode DRG. Besarnya penggantian biaya untuk diagnosis

tersebut telah disepakati bersama antara provider atau asuransi yang

ditetapkan oleh pemerintah sebelumnya. Perkiraan waktu lama perawatan

(length of stay) yang akan dijalani oleh pasien juga sudah diperkirakan

sebelumnya disesuikan dengan jenis diagnosis maupun kasus

penyakitnya.

1. Sejarah Sistem Pembayaran INA CBGs di Indonesia

Pada awal mulanya, sistem pembayaran di Indonesia

menggunakan sistem Fee For Service, dimana pasien yang

melakukan perawatan di pelayanan di rumah sakit harus membayar

secara out of pocket dengan besaran tarif yang berbeda antara satu

rumah sakit dengan rumah sakit yang lain, walaupun hasil diagnosis

dan pelayanan yang didapatkan pasien sama. Hal tersebut

disebabkan karena tidak adanya standar baku yang berlaku secara

nasional untuk menghitung dan mengevaluasi pelayanan medis yang

harus dikenakan pada masyarakat, sehingga banyak institusi


pelayanan medis yang mengambil jalan pintas dengan menentukan

tarif pelayanan medis secara sembarangan.

Ketiadaan standar ini memang sangat merugikan konsumen

jasa pelayanan kesehatan, terlebih lagi bagi golongan masyarakat

miskin. Dibutuhkan sebuah solusi yang dapat menjamin ketersediaan

pelayanan kesehatan yang memadai, terjangkau, dan dapat dijadikan

sebagai sebuah standar tarif nasional. Sehingga pada saat itu

Indonesia menerapkan sistem pembayaran INA DRG (Indonesia

Diagnosis Related Group). INA DRG merupakan variasi dari sistem

casemix yang diterapkan di Amerika, sebuah sistem pembiayaan

pelayanan kesehatan berbasis kelompok penyakit yang homogen.

Sistem ini mulai dikenalkan pada tahun 2005 melalui Surat Keputusan

Menteri Kesehatan No. 1663/MENKES/SK/XII/2005 tentang ujicoba

penerapan Sistem Diagnostic Related Group di 15 Rumah Sakit di

Indonesia. kemudian sistem INA DRG mulai diimplementasikan

pada pembiayaan jaminan kesehatan masyarakat 2008 melalui SK

Menkes nomor 125/MENKES/SK/II/2008. Kemudian penggunaan

sistem INA DRG di Indonesia berakhir lisensinya pada tanggal

30 September 2010 dan digantikan dengan penggunaan sistem

INA CBG.

Penggantian penggunaan INA DRG menjadi INA CBG

dikarenakan ada beberapa kelemahan dai penggunaan sistem INA

DRG diantaranya, (1) sistem INA DRG hanya mencakup kasus-kasus

penyakit akut saja; (2) tarif tidak adekuat pada beberapa kasus seperti,

kasus sub akut dan kronik, prosedur khusus, MRI (Magnetic

Resonance Imaging), dan lain sebagainya.

Pada masa transisi antara INA DRG dan INA CBG yakni pada
tahun 2011, sistem yang digunakan masih menggunakan sistem

costing yang sama dengan INA DRG. Namun pada tahun yang

sama National Casemix Center Kementerian Kesehatan melihat

ketidakcocokan tarif INA CBGs bagi rumah sakit, kemudian

dilakukan evaluasi secara berkala dan menghasilkan tarif sesuai

dengan Kepmenkes Nomor 440 tahun 2012 tentang Penetapan Tarif

Rumah Sakit Berdasarkan Indonesia Case Based Groups (INA-

CBGs). Sampai tahun 2013, sistem INA CBG masih digunakan

dalam klaim program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas).

Dan pada era Jaminan Kesehatan Nasional, sistem INA CBGs masih

digunakan dengan terus dilakukan evaluasi tarif oleh NCC dan yang

kemudian ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan.

2. Manfaat Sistem Casemix INACBG’s

Manfaat yang dapat diperoleh dari penerapan kebijakan

program Casemix INA CBGs secara umum adalah secara Medis dan

Ekonomi. Dari segi medis, para klinisi dapat mengembangkan

perawatan pasien secara komprehensif, tetapi langsung kepada

penanganan penyakit yang diderita oleh pasien. Secara ekonomi,

dalam hal ini keuangan (costing) jadi lebih efisien dan efektif dalam

penganggaran biaya kesehatan.Sarana pelayanan kesehatan akan

mengitung dengan cermat dan teliti dalam penganggaranya. Menurut

Kementerian Kesehatan RI (2012), manfaat kebijakan program

Casemix INA CBGs adalah sebagai berikut:

a. Manfaat Bagi Pasien

1) Adanya kepastian dalam pelayanan dengan prioritas

pengobatan berdasarkan derajat keparahan


2) Dengan adanya batasan pada lama rawat (length of stay)

pasien mendapatkan perhatian lebih dalam tindakan medis dari

para petugas rumah sakit, karena berapapun lama rawat yang

dilakukan biayanya sudah ditentukan.

3) Pasien menerima kualitas pelayanan kesehatan yang lebih

baik.

4) Mengurangi pemeriksaan dan penggunaan alat medis yang

berlebihan oleh tenaga medis sehingga mengurangi resiko

yang dihadapi pasien

b. Manfaat Bagi Rumah Sakit

1) Rumah sakit mendapat pembiayaan berdasarkan kepada

beban kerja sebenarnya.

2) Dapat meningkatkan mutu & efisiensi pelayanan rumah sakit.

3) Bagi dokter atau klinisi dapat memberikan pengobatan yang

tepat untuk kualitas pelayanan lebih baik berdasarkan derajat

keparahan, meningkatkan komunikasi antar spesialisasi atau

multidisiplin ilmu agar perawatan dapat secara komprehensif

serta dapat memonitor QA (quality assessment) dengan cara

yang lebih objektif

4) Perencanaan budget anggaran pembiayaan dan belanja yang

lebih akurat.

5) Dapat untuk mengevaluasi kualitas pelayanan yang diberikan

oleh masing-masing klinisi.

6) Keadilan (equity) yang lebih baik dalam pengalokasian budget

anggaran.

7) Mendukung sistem perawatan pasien dengan menerapkan

Clinical Pathway.
c. Manfaat Bagi Penyandang Dana Pemerintah (Provider)

1) Dapat meningkatkan efisiensi dalam pengalokasian anggaran

pembiayaan kesehatan.

2) Dengan anggaran pembiayaan yang efisien, equity terhadap

masyarakat luas akan akan terjangkau.

3) Secara kualitas pelayanan yang diberikan akan lebih baik

sehingga meningkatkan kepuasan pasien dan provider atau

pemerintah.

4) Penghitungan tarif pelayanan lebih objektif dan berdasarkan

kepada biaya yang sebenarnya.

G. Clinical Pathway

Definition of Clinical Pathway : Multidisciplinary management tool based

on evidence-based practice for a specific group of patients with a

predictable clinical course, in which the different tasks (interventions) by the

professionals involved in the patient care are defined, optimized and

sequenced either by hour (ED), day (acute care) or visit (homecare).

Outcomes are tied to specific interventions.

Dengan konsep bisnis murni maka RS bergantung penuh pada uang

yang dibayarkan masyarakat atas jasa layanannya, semakin banyak

masyarakat (“payers”) yang datang mencari layanan maka semakin banyak

uang yang didapatkan dan semakin besar pula keuntungan yang diperoleh

RS atau pemilik RS. Sudah selayaknya bisnis dibidang RS mendapat

keuntungan agar dapat terus berjalan memberikan layanan kepada

masyarakat, tetapi upaya mendapatkan keuntungan hendaknya dilakukan

secara wajar dan terhormat serta tetap memperhatikan mutu layanan.

Berbagai survey yang dilakukan oleh institusi pajak di sebagian negara

Eropa membuktikan bahwa peningkatan besaran tarif RS diatas batas


kewajaran, ternyata tidak memberikan perbedaan secara bermakna pada

take homepay dokter atau perawat serta tenaga fungsional kesehatan lain

yang bekerja di RS tersebut. Hal ini disebabkan mekanisme bagihasil yang

dipakai cenderung menguntungkan pemilik RS, besaran nilai pajak yang

dikenakan terhadap penghasilan dokter, kecenderungan masyarakat

mencari RS yang sesuai dengan kemampuannya serta premi asuransi

profesi yang harus dibayar oleh dokter dari risiko gugatan (merupakan

prasyarat yang harus dimiliki oleh dokter untuk dapat diterima bekerja di

RS). Dari beberapa survey lain ternyata disimpulkan pula bahwa

penguasaan ilmu dan keterampilan kedokteran, peningkatan mutu layanan

rumah sakit secara keseluruhan, dukungan teknologi kedokteran yang

dilaksanakan secara efektif dan efisien disertai dukungan kepercayaan dari

pasien terhadap dokter yang merawatnya ternyata berhasil dalam

meningkatkan jumlah kunjungan rawat jalan dan rawat inap, mengurangi

insidensi tuntutan hukum dan dapat menjadi RS yang disukai masyarakat

dan favorit. Hal tersebut diyakini merupakan kunci keberhasilan beberapa

RS terkenal di Eropa dan Amerika dalam meningkatkan kesejahteraan

umum di RS tersebut.

Di Indonesia ilustrasi diatas bukan hanya terjadi di RS Swasta ataupun

RS milik BUMN akan tetapi juga terjadi di RSUD ataupun RSD yang nota

bene adalah milik Pemerintah Daerah, kondisi ini disadari oleh Pemerintah,

sehingga pada tahun 1993 terbitlah Surat Keputusan Menteri Kesehatan

RI, Nomor 436 / Menkes / SK / VI / 1993 tentang berlakunya Standar

Pelayanan Rumah Sakit dan Standar Pelayanan Medis.

Menindaklanjuti permasalahan diatas, sejak beberapa tahun terakhir

Kementerian Kesehatan mulai memperkenalkan pendekatan yang diyakini

dapat mengatasi permasalahan tersebut melalui suatu “Sistem Pelayanan


Kesehatan Terkendali” yang efektif, efisien, berorientasi pada mutu,

dimana efektifitas dan cost containment dari layanan selalu mengacu pada

evidence based. Pendekatan ini dikenal dengan nama “Diagnosis Related

Groups (DRG’s) - Casemix”.

Konsep DRG’s Casemix pada dasarnya merupakan pengelompokkan

layanan medik rawat inap ke dalam suatu besaran biaya tertentu

berdasarkan diagnosis penyakit (“Bundling of services into one payment

rate based on diagnosis”). Disain konsep ini berbentuk format klasifikasi

kombinasi jenis penyakit, tindakan medis dan sumber daya real yang

digunakan dikaitkan dengan dengan besaran biaya. Konsep ini

merefleksikan efektivitas, efisiensi dan mutu layanan. Titik awal dari upaya

pemberlakukan DRG’s Casemix ialah dengan membuat suatu Clinical

Pathway penyakit / kasus.

Kelebihan lain yang dimiliki, konsep ini dapat juga digunakan sebagai

acuan dalam menghitung penggunaan sumber daya yang diperlukan

dalam penyediaan layanan kesehatan di rumah sakit, oleh karena itu

metode perhitungan alokasi dana dan upaya yang hanya didasarkan pada

jumlah tempat tidur, tanpa mempertimbangkan efektifitas dan efisiensi

layanan selayaknya sudah harus ditinggalkan.

Dalam sistem DRG’s-Casemix, yang menjadi perhatian adalah bauran

kasus, yaitu “Diagnosis Utama” penyakit serta “Komplikasi” yang mungkin

terjadi. Diagnosis utama menjadi dasar dalam menghitung biaya layanan,

karena perhitungan biaya selalu berfokus pada variabel tersebut. Sebagai

konsekuensinya RS tidak boleh lagi mencantumkan hal-hal yang tidak

seharusnya ada dalam pembayaran. Penggunaan konsep ini secara utuh

akan berdampak pada:


1. “Good Clinical Governance & Good Corporate Governance” tidak ada

pembayaran untuk hal yang tidak berhubungan atau tidak perlu,

sehingga biaya RS dapat ditekan. Masyarakat tidak akan merasa ditipu

karena harus membayar biaya di luar layanan yang seharusnya.

2. “Appropriate” semua aspek layanan dilakukan berkesesuaian dengan

tingkat keparahan, prinsip efektifitas & efisiensi dan bermutu.

3. ”Transparency” perhitungan biaya dilakukan secara mudah,

sederhana dan dapat dimengerti sekalipun oleh masyarakat awam,

sehingga memberi kepastian sekaligus transparansi pada masyarakat

sebagai pengguna jasa layanan.

a. Tatacara Pembuatan Clinical Pathway

Clinical Pathway dapat didefinisikan sebagai “Pendekatan

multidisplin yang berbasis waktu yang digunakan untuk membantu

pasien & dokter mencapai luaran positif yang diharapkan”

(Middleton dan Roberts, 1998).

Dalam membuat Clinical Pathway & DRG Casemix,

terdapat 14 variabel yang harus diinput dengan memperhatikan

kasus yang dihadapi. Ke 14 variabel tersebut adalah :

1. Identitas Pasien

2. Tanggal masuk rumah sakit

3. Tanggal keluar rumah sakit

4. Lama hari rawat

5. Tanggal lahir

6. Umur ketika masuk rumah sakit (satuan tahun)

7. Umur ketika masuk rumah sakit (satuan hari)

8. Umur ketika keluar dari rumah sakit (satuan hari)


9. Jenis kelamin

10. Status keluar rumah sakit (discharge disposition)

11. Berat badan baru lahir

12. Diagnosis utama

13. Diagnosis sekunder, seperti komplikasi dan komorbiditas

14. Prosedur atau pembedahan utama

b. Ciri dari Clinical Pathway

”Clinical Pathways document potential steps in the diagnosis and

treatment of a condition or procedure for individual patients.

These are predominantly management tools and are based on

clinical information developed in other guidelines or parameters.

They are specific to the institution using them”.

Aspek yang dicakup dalam Clinical Pathway dapat bervariasi

mulai dari:

1. Diagnosis,

2. Pemeriksaan penunjang,

3. Terapi dan rehabilitasi suatu penyakit.

Clinical Pathway digunakan sebagai perangkat tatakelola

kasus yang disesuaikan dengan bukti ilmiah yang terbaru dan

terbaik dan standar pelayanan medik berbasis bukti.

Tujuan penggunaan Clinical Pathway adalah sebagai berikut:

1. Mengurangi variasi dalam pelayanan medik,

2. Meramalkan lama tinggal di RS dan jumlah pemeriksaan,

3. Sebagai panduan bagi seluruh staf medik RS yang terlibat

dalam pemberian layanan kesehatan / kedokteran.


Meningkatkan kepuasan pasien dengan memberikan

edukasi tentang rencana perawatan pasien disamping

transparansi pembiayaan.

Model format suatu Clinical Pathway adalah dalam

bentuk tabel-waktu yang berisi kegiatan-kegiatan pelayanan

yang harus dijalani oleh seorang pasien. Petugas yang

terkait dengan pelayanan pasien akan merujuk ke daftar tilik

pasien dan memberikan catatan pada daftar tilik tersebut.

Segala bentuk varian yang muncul pada proses layanan

harus dicatat dan diberi penjelasan demi menyempurnakan

Clinical Pathway.

Sebuah Clinical Pathway pada umumnya ditunjang

dengan “algoritma tatakelola” dalam sebuah kerangka kerja

yang disusun berdasar kemungkinan skenario yang terjadi

pada pasien. Langkah pertama dalam pengembangan

Clinical Pathway adalah pemilihan topik Pathway. Pemilihan

topik Pathway haruslah suatu kasus yang:

1. Memiliki Insidensi yang tingi

2. Berbiaya relatif mahal

3. Ada variasi dalam pelaksanaan layanannya.

Proses pemilihan topik Clinical Pathway, pada umumnya

didahului dengan membuat suatu Analisis Situasi (misal Analisis

SWOT). Sebuah Clinical Pathway seyogyanya dikembangkan

oleh Tim Multidisiplin yang terlibat aktif dalam tatakelola pasien,

keterlibatan semua anggota tim dalam pengembangan sebuah


Clinical Pathway merupakan jaminan suksesnya penerapan

Clinical Pathway itu nantinya. Dalam rangka pengembangan

suatu Clinical Pathway perlu dicapai kesepakatan melalui

konsensus yang disepakati bersama oleh semua anggota tim,

sebab suatu konsensus diperlukan untuk mengurangi hambatan

dan resistensi dalam pelaksanaan Clinical Pathway.

Clinical Pathways (Care Pathways, Critical Pathways,

Integrated Care Pathways, Care Maps) are one of the main tools

used to manage the quality in healthcare concerning the

standardization of care processes. It has been proven that their

implementation reduces the variability in clinical practice and

improves outcomes. Clinical Pathways promote organized and

efficient patient care based on the evidence based practice.

Clinical Pathways optimize outcomes in the acute care and

homecare settings.

“Clinical Pathway” merupakan perangkat bantu untuk

penerapan Standar Pelayanan Medik / SPM (evidence based

clinical practice guideline)”, olehkarenanya langkah dalam

Clinical Pathway seyogyanya dapat juga dilakukan pada

sebagian besar pasien dan mampu menghasilkan luaran yang

diharapkan, berdasarkan pada konsep diatas maka Clinical

Pathway juga merupakan perangkat penunjang bagi

pemberlakuan SPM untuk mendorong praktek klinik berbasis

bukti. Kesimpulan dari pengamatan yang dilakukan pada

beberapa RS menunjukkan bahwa sampai saat ini penerapan

SPM masih belum sepenuhnya dapat dilakukan, untuk

mengatasi kesenjangan ini dapat dilakukan upaya


mengintegrasikan Clinical Pathway kedalam dokumen rekam

medis.

Selain sebagai perangkat bantu, Clinical Pathway juga

berfungsi sebagai perangkat koordinasi dan komunikasi bagi

semua petugas yang terlibat dalam tatakelola pasien.

Sebuah Clinical Pathway yang baik seyogyanya telah

mencakup 60%-80% populasi pasien, hal ini berarti bahwa

Clinical Pathway harus mampu mengantisipasi varians pada

20%-40% pasien. Sebuah Clinical Pathway haruslah bersifat

fleksibel untuk mengantisipasi perubahan kondisi klinis pasien

pada saat perawatan, dengan kata lain Clinical Pathway harus

mampu mengakomodasi munculnya variasi dalam

penerapannya. Beberapa langkah dalam Clinical Pathway bisa

saja tidak diambil bila kondisi pasien diyakini sudah sangat baik,

dan pada keadaan tertentu dapat dilakukan tindakan ekstra bila

kondisi klinis pasien tidak menunjukkan perbaikan atau bahkan

memburuk. Variasi yang muncul dalam aplikasi Clinical Pathway

harus dicatat dan digunakan sebagai bahan evaluasi dari untuk

meningkatkan kesempurnaan Clinical Pathway.


H. Kerangka Teori

BPJS KESEHATAN
RUMAH SAKIT

KINERJA
DOKTER

BUDAYA PENGETAHUAN
MANAGE CARE
KERJA DOKTER

COST CONTAINMENT

SISTEM
INA-CBGs

UTILITY REVIEW

PROSES/ALUR
KLAIM

EFISIENSI BIAYA
PELAYANAN
KESEHATAN

Gambar 2.1 Kerangka Teori

Anda mungkin juga menyukai