Anda di halaman 1dari 6

Menyamakan Persepsi Tentang EPISODE Dalam Pelayanan Peserta JKN Oleh BPJS

Kesehatan

Dalam pelayanan terhadap peserta JKN oleh BPJS Kesehatan di FKRTL atau Rumah Sakit,
dikenal istilah EPISODE. Namun ternyata dalam praktek di lapangan masih ditemukan
beberapa bias pemahanan tentang Episode ini. Sebuah RS mungkin masih menerjemahkan
secara berbeda dengan RS lain, bahkan (maaf) beberapa Kantor Cabang BPJS juga masih ada
yang mempraktekan agak berbeda dengan cabang lain, sehingga mengeluarkan beberapa
aturan atau kebijakan lokal kepada RS. Bagi masyarakat dan RS tentu saja ini cukup
membingungkan karena adanya pemahaman yang berbeda-beda. Bagi RS, Episode ini
penting karena menyangkut ke jumlah berkas atau jumlah kunjungan yang akan diklaim ke
BPJS sehingga terkait dengan pembayaran oleh BPJS kepada RS. Perlu dipahami bahwa
Episode ini sangat terkait dengan Surat Eligibilitas Peserta (SEP) atau semacam Surat
Jaminan Pelayanan (SJP) dulu saat era sebelum JKN.
I. DEFINISI EPISODE
Berdasarkan Permenkes Nomor 27 Tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Sistem INA CBG,
EPISODE adalah jangka waktu perawatan pasien mulai dari pasien masuk sampai pasien
keluar rumah sakit, termasuk konsultasi dan pemeriksaan dokter, pemeriksaan penunjang
maupun pemeriksaan lainnya. Pada sistem INA-CBG, hanya ada 2 episode yaitu episode
rawat jalan dan rawat inap.
Bagaimana dengan kasus emergency ? Kasus Emergency atau gawat darurat bisa dimasukkan
dalam episode rawat jalan sebagai Rawat Jalan Tingkat Lanjut (RJTL) jika pasien pulang
setelah mendapat pelayanan IGD ataupun bisa dimasukkan dalam episode rawat inap sebagai
Rawat Inap Tingkat Lanjut (RITL) jika pasien secara medis atas intruksi dokter harus
dilakukan rawat inap. Untuk episode rawat inap hampir tidak ada permasalahan pada
penafsiran karena memang sangat mudah dinilai satu episode rawat inap yaitu dari mulai
pasien masuk ruang rawatan sampai pulang. Namun untuk episode rawat jalan yang sangat
banyak varian nya di RS, ternyata masih berbeda-beda dalam menyikapi dan
mendefinisikannya.
A. Episode Rawat Jalan
Satu episode rawat jalan adalah satu rangkaian pertemuan konsultasi antara pasien dan dokter
serta pemeriksaan penunjang sesuai indikasi medis dan obat yang diberikan pada hari
pelayanan yang sama. Apabila pemeriksaaan penunjang tidak dapat dilakukan pada hari
yang sama maka tidak dihitung sebagai episode baru. Nah tentu saja kalau dibaca sampai
disini saja, maka saya yakin semua akan bergejolak, manajemen RS akan protes dan dokter
pasti protes karena terkait pembayaran jasa pelayanan juga.
Namun coba dibaca dan dipahami pada ketentuan berikutnya yang berbunyi Pasien yang
MEMBAWA HASIL pada HARI PELAYANAN YANG BERBEDA yang dilanjutkan

dengan KONSULTASI dan pemeriksaan penunjang lain sesuai indikasi medis, dianggap
sebagai EPISODE BARU.
Mari coba kita buatkan sebuah ilustarasi :
Pasien atas nama Ny. A usia 53 tahun dengan keluhan dan gejala yang mengarah ke DM Type
II dan dicurigai adanya Bronchopneumonia datang berkunjung ke Klinik Penyakit Dalam
sebuah RS.
-- Kunjungan pertama Ny. A ke klinik Penyakit Dalam dilakukan pada Hari Senin, 9 Maret
2015. Pada hari ini dilakukan pemeriksaan oleh dokter spesialis penyakit dalam kemudian
diberikan intruksi pemeriksaan laboratorium kimia darah dan rontgen dada. Pasien BELUM
diberi obat-obatan oleh dokter karena diagnosa pasti belum ditegakkan menunggu hasil
pemeriksaan penunjang. Pada hari ini pasien sudah mendapatkan 1 SEP dari BPJS Kesehatan
karena pasien melakukan registrasi di bagian pendaftaran pasien Rawat Jalan.
-- Kunjungan kedua Ny. A ke RS dilakukan pada Hari Selasa, 10 Maret 2015 dan langsung
menuju ke Laboratorium serta Radilogi TANPA harus registrasi lagi dan TANPA adanya SEP
lagi. Setelah selesai pemeriksaan, kemudian pasien pulang ke rumah dan diintruksikan untuk
mengambil hasil nya pada hari berikutnya yaitu Hari Rabu tanggal 11 Maret 2015. Satu
rangkaian ini SUDAH BISA disebut sebagai SATU EPISODE PENUH.
-- Kunjungan Ketiga Ny. A dilakukan pada Hari Rabu, 11 Maret 2015 dan langsung menuju
ke laboratorium dan radiologi untuk mengambil hasil-hasil pemeriksaan yang sudah
dilakukan pada hari sebelumnya. Setelah itu Ny. A menuju ruang registrasi untuk
mendaftarkan sebagai pasien rawat jalan dan mendapatkan SEP BARU lagi selain SEP yang
dia dapatkan pada hari senin. Ny. A kemudian membawa hasil-hasil pemeriksaan tadi ke
klinik penyakit dalam dan diserahkan ke dokter untuk dilihat lalu dokter menetapkan
diagnosa pasti dan memberikan RESEP obat-obatan yang harus dikonsumsi disertai beberapa
saran/nasihat termasuk juga perlu tidaknya kontrol ulang. Pasien kemudian menuju IFRS
untuk mengambil obat dan pulang. Nah ini disebut SATU EPISODE PENUH juga.
Jadi selama 3 hari atau 3 kali kunjungan ke RS, pasien mendapatkan DUA EPISODE
PENUH dan mendapatkan DUA SEP. Artinya RS dapat melakukan klaim ke BPJS untuk
pasien ini sebagai DUA KALI kunjungan.
Jikalau mau di ilustrasikan ke dalam nominal pembayaran, dipersilahkan bagi yang ingin
mencoba mengilustrasikan ke dalam tarif paket INA CBG. Saya tidak melakukan ilustrasi ke
tarif karena tentu saja harus membandingkan dengan tarif RS (real cost) yang sangat
bervariasi, juga perbedaan kelas RS yang mempengaruhi kepada besaran tarif INA CBG. Di
sini saya hanya berfokus pada JUMLAH EPISODE dan JUMLAH SEP yang tentu sangat
berpengaruh terhadap jumlah klaim ke BPJS.
Bagaimana jika pasien Ny. A tersebut dikonsultasikan ke klinik lain (misal ke klinik Neuro
atau Bedah atau klinik Pulmo) ?

Berdasarkan ketentuan maka berlaku bahwa pasien yang datang ke rumah sakit mendapatkan
pelayanan rawat jalan pada satu atau lebih klinik spesialis pada HARI YANG SAMA, terdiri
dari satu atau lebih diagnosis, dimana DIAGNOSIS satu dengan yang lain saling
BERHUBUNGAN atau TIDAK BERHUBUNGAN, dihitung sebagai SATU EPISODE.
Nah untuk kasus seperti ini, maka saya memiliki 2 catatan yaitu :
a). Perlu dilakukan evaluasi terhadap aturan ini untuk kasus diagnosa yang TIDAK
BERHUBUNGAN, menurut hemat saya meskipun dilakukan pada hari yang sama namun
mestinya menjadi EPISODE BARU dengan 1 SEP tersendiri. Kecuali jika memang
diagnosanya masih saling berhubungan maka saya sepakat untuk dianggap SATU EPISODE.
b). Jika memang terpaksa harus dilakukan konsultasi internak untuk diagnosa YANG
BERHUBUNGAN, mungkin bisa dipertimbangkan untuk dilakukan konsultasi internal pada
hari yang berbeda. Misalkan dokter penyakit dalam pada saat kunjungan pertama, selain
memberi intruksi untuk pemeriksaan penunjang juga menuliskan surat rujukan internal untuk
dibawa oleh pasien pada kunjungan kedua. Jadi pada kunjungan kedua, setelah pasien
diperiksa laboratorium dan radiologi maka pasien mendaftarkan (registrasi) ke klinik yang
dituju sesuai rujukan dokter penyakit dalam. Sehingga pasien mendapatkan SEP BARU lagi
dan dianggap SATU EPISODE tersendiri diluar rangkaian episode di klinik penyakit dalam.
Sehingga dalam kasus ini, Ny. A bisa mendapatkan minimal 3 SEP.
Namun secara pribadi saya lebih mendorong ke arah REVISI terkait aturan ini. Karena
meskipun dilakukan langkah seperti poin nomor 2 diatas, namun masih berpotensi untuk
ditolak oleh verifikator BPJS atau minimal membutuhkan argumentasi dan sedikit debat
memberikan penjelasan kepada verifikator BPJS.
Sebagai tambahan terdapat dua kondisi khusus yaitu :
a). Untuk pemeriksaan penunjang canggih dirawat jalan (seperti MRI dan CT Scan) TIDAK
menjadi episode baru karena termasuk dalam special CMG yaitu SPECIAL
INVESTIGATION.
b). Pasien datang kembali ke rumah sakit dalam KEADAAN DARURAT pada hari
pelayanan yang SAMA, maka dianggap sebagai EPISODE BARU.
Pertanyaannya, apakah di lapangan sesimple atau sesederahana seperti yang
diilustrasikan di atas ?? Jawabannya bisa iya bisa tidak. Sangat banyak varian di lapangan,
terkait kondisi, fasilitas dan sisdur sebuah RS. Sehingga diperlukan sebuah prosedur tetap
(SOP) dan alur pelayanan selain Standar Pelayanan Medis atau Protokol Terapi yang
ditetapkan oleh direktur RS.
Beberapa informasi yang diterima terkait episode rawat jalan, diantaranya :
1. Dalam seminggu tidak boleh ada lebih dari 2 kali kunjungan.
2. Pemeriksaan penunjang harus dilaksanakan pada hari yang sama.
3. Konsultasi internal harus dilakukan pada hari yang sama.

Maka jawaban saya cukup mengatakan bahwa jika semua Kantor Cabang BPJS menginduk
pada peraturan dan ketentuan yang sama, yaitu Permenkes, SE Menkes, Perdir BPJS, SE
Direktur Pelayanan BPJS maka semua informasi tadi TIDAK BENAR karena memang tidak
sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang berlaku. Apabila ada edaran BPJS setempat yang
bertentangan dengan aturan-aturan tersebut maka bisa dipertanyakan dan digugat ke Kantor
Cabang BPJS karena dalam hukum berlaku azas : LEX SUPERIOR DEROGAT LEGI
INFERIOR, artinya peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan aturan yang lebih rendah
dan berlaku asas hierarki.
B. Episode Rawat Inap
Episode rawat Inap adalah satu rangkaian pelayanan jika pasien mendapatkan perawatan > 6
JAM di rumah sakit ATAU jika pasien TELAH mendapatkan fasilitas rawat inap
(bangsal/ruang rawat inap dan/atau ruang perawatan intensif) walaupun lama perawatan
KURANG DARI 6 JAM, dan secara ADMINISTRASI telah menjadi pasien rawat inap.
Pasien yang masuk ke rawat inap sebagai kelanjutan dari proses perawatan di rawat jalan atau
gawat darurat, maka kasus tersebut termasuk satu episode rawat inap, dimana pelayanan yang
telah dilakukan di rawat jalan atau gawat darurat sudah termasuk didalamnya.
Timbul pertanyaan menarik, bagaimana jika pasien di IGD dan memerlukan rawat inap
namun karena keterbatasan fasilitas maka harus dirujuk ke RS lain padahal di IGD BELUM
sampai 6 Jam ? Menurut hemat saya, mencermati kalimat .........ATAU jika pasien TELAH
mendapatkan fasilitas rawat inap (bangsal/ruang rawat inap dan/atau ruang perawatan
intensif) walaupun lama perawatan KURANG DARI 6 JAM, dan secara ADMINISTRASI
telah menjadi pasien rawat inap maka meskipun pasien di IGD masih kurang dari 6 jam tapi
secara ADMINISTRASI sudah diregistrasikan sebagai pasien rawat inap maka tetap bisa
diklaim sebagai Rawat Inap Tingkat Lanjut (RITL). Intinya adalah jika secara administrasi
sudah didaftarkan (registrasi) rawat inap meskipun baru 1 jam namun ternyata harus dirujuk
maka tetap bisa diklaim sebagai rawat inap dan penjelasannya sangat bisa
dipertanggungjawabkan manakala ada pertanyaan dari verifikator BPJS.
B. Episode Khusus
Dulu saat era ASKES, ada ketentuan klaim untuk pelayanan Fisioterapi atau Rehabilitasi
Medik bisa diajukan SETELAH minimal pasien mendapatkan 3 (TIGA) kali pelayanan di
Instalasi Rehabilitasi Medik dan Kedokteran Fisik. Ketentuan ini menimbulkan pertentangan
dari rumah sakit, saya juga dulu bersuara cukup keras kepada PT. ASKES karena kenyataan
di lapangan banyak pasien yang BELUM 3 kali kunjungan tapi sudah tidak berkunjung lagi
karena berbagai sebab, ada yang karena merasa sudah sembuh, ada yang meninggal dunia,
ada yang pindah RS dan masih banyak lagi faktor penyebabnya. Sehingga RS tidak bisa
mengajukan klaim pelayanan fisioterapi ke PT. ASKES dan SJP banyak yang numpuk tidak
bisa dijadikan uang.

Begitu juga dengan pelayanan perawatan gigi yang bersifat serial dan harus dilakukan dalam
serangkaian waktu yang lebih dari satu hari. Dulu hanya boleh diklaimkan dalam satu SJP
setelah 1 rangkaian pelayanan perawatan gigi selesai, sehingga menimbulkan protes dari para
sejawat dokter gigi dan juga manajemen RS.
Belajar dari pengalaman tersebut, maka dalam pelayanan era JKN ini sudah diperbaiki dan
tidak lagi menganut sistem klaim tunggal untuk beberapa kali kunjungan atau pelayanan.
Ketentuan tersebut sebagaimana tercantum dalam Permenkes 27 Tahun 2014 yang berbunyi :
Dalam hal pelayanan berupa prosedur yang berkelanjutan di pelayanan rawat jalan seperti
radioterapi, kemoterapi, rehabilitasi medik dan pelayanan gigi, episode yang berlaku adalah
PER SATU KALI KUNJUNGAN.
Jadi sangat jelas bahwa pelayanan yang bersifat serial atau berkelanjutan tidak perlu
menunggu sekian kali kunjungan atau pelayanan baru bisa diklaim. Namun berlaku aturan
bahwa SETIAP KALI kunjungan maka akan TERBIT 1 SEP sehingga bisa diklaimkan. Ini
sebuah perubahan besar yang sangat positif bagi masyarakat di era JKN.

II. PENUTUP
Berdasarkan paparan tersebut diatas, khusus untuk pelayanan Rawat Jalan saya tidak
melakukan justifikasi bahwa RS akan untung atau rugi memberikan pelayanan peserta
JKN di Rawat Jalan, karena persoalan untung dan rugi itu bersifat variatif dan relatif
yang memerlukan perbandingan dengan tarif RS yang bersangkutan. Yang perlu dikaji lagi
apakah tarif RS sudah merupakan tarif yang sebenarnya ? Sudah sesuai dengan real unit
cost ? Jangan-jangan kita sudah merasa untung padahal tarif RS kita belum sesuai dengan
biaya faktual saat ini. Terutama di RS milik pemerintah, unit cost hanya menjadi salah satu
bahan pertimbangan dalam penentuan tarif karena adanya proses akhir yang disebut
kebijakan tarif atau Price Policy yang sangat mungkin dipengaruhi oleh faktor-faktor
eksternal (top eksekutif, legislatif) yang bersifat politis. Pun demikian ketika merasa rugi,
sangat mungkin dikarenakan tarif RS terlalu tinggi, mungkin ada over-treatment atau overprocedure sehingga tarif RS menjadi tinggi.
Pemikiran yang lain adalah ketika kita melihat case by case di rawat jalan, kita melihat kasus
per kasus di rawat jalan maka sangat mungkin kita memang menemukan fakta bahwa
pembayaran klaim BPJS DIBAWAH tarif RS, namun rasanya tidak fair juga jika kita
MENYEMBUNYIKAN kasus-kasus dimana pembayaran klaim BPJS MELAMPAUI
tarif RS. Yang paling objektive adalah dengan melihat pendapatan operasional rumah sakit
secara total (gross/bruto income) berdasarkan klaim pembayaran BPJS lalu kemudian
disandingkan dengan total pendapatan jika dihitung dengan tarif RS. Kenapa ? karena
mekanisme subsidi silang (cross-subsidy) itu memang sangat mungkin terjadi. Apabila hasil
comparasi tersebut ternyata pendapatan dari klaim BPJS lebih rendah dari jika dihitung
dengan tarif RS, maka berarti tidak terjadi subsidi silang. RS harus segera menganalisa,
melakukan Utilitazion Review (UR), membentuk tim pengendali pelayanan JKN internal RS

dan mungkin melakukan evaluasi terhadap tarif RS. Ini tentu saja diluar kesimpulan general
bahwasanya secara aktual tarif INA CBG saat ini memang masih dirasakan terlalu rendah,
perlu evaluasi dan perhitungan ulang berdasarkan real cost RS pemerintah dan swasta.
Terakhir....saya tidak mengatakan bahwa RS yang kerjasama dengan BPJS banyak yang
untung, disamping adanya beberapa berita bahwa RS Privat MERUGI setelah kerjasama
dengan BPJS, namun kenyataan bahwa sampai hari ini masih banyak (mungkin beberapa) RS
Privat yang mau bertahan untuk melanjutkan kerjasama dengan BPJS Kesehatan juga tidak
bisa diabaikan. Mungkin ada banyak faktor yang melatarbelakanginya. Wallahu Alam
Bishawab....
Salam,
Tri Muhammad Hani
RSUD Bayu Asih Purwakarta
Jl. Veteran No. 39 Kabupaten Purwakarta Jawa Barat

Anda mungkin juga menyukai