Anda di halaman 1dari 16

TUGAS

MAKALAH ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN


“REKAM MEDIS ELEKTRONIK DALAM SUDUT PANDANG
ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN”

Oleh

Nama : Andi Gunawan Sihombing

NIM : 2011080003

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

2021
BAB I. PENDAHULUAN

Di tengah lajunya kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, informasi yang


cepat dan akurat semakin menjadi kebutuhan utama para pengambil keputusan (decission maker)
dengan kata lain informasi merupakan kebutuhan dasar yang diperlukan oleh setiap manajemen
untuk melakukan pengambilan keputusan. Rumah sakitpun sebagai sebuah institusi yang
menyimpan begitu banyak data juga memerlukan pengolahan data yang benar dan akurat yang
dapat disajikan sedemikian rupa dalam bentuk laporan. Penyajian laporan dalam bentuk
informasi tersebut harus sesuai dengan nilai kegunaan dan fungsi masing-masing bagian.
Misalnya Seorang direktur keuangan membutuhkan informasi dalam bentuk laporan statistik
tentang tingkat okupansi (jumlah pasien yang mondok dibagi jumlah tempat tidur yang tersedia)
dari masing-masing bangsal. Laporan tersebut akan menolong direktur dalam pengambilan
keputusan apakah perlu penambahan tempat tidur atau tidak. Informasi sangat penting karena
merupakan data yang diolah secara benar dengan efektif dan efisien sehingga menghasilkan hasil
yang bermanfaat bagi manajemen dan operasional.

Berbicara tentang data pribadi pasien, penyakit yang diidap dan tindakan medis yang
diterima, semua data tersebut disimpan oleh pihak rumah sakit dalam bentuk berkas yang disebut
dengan berkas rekam medis. Penyimpanan berkas rekam medis tradisional umumnya berupa
map-2 yang berisi kertas-kertas yang mencatat data kesehatan pasien.

Penyimpanan seperti ini membutuhkan tempat yang luas, bilamana berkas itu
diperlukan untuk kepentingan medis agak lambat diperoleh karena membutuhkan waktu untuk
mencarinya. Sebaliknya jika semua berkas tersebut dapat di komputerisasikan, maka akan
memudahkan proses pencarian, pengambilan dan pengolahan datanya. Prosesnya dapat
dilakukan dengan cepat dan akurat, sehingga tindakan medis yang membutuhkan riwayat data
kesehatan pasien dapat dengan cepat dilaksanakan.

Idealnya sebuah rekam medis berisi data riwayat kesehatan pasien dari mulai ia lahir
hingga saat ini. Namun karena sistem yang ada di Indonesia sekarang ini terkait informasi
kesehatan belum terintegrasi dan belum didukung sepenuhnya oleh Teknologi Informasi, maka
data-data pasien tersebut terpisah-pisah dan terbagi tergantung pada tempat dimana ia
mendapatkan pelayanan kesehatan pertama kali. Melihat pentingnya sebuah rekam medis, maka
sudah saatnya semua rumah sakit di Indonesia membangun Rekam Medis Elektronik (RME) dan
akan lebih berdaya guna jika semua rekam medis itu terkoneksi didalam jaringan komputer
seluruh rumah sakit di Indonesia.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

1. Pengertian Rekam Medis


Rekam medis adalah berkas yang berisi identitas, anamnesa, penentuan fisik,
laboratorium, diagnosa dan tindakan medis terhadap seorang pasien yang dicatat baik secara
tertulis maupun elektronik. Bilamana penyimpanannya secara elektronik akan membutuhkan
komputer dengan memanfaatkan manajemen basis data. Pengertian rekam medis bukan hanya
sekedar kegiatan pencatatan, tetapi harus dipandang sebagai suatu sistem penyelenggaraan mulai
dari pencatatan, pelayanan dan tindakan medis apa saja yang diterima pasien, selanjutnya
penyimpanan berkas sampai dengan pengeluaran berkas dari tempat penyimpanan manakala
diperlukan untuk kepentingannya sendiri maupun untuk keperluan lainnya.

Menurut UU Praktik Kedokteran dalam penjelasan pasal 46 ayat (1) yang dimaksud
dengan rekam medis adalah berkas yang berisi catatan dan dokumen tentang identitas pasien,
pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien.
Pengertian rekam medis diperkuat melalui Peraturan Mentri Kesehatan (Permenkes) No.
269/2008, bahwa jenis data rekam medis dapat berupa teks (baik yang terstruktur maupun
naratif), gambar digital (jika sudah menerapkan radiologi digital), suara (misalnya suara
jantung), video maupun yang berupa biosignal seperti rekaman EKG.

Berbicara tentang rekam medis mau tidak mau kita akan melihat 2 (dua) bagian
penting yang perlu diperhatikan yaitu: Patient Record dan Manajemen. Patient record adalah
suatu informasi yang terekam baik dalam bentuk tulisan maupun elektronik tentang kondisi
kesehatan dan penyakit pasien yang bersangkutan. Patient record umumnya bersifat individu,
tidak pernah ada catatan kesehatan dari beberapa orang secara kolektif didalam sebuah rekam
medis. Bagian kedua adalah berkaitan dengan Manajemen. Manajemen adalah suatu proses
pengolahan atau kompilasi kondisi kesehatan dan penyakit pasien agar dapat menjadi suatu
informasi yang bermanfaat untuk melakukan pertanggungjawaban baik dari segi manajemen,
keuangan maupun kondisi perkembangan kesehatan pasien.

2. Pengertian rekam medis elektronik


Sebenarnya Rekam Medis Elektronik (RME) bukan merupakan wacana baru bagi
penyelenggara pelayanan kesehatan seperti rumah sakit. Beberapa rumah sakit bahkan berani
menyatakan telah mengimplementasikan RME di dalam manajemennya. Bagi rumah sakit yang
belum memiliki RME umumnya berargumentasi sudah berkeinginan untuk memiliki RME tetapi
masih terbentur beberapa kendala organisasi seperti: biaya, budaya kerja, teknis dan sumber
daya.
Pada dasarnya RME adalah penggunaan perangkat teknologi informasi untuk
pengumpulan, penyimpanan, pengolahan serta peng-akses-an data yang tersimpan pada rekam
medis pasien di rumah sakit dalam suatu sistem manajemen basis data yang menghimpun
berbagai sumber data medis. Bahkan beberapa rumah sakit modern telah menggabungkan RME
dengan aplikasi Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit (SIMRS) yang merupakan aplikasi
induk yang tidak hanya berisi RME tetapi sudah ditambah dengan fitur-fitur seperti administrasi,
billing, dokumentasi keperawatan, pelaporan dan dashboard score card.

RME juga dapat diartikan sebagai lingkungan aplikasi yang tersusun atas
penyimpanan data klinis, sistem pendukung keputusan klinis, standarisasi istilah medis, entry
data terkomputerisasi, serta dokumentasi medis dan farmasi. RME juga bermanfaat bagi
paramedis untuk mendokumentasikan, memonitor, dan mengelola pelayanan kesehatan yang
diberikan pada pasien di rumah sakit. Secara hukum data dalam RME merupakan rekaman legal
dari pelayanan yang telah diberikan pada pasien dan rumah sakit memiliki hak untuk menyimpan
data tersebut. Menjadi tidak legal, bila oknum di rumah sakit menyalah gunakan data tersebut
untuk kepentingan tertentu yang tidak berhubungan dengan pelayanan kesehatan pasien.

3. Manfaat RME
Mempertimbangkan berbagai keuntungan termasuk faktor cost and benefits dari
penerapan RME di rumah sakit (pusat pelayanan kesehatan), maka penulis melihat paling ada
tiga manfaat yang dapat diperoleh, masing-masing adalah:

a. Manfaat Umum, RME akan meningkatkan profesionalisme dan kinerja manajemen


rumah sakit. Para stakeholder seperti pasien akan menikmati kemudahan, kecepatan,
dan kenyamanan pelayanan kesehatan. Bagi para dokter, RME memungkinkan
diberlakukannya standard praktek kedokteran yang baik dan benar.Sementara bagi
pengelola rumah sakit, RME menolong menghasilkan dokumentasi yang auditable
dan accountable sehingga mendukung koordinasi antar bagian dalam rumah sakit.
Disamping itu RME membuat setiap unit akan bekerja sesuai fungsi, tanggung
jawab dan wewenangnya.
b. Manfaat Operasional, manakala RME diimplementasikan paling tidak ada empat
faktor operasional yang akan dirasakan,
 Faktor yang pertama adalah kecepatan penyelesaian pekerjaan-pekerjaan
administrasi. Ketika dengan sistem manual pengerjaaan penelusuran berkas
sampai dengan pengembaliannya ketempat yang seharusnya pastilah memakan
waktu, terlebih jika pasiennya cukup banyak. Kecepatan ini berdampak
membuat efektifitas kerja meningkat.
 Yang kedua adalah faktor akurasi khususnya akurasi data, apabila dulu dengan
sistem manual orang harus mencek satu demi satu berkas, namun sekarang
dengan RME data pasien akan lebih tepat dan benar karena campur tangan
manusia lebih sedikit, hal lain yang dapat dicegah adalah terjadinya duplikasi
data untuk pasien yang sama. Misalnya, pasien yang sama diregistrasi 2 kali
pada waktu yang berbeda, maka sistem akan menolaknya, RME akan
memberikan peringatan jika tindakan yang sama untuk pasien yang sama
dicatat 2 kali, hal ini menjaga agar data lebih akurat dan user lebih teliti.
 Ketiga adalah faktor efisiensi, karena kecepatan dan akurasi data meningkat,
maka waktu yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan
administrasi berkurang jauh, sehingga karyawan dapat lebih fokus pada
pekerjaan utamanya.
 Keempat adalah kemudahan pelaporan. Pekerjaan pelaporan adalah pekerjaan
yang menyita waktu namun sangat penting. Dengan adanya RME, proses
pelaporan tentang kondisi kesehatan pasien dapat disajikan hanya memakan
waktu dalam hitungan menit sehingga kita dapat lebih konsentrasi untuk
menganalisa laporan tersebut.
c. Manfaat Organisasi, karena SIMRS ini mensyaratkan kedisiplinan dalam
pemasukan data, baik ketepatan waktu maupun kebenaran data, maka budaya
kerja yang sebelumnya menangguhkan hal-hal seperti itu, menjadi berubah.
Seringkali data RME diperlukan juga oleh unit layanan yang lain. Misal resep
obat yang ditulis di RME akan sangat dibutuhkan oleh bagian obat, sementara
semua tindakan yang dilakukan yang ada di RME juga diperlukan oleh bagian
keuangan untuk menghitung besarnya biaya pengobatan. Jadi RME menciptakan
koordinasi antar unit semakin meningkat. Seringkali orang menyatakan bahwa
dengan adanya komputerisasi biaya administrasi meningkat.
III. PEMBAHASAN

Pengaturan Hukum Rekam Medis Secara Konvensional Dan Elektronik


Berdasarkan Aturan Hukum Kesehatan

Rekam medis merupakan hal yang krusial dalam pelayanan kesehatan. Menurut
Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269 tahun 2008 tentang Rekam Medis,
rekam medis adalah berkas yang berisi catatan dan dokumen antara lain identitas pasien, hasil
pemeriksaan, pengobatan yang telah diberikan, serta tindakan dan pelayanan lain yang telah
diberikan kepada pasien. 1 Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran menyebutkan bahwa setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan
praktik kedokteran wajib membuat rekam medis. 2 Kewajiban untuk membuat rekam medis
juga yang tercantum dalam Pasal 70 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 tahun 2014 tentang
tenaga kesehatan yang menyebutkan bahwa setiap tenaga kesehatan yang melaksanakan
pelayanan kesehatan perseorangan wajib membuat rekam medis. 3 Pada awalnya, rekam
medis dilakukan secara konvensional yaitu berbasis kertas (paper-based). Namun, seiring
perkembangan teknologi informasi, mulai muncul rekam medis berbasis elektronik atau
dikenal dengan rekam medis elektronik (RME). RME merupakan suatu catatan atau rekaman
elektronik mengenai informasi kesehatan seseorang yang dibuat, disimpan, dan dikelola oleh
dokter ataupun tenaga kesehatan yang berhak dalam suatu organisasi pelayanan kesehatan. 4
RME memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan rekam medis manual berbasis
kertas di antaranya mendukung pengambilan keputusan klinis (decision support system)
seperti rencana tindakan medis, perawatan, atau pengobatan pasien. RME juga mempermudah
monitoring data pasien, dan mempermudah pengumpulan data penelitian. 5 Meskipun
demikian, implementasi RME memiliki beberapa kendala seperti biaya infrastruktur yang
cukup besar, keamanan data dan jaringan, serta sumber daya yang kurang berpengalaman. 6
Hal yang penting dalam privasi adalah keamanan data (security) sehingga tidak terjadi
kebocoran data ke pihak lain. Kejadian serangan siber (cybera ack) dapat diminimalisir
dengan peningkatan cybersecurity dengan evaluasi dan uji keamanan jaringan yang dilakukan
secara berkala (Budiyanti, Arso and Herlambang, 2018).

Perlindungan terhadap data pribadi juga diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan
Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 20 tahun 2016 tentang Perlindungan Data
Pribadi dalam Sistem Elektronik, yang menyebutkan bahwa perlindungan data pribadi dalam
sistem elektronik mencakup perlindungan terhadap perolehan, pengumpulan, pengolahan,
penganalisisan, penyimpanan, penampilan, pengumuman, pengiriman, penyebarluasan, dan
pemusnahan data pribadi. (Menteri Komunikasi dan Informatika, 2016).

Dengan perkembangan rekam medis elektronik maupun electronic health record


(EHR), resiko terbukanya data semakin besar, hal ini dikarenakan RME terutama yang
mengkombinasikan data klinik dan genomik memiliki data kesehatan pasien yang lengkap dan
terintegrasi, dan terupdate. Terlebih lagi jika RME atau EHR terintegrasi dengan asuransi.
Sehingga perlu adanya regulasi untuk memberi batasan dan segmentasi data yang boleh
diakses dan tidak boleh diakses diakses oleh orang lain. Di era personalized medicine dan
perkembangan teknologi informasi, pasien seringkali dapat mengakses rekam medisnya dan
memonitoring riwayat kesehatannya sendiri . Sehingga mereka dapat lebih bertanggung jawab
terhadap kesehatannya (Brothers and Rothstein, 2015).

Rekam medis mempunyai aspek hukum kedisiplinan dan etik petugas kesehatan,
kerahasiaan, keuangan, mutu serta manajemen rumah sakit dan audit medik. Disamping
fungsi dan tujuannya yang utama untuk memberikan fasilitas tarap pelayanan kesehatan
yang tinggi, rekam medis juga dapat digunakan sebagai bahan pendidikan, penelitian dan
akreditasi.

Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor: 269/MENKES/PER/III/2008 yang


dimaksud rekam medis adalah berkas berisi catatan dan dokumen identitas pasien, hasil
pemeriksaan, pengobatan yang telah diberikan serta tindakan medis dan pelayanan lain
yang telah diberikan kepada pasien. Rekam medis harus dibuat secara tertulis, lengkap dan
jelas dan dalam bentuk teknologi informasi elektronik yang diatur lebih lanjut dengan
pengaturan tersendiri.

Dalam bidang hukum, rekam medis mempunyai beberapa fungsi utama, yaitu
sebagai bahan pembuktian dibidang peradilan dan mengembalikan ingatan para pihak yang
berperkara. Didalam proses hukum, tidak adanya rekam medis akan senantiasa
menyudutkan atau merugikan tenaga kesehatan dan rumah sakit. Hal ini disebabkan karena
apabila tidak ada catatan didalam rekam medis, maka dianggap bahwa tidak ada bukti
dilakukannya suatu aktivitas pelayanan kesehatan tersebut.

Maka dari itu, rekam medis konvensional maupun elektronik harus dapat
digunakan sebagai alat bukti tertulis yang sah. Dalam lingkup keperdataan, alat bukti
tulisan merupakan alat bukti yang sah dan utama. Hal ini sesuai dengan Pasal 1866 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, dan alat bukti tulisan (berkas/surat) merupakan alat bukti
yang sah danterutama. Kemudian dalam lingkup hukum pidana, surat juga merupakan salah
satu dari lima alat bukti yang sah. Hal ini sesuai dengan apa yang tercantum di dalam Pasal
183 dan 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dalam pembuktian suatu
perkara, dibutuhkan minimal 2 alat bukti yang sah serta keyakinan hakim.

Pemerintah Indonesia melalui Departemen Kesehatan mengeluarkan Peraturan


Menteri Kesehatan Nomor 749a/MENKES/PER/XII/1989 Tentang Rekam Medis. Dengan
adanya PERMENKES tersebut, pengadaan rekam medis menjadi salah satu keharusan dan
atau telah menjadi hukum yang harus ditaati oleh setiap sarana pelayanan kesehatan, tetapi
pengaturannya masih rekam medis berbasis kertas atau disebut sebagai rekam medis
konvensional.7 Selanjutnya diterbitkan PERMENKES Nomor 269 Tahun 2008 Tentang
Rekam medis yang menjelaskan bahwa" rekam medis harus dibuat secara tertulis, lengkap,
dan jelas atau secara elektronik".

Mengenai rekam medis itu sendiri juga sudah diatur dalam beberapa Undang-
Undang, yaitu Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran,
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit serta Permenkes Nomor
269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam Medis. Dalam Permenkes Nomor 269,
disebutkan mengenai adanya dua jenis rekam medis yaitu rekam medis konvensional dan
rekam medis elektronik.

Menurut Bambang Poernomo, rekam medis adalah catatan yang mencerminkan


informasi yang menyangkut seorang pasien yang dijadikan dasar dalam menentukan
tindakan lebih lanjut dalam upaya pelayanan medis maupun tindakan medis lainnya yang
diberikan kepada pasien. Istilah rekam medis sudah sejak tahun 1988 resmi sebagai
terjemahan medical/health record yang ditetapkan oleh pemerintah oleh Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa Indonesia Pendidikan Nasional, dan Departemen Kesehatan
telah menetapkan penggunaan tersebut. Namun demikian, di lingkungan kesehatan masih
banyak menyebut dengan status, dokumen dan catatan.

Rekam medis menjadi salah satu kewajiban setiap dokter maupun dokter gigi
dalam melaksanakan praktik kedokterannya. Hal ini sesuai dengan Pasal 46 Undang-
Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Sebagai pelaksanaan pasal 46
undang-undang nomor 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran, maka ditetapkanlah
Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 269/MENKES/PER/2008 tentang
Rekam Medis sebagai pengganti peraturan sebelumnya yaitu Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 749a/MENKES/PER/XII/1989 tentang Rekam Medis. Dalam permenkes ini dengan
jelas diatur mengenai kewajiban, jenis dan isi masing-masing rekam medis, tata cara
penyelenggara rekam medis, kewajiban sarana pelayanan kesehatan, sifat rahasia rekam
medis dan berbagai manfaat dari rekam medis.

Rekam medis konvensional adalah catatan mengenai diri pasien dan riwayat
penyakit yang ditulis di atas selembar kertas dan nanti akan ditambahkan jika informasi
terkait pasien pun bertambah dan adanya pembubuhan tanda tangan pasien atau keluarga
pasien pada rekam medis jenis ini. Rekam medis elektronik atau sering disebut RME
menurut Shortliffe adalah catatan penyimpanan informasi secara elektronik mengenai status
kesehatan dan layanan kesehatan yang diperoleh pasien sepanjang hidupnya, tersimpan
hingga dapat melayani berbagai penggunaan rekam medis yang sah.

Dalam Permenkes nomor 269/Menkes/Per/III/2008, juga diatur tentang tata cara


penyelenggaraan rekam medis. Dalam Pasal 7 permenkes tersebut disebutkan, bahwa
sarana pelayanan kesehatan wajib menyediakan fasilitas yang diperlukan dalam
penyelenggaraan rekam medis.15 Dalam Pasal 5 ayat (2) Permenkes ini disebutkan bahwa,
rekam medis harus dibuat segera dan dilengkapi setelah pasien menerima pelayanan.

Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1966 tentang Wajib


Simpan Rahasia Kedokteran, semua petugas kesehatan diwajibkan untuk menyimpan
rahasia medis, termasuk berkas rekam medis. Kemudian pada tahun 1972, dengan Surat
Keputusan Menteri menyangkut kewajiban untuk menyelenggarakan rekam medis. Maksud
dan tujuan dari peraturan tersebut adalah agar penyelenggaraan rekam medis dapat berjalan
dengan baik di institusi pelayanan kesehatan termasuk rumah sakit.

Wajib hukum untuk membuat rekam medis ini banyak dilanggar oleh tenaga
kesehatan. Dalam hal ini berarti pembuatan rekam medis belum dilaksanakan sesuai dengan
konsep/doktrin ilmu kesehatan dan ilmu hukum yang tercatat secara sistematis dari unsur
identitas, informasi, diagnosis, terapi dan resiko yang mungkin dapat diperkirakan lebih
dahulu serta rujukan ahli yang diperlukan untuk perawatan.

Kemudian dalam proses pembetulan suatu catatan, disinipun tanda tangan dan/atau
paraf sangatlah penting untuk dibubuhkan. Karena jika tidak dilakukan, dapat dianggap
sebagai suatu tindakan perusakan alat bukti, dan dalam hal ini, alat bukti yang dimaksud
adalah rekam medis. Guwandi mengatakan bahwa lebih baik seseorang dianggap telah
melakukan kesalahan (error) dalam pencatatan daripada menghadapi tuduhan telah
melakukan tindakan pemalsuan ataupun pemanipulasian (penipuan) dari suatu isi rekam
medis.

Selain sudah disebutkan dalam Permenkes nomor 269/Menkes/Per/III/2008, juga


telah disebutkan sebagai salah satu kewajiban rumah sakit dalam Pasal 29 ayat (1) huruf m
dan pasal 32 huruf i Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Dalam
Pasal 13 ayat (1) permenkes ini, secara jelas telah tertuang mengenai manfaat rekam medis.
Rekam medis konvensional disisi lain mempunyai beberapa kelemahan. Yang pertama
adalah berhubungan dengan manajemen dan penyimpanan rekam medis, dimana
membutuhkan ruang, waktu dan biaya yang terus bertambah. Kelemahan kedua
berhubungan dengan tidak terbacanya tulisan seorang dokter atau dokter gigi.

Hal ini selain mengakibatkan dapat terjadinya ketidakefisiensian pelayanan


kesehatan, juga dapat mengakibatkan suatu kejadian yang fatal. Sebagai contoh dapat
terjadinya suatu kesalahan pemberian jenis ataupun dosis obat. Apabila mempertimbangkan
Pasal 1 poin 1, 3 dan 5 Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik, maka rekam medis elektronik dapat didefinisikan sebagai suatu
pencatatan informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau
disimpan dalam berbagai bentuk, melalui suatu sistem elektronik, termasuk komputer, yang
berisi semua data/informasi pasien.

Begitu pula dengan adanya suatu sistem rekam medis elektronik, diharapkan dapat
lebih banyak memberikan manfaat terhadap pasien ataupun tim medis. Selain manfaat
rekam medis secara umum dan pemanfaatan teknologi informasi dan elektronik sesuai
dengan pasal 4 undang-undang ini, terdapat beberapa manfaat lain diantaranya sifat
“paperless” dari sistem elektronik ini akan berakibat pada lebih ramah lingkungan. Salah
satu kelemahan dari sistem ini adalah harganya yang tinggi sehingga tidak semua rumah
sakit dapat memanfaatkan kelebihan dari sistem ini. Kelemahan kedua adalah sulitnya
menjaga keamanan dan kerahasiaan data terutama bila terjadi kerusakan sistem atau
“breakdown”.

Rekam Medis Elektronik Sebagai alat Bukti

Rekam medis merupakan alat bukti tertulis utama, sehingga bermanfaat


dalam penyelesaian masalah hukum, disiplin, dan etik. Rekam medis dapat
dipertanggungjawabkan kebenaran isinya. Salinan rekam medis dapat diberikan atas
permintaan pengadilan, dengan bukti tanda terima dari pengadilan bila yang diminta adalah
dokumen aslinya. Apabila terdapat keraguan mengenai isi rekam medis maka saksi ahli dapat
dihadirkan oleh pengadilan untuk diminta pendapat ahlinya.

Sistem elektronik adalah sistem komputer dalam arti luas, yang tidak hanya
mencakup perangkat keras dan perangkat lunak komputer, tetapi juga mencakup jaringan
telekomunikasi dan/atau sistem komunikasi elektronik. Perangkat lunak atau program
komputer adalah sekumpulan instruksi yang diwujudkan dalam bentuk bahasa, kode, skema,
ataupun bentuk lain, yang apabila digabungkan dengan media yang dapat dibaca dengan
komputer akan mampu membuat komputer bekerja untuk melakukan fungsi khusus atau untuk
mencapai hasil yang khusus, termasuk persiapan dalam merancang instruksi tersebut.

Sistem elektronik juga digunakan untuk menjelaskan keberadaan sistem informasi


yang merupakan penerapan teknologi informasi yang berbasis jaringan telekomunikasi dan
media elektronik, yang berfungsi merancang, memproses, menganalisis, menampilkan, dan
mengirimkan atau menyebarkan informasi elektronik. Sistem informasi secara teknis dan
manajemen sebenarnya adalah perwujudan penerapan produk teknologi informasi ke dalam
suatu bentuk organisasi dan manajemen sesuai dengan karakteristik kebutuhan pada organisasi
tersebut dan sesuai dengan tujuan peruntukannya. Pada sisi yang lain, sistem informasi secara
teknis dan fungsional adalah keterpaduan sistem antara manusia dan mesin yang mencakup
komponen perangkat keras, perangkat lunak, prosedur, sumber daya manusia, dan substansi
informasi yang dalam pemanfaatannya mencakup fungsi input, process, output, storage, dan
communication.

Kedudukan RM atau RME sebagai alat bukti dan kekuatannya menurut


hukum pembuktian

Dari sudut pembuktian hukum pidana di pengadilan terkait kesalahan di bidang


kesehatan: a. Proses pembuktian perkara pidana di pengadilan adalah menemukan kebenaran
materiil atau kebenaran sesungguhnya, artinya pembuktian tidak hanya memerlukan bukti-
bukti tertulis tetapi harus dikuatkan oleh alat bukti lain, misalnya saksi ahli; b. Dalam
pembuktian, maka keseluruhan atau sebagian dari informasinya dapat dijadikan bukti untuk
mendukung upaya pembelaan bagi rumah sakit dan tenaga kesehatan khususnya dokter; c.
Saksi ahli selain harus memberikan keterangan yang benar karena disumpah, juga dapat
membuktikan bahwa kesaksiannya tersebut beralasan secara keilmuan yang dibuktikan
dengan adanya keseluruhan atau sebagian dari informasi di dalam RM pasien terkait; d. Alat-
alat bukti berupa RM dan kesaksian ahli yang sudah disumpah akan menjadi bahan
pertimbangan hakim, dalam memutuskan kasus atas gugatan ada tidaknya kesalahan dokter; e.
Gugatan atas perbuatan pidana, karena adanya kesalahan yang diperkuat dengan adanya unsur
kesengajaan/kelalaian dari dokter karena tidak mempersiapkan segala sesuatu untuk
mengantisipasi risiko yang dapat terjadi/timbul, sehingga pasien menderita cedera fatal
bahkan sampai cacat atau meninggal.

RM yang dapat dibawa ke pengadilan harus memenuhi syarat, yaitu: 1. RM tidak


ditulis dengan pensil; 2. Tidak ada penghapusan; 3. Coretan, ralat hanya dapat dilakukan pada
saat itu juga dan diberi paraf; 4. Tulisan jelas dan terbaca; 5. Ada tanda tangan dan nama
petugas; 6. Ada tanggal dan waktu pemeriksaan maupun tindakan; 7. Ada lembar persetujuan
tindakan medis.44

RM dapat dipergunakan sebagai alat pembuktian sebagaimana diatur dalam Pasal


1866 KUHPerdata dan Pasal 184 KUHAP. Ketentuan Pasal 1866 KUHPerdata menyebutkan,
Alat bukti meliputi: bukti tertulis; bukti saksi; persangkaan; pengakuan; dan sumpah.
Sedangkan Pasal 184 Ayat (1) KUHAP, alat bukti yang sah dalam hukum pidana: (1)
Keterangan saksi; (2) Keterangan ahli; (3) Surat; (4) Petunjuk; (5) Keterangan terdakwa.

Ketentuan Pasal 13 Ayat (1) huruf c Peraturan Menteri Kesehatan Nomor


269/MENKES/PER/III/2008 Tentang Rekam Medis menyatakan: “Pemanfaatan Rekam medis
dapat dipakai sebagai alat bukti dalam proses penegakan hukum, disiplin kedokteran dan
kedokteran gigi dan penegakan etika kedokteran dan kedokteran gigi.”

RME sebagai alat bukti diperkuat oleh UU No 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
(UU ITE) jo Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269 Tahun 2008. Ketentuan Pasal 13 Ayat
(1) huruf b PERMENKES tersebut mengatakan: pe Apabila RM atau RME yang mempunyai
multifungsi tersebut dikaitkan dengan Pasal 184 KUHAP, maka RM atau RME selain
berfungsi sebagai alat bukti surat juga berfungsi sebagai alat bukti keterangan ahli yang
dituangkan sebagai isi RM atau RME. Isi RM atau RME adalah milik pasien.

Dokter wajib menjaga kerahasiaannya, berbentuk ringkasan yang dapat diberikan,


dicatat, atau dicopy oleh pasien atau orang yang diberi kuasa atau atas persetujuan tertulis
pasien atau keluarga pasien yang berhak untuk itu. Penjelasan isi RM atau RME dapat
dilakukan apabila diperlukan sebagai alat bukti dalam proses penegakan hukum, manfaatan
RM “sebagai alat bukti hukum dalam proses penegakan hukum, disiplin kedokteran dan
kedokteran gigi dan penegakkan etika kedokteran dan etika kedokteran gigi.”
Rekam medis merupakan kumpulan segala kegiatan yang dilakukan oleh dokter,
dokter gigi dan para tenaga kesehatan lainnya dalam memberikan pelayanan kesehatan yang
berkesinambungan. Rekam medis menjadi salah satu kewajiban setiap dokter maupun dokter
gigi, dalam melaksanakan praktik kedokterannya. Hal ini sesuai dengan Pasal 46 Undang-
Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

Sebagai pelaksanaan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang


Praktik Kedokteran, ditetapkanlah Permenkes Nomor 269/MENKES/PER/III/2008 tentang
Rekam Medis, sebagai pengganti peraturan sebelumnya, yaitu Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 749a/Menkes/Per/XII/1989 tentang Rekam Medis.

Dalam Permenkes yang baru ini dengan jelas diatur mengenai kewajiban, jenis dan
isi masing-masing rekam medis, tata cara penyelenggaraan rekam medis, kewajiban sarana
pelayanan kesehatan, sifat rahasia rekam medis, dan berbagai manfaat dari rekam medis.
Namun untuk rekam medis elektronik, sesuai dengan Pasal 2 ayat (2) Permenkes ini,
disebutkan bahwa akan diatur lebih lanjut dalam peraturan tersendiri. Hal ini belumlah ada
sampai dengan saat ini. Padahal, rekam medis sebagai salah satu dari tiga Doktrin Hukum
Kesehatan, harus dipastikan kekuatan hukumnya yaitu sebagai salah satu unsur alat bukti
tertulis yang sah dalam proses pengadilan, baik perdata maupun pidana.
IV. Kesimpulan

Rekam medik adalah sebuah bagian terpenting dalam pelayanan kesehatan, sehingga
memerlukan landasan hukum yang kuat dalam penerapannya. Dalam Undang-undang No.29
Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran memberikan penegasan tentang kewajiban dalam
pembuatan rekam medik sampai dengan kewajiban menjaga kerahasiaan rekam medik
tersebut. Selanjutnya, secara speksifik pengaturan rekam medik diatur didalam Peraturan
Menteri Kesehatan No. 269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam Medik. Penjelasan rekam
medik tersebut diatur secara sistematis sampai dengan memberikan kebebasan kepada rumah
sakit selaku tempat pelayanan kesehatan dalam penggunaan rekam medik baik konvesional
maupun elektronik yang secara sah diakui didalam PERMENKES tersebut. Akan tetapi jika
dicermati lebih jauh, rekam medik yang diatur masih terbatas pada rekam medik
konvensional. Pemanfaatan rekam medik elektronik hanya menjadi pengakuan saja sehingga
tidak ditemukannya sebuah kepastian hukum apabila system elektronik kemudian menjadi alat
bukti dipengadilan. Tidak itu saja, perlindungan hukum bagi data pasien juga belum diatur
lebih lanjut, yang kemudian dalam perlndungan data pasien masih disetarakan secara
konvensional.
DAFTAR PUSTAKA
1. Arini Warnida, 2020, ASPEK HUKUM REKAM MEDIS ELEKTRONIK DITINJAU DARI
PERSPEKTIF HUKUM KESEHATAN, Makassar, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Panakkukang.
2. Sudjana, 2017, ASPEK HUKUM REKAM MEDIS ATAU REKAM MEDIS ELEKTRONIK
SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM TRANSAKSI TERAPEUTIK, Bandung, Fakultas Hukum,
Universitas Padjadjaran, VeJ Volume 3, Nomor 2, 361.
3. CINTHIA MUTIARA HAPSARI, SH, 2014, KAJIAN YURIDIS PEMAKAIAN REKAM
MEDIS ELEKTRONIK DI RUMAH SAKIT, Yogyakarta, PROGRAM MAGISTER ILMU
HUKUM PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ISLAM
INDONESIA.
4. Suzeth Agustien Simbolon, 2015, KAJIAN YURIDIS TERHADAP KEDUDUKAN REKAM
MEDIS ELEKTRONIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA MALPRAKTEK OLEH
DOKTER, Lex Crimen Vol. IV/No. 6.
5. Nabil Atta Samandari, Wila Chandrawila S dan Agus H. Rahim, 2016, KEKUATAN
PEMBUKTIAN REKAM MEDIS KONVENSIONAL DAN ELEKTRONIK, Semarang, Magister
Hukum Kesehatan Universitas Katolik Soegijapranata. SOEPRA Jurnal Hukum Kesehatan, Vol. 2 |
No. 2 |
6. Nabbilah Amir, S.H., M.H, 2019, Perlindungan Hukum Kerahasiaan Data Pasien Dalam Rekam
Medik Elektronik, Surabaya, Fakultas Hukum, Universitas Surabaya Jl. Raya Kalirungkut No. 56,
Surabaya, Indonesia
7. Rani Tiyas Budiyanti, Septo Pawelas Arso, Penggalih Mahardika Herlambang, 2018, Rekam
Medis Elektronik Berbasis Cloud dalam Perspektif Etika dan Hukum di Indonesia, Administrasi
dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Diponegoro, Mahasiswa
Pascasarjana Magister Teknik Informatika, Universitas Islam Indonesia, CDK-268/ vol. 45 no. 9.
8. Septi Labora Nababan, Sonya Airini Batubara, Jhon Prima Ginting, Josua Partogi Sitanggang,
2020, REKAM MEDIS KONVENSIONAL DAN ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI
DALAM PERKARA PIDANA, Medan, Sumatera Utara, Fakultas Hukum, Universitas Prima
Indonesia Jalan Sekip Simpang Seikambing, Al’Adl Jurnal Hukum, Volume XII Nomor 2, Juli
2020, ISSN 1979-4940/ISSN-E 2477-0124.
9. Wimmie Handiwidjojo, 2009, REKAM MEDIS ELEKTRONIK, Jurnal EKSIS Vol 02 No 01 Mei
2009: halaman 36-41.
10. Rani Tiyas Budiyanti, Penggalih Mahardika Herlambang, Nurhasmadiar Nandini, 2019,
Tantangan Etika dan Hukum Penggunaan Rekam Medis Elektronik dalam Era Personalized
Medicine, Semarang, Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat,
Universitas Diponegoro, Semarang, Prodi Rekam Medis, Fakultas Kesehatan, Universitas Dian
Nuswantoro, Jurnal Kesehatan Vokasional, Vol. 4 No. 1 (Februari 2019) ISSN 2541-0644 (print),
ISSN 2599-3275 (online).

Anda mungkin juga menyukai