Anda di halaman 1dari 10

TUGAS

MAKALAH ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN


PERLINDUNGAN HUKUM ANALIS KESEHATAN DALAM MELAKUKAN
TINDAKAN PHLEBOTOMI

Oleh

Nama : Tuppak Sirait

NIM : 2011080020

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

2021
BAB I

Pendahuluan
          Tujuan phlebotomi adalah memperoleh sampel darah dalam volume yang cukup untuk
pemeriksaan yang dibutuhkan, dengan memperhatikan pencegahan interferensi preanalisis,
memasukkannya ke dalam tabung yang benar, memperhatikan keselamatan (safety), dan dengan
sesedikit mungkin menimbulkan ketidaknyamanan pada pasien.
            Tindakan phlebotomi itu sendiri memiliki risiko, setidaknya adalah perdarahan yang
berlebihan, pingsan atau perasaan "nggliyeng", hematoma, infeksi dan terjadinya beberapa
tusukan akibat sulitnya mencari vena. Bila dikaitkan dengan pemeriksaan terhadap darah yang
diambilnya, maka risiko lainnya adalah tertukarnya sampel, pengenceran darah bila diambil
dariiv-line, emboli dll.
            Tampak disini bahwa issue penting yang mungkin berkaitan dengan tindakan phlebotomi
adalah darah apa yang akan diambil, peralatan apa yang akan dipakai, dibagian anatomi mana
mengambilnya, adakah iv-line yang sudah terpasang, bagaimana mencegah infeksi, bagaimana
mencegah atau mengurangi rasa sakit, bagaimana berkomunikasi dengan pasien - termasuk
memperoleh persetujuannya, bagaimana prosedur pelaksanaan yang benar agar tepat mengenai
vena, dan faktor safety.
            Dengan demikian masalah medikolegal yang dapat ditarik adalah masalah siapa
pelaksana phlebotomi (kompetensi dan kewenangannya), bagaimana prosedur standarnya,
perlukah supervisi, dan siapa yang bertanggungjawab atas risiko yang terjadi.
Robert Lord. The Theory of BloodTaking. Student BMJ, last updated 13 Mei 2004

seorangtenaga kesehatan yang melakukan pekerjaan tanpa kewenangan dapat dianggap


melanggar salah satu standar profesi tenaga kesehatan(Willa Chandrawila,
2001:13).Masyarakat yang makin pintar dan sadar akan hukum maka segala sesuatutindakan
yang dilakukan setiap profesi terutama di bidang kesehatan sangatlah rentan terhadap
hukum.Oleh karena itu pentingnya tanggung jawab Analis Kesehatan baik wewenang
maupun batasan hukum harus sangat dimengerti agar terhindari dari kegiatan malpraktik.

Teori Perlindungan Hukum


Perlindungan hukum merupakan segala upaya yang dapat menjamin adanya kepastian
hukum, sehingga dapat memberikan perlindungan hukum kepada pihak-pihak yang
bersangkutan atau yang melakukan tindakan hukum. Soetiono (2004) mendefinisikan
perlindungan hukum sebagai tindakan atau upaya untuk melindungi masyarakatdari
perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang tidak sesuai dengan atura hukum,
untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman, sehingga memungkinkan manusia untuk
menikmati martabatnya sebagai manusia(Seotiono, 2004:3).Perlindungan hukum memperoleh
landasan idiil (filosofis) pada sila kelima Panacasila yaitu “Keadilan Sosial Bagi Seluruh
Rakyat Indonesia”, yang didalamnya terkandung suatu hak seluruh rakyat Indonesia untuk
diperlakukan sama di depan hukum. Hadjon (1983) membagi perlindungan hukum
menjadi dua yaitu, Perlindungan Hukum Preventif, yaitu perlindungan hukum yang
tujuannya untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam
peraturan perundang-undangan dengan maksud mencegah pelanggaran; Perlindungan
Hukum Represif, yaitu perlindungan hukum aktif berupa tanggung jawab perusahaan, denda,
penjara, dan hukuman tambahan apabila sudah terjadi pelanggaran. Perlindugan hukum dapat
dilakukan secara publik maupun private. Perlindungan secara publik dilakukan
dengan cara memanfaatkanfasilitas perlindungan hukum yang disediakan oleh ketentuan-
ketentuan yang bersifat publik, seperti peraturan perundang-undangan domestik, dan perjanjian-
perjanjian internasional, bilateral,maupun universal. Adapun perlindungan hukum secara private
yaitudengan berkontrak secara cermat. Perlindungan hukum merupakan segala upaya yang
dapat menjamin adanya kepastian hukum, sehingga dapat memberikan perlindunga
hukum kepada pihak-pihak yang bersangkutan atau yang melakukan tindakan hukum.

B.Teori Tanggung Jawab Secara umum prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan
menjadi:1.Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan (Liability based on
fault)prinsip ini adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukumperdata khususnya
Pasal 1365,1366 dan1367 KUHPerdata. Secara umum, asas
anggung jawab ini dapat diterima karena adil bagi orang yang ebrbuat salah untuk
mengganti rugi pihak korban. Perkara yang perlu dijelaskan dalam prinsip ini adalah
definisi tentang subjek pelaku kesalahan yang dalam doktrin hukum dikenal asas vicarious
liability dan coorporate liability.2.Prinsip praduga untuk Selalu Bertanggung Jawab
(presumption of liability), prinsip ini menyatakan tergugat selalu dianggap bertanggung jawab
sampai ia dapat membuktikan ia tidak bersalah.3.Prinsip praduga untuk Tidak Selalu
Bertanggung Jawab (presumpsion nonliability principle), prinsip ini merupakan kebalikan
dan prinsip praduga untuk satas. Prinsip ini lebih diterapkan pada kasus-kasus seperti
kasus yang dimana apabila terjadi suatu kecelakaan lalu lintas yang mempunyai peran aktif
dalam melakukan pembuktian adalah pihak penggugat. 4.Prinsip Tanggung Jawab Mutlak (strict
liability), prinsip tanggung jawab mutlak sering diidentikkan dengan prinsip tanggung jawab
absolut. Asas tanggung jawab mutlak merupakan salah satu jenis pertanggung jawaban
perdata (civil liability).

Pelaksana phlebotomi
         Di dalam praktek, phlebotomi di rumah sakit atau di laboratorium dapat dilakukan oleh
perawat atau analis laboratorium atau orang yang dilatih khusus untuk itu, yang selanjutnya akan
disebut sebagai teknisi phlebotomi.
      Kemampuan atau competency diperoleh seseorang dari pendidikan atau pelatihannya,
sedangkan kewenangan atau authority diperoleh dari penguasa atau pemegang otoritas di bidang
tersebut melalui pemberian ijin. Kewenangan memang hanya diberikan kepada mereka yang
memiliki kemampuan, namun adanya kemampuan tidak berarti dengan sendirinya memiliki
kewenangan.
    Dalam profesi kesehatan, hanya kewenangan yang bersifat umum saja yang diatur oleh
Departemen Kesehatan sebagai penguasa segala keprofesian di bidang kesehatan dan kedokteran
(setidaknya hingga saat ini), sedangkan kewenangan yang bersifat khusus, dalam arti tindakan
kedokteran atau kesehatan tertentu, diserahkan pengaturannya pada profesi masing-masing.
           Sebagai dokter, perawat, dan bidan, kompetensi dalam melakukan tindakan phlebotomi
telah dimilikinya dan kewenangan melakukannya pun telah dimilikinya, tanpa disebutkan secara
eksplisit di dalam sertifikasi kompetensinya dan atau surat ijin praktek profesinya. Sedangkan
bagi analis laboratorium dan teknisi phlebotomi, kompetensi mereka diperoleh dari pendidikan
menengah atau pelatihan atau kursus, sehingga kompetensinya harus dinyatakan secara tegas di
dalam sertifikat kompetensinya. Sertifikat kompetensi tersebut harus dikeluarkan oleh lembaga
pendidikan yang terakreditasi atau oleh lembaga sertifikasi tertentu.   Pendidikan analis
laboratorium dan teknisi phlebotomi bukanlah pendidikan profesi, bukan pula pendidikan
vokasi. 
Dalam peraturan perundangundangan di Indonesia belum diatur tenaga kesehatan yang disebut
sebagai teknisi phlebotomi, oleh karena itu teknisi phlebotomi belum sah sebagai salah satu
tenaga kesehatan. Ada kecenderungan bahwa suatu pekerja di bidang kesehatan akan lebih
mudah diakui sebagai tenaga kesehatan apabila pendidikannya setidaknya mencapai D3. Hal ini
perlu dilakukan agar konsumen kesehatan terjamin kepentingan dan keselamatannya. Sementara
itu analis laboratorium atau analis kesehatan telah merupakan tenaga kesehatan sebagaimana
diatur dalam PP 32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan, meskipun belum ada permenkes yang
mengaturnya lebih lanjut, terutama yang berkaitan dengan kewenangannya melakukan
phlebotomi.
Dengan demikian kewenangan melakukan oleh teknisi phlebotomi ataupun oleh analis
laboratorium belum diakui sebagai suatu kewenangan yang mandiri, namun harus dianggap
sebagai kewenangan yang memerlukan supervisi dari keprofesian yang menjadi "pemberi
kerjanya" sebagai penanggung-jawabnya. Etika dan standar pekerjaannya pun harus ditetapkan,
diatur dan ditegakkan oleh penanggungjawabnya.

1. Pasal 61 ayat (3) UU No 20 tahun 2003 tentang  Sisdiknas: sertifikat kompetensi diberikan


oleh penyelenggara pendidikan dan lembaga pelatihan kepada peserta didik dan warga
masyarakat sebagai pengakuan terhadap kompetensi untuk melakukan pekerjaan tertentu setelah
lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau
lembaga sertifikasi
2. Penjelasan pasal 15 UU No 20 tahun 2003 tentang  Sisdiknas : Pendidikan profesi merupakan
pendidikan tinggi setelah program sarjana yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki
pekerjaan dengan persyaratan keahlian khusus. Pendidikan vokasi merupakan pendidikan tinggi
yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu
maksimal setara dengan program sarjana.
BAB II

Etika Profesi dan Standar Profesi


            Etika profesi dibuat oleh organisasi profesi, atau tepatnya masyarakat profesi, untuk
mengatur sikap dan tingkah-laku para anggotanya, terutama berkaitan dengan moralitas. Etika
profesi di bidang kesehatan mendasarkan ketentuan-ketentuan di dalamnya kepada etika umum
dan sifat-sifat khusus moralitas profesi pengobat pada umumnya, seperti patient autonomy,
beneficence, non maleficence, justice, truth telling, privacy, confidentiality, loyality, dll. Etika
profesi bertujuan untuk mempertahankan keluhuran profesi dan melindungi masyarakat yang
berhubungan dengan profesi tersebut. Etika profesi umumnya dituliskan dalam bentuk Kode Etik
dan pelaksanaannya diawasi oleh sebuah Majelis atau Dewan Kehormatan Etik.
            Standar Profesi terdiri dari 3 bagian, yaitu (a) standar kompetensi yang telah dibahas di
atas sebagai bagian dari persyaratan profesi, (b) standar perilaku yang sebagian diatur dalam
kode etik, dan (c) standar pelayanan. Standar pelayanan, yang dalam UU Kesehatan disebut
sebagai standar profesi, diartikan sebagai pedoman yang harus dipergunakan sebagai petunjuk
dalam menjalankan profesi secara baik. Sebenarnya dalam pandangan hukum, standar berbeda
dengan pedoman; standar tidak dapat disimpangi, pedoman dapat disimpangi. Standar harus
dilaksanakan dan bila tidak dilaksanakan maka pelakunya dianggap melakukan kelalaian,
sedangkan pedoman hanya berlaku sebagai petunjuk - pelanggaran atasnya bukan merupakan
pelanggaran hukum.  Oleh karena itu di banyak negara standar dibuat hanya untuk yang pokok-
pokok saja, sedangkan hal yang rinci diatur dalam pedoman-pedoman.
        Dengan mengingat bahwa tindakan phlebotomi masih merupakan lingkup keprofesian
patologi klinik, maka etika dan standar yang berlaku bagi para teknisi phlebotomi ditetapkan
oleh masyarakat profesi patologi klinik.  Masyarakat profesi ini pulalah yang bertanggungjawab
atas pembinaan dan pengawasannya.
 Penjelasan ps 25 UU No 18 tahun 2002 tentang IPTEK: Dewan Kehormatan kode etik dibentuk
oleh organisasi profesi untuk menegakkan etika, pelaksanaan kegiatan profesi serta menilai
pelanggaran profesi yang dapat merugikan masyarakat atau kehidupan profesionalisme di
lingkungannya. Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk memberikan landasan hukum bagi
organisasi profesi untuk melaksanakan fungsi kepengawasan di bidang profesi yang diperlukan
untuk menjamin perlindungan masyarakat atas penyimpangan pelaksanaan profesi .
Pembinaan dan Pengawasan Pelaksanaan Phlebotomi
Salah satu ciri profesi sebagaimana diuraikan pada bagian depan adalah otonomi profesi, dalam
arti self regulation, self governing dan self disciplining. Organisasi profesi membuat kode etik
dan standar profesi, mengawasi pelaksanaannya, dan memberikan sanksi bagi mereka yang
melanggarnya - dengan atau tanpa adanya korban atau kerugian. Kesemuanya tersebut ditujukan
untuk melindungi masyarakat, khususnya pengguna jasa profesi. Upaya itu merupakan bagian
dari akuntabilitas profesi. Majelis atau Dewan Kehormatan Etik lah yang melakukan
pengawasan, pemeriksaan dan pemberian sanksi atas pelanggaran etik dan disiplin profesi.
            Sebuah profesi dikatakan akuntabel apabila organisasinya dapat memastikan bahwa
pelayanan profesional di bidang itu hanya dilaksanakan oleh orang-orang yang kapabel atau
kompeten. Mereka harus memastikan bahwa profesional yang berpraktek harus tetap terjaga
kompetensi dasarnya, dapat meningkatkan kompetensinya sesuai dengan perkembangan jaman /
iptek yang terkait, dan memastikan bahwa mereka bekerja mematuhi standar perilaku dan
standar pelayanan yang diterbitkannya. Mekanisme pengawasan pelaksanaan standar harus
disusun dan diterapkan, serta suatu instrumen untuk mengubah perilaku (deterrent effect) harus
diberlakukan. Instrumen tersebut dapat berupa penghargaan (reward) atau berupa hukuman
(punishment). Namun yang lebih penting adalah bahwa penghargaan ataupun hukuman tersebut
dapat mencegah pengulangan kejadian yang serupa di kemudian hari.
            Sebagaimana telah disinggung di atas, organisasi profesi (tepatnya masyarakat profesi)
dapat membentuk Dewan Kehormatan Kode Etik (atau apa pun namanya sepanjang fungsinya
sama) yang akan melaksanakan proses persidangan (hearing) hingga pemberian sanksi atau
pembinaan (disciplining).

Tanggung-jawab hukum
Tanggungjawab hukum kepada pasien dapat terjadi sebagai akibat dari suatu tindakan yang
melanggar hukum atau yang merugikan pasien. Sifatnya pun dapat merupakan kesengajaan
ataupun kelalaian. Pelanggaran hukum dapat berupa tindakan tanpa informed consent,
pelanggaran susila, pengingkaran atas janji atau jaminan, dan lain-lain. Sedangkan kelalaian
diartikan sebagai "melakukan perbuatan yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan
perbuatan yang seharusnya dilakukan, oleh orang-orang yang berkualifikasi sama pada situasi
dan kondisi yang identik".
Pertanggungjawabannya dapat berupa tanggungjawab pidana dengan berbagai ancaman
hukuman sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan dapat pula berupa tanggungjawab
perdata dalam bentuk pembayaran uang ganti rugi. Tanggungjawab pidana dibebankan langsung
kepada pelakunya apabila kompetensi itu telah sah atau terakreditasi, atau menjadi
tanggungjawab pemberi perintahnya apabila dalam kondisi sebaliknya. Penanggungjawab
dianggap telah lalai memberikan perintah kepada orang untuk melakukan tindakan yang diluar
kompetensinya, padahal diketahuinya bahwa kesalahan atau kerugian dapat terjadi karenanya.
Sedangkan tanggungjawab perdatanya menjadi beban pemberi kerja berdasarkan doktrin
respondeat superior atau pasal 1367 KUH Perdata.
BAB III

Kesimpulan
            Aspek medikolegal phlebotomi yang utama adalah pertanggungjawaban atau
akuntabilitas profesi patologi klinik beserta SDM yang bekerja dalam lingkup keprofesiannya
kepada masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

Goldman PH. Legal aspects of alternative medicine in Minnesota. Minnesota Medical


Association. Vol 82, May 1999.
Bayles MD. Professional Ethics. Belmont: Wadsworth Inc, 1981.
Jackson JP (ed). A Practical Guide to Medicine and the Law. London: Springer-Verlag, 1991.
Leenen H, Gevers S, Pinet G. The rights of patients in Europe. Deventer: WHO and Kluwer Law
and Taxation Publisher, 1993.
Sanbar SS, Gibofsky A, Firestone MH, LeBlang TR. Legal Medicine. 4th ed. St Louis: American
College of Legal Medicine, 1998.
Undang-Undang No 23 tahun 1992 tentang Kesehatan.
Undang-Undang No 18 tahun 2002 tentang IPTEK.
Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Permenkes 370/SK/III/2007 Standart Profesi Analis Kesehtan

Anda mungkin juga menyukai