2. Indikator
Merupakan variabel ukuran atau tolok ukur yang dapat menunjukkan indikasi-indikasi
terjadinya perubahan tertentu. Untuk mengukur kinerja rumah sakit ada beberapa indikator,
yaitu:
a. Input, yang dapat mengukur pada bahan alat sistem prosedur atau orang yang
memberikan pelayanan misalnya jumlah dokter, kelengkapan alat, prosedur tetap dan
lain-lain.
b. Proses, yang dapat mengukur perubahan pada saat pelayanan yang misalnya
kecepatan pelayanan, pelayanan dengan ramah dan lain-;ain.
c. Output, yang dapat menjadi tolok ukur pada hasil yang dicapai, misalnya jumlah
yang dilayani, jumlah pasien yang dioperasi, kebersihan ruangan.
d. Outcome, yang menjadi tolok ukur dan merupakan dampak dari hasil pelayanan
sebagai misalnya keluhan pasien yang merasa tidak puas terhadap pelayanan dan lainlain.
e. Benefit, adalah tolok ukur dari keuntungan yang diperoleh pihak rumah sakit
maupun penerima pelayanan atau pasien yang misal biaya pelayanan yang lebih
murah, peningkatan pendapatan rumah sakit.
f. Impact, adalah tolok ukur dampak pada lingkungan atau masyarakat luas misalnya
angka kematian ibu yang menurun, meningkatnya derajat kesehatan masyarakat,
meningkatnya kesejahteraan karyawan.
3. Standar adalah spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan sebagai patokan
dalam melakukan kegiatan. Standar ini dapat ditentukan berdasarkan kesepakatan
propinsi, kabupaten/kota sesuai dengan evidence base.
4. Bahwa rumah Sakit sesuai dengan tuntutan daripada kewenangan wajib yang harus
dilaksanakan oleh rumah sakit propinsi/kabupaten/kota, maka harus memberikan
pelayanan untuk keluarga miskin dengan biaya ditanggung oleh Pemerintah
Kabupaten/Kota.
5. Secara khusus selain pelayanan yang harus diberikan kepada masyarakat wilayah
setempat maka rumah sakit juga harus meningkatkan manajemen di dalam rumah
sakit yaitu meliputi:
PENGHITUNGAN EFISIENSI
Indikator penilaian efisiensi pelayanan adalah:
- Length of stay.
Bed occupancy rate (BOR) atau Pemakaian Tempat Tidur dipegunakan untuk melihat
berapa banyak tempat tidur di rumah sakit yang digunakan pasien dalam suatu masa.
Jumlah hari perawatan
BOR = x 100%
Jumlah TT x hari perawatan
Prosentase ini menunjukkan sampai berapa jauh pemakaian tempat tidur yang tersedia di
rumah sakit dalam jangka waktu tertentu. Bila nilai ini mendekati 100 berarti ideal tetapi bila
BOR Rumah Sakit 60-80% sudah bias dikatakan ideal.
BOR antara rumah sakit yang berbeda tidak bisa dibandingkan oleh karena adanya perbedaan
fasilitas rumah sakit, tindakan medik, perbedaan teknologi intervensi. Semua per bedaan tadi
disebut sebagai case mix.
Turn over internal (TOI), waktu rata-rata suatu tempat tidur kosong atau waktu antara satu
tempat tidur ditinggalkan oleh pasien sampai ditempati lagi oleh pasien lain.
(Jumlah TT x 365) hari perawatan
TOI = x 100%
Jumlah semua pasien keluar hidup + mati
TOI diusahakan lebih kecil daripada 5 hari.
Bed turn over (BTO), berpa kali satu tempat tidur ditempati pasien dalam satu tahun.
Usahakan BTO lebih besar dari 40.
Length of stay yang baik 5-13 hari atau maksimum 12 hari, 6-10 hari.
Infant mortality rate (angka kematian bayi). Standar 20%
Jumlah kematian bayi yang lahir di RS
IMR = - x 100%
Jumlah bayi yang lahir di RS dalam waktu tertentu
Maternal Mortality Rate (MMR) atau angka kematian ibu melahirkan. Standard 0,25%
atau antara 0,1-0,2%
Jumlah pasien obstetri yang meninggal
MMR = x 100%
Jumlah pasien obstetri dalam jangka waktu tertentu
Foetal Death Rate (FDR) atau angka bayi lahir mati. Standar 2%.
Jumlah kematian bayi dengan umur kandungan 20 minggu
FDR = - x 100%
Jumlah semua kelahiran dalam jangka waktu tertentu
Post Operative Death Rate (FODR) atau angka kematian pasca bedah. Standar 1%.
Jumlah kematian setelah operasi dalam satu periode
FODR = x 100%
Jumlah pasien yang dioperasi dalam periode yang sama
Angka kematian sectio caesaria. Standar 5%.
Dalam usaha memperkecil pengaruh case mix untuk menilai tingkat efisiensi digunakan
indikator yang lebih tajam, indikator yang dimaksud adalah:
Pasien yang akan dioperasi biasanya harus menjalani pemeriksaan radiologi dan laboratorium
serta perlu observasi terhadap keadaan tertentu. Jadi sebelum operasi pasien telah
menggunakan jasa rumah sakit yang tidak sedikit. Lebih banyak pemeriksaan atau lebih lama
observasi tentunya lebih banyak menggunakan sumber daya rumah sakit. Agar efisiensi maka
pemborosan harus ditekan. Bertambah singkat Av LOS prabedah, bertambah hemat atau
bertambah efisien pelayanan yang diberikan.
Telah disusun kelompok-kelompok diagnosis penyakit yang tidak berbeda banyak cara
penganannya mediknya, tidak berbeda banyak Av LOS-nya, dan hampir sama menyerap
sumber dayanya. Kelompok penyakit ini disebut Diagnosis Related Group (DRG). Dalam
DRG ini ada 83 kelompok diagnesis yang masih terbagi lagi menjadi 383 subkelompok.
INDIKATOR PENILAIAN
Untuk menilai pemanfaatan tenaga dipergunakan indikator:
- Rasio jumlah paisien intensif dengan jumlah tenaga perawat yang melayani.
- Rasio pasien rawat jalan terhadap jumlah penduduk dalam, catchment area
- Hospitalization rate
biaya pelayanan kesehatan tersebut sangat dirasakan oleh masyarakat pengguna jasa
pelayanan kesehatan, lembaga pembayar dan penyelenggara pelayanan kesehatan (PPK)
terutama rumahsakit. Dampak yang dirasakan oleh masyarakat konsumen antara lain
harga-harga produk pelayanan kesehatan semakin tidak terjangkau. Dampak yang
dirasakan oleh Jamsostek sebagai salah satu lembaga penjamin/pembayar biaya kesehatan
di Indonesia adalah kesulitan menyediakan biaya sesuai kebutuhan PPK agar dapat
memberikan pelayanan yang optimal bagi pasien-pasien dari lembaga penjamin seperti
Jamsostek dll. Salah satu kendala yang dihadapi adalah kurang memadainya biaya
kesehatan yang diberikan lembaga penjamin atau kurang memadainya mutu pelayanan
yang diberikan PPK. Sehingga hal ini seringkali memicu konflik antara Lembaga Penjamin
dan rumahsakit. Beberapa lembaga penjamin menganggap rumahsakit tidak efisien dalam
berbagai aspek termasuk menyangkut masalah mutu dan profesionalisme dokter. Masalah
lain yang dihadapi adalah pembayaran pelayanan di rumahsakit yang sangat bervariasi
antara rumahsakit yang satu dan lainnya. Hal ini disebabkan selain karena adanya standar
pelayanan yang berbeda beda antar rumahsakit dan penggunaan sumber daya yang
belebihan, juga oleh pengaruh industri obat yang akan mempengaruhi perilaku dokter
dalam peresepan. Untuk itu perlu dicari suatu solusi untuk mengendalikan biaya pelayanan
di rumahsakit melalui mekanisme pembayaran pra upaya. Pembayaran pra upaya
(prospective payment system) adalah suatu cara pembayaran ke provider yang besarannya
sudah ditetapkan sebelum pelayanan tersebut diberikan dengan memperhitungkan sumber
daya yang digunakan. Salah satu bentuk pembayaran pra upaya yang saat ini sedang
digalakkan adalah pembayaran berdasar tarif paket pelayanan esensial.Strategi baru
dalam menyediakan pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin, adalah dengan
dikembangkannya Paket Pelayanan Esensial (PPE). Dan untuk memperoleh hasil
perhitungan tarif PPE, rumahsakit harus terlebih dahulu memiliki sistem informasi biaya
yang baik dan telah menghitung unit cost atau telah melakukan analisis biaya pelayanan
berbasis aktivitas secara detail pada setiap pelayanan ataupun per penyakitnya. Sehingga
dimungkinkan bisa dilakukan analisis sensitivitas untuk memberikan alternative
pembiayaan sebagai dasar negosiasi kepada stakeholder mengenai biaya yang terjadi atas
muatan tarif PPE yang diberlakukan. Pembiayaan pelayanan kesehatan berdasar tarif PPE
ini merupakan prasyarat dalam penggunaan dana PKPS BBM yang dikelola oleh rumah sakit.
Dalam sistem jaminan kesehatan nasional, khususnya untuk menjamin kesehatan keluarga
miskin dipersyaratkan tarif PPE sebagai dasar reimbursement klaim ke rumah sakit.
Diharapkan dengan adanya tarif PPE, biaya pelayanan rumah sakit bisa lebih terkendali
dan terjamin mutunya. Analisis biaya pelayanan berbasis aktivitas dan tarif PPE ini
diharapkan sebagai langkah awal yang nantinya menjadi dasar tarif paket dengan model
Diagnosis Relateds Group (DRG). Tarif paket ini pada dasarnya berusaha mendorong agar
pihak dokter di rumahsakit menjadi sadar biaya (cost conscious) yaitu dengan cara
membuat mereka menanggung sebagian risiko finansial. Seperti diketahui dengan model
pembayaran sistem klaim yaitu menagih berapapun biaya yang telah dikeluarkan kepada
perusahaan/asuransi, rumahsakit tidak menanggung risiko biaya apapun karena berapapun
yang akan dikeluarkan akan dibayar. Oleh karena itu, perlu ada sistem yang akan membuat
rumahsakit harus efisien dalam pelayanan, bila tidak maka pihak rumahsakit akan rugi.
Caranya adalah dengan mempaketkan biaya pelayanan kesehatan berdasarkan diagnosis.
Dengan demikian pihak rumahsakit diminta memprediksi obat dan tindakan yang akan
dilakukan terhadap pasien-pasien dengan diagnosis atau kelompok diagnosis tertentu.
SISTEM PENGHITUNGAN BIAYA BERBASIS CASEMIX DAN DRGS SEBAGAI MODEL SISTEM
PEMBIAYAAN KESEHATAN IDEAL SAAT INI Casemix maupun DRGs selama ini hanya
merupakan keinginan dan cita-cita bagi pelayanan kesehatan di negara berkembang,
termasuk Indonesia. Dengan alasan pembiayaan dan infrastruktur, sistem ini seakan
sulit sekali terjangkau, pesimistis sebagian pakar bahwa sistem ini hanya milik negara
maju. Dengan dikeluarkannya UU No 40 Tahun 2004 tentang SJSN (Sistem Jaminan
Sosial Nasional) telah memberikan angin segar (wind of change) pada perubahan pola
pembayaran Rumahsakit ke depan, karena rumahsakit akan dibayar dengan sistem
pembayaran di muka (pre payment). Salah satu diantaranya adalah sistem DRG yang
hingga saat ini belum banyak Rumahsakit, lembaga asuransi maupun stake holdernya
yang memahami falsafah, konsep, metodologi, manfaat maupun perencanaan, proses
dan implementasinya. Dengan sistem ini nantinya segala sesuatu seakan terasa mudah,
adil dan memuaskan bagi berbagai pihak karena sistem ini akan memberikan
penjaminan terhadap pasien akan kepastian biaya, mutu dan kecepatan serta ketepatan
proses karena IT / SIRS sangat berperan besar. Namun sistem ini tentunya memerlukan
berbagai kesiapan, mulai dari kesiapan SDM, komitmen terhadap budaya kerja, investasi
teknologi dan keilmuan yang tidak sedikit. Namun setiap proses ke arah perbaikan perlu
di mulai karena tidak akan pernah ada hasil tanpa permulaan. Dan Depkes sudah
mencoba memulainya dengan menerapkan PPE sebagai jembatan menuju DRGs dan
memperkenalkan konsep ini ke berbagai Rumahsakit sejak beberapa tahun yang lalu.
Namun, implementasinya terasa sangat sulit sekali hingga pada awal september 2005
tim dari Universitas Kebangsaan Malaysia dengan didampingi tim dari UGM dan UI
diminta Depkes untuk mensupport perencanaan Depkes dengan uji coba pada 15 RSUP
di Indonesia dengan model pendekatan yang paling mungkin bisa dilaksanakan, yang
hingga pada saat ini sedang berproses. Casemix atau istilah populer lainnya Patient
pelayanan termasuk satuan biaya. Pelaksanaan DRG sebagai standar tarif rumah sakit di
Indonesia telah dijajaki sejak tahun 1995, nemun secara lebih intensif baru dibahas pada
tahun 2000. Karenanya pengambangan DRG saat ini dilakukan dengan upaya short cut,
yaitu adopsi DRG yang dianut beberapa negara tetangga (Australia, Singapura) untuk
selanjutnya dilakukan penyesuaian kasus, bauran kasus dan satuan biaya. Untuk maksud
tersebut, telah dibentuk Tim pengembangan DRG dengan upaya short cut terdiri dari lintas
sektoral dan lintas program, profesi terkait (Depkes, IDI, profesi lain, Perhimpunan Rumah
sakit, dan lain-lain). Untuk dapat terlaksananya penyusunan DRG ada beberapa prasyarat
yang harus dipenuhi oleh rumah sakit diantaranya; harus ada prosedur baku (Profesional
Conduct), Harus ada kesepakatan tindakan apa dan kasus apa serta menjadi kewenangan
siapa, kesepakatan penentuan bobot tindakan, tersedianya rekam medik yang lengkap dan
benar, serta perhitungan unit cost. Penyusunan DRG memang bukan hal yang mudah,
lengkah yang harus ditempuh masih cukup panjang dan masih memerlukan effort, baik
biaya maupun pemikiran yang harus disediakan. Sebagai langkah antara, maka Depkes
telah mengembangkan pola tarif di rumah sakit berdasarkan Paket Pelayanan Esensial
(PPE) yang diharapkan dapat dijadikan sebagai embrio DRG yang saat ini dipakai dalam
pelaksanaan program PKPS-BBM.Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Trisnowibowo H di
Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan (Trisnowibowo H, 2001), didapatkan poin-poin
sebagai berikut:
dibanding kandungan biaya pada terminologi biaya perawatan dari sudut pandang rumah
sakit sebagai pembeli sumber daya. Pada sudut pandang rumah sakit sebagai pembeli
sumber daya, kandungan biaya mencakup besaran nilai rupiah yang dikeluarkan rumahsakit
atas konsumsi seluruh sumber daya yang digunakan baik yang bersifat recurrent cost
maupun capital cost dalam aktivitas-aktivitas operasional maupun non-operasional rumah
sakit dalam rangka penyediaan layanan kesehatan. Sedangkan kandungan biaya jika
ditinjau dari sudut pandang pasien sebagai pembeli layanan kesehatan, biaya mencakup
besaran nilai rupiah yang dibutuhkan sebagai nilai ganti ekonomis atas layanan kesehatan
yang telah diberikan rumah sakit, baik yang dibayar oleh pasien langsung (out of pocket),
penjamin (insurance), maupun subsidi. Cakupan biaya yang terakhir lebih mengacu pada
besaran tarif yang dikenakan rumah sakit atas layanan kesehatan yang disediakannya, yang
tidak lain adalah sumber pendapatan rumah sakit. Elemen yang terkandung dalam tarif
adalah biaya (sudut pandang rumah sakit sebagai pembeli sumber daya) dan margin.
Margin adalah selisih antara tarif dan biaya. Nilai margin dapat bernilai positif, yaitu tarif
lebih besar dari biaya atau seringkali disebut gain, namun dapat pula bernilai negatif,
yaitu tarif lebih kecil dari biaya atau disebut loss. Skema biaya layanan kesehatan ini
dapat dilihat pada bagan di bawah ini : Bagan . Skema Biaya Layanan Kesehatan Biaya
Layanan Kesehatan : Sudut Pandang Rumah Sakit sebagai Pembeli Sumber Daya
Perhitungan biaya layanan kesehatan pada sudut pandang rumah sakit sebagai pembeli
sumber daya dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan. Dua pendekatan perhitungan
biaya yang sering digunakan adalah pendekatan cost modelling (seperti Yale Cost Model)
dan pendekatan individual patient costing atau clinical costing[1]. Cost modelling
merupakan penjabaran dari metode perhitungan biaya melalui pendekatan top down,
sedangkan clinical costing merupakan penjabaran dari metode perhitungan biaya melalui
pendekatan bottom up. Kedua pendekatan dalam metode perhitungan biaya tersebut
dapat diadopsi untuk mengestimasi biaya rata-rata masing-masing DRG dan dalam
menentukan bobot biaya (cost weights). Pendekatan Atas Bawah (Top Down Costing)
Pendekatan Cost modeling, sebagai penjabaran top down costing, menggunakan
beberapa indikator untuk mengalokasikan seluruh biaya, termasuk biaya overhead, ke
masing-masing DRG[2]. Metode ini menggunakan informasi utama dari rekening atau data
keuangan rumah sakit yang telah ada. Langkah pertama adalah mengidentifikasi
pengeluaran-pengeluaran rumah sakit yang terkait dengan penyediaan layanan rawat inap.
Langkah selanjutnya adalah mengklasifikasikan pengeluaran-pengeluaran tersebut ke
masing-masing cost center seperti bangsal rawat inap (wards), gaji dan jasa medis tenaga
medis dan paramedis (medical salaries), ruang operasi (operating room), bahan dan
barang farmasi (pharmacy), radiologi (radiology), patologi (pathology), dan pekerja sosial
serta unit-unit biaya lain yang terkait dengan penyediaan layanan kesehatan[3]. Pada
pendekatan ini, biaya per pasien akan terdistribusi sesuai bobot pelayanan yang telah
ditetapkan sebelumnya (service weights) berdasarkan nilai relatif masing-masing
komponen biaya perawat, patologi, pencitraan (imaging), perawatan intensif (ICU), dan
biaya ruang operasi untuk seluruh DRG. Seluruh biaya overhead secara bersama-sama akan
dialokasikan berdasarkan lama rawat (length of stay) pasien. Beberapa peneliti
mengungkapkan bahwa untuk mengaplikasikan top down costing, terlebih dahulu perlu
mengidentifikasi unit-unit yang ada di dalam rumah sakit sesuai struktural organisasi
operasional rumah sakit. Secara umum, unit-unit yang ada di rumah sakit dapat
dikategorikan ke dalam pusat biaya overhead (overhead cost centres), pusat biaya
perantara (intermediate (ancillary) cost centres), dan pusat biaya pelayanan pasien
(patient care (Final) cost centres)[4]. Pusat biaya overhead terdiri dari unit-unit yang
menghasilkan produk dan/atau jasa bagi unit-unit pusat biaya lain dan tidak menggunakan
produk dan/atau jasa dari unit pusat biaya lain (atau tidak menerima alokasi biaya dari
unit lain). Pusat biaya perantara terdiri dari unit-unit yang menghasilkan produk dan/atau
jasa untuk mendukung operasional unit-unit pusat biaya lain (yaitu, unit pusat biaya
pelayanan pasien). Berbeda dengan unit-unit pusat biaya overhead, unit-unit pusat biaya
perantara dalam aktivitas operasionalnya menggunakan produk dan/atau jasa dari unit
pusat biaya overhead, sehingga unit-unit pusat biaya ini menerima alokasi biaya dari unit
pusat biaya overhead. Terakhir, pusat biaya pelayanan pasien (final) terdiri dari unit-unit
yang menghasilkan produk dan/atau jasa yang langsung digunakan oleh pasien, sebagai
pengguna produk dan/atau jasa akhir. Unit-unit pusat biaya pelayanan pasien dalam
aktivitas operasionalnya menggunakan produk dan/atau jasa yang dihasilkan oleh unit
pusat biaya perantara dan unit pusat biaya overhead, sehingga unit pusat biaya ini akan
menerima alokasi biaya dari unit pusat biaya overhead maupun unit pusat biaya perantara
sesuai produk dan/atau jasa yang digunakan. Ilustrasi keterkaitan antar pusat-pusat biaya
dan kerangka kerja pendekatan top down costing di atas dapat dilihat pada bagan berikut
ini. Bagan . Keterkaitan antar pusat-pusat biaya dalam kerangka top down costing Bagan .
Kerangka kerja pendekatan top down costingPendekatan Bawah Atas (Bottom Up
Costing) Pendekatan Clinical costing, sebagai penjabaran metode bottom up costing,
mencakup pengumpulan data tentang layanan-layanan yang diterima oleh pasien secara
individual, seperti patologi, radiologi, fisioterapi, dan keperawatan. Data-data tersebut
selanjutnya akan dikonversikan ke dalam nilai biaya per pasien menggunakan ukuranukuran relatif antara elemen-elemen biaya dan jenis- jenis layanan. Penentuan ukuranukuran ini kadang tidak didapatkan dari pengumpulan data di rumah sakit, maka terkadang
dikembangkan nilai ukuran relative value units (RVUs). Salah satu metode bottom up
costing yang banyak digunakan adalah activity based costing (ABC). ABC adalah suatu
metodologi pengukuran biaya dan kinerja atas aktivitas, sumber daya, dan objek biaya[5].
ABC memilik dua elemen utama, yaitu pengukuran biaya (cost measures) dan pengukuran
kinerja (performance measures). Sumber daya-sumber daya ditentukan oleh aktivitasaktivitas yang dilakukan, sedangkan aktivitas-aktivitas ditentukan berdasarkan kebutuhan
yang digunakan oleh objek biaya. Konsep dasar ABC menyatakan bahwa aktivitas
mengkonsumsi sumber daya untuk memproduksi sebuah keluaran (output), yaitu
penyediaan layanan kesehatan. Melalui pemahaman konsep ABC tersebut di atas,
keterkaitan antara service lines, tarif, sumber daya, dan biaya yang dikeluarkan penyedia
sumber daya dalam kerangka interaksi antara pengguna layanan, rumah sakit, dan
penyedia sumber daya dapat diilustrasikan seperti pada bagan berikut ini.Bagan .
Keterkaitan antara service lines, tarif, sumber daya, dan biaya Pada dasarnya langkahlangkah perhitungan biaya dalam metode ABC terdiri dari tiga langkah utama. Pertama,
mengumpulkan data mengenai aktivitas seluruh unit dalam rumahsakit yang mendukung
output. Kedua, mengembangkan pola keterkaitan antara aktivitas-aktivitas tersebut
terhadap masing-masing output. Ketiga, mengembangan perhitungan biaya atas aktivitasaktivitas kepada output. Ilustrasi tiga langkah mendasar dalam ABC tersebut dapat dilihat
dalam bagan 2.2.5. Dalam banyak kasus, biaya-biaya terkumpul pada sebuah unit dan
untuk mengkaitkan biayabiaya dengan aktivitas-aktivitas membutuhkan suatu metodologi
pengalokasian yang spesifik. Tiga langkah mendasar tersebut digunakan dalam
mengimplementasikan sebuah sistem dimana unit-unit pelayanan (units of service),
program-program (programs), dan pusat-pusat pertanggungjawaban (responsibility
centers) menjadi fokus bagi manajemen dalam mengakumulasi biaya. Bagan . Tiga
Langkah Dasar perhitungan biaya metode ABC dan Fokus Manajemen Dalam terminologi
akuntansi biaya, area-area dimana biaya-biaya dikelompokkan bersama disebut cost
pools[6]. Jika fokus akumulasi biaya oleh manajemen adalah sebuah unit pelayanan,
contohnya laboratorium, maka unit pelayanan tersebut akan menjadi sebuah cost pool.
Jika fokus akumulasi biaya oleh manajemen adalah sebuah progam, maka program
tersebut akan menjadi sebuah cost pool. Cost pool sering digunakan dalam sebuah proses
akumulasi dua tahap (two-stage accumulation process) dalam ABC. Sebagai contoh :
1. Tahap pertama, biaya-biaya atas sumber daya-sumber daya pendukung ditelusur ke
masing-masing sumber daya, pengembangan menjadi beberapa cost pool.
2. Tahap kedua, masing-masing cost pool dialokasikan ke masing-masing produkproduk dan jenis-jenis pelayanan. Alokasi cost pool ditentukan berdasarkan
seberapa besar masing-masing produk dan jenis pelayanan secara spesifik
mengkonsumsi aktivitas.
Namun, dalam pengembangan ABC, tidak semua orang menggunakan prosedur cost pool.
Ada yang memiliki pandangan lain mengenai cost driver yang menjelaskan bahwa :
1. Pemicu sumber daya (resource drivers) sebagai mekanisme yang digunakan untuk
menentukan biaya sumber daya-sumber daya ke masing-masing aktivitas, dan
2. Pemicu aktivitas (activity driver) sebagai mekanisme untuk menentukan biaya
aktivitas-aktivitas ke masing-masing produk atau jenis pelayanan.
Namun apapun mekanisme yang digunakan baik cost pool maupun resource and
activity driver, hal utama yang harus digarisbawahi adalah bahwa prinsip dalam
ABC harus selalu mempertimbangkan Products consume activities and activities
consume resources (Produk-produk mengkonsumsi aktivitas-aktivitas dan aktivitasaktivitas mengkonsumsi biaya)6. Ilustrasi kerangka mekanisme kerja dalam metode ABC
dapat dilihat pada bagan berikut ini. Bagan . Kerangka dan prinsip kerja activity based
costing Biaya Layanan Kesehatan : Sudut Pandang Pasien sebagai Pembeli Layanan
Kesehatan Biaya layanan kesehatan jika ditinjau dari sudut pandang pasien sebagai
pembeli layanan kesehatan, biaya mencakup besaran nilai rupiah yang dibutuhkan sebagai
nilai ganti ekonomis atas layanan kesehatan yang telah diberikan rumah sakit, baik yang
dibayar oleh pasien langsung (out of pocket), penjamin (insurance), maupun subsidi. Jika
terminologi ini ditinjau dari sudut pandang rumah sakit sebagai penyedia layanan
kesehatan, maka biaya layanan kesehatan yang dimaksud di sini tidak lain adalah tarif
(charge) yang dikenakan rumah sakit atas layanan kesehatan yang diberikannya. Beberapa
peneliti telah menggunakan nilai billing (tarif) sebagai proksi pengukuran biaya layanan
kesehatan[7]. Permasalahan yang terjadi, seringkali billing (tarif) berbeda dengan biaya
aktual yang dikeluarkan rumah sakit sebagai pembeli sumber daya. Selisih beda tersebut
disebut margin. Jadi, pada dasarnya elemen yang terkandung dalam tarif adalah biaya
(sudut pandang rumah sakit sebagai pembeli sumber daya) dan margin. Nilai margin dapat
bernilai positif, yaitu tarif lebih besar dari biaya atau seringkali disebut gain, namun dapat
pula bernilai negatif, yaitu tarif lebih kecil dari biaya atau disebut loss. Manajemen rumah
sakit diharapkan telah mempertimbangkan besar biaya yang dikeluarkan rumah sakit
dalam menyusun tarif. Sehingga besaran tarif yang dihasilkan cukup representatif untuk
menggambarkan besarnya nilai ganti ekonomis yang diinginkan rumah sakit. Pasien,
asuransi, dan pemerintah, sebagai pembeli/penyedia dana layanan kesehatan,
berkepentingan untuk mendapatkan kepastian atas nilai ganti ekonomis yang harus mereka
keluarkan atas layanan kesehatan yang telah diberikan rumah sakit. Besaran nilai ganti
ekonomis atas layanan kesehatan yang telah diberikan tersebut oleh manajemen rumah
sakit telah direpresentasikan dalam nilai tarif layanan kesehatan. Jika dilihat dari sudut
pandang pembeli/penyedia dana layanan kesehatan, mekanisme transfer atas nilai ganti
ekonomis antara pembeli layanan kesehatan kepada penyedia layanan kesehatan sering
kali disebut sistem pembayaran layanan kesehatan. Secara umum, sistem pembayaran
layanan kesehatan dapat digolongkan menjadi dua, yaitu sistem pembayaran prospektif
dan sistem pembayaran retrospektif[8]. Sistem pembayaran prospektif adalah suatu sistem
dimana besaran nilai pembayaran atas suatu layanan disusun atau ditetapkan sebelum
layanan diberikan. Sistem pembayaran retrospektif adalah suatu sistem dimana besaran
nilai pembayaran atas suatu layanan disusun atau ditetapkan setelah layanan diberikan.
Sistem kelompok diagnosa terkait (Diagnostis Related Groups) merupakan salah salah satu
model sistem pembayaran prospektif. Sistem pembayaran yang terjadi di Indonesia saat ini
adalah fee-for-services dan sistem per diem. Sistem ini merupakan salah dua model sistem
pembayaran yang cenderung retrospektif. Jumlah seluruh tarif atas layanan-layanan yang
diterima pasien untuk satu episode perawatan atas suatu kelompok diagnosa terkait
(DRG), tidak lain adalah representasi proksi biaya layanan kesehatan yang dikeluarkan
pasien, asuransi, dan pemerintah sebagai nilai ganti ekonomis atas suatu paket layanan
kesehatan kepada seorang pasien penderita serangkaian kelompok diagnosa tertentu.
Hanya saja margin yang terkandung dalam tarif tersebut bukanlah margin antara paket
biaya aktual dan tarif paket per DRG, melainkan margin gabungan dari seluruh margin
antara biaya aktual dan tarif per jenis pelayanan yang diterima seorang pasien dalam satu
episode perawatan tententu. Sebagai ilustrasi atas argumen ini, dapat dilihat pada bagan
berikut : Bagan. Kerangka pembebanan biaya layanan kesehatan kepada pengguna layanan
(pasien) pada pola fee-for-services Bagan. Kerangka pembebanan biaya layanan kesehatan
kepada pengguna layanan (pasien) pada pola DRG Kesiapan sistem pendataan,
administrasi dan keuangan serta cost culture pada lembaga pemberi pelayanan
kesehatan / Rumahsakit akan merupakan kekuatan yang besar sehingga sistem
yang ideal akan bisa dijalankan. Namun demikian berbagai pihak harus membuat
terobosan-terobosan untuk memulai pada tahap awal sebagai jembatan-jembatan
menuju pada sistem yang ideal. Melalui berbagai kemungkinan aplikasi yang
bervariasi pada industri-industri pelayanan kesehatan maupun dalam
pengembangan program-program terpadu di sektor kesehatan. Hal ini akan
memberi jalan pada kemungkinan suatu terobosan baru pada ilmu pembiayaan
untuk pelayanan kesehatan yang unggul dan seharusnya berjalan pada industri
pelayanan kesehatan yaitu sistem penghitungan biaya pelayanan standart sesuai
protap medis yang seharusnya berjalan yang pada ilmu pembiayaan modern
disebut pembiayaan berbasis aktivitas (Activity Based Costing). Activity Based
Costing inilah pilar yang akan menjembatani pada suatu tools yang sifatnya ideal
dan lebih advance yaitu sistem pembiayaan berbasis Diagnosis Related Groups
(DRG). PENUTUPAdanya Analisis Biaya Pelayanan Standart ini diharapkan bisa menjadi
investasi bagi Lembaga Penjamin/Pembayar/Jamsostek maupun Rumahsakit dalam
pengembangan sistem pembiayaan yang lebih baik di masa depan. Dengan adanya win-win
solution antara berbagai pihak dan berbagai action-action yang terencana diharapkan
biaya kesehatan bisa lebih terkendali, lebih adil, bermutu, dan memberikan perlindungan
bagi masyarakat. Walaupun kecil, setiap proses harus dimulai dengan pengharapan yang
lebih besar untuk perbaikan wajah pelayanan kesehatan di Indonesia dan diharapkan akan
mendukung program SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional) maupun kebijakan-kebijakan
terkait yang saat ini sedang dikembangkan oleh pemerintah.
[1]Palmer G.R., Aisbett C., Fetter R., Winchester L., Reid B. & Rigby E. (1991). Casemix costs and casemix
accounting in seven major Sydney teaching hospitals. Centre for Hospital Management and Information System
Research and School of Health Services Management, University of New South Wales.
[2] Candler I.R., Fetter R.B. & Newbold R.C. (1991). Cost accounting and budgeting. In : Gong Z..,(2004).
Developing casemix classification for acute hospital inpatients in Chengdu. China.
[3] Phelan P.D., Tate R., Webster F. & Marshall R.P. (1998). DRG cost weights : getting it right. The Medical
Journal Australia.
[4] Sulong S.B., (2005). Data requirement for casemix. Materi presentasi Casemix workshop in Hospital
Universiti Kebangsaan Malaysia.
[5] Baker, Judith J. (1998). Activity-Based Costing and Activity-Based Management for Health Care. Aspen
Publishers, Inc. Maryland
[6] Baker, Judith J. (1998). Activity-Based Costing and Activity-Based Management for Health Care. Aspen
Publishers, Inc. Maryland
[7] Gong Z., (2004). Developing casemix classification for acute hospital inpatients in Chengdu, China.
[8] Aljunid S.M., (2005). Pengenalan sistem pembiayaan kesehatan dan rumah sakit. Materi presentasi pelatihan
implementasi casemix di Indonesia, Bandung
Share this:
StumbleUpon
Digg
Aku Mau Nanay pendapat kamu tentang INA DRG, apakah kamu setuju kl seluruh
RS di Indonesia DRG nya sama, padahal setiap daerah kan mempunyai karakteristik
serta peralatan medis yang berbeda pula.
Thx ya
1.
Yuddi
Juni 27, 2008 pukul 9:32 pm
Balas | Kutipan
Sambil nunggu pertanyaan Pak Tinus di jawab oleh Pak Wandy, saya ingin
memberikan sedikit tanggapan saja. Saya pribadi tidak terlalu mempermasalahkan
INA DRG, tetapi penerapan di seluruh RS tentunya butuh tahapan-tahapan yang lebih
PENDAHULUAN
Rumah Sakit Pemerintah merupakan unit kerja dari Instansi Pemerintah
yang
memberikan
pelayanan
kesehatan
kepada
masyarakat
umum.
Rumah
Sakit
yang
merupakan
salah
satu
kegiatan
dari
manajemen keuangan adalah salah satu sasaran pertama yang harus diperbaiki
agar dapat memberikan data dan informasi yang akan mendukung para manajer
Rumah
Sakit
dalam
pengambilan
keputusan
maupun
pengamatan
serta
pengendalian kegiatan Rumah Sakit. Yang menjadi kendala pada Rumah Sakit
Swadana dan belum terpecahkan sampai saat ini adalah Rumah Sakit melakukan
dua sistem pencatatan dan pelaporan yaitu yang berdasarkan prinsip akuntansi
yang lazim (Accrual Basis) dan Basis Kas (Cash Basis) untuk memenuhi
ketentuan yang berlaku yang diharapkan dapat berjalan secara paralel,
II.
III.
1.
2.
pertolongan pertama
Rumah Sakit Terspesialisasi
Merupakan rumah sakit yang memiliki spesialisasi terhadap suatu penyakit yang
membutuhkan penanganan khusus. Rumah sakit yang dapat dikategorikan
sebagai rumah sakit terspesialisasi antara lain trauma center, rumah sakit anak,
gigi, manula, dll. Biasanya rumah sakit ini memiliki afiliasi dengan universitas
3.
4.
5.
pelayanan
kesehatan
kepada
anggota
lembaga/perusahaan
tersebut
Klinik
Merupakan fasilitas medis yang lebih kecil dari rumah sakit dan hanya melayani
keluhan tertentu. Klinik biasanya hanya menerima pasien rawat jalan dan
2.
tanpa
mengutamakan
mencari
keuntungan
dan
dalam melakukan
Tarakan , Koja, Duren Sawit, RSUD Haji, dan RSUD Pasar Rebo.
Rumah sakit swasta
Adalah rumah sakit yang dimiliki oleh perorangan atau badan hukum. Rumah
sakit swasta ada yang dimiliki oleh yayasan keagamaan dan kemanusiaan
ataupun dimiliki oleh perusahaan.
IV.
perusahaan
yang
mencari
laba,
bahkan
beberapa
diantaranya
melakukan penjualan sahamnya di pasar modal. Dalam kasus rumah sakit yang
berorientasi laba, standar akuntansi yang diikuti adalah standar akuntansi
keuangan yang digunakan untuk sektor komersial.
Dalam hal ini dibahas bagaimana aturan dan prinsip-prinsip penggunaan
akuntansi dana dalam rumah sakit di Amerika Serikat (AS). Dalam mengatur
rumah sakit dibedakan menjadi dua, yaitu:
1.
Rumah Sakit yang Dikelola Pihak Swasta (Private Hospital)
Dalam hal ini, pelaksanaan akuntansi yang dikembangkan oleh Financial
Accounting Standards Board FASB (Dewan Standar Akuntansi Keuangan)
khususnya
dalam
pernyataan
no.117
tentang
Laporan
Keuangan
untuk
Organisasi Nirlaba.
2.
Rumah Sakit yang Dikelola Pihak Pemerintah (Public Hospital)
Dalam hal ini, pelaksanaan akuntansi dilaksanakan berdasarkan standar
akuntansi yang dikembangkan oleh Govermenttal Accounting Standards Board
GASB (Dewan Standar Akuntansi Pemerintah).
Dalam akuntansi dana untuk rumah sakit, penyajian laporan informasi
keuangan mengharuskan pembentukan dana (fund) yang dibagi menjadi dua,
yaitu:
1.
2.
Tidak ada PSAK khusus yang mengatur standar akuntansi untuk rumah sakit.
PSAK yang paling cocok untuk sementara waktu digunakan adalah PSAK 45
tentang organisasi nirlaba.
Berdasarkan PSAK 45, akuntansi RS tidak berdasarkan sistem dana, hanya
dana tunggal. Namun aktiva bersih RS dikategori berdasarkan tiga jenis:
1.
2.
sementara
3.
V.
Dana terikat permanen, yaitu dana denga pembatasan yang bersifat permanen
1.
Neraca
Terdiri dari :
a.
Kas
Jumlah kas yang tercatat dalam neraca tidak termasuk kas pada Dana Terikat
yang tidak dapat digunakan untuk kegiatan operasi.
b.
Piutang
Piutang harus dilaporkan pada jumlah yang diperkirakan dapat direalisasi.
c.
Investasi
Investasi awal dicatat pada harga perolehan pada saat pembelian, atau pada
nilai wajar pada saat penerimaan jika investasi diterima sebagai pemberian.
d.
Aktiva Tetap
Aktiva tetap dilaporkan bersama dengan akumulasi depresiasinya dalam Dana
Umum.
e.
f.
g.
Saldo Dana
Sesuai dengan kaidah pembagian dana yang dijelaskan, saldo dana yang dimiliki
oleh rumah sakit dipisahkan menjadi tiga macam yaitu: terikat, terikat
sementara waktu, dan terikat permanen.
2.
Laporan Operasi
Untuk rumah sakit, hasil dari kegiatan operasinya dilaporkan dalam Laporan
Operasi (Statement of Operations). Laporan ini mencakup tentang pendapatan,
beban, untung dan rugi, serta transaksi lainnya yang mempengaruhi saldo dana
selama periode berjalan. Dalam laporan operasi harus dinyatakan suatu indikator
kinerja seperti halnya laba bersih dalam perusahaan, yang melaporkan hal
kegiatan operasi rumah sakit selama periode berjalan. Indikator kinerja ini harus
mencakup baik laba ataupun rugi operasi selama periode berjalan maupun laba
langsung yang diperoleh selama operasi berjalan. Perubahan lain dari saldo dana
selama periode berjalan harus dilaporkan setelah indikator kinerja.
Berikut adalah pos-pos lain yng jga perlu menjadi perhatian:
a.
Penyesuaian Kontraktual
Transfer Antardana
Tidaklah tepat untuk tetap mengelola aktiva dalam Dana Terikat ketika
persyaratan yang ditetapkan oleh pihak sponsor atau donor sudah terpenihi.
Dalam hal ini aktiva tersebut harus ditransfer dari Dana Terikat ke Dana Tidak
Terikat. Untuk tujuan pelaporan keuangan, transfer antar dana ini dilaporkan
dalam Laporan Operasi sebagai Pelepasan Saldo Dana dan ditunjukkan sebagai
penambahan atas Dana Tidak Terikat.
Contoh Pendapatan:
1.
2.
3.
4.
e.
Beban-beban dalam Dana Umum diakui secara akrual, seperti halnya pada
entitas komersial.
Contoh beban :
Biaya
pelayanan:
bahan,
jasa
pelayanan,
pegawai,
penyusutan,
f.
Sumbangan
Sumbangan (donasi) dibagi menjadi donasi yang terbentuk jasa dan berbentuk
aktiva. Karena sering kali sulit untuk menetapkan nilai dari donasi yang
berbentuk jasa, maka nilai dari donasi ini biasanya tidak dicatat. Namun, jika
terdapat kebutuhan untuk melakukan pencatatan, maka perkiraan nilai dari
donasi jasa dicatat sebagai sumbangan yang langsung diikuti dengan beban
dalam jumlah yang sama. Sedangkan donasi yang berbentuk aktiva dilaporkan
pada nilai wajar pada tanggal diterimanya sebagai sumbangan jika donasi aktiva
ini penggunaannya dibatasi oleh pihak sponsor atau donor maka dilaporkan
dalam
Dana
Terikat
Sementara
atau
Dana
Terikat
Permanen.
Ketika
pembatasannya sudah tidak berlaku lagi, maka dilakukan transfer dari Dana
Terikat ke Dana Umum.
3.
4.
komersial.
Laporan arus kas terdiri dari:
1.
Aktivitas operasi
2.
Aktivitas investasi
3.
Aktivitas pendanaan
Gambaran umum RS
2.
3.
Pendahuluan
2.
Laporan Keuangan
3.
Akuntansi Aktiva
4.
Akuntansi Kewajiban
5.
6.
7.
8.
9.
VI.
mencari
keuntungan
dan
dalam
melakukan
kegiatannya
Menyelenggarakan
pelayanan
umum
yang
pengelolaannya
berdasarkan
4.
Rencana kerja, anggaran dan laporan BLU dan instansi induk tidak
terpisah;
5.
Dari uraian definisi, tujuan dan asas BLU, maka dapat terlihat bahwa BLU
memiliki suatu karakteristik tertentu, yaitu :
1.
3.
4.
korporasi;
5.
6.
Pegawai dapat terdiri dari pegawai negeri sipil dan bukan pegawai negeri
sipil;
8.
2.
serta
dikelola
dan
dimanfaatkan
sepenuhnya
untuk
Pembinaan BLU instansi pemerintah pusat dilakukan oleh Menteri Keuangan dan
pembinaan teknis dilakukan oleh menteri yang bertanggung jawab atas bidang
pemerintahan yang bersangkutan;
4.
kerja perangkat daerah yang bertanggung jawab atas bidang pemerintahan yang
bersangkutan;
5.
6.
Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) serta laporan keuangan dan laporan kinerja
BLU disusun dan disajikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari RKA serta
laporan keuangan dan laporan kinerja kementerian negara/lembaga/pemerintah
daerah;
7.
8.
BLU dapat menerima hibah atau sumbangan dari masyarakat atau badan
lain;
10.
B.
baik
eksternal
maupun
internal
mempunyai
keinginan-
keinginan ataupun harapan terhadap jasa yang disediakan oleh rumah sakit.
Mereka mempunyai persyaratan-persyaratan yang diharapkan dapat dipenuhi
oleh rumah sakit. Namun demikian pelanggan eksternal sebagai pengguna jasa
pelayanan mengharapkan apa yang diinginkan dapat dipuaskan (customer
satisfaction),
sedangkan
tenaga
profesi
mengajukan
persyaratan
agar
minimum
yang
lembaga/gubernur/bupati/walikota
ditetapkan
sesuai
dengan
oleh
menteri/pimpinan
kewenangannya,
harus
biaya serta kemudahan untuk mendapatkan layanan. Dalam hal rumah sakit
pemerintah di daerah (RSUD) maka standar pelayanan minimal ditetapkan oleh
kepala daerah dengan peraturan kepala daerah. Standar pelayanan minimal
tersebut harus memenuhi persyaratan, yaitu :
1.
2.
3.
4.
Relevan dan dapat diandalkan, merupakan kegiatan yang sejalan, berkaitan dan
dapat dipercaya untuk menunjang tugas dan fungsi BLU/BLUD;
5.
Tepat waktu, merupakan kesesuaian jadwal dan kegiatan pelayanan yang telah
ditetapkan.
Rumah Sakit Pemerintah Daerah yang telah menjadi BLU/BLUD dapat
memungut biaya kepada masyarakat sebagai imbalan atas barang/jasa layanan
yang diberikan. Imbalan atas barang/jasa layanan yang diberikan tersebut
ditetapkan dalam bentuk tarif yang disusun atas dasar perhitungan biaya per
unit layanan atau hasil per investasi dana. Tarif layanan diusulkan oleh rumah
sakit kepada menteri keuangan/menteri kesehatan/kepala SKPD sesuai dengan
kewenangannya, dan kemudian ditetapkan oleh menteri keuangan/kepala
daerah dengan peraturan menteri keuangan/peraturan kepala daerah. Tarif
layanan yang diusulkan dan ditetapkan tersebut harus mempertimbangkan halhal sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
pemerintah sehingga masih terdapat suatu cost culture yang tidak mendukung
untuk peningkatan kinerja atau mutu layanan. Penyusunan tarif rumah sakit
seharusnya berbasis pada unit cost, pasar (kesanggupan konsumen untuk
membayar dan strategi yang diipilih. Tarif tersebut diharapkan dapat menutup
semua biaya, diluar subsidi yang diharapkan. Yang perlu diperhatikan adalah
usulan tarif jangan berbasis pada prosentase tertentu namun berdasar pada
kajian yang dapat dipertanggungjawabkan. Secara umum tahapan penentuan
tarif harus melalui mekanisme usulan dari setiap divisi dalam rumah sakit dan
aspek pasar dan dilanjutkan kepada pemilik. Pemilik rumah sakit pemerintah
adalah pemerintah daerah dan DPRD
Pengelolaan Keuangan
Adanya desentralisasi dan otonomi daerah dengan berlakunya UU tentang
Pemerintahan Daerah (UU No. 32 Tahun 2004, terakhir diubah dengan UU No. 12
Tahun 2008), UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan
Daerah, serta Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Umum
Penyusunan APBD, kemudian PP No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum, PP No. 24 Tahun 2005 tentang Standar
Akuntansi Pemerintahan, dan Permendagri No. 61 Tahun 2007 tentang Pedoman
Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah, membuat rumah
sakit pemerintah daerah harus melakukan banyak penyesuaian khususnya
dalam pengelolaan keuangan maupun penganggarannya, termasuk penentuan
biaya.
Dengan terbitnya PP No. 23 Tahun 2005, rumah sakit pemerintah daerah
mengalami
perubahan
menjadi
BLU.
Perubahan
ini
berimbas
pada
Pelaporan
Keuangan
pengelolaan
Badan
keuangannya
Layanan
harus
Umum,
mengacu
dan
dan
khusus
untuk
berdasarkan
RSUD,
Permendagri
yang
dijual
tanpa
mengutamakan
mencari
keuntungan
merupakan
organisasi pemerintahan yang bersifat nirlaba. Sesuai dengan Pasal 26 ayat (2)
PP No. 23 Tahun 2005 yang menyebutkan bahwa Akuntansi dan laporan
keuangan BLU diselenggarakan sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan
yang diterbitkan oleh asosiasi profesi akuntansi Indonesia. Ketentuan ini
menimbulkan inkonsistensi, karena BLU merupakan badan/unit atau organisasi
pemerintahan yang seharusnya menggunakan PSAP atau Standar Akuntansi
Pemerintahan sebagaimana diatur menurut PP No. 24 Tahun 2005 tentang
Standar Akuntansi Pemerintahan, namun dalam PP No. 23 Tahun 2005
menggunakan PSAK (Standar Akuntansi Keuangan) yang berasal dari IAI. Sebagai
organisasi kepemerintahan yang bersifat nirlaba, maka rumah sakit pemerintah
daerah semestinya juga menggunakan SAP bukan SAK.
Laporan keuangan rumah sakit pemerintah daerah merupakan laporan
yang disusun oleh pihak manajemen sebagai bentuk penyampaian laporan
keuangan suatu entitas. Laporan keuangan tersebut merupakan penyampaian
informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan terhadap entitas tersebut,
sehingga isi pelaporan keuangan rumah sakit pemerintah daerah harus
mengikuti ketentuan untuk pelaporan keuangan sebagaimana diatur menurut
SAK, yaitu sebagai organisasi nirlaba (PSAK No. 45) dan menyanggupi untuk
laporan keuangannya tersebut diaudit oleh auditor independen. Laporan
keuangan rumah sakit yang harus diaudit oleh auditor independen.
Adapun Laporan Keuangan rumah sakit pemerintah daerah sebagai BLU
yang disusun harus menyediakan informasi untuk:
1.
2.
3.
4.
aktivitas).
Sehingga, laporan keuangan rumah sakit pemerintah daerah mencakup
sebagai berikut:
1.
Laporan posisi keuangan (aktiva, utang dan aktiva bersih, tidak disebut
kontemporer
dan
terikat
permanen.
Yang
dimaksud
pembatasan
Sedangkan
pembatasan
temporer
adalah
pembatasan
Laporan arus kas yang mencakup arus kas dari aktivitas operasi, aktivitas
Catatan atas laporan keuangan, antara lain sifat dan jumlah pembatasan
1.
2.
Laporan Kinerja.
Laporan Keuangan tersebut paling sedikit terdiri dari:
1.
2.
Neraca;
3.
4.
akuntansi
Rumah
Sakit
secara
bertujuan
optimal.
untuk memberikan
Pajak
(PNBP)
ataupun
sebagai
Badan
Layanan
Umum
yang
menjadi tujuan utama pendirian Rumah Sakit tersebut. Rumah Sakit Pemerintah
menggunakan Laporan Hasil Usaha dalam melaporkan hasil usahanya, tetapi
berbeda dengan badan usaha lainnya atau Rumah Sakit yang berbentuk PT,
pada Rumah Sakit Swadana tidak ada bagian yang diserahkan kepada pemilik
sebagai
Pembuatan
dividen.
sebuah
Neraca
juga
disebut
laporan
posisi
keuangan
yang
menunjukkan kondisi atau posisi keuangan suatu entitas pada suatu tanggal
tertentu. Yang dimaksud dengan posisi keuangan adalah : posisi dari aktiva atau
harta, kewajiban dan Modal. Dalam membuat neraca keuangan rumah sakit
menggunakan dua pendekatan yakni pendekatan pembelanjaan dan pendekatan
sumber
daya.
Setelah itu di buatlah sebuah Laporan Arus Kas Rumah Sakit yang berisi
informasi tentang arus kas/setara kas masuk dan ke luar selama periode tertentu
yang berasal dari aktivitas operasi, investasi yang berjangka pendek dan
pendanaan. Yang bertujuan untuk menilai kemampuan organisasi Rumah Sakit
dalam menghasilkan kas dan menilai kebutuhan arus kas ke luarnya. Karena
dengan membaca laporan arus kas dapat diketahui jumlah kas yang dihasilkan
dalam suatu periode, berapa yang berasal dari kegiatan operasional, investasi
dan pendanaan, berapa jumlah kas yang dikeluarkan untuk supplier, karyawan,
membayar bunga, pengembalian pinjaman dan bagaimana terjadinya SHU
dengan penerimaan dan engeluaran kas.
mengetahui Jumlah total harta dan susunannya serta Jumlah akumulasi Modal.
Kekurangan dari Neraca yakni Merupakan laporan historis dari semua transaksi
di masa lalu akibatnya tidak bisa menunjukkan nilai saat ini (Current value),
dalam neraca digunakan uang sebagai sebuah ukuran sedangkan uang memiliki
nilai yang tidak stabil, tidak dapat mengukur semua sumber daya rumah sakit,
Pos-pos neraca hanya memberikan indikasi atas nilai secara umum.(Contoh
Neraca
Rumah
Sakit
terlampir).
Dari laporan arus kas rumah sakit dapat diketahui kelebihannya yakni jumlah
keluar masuk kas dapat terkontrol dengan baik, dengan leporan keungan yang
baik kredibilitas kepada rumah sakit meningkat. Kekurangannya yakni dari
banyaknya penggunaan kas dalam rumah sakit lebih mudah di manipulasi dan
fiktifkan.
X. KENDALA DAN HAMBATAN AKUNTANSI RUMAH SAKIT PEMERINTAH
a. Ketepatan waktu; Laporan yang tertunda dapat menghasilkan informasi yang
kurang relevan. Sebaliknya untuk menghasilkan informasi yang tepat waktu
seringkali mengurangi keandalan informasi. Untuk mengimbangkan antara
relevansi
dan
keandalan,
pertimbangan
kebutuhan
pengambil
keputusan
yang
merupakan
menentukan.
b. Keseimbangan biaya dan manfaat; Biaya membuat informasi jelas harus lebih
rendah
dari
manfaatnya.
Pertimbangan
ini
jelas
berdampak
pada
cara
keuangan.
d. Rumah Sakit sebagai unit sosial dihadapkan pada semakin langkanya sumber
dana untuk membiayai kebutuhannya, padahal di lain pihak Rumah Sakit
diharapkan dapat bekerja dengan tarif yang dapat terjangkau oleh masyarakat
luas.
e. Masih sulitnya Rumah Sakit Pemerintah untuk meningkatkan efisiensi dan
efektifitas peranan akuntansi pertanggungjawaban dalam mengendalikan dan
mengevaluasi kinerja manajemen rumah sakit
f. Dalam Rumah Sakit Masih banyak terdapat Earning management merupakan
praktek yang membuat laporan keuangan dapat diatur karena disajikan menurut
tujuan dari penyusunnya.
XI. SIKLUS TRANSAKSI RUMAH SAKIT
pelaporan
keuangan
tidak
terkait
dengan
siklus
operasi
Pemberian Pelayanan
Fungsi pemberian pelayanan rumah sakit (usaha) terdiri dari sub fungsi
pelayanan medis dan pelayan non medis dan uraiannya sebagai berikut:
Pelayanan medis yang terbagi lagi menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu:
1.
2.
3.
a)
Farmasi
b)
Laboratorium
c)
Fisioterapi
d)
Radiologi
e)
Pemulasaran jenazah
f)
g)
h)
Hemodialisis
b)
c)
Laundry
Pelayanan
non-medis
yaitu
jasa
yang
berfungsi
di
dalam
Penerimaan Kas
Sumber penerimaan kas rumah sakit yang terkait dengan operasi rumah
sakit terdiri dari tiga bagian, yaitu:
Penerimaan hasil usaha rumah sakit
Pendapatan operasional
pendapatan rawat jalan;
pendapatan rawat inap;
pendapatan tindakan medis;
pendapatan penunjang medis;
pendapatan operasional lainnya.
Penghasilan non operasional
pendapatan jasa lembaga keuangan;
pendapatan kerja sama operasi (KSO);
pendapatan sewa
Penerimaan hibah
Penerimaan anggaran APBN/D
2.
Pengelolaan Piutang
Siklus Pengeluaran
Siklus pengeluaran (expenditure cycle) di RSUD A mencakup fungsi-fungsi yang
terkait dengan pengadaan barang dan atau jasa yang digunakan oleh rumah
sakit dalam menjalankan usahanya. Fungsi dalam siklus ini terdiri dari proses
seleksi pemasok (vendor selection), permintaan pembelian (requisitioning),
pembelian (purchasing), utang usaha (accounts payable), dan akuntansi
pengupahan (payroll accounting).
a.) Pembelian
Pembelian/pengadaan barang dan jasa di rumah sakit mengacu pada
Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 dan peraturan perubahannya, serta
Peraturan Bupati A nomor XX tahun 20XX. Pengadaan barang dan jasa yang
sumber dananya berasal dari:
a.
b.
a.
b.
c.
d.
1.pelelangan umum
2.pelelangan terbatas
3.pemilihan langsung,
4.penunjukan langsung.
Siklus Produksi/Pelayanan
Di dalam perusahaan manufaktur salah satu siklus akuntansi adalah siklus
produksi, sedangkan dalam bidang jasa siklus ini identik dengan siklus
pelayanan. Siklus pelayanan di RSUD A mencakup pengelolaan pelayanan,
pengelolaan persediaan, akuntansi biaya, dan akuntansi aset.
1.
Pengelolaan Pelayanan
Pengelolaan pelayanan dalam rumah sakit terkait sekali dengan sistem
akuntansi biaya. Khusus untuk RSUD A, unit cost (sistem biaya per unit) menjadi
pilihan dalam penerapan sistem akuntansi biaya. Dalam unit cost ini, biaya yang
terjadi di rumah sakit didistribusikan ke setiap pelayanan yang diberikan kepada
pasien.
2.
Pengelolaan Persediaan
Pengelolaan persediaan di RSUD A berfokus pada serangkaian pencatatan
persediaan dan laporannya terkait dengan penggunaan persediaan, saldo akhir
persediaan, dan tingkat persediaan minimum ataupun maksimum. Untuk itu,
penentuan saat pemesanan kembali barang untuk menjaga ketersediaan barang
(reorder point) dan prosedurnya disusun agar biaya penyimpanan persediaan
dapat diminimalkan.
3.Pengelolaan Aset Tetap
Pengelolaan aset tetap terkait dengan 1) pencatatan yang memadai
mengenai deskripsi aset, biaya perolehan, dan lokasi penempatan aset tersebut;
2) penghitungan penyusutan untuk keperluan akuntansi dan pajak; 3) dan
manajemen laporan terkait dengan rencana dan pengendalian untuk setiap jenis
aset.
C. Siklus Keuangan
Sebagaimana telah diuraikan di sub bab sebelumnya, siklus keuangan terkait
dengan perolehan dan pengelolaan capital fund (dana modal), seperti modal
kerja (sumber dana kas atau dana likuid lainnya) dan sumber dana jangka
panjang.
Pengelolaan kas keluar memfokuskan pada pemeriksaan bukti kas keluar dan
pemisahan fungsi otorisasi dan pembayaran.
D. Siklus Pelaporan Keuangan
Sebagaimana dijelaskan di sub bab di awal, siklus pelaporan keuangan tidak
terkait dengan siklus operasi yang terdiri dari keempat siklus di atas. Laporan
keuangan, yang merupakan bentuk pertanggungjawaban pengelolaan keuangan
di RSUD A, dihasilkan dari siklus ini menjadi sebuah rerangka (framework) dalam
melakukan analisis terhadap usaha rumah sakit.