Anda di halaman 1dari 44

INDIKATOR KINERJA RUMAH SAKIT

Desember 17, 2007 wandy Tinggalkan komentar Go to comments


STANDAR PELAYANAN MINIMAL RUMAH SAKIT.

1. Standar Pelayanan Rumah Sakit Daerah adalah penyelenggaraan pelayanan


manajemen rumah sakit, pelayanan medik, pelayanan penunjang dan pelayanan
keperawatan baik rawat inap maupun rawat jalan yang minimal harus diselenggarakan
oleh rumah sakit.

2. Indikator

Merupakan variabel ukuran atau tolok ukur yang dapat menunjukkan indikasi-indikasi
terjadinya perubahan tertentu. Untuk mengukur kinerja rumah sakit ada beberapa indikator,
yaitu:

a. Input, yang dapat mengukur pada bahan alat sistem prosedur atau orang yang
memberikan pelayanan misalnya jumlah dokter, kelengkapan alat, prosedur tetap dan
lain-lain.

b. Proses, yang dapat mengukur perubahan pada saat pelayanan yang misalnya
kecepatan pelayanan, pelayanan dengan ramah dan lain-;ain.

c. Output, yang dapat menjadi tolok ukur pada hasil yang dicapai, misalnya jumlah
yang dilayani, jumlah pasien yang dioperasi, kebersihan ruangan.

d. Outcome, yang menjadi tolok ukur dan merupakan dampak dari hasil pelayanan
sebagai misalnya keluhan pasien yang merasa tidak puas terhadap pelayanan dan lainlain.

e. Benefit, adalah tolok ukur dari keuntungan yang diperoleh pihak rumah sakit
maupun penerima pelayanan atau pasien yang misal biaya pelayanan yang lebih
murah, peningkatan pendapatan rumah sakit.

f. Impact, adalah tolok ukur dampak pada lingkungan atau masyarakat luas misalnya
angka kematian ibu yang menurun, meningkatnya derajat kesehatan masyarakat,
meningkatnya kesejahteraan karyawan.

3. Standar adalah spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan sebagai patokan
dalam melakukan kegiatan. Standar ini dapat ditentukan berdasarkan kesepakatan
propinsi, kabupaten/kota sesuai dengan evidence base.

4. Bahwa rumah Sakit sesuai dengan tuntutan daripada kewenangan wajib yang harus
dilaksanakan oleh rumah sakit propinsi/kabupaten/kota, maka harus memberikan
pelayanan untuk keluarga miskin dengan biaya ditanggung oleh Pemerintah
Kabupaten/Kota.

5. Secara khusus selain pelayanan yang harus diberikan kepada masyarakat wilayah
setempat maka rumah sakit juga harus meningkatkan manajemen di dalam rumah
sakit yaitu meliputi:

a. Manajemen Sumberdaya Manusia.


b. Manajemen Keuangan.
c. Manajemen Sistem Informasi Rumah Sakit, kedalam dan keluar rumah sakit.
d. Sarana prasarana.
e. Mutu Pelayanan.
PERATURAN INTERNAL RUMAH SAKIT (Hospital by Laws)
Dalam rangka melindungi penyelenggaraan rumah sakit, tenaga kesehatan dan melindungi
pasien maka rumah sakit perlu mempunyai peraturan internal rumah sakit yang bias disebut
hospital by laws. Peraturan tersebut meliputi aturan-aturan berkaitan dengan pelayanan
kesehatan, ketenagaan, administrasi dan manajemen. Bentuk peraturan internal rumah sakit
(HBL) yang merupakan materi muatan pengaturan dapat meliputi antara lain: Tata tertib
rawat inap pasien, identitas pasien, hak dan kewajiban pasien, dokter dan rumah sakit,
informed consent, rekam medik, visum et repertum, wajib simpan rahasia kedokteran, komete
medik, panitia etik kedokteran, panitia etika rumah sakit, hak akses dokter terhadap fasilitas
rumah sakit, persyaratan kerja, jaminan keselamatan dan kesehatan, kontrak kerja dengan
tenaga kesehatan dan rekanan. Bentuk dari Hispital by laws dapat merupakan Peraturan
Rumah Sakit, Standar Operating Procedure (SOP), Surat Keputusan, Surat Penugasan,
Pengumuman, Pemberitahuan dan Perjanjian (MOU). Peraturan internal rumah akit (HBL)
antara rumah sakit satu dengan yang lainnya tidak harus sama materi muatannya, hal tersebut
tergantung pada: sejarahnya, pendiriannya, kepemilikannya, situasi dan kondisi yang ada
pada rumah sakit tersebut. Namun demikian peraturan internal rumah sakit tidak boleh
bertentangan dengan peraturan diatasnya seperti Keputusan Menteri, Keputusan Presiden,
Peraturan Pemerintah dan Undang-undang. Dalam bidang kesehatan pengaturan tersebut
harus selaras dengan Undang-undang nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan peraturan
pelaksanaannya.

PENGHITUNGAN EFISIENSI
Indikator penilaian efisiensi pelayanan adalah:

- Bed occupancy rate.

- Bed turn over.

- Length of stay.

- Turn over interval.

Bed occupancy rate (BOR) atau Pemakaian Tempat Tidur dipegunakan untuk melihat
berapa banyak tempat tidur di rumah sakit yang digunakan pasien dalam suatu masa.
Jumlah hari perawatan
BOR = x 100%
Jumlah TT x hari perawatan
Prosentase ini menunjukkan sampai berapa jauh pemakaian tempat tidur yang tersedia di
rumah sakit dalam jangka waktu tertentu. Bila nilai ini mendekati 100 berarti ideal tetapi bila
BOR Rumah Sakit 60-80% sudah bias dikatakan ideal.
BOR antara rumah sakit yang berbeda tidak bisa dibandingkan oleh karena adanya perbedaan
fasilitas rumah sakit, tindakan medik, perbedaan teknologi intervensi. Semua per bedaan tadi
disebut sebagai case mix.
Turn over internal (TOI), waktu rata-rata suatu tempat tidur kosong atau waktu antara satu
tempat tidur ditinggalkan oleh pasien sampai ditempati lagi oleh pasien lain.
(Jumlah TT x 365) hari perawatan
TOI = x 100%
Jumlah semua pasien keluar hidup + mati
TOI diusahakan lebih kecil daripada 5 hari.
Bed turn over (BTO), berpa kali satu tempat tidur ditempati pasien dalam satu tahun.
Usahakan BTO lebih besar dari 40.
Length of stay yang baik 5-13 hari atau maksimum 12 hari, 6-10 hari.
Infant mortality rate (angka kematian bayi). Standar 20%
Jumlah kematian bayi yang lahir di RS
IMR = - x 100%
Jumlah bayi yang lahir di RS dalam waktu tertentu
Maternal Mortality Rate (MMR) atau angka kematian ibu melahirkan. Standard 0,25%
atau antara 0,1-0,2%
Jumlah pasien obstetri yang meninggal
MMR = x 100%
Jumlah pasien obstetri dalam jangka waktu tertentu

Foetal Death Rate (FDR) atau angka bayi lahir mati. Standar 2%.
Jumlah kematian bayi dengan umur kandungan 20 minggu
FDR = - x 100%
Jumlah semua kelahiran dalam jangka waktu tertentu
Post Operative Death Rate (FODR) atau angka kematian pasca bedah. Standar 1%.
Jumlah kematian setelah operasi dalam satu periode
FODR = x 100%
Jumlah pasien yang dioperasi dalam periode yang sama
Angka kematian sectio caesaria. Standar 5%.
Dalam usaha memperkecil pengaruh case mix untuk menilai tingkat efisiensi digunakan
indikator yang lebih tajam, indikator yang dimaksud adalah:

Av LOS pasien prabedah

Pasien yang akan dioperasi biasanya harus menjalani pemeriksaan radiologi dan laboratorium
serta perlu observasi terhadap keadaan tertentu. Jadi sebelum operasi pasien telah
menggunakan jasa rumah sakit yang tidak sedikit. Lebih banyak pemeriksaan atau lebih lama
observasi tentunya lebih banyak menggunakan sumber daya rumah sakit. Agar efisiensi maka
pemborosan harus ditekan. Bertambah singkat Av LOS prabedah, bertambah hemat atau
bertambah efisien pelayanan yang diberikan.

Av LOS penyakit tertentu atau tracer conditions.

Telah disusun kelompok-kelompok diagnosis penyakit yang tidak berbeda banyak cara
penganannya mediknya, tidak berbeda banyak Av LOS-nya, dan hampir sama menyerap
sumber dayanya. Kelompok penyakit ini disebut Diagnosis Related Group (DRG). Dalam
DRG ini ada 83 kelompok diagnesis yang masih terbagi lagi menjadi 383 subkelompok.
INDIKATOR PENILAIAN
Untuk menilai pemanfaatan tenaga dipergunakan indikator:

- Rasio kunjungan dengan jumlah tenaga perawat jalan.

- Rasio jumlah hari perawatan dengan jumlah tenaga perawat inap.

- Rasio jumlah paisien intensif dengan jumlah tenaga perawat yang melayani.

- Rasio persalinan dengan tenaga bidan yang melayani.

Indikator untuk penilaian cakupan pelayanan adalah:

- Rata-rata kunjungan per hari

- Rata-rata kunjungan baru per hari

- Rasio kunjungan baru dengan total kunjungan

- Jumlah rata-rata pasien ugd per hari

- Rata-rata pasien intensif per hari

- Rata-rata pasien intensif perhari

- Rata-rata pemeriksaan radiologi per hari

- Prosentase r/ yang dilayani terhadap r/ rumah sakit

- Prosentase item obat dalam formularium

- Jumlah pelayanan ambulans

- Rasio banyaknya cucian dengan pasien rawat inap

- Prosentase penyediaan makanan khusus

- Rasio pasien rawat jalan terhadap jumlah penduduk dalam, catchment area

- Admission use rate

- Hospitalization rate

Mutu pelayanan ditinjau dari GDR & NDR


1. Angka Kematian Kasar/CDR (%) = <45%
2. Angka Kematian Netto/NDR (%) = <25%

ANALISIS BIAYA PELAYANAN RUMAHSAKIT BERBASIS STANDART PELAYANAN


MEDIS SEBAGAI DASAR PENETAPAN TARIF DIAGNOSIS RELATEDS
GROUP (CASEMIX)
November 26, 2007 wandy Tinggalkan komentar Go to comments

Disampaikan Oleh :Atik Heru dan PMPK FK UGM


PENDAHULUAN

Organisasi selalu dihadapkan pada tekanan-tekanan yang ditimbulkan oleh perubahan


cepat dan tak terduga dari lingkungannya. Saat ini, rumahsakit sebagai organisasi
pelayanan kesehatan menghadapi tekanan berupa tingginya biaya operasional, terbatasnya
sumberdaya, tuntutan terhadap peningkatan pelayanan kesehatan dan resiko yang
ditimbulkan oleh kesalahan medis (medical error). Untuk dapat menjawab permasalahanpermasalahan tersebut, beberapa perusahaan penjamin seperti PT Askes, Jamsostek dan
beberapa lembaga asuransi berusaha berinisiatif untuk saling terbuka dengan pemberi
pelayanan kesehatan/Rumahsakit untuk menyamakan berbagai persepsi sehingga
diperlukan kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan baik pada organisasi lembaga
penjamin / asuransi maupun pada unit pemberi pelayanan kesehatan melalui berbagai
program, hal yang paling krusial adalah adanya manajemen perubahan (change
management).
Penerapan manajemen perubahan dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan yang
diaplikasikan pada sejumlah proses dalam organisasi. Beberapa pendekatan yang biasa
digunakan adalah 1) pengembangan organisasi (organizational development), 2)
manajemen sistem informasi (information system management), 3) manajemen strategis
(strategic management) dan 4) manajemen proses (process management). Dan yang
[paling mendesak untuk dilakukan adalah pembenahan pada standart pelayanan medis dan
analisis biaya pelayanan kesehatan yang real maupun standart yang seharusnya
terjadi.Unit pelayanan kesehatan selalu didorong untuk dapat beroperasi secara
efisien, dengan sumberdaya terbatas untuk menghasilkan pelayanan kesehatan
yang prima. Beberapa studi, seperti survei yang dilakukan oleh Anderson
Consulting terhadap 2752 manajer rumahsakit menunjukkan bahwa untuk
meningkatkan kualitas layanan dan efisiensi biaya di rumahsakit, diperlukan
prioritas-prioritas usaha yang merupakan prasyarat untuk mencapai tujuan
tersebut yaitu adanya analisis biaya pelayanan yang benar-benar realistis yang
harus ada sehingga bisa dipakai untuk menilai kinerja atau efisiensi dan adaya
implementasi teknologi informasi untuk mendukung fungsi administratif dan
fungsi layanan kesehatan sehingga semua proses bisa dilakukan secara cepat
dan tepat, adanya usaha untuk mendorong efisiensi di unit layanan kesehatan
dengan selalu melakukan kontrol biaya dan mereduksi beberapa biaya yang
tidak value added, mendesain ulang prosedur pelayanan medis dan prosedur
administrative, menggunakan protokol terapi dan dokumen asuh keperawatan
serta, membentuk tim keperawatan multi disiplin.Beberapa Rumahsakit saat ini
sudah memulai beberapa inisiatif bagi usaha peningkatan kualitas layanan dan efisiensi
biaya kesehatan. Usaha-usaha untuk menciptakan efisiensi dan memperbaiki prosedur
administrasi dan pelayanan medis telah ditempuh melalui kegiatan analisis dan
penghitungan unit biaya (cost) layanan, penyusunan standar pelayanan medis dan
pengembangan sistem informasi akuntansi. Namun hingga pada saat ini belum
dilaksanakan inisiatif terpadu implementasi beberapa pengembangan sehingga bisa
dikemas untuk menjadi guideline guna mewujudkan efisiensi biaya dan perbaikan mutu
pelayanan kesehatan. Fenomena yang terjadi saat ini adalah biaya pelayanan kesehatan
cenderung naik dari tahun ke tahun, terutama biaya pelayanan di rumah sakit. Kondisi ini
dipicu oleh kenaikan harga obat, pemakaian teknologi canggih dan kasus-kasus supply
induced demand yang terjadi akibat tidak adanya pedoman dan standar pelayanan medik
yang pasti. Di sisi lain saat ini terjadi banyak perubahan di rumahsakit, khususnya
rumahsakit pemerintah. Adanya desentralisasi, perubahan status RS menjadi PT, serta yang
terakhir pelayanan keluarga miskin (gakin) di rumahsakit merupakan beberapa isu yang
mempengaruhi pembiayaan pelayanan kesehatan di rumahsakit. Dampak peningkatan

biaya pelayanan kesehatan tersebut sangat dirasakan oleh masyarakat pengguna jasa
pelayanan kesehatan, lembaga pembayar dan penyelenggara pelayanan kesehatan (PPK)
terutama rumahsakit. Dampak yang dirasakan oleh masyarakat konsumen antara lain
harga-harga produk pelayanan kesehatan semakin tidak terjangkau. Dampak yang
dirasakan oleh Jamsostek sebagai salah satu lembaga penjamin/pembayar biaya kesehatan
di Indonesia adalah kesulitan menyediakan biaya sesuai kebutuhan PPK agar dapat
memberikan pelayanan yang optimal bagi pasien-pasien dari lembaga penjamin seperti
Jamsostek dll. Salah satu kendala yang dihadapi adalah kurang memadainya biaya
kesehatan yang diberikan lembaga penjamin atau kurang memadainya mutu pelayanan
yang diberikan PPK. Sehingga hal ini seringkali memicu konflik antara Lembaga Penjamin
dan rumahsakit. Beberapa lembaga penjamin menganggap rumahsakit tidak efisien dalam
berbagai aspek termasuk menyangkut masalah mutu dan profesionalisme dokter. Masalah
lain yang dihadapi adalah pembayaran pelayanan di rumahsakit yang sangat bervariasi
antara rumahsakit yang satu dan lainnya. Hal ini disebabkan selain karena adanya standar
pelayanan yang berbeda beda antar rumahsakit dan penggunaan sumber daya yang
belebihan, juga oleh pengaruh industri obat yang akan mempengaruhi perilaku dokter
dalam peresepan. Untuk itu perlu dicari suatu solusi untuk mengendalikan biaya pelayanan
di rumahsakit melalui mekanisme pembayaran pra upaya. Pembayaran pra upaya
(prospective payment system) adalah suatu cara pembayaran ke provider yang besarannya
sudah ditetapkan sebelum pelayanan tersebut diberikan dengan memperhitungkan sumber
daya yang digunakan. Salah satu bentuk pembayaran pra upaya yang saat ini sedang
digalakkan adalah pembayaran berdasar tarif paket pelayanan esensial.Strategi baru
dalam menyediakan pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin, adalah dengan
dikembangkannya Paket Pelayanan Esensial (PPE). Dan untuk memperoleh hasil
perhitungan tarif PPE, rumahsakit harus terlebih dahulu memiliki sistem informasi biaya
yang baik dan telah menghitung unit cost atau telah melakukan analisis biaya pelayanan
berbasis aktivitas secara detail pada setiap pelayanan ataupun per penyakitnya. Sehingga
dimungkinkan bisa dilakukan analisis sensitivitas untuk memberikan alternative
pembiayaan sebagai dasar negosiasi kepada stakeholder mengenai biaya yang terjadi atas
muatan tarif PPE yang diberlakukan. Pembiayaan pelayanan kesehatan berdasar tarif PPE
ini merupakan prasyarat dalam penggunaan dana PKPS BBM yang dikelola oleh rumah sakit.
Dalam sistem jaminan kesehatan nasional, khususnya untuk menjamin kesehatan keluarga
miskin dipersyaratkan tarif PPE sebagai dasar reimbursement klaim ke rumah sakit.
Diharapkan dengan adanya tarif PPE, biaya pelayanan rumah sakit bisa lebih terkendali
dan terjamin mutunya. Analisis biaya pelayanan berbasis aktivitas dan tarif PPE ini
diharapkan sebagai langkah awal yang nantinya menjadi dasar tarif paket dengan model
Diagnosis Relateds Group (DRG). Tarif paket ini pada dasarnya berusaha mendorong agar
pihak dokter di rumahsakit menjadi sadar biaya (cost conscious) yaitu dengan cara
membuat mereka menanggung sebagian risiko finansial. Seperti diketahui dengan model
pembayaran sistem klaim yaitu menagih berapapun biaya yang telah dikeluarkan kepada
perusahaan/asuransi, rumahsakit tidak menanggung risiko biaya apapun karena berapapun
yang akan dikeluarkan akan dibayar. Oleh karena itu, perlu ada sistem yang akan membuat
rumahsakit harus efisien dalam pelayanan, bila tidak maka pihak rumahsakit akan rugi.
Caranya adalah dengan mempaketkan biaya pelayanan kesehatan berdasarkan diagnosis.
Dengan demikian pihak rumahsakit diminta memprediksi obat dan tindakan yang akan
dilakukan terhadap pasien-pasien dengan diagnosis atau kelompok diagnosis tertentu.
SISTEM PENGHITUNGAN BIAYA BERBASIS CASEMIX DAN DRGS SEBAGAI MODEL SISTEM
PEMBIAYAAN KESEHATAN IDEAL SAAT INI Casemix maupun DRGs selama ini hanya
merupakan keinginan dan cita-cita bagi pelayanan kesehatan di negara berkembang,
termasuk Indonesia. Dengan alasan pembiayaan dan infrastruktur, sistem ini seakan

sulit sekali terjangkau, pesimistis sebagian pakar bahwa sistem ini hanya milik negara
maju. Dengan dikeluarkannya UU No 40 Tahun 2004 tentang SJSN (Sistem Jaminan
Sosial Nasional) telah memberikan angin segar (wind of change) pada perubahan pola
pembayaran Rumahsakit ke depan, karena rumahsakit akan dibayar dengan sistem
pembayaran di muka (pre payment). Salah satu diantaranya adalah sistem DRG yang
hingga saat ini belum banyak Rumahsakit, lembaga asuransi maupun stake holdernya
yang memahami falsafah, konsep, metodologi, manfaat maupun perencanaan, proses
dan implementasinya. Dengan sistem ini nantinya segala sesuatu seakan terasa mudah,
adil dan memuaskan bagi berbagai pihak karena sistem ini akan memberikan
penjaminan terhadap pasien akan kepastian biaya, mutu dan kecepatan serta ketepatan
proses karena IT / SIRS sangat berperan besar. Namun sistem ini tentunya memerlukan
berbagai kesiapan, mulai dari kesiapan SDM, komitmen terhadap budaya kerja, investasi
teknologi dan keilmuan yang tidak sedikit. Namun setiap proses ke arah perbaikan perlu
di mulai karena tidak akan pernah ada hasil tanpa permulaan. Dan Depkes sudah
mencoba memulainya dengan menerapkan PPE sebagai jembatan menuju DRGs dan
memperkenalkan konsep ini ke berbagai Rumahsakit sejak beberapa tahun yang lalu.
Namun, implementasinya terasa sangat sulit sekali hingga pada awal september 2005
tim dari Universitas Kebangsaan Malaysia dengan didampingi tim dari UGM dan UI
diminta Depkes untuk mensupport perencanaan Depkes dengan uji coba pada 15 RSUP
di Indonesia dengan model pendekatan yang paling mungkin bisa dilaksanakan, yang
hingga pada saat ini sedang berproses. Casemix atau istilah populer lainnya Patient

Classification System (PCS), adalah sistem yang mendeskripsikan perbedaan karakteristik


kelompok-kelompok pasien. Secara lebih spesifik, sistem ini mengkaitkan beberapa
karakteristik pasien dengan sumberdaya yang dikonsumsi. Kelompok pasien dikategorikan
berdasarkan variasi karakteristik data, semisal: 1. Data klinis (contoh: diagnosis,
prosedur)2. Data demografis (contoh: usia, jender)3. Data sumberdaya yang dikonsumsi
(contoh: biaya, lama rawat inap) Tergantung dari karakteristik data yang digunakan untuk
pengelompokan, hasil akhir dari pengelompokan pasien secara klinis akan mirip dan/atau
homogen sesuai dengan sumberdaya yang dikonsumsi. Terdapat tiga fitur utama klasifikasi
casemix:1. Kebermaknaan klinis: suatu kelompok seharusnya relatif homogen dalam
penyajian masalah, proses keperawatan dan keluaran (outcome). Pasien di kelompok yang
sama seharusnya memiliki kesan kesamaan klinis yang ditangkap oleh petugas pelayanan
kesehatan yang merawat.2. Penggunaan sumberdaya secara homogen: kelompok-kelompok
casemix seharusnya relatif homogen secara internal dan berbeda satu sama lain, dalam hal
konsumsi sumberdaya. Maka dari itu, pasien dalam kelas yang sama kurang lebih memiliki
biaya perawatan yang sama.3. Jumlah kelompok yang dapat dikelola: Suatu sistem
klasifikasi juga mensyaratkan jumlah optimal kelompok. Idealnya, jumlah kelompk yang
tepat, tidak terlalu sedikit atau terlalu banyak. Terlalu banyak kelompok berarti terdapat
relatif sedikit perbedaan dalam biaya antara kelas dan relatif sedikit pasien dalam tiap
kelas. Terlalu sedikit kelas akan menghasilkan sejumlah besar kasus-kasus tidak mirip
ditempatkan dalam kelompok yang sama dimana perbedaan sebenarnya tidak nampak dan
kebermaknaan klinis hilang. Seharusnya dilakukan cukup observasi di tiap kelompok
sehingga akan dikenal kelompok-kelompok dengan kasus-kasus tidak mirip. Proses ini
memastikan validitas internal di setiap kelompok (Hindle and Eagar, 1994). Analisis
statistik dapat dilakukan untuk memeriksa adanya perbedaan antar kelompok relatif besar
terhadap variasi internal. Maka dari itu pengembangan suatu klasifikasi casemix
memerlukan kombinasi analisa statistik dan ketetapan klinis (Commonwealth Department
of Human Services and Health, 1994). Casemix dapat mendeskripsikan aktifitas yang
dilakukan oleh suatu rumahsakit serta membandingkannya dengan rumahsakit lain. Sistem
klasifikasi casemix yang tepat memungkinkan untuk dapat melacak (dengan beragam
tingkat keakuratan) biaya penyediaan pelayanan kesehatan pada beberapa kelompok

pasien. Sistem ini memungkinkan rumahsakit untuk memahami pola karakteristik


pemanfaatan sumberdaya dan mengidentifikasi pola kebiasaan serta dapat menyediakan
informasi untuk pengelolaan sumber daya rumahsakit secara benar. Sampai saat ini telah
dikenal beberapa jenis pendekatan pengukuran casemix, diantaranya adalah Disease
Staging, Indexation, Information Theory, Patient Care Unit, CPHA List A dan Isocost Groups.
Akan tetapi sistem casemix yang paling banyak dikenal saat ini adalah Diagnosis Relateds
Group (DRG), yang biasa digunakan untuk mengelompokkan pasien rawat inap. DRG
Klasifikasi Diagnosis Relateds Group (DRG) berasal dari Amerika Serikat, dimana DRG
dikembangkan pada akhir tahun 1960 an oleh Prof. Bob Fetter di Universitas Yale. Sistem
DRG didesain untuk mengelompokkan secara bersama pasien rawat inap akut yang secara
klinis mirip dan memiliki kesamaan pola penggunaan sumberdaya. DRG menyediakan cara
yang bermakna secara klinis untuk menghubungkan jumlah dan tipe pasien yang dirawat
dengan sumberdaya yang digunakan. Kelompok DRG dihasilkan dari data diagnostik,
prosedur dan demografis yang secara rutin dikumpulkan pada lembar rekam medis pasien
rawat inap. Motivasi awal dari pengembangan DRG adalah menciptakan sebuah kerangka
kerja untuk memantau kualitas pelayanan dan utilisasi pelayanan di rumahsakit, serta
sebagai suatu cara untuk mengukur dan mengevaluasi keluaran (output) sektor pelayanan
kesehatan. Tujuan tersebut baru tercapai tahun 1983 ketika HCFA-Medicare DRG (saat ini
dikenal dengan CMS DRG) mulai digunakan sebagai bagian dari sistem pembayaran
prospektif bagi pasien-pasien Medicare di Amerika Serikat (Fetter, 1999). Sejak dikenalkan
pertama kali di Amerika Serikat, sistem klasifikasi DRG kemudian dikembangkan dalam
beberapa variasi, dimana setiap varian memiliki kelebihan dan kekurangannya masingmasing (Muldoon, 1999). Di Amerika Serikat telah dilakukan beberapa modifikasi dan revisi
terhadap versi awal DRG (HCFA-Medicare DRG). Gambar. Perkembangan Modifikasi dan
Revisi DRG . Untuk dapat digunakan secara lebih luas, New York State Department of
Health (NYDH) bekerjasama dengan 3M Health Information Systems (3M HIS) memodifikasi
HCFA-Medicare DRG menjadi All Patient DRG (AP-DRG) dengan menambah klasifikasi untuk
kelompok pasien non-Medicare, kelompok neonatus dan kelompok pasien HIV. Dalam
perkembangannya, HCFA-Medicare DRG berganti nama menjadi Center for Medicare and
Medicaid (CMS) DRG, dan secara berkelanjutan direvisi, hingga saat ini telah mencapai
CMS DRG versi 22 (s/d 30 September 2005). Sedangkan All Patient DRG (AP-DRG) direvisi
menjadi All Patient Refined Diagnosis Relateds Groups (APR-DRG) dengan menambahkan
empat subgrup sebagai usaha untuk mendeskripsikan secara lebih baik derajat keparahan
penyakit yang diidap pasien. Kemudian pada awal tahun 2000 an, 3M Health Information
Systems (3M HIS) mengembangkan International Refined-DRG (IR-DRG) sebagai respon
terhadap komunitas internasional yang belum dapat mengembangkan grouper yang spesifik
untuk negaranya. International Refined-DRG (IR-DRG) masih menggunakan logika dan
struktur yang sama dengan sistem AP-DRG dan APR-DRG, akan tetapi mendukung baik
pengkodean ICD-9-CM maupun ICD-10.
Gambar. Perkembangan Modifikasi dan Revisi DRG Hingga saat ini DRG menjadi metode
pengelompokan episode pasien pasien rawat inap yang paling dikenal dan secara luas
digunakan untuk penghitungan biaya, alokasi sumberdaya serta pembayaran (Sanderson,
Anthony and Mountney, 1998). Tidak lama setelah HCFA-Medicare DRG digunakan sebagai
suatu model sistem pembayaran prospektif Medicare di Amerika Serikat, beberapa negara
diluar Amerika Serikat, seperti Kanada, Australia, Prancis dan negara-negara Skandinavia
dengan cepat mengadopsi DRG dengan beragam tujuan. Gambar. Perkembangan
Modifikasi dan Revisi DRG. Negara-negara tersebut, umumnya mengambil model
pengembangan pengelompokan DRG Amerika Serikat dan memodifikasinya sesuai dengan
pertimbangan klinis lokal dan analisis sumberdaya. Modifikasi ini biasanya mengikuti
salahsatu dari tiga pendekatan berikut:1. Mengembangkan algoritma pengelompokan.

Pendekatan ini menggunakan prinsip yang sama dengan model pengembangan


pengelompokan di Amerika Serikat, akan tetapi sejak awal mengembangkan sendiri
algoritma pengelompokan DRG berdasarkan data dari sistem pelayanan kesehatan di
negara tersebut;2. Memetakan kode diagnostik dan kode prosedur. Pada pendekatan ini,
kode diagnostik lokal dan kode prosedur lokal dipetakan ke sinonimnya di ICD-9-CM dan
hasilnya dijalankan dengan grouper orisinil;3. Menggunakan kode diagnostik dan kode
prosedur lokal. Pada pendekatan ini, kode diagnosis dan kode prosedur lokal/native
menggantikan kode ICD-9-CD pada tiap kode definisi kelompok DRG. (Heavens J, 1999)
Inggris merupakan contoh negara yang mengikuti pendekatan pertama. Melalui National
Casemix Office, Inggris mengembangkan Health Resource Group (HRG) dengan algoritma
pengelompokan yang secara statistik lebih koheren, klinis lebih relevan, dengan struktur
kelompok pasien yang lebih sederhana jika dibandingkan dengan DRG dari Amerika. Selain
itu, Health Resource Group (HRG) mempunyai kelebihan penerapan lebih luas, karena
dapat digunakan tidak hanya terbatas pada kelompok pasien rawat inap, tetapi juga pada
kelompok pasien rawat jalan dan kelompok pasien rawat rumah. (Heavens J, 1999)
Australian National DRGs (AN-DRGs) merupakan contoh bagi pendekatan kedua dan ketiga.
Australia menggunakan dasar HCFA-Medicare DRG (sekarang dikenal dengan CMS DRG), dan
melakukan modifikasi secara terus menerus. Beberapa bentuk proses perbaikan adalah
mengganti HCFA Medicare DRG dengan AP-DRG sebagai native grouper, dan menggunakan
Complicating Clinical Factors (CCFs) seperti usia, keganasan dan CC sebagai penaksir
keparahan agar memenuhi kondisi lokal sistem pelayanan kesehatan di Australia. (Heavens
J, 1999) Sebagai salahsatu variasi modifikasi dari HCFA-Medicare DRG, Australian National
DRGs (AN-DRGs) cukup banyak dievaluasi dan diadopsi oleh negara-negara lain. Selain
digunakan oleh seluruh health care agency di Australia, AN-DRG dan AR-DRG juga
diadopsi oleh Selandia Baru, Singapura dan Jerman sebagai metode pembayaran
prospektif. Kekuatan utama AR-DRG terletak pada :1. dipakainya klasifikasi diagnosis dan
klasifikasi prosedur berkualitas tinggi, 2. diterapkannya dengan baik diagnosis sekunder, 3.
perbaikan secara progresif untuk memperbaiki kebermaknaan klinis (tidak hanya kesamaan
biaya) sebagai hasil masukan secara terus-menerus dari para ahli serta, 4. ujicoba yang
akurat dengan digunakannya sebagai dasar pembayaran selama lebih dari sepuluh tahun
(Marui D. 2003).Akan tetapi minat beberapa negara untuk mengadopsi AR-DRG seringkali
tidak direalisasikan, karena Pemerintah Australia sebagai pemilik hak cipta menetapkan
biaya lisensi yang tinggi bagi negara yang akan menggunakan sistem klasifikasi AR-DRG.
(Marui D. 2003) STUDI DAN PENERAPAN SISTEM PENGHITUNGAN BIAYA
KESEHATAN BERBASIS DRG DI INDONESIA Sejumlah tulisan dan studi menerangkan
pentingnya penerapan DRG di Indonesia. Akan tetapi belum pernah dilakukan ujicoba
penerapan DRG di Indonesia. Hingga pada tahun 2005 DepKes bekerjasama dengan
Rumahsakit dari Universitas Kebangsaan Malaysia mulai mencoba menerapkan sistem ini di
15 RSUP, Yang pada saat ini sudah memasuki tahun I selama masa pengembangan tahap
pertama selama 4 (empat) tahun ke depan. Berbagai kendala dan harapan dengan
keberadaan sistem dan kualitas tenaga yang ada di Rumahsakit, setidaknya telah menjadi
pelajaran tersendiri dan memberi banyak pengalaman bagi proses pembelajaran bagi
berbagai pihak untuk menuju pada sistem ideal yang diharapkan. Beberapa sumber
menyebutkan hambatan teknis pelaksanaan ujicoba, terutama persyaratan kelengkapan
data dan alat bantu pengelompokan DRG (DRG grouper). Dari hasil wawancara Waspada
Online kepada Mentri Kesehatan Kabinet Gotong Royong, Ahmad Sujudi (Sujudi A, 2004),
didapatkan poin-poin sebagai berikut: Selama ini metode pembayaran pemberi pelayanan
kesehatan DRG Diagnostic Related Group (khususnya rumah sakit) masih dalam taraf
pengembangan. Upaya pengembangan DRG yang dilakukan secara konvensional dengan
studi analisis sulit dilakukan karena ketidak sempurnanya rekam medik dan standar

pelayanan termasuk satuan biaya. Pelaksanaan DRG sebagai standar tarif rumah sakit di
Indonesia telah dijajaki sejak tahun 1995, nemun secara lebih intensif baru dibahas pada
tahun 2000. Karenanya pengambangan DRG saat ini dilakukan dengan upaya short cut,
yaitu adopsi DRG yang dianut beberapa negara tetangga (Australia, Singapura) untuk
selanjutnya dilakukan penyesuaian kasus, bauran kasus dan satuan biaya. Untuk maksud
tersebut, telah dibentuk Tim pengembangan DRG dengan upaya short cut terdiri dari lintas
sektoral dan lintas program, profesi terkait (Depkes, IDI, profesi lain, Perhimpunan Rumah
sakit, dan lain-lain). Untuk dapat terlaksananya penyusunan DRG ada beberapa prasyarat
yang harus dipenuhi oleh rumah sakit diantaranya; harus ada prosedur baku (Profesional
Conduct), Harus ada kesepakatan tindakan apa dan kasus apa serta menjadi kewenangan
siapa, kesepakatan penentuan bobot tindakan, tersedianya rekam medik yang lengkap dan
benar, serta perhitungan unit cost. Penyusunan DRG memang bukan hal yang mudah,
lengkah yang harus ditempuh masih cukup panjang dan masih memerlukan effort, baik
biaya maupun pemikiran yang harus disediakan. Sebagai langkah antara, maka Depkes
telah mengembangkan pola tarif di rumah sakit berdasarkan Paket Pelayanan Esensial
(PPE) yang diharapkan dapat dijadikan sebagai embrio DRG yang saat ini dipakai dalam
pelaksanaan program PKPS-BBM.Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Trisnowibowo H di
Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan (Trisnowibowo H, 2001), didapatkan poin-poin
sebagai berikut:

Pada dasarnya pengelompokkan ini berdasarkan ICD-10 yang notabene adalah


pengelompokkan secara internasional yang mungkin tidak cocok dengan klasifikasi
penyakit yang terdapat di Indonesia, dengan demikian perlu dikembangkan suatu
perangkat pengelompokkan pasien rawat inap rumah sakit yang akut dengan
diagnosa utama sejenis berdasarkan ICD-10 yang sudah disesuaikan dengan situasi
dan kondisi di Indonesia.

Pengembangan DRGs selanjutnya adalah pekerjaan besar yang memerlukan waktu


panjang serta biaya yang besar dan melibatkan berbagai disiplin ilmu, diperlukan
uluran tangan Departemen Kesehatan sebagai pemandu dalam kerja besar tersebut.
Pengembangan ini berdasarkan ICD-10 yang sudah disesuaikan dengan situasi dan
kondisi Indonesia serta didukung institusi pendidikan tinggi bidang kedokteran
bersama-sama dengan organisasi profesi di bidang kedokteran juga menyusun dan
mengembangkan standard operating procedures layanan medis akut rumah sakit.

Tahapan berikutnya adalah penyelenggaraan pilot project dengan jumlah sampel


rumah sakit terbatas untuk uji coba pengelompokan berdasarkan diagnosa sejenis,
baru kemudian dilakukan perhitungan biaya dengan menggunakan cost and service
versi Indonesia.

BIAYA LAYANAN KESEHATAN STANDART SEBAGAI PRASYARAT PENERAPAN SISTEM CASEMIX


/ DRGS DI INDONESIA Sistem DRG, sebagai salah satu metode casemix, merupakan suatu
metode pengelompokan kasus yang dapat digunakan sebagai acuan estimasi biaya layanan
kesehatan yang harus dibayar oleh pasien. Dalam hal ini, DRG akan dipandang sebagai
sebuah objek perhitungan biaya. Terminologi biaya layanan dalam pembahasan ini adalah
besaran nilai rupiah yang dikeluarkan atau dibayarkan oleh pasien maupun penjamin
pasien atas suatu tindakan atau episode perawatan pasien kepada rumah sakit sebagai
penyedia layanan kesehatan. Terminologi biaya dari sudut pandang pasien sebagai pembeli
layanan tersebut diatas, seringkali rancu dengan terminologi biaya dari sudut pandang
rumah sakit sebagai pembeli sumber daya. Kandungan biaya pada terminologi biaya
layanan kesehatan dari sudut pandang pasien sebagai pembeli layanan tentu lebih luas

dibanding kandungan biaya pada terminologi biaya perawatan dari sudut pandang rumah
sakit sebagai pembeli sumber daya. Pada sudut pandang rumah sakit sebagai pembeli
sumber daya, kandungan biaya mencakup besaran nilai rupiah yang dikeluarkan rumahsakit
atas konsumsi seluruh sumber daya yang digunakan baik yang bersifat recurrent cost
maupun capital cost dalam aktivitas-aktivitas operasional maupun non-operasional rumah
sakit dalam rangka penyediaan layanan kesehatan. Sedangkan kandungan biaya jika
ditinjau dari sudut pandang pasien sebagai pembeli layanan kesehatan, biaya mencakup
besaran nilai rupiah yang dibutuhkan sebagai nilai ganti ekonomis atas layanan kesehatan
yang telah diberikan rumah sakit, baik yang dibayar oleh pasien langsung (out of pocket),
penjamin (insurance), maupun subsidi. Cakupan biaya yang terakhir lebih mengacu pada
besaran tarif yang dikenakan rumah sakit atas layanan kesehatan yang disediakannya, yang
tidak lain adalah sumber pendapatan rumah sakit. Elemen yang terkandung dalam tarif
adalah biaya (sudut pandang rumah sakit sebagai pembeli sumber daya) dan margin.
Margin adalah selisih antara tarif dan biaya. Nilai margin dapat bernilai positif, yaitu tarif
lebih besar dari biaya atau seringkali disebut gain, namun dapat pula bernilai negatif,
yaitu tarif lebih kecil dari biaya atau disebut loss. Skema biaya layanan kesehatan ini
dapat dilihat pada bagan di bawah ini : Bagan . Skema Biaya Layanan Kesehatan Biaya
Layanan Kesehatan : Sudut Pandang Rumah Sakit sebagai Pembeli Sumber Daya
Perhitungan biaya layanan kesehatan pada sudut pandang rumah sakit sebagai pembeli
sumber daya dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan. Dua pendekatan perhitungan
biaya yang sering digunakan adalah pendekatan cost modelling (seperti Yale Cost Model)
dan pendekatan individual patient costing atau clinical costing[1]. Cost modelling
merupakan penjabaran dari metode perhitungan biaya melalui pendekatan top down,
sedangkan clinical costing merupakan penjabaran dari metode perhitungan biaya melalui
pendekatan bottom up. Kedua pendekatan dalam metode perhitungan biaya tersebut
dapat diadopsi untuk mengestimasi biaya rata-rata masing-masing DRG dan dalam
menentukan bobot biaya (cost weights). Pendekatan Atas Bawah (Top Down Costing)
Pendekatan Cost modeling, sebagai penjabaran top down costing, menggunakan
beberapa indikator untuk mengalokasikan seluruh biaya, termasuk biaya overhead, ke
masing-masing DRG[2]. Metode ini menggunakan informasi utama dari rekening atau data
keuangan rumah sakit yang telah ada. Langkah pertama adalah mengidentifikasi
pengeluaran-pengeluaran rumah sakit yang terkait dengan penyediaan layanan rawat inap.
Langkah selanjutnya adalah mengklasifikasikan pengeluaran-pengeluaran tersebut ke
masing-masing cost center seperti bangsal rawat inap (wards), gaji dan jasa medis tenaga
medis dan paramedis (medical salaries), ruang operasi (operating room), bahan dan
barang farmasi (pharmacy), radiologi (radiology), patologi (pathology), dan pekerja sosial
serta unit-unit biaya lain yang terkait dengan penyediaan layanan kesehatan[3]. Pada
pendekatan ini, biaya per pasien akan terdistribusi sesuai bobot pelayanan yang telah
ditetapkan sebelumnya (service weights) berdasarkan nilai relatif masing-masing
komponen biaya perawat, patologi, pencitraan (imaging), perawatan intensif (ICU), dan
biaya ruang operasi untuk seluruh DRG. Seluruh biaya overhead secara bersama-sama akan
dialokasikan berdasarkan lama rawat (length of stay) pasien. Beberapa peneliti
mengungkapkan bahwa untuk mengaplikasikan top down costing, terlebih dahulu perlu
mengidentifikasi unit-unit yang ada di dalam rumah sakit sesuai struktural organisasi
operasional rumah sakit. Secara umum, unit-unit yang ada di rumah sakit dapat
dikategorikan ke dalam pusat biaya overhead (overhead cost centres), pusat biaya
perantara (intermediate (ancillary) cost centres), dan pusat biaya pelayanan pasien
(patient care (Final) cost centres)[4]. Pusat biaya overhead terdiri dari unit-unit yang
menghasilkan produk dan/atau jasa bagi unit-unit pusat biaya lain dan tidak menggunakan
produk dan/atau jasa dari unit pusat biaya lain (atau tidak menerima alokasi biaya dari

unit lain). Pusat biaya perantara terdiri dari unit-unit yang menghasilkan produk dan/atau
jasa untuk mendukung operasional unit-unit pusat biaya lain (yaitu, unit pusat biaya
pelayanan pasien). Berbeda dengan unit-unit pusat biaya overhead, unit-unit pusat biaya
perantara dalam aktivitas operasionalnya menggunakan produk dan/atau jasa dari unit
pusat biaya overhead, sehingga unit-unit pusat biaya ini menerima alokasi biaya dari unit
pusat biaya overhead. Terakhir, pusat biaya pelayanan pasien (final) terdiri dari unit-unit
yang menghasilkan produk dan/atau jasa yang langsung digunakan oleh pasien, sebagai
pengguna produk dan/atau jasa akhir. Unit-unit pusat biaya pelayanan pasien dalam
aktivitas operasionalnya menggunakan produk dan/atau jasa yang dihasilkan oleh unit
pusat biaya perantara dan unit pusat biaya overhead, sehingga unit pusat biaya ini akan
menerima alokasi biaya dari unit pusat biaya overhead maupun unit pusat biaya perantara
sesuai produk dan/atau jasa yang digunakan. Ilustrasi keterkaitan antar pusat-pusat biaya
dan kerangka kerja pendekatan top down costing di atas dapat dilihat pada bagan berikut
ini. Bagan . Keterkaitan antar pusat-pusat biaya dalam kerangka top down costing Bagan .
Kerangka kerja pendekatan top down costingPendekatan Bawah Atas (Bottom Up
Costing) Pendekatan Clinical costing, sebagai penjabaran metode bottom up costing,
mencakup pengumpulan data tentang layanan-layanan yang diterima oleh pasien secara
individual, seperti patologi, radiologi, fisioterapi, dan keperawatan. Data-data tersebut
selanjutnya akan dikonversikan ke dalam nilai biaya per pasien menggunakan ukuranukuran relatif antara elemen-elemen biaya dan jenis- jenis layanan. Penentuan ukuranukuran ini kadang tidak didapatkan dari pengumpulan data di rumah sakit, maka terkadang
dikembangkan nilai ukuran relative value units (RVUs). Salah satu metode bottom up
costing yang banyak digunakan adalah activity based costing (ABC). ABC adalah suatu
metodologi pengukuran biaya dan kinerja atas aktivitas, sumber daya, dan objek biaya[5].
ABC memilik dua elemen utama, yaitu pengukuran biaya (cost measures) dan pengukuran
kinerja (performance measures). Sumber daya-sumber daya ditentukan oleh aktivitasaktivitas yang dilakukan, sedangkan aktivitas-aktivitas ditentukan berdasarkan kebutuhan
yang digunakan oleh objek biaya. Konsep dasar ABC menyatakan bahwa aktivitas
mengkonsumsi sumber daya untuk memproduksi sebuah keluaran (output), yaitu
penyediaan layanan kesehatan. Melalui pemahaman konsep ABC tersebut di atas,
keterkaitan antara service lines, tarif, sumber daya, dan biaya yang dikeluarkan penyedia
sumber daya dalam kerangka interaksi antara pengguna layanan, rumah sakit, dan
penyedia sumber daya dapat diilustrasikan seperti pada bagan berikut ini.Bagan .
Keterkaitan antara service lines, tarif, sumber daya, dan biaya Pada dasarnya langkahlangkah perhitungan biaya dalam metode ABC terdiri dari tiga langkah utama. Pertama,
mengumpulkan data mengenai aktivitas seluruh unit dalam rumahsakit yang mendukung
output. Kedua, mengembangkan pola keterkaitan antara aktivitas-aktivitas tersebut
terhadap masing-masing output. Ketiga, mengembangan perhitungan biaya atas aktivitasaktivitas kepada output. Ilustrasi tiga langkah mendasar dalam ABC tersebut dapat dilihat
dalam bagan 2.2.5. Dalam banyak kasus, biaya-biaya terkumpul pada sebuah unit dan
untuk mengkaitkan biayabiaya dengan aktivitas-aktivitas membutuhkan suatu metodologi
pengalokasian yang spesifik. Tiga langkah mendasar tersebut digunakan dalam
mengimplementasikan sebuah sistem dimana unit-unit pelayanan (units of service),
program-program (programs), dan pusat-pusat pertanggungjawaban (responsibility
centers) menjadi fokus bagi manajemen dalam mengakumulasi biaya. Bagan . Tiga
Langkah Dasar perhitungan biaya metode ABC dan Fokus Manajemen Dalam terminologi
akuntansi biaya, area-area dimana biaya-biaya dikelompokkan bersama disebut cost
pools[6]. Jika fokus akumulasi biaya oleh manajemen adalah sebuah unit pelayanan,
contohnya laboratorium, maka unit pelayanan tersebut akan menjadi sebuah cost pool.
Jika fokus akumulasi biaya oleh manajemen adalah sebuah progam, maka program

tersebut akan menjadi sebuah cost pool. Cost pool sering digunakan dalam sebuah proses
akumulasi dua tahap (two-stage accumulation process) dalam ABC. Sebagai contoh :
1. Tahap pertama, biaya-biaya atas sumber daya-sumber daya pendukung ditelusur ke
masing-masing sumber daya, pengembangan menjadi beberapa cost pool.
2. Tahap kedua, masing-masing cost pool dialokasikan ke masing-masing produkproduk dan jenis-jenis pelayanan. Alokasi cost pool ditentukan berdasarkan
seberapa besar masing-masing produk dan jenis pelayanan secara spesifik
mengkonsumsi aktivitas.
Namun, dalam pengembangan ABC, tidak semua orang menggunakan prosedur cost pool.

Ada yang memiliki pandangan lain mengenai cost driver yang menjelaskan bahwa :
1. Pemicu sumber daya (resource drivers) sebagai mekanisme yang digunakan untuk
menentukan biaya sumber daya-sumber daya ke masing-masing aktivitas, dan
2. Pemicu aktivitas (activity driver) sebagai mekanisme untuk menentukan biaya
aktivitas-aktivitas ke masing-masing produk atau jenis pelayanan.

Namun apapun mekanisme yang digunakan baik cost pool maupun resource and
activity driver, hal utama yang harus digarisbawahi adalah bahwa prinsip dalam
ABC harus selalu mempertimbangkan Products consume activities and activities
consume resources (Produk-produk mengkonsumsi aktivitas-aktivitas dan aktivitasaktivitas mengkonsumsi biaya)6. Ilustrasi kerangka mekanisme kerja dalam metode ABC
dapat dilihat pada bagan berikut ini. Bagan . Kerangka dan prinsip kerja activity based
costing Biaya Layanan Kesehatan : Sudut Pandang Pasien sebagai Pembeli Layanan
Kesehatan Biaya layanan kesehatan jika ditinjau dari sudut pandang pasien sebagai
pembeli layanan kesehatan, biaya mencakup besaran nilai rupiah yang dibutuhkan sebagai
nilai ganti ekonomis atas layanan kesehatan yang telah diberikan rumah sakit, baik yang
dibayar oleh pasien langsung (out of pocket), penjamin (insurance), maupun subsidi. Jika
terminologi ini ditinjau dari sudut pandang rumah sakit sebagai penyedia layanan
kesehatan, maka biaya layanan kesehatan yang dimaksud di sini tidak lain adalah tarif
(charge) yang dikenakan rumah sakit atas layanan kesehatan yang diberikannya. Beberapa
peneliti telah menggunakan nilai billing (tarif) sebagai proksi pengukuran biaya layanan
kesehatan[7]. Permasalahan yang terjadi, seringkali billing (tarif) berbeda dengan biaya
aktual yang dikeluarkan rumah sakit sebagai pembeli sumber daya. Selisih beda tersebut
disebut margin. Jadi, pada dasarnya elemen yang terkandung dalam tarif adalah biaya
(sudut pandang rumah sakit sebagai pembeli sumber daya) dan margin. Nilai margin dapat
bernilai positif, yaitu tarif lebih besar dari biaya atau seringkali disebut gain, namun dapat
pula bernilai negatif, yaitu tarif lebih kecil dari biaya atau disebut loss. Manajemen rumah
sakit diharapkan telah mempertimbangkan besar biaya yang dikeluarkan rumah sakit
dalam menyusun tarif. Sehingga besaran tarif yang dihasilkan cukup representatif untuk
menggambarkan besarnya nilai ganti ekonomis yang diinginkan rumah sakit. Pasien,
asuransi, dan pemerintah, sebagai pembeli/penyedia dana layanan kesehatan,
berkepentingan untuk mendapatkan kepastian atas nilai ganti ekonomis yang harus mereka
keluarkan atas layanan kesehatan yang telah diberikan rumah sakit. Besaran nilai ganti
ekonomis atas layanan kesehatan yang telah diberikan tersebut oleh manajemen rumah
sakit telah direpresentasikan dalam nilai tarif layanan kesehatan. Jika dilihat dari sudut
pandang pembeli/penyedia dana layanan kesehatan, mekanisme transfer atas nilai ganti

ekonomis antara pembeli layanan kesehatan kepada penyedia layanan kesehatan sering
kali disebut sistem pembayaran layanan kesehatan. Secara umum, sistem pembayaran
layanan kesehatan dapat digolongkan menjadi dua, yaitu sistem pembayaran prospektif
dan sistem pembayaran retrospektif[8]. Sistem pembayaran prospektif adalah suatu sistem
dimana besaran nilai pembayaran atas suatu layanan disusun atau ditetapkan sebelum
layanan diberikan. Sistem pembayaran retrospektif adalah suatu sistem dimana besaran
nilai pembayaran atas suatu layanan disusun atau ditetapkan setelah layanan diberikan.
Sistem kelompok diagnosa terkait (Diagnostis Related Groups) merupakan salah salah satu
model sistem pembayaran prospektif. Sistem pembayaran yang terjadi di Indonesia saat ini
adalah fee-for-services dan sistem per diem. Sistem ini merupakan salah dua model sistem
pembayaran yang cenderung retrospektif. Jumlah seluruh tarif atas layanan-layanan yang
diterima pasien untuk satu episode perawatan atas suatu kelompok diagnosa terkait
(DRG), tidak lain adalah representasi proksi biaya layanan kesehatan yang dikeluarkan
pasien, asuransi, dan pemerintah sebagai nilai ganti ekonomis atas suatu paket layanan
kesehatan kepada seorang pasien penderita serangkaian kelompok diagnosa tertentu.
Hanya saja margin yang terkandung dalam tarif tersebut bukanlah margin antara paket
biaya aktual dan tarif paket per DRG, melainkan margin gabungan dari seluruh margin
antara biaya aktual dan tarif per jenis pelayanan yang diterima seorang pasien dalam satu
episode perawatan tententu. Sebagai ilustrasi atas argumen ini, dapat dilihat pada bagan
berikut : Bagan. Kerangka pembebanan biaya layanan kesehatan kepada pengguna layanan
(pasien) pada pola fee-for-services Bagan. Kerangka pembebanan biaya layanan kesehatan
kepada pengguna layanan (pasien) pada pola DRG Kesiapan sistem pendataan,

administrasi dan keuangan serta cost culture pada lembaga pemberi pelayanan
kesehatan / Rumahsakit akan merupakan kekuatan yang besar sehingga sistem
yang ideal akan bisa dijalankan. Namun demikian berbagai pihak harus membuat
terobosan-terobosan untuk memulai pada tahap awal sebagai jembatan-jembatan
menuju pada sistem yang ideal. Melalui berbagai kemungkinan aplikasi yang
bervariasi pada industri-industri pelayanan kesehatan maupun dalam
pengembangan program-program terpadu di sektor kesehatan. Hal ini akan
memberi jalan pada kemungkinan suatu terobosan baru pada ilmu pembiayaan
untuk pelayanan kesehatan yang unggul dan seharusnya berjalan pada industri
pelayanan kesehatan yaitu sistem penghitungan biaya pelayanan standart sesuai
protap medis yang seharusnya berjalan yang pada ilmu pembiayaan modern
disebut pembiayaan berbasis aktivitas (Activity Based Costing). Activity Based
Costing inilah pilar yang akan menjembatani pada suatu tools yang sifatnya ideal
dan lebih advance yaitu sistem pembiayaan berbasis Diagnosis Related Groups
(DRG). PENUTUPAdanya Analisis Biaya Pelayanan Standart ini diharapkan bisa menjadi
investasi bagi Lembaga Penjamin/Pembayar/Jamsostek maupun Rumahsakit dalam
pengembangan sistem pembiayaan yang lebih baik di masa depan. Dengan adanya win-win
solution antara berbagai pihak dan berbagai action-action yang terencana diharapkan
biaya kesehatan bisa lebih terkendali, lebih adil, bermutu, dan memberikan perlindungan
bagi masyarakat. Walaupun kecil, setiap proses harus dimulai dengan pengharapan yang
lebih besar untuk perbaikan wajah pelayanan kesehatan di Indonesia dan diharapkan akan
mendukung program SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional) maupun kebijakan-kebijakan
terkait yang saat ini sedang dikembangkan oleh pemerintah.

[1]Palmer G.R., Aisbett C., Fetter R., Winchester L., Reid B. & Rigby E. (1991). Casemix costs and casemix
accounting in seven major Sydney teaching hospitals. Centre for Hospital Management and Information System
Research and School of Health Services Management, University of New South Wales.
[2] Candler I.R., Fetter R.B. & Newbold R.C. (1991). Cost accounting and budgeting. In : Gong Z..,(2004).
Developing casemix classification for acute hospital inpatients in Chengdu. China.
[3] Phelan P.D., Tate R., Webster F. & Marshall R.P. (1998). DRG cost weights : getting it right. The Medical
Journal Australia.
[4] Sulong S.B., (2005). Data requirement for casemix. Materi presentasi Casemix workshop in Hospital
Universiti Kebangsaan Malaysia.
[5] Baker, Judith J. (1998). Activity-Based Costing and Activity-Based Management for Health Care. Aspen
Publishers, Inc. Maryland
[6] Baker, Judith J. (1998). Activity-Based Costing and Activity-Based Management for Health Care. Aspen
Publishers, Inc. Maryland
[7] Gong Z., (2004). Developing casemix classification for acute hospital inpatients in Chengdu, China.
[8] Aljunid S.M., (2005). Pengenalan sistem pembiayaan kesehatan dan rumah sakit. Materi presentasi pelatihan
implementasi casemix di Indonesia, Bandung

Share this:

StumbleUpon

Digg

Reddit

Aku Mau Nanay pendapat kamu tentang INA DRG, apakah kamu setuju kl seluruh
RS di Indonesia DRG nya sama, padahal setiap daerah kan mempunyai karakteristik
serta peralatan medis yang berbeda pula.
Thx ya
1.
Yuddi
Juni 27, 2008 pukul 9:32 pm
Balas | Kutipan

Sambil nunggu pertanyaan Pak Tinus di jawab oleh Pak Wandy, saya ingin
memberikan sedikit tanggapan saja. Saya pribadi tidak terlalu mempermasalahkan
INA DRG, tetapi penerapan di seluruh RS tentunya butuh tahapan-tahapan yang lebih

berhati-hati mengingat sistem pembiayaan RS di Indonesia ini tentunya belum 100 %


mengadopsi sistem ABC, pada akhirnya apabila SPM atau bahkan clinical
pathwaynya sudah di seragamkan, perhitungan biaya bisa di seragamkan, tinggal
besaran biaya saja kan nanti masalahnya? Pasti dalam penentuan besaran biaya dalam
1 kode DRG akan memiliki variasi yang berbeda-beda, perbedaan ini yang nantinya
akan menjadi dasar untuk menentukan besaran biaya dalam 1 kode DRG tersebut
tanpa harus merugikan RS yang bersangkutan. RS yang melakukan perhitungan ABC
dan melaksanakan secara efektif efisian bisa jadi mengeluarkan biaya di bawah
besaran biaya yang di tentukan, akhirnya RS itu akan mendapat profit dari selisih
biaya dan besaran biaya DRG tersebut.
Mudah-mudahan bermanfaat.

Standar Minimal dalam Pelayanan Rawat Jalan dan


Rawat Inap di Rumah Sakit
Posted by: iban upkp2 on March 15, 2013 in Pelayanan Publik, Uncategorized Leave a
comment
Berdasarkan Keputusan Menteri kesehatan Nomor : 129/Menkes/SK/II/2008 tentang Standar
Pelayanan Minimal Rumah Sakit, standar minimal rawat jalan adalah sebagai berikut:
1. Dokter yang melayani pada Poliklinik Spesialis harus 100 % dokter
spesialis.
2. Rumah sakit setidaknya harus menyediakan pelayanan klinik anak, klinik
penyakit dalam, klinik kebidanan, dan klinik bedah.
3. Jam buka pelayanan adalah pukul 08.00 13.00 setiap hari kerja, kecuali
hari Jumat pukul 08.00 11.00.
4. Waktu tunggu untuk rawat jalan tidak lebih dari 60 menit.
5. Kepuasan pelanggan lebih dari 90 %.

Standar minimal rawat inap di rumah sakit adalah sebagai berikut:


1. Pemberian layanan rawat inap adalah Dokter spesialis, dan perawat
dengan minimal pendidikan D3.
2. Penanggungjawab pasien rawat inap 100 % adalah dokter.
3. Ketersediaan pelayanan rawat inap terdiri dari anak, penyakit dalam,
kebidanan, dan bedah.
4. Jam kunjung dokter spesialis adalah pukul 08.00 14.00 setiap hari kerja.
5. Kejadian infeksi paska operasi kurang dari 1,5 %.
6. Kejadian infeksi nosokomial kurang dari 1,5 %.

7. Kematian pasien lebih dari 48 jam : kurang dari 0,24 %.


8. Kejadian pulang paksa kurang dari 5 %.
9. Kepuasan pelanggan lebih dari 90 %.

Akuntansi Rumah Sakit


I.

PENDAHULUAN
Rumah Sakit Pemerintah merupakan unit kerja dari Instansi Pemerintah
yang

memberikan

pelayanan

kesehatan

kepada

masyarakat

umum.

Permasalahan yang selalu timbul adalah sulitnya meramalkan kebutuhan


pelayanan yang diperlukan masyarakat maupun kebutuhan sumber daya untuk
mendukungnya. Di lain pihak Rumah Sakit harus siap setiap saat dengan sarana,
prasarana tenaga maupun dana yang dibutuhkan untuk mendukung pelayanan
tersebut. Di samping itu Rumah Sakit sebagai unit sosial dihadapkan pada
semakin langkanya sumber dana untuk membiayai kebutuhannya, padahal di
lain pihak Rumah Sakit diharapkan dapat bekerja dengan tarif yang dapat
terjangkau oleh masyarakat luas.
Dengan perubahan sistem keuangan Rumah Sakit serta sistem keuangan
Pemerintah secara keseluruhan diharapkan dana yang dikelola oleh Rumah Sakit
akan menjadi lebih besar dan terus meningkat sejalan dengan peningkatan
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) serta persiapan Badan Layanan Umum
dari tahun ke tahun. Kondisi ini selain akan membawa pengaruh positif bagi
peningkatan pelayanan, tetapi juga membuka peluang untuk timbulnya ekses
negatif penyalahgunaan dalam pengelolaan keuangan negara. Untuk itu
diperlukan berbagai upaya dalam mengatasinya.
Akuntansi

Rumah

Sakit

yang

merupakan

salah

satu

kegiatan

dari

manajemen keuangan adalah salah satu sasaran pertama yang harus diperbaiki
agar dapat memberikan data dan informasi yang akan mendukung para manajer
Rumah

Sakit

dalam

pengambilan

keputusan

maupun

pengamatan

serta

pengendalian kegiatan Rumah Sakit. Yang menjadi kendala pada Rumah Sakit
Swadana dan belum terpecahkan sampai saat ini adalah Rumah Sakit melakukan
dua sistem pencatatan dan pelaporan yaitu yang berdasarkan prinsip akuntansi
yang lazim (Accrual Basis) dan Basis Kas (Cash Basis) untuk memenuhi
ketentuan yang berlaku yang diharapkan dapat berjalan secara paralel,

independen dan tercipta mekanisme saling kontrol di antaranya (kontrol


internal), namun dirasakan menjadi beban petugas Rumah Sakit.

II.

PENGERTIAN RUMAH SAKIT


Menurut WHO rumah sakit adalah sebagai organisasi sosial dan kesehatan
yang berfungsi menyediakan pelayanan kesehatan yang lengkap dalam hal :
a. Pencegahan dan penyembuhan penyakit
b. Pelayanan rawat jalan
c. Pusat penelitian biomedis
Berdasarkan peraturan menteri kesehatan RI rumah sakit adalah sarana
upaya kesehatan yang menyelenggarakan kegiatan pelayanan kesehatan serta
dapat dimanfaatkan untuk pendidikan tenaga kesehatan dan penelitian.

III.

JENIS-JENIS RUMAH SAKIT


Secara umum, rumah sakit berdasarkan fungsinya memberikan pelayanan
kesehatan kepada masyarakat dibagi dalam beberapa jenis :

1.

Rumah Sakit Umum


Adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan kepada penderita berbagai
jenis penyakit, pengobatan umum, pembedahan dan sebagainya. Biasanya
memiliki institusi perawatan darurat yang siaga 24 jam untuk memberikan

2.

pertolongan pertama
Rumah Sakit Terspesialisasi
Merupakan rumah sakit yang memiliki spesialisasi terhadap suatu penyakit yang
membutuhkan penanganan khusus. Rumah sakit yang dapat dikategorikan
sebagai rumah sakit terspesialisasi antara lain trauma center, rumah sakit anak,
gigi, manula, dll. Biasanya rumah sakit ini memiliki afiliasi dengan universitas

3.

atau pusat medis tertentu.


Rumah sakit pendidikan/penelitian
Adalah rumah sakit umum yang terkait dengan kegiatan penelitian dan
pendidikan di fakultas kedokteran pada suatu lembaga/universitas . biasanya
digunakan sebagai tempat pelatihan dokter-dokter muda, uji coba obat baru,

4.

atau teknik pengobatan baru


Rumah sakit lembaga/perusahaan
Merupakan rumah sakit yang didirikan oleh suatu lembaga/perusahaan untuk
memberikan

5.

pelayanan

kesehatan

kepada

anggota

lembaga/perusahaan

tersebut
Klinik
Merupakan fasilitas medis yang lebih kecil dari rumah sakit dan hanya melayani
keluhan tertentu. Klinik biasanya hanya menerima pasien rawat jalan dan

dijalankan oleh lembaga swadaya masyarakat atau dokter-dokter yang ingin


membuka praktik pribadi. Kumpulan klinik disebut poliklinik.
Berdasarkan kepemilikannya, rumah sakit di Indonesia dibedakan menjadi :
1.

Rumah Sakit Milik Pemerintah


Rumah sakit milik pemerintah ini dibedakan menjadi rumah sakit milik
pemerintah pusat yang dikenal Rumah Sakit Umum Pusat(RSUP) dan rumah sakit
milik pemerintah provinsi dan kabupaten atau kota yaitu RSUD.
Perbedaan keduanya ada pada kepemilikan dimana RSUP merupakan milik
pemerintah pusat yang mengacu pada Departemen Kesehatan (DepKes),
sedangkan RSUD merupakan milik pemerintah provinsi dan kabupaten atu kota
dengan pembinaan urusan kerumahtanggaan dari Departemen Dalam Negeri.

Namun, RSUD tetap berada di bawah koordinasi Departeman Kesehatan.


Berikut dua jenis rumah sakit milik pemerintah :
a. Rumah sakit milik pemerintah yang tidak dipisahkan
Adalah rumah sakit yang dimiliki oleh kekayaan pemerintah. Contoh : RSUD
b.

Banyumas dan RSUD Tangerang


Rumah sakit milik pemerintah yang dipisahkan
Adalah rumah sakit yang dimiliki oleh kekayaan pemerintah yang dipisahkan,
misalnya milik BUMN PT Aneka Tambang, PT Pelni dan beberapa perusahaan
perkebunan
Karena rumah sakit tersebut merupakan bagian dari BUMN, keadaannya sangat

2.

bergantung pada kondisi keuangan BUMN yang menjadi induknya.


Rumah sakit berbentuk Badan Layanan Umum (BLU)
BLU adalah instansi di lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk memberikan
pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang
dijual

tanpa

mengutamakan

mencari

keuntungan

dan

dalam melakukan

kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.


Tujuan BLU adalah meningkatkan pelayangan kepada masyarakat dalam rangka
memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dan
memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip
ekonomi dan produktivitas dan penerapan praktik yang sehat (PP No. 23/2005
tentang pengelolaan keuangan BLU)
Rumah sakit berbentuk BLU antara lain, RSCM, RS Jantung Harapan Kita, RS
Hasan Sadikin Bandung, RS Makassar, RS Karyadi Semarang, RS Sanglah
Denpasar, RS Padang, RS palembang, dan RS Dr. Sadjito Yogyakarta. Sedangkan
RSUD yang sudah dialihkan menjadi BLUD antara lain RSUD Budi Asih, RSUD
3.

Tarakan , Koja, Duren Sawit, RSUD Haji, dan RSUD Pasar Rebo.
Rumah sakit swasta

Adalah rumah sakit yang dimiliki oleh perorangan atau badan hukum. Rumah
sakit swasta ada yang dimiliki oleh yayasan keagamaan dan kemanusiaan
ataupun dimiliki oleh perusahaan.
IV.

Akuntansi Dana di Rumah Sakit


Aplikasi akuntansi dana juga dapat kita lihat dalam praktik akuntansi di
rumah sakit. Namun, harus disadari bahwa tidak semua rumah sakit adalah
organisasi yang bersifat nirlaba. Beberapa rumah sakit dioperasikan sebagai
layaknya

perusahaan

yang

mencari

laba,

bahkan

beberapa

diantaranya

melakukan penjualan sahamnya di pasar modal. Dalam kasus rumah sakit yang
berorientasi laba, standar akuntansi yang diikuti adalah standar akuntansi
keuangan yang digunakan untuk sektor komersial.
Dalam hal ini dibahas bagaimana aturan dan prinsip-prinsip penggunaan
akuntansi dana dalam rumah sakit di Amerika Serikat (AS). Dalam mengatur
rumah sakit dibedakan menjadi dua, yaitu:
1.
Rumah Sakit yang Dikelola Pihak Swasta (Private Hospital)
Dalam hal ini, pelaksanaan akuntansi yang dikembangkan oleh Financial
Accounting Standards Board FASB (Dewan Standar Akuntansi Keuangan)
khususnya

dalam

pernyataan

no.117

tentang

Laporan

Keuangan

untuk

Organisasi Nirlaba.
2.
Rumah Sakit yang Dikelola Pihak Pemerintah (Public Hospital)
Dalam hal ini, pelaksanaan akuntansi dilaksanakan berdasarkan standar
akuntansi yang dikembangkan oleh Govermenttal Accounting Standards Board
GASB (Dewan Standar Akuntansi Pemerintah).
Dalam akuntansi dana untuk rumah sakit, penyajian laporan informasi
keuangan mengharuskan pembentukan dana (fund) yang dibagi menjadi dua,
yaitu:
1.

Dana Tidak Terikat (Unrestricted Fund)


Yaitu dana yang tidak dibatasi penggunaannya pada suatu tujuan tertentu.

2.

Dana Terikat (Restricted Fund)


Yaitu dana yang dibatasi penggunaannya pada suatu tujuan tertentu yang
biasanya muncuul karena permintaan dari pihak eksternal yang memberikan
sumbangan. Terikat tidaknya aktiva tergantung pada ketentuan pihak lain
(donor) yang memberikan sumber keuangan

Tidak ada PSAK khusus yang mengatur standar akuntansi untuk rumah sakit.
PSAK yang paling cocok untuk sementara waktu digunakan adalah PSAK 45
tentang organisasi nirlaba.
Berdasarkan PSAK 45, akuntansi RS tidak berdasarkan sistem dana, hanya
dana tunggal. Namun aktiva bersih RS dikategori berdasarkan tiga jenis:
1.
2.

Dana tidak terikat


Dana terikat sementara, yaitu dana denga pembatasan yang bersifat

sementara
3.

V.

Dana terikat permanen, yaitu dana denga pembatasan yang bersifat permanen

LAPORAN KEUANGAN RUMAH SAKIT


Dalam laporan keuangan rumah sakit terdapat empat laporan keuangan
utama yang dihasilkan oleh proses akuntansi, yaitu:

1.

Neraca
Terdiri dari :

Aktiva dan utang diklasifikasi menjadi:

Aktiva lancar aktiva tetap

Utang lancar utang jangka panjang

Aktiva bersih (ekuitas) diklasifikasi berdasarkan:

Aktiva bersih tidak terikat

Aktiva bersih terikat temporer

Aktiva bersih terikat permanen


Neraca dalam rumah sakit tidak mempunyai perbedaan mendasar baik isi
maupun proses penyusunan dari sudut pandang ilmu akuntansi dibandingkan
dengan neraca perusahaan yang sering kita kenal disektor komersial namun
demikian ada beberapa hal yang secara khusus perlu diperhatikan antara lain:

a.

Kas

Jumlah kas yang tercatat dalam neraca tidak termasuk kas pada Dana Terikat
yang tidak dapat digunakan untuk kegiatan operasi.
b.

Piutang
Piutang harus dilaporkan pada jumlah yang diperkirakan dapat direalisasi.

c.

Investasi
Investasi awal dicatat pada harga perolehan pada saat pembelian, atau pada
nilai wajar pada saat penerimaan jika investasi diterima sebagai pemberian.

d.

Aktiva Tetap
Aktiva tetap dilaporkan bersama dengan akumulasi depresiasinya dalam Dana
Umum.

e.

Aktiva yang Disisihkan


Klasifikasi aktiva terikat (restricted assets) hanya diberikan pada dana yang
penggunaannya dibatasi oleh pihak eksternal rumah sakit yang mensponsori
dana tersebut.

f.

Utang Jangka Panjang


Utang jangka panjang dilaporkan pada neraca.

g.

Saldo Dana
Sesuai dengan kaidah pembagian dana yang dijelaskan, saldo dana yang dimiliki
oleh rumah sakit dipisahkan menjadi tiga macam yaitu: terikat, terikat
sementara waktu, dan terikat permanen.

2.

Laporan Operasi
Untuk rumah sakit, hasil dari kegiatan operasinya dilaporkan dalam Laporan
Operasi (Statement of Operations). Laporan ini mencakup tentang pendapatan,
beban, untung dan rugi, serta transaksi lainnya yang mempengaruhi saldo dana
selama periode berjalan. Dalam laporan operasi harus dinyatakan suatu indikator
kinerja seperti halnya laba bersih dalam perusahaan, yang melaporkan hal
kegiatan operasi rumah sakit selama periode berjalan. Indikator kinerja ini harus
mencakup baik laba ataupun rugi operasi selama periode berjalan maupun laba

langsung yang diperoleh selama operasi berjalan. Perubahan lain dari saldo dana
selama periode berjalan harus dilaporkan setelah indikator kinerja.
Berikut adalah pos-pos lain yng jga perlu menjadi perhatian:
a.

Pendapatan Jasa Pasien


Pendapatan jasa pasien dihitung dari jumlah bruto dengan menggunakan tarif
standar. Jumlah tersebut kemudian di kurangi dengan penyesuaian kontraktual
(contractual adjusments) menjadi Pendapatan Bersih Jasa Pasien.
b.

Penyesuaian Kontraktual

Penyesuaian kontraktual berasal dari keterlibatan pihak ketiga dalam proses


penggantian pembayaran medis. Perusahaan asuransi biasanya mengganti
kurang dari jumlah tarif standar penuh untuk jasa medis yang disediakan bagi
pasien yang menjadi tanggunan asuransi. Meskipun rumah sakit memiliki tarif
standar untuk jasa yang diberikan, namun rumah sakit menjalin kontrak dengan
pembayar pihak ketiga di mana rumah sakit menerima jumlah pembayaran yang
lebih rendah untuk jasa tersebut.
c.

Pendapatan dari Kegiatan Lainnya

Pendapatan dari kegiatan lain mencerminkan pendapatan dari sumber-sumber


bukan pasien, seperti kantin dan sewa parkir. Pendapaatan ini biaaanya
mencerminkan jumlah bersih dari operasinya, jadi bukan jumlah brutonya.
d.

Transfer Antardana

Tidaklah tepat untuk tetap mengelola aktiva dalam Dana Terikat ketika
persyaratan yang ditetapkan oleh pihak sponsor atau donor sudah terpenihi.
Dalam hal ini aktiva tersebut harus ditransfer dari Dana Terikat ke Dana Tidak
Terikat. Untuk tujuan pelaporan keuangan, transfer antar dana ini dilaporkan
dalam Laporan Operasi sebagai Pelepasan Saldo Dana dan ditunjukkan sebagai
penambahan atas Dana Tidak Terikat.

Contoh Pendapatan:
1.

Pendapatan operasioal rawat jalan: karcis umum dan karcis spesialis.

2.

Pendapatan operasional rawat inap: akomodasi dan visite.

3.

Pendapatan tindakan medis: tindakan medik, dan tindakan keperawatan

4.

Pendapatan operasional unit penunjang: rasiologi, laboratorium, fisioterapi,

farmasi, dan rehab medik.

e.

Beban Dana Umum

Beban-beban dalam Dana Umum diakui secara akrual, seperti halnya pada
entitas komersial.
Contoh beban :

Biaya

pelayanan:

bahan,

jasa

pelayanan,

pegawai,

penyusutan,

pemeliharaan, asuransi, langganan dan daya, pelatihan, dan penelitian.

Biaya umum dan administrasi: pegawai, administrasi kantor, penyusutan,


pemelihataan, langganan dan daya, pelatihan, dan penelitian

f.

Sumbangan
Sumbangan (donasi) dibagi menjadi donasi yang terbentuk jasa dan berbentuk
aktiva. Karena sering kali sulit untuk menetapkan nilai dari donasi yang
berbentuk jasa, maka nilai dari donasi ini biasanya tidak dicatat. Namun, jika
terdapat kebutuhan untuk melakukan pencatatan, maka perkiraan nilai dari
donasi jasa dicatat sebagai sumbangan yang langsung diikuti dengan beban
dalam jumlah yang sama. Sedangkan donasi yang berbentuk aktiva dilaporkan
pada nilai wajar pada tanggal diterimanya sebagai sumbangan jika donasi aktiva
ini penggunaannya dibatasi oleh pihak sponsor atau donor maka dilaporkan
dalam

Dana

Terikat

Sementara

atau

Dana

Terikat

Permanen.

Ketika

pembatasannya sudah tidak berlaku lagi, maka dilakukan transfer dari Dana
Terikat ke Dana Umum.

3.

Laporan Perubahan Aktiva Bersih


Laporan ini menyajikan perubahan dalam ketiga kategori aktiva bersih yang

Tidak Terikat, Terikat Sementara, dan terikat Permanen.

4.

Laporan Arus Kas


Format dari laporan ini serupa dengan yang digunakan untuk entitas

komersial.
Laporan arus kas terdiri dari:
1.

Aktivitas operasi

2.

Aktivitas investasi

3.

Aktivitas pendanaan

5. Catatan Atas Laporan Keuangan


Terdiri dari :
1.

Gambaran umum RS

2.

Iktisar kebijakan akuntansi

3.

Penjelasan pos-pos laporan keuangan

Ditjen Pelayanan Medit Depkes membuat ketentuan akuntansi, khususnya bagi


RS yang sudah menjadi BLU (Badan Layanan Umum). Pedoman akuntansi RS ini
berisi 10 bab:
1.

Pendahuluan

2.

Laporan Keuangan

3.

Akuntansi Aktiva

4.

Akuntansi Kewajiban

5.

Akuntansi Aktiva Bersih (Ekuitas)

6.

Akuntansi Perubahan Aktiva Bersih

7.

Laporan Arus Kas

8.

Catatan Atas Laporan Keuangan

9.

Ilustrasi Laporan Keuangan

10. Rasio Keuangan

VI.

RUMAH SAKIT PEMERINTAH DAERAH SEBAGAI BADAN LAYANAN UMUM


(BLU)
A.

Pengertian Badan Layanan Umum (BLU)


Pengertian atau definisi BLU diatur dalam Pasal 1 angka 23 UU No. 1 Tahun

2004 tentang Perbendaharaan Negara, yaitu : Badan Layanan Umum adalah


instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan
kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa
mengutamakan

mencari

keuntungan

dan

dalam

melakukan

kegiatannya

didasarkan pada prinsip efisiensi danproduktivitas.


Pengertian ini kemudian diadopsi kembali dalam peraturan pelaksanaannya
yaitu dalam Pasal 1 angka 1 PP No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum. Tujuan dibentuknya BLU adalah sebagaimana
yang diamanatkan dalam Pasal 68 ayat (1) yang menyebutkan bahwa Badan
Layanan Umum dibentuk untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat
dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan
bangsa. Kemudian ditegaskan kembali dalam PP No. 23 Tahun 2005 sebagai
peraturan pelaksanaan dari asal 69 ayat (7) UU No. 1 Tahun 2004, Pasal 2 yang
menyebutkan bahwa BLU bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan
kehidupan bangsa dengan memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan
berdasarkan prinsip ekonomi dan produktivitas, dan penerapan praktek bisnis
yang sehat.
Sedangkan Asas BLU diatur menurut Pasal 3 PP No. 23 Tahun 2005, yaitu:
1.

Menyelenggarakan

pelayanan

umum

yang

pengelolaannya

berdasarkan

kewenangan yang didelegasikan, tidak terpisah secara hukum dari instansi


induknya;
2.

Pejabat BLU bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan layanan umum


kepada pimpinan instansi induk;
3.

BLU tidak mencari laba;

4.

Rencana kerja, anggaran dan laporan BLU dan instansi induk tidak

terpisah;
5.

Pengelolaan sejalan dengan praktik bisnis yang sehat.

Dari uraian definisi, tujuan dan asas BLU, maka dapat terlihat bahwa BLU
memiliki suatu karakteristik tertentu, yaitu :
1.

Berkedudukan sebagai lembaga pemerintah yang tidak dipisahkan dari


kekayaan Negara;
2.

Menghasilkan barang dan/atau jasa yang diperlukan masyarakat;

3.

Tidak bertujuan untuk mencarai laba;

4.

Dikelola secara otonom dengan prinsip efisiensi dan produktivitas ala

korporasi;
5.

Rencana kerja, anggaran dan pertanggungjawabannya dikonsolidasikan pada


instansi induk;

6.

Penerimaan baik pendapatan maupun sumbangan dapat digunakan secara


langsung;
7.

Pegawai dapat terdiri dari pegawai negeri sipil dan bukan pegawai negeri

sipil;
8.

BLU bukan subyek pajak.


Selain itu, sekalipun BLU dikelola secara otonom dengan prinsip efisiensi

dan produktivitas ala korporasi, namun terdapat beberapa karakteristik lainnya


yang membedakan pengelolaan keuangan BLU dengan BUMN/BUMD, yaitu:
1.

BLU dibentuk untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka


memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa;

2.

Kekayaan BLU merupakan bagian dari kekayaan negara/daerah yang tidak


dipisahkan

serta

dikelola

dan

dimanfaatkan

sepenuhnya

untuk

menyelenggarakan kegiatan BLU yang bersangkutan;


3.

Pembinaan BLU instansi pemerintah pusat dilakukan oleh Menteri Keuangan dan
pembinaan teknis dilakukan oleh menteri yang bertanggung jawab atas bidang
pemerintahan yang bersangkutan;

4.

Pembinaan keuangan BLU instansi pemerintah daerah dilakukan oleh pejabat


pengelola keuangan daerah dan pembinaan teknis dilakukan oleh kepala satuan

kerja perangkat daerah yang bertanggung jawab atas bidang pemerintahan yang
bersangkutan;
5.
6.

Setiap BLU wajib menyusun rencana kerja dan anggaran tahunan;

Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) serta laporan keuangan dan laporan kinerja
BLU disusun dan disajikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari RKA serta
laporan keuangan dan laporan kinerja kementerian negara/lembaga/pemerintah
daerah;

7.

Pendapatan yang diperoleh BLU sehubungan dengan jasa layanan yang


diberikan merupakan pendapatan negara/daerah;

8.

Pendapatan tersebut dapat digunakan langsung untuk membiayai belanja yang


bersangkutan;
9.

BLU dapat menerima hibah atau sumbangan dari masyarakat atau badan

lain;
10.

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan keuangan BLU diatur dalam


peraturan pemerintah (dhi. PP No. 23 Tahun 2005).

B.

Rumah Sakit Sebagai BLU

Standar Pelayanan dan Tarif Layanan Rumah Sakit


Pelanggan

baik

eksternal

maupun

internal

mempunyai

keinginan-

keinginan ataupun harapan terhadap jasa yang disediakan oleh rumah sakit.
Mereka mempunyai persyaratan-persyaratan yang diharapkan dapat dipenuhi
oleh rumah sakit. Namun demikian pelanggan eksternal sebagai pengguna jasa
pelayanan mengharapkan apa yang diinginkan dapat dipuaskan (customer
satisfaction),

sedangkan

tenaga

profesi

mengajukan

persyaratan

agar

pelayanan yang disediakan memenuhi standar profesi, sedangkan pihak


manajemen menghendaki pelayanan yang efektif dan efisien. Jadi mutu dapat
dipandang dari berbagai sudut pandang
Pemerintah Daerah yang telah menjadi BLU/BLUD menggunakan standar
pelayanan

minimum

yang

lembaga/gubernur/bupati/walikota

ditetapkan
sesuai

dengan

oleh

menteri/pimpinan

kewenangannya,

harus

mempertimbangkan kualitas layanan, pemerataan dan kesetaraan layanan,

biaya serta kemudahan untuk mendapatkan layanan. Dalam hal rumah sakit
pemerintah di daerah (RSUD) maka standar pelayanan minimal ditetapkan oleh
kepala daerah dengan peraturan kepala daerah. Standar pelayanan minimal
tersebut harus memenuhi persyaratan, yaitu :
1.

Fokus pada jenis pelayanan, dalam arti mengutamakan kegiatan pelayanan


yang menunjang terwujudnya tugas dan fungsi BLU/BLUD;

2.

Terukur, merupakan kegiatan yang pencapaiannya dapat dinilai sesuai dengan


standar yang telah ditetapkan;

3.

Dapat dicapai, merupakan kegiatan nyata yang dapat dihitung tingkat


pencapaiannya, rasional sesuai kemampuan dan tingkat pemanfaatannya;

4.

Relevan dan dapat diandalkan, merupakan kegiatan yang sejalan, berkaitan dan
dapat dipercaya untuk menunjang tugas dan fungsi BLU/BLUD;

5.

Tepat waktu, merupakan kesesuaian jadwal dan kegiatan pelayanan yang telah
ditetapkan.
Rumah Sakit Pemerintah Daerah yang telah menjadi BLU/BLUD dapat
memungut biaya kepada masyarakat sebagai imbalan atas barang/jasa layanan
yang diberikan. Imbalan atas barang/jasa layanan yang diberikan tersebut
ditetapkan dalam bentuk tarif yang disusun atas dasar perhitungan biaya per
unit layanan atau hasil per investasi dana. Tarif layanan diusulkan oleh rumah
sakit kepada menteri keuangan/menteri kesehatan/kepala SKPD sesuai dengan
kewenangannya, dan kemudian ditetapkan oleh menteri keuangan/kepala
daerah dengan peraturan menteri keuangan/peraturan kepala daerah. Tarif
layanan yang diusulkan dan ditetapkan tersebut harus mempertimbangkan halhal sebagai berikut:
1.

kontinuitas dan pengembangan layanan;

2.

daya beli masyarakat;

3.

asas keadilan dan kepatutan; dan

4.

kompetisi yang sehat.


Penentuan tarif harus berdasar unit cost dan mutu layanan. Dengan

demikian rumah sakit pemerintah harus mampu melakukan penelusuran (cost


tracing) terhadap penentuan segala macam tarif yang ditetapkan dalam layanan.
Selama ini

aspek penentuan tarif masih berbasis aggaran ataupu subsidi

pemerintah sehingga masih terdapat suatu cost culture yang tidak mendukung
untuk peningkatan kinerja atau mutu layanan. Penyusunan tarif rumah sakit
seharusnya berbasis pada unit cost, pasar (kesanggupan konsumen untuk
membayar dan strategi yang diipilih. Tarif tersebut diharapkan dapat menutup
semua biaya, diluar subsidi yang diharapkan. Yang perlu diperhatikan adalah
usulan tarif jangan berbasis pada prosentase tertentu namun berdasar pada
kajian yang dapat dipertanggungjawabkan. Secara umum tahapan penentuan
tarif harus melalui mekanisme usulan dari setiap divisi dalam rumah sakit dan
aspek pasar dan dilanjutkan kepada pemilik. Pemilik rumah sakit pemerintah
adalah pemerintah daerah dan DPRD

Pengelolaan Keuangan
Adanya desentralisasi dan otonomi daerah dengan berlakunya UU tentang

Pemerintahan Daerah (UU No. 32 Tahun 2004, terakhir diubah dengan UU No. 12
Tahun 2008), UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan
Daerah, serta Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Umum
Penyusunan APBD, kemudian PP No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum, PP No. 24 Tahun 2005 tentang Standar
Akuntansi Pemerintahan, dan Permendagri No. 61 Tahun 2007 tentang Pedoman
Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah, membuat rumah
sakit pemerintah daerah harus melakukan banyak penyesuaian khususnya
dalam pengelolaan keuangan maupun penganggarannya, termasuk penentuan
biaya.
Dengan terbitnya PP No. 23 Tahun 2005, rumah sakit pemerintah daerah
mengalami

perubahan

menjadi

BLU.

Perubahan

ini

berimbas

pada

pertanggungjawaban keuangan tidak lagi kepada Departemen Kesehatan tetapi


kepada Departemen Keuangan, sehingga harus mengikuti standar akuntansi
keuangan yang pengelolaannya mengacu pada prinsip-prinsip akuntabilitas,
transparansi dan efisiensi. Anggaran yang akan disusun pun harus berbasis
kinerja (sesuai dengan Kepmendagri No. 29 Tahun 2002).
Penyusunan anggaran rumah sakit harus berbasis akuntansi biaya yang
didasari dari indikator input, indikator proses dan indikator output, sebagaimana
diatur berdasarkan PP No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan
Layanan Umum, PMK No. 76/PMK.05/2008 tentang Pedoman Akuntansi Dan

Pelaporan

Keuangan

pengelolaan

Badan

keuangannya

Layanan

harus

Umum,

mengacu

dan

dan

khusus

untuk

berdasarkan

RSUD,

Permendagri

Permendagri No. 61 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan


Badan Layanan Umum Daerah.

Pelaporan dan Pertanggungjawaban


BLU sebagai instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk

memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau


jasa

yang

dijual

tanpa

mengutamakan

mencari

keuntungan

merupakan

organisasi pemerintahan yang bersifat nirlaba. Sesuai dengan Pasal 26 ayat (2)
PP No. 23 Tahun 2005 yang menyebutkan bahwa Akuntansi dan laporan
keuangan BLU diselenggarakan sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan
yang diterbitkan oleh asosiasi profesi akuntansi Indonesia. Ketentuan ini
menimbulkan inkonsistensi, karena BLU merupakan badan/unit atau organisasi
pemerintahan yang seharusnya menggunakan PSAP atau Standar Akuntansi
Pemerintahan sebagaimana diatur menurut PP No. 24 Tahun 2005 tentang
Standar Akuntansi Pemerintahan, namun dalam PP No. 23 Tahun 2005
menggunakan PSAK (Standar Akuntansi Keuangan) yang berasal dari IAI. Sebagai
organisasi kepemerintahan yang bersifat nirlaba, maka rumah sakit pemerintah
daerah semestinya juga menggunakan SAP bukan SAK.
Laporan keuangan rumah sakit pemerintah daerah merupakan laporan
yang disusun oleh pihak manajemen sebagai bentuk penyampaian laporan
keuangan suatu entitas. Laporan keuangan tersebut merupakan penyampaian
informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan terhadap entitas tersebut,
sehingga isi pelaporan keuangan rumah sakit pemerintah daerah harus
mengikuti ketentuan untuk pelaporan keuangan sebagaimana diatur menurut
SAK, yaitu sebagai organisasi nirlaba (PSAK No. 45) dan menyanggupi untuk
laporan keuangannya tersebut diaudit oleh auditor independen. Laporan
keuangan rumah sakit yang harus diaudit oleh auditor independen.
Adapun Laporan Keuangan rumah sakit pemerintah daerah sebagai BLU
yang disusun harus menyediakan informasi untuk:
1.

Mengukur jasa atau manfaat bagi entitas yang bersangkutan;

2.

Pertanggungjawaban manajemen rumah sakit (disajikan dalam bentuk


laporan aktivitas dan laporan arus kas);

3.

Mengetahui kontinuitas pemberian jasa (disajikan dalam bentuk laporan


posisi keuangan);

4.

mengetahui perubahan aktiva bersih (disajikan dalam bentuk laporan

aktivitas).
Sehingga, laporan keuangan rumah sakit pemerintah daerah mencakup
sebagai berikut:
1.

Laporan posisi keuangan (aktiva, utang dan aktiva bersih, tidak disebut

neraca). Klasifikasi aktiva dan kewajiban sesuai dengan perusahaan pada


umumnya. Sedangkan aktiva bersih diklasifikasikan aktiva bersih tidak terikat,
terikat

kontemporer

dan

terikat

permanen.

Yang

dimaksud

pembatasan

permanen adalah pembatasan penggunaan sumber daya yang ditetapkan oleh


penyumbang.

Sedangkan

pembatasan

temporer

adalah

pembatasan

penggunaan sumber daya oleh penyumbang yang menetapkan agar sumber


daya tersebut dipertahankan sampai pada periode tertentu atau sampai dengan
terpenuhinya keadaan tertentu;
2.

Laporan aktivitas (yaitu penghasilan, beban dan kerugian dan perubahan

dalan aktiva bersih);


3.

Laporan arus kas yang mencakup arus kas dari aktivitas operasi, aktivitas

investasi dan aktivitas pendanaan;


4.

Catatan atas laporan keuangan, antara lain sifat dan jumlah pembatasan

permanen atau temporer, dan perubahan klasifikasi aktiva bersih.


Dalam hal konsolidasi laporan keuangan rumah sakit pemerintah daerah
dengan laporan keuangan kementerian negara/lembaga, maupun laporan
keuangan pemerintah daerah, maka rumah sakit pemerintah daerah sebagai
BLU/BLUD mengembangkan sub sistem akuntansi keuangan yang menghasilkan
Laporan Keuangan sesuai dengan SAP (Pasal 6 ayat (4) PMK No. 76/PMK.05/2008
tentang Pedoman Akuntansi Dan Pelaporan Keuangan Badan Layanan Umum).
Berdasarkan PMK No. 76/PMK.05/2008 tentang Pedoman Akuntansi Dan
Pelaporan Keuangan Badan Layanan Umum dan sesuai pula dengan Pasal 27 PP
No. 23 tahun 2005, maka rumah sakit pemerintah daerah dalam rangka
pertanggungjawaban atas pengelolaan keuangan dan kegiatan pelayanannya,
menyusun dan menyajikan:

1.

Laporan Keuangan; dan

2.

Laporan Kinerja.
Laporan Keuangan tersebut paling sedikit terdiri dari:

1.

Laporan Realisasi Anggaran dan/atau Laporan Operasional;

2.

Neraca;

3.

Laporan Arus Kas; dan

4.

Catatan atas Laporan Keuangan


Laporan Keuangan rumah sakit pemerintah daerah tersebut sebelum

disampaikan kepada entitas pelaporan direviu oleh satuan pemeriksaan intern,


namun dalam hal tidak terdapat satuan pemeriksaan intern, reviu dilakukan oleh
aparat pengawasan intern kementerian negara/lembaga. Reviu ini dilaksanakan
secara bersamaan dengan pelaksanaan anggaran dan penyusunan Laporan
Keuangan BLU. Sedangkan Laporan Keuangan tahunan BLU diaudit oleh auditor
eksternal.
VII.

MANFAAT AKUNTANSI RUMAH SAKIT


Fungsi utama akuntansi di Rumah sakit adalah sebagai sumber informasi
yang diperlukan untuk pengambilan keputusan dalam pemecahan masalah dan
perencanaan untuk keberhasilan pengembangan Rumah Sakit. Secara umum
akuntansi tidak lepas dari biaya (cost), dengan perhitungan biaya yang berbeda
akan menghasilkan akuntansi biaya yang berbeda pula serta berdampak pada
pengambilan keputusan yang berbeda. Dengan demikian untuk pengambilan
keputusan yang tepat serta keberhasilan perencanaan diperlukan sistem dan
pelaksanaan

akuntansi

Rumah

Sakit

Sistem akuntansi Rumah Sakit Pemerintah

secara

bertujuan

optimal.

untuk memberikan

pengendalian dan pengawasan terhadap jalannya keuangan rumah sakit,


terlebih lagi saat ini Rumah Sakit telah ditetapkan sebagai Penerimaan Negara
Bukan

Pajak

(PNBP)

ataupun

sebagai

Badan

Layanan

Umum

yang

penerimaannya harus disetor ke Negara melalui Kantor Kas Negara. Dan


membantu dalam upaya memantau peningkatan perkembangan kinerja dan nilai
Rumah Sakit.

VIII.IMPLEMENTASI AKUNTANSI RUMAH SAKIT

Rumah Sakit Pemerintah merupakan unit kerja dari Instansi Pemerintah


yang memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat umum. Sistem
keuangan Rumah Sakit mengalami perubahan secara keseluruhan diharapkan
dana yang dikelola oleh Rumah Sakit akan menjadi lebih besar dan terus
meningkat sejalan dengan peningkatan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)
serta persiapan Badan Layanan Umum dari tahun ke tahun.
Kondisi ini selain akan membawa pengaruh positif bagi peningkatan
pelayanan, juga membuka peluang untuk menghindari penyalahgunaan dalam
pengelolaan keuangan negara. Akuntansi Rumah Sakit yang merupakan salah
satu kegiatan dari manajemen keuangan adalah salah satu sasaran pertama
yang harus diperbaiki agar dapat memberikan data dan informasi yang akan
mendukung para manajer Rumah Sakit dalam pengambilan keputusan maupun
pengamatan serta pengendalian kegiatan dalam Rumah Sakit. Kendala pada
Rumah Sakit yang belum terpecahkan sampai saat ini adalah Rumah Sakit
melakukan dua sistem pencatatan dan pelaporan yaitu yang berdasarkan prinsip
akuntansi yang lazim (Accrual Basis) dan Basis Kas (Cash Basis) untuk memenuhi
ketentuan yang berlaku yang diharapkan dapat berjalan secara paralel,
independen dan tercipta mekanisme saling kontrol di antaranya (kontrol
internal), namun hal ini dirasakan menjadi beban bagi petugas Rumah Sakit.
Dalam penerapannya RS Pemerintah menggunakan Sistem Cash Basis atau Kas
Stelsel yaitu sistem yang hanya dicatat "penerimaan" dari pengeluaran uang,
sehingga sebetulnya sistem ini sangat sederhana, mudah dikerjakan dan tidak
memerlukan keahlian tinggi. Di samping itu pengawasan menjadi lebih mudah.
Penerimaan akan dicatat jika telah diterima uang dan pengeluaran dalam satu
tahun anggaran yang ditentukan. Serta menggunakan Sistem Accrual Basis yaitu
sistem transaksi dan peristiwa diakui pada saat kejadian, bukan pada saat hak
diterima atau dibayar, dan dicatat serta dilaporkan pada periode yang
bersangkutan. Dengan kata lain penghasilan diakui pada saat penyerahan jasa,
bukan pada saat kas diterima; dan biaya diakui pada saat terjadinya, buka pada
saat kas dibayarkan. Dengan metode aktual, harta di akui pada saat diperoleh
kepemilikannya.
Rumah Sakit Pemerintah dalam mengelola keuangannya menggunakan sistem
akuntansi yang hasil akhirnya adalah Laporan keuangan. Walaupun Rumah Sakit
Pemerintah berorientasi sosial atau nir laba, namun dengan perubahan menjadi
Unit Swadana, maka mencari laba usaha adalah penting walaupun bukan

menjadi tujuan utama pendirian Rumah Sakit tersebut. Rumah Sakit Pemerintah
menggunakan Laporan Hasil Usaha dalam melaporkan hasil usahanya, tetapi
berbeda dengan badan usaha lainnya atau Rumah Sakit yang berbentuk PT,
pada Rumah Sakit Swadana tidak ada bagian yang diserahkan kepada pemilik
sebagai
Pembuatan

dividen.
sebuah

Neraca

juga

disebut

laporan

posisi

keuangan

yang

menunjukkan kondisi atau posisi keuangan suatu entitas pada suatu tanggal
tertentu. Yang dimaksud dengan posisi keuangan adalah : posisi dari aktiva atau
harta, kewajiban dan Modal. Dalam membuat neraca keuangan rumah sakit
menggunakan dua pendekatan yakni pendekatan pembelanjaan dan pendekatan
sumber

daya.

Setelah itu di buatlah sebuah Laporan Arus Kas Rumah Sakit yang berisi
informasi tentang arus kas/setara kas masuk dan ke luar selama periode tertentu
yang berasal dari aktivitas operasi, investasi yang berjangka pendek dan
pendanaan. Yang bertujuan untuk menilai kemampuan organisasi Rumah Sakit
dalam menghasilkan kas dan menilai kebutuhan arus kas ke luarnya. Karena
dengan membaca laporan arus kas dapat diketahui jumlah kas yang dihasilkan
dalam suatu periode, berapa yang berasal dari kegiatan operasional, investasi
dan pendanaan, berapa jumlah kas yang dikeluarkan untuk supplier, karyawan,
membayar bunga, pengembalian pinjaman dan bagaimana terjadinya SHU
dengan penerimaan dan engeluaran kas.

IX. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN


Dengan adanya penggunaan akuntansi dalam rumah sakit maka lebih
mempermudah pengawasan dan pengendalian keuangan oleh pemerintah.
Dalam standar akuntansi terdapat prinsip-prinsip yang menyebabkan laporan
keuangan tidak mencerminkan realitas ekonomi yang ada, akibatnya laporan
keuangan tidak mencerminkan keadaan sebenarnya.
Kelebihan dari Laporan Hasil Usaha adalah Memungkinkan untuk analisis
laporan keuangan, Memungkinkan laporan pertanggungjawaban manajemen.
Kekurangan dari sebuah Laporan Hasil Usaha yakni digunakan hanya untuk
melihat berapa besar pendapatan saja, keuntungan diserahkan pada pemerintah
di lihat dari laporan
Kelebihan dari Neraca adalah dapat mengetahui Laporan sisa hasil usaha
Rumah Sakit, dapat melihat Kemampuan melunasi kewajiban jangka pendeknya,

mengetahui Jumlah total harta dan susunannya serta Jumlah akumulasi Modal.
Kekurangan dari Neraca yakni Merupakan laporan historis dari semua transaksi
di masa lalu akibatnya tidak bisa menunjukkan nilai saat ini (Current value),
dalam neraca digunakan uang sebagai sebuah ukuran sedangkan uang memiliki
nilai yang tidak stabil, tidak dapat mengukur semua sumber daya rumah sakit,
Pos-pos neraca hanya memberikan indikasi atas nilai secara umum.(Contoh
Neraca

Rumah

Sakit

terlampir).

Dari laporan arus kas rumah sakit dapat diketahui kelebihannya yakni jumlah
keluar masuk kas dapat terkontrol dengan baik, dengan leporan keungan yang
baik kredibilitas kepada rumah sakit meningkat. Kekurangannya yakni dari
banyaknya penggunaan kas dalam rumah sakit lebih mudah di manipulasi dan
fiktifkan.
X. KENDALA DAN HAMBATAN AKUNTANSI RUMAH SAKIT PEMERINTAH
a. Ketepatan waktu; Laporan yang tertunda dapat menghasilkan informasi yang
kurang relevan. Sebaliknya untuk menghasilkan informasi yang tepat waktu
seringkali mengurangi keandalan informasi. Untuk mengimbangkan antara
relevansi

dan

keandalan,

pertimbangan

kebutuhan

pengambil

keputusan

yang

merupakan
menentukan.

b. Keseimbangan biaya dan manfaat; Biaya membuat informasi jelas harus lebih
rendah

dari

manfaatnya.

Pertimbangan

ini

jelas

berdampak

pada

cara

pencatatan dan penyajian laporan akuntansi yang dipilih.


c. Masih minimnya kesadaran pegawai rumah sakit untuk menerapkan pelaporan
keuangan secara bersih dan transparan sesuai dengan ketentuan standar
akuntansi

keuangan.

d. Rumah Sakit sebagai unit sosial dihadapkan pada semakin langkanya sumber
dana untuk membiayai kebutuhannya, padahal di lain pihak Rumah Sakit
diharapkan dapat bekerja dengan tarif yang dapat terjangkau oleh masyarakat
luas.
e. Masih sulitnya Rumah Sakit Pemerintah untuk meningkatkan efisiensi dan
efektifitas peranan akuntansi pertanggungjawaban dalam mengendalikan dan
mengevaluasi kinerja manajemen rumah sakit
f. Dalam Rumah Sakit Masih banyak terdapat Earning management merupakan
praktek yang membuat laporan keuangan dapat diatur karena disajikan menurut
tujuan dari penyusunnya.
XI. SIKLUS TRANSAKSI RUMAH SAKIT

Siklus transaksi rumah sakit, yaitu siklus pendapatan, siklus pengeluaran,


siklus pelayanan, dan siklus keuangan, dan siklus pelaporan keuangan, seperti
tergambar dalam ilustrasi di bawah ini.

Model Siklus Transaksi


Model Siklus Transaksi
Siklus
Pendapatan
Siklus
Pengeluaran
Siklus
Pelayanan
Siklus Keuangan
Peristiwa Ekonomi
(
Transaksi
)
Siklus
Pelaporan
Keuangan
Laporan
Keuangan

1. Siklus pendapatan terkait dengan pemberian jasa pelayanan rumah


sakit kepada pasien atau pihak lain dan penerimaan pembayaran
pasien atau tagihan dari pihak lain.
2. Siklus pengeluaran terkait dengan pengadaan barang dan/atau jasa
dari pihak lain dan pelunasan utang dan kewajibannya.
3. Siklus produksi/pelayanan terkait dengan transformasi sumber daya
rumah sakit menjadi jasa pelayanan rumah sakit.
4.Siklus keuangan terkait dengan perolehan dan pengelolaan capital fund
(dana modal), seperti modal kerja (sumber dana kas atau dana likuid
lainnya) dan sumber dana jangka panjang.
5. Siklus

pelaporan

keuangan

tidak

terkait

dengan

siklus

operasi

(operating cycle) sebagaimana empat siklus pertama di atas. Siklus


ini memperoleh data operasi dan akuntansi dari siklus yang lain dan
memprosesnya menjadi laporan keuangan sesuai dengan prinsip
akuntansi berterima umum.
A. Siklus Pendapatan
Siklus pendapatan (revenue cycle) di RSUD A terdiri dari beberapa
fungsi seperti pemberian jasa pelayanan rumah sakit kepada pasien,
penerimaan kas, dan pengelolaan piutang.
a)

Pemberian Pelayanan
Fungsi pemberian pelayanan rumah sakit (usaha) terdiri dari sub fungsi
pelayanan medis dan pelayan non medis dan uraiannya sebagai berikut:
Pelayanan medis yang terbagi lagi menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu:

1.

pelayanan medis yaitu jasa yang terkait langsung dengan


pelayanan dokter kepada masyarakat.

2.

pelayanan keperawatan yaitu jasa yang terkait langsung dengan


pelayanan keperawatan kepada masyarakat.

3.

penunjang medis yaitu jasa yang berfungsi sebagai pendukung di


dalam peningkatan mutu pelayanan kesehatan kepada masyarakat,
yaitu:
1)penunjang medis yang berhubungan dengan pasien

a)

Farmasi

b)

Laboratorium

c)

Fisioterapi

d)

Radiologi

e)

Pemulasaran jenazah

f)

Central Sterile Supply Department (CSSD)

g)

Operatie Khamer (OK)

h)

Hemodialisis

2)penunjang medis yang tidak berhubungan dengan pasien


a)

Instalasi Pemeliharaan Sarana dan Prasarana Rumah Sakit (IPSRS)

b)

Sistem Informasi Manajemen

c)

Laundry
Pelayanan

non-medis

yaitu

jasa

yang

berfungsi

di

dalam

peningkatan mutu kinerja rumah sakit, namun tidak terkait secara


langsung dengan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, misalnya
administrasi.
1.

Penerimaan Kas
Sumber penerimaan kas rumah sakit yang terkait dengan operasi rumah
sakit terdiri dari tiga bagian, yaitu:
Penerimaan hasil usaha rumah sakit

Pendapatan operasional
pendapatan rawat jalan;
pendapatan rawat inap;
pendapatan tindakan medis;
pendapatan penunjang medis;
pendapatan operasional lainnya.
Penghasilan non operasional
pendapatan jasa lembaga keuangan;
pendapatan kerja sama operasi (KSO);
pendapatan sewa
Penerimaan hibah
Penerimaan anggaran APBN/D
2.

Pengelolaan Piutang

Fungsi pengelolaan piutang tidak terlepas dari fungsi pemberian jasa


pelayanan dan mencakup sub fungsi penerimaan kas dari pencairan piutang,
penagihan, dan sub fungsi piutang usaha itu sendiri yang bertugas memelihara
informasi piutang pasien/ pihak lain secara berkelanjutan.
B.

Siklus Pengeluaran
Siklus pengeluaran (expenditure cycle) di RSUD A mencakup fungsi-fungsi yang
terkait dengan pengadaan barang dan atau jasa yang digunakan oleh rumah
sakit dalam menjalankan usahanya. Fungsi dalam siklus ini terdiri dari proses
seleksi pemasok (vendor selection), permintaan pembelian (requisitioning),
pembelian (purchasing), utang usaha (accounts payable), dan akuntansi
pengupahan (payroll accounting).

a.) Pembelian
Pembelian/pengadaan barang dan jasa di rumah sakit mengacu pada
Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 dan peraturan perubahannya, serta
Peraturan Bupati A nomor XX tahun 20XX. Pengadaan barang dan jasa yang
sumber dananya berasal dari:
a.

APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah);

b.

APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara).


Menggunakan dasar Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010, sedangkan
pengadaan barang dan jasa yang sumber dananya dari:

a.

Pendapatan jasa layanan/ operasional;

b.

Hibah tidak terikat;

c.

Hasil kerjasama/ KSO dengan pihak lain; dan

d.

Pendapatan lain-lain RSUD A yang sah.


Menggunakan dasar Peraturan Bupati nomor XX tahun 20XX yang
berdasarkan ketentuan pasal XXX, Permendagri Nomor 61 Tahun 2007 tentang
Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan BLUD.

1.Jenis pengadaan barang/jasa

1.Pengadaan barang/jasa yang memerlukan penyedia barang/ jasa


3)Pengadaan Barang
4)Pengadaan Jasa Pemborongan
5)Pengadaan Jasa Konsultasi
6)Pengadaan Jasa Lainnya
2.Pelaksanaan pengadaan barang/jasa dengan swakelola
2.Metoda pemilihan penyedia barang/jasa pemborongan/jasa lainnya
terdiri dari

1.pelelangan umum
2.pelelangan terbatas
3.pemilihan langsung,
4.penunjukan langsung.

b.) Pengelolaan Utang


Fungsi pengelolaan utang bertugas untuk melakukan pembayaran kepada
rekanan/pemasok. Untuk dapat memastikan bahwa pelunasan utang sesuai
dengan dokumen-dokumen yang terkait dengan pembelian, perlu dilakukan
matching process, yaitu semua dokumen dikumpulkan, diverifikasi, dan ditelaah
sebelum dilakukan pembayaran.
c.) Pengupahan
Sistem pengupahan melibatkan seluruh payroll process dan personnel reporting
dan menyajikan informasi terkait dengan personalia, seperti ketrampilan
pegawai, pajak, dan potongan-potongan karyawan. Sistem pengupahan RSUD A
mencakup pegawai tetap yang sekaligus merupakan Pegawai Negeri Sipil dan
pegawai tidak tetap (honorer daerah dan kontrak) dengan remunerasi dalam
bentuk gaji, insentif, dan/atau honor.
B.

Siklus Produksi/Pelayanan
Di dalam perusahaan manufaktur salah satu siklus akuntansi adalah siklus
produksi, sedangkan dalam bidang jasa siklus ini identik dengan siklus
pelayanan. Siklus pelayanan di RSUD A mencakup pengelolaan pelayanan,
pengelolaan persediaan, akuntansi biaya, dan akuntansi aset.

1.

Pengelolaan Pelayanan
Pengelolaan pelayanan dalam rumah sakit terkait sekali dengan sistem
akuntansi biaya. Khusus untuk RSUD A, unit cost (sistem biaya per unit) menjadi
pilihan dalam penerapan sistem akuntansi biaya. Dalam unit cost ini, biaya yang
terjadi di rumah sakit didistribusikan ke setiap pelayanan yang diberikan kepada
pasien.

2.

Pengelolaan Persediaan
Pengelolaan persediaan di RSUD A berfokus pada serangkaian pencatatan
persediaan dan laporannya terkait dengan penggunaan persediaan, saldo akhir
persediaan, dan tingkat persediaan minimum ataupun maksimum. Untuk itu,
penentuan saat pemesanan kembali barang untuk menjaga ketersediaan barang
(reorder point) dan prosedurnya disusun agar biaya penyimpanan persediaan
dapat diminimalkan.
3.Pengelolaan Aset Tetap
Pengelolaan aset tetap terkait dengan 1) pencatatan yang memadai
mengenai deskripsi aset, biaya perolehan, dan lokasi penempatan aset tersebut;
2) penghitungan penyusutan untuk keperluan akuntansi dan pajak; 3) dan
manajemen laporan terkait dengan rencana dan pengendalian untuk setiap jenis
aset.

C. Siklus Keuangan
Sebagaimana telah diuraikan di sub bab sebelumnya, siklus keuangan terkait
dengan perolehan dan pengelolaan capital fund (dana modal), seperti modal
kerja (sumber dana kas atau dana likuid lainnya) dan sumber dana jangka
panjang.

Pengelolaan Kas Masuk


Kas di RSUD A merupakan harta rumah sakit yang paling likuid dan
memerlukan pengendalian yang sangat ketat. Pengelolaan kas masuk mencakup
fungsi penyetoran penerimaan, sentralisasi penanganan kas, dokumentasi bukti
pendukung, dan pemisahan fungsi pencatatan dan penyimpanan kas.

Pengelolaan Kas Keluar

Pengelolaan kas keluar memfokuskan pada pemeriksaan bukti kas keluar dan
pemisahan fungsi otorisasi dan pembayaran.
D. Siklus Pelaporan Keuangan
Sebagaimana dijelaskan di sub bab di awal, siklus pelaporan keuangan tidak
terkait dengan siklus operasi yang terdiri dari keempat siklus di atas. Laporan
keuangan, yang merupakan bentuk pertanggungjawaban pengelolaan keuangan
di RSUD A, dihasilkan dari siklus ini menjadi sebuah rerangka (framework) dalam
melakukan analisis terhadap usaha rumah sakit.

Anda mungkin juga menyukai