Anda di halaman 1dari 89

ANALISIS PENGARUH BUDAYA KERJA DOKTER

BEDAH UMUM PADA PASIEN BPJS TERHADAP


EFISIENSI PENGENDALIAN BIAYA PROSEDUR
PELAYANAN BEDAH DI RUMAH SAKIT
BUDI KEMULIAAN BATAM

PROPOSAL TESIS

Untuk memenuhi persyaratan


mencapai derajat Sarjana S2

Program Studi
Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat
Konsentrasi
Manajemen Rumah Sakit

Oleh:
ANJARI WAHYU WARDHANI
NIM : 251000117410004

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2018
HALAMAN PERSETUJUAN

ANALISIS PENGARUH BUDAYA KERJA DOKTER


BEDAH UMUM PADA PASIEN BPJS TERHADAP
EFISIENSI PENGENDALIAN BIAYA PROSEDUR
PELAYANAN BEDAH DI RUMAH SAKIT
BUDI KEMULIAAN BATAM
Telah disetujui sebagai Usulan Penelitian Tesis
Untuk memenuhi persyaratan Pendidikan Program Pasca Sarjana

Program Studi
Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat

Menyetujui
Pembimbing I

Pembimbing II

Mengetahui
Ketua Program Studi
Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat
HALAMAN USULAN PENELITIAN

ANALISIS PENGARUH BUDAYA KERJA DOKTER


BEDAH UMUM PADA PASIEN BPJS TERHADAP
EFISIENSI PENGENDALIAN BIAYA PROSEDUR
PELAYANAN BEDAH DI RUMAH SAKIT
BUDI KEMULIAAN BATAM

Bukti Pengesahan Hasil Revisi Proposal Penelitian Tesis


Untuk Memenuhi Persyaratan Pendidikan Program Pasca Sarjana

Telah diseminarkan pada tanggal ………


Setelah diadakan perbaikan, selanjutnya disetujui untuk dilakukan
penelitian

Penguji Penguji

Pembimbing II Pembimbing I
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat ALLAH SWT yang telah melimpahkan

rahmat, taufik dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga dapat

menyelesaikan penyusunan proposal tesis yang berjudul “Analisis

Pengaruh Kinerja Dokter SMF Bedah Umum Dalam Sistem INA-CBGs

Pada Pelayanan BPJS Terhadap Pengendalian Biaya Pelayanan

Kesehatan di Rumah Sakit Budi Kemuliaan Batam”. Penyusuna proposal

tesis ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh

gelar Magister Kesehatan Masyarakat pada Program Pasca Sarjana

Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Konsentrasi Manajemen Rumah

Sakit Universitas Diponegoro Semarang.

Dalam penyusunan proposal tesis ini, penulis banyak

mendapatkan bimbingan, masukan dan motivasi dari berbagai pihak,

untuk itu pada kesempatan ini penulis haturkan ucapan terima kasi h dan

penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

HALAMAN PERSETUJUAN

HALAMAN USULAN PENELITIAN

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.2 Perumusan Masalah

1.3 Pertanyaan Penelitian

1.4 Tujuan Penelitian

1.5 Manfaat Penelitian

1.6 Keaslian Penelitian

1.7 Ruang Lingkup Penelitian

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembiayaan pelayanan kesehatan masih menjadi isu penting di negara

– negara berkembang (Ile dan Garr, 2011). Menurut WHO (2010), rata-

rata orang menghabiskan 5 hingga 10 % dari pendapatan mereka untuk

pembiayaan pelayanan kesehatan, sedangkan orang yang paling miskin

dapat membelanjakan sepertiga pendapatannya. WHO (2010) juga

mensinyalir 100 juta orang dapat menjadi miskin akibat membiayai

pelayanan kesehatannya, dan 150 juta orang menghadapi kesulitan untuk

membayar pelayanan kesehatan. Belanja kesehatan seperti ini merupakan

belanja kesehatan katastropik karena melebihi kapasitas membayar

(capacity to pay) rumah tangga.1 (Thabrany, 2014).

Di negara maju seperti Jerman dengan rata rata Gross Domestic

Product (GDP) sebesar 32.680 dolar amerika, pembiayaan

kesehatan 10% menggunakan out of pocket. Sedangkan Indonesia

menganggarkan sekitar 2,5% GDP untuk kesehatan, 70% menggunakan

out of pocket.2 (Kemenko Kesra RI, 2012).

Di Amerika, dikenal hukum the law of medical money yaitu berapapun

jumlah uang yang disediakan untuk pelayanan kesehatan akan habis, baik

karena kebutuhan konsumen (pasien) maupun karena keinginan para

penyedia pelayanan kesehatan (health provider) untuk memberikan

pelayanan yang optimal sesuai dengan dana yang tersedia. Di Indonesia

pun hampir serupa, pelayanan kesehatan masih bersifat konsumtif

1
Thabrany, 2014
2
Kemenko Kesra RI, 2012
tanpa memperhatikan cost effectiveness dan cost efficiency. Sehingga

biaya pelayanan kesehatan menjadi melambung.3 (Sulastomo, 2007).

Untuk mengatasi hal itu, World Health Assembly (WHA) ke-58 tahun

2005 di Jenewa mendorong setiap negara mengembangkan Universal

Health Coverage (UHC) atau cakupan kesehatan semesta bagi seluruh

penduduknya. Maka pemerintah Indonesia melaksanakannya melalui

program Jaminan Kesehatan atau Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Program JKN dimulai dengan diberlakukannya undang- Undang Nomor

40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN)

dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan

Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS) (Thabrany, 2014). Selain itu,

cakupan kesehatan semesta diwujudkan dengan visi Indonesia sehat

2020 yang dibangun atas dasar 3 (tiga) pilar, yaitu lingkungan sehat,

perilaku sehat , dan pelayanan kesehatan yang bermutu, adil , merata, dan

terjangkau oleh seluruh masyarakat (Sulaeman, 2014). Keterjangkauan

oleh seluruh masyarakat ini meliputi keterjangkauan akses pelayanan

kesehatan, ketersediaan dan keterjangkauan dalam segi pembiayaan

pelayanan kesehatan.4 (Adisasmito, 2010).

Pemerintah pun berupaya untuk mempercepat terselenggaranya sistem

jaminan sosial nasional secara menyeluruh bagi rakyat Indonesia.

Karenanya di Indonesia, pada tanggal 1 Januari 2014 didirikan suatu

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan yang selaras

dengan tujuan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam

mengembangkan jaminan kesehatan untuk semua penduduk. BPJS

Kesehatan ini merupakan badan hukum yang dibentuk untuk

3
Sulastomo, 2007
4
Adisasmito, 2010
menyelenggarakan program kesehatan (Peraturan BPJS Kesehatan

Nomor 1 Tahun 2014).

Badan penyelenggara jaminan sosial kesehatan (BPJS kesehatan)

adalah badan hukum publik yang bertanggung jawab kepada presiden

dan berfungsi menyelenggarakan program jaminan kesehatan bagi

seluruh penduduk indonesia termasuk orang asing yang bekerja paling

singkat 6 (enam) bulan di indonesia. BPJS sendiri merupakan

transformasi dari empat badan usaha milik Negara (BUMN) yaitu PT.

Askes, Jamsostek, Taspen dan Asabri.

Untuk menyediakan jaminan kesehatan bagi masyarakat maka

pemerintah perlu bekerja sama dengan rumah sakit sebagai Penyedia

Pelayanan Kesehatan (PPK). Pada era globalisasi seperti sekarang ini

perkembangan dunia kesehatan sangat pesat, terutama dari pelayanan

kesehatan yang diberikan rumah sakit untuk menarik calon pasien. Di

Indonesia, Rumah Sakit sangat banyak jumlahnya baik itu rumah sakit

milik pemerintah maupun rumah sakit swasta. Setiap rumah sakit juga

berlomba-lomba menyediakan pelayanan kesehatan yang memuaskan

agar pasien tidak pindah ke rumah sakit lain.

Rumah sakit adalah insitusi pelayanan kesehatan yang

menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna

yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat

darurat. Dimana rumah sakit memegang peranan penting terhadap

meningkatnya derajat kesehatan masyarakat.5 (Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 44 Tahun 2009)

Rumah sakit adalah suatu lembaga komunitas yang berperan

5
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009
sebagai jasa penyembuhan penderita dan pemulihan kesehatan pasien.

Pelayanan professional dan handal diperlukan untuk menjadi pilihan

utama masyarakat, hal itu juga perlu ditunjang dengan pemberian fasilitas

yang memadai dan memberikan pelayanan yang terbaik kepada pasien.

Berbagai pengaruh perubahan yang terjadi akibat reformasi

menuntut perusahaan baik perusahaan swasta maupun pemerintah

untuk mengadakan Inovasi-inovasi guna menghadapi tuntutan perubahan

dan berupaya menyusun kebijakan yang selaras dengan perubahan

lingkungan. Suatu perusahaan harus mampu menyusun kebijakan yang tepat

untuk mengatasi setiap perubahan yang akan terjadi. Penyusunan kebijakan

yang menjadi perhatian manajemen salah satunya menyangkut sumber

daya manusia.

Sumber daya manusia merupakan salah satu faktor kunci dalam

reformasi kesehatan, yakni bagaimana menciptakan SDM yang

berkualitas dan memiliki keterampilan serta berdaya saing tinggi dalam

persaingan global yang selama ini kita abaikan. Sumber daya manusia

merupakan faktor sangat penting dalam aktivitas kehidupan. Berhasil dan

tidaknya suatu organisasi atau perusahaanbiasanya tergantung pada

sumber daya manusia. Sumber daya manusia yang berkualitas tinggi akan

berpengaruh tinggi terhadap kesusksesan sebuah perusahaan, akan

tetapi kualitas sumber daya manusia yang rendah akan berpengaruh

rendah terhadap tingkat kesuksesan suatu perusahaan. Dalam hal ini,

manusia sebagai motor penggerak sebuah perusahaan dalam

membangun perusahaan yang sukses. Mereka membuat strategi,

sasaran, menciptakan inovasi, dan mencapai tujuan perusahaan.

Budaya memungkinkan orang untuk melihat keselarasan tujuan dan

memotivasi mereka untuk tingkat yang lebih tinggi, sebagai nilai-nilai


bersama membuat orang merasa baik tentang organisasi dan potensi

kemampuan mereka tulus bagi perusahaan. Budaya dan nilai

perusahaan, suasana organisasi dan manajerial yang berasal dari kultur

tersebut akan memberikan pengaruh yang besar terhadap hasil

pencapaian yang terbaik.

Organisasi pada dasarnya memiliki budaya yang tertanam untuk

menghasilkan kemantapan atau kemapanan. Pada suatu organisasi,

pekerjaan telah didesain sedemikian rupa untuk dilaksanakan, para

pegawai telah dibekali pelatihan dan keterampilan, job description yang

jelas dan prosedur yang sudah tertanam pada semua anggota organisasi.

Budaya perusahaan merupakan suatu ciri khas yang dimiliki oleh

suatu perusahaan. Lebih dari itu budaya perusahaan digunakan untuk

membentuk karakter dan perilaku serta kebiasaan dalam rangka

pencapaian visi, misi dan tujuan sebuah organisasi. Adanya perilaku yang

khas inilah yang akan menjadi ciri khas suatu perusahaan dengan

perusahaan yang lainnya. Untuk membentuk sikap dan perilaku

seseorang dalam suatu perusahaan maka diperlukan suatu pedoman atau

prinsip yang dianut dan dipahami secara bersama-sama untuk

mewujudkan tujuan perusahaan. Sikap dan perilaku akan terbentuk dari

adanya nilai-nilai atau prinsip yang mendasari para karyawan dalam suatu

perusahaan untuk sebagai landasan mereka bertindak.

Budaya kerja lebih menggambarkan kualitas hubungan insan dan

sikap seseorang terhadap sesamanya, maupun pada waktu menghadapi

berbagai permasalahan ditempat kerja. Budaya kerja tercermin dari

Kebiasaan orang berinteraksi dan komunikasi di lingkungan kerja,

Hubungan vertikal yang berlaku ditempat kerja. Oleh sebab itu budaya

kerja mampu membangun semangat pekerja pada waktu menghadapi


tugas dan pekerjaannya, sehingga dapat mengorientasikan waktunya

pada kehidupan kerja.

Menurut Budi Paramita yang dikutip oleh Andi Eko Pratama budaya

kerja yaitu Sikap terhadap pekerjaan dan perilaku pada waktu bekerja

terhadap kerja meliputi kesukaan terhadap kerja, keterbukaan terhadap

kerja, kemauan yang kuat untuk mempelajari tugas dan tanggungjawab,

sedangkan perilaku pada waktu bekerja meliputi rajin, bertanggungjawab,

teliti, cermat, dan suka membantu sesama karyawan. Dalam pengertian

diatas budaya kerja merupakan sikap dan perilaku karyawan yang menjadi

dasar tindakan yang harus dilakukan dengan maksud untuk mencapai

tujuan sebuah organisasi.

Rumah Sakit Budi Kemuliaan mulai menerapkan pelayanan

pengobatan BPJS kepada peserta BPJS sejak mulai berjalannya

program BPJS kesehatan tersebut pada bulan januari 2014 yang lalu.

Perkembangan Rumah Sakit Budi Kemuliaan semakin meningkat, hal ini

dibuktikan dengan peningkatan yang sangat signifikan dari masyarakat

yang percaya untuk menjadi pasien dalam hal memenuhi kebutuhan

mendapatkan pelayanan kesehatan yang diinginkan. Dengan demikian

respon masyarakat terhadap Rumah Sakit Budi Kemuliaan Batam

semakin meningkat.

Rumah Sakit Budi Kemuliaan Batam merupakan salah satu Rumah

Sakit Swasta di Indonesia yang telah memiliki dan menerapkan budaya

perusahaan. Budaya perusahaan bagian dari upaya mengubah mind set

karyawan. Penguatan budaya perusahaan dinilai penting sebelum

melakukan eksplorasi bisnis. Persaingan bisnis didunia kesehatan cukup

ketat. Rumah Sakit Budi Kemuliaan Batam harus mempersiapkan pondasi

yang kuat agar dapat bersaing.


Budaya perusahaan ini seperti sebuah analisis internal terkait

kelebihan Rumah Sakit Budi Kemuliaan Batam maupun kekurangnnya,

serta analisis kesempatan dan peluang juga mengubah perilaku untuk

mengembangkan Rumah Sakit Budi Kemuliaan Batam lebih besar lagi.

Keberadaan budaya perusahaan sangat penting untuk menyatukan visi

dan misi seluruh karyawan. Pasalnya, karyawan Rumah Sakit Budi

Kemuliaan Batam sangat heterogen dan memiliki latar belakang yang

berbeda-beda. Untuk mengukur efektivitas budaya perusahaan, Rumah

Sakit Budi Kemuliaan Batam akan rutin melakukan evaluasi. Pada tahap

awal, evaluasi dilakukan setiap 2 minggu sekali, kemudian dilanjutkan

setiap triwulan dan enam bulan. Demi mengoptimalkan budaya

perusahaan, dibentuk tim khusus yang terdiri atas 12 orang karyawan.

Rumah Sakit Budi Kemuliaan Batam juga memiliki seorang change

agent dan change leader yang berposisi sebagai kepala divisi, kepala

cabang, dan pimpinan grup. Para agent akan memberikan contoh kepada

karyawan lain. Hal ini seiring dengan penerapan sistem top down dimana

penerapan budaya perusahaan dilakukan mulai dari jajaran direksi dan

komisaris.

Berdasarkan hasil wawancara dengan staf Koder Rumah Sakit Budi

Kemuliaan Batam masih terdapat beberapa masalah yang sering timbul

dan dapat mempengaruhi sistem pengendalian biaya pelayanan

kesehatan di rumah sakit khususnya poliklinik bedah umum seperti

kurangnya inisiatif dari dokter bedah dalam bekerja, pengetahuan dokter

bedah terhadap sistem casemix inacbg, pemahaman dokter bedah akan

pentingnya kelengkapan resume medis dan kepatuhan dokter bedah

dalam clinical pathway.

Terdapat beberapa hambatan dalam pelaksanaan budaya kerja,


yaitu susahnya mengubah mindset dokter bedah lama yang sudah merasa

nyaman dengan nilai dan perilaku yang sudah ada sebelumnya. Selain itu

untuk menerapkan perilaku yang konsisten karena nilai-nilai hidup

seseorang seringkali tidak konsisten dan sangat dipengaruhi oleh kondisi

psikis.

Menurut salah satu staf Koder Rumah Sakit Budi Kemuliaan Batam,

yang menjadi permasalahan disini adalah efisiensi biaya pelayanan

kesehatan Rumah Sakit Budi Kemuliaan Batam mengalami penurunan

dalam satu tahun terakhir. Hal ini tidak terlepas dari kinerja dokter bedah

yang menurun. Fenomena yang terjadi pada Rumah Sakit Budi Kemuliaan

Batam adalah menurunnya kinerja dokter bedah yang terlihat dari

penurunan kinerja perusahaan. Masalah tersebut terjadi diduga karena

pelaksanaan budaya kerja dalam hal ini pengimplementasian nilai-nilai

yang belum optimal, hal tersebut terlihat dari masih kurangnya rasa disiplin

dokter, kurang pedulinya dokter bedah dalam pengisian kelengkapan

resume medis, ketidakpatuhan dokter bedah dalam clinical pathway,

selain itu kurangnya kerja sama dan koordinasi antara dokter dengan

koder menjadi masalah juga bagi perusahaan.

Rumah sakit bukan hanya institusi yang memberikan pelayanan

kesehatan kepada masyarakat semata. Namun untuk menjaga

kelangsungan operasionalnya, rumah sakit juga memerlukan

pendapatan yang mana salah satu pendapatan rumah sakit yaitu

berasal dari pelayanan jasa dan fasilitas yang diberikan kepada pasien.

Salah satu fasilitas yang diberikan adalah fasilitas jasa rawat inap. Rawat

inap adalah pelayanan medis kepada pasien untuk tujuan pengamatan,

diagnosa, pengobatan, rehabilitasi, dan pelayanan kesehatan lainnya

dimana pasien perlu menginap untuk mendapat perawatan yang lebih


intensif.

Program jaminan kesehatan nasional BPJS yang diprogram

pemerintah menggunakan sistem managed care, sehingga yang

mengajukan klaim adalah dari pihak penyedia pelayanan kesehatan yaitu

puskesmas, klinik ataupun rumah sakit. Penyedia Pelayanan Kesehatan

Tingkat Primer (puskesmas, klinik dan sebagainya) dibayarkan secara

kapitasi oleh BPJS Kesehatan yaitu PPK (Penyedia Pelayanan

Kesehatan) dibayar dimuka per orang per bulan (per member per

month) tergantung jumlah peserta yang memilih PPK Primer tersebut.

Sedangkan Penyedia Pelayanan Kesehatan Tingkat Lanjutan (Rumah

Sakit) dibayarkan melalui tarif INA CBGs oleh BPJS Kesehatan.

Managed care ( managed health care ) adalah system yang

mengintrasikan antara pembiayaan dan pelayanan kesrhatan yang tepat

dengan ciri-ciri sebagai berikut : kontrak dengan dokter atau rumah sakit

yang terpilih untuk memberikan pelayanan komprehensif termasuk

promosi dan prevensi kepada populasi peserta,pembayaran kepada

provider dengan system pembayaran prospektif termasuk termasuk

kapitasi,pembayaran premi per orang perbulan telah di tentukkan

sebelumnya,adanya kendali utilisasi dan mutu dimana dokter atau rumah

sakit telah menerima kendali tersebut dalam kontrak. Dalam managed

care pembayaran pada provider tidak berdasarkan fee for service dan

reimbursement akan tetapi besar biaya telah ditentukan.

Sistem INA CBGs ini menganut sistem prospective payment yaitu

metode pembayaran yang dilakukan atas layanan kesehatan yang

besarannya sudah diketahui sebelum pelayanan kesehatan diberikan.

Sistem INA CBGs di Indonesia merupakan sistem casemix based group

dengan pengertian yang dapat disederhanakan adalah biaya satuan per


diagnosis penyakit atau kelompok penyakit, bukan biaya satuan per jenis

pelayanan medis atau non medis yang diberikan.

Sistem INA CBGs lebih lanjut diatur pada Permenkes No. 27 Tahun

2014 tentang Juknis Sistem INA CBGs. Sedangkan Tarif Pelayanan

Kesehatan Program JKN diatur pada Permenkes No.69 Tahun 2013 yang

kemudian diperbaiki dalam Peraturan Menteri Kesehatan No.59 Tahun

2014 tentang Standar Tarif JKN. Tarif INA CBGs mempunyai 1.077

kelompok tarif terdiri dari 789 kode grup atau kelompok rawat inap

dan 288 kode grup atau kelompok rawat jalan, menggunakan

sistem koding dengan ICD (international statistical classification of

diseases and related health problems) yang mana ICD-10 untuk diagnosis

serta ICD-9-CM untuk prosedur atau tindakan.

Dalam mengimplementasikan pembayaran klaim rumah sakit

oleh BPJS kesehatan dengan sistem INA CBGs, BPJS Kesehatan

dan Rumah Sakit menggunakan aplikasi INA CBGs. BPJS kesehatan

khususnya pada unit Manajemen Pelayanan Kesehatan Rujukan memiliki

staf verifikator dengan tugas untuk memastikan atau melakukan

pengecekan terhadap klaim yang diajukan oleh pihak Rumah Sakit, serta

memverifikasi apakah klaim akan disetujui dan dibayar atau tidak.

BPJS mulai berlaku di Indonesia sejak bulan Januari 2014.

Namun sampai saat ini, BPJS kesehatan sebagai badan penyelenggara

dalam pelaksanaannya masih menemui kendala atau permasalahan dari

program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Selain masalah pelayanan

kesehatan yang diterima oleh peserta, masalah lainnya yang juga menjadi

perhatian adalah terkait klaim pelayanan oleh penyedia pelayanan

kesehatan yang menyediakan pelayanan kesehatan untuk peserta


kepada BPJS kesehatan. Pengajuan klaim oleh Penyedia Pelayanan

Kesehatan (PPK) kepada BPJS kesehatan sering ditemui berbagai

permasalahan, seperti permasalahan berkas klaim, banyaknya klaim

susulan, ketidaksesuaian tarif yang diajukan RS dengan tarif INA CBGs

atau yang dibayarkan BPJS Kesehatan, kejanggalan pengkodean

diagnosis penyakit, ataupun keterlambatan pembayaran klaim oleh BPJS

kesehatan.

Banyaknya tuntutan untuk peningkatan kualitas pelayanan

membutuhkan berbagai dana investasi yang tidak sedikit dan sekaligus

dibutuhkan tenaga yang professional dalam pengelolaannya.

Perkembangan pengelolaan rumah sakit dipengaruhi tuntutan

lingkunan eksternal dan internal rumah sakit tersebut. Tuntutan

eksternal adalah dari para stakeholder , dimana rumah sakit dituntut

untuk memberikan pelayanan yang bermutu dengan biaya pelayanan

kesehatan yang terkendali, yang akhirnya memberikan kepuasan pasien.

Sedangkan tuntutan internal adalah cost containment (pengendalian

biaya).

Amal C. Sjaaf (1994) dalam makalahnya mengatakan “Hanya rumah

sakit yang dapat menyediakan layanan yang bermutu dengan

pembiayaan yang relatif rendah dapat unggul dalam kompetisi ketat

tersebut”.6

Cost containment (pengendalian biaya) merupakan cara atau

upaya mengendalikan pembiayaan atau penekanan biaya sampai

ketitik cost effectiveness, bukan ketitik efficiency. Artinya berapa besaran

6
Amal C. Sjaaf (1994)
biaya yang secara rasional dibutuhkan untuk pelayanan tertentu dan

berapa besar pembiayaan untuk perawatan atau pemeliharaan peralatan

secara rasional.7 (Hanna Permana Subanegara, 2010)

Cost containment (pengendalian biaya) sangat erat hubungannya

dengan unit cost, semakin tinggi pemborosan maka semakin tinggi unit

cost. Sebab pembiayaan yang boros secara langsung akan menyebabkan

peningkatan variable cost. Sedangkan unit cost ditentukan oleh variable

cost dan fixed cost.8 (Hanna Permana Subanegara, 2010).

Cost containment meliputi 4 tahap yaitu cost awareness (kesadaran

biaya), cost monitoring (pemantauan biaya), cost management

(manajemen biaya) dan cost incentive (biaya insentive).9 (Sabarguna,

2007).

Cost containment (Pengendalian biaya) merupakan masalah

yang kompleks karena dipengaruhi oleh berbagai pihak yaitu

mekanisme pasar, perilaku ekonomis, sumber daya professional dan

yang tidak kalah penting adalah perkembangan teknologi. Rumah sakit

pemerintahan yang terdapat di tingkat pusat dan daerah tidak lepas dari

pengaruh perkembangan tuntutan tersebut. Biaya kesehatan cenderung

terus meningkat, dan rumah sakit dituntut untuk secara mandiri

mengatasi masalah tersebut. Demikian pula Rumah Sakit Budi Kemuliaan

Batam, dimana karena terbatasnya anggaran yang diterima sedangkan

biaya kesehatan terus meningkat dan jumlah pasien yang dilayani

semakin meningkat, membuat pihak managemen harus terus

7
Hanna Permana Subanegara, 2010
8
Hanna Permana Subanegara, 2010
9
Sabarguna, 2007
memikirkan cara untuk dapat memberikan pelayanan yang terbaik

dan bermutu untuk seluruh masyarakat Batam yang membutuhkan

pelayanan kesehatan.

RS Budi Kemuliaan mempunyai fasilitas unit pelayanan Instalasi

Gawat Darurat, Rawat Jalan dan Rawat Inap. Data kunjungan pasien

rawat Jalan periode Januari – Desember 2017 dapat dilihat pada table 1.1

sedangkan kunjungan rawat inap periode Januari – Desember 2017 dapat

dilihat pada table 1.2

Table 1.1 Kunjungan Pasien Unit Rawat Jalan

Periode Januari – Desember 2017

LANGGANAN
NO BUPEL UMUM NON BPJS BPJS JUMLAH
BPJS
BPJS TK COB
1 JANUARI 2,353 724 3,617 31 87 6,812
2 FEBRUARI 1,593 510 2,527 33 80 4,743
3 MARET 2,287 855 3,886 40 114 7,182
4 APRIL 1,950 635 3,414 45 104 6,148
5 MEI 2,007 607 3,603 51 120 6,388
6 JUNI 1,522 413 2,790 35 61 4,821
7 JULI 1,955 614 3,917 52 115 6,653
8 AGUSTUS 1,817 574 3,885 52 107 6,435
9 SEPTEMBER 1,745 533 3,836 67 74 6,255
10 OKTOBER 1,755 591 3,971 84 70 6,471
11 NOVEMBER 1,734 598 4,262 65 63 6,722
12 DESEMBER 1,715 596 4,191 39 53 6,594
JUMLAH 22,433 7,250 43,899 594 1,048 75,224

Data pasien rawat jalan periode Januari sampai dengan Desember

2017 sejumlah 75224 orang. Pasien umum sejumlah 22433 orang ; pasien

non BPJS sejumlah 7250 orang ; pasien BPJS sejumlah 43899 orang ;
paisen TK sejumlah 594 orang ; pasien BPJS COB sejumlah 1048 orang.

Dari table diatas dapat dilihat bahwa kunjungan terbesar adalah pasien

BPJS, kemudian pasien umum, BPJS COB, non BPJS, TK.

Table 1.2 Kunjungan Pasien Unit Rawat Inap

Periode Januari – Desember 2017

LANGGANAN
NO BUPEL UMUM NON BPJS BPJS JUMLAH
BPJS
BPJS TK COB
1 JANUARI 286 91 520 11 25 933
2 FEBRUARI 254 61 559 11 21 906
3 MARET 272 76 552 19 18 937
4 APRIL 232 45 445 9 16 747
5 MEI 278 67 496 9 17 867
6 JUNI 183 40 416 6 13 658
7 JULI 240 51 528 7 22 848
8 AGUSTUS 198 55 566 12 13 844
9 SEPTEMBER 214 55 539 20 8 836
10 OKTOBER 200 58 653 18 14 943
11 NOVEMBER 196 43 663 17 8 927
12 DESEMBER 230 60 630 11 13 944
JUMLAH 2,783 702 6,567 150 188 10,390

Data pasien rawat inap periode Januari sampai dengan Desember

2017 sejumlah 10390 orang. Pasien umum sejumlah 2783 orang ; pasien

non BPJS sejumlah 702 orang ; pasien BPJS sejumlah 6567 orang ;

pasien TK sejumlah 150 orang ; pasien BPJS COB sejumlah 188 orang.

Dari table diatas dapat dilihat bahwa kunjungan terbanyak adalah pasien

BPJS, kemudian pasien umum, non BPJS, BPJS COB dan pasien TK.
Tabel 1.3 Data Klaim Rawat Inap SMF Bedah Umum

Periode Januari – Desember 2017

JML
NO BUPEL PASIEN TARIF RS TARIF INACBGS FPK SELISIH
Rp
1 JANUARI 98 Rp 682,850,058 Rp 628,420,000 512,968,000 (Rp54,430,058)
Rp
2 FEBRUARI 75 Rp 483,128,500 Rp 499,515,479 383,502,000 (Rp116,013,479)
Rp
3 MARET 43 Rp 266,432,000 Rp 332,614,051 217,878,800 (Rp114,735,251)
Rp
4 APRIL 80 Rp 526,218,500 Rp 546,148,867 433,057,900 (Rp113,090,967)
Rp
5 MEI 71 Rp 509,311,900 Rp 561,594,564 432,436,100 (Rp129,158,464)
Rp
6 JUNI 69 Rp 388,169,100 Rp 469,231,649 309,010,000 (Rp160,221,649)
Rp
7 JULI 98 Rp 628,420,000 Rp 682,850,058 512,968,000 (Rp115,452,000)
Rp
8 AGUSTUS 86 Rp 691,886,780 Rp 688,406,500 444,000,200 (Rp247,886,580)
Rp
9 SEPTEMBER 79 Rp 570,289,898 Rp 540,324,600 373,912,100 (Rp47,581,414)
Rp
10 OKTOBER 98 Rp 753,069,423 Rp 666,416,300 492,658,500 (Rp260,410,923)
Rp
11 NOVEMBER 106 Rp 900,512,895 Rp 769,515,400 564,279,800 (Rp336,233,095)
Rp
12 DESEMBER 90 Rp 684,555,133 Rp 602,958,700 475,090,900 (Rp209,464,233)
TOTAL 993 Rp7,084,844,187 Rp6,987,996,168 Rp5,151,762,300 (Rp1,904,678,113)

Data klaim rawat inap SMF bedah umum periode Januari sampai

dengan Desember 2017 sejumlah 993 pasien. Tariff RS sejumlah Rp

7.084.844.187 ; tarif inacbg’s sejumlah Rp 6.987.996.168 ; nilai FPK

sejumlah Rp 5.151.762.300 ; selisih sejumlah Rp 1.904.678.113.

Berdasarkan hasil penelitian di bagian pengelolaan pendapatan RS

Budi Kemuliaan Batam, penulis menemukan berbagai macam masalah

yang terjadi dalam pengelolaan pelayanan kesehatan dan pengendalian

biaya klaim pelayanan pasien BPJS di rawat inap pada kasus bedah

umum khususnya adalah kurangnya pemahaman dokter terhadap sistem

pengklaiman pada pelayanan kesehatan pasien BPJS yang

menggunakan paket INACBG’s sehingga perlu evaluasi dan perbaikan


secara komprehensif. Dengan didasari fakta tersebut, maka diidentifikasi

“Belum optimalnya budaya kerja dokter smf bedah umum khususnya pada

pasien rawat inap BPJS Kesehatan sehingga mempengaruhi

pengendalian biaya pelayanan kesehatan yang berdampak pada

kurangnya efisiensi biaya pelayanan kesehatan di Rumah Sakit Budi

Kemuliaan Batam.”

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan penulis diatas

serta untuk mencapai tujuan penelitian yang sesuai dengan persyaratan

dan dapat memberikan manfaat pada penulisan tesis ini, maka penulis

membatasi masalah dalam penelitian ini dengan perumusan masalah

sebagai berikut: “Bagaimana analisis pengaruh budaya kerja dokter

bedah umum terhadap efisiensi pengendalian biaya prosedur pelayanan

bedah di Rumah Sakit Budi Kemuliaan Batam?”

1.3 Pertanyaan Penelitian

a. Bagaimana budaya kerja dokter bedah umum dalam memberikan

pelayanan pelayanan prosedur tindakan bedah pada pasien BPJS?

b. Bagaimana pengetahuan dokter bedah umum INA-CBG’s?

c. Bagaimana pengetahuan dokter bedah umum tentang Casemix?

d. Bagaimana cara pengendalian biaya prosedur tindakan bedah pada

pasien BPJS?

e. Bagaimana kepatuahan dokter bedah umum terhadap Clinical

Pathway?

1.4 Tujuan Penelitian

1 Tujuan Umum

Melakukan evaluasi budaya dokter smf bedah umum terhadap proses


pengendalian biaya klaim layanan kesehatan di Rumah Sakit Budi

Kemuliaan Batam

2 Tujuan Khusus

a. Mengetahui kebijakan, sistem dan pengelolaan proses

pengendalian biaya klaim layanan kesehatan di RS Budi Kemuliaan

Batam

b. Memberikan masukan / problem solving terhadap permasalahan

kinerja dokter smf bedah umum terhadap proses pengendalian klaim

layanan kesehatan di RS Budi Kemuliaan Batam

1.5 Manfaat Penelitian

2. Bagi Pemerintah

- Mengetahui apakah system pembayaran INACBG’s bagi pasien

BPJS di rumah sakit sudah sesuai

- Mengetahui apakah tarif dalam INACBG’s sudah memenuhi

harapan dokter

- Sebagai bahan evaluasi dalam pelaksanaan program BPJS

Kesehatan

3. Bagi Rumah Sakit

- Mengetahui kinerja dokter smf bedah umum di rumah sakit

- Sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan besaran jasa

medis pasien BPJS Kesehatan

- Sebagai masukan untuk melakukan evaluasi terhadap kinerja

dokter di rumah sakit

4. Bagi Dokter di Rumah Sakit

- Mengetahui tentang sistem pembiayaan paket INACBG’s

- Sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan diagnosa dan

prosedur tindakan yang sesuai sehingga tidak mengganggu sistem


pembiayaan layanan kesehatan di rumah sakit.

1.6 Keaslian Penelitian

Table 1.6 Keaslian Penelitian

NAMA JUDUL METODE HASIL


PENELITI PENELITIAN PENELITIAN PENELITIAN
Svetlana Analisis Cost Penelitian Efisiensi di sub
Paruntu Awareness Dan observasional dengan departemen
Cost Monitoring pendekatan kualitatif radiologi Rumkital
Untuk Efisiensi untuk menganalisis Dr. Mintohardjo
Biaya pelaksanaan cost belum terlaksana.
Pelayanan Di awareness dan cost
Sub monitoring di sub
Departemen departemen radiologi
Radiologi Rumkital Dr.
Rumkital Dr. Mintohardjo, sehingga
Mintohardjo terciptanya suatu
(Studi Kasus : efisiensi biaya
Pelayanan pelayanan thoraks
Thoraks Ap/Pa AP/PA foto.,
Foto), Tesis UI,
2012
Anjari Pengaruh Penelitian ini Masih dalam
Wahyu Budaya Kerja menggunakan proses
Wardhani Dokter Bedah rancangan penelitian
Umum Pada yang bersifat kuantitatif
Pasien Bpjs untuk menghitung
Terhadap kuisioner pengetahuan
Efisiensi dokter dengan skala
Pengendalian Likert dan deskriptif
Biaya Prosedur analitikdengan
Pelayanan pendekatan kualitatif
Bedah melalui observasi,
Di Rumah Sakit telaah dokumen dari
Budi Kemuliaan pelayanan poliklinik
Batam, Tesis bedah umum rawat
Undip, 2018 inap, wawancara
mendalam (in-depth
interview) dan
wawancara tidak
terstruktur dengan
informan yang sudah
dipilih dan ditentukan

1.7 Ruang Lingkup

1. Ruang lingkup keilmuan

Penelitian ini termasuk dalam ilmu kesehatan masyarakat dengan

kajian di Bidang Manajemen Rumah Sakit dengan menitikberatkan

pada pengaruh kinerja dokter SMF Bedah Umum dalam program

BPJS Kesehatan terhadap pengendalian biaya pelayanan kesehatan.

2. Ruang lingkup Masalah

Lingkup masalah penelitian ini dibatasi pada pengaruh kinerja dokter

SMF bedah umum terhadap pengendaliaan biaya guna mencapai

efisiensi biaya pelayanan kesehatan.

3. Ruang lingkup sasaran

Lingkup sasaran dalam penelitian ini dibatasi pada dokter SMF Bedah

Umum yang melayani program BPJS Kesehatan

4. Ruang lingkup lokasi

Lokasi penelitian ini adalah Rumah Sakit Budi Kemuliaan Batam.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Budaya kerja

2.1.1 Pengertian Budaya Kerja

Budaya kerja adalah seluruh norma, kebiasaan perilaku dan

hasil kerja semua staf institusi yang wawasannya secara terus

menerus diarahkan untuk mengantisipasi dinamika perubahan

kepuasan pelanggan, tetapi tetap memerhatikan cara kerja institusi

sesuai dengan standar profesi, etis dan dalam suasana kemitraan

yang serasi.10 (prof. dr. A. A. Gde Muninjaya, MPH, manajemen mutu

pelayanan kesehatan, edisi 2 : 68)

Budaya kerja atau budaya institusi berkaitan dengan norma / tata

nilai dan kebiasaan atau perilaku manusia dan norma budaya di

dalam institusi. Produk yang dihasilkan sebuah institusi pelayanan

kesehatan adalah hasil karya seluruh karyawan dari berbagai unit

kerja. Atas dasar pengertian tersebut, apabila budaya kerja sebuah

institusi pelayanan kesehatan ingin diubah atau dikembangkan

kearah yang lebih kondusif untuk peningkatan mutu produk dan

pelayanan kesehatan, maka norma dan tata nilai, kebiasaan perilaku

staf, termasuk pola komunikasi dan hasil kerja seluruh staf institusi

harus diubah melalui sebuah proses belajar. Perubahan budaya

sering ditanggapi negative oleh karyawan karena kebiasaan dan

norma kerja mereka sudah berlangsung lama, kemudian mereka

diminta untuk berubah. Mereka pasti akan mengalami unsecure

10
manajemen mutu pelayanan kesehatan, edisi 2 : 68
feeling untuk berubah (keluar dari zona nyaman).11 (prof. dr. A. A.

Gde Muninjaya, MPH, manajemen mutu pelayanan kesehatan, edisi

2 : 66)

Unsur-unsur budaya yang harus diperhatikan selama proses

perubahan adalah norma, kebiasaan atau perilaku dan hasil kerja.

Ketiga unsur tersebut saling terkait dan saling mempengaruhi satu

sama lain terutama pada manusia sebagai pelaku (actor) utama.

Beberapa unsur budaya yang perlu disikapi oleh pimpinan antara lain

a. Informasi tentang mutu pelayanan harus selalu dirumuskan dan

digunakan oleh pimpinan untuk meningkatkan, dan bukan untuk

menilai atau mengendalikan orang

b. Kewenangan yang diberikan kepada staf harus seimbang dengan

tanggungjawabnya.

c. Harus ada imbalan atau pengakuan terhadap keberhasilan staf

melaksanakan tugasnya

d. Ciptakan kerja sama, bukan persaingan antar staf sehingga

berkembang prinsip-prinsip kerja dalam satu tim (team work)

e. Semua staf harus merasakan aman melaksanakan tugas-

tugasnya

f. Harus dapat diciptakan iklim adil dan berimbang dalam penerapan

reward dan punishment

g. Kompensasi seharusnya sesuai dengan pengabdian yang

diberikan dan aturan yang berlaku12

(prof. dr. A. A. Gde Muninjaya, MPH, manajemen mutu pelayanan

11
manajemen mutu pelayanan kesehatan, edisi 2 : 66
12
manajemen mutu pelayanan kesehatan, edisi 2 : 70
kesehatan, edisi 2 : 70)

2.1.2 Tahapan untuk mengubah budaya kerja

Langkah-langkah strategis harus dilakukan oleh pimpinan

institusi pelayanan kesehatan untuk membangun budaya kerja

institusinya sesuai dengan komitmennya untuk mengembangkan

PJM yang memenuhi harapan penggunanya. Langkah-langkah yang

ditempuh adalah sebagai berikut :

a. Institusi merumuskan visi pengembangan institusi. Visi ini harus

disosialisasikan ke seluruh karyawan

b. Institusi memiliki rencana kerja yang jelas dengan tahapan-

tahapannya untuk mencapai visi institusi

c. Ada proses belajar bersama melalui praktek

d. Keteladanan harus dimulai dari pimpinan tertinggi sebagai figure

teladan (role model)

e. Ada kesepakatan bersama dalam suasana kemitraan (saling

percaya) untuk tekun dan setia mengusahakan tercapainya cita-

cita bersama (trust)

f. Ada dukungan pimpinan (lingkungan strategis) yang kondusif

untuk menciptakan iklim perubahan kerja secara berkelanjutan

Pelayanan kesehatan akan semakin mudah diakses oleh

pengguna jasa pelayanan kesehatan dengan berkembangnya

teknologi dibidang komunikasi dan transportasi. Dengan

perubahan ini, standar kepuasan pelanggan juga akan mengalami

perubahan. Oleh karena itu, batasan tentang mutu pelayanan

tidak bersifat statis, tetapi harus disesuaikan dengan tuntutan

pengguna pelayanan kesehatan yang berbeda tingkat social

ekonominya, termasuk penggunaan teknologi kedokteran yang


mutakhir.13 (prof. dr. A. A. Gde Muninjaya, MPH, manajemen mutu

pelayanan kesehatan, edisi 2 : 68)

2.1.3 Hambatan dan kendala pengembangan budaya kerja

Hambatan utama pengembangan budaya kerja pada sebuah

institusi pelayanan kesehatan terletak pada pola piker (mind set) staf.

Alasannya terkait dengan hal-hal berikut ini :

a. Keengganan staf untuk berubah

b. Staf merasa khawatir atau cemas kehilangan harga diri atau rasa

tanggung jawab jika pimpinan menerapkan berbagai peraturan

baru terkait dengan pengembangan institusi

c. Staf kurang memahami pentingnya perubahan demi kemajuan

institusi (kepentingan bersama)

d. Peraturan baru diterapkan secara kaku, sering menimbulkan

keresahan karyawan yang akhirnya menghambat terciptanya

budaya kerja

e. Ketidakpeluliaan akan kesulitan teman sekerja.

f. Persaingan yang tidak sehat, apalagi disertai dengan menyebar

fitnah untuk menjatuhkan bagian atau unit kerja yang lain

g. Individualisme egosentris

h. Kurang sabar menunggu hasil

i. Keengganan pihak-pihak terkait (pemda, penyandang dana /

yayasan) membantu mengembangkan budaya mutu pelayanan

j. Dalam suatu institusi (termasuk di jajaran institusi kesehatan)

ada pribadi-pribadi staf yang secara emotional belum matang

Budaya kerja menjadi salah satu faktor penentu suatu

13
manajemen mutu pelayanan kesehatan, edisi 2 : 68
keberhasilan institusi dalam mencapai tujuannya namun dalam

proses pencapaiannya mengalami banyak hambatan dan kendala.

Oleh karena itu, perlu adanya strategi untuk meminimalisir hambatan

dan kendala tersebut. Berbagai strategi dapat dilakukan untuk

mengembangkan budaya kerja (corporate culture) antara lain :

a. Identifikasi arah perubahan yang ingin dicapai bersama

b. Tulis perubahan yang pernah direncanakan

c. Kembangkan kerangka perubahan

d. Pahami proses transisi emosi yang akan terjadi

e. Identifikasi orang-orang kunci dan tetapkan mereka sebagai

agent of change

f. Laksanakan perubahan sesuai situasi dan kondisi

g. Kembangkan kerja sama tim

h. Berikan dukungan secara berkesinambungan agar terjadi

perubahan budaya kerja yang kondusif untuk pengembangan

mutu institusi

2.2 Teori Pengetahuan

2.2.1 Pengertian pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah

orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu.

Pengindraan terjadi melalui pancaindra manusia yakni :

penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian

besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.14

(Notoadmodjo, 2003 : 121). (medical book hal : 11)

14
Notoadmodjo, 2003 : 121, medical book hal : 11
Pengetahuan (knowledge) adalah suatu proses dengan

menggunakan pancaindra yang dilakukan seseorang terhadap

objek tetentu dapat menghasilkan pengetahuan dan keterampilan.15

(Hidayat, 2007).

Pengetahuan seseorang biasanya diperoleh dari pengalaman

yang berasal dari berbagai macam sumber seperti media poster,

kerabat dekat, media massa, media elektronik, buku petunjuk,

petugas kesehatan, dan sebagainya. Pengetahuan dapat

membentuk keyakinan tertentu, sehingga seseorang berperilaku

sesuai dengan keyakinannya tersebut (Istiari, 2000). Pengetahuan

adalah sesuatu yang diketahui berkaitan dengan proses

pembelajaran.16 (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005).

2.2.2 Jenis pengetahuan

Pemahaman masyarakat mengenai pengetahuan dalam

konteks kesehatan sangat beraneka ragam. Pengetahuan

merupakan bagian perilaku kesehatan. Jenis pengetahuan di

antaranya sebagai berikut :

a. Pengetahuan implisit

Pengetahuan implisit adalah pengetahuan yang masih

tertanam dalam bentuk pengalaman seseorang yang berisi

faktor-faktor yang bersifat nyata, seperti keyakinan pribadi

perspektif, dan prinsip. Pengetahuan seseorang biasanya sulit

ditransfer ke orang lain baik secara tertulis ataupun lisan.

Pengetahuan implisit sering kali berisi kebiasaan dan budaya

bahkan bisa tidak disadari. Contoh sederhana: seseorang yang

15
Hidayat, 2007
16
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005
telah mengetahui tentang bahaya merokok bagi kesehatan,

namun ternyata dia merokok.

b. Pengetahuan eksplisit

Pengetahuan ekspilisit adalah pengetahuan yang telah

didokumentasikan atau disimpan dalam wujud nyata, bisa dalam

wujud perilaku kesehatan. Pengetahuan nyata dideskripsikan

dalam tindakan-tindakan yang berhubungan dengan kesehatan.

Contoh sederhana: seseorang yang telah mengetahui tentang

bahaya merokok bagi kesehatan dan ternyata dia tidak merokok.

2.2.3 Cara Mendapatkan Pengetahuan

Pengetahuan dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni :

a. Cara Tradisional

Cara-cara penemuan pengetahuan pada periode ini dilakukan

sebelu ditemukan metode ilmiah, yang meliputi :

1) Cara Coba Salah (Trial and Error)

Cara coba-coba ini dilakukan dengan menggunakan

kemungkinan tersebut tidak berhasil, dicoba kemungkinan

yang lain. Apabila tidak berhasil, maka akan dicoba

kemungkinan yang lain lagi sampai didapatkan hasil mencapai

kebenaran.

2) Cara Kekuasaan atau Otoritas

Dimana pengetahuan diperoleh berdasarkan pada otoritas

atau kekuasaan baik tradisi, otoritas pemerintahan, otoritas

pemimpin agama, maupun ahli ilmu pengetahuan.

3) Berdasarkan Pengalaman Pribadi

Hal ini dilakukan dengan cara mengulang kembali

pengalaman yang diperoleh dalam memecahkan


permasalahan yang dihadapi pada masa yang lalu. Apabila

dengan cara yang digunakan tersebut orang dapat

memecahkan masalah yang sama, orang dapat pula

menggunakan cara tersebut.

4) Melalui Jalan Pikiran

Dari sini manusia telah mampu menggunakan penalarannya

dalam memperoleh pengetahuannya. Dengan kata lain,

dalam memperoleh kebenaran pengetahuan, manusia telah

menggunakan jalan fikiran.

b. Cara Modern

Cara baru atau modern dalam memperoleh pengetahuan pada

dewasa ini lebih sistematis, logis, dan ilmiah. Cara ini disebut

metode ilmiah.17 (Notoadmodjo, 2005 : 11-14).

2.2.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan

a. Umur

Umur adalah usia individu yang terhitung mulai saat dilahirkan

sampai saat beberapa tahun. Semakin cukup umur tingkat

kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam

berfikir dan bekerja dari segi kepercayaan masyarakat yang

lebih dewasa akan lebih percaya dari pada orang belum cukup

tinggi kedewasaannya. Hal ini sebagai akibat dari pengalaman

jiwa.18 (Nursalam, 2001 : 25)

b. Pendidikan

Tingkat pendidikan berarti bimbingan yang diberikan oleh

seseorang terhadap perkembangan orang lain menuju ke arah

17
Notoadmodjo, 2005 : 11-14
18
Nursalam, 2001 : 25
suatu cita-cita tertentu (Sarwono, 1992, yang dikutip Nursalam,

2001).19 Pendidikan adalah salah satu usaha untuk

mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di

luar sekolah dan berlangsung seumur hidup.20 (Notoatmodjo,

1993). Pendidikan mempengaruhi proses belajar, menurut IB

Marta (1997), makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah

orang tersebut untuk menerima informasi.

Pendidikan diklasifikasikan menjadi :

(a) Pendidikan tinggi: akademi/ PT

(b) Pendidikan menengah: SLTP/SLTA

(c) Pendidikan dasar : SD

Seseorang akan cenderung untuk mendapatkan informasi

baik dari orang lain maupun dari media masa dengan pendidikan

yang tinggi, sebaliknya tingkat pendidikan yang kurang akan

menghambat perkembangan dan sikap seseorang terhadap

nilai-nilai yang baru diperkenalkan.21 (Koentjaraningrat, 1997,

dikutip Nursalam, 2001).

c. Pengalaman

Pengalaman merupakan guru yang terbaik (experient is the best

teacher), pepatah tersebut bisa diartikan bahwa pemngalaman

merupakan sumber pengetahuan, atau pengalaman itu

merupakan suatu cara untuk memperoleh suatu kebenaran

pengetahuan. Oleh sebab itu pengalaman pribadi pun dapat

dijadikan sebagai upaya untuk memperoleh pengetahuan. Hal

19
Sarwono, 1992, yang dikutip Nursalam, 2001
20
Notoatmodjo, 1993
21
Koentjaraningrat, 1997, dikutip Nursalam, 2001
ini dilakukan dengan cara mengulang kembali pengetahuan

yang diperoleh dalam memecahkan persoalan yang dihadapi

pada masa lalu.22 (Notoatmodjo,2002 :13)

2.3 Teori sikap

2.3.1 Pengertian sikap

Sikap adalah predisposisi untuk melakukan atau tidak

melakukan suatu perilaku tertentu, sehingga sikap bukan hanya

kondisi internal psikologis yang murni dari individu (purely psychic

inner state), tetapi sikap lebih merupakan proses kesadaran yang

sifatnya individual.23 (Thomas & Znaniecki, 1920)

Sikap adalah evaluasi umum yang dibuat manusia terhadap

dirinya sendiri, orang lain, objek atau issue.24 (Petty, cocopio, 1986

dalam Azwar S., 2000 : 6)

Sikap adalah “A mental and neural state of readiness,

organized through experience, exerting a directive and dynamic

influence upon the individual’s response to all objects and

situations with which it is related”.25(Allport, 1935)

2.3.2 Komponen Sikap

sikap terdiri dari 3 (tiga) komponen yang saling menunjang

yaitu :

1) Komponen kognitif

Komonen kognitif merupakan representasi apa yang

dipercayai oleh individu pemilik sikap, komponen kognitif

berisi kepercayaan stereotype yang dimiliki individu mengenai

22
Notoatmodjo,2002 :13
23
Thomas & Znaniecki, 1920
24
Petty, cocopio, 1986 dalam Azwar S., 2000 : 6
25
Allport, 1935
sesuatu dapat disamakan penanganan (opini) terutama

apabila menyangkut masalah isu atau problem yang

kontroversial.

2) Komponen afektif

Komponen afektikf merpakan perasaan yang menyangkut

aspek emosional. Aspek emosional inilah yang biasa berakar

paling dalam sebagai komponen sikap dan merupakan aspek

yang paling bertahan terhadap pengaruh-pengaruh yang

mungkin adalah mengubah sikap seseorang, komponen

afektif disamkan dengan perasaan yang dimiliki sesorang

terhadap sesuatu.

3) Komponen konatif

Komponen konatif merupakan aspek kecenderungan

berperilaku tertentu sesuai dengan sikap yang dimiliki oleh

seseorang dan berisi tendensi atau kecenderungan untuk

bertindak atau bereaksi terhadap sesuatu dengan cara-cara

tertentu dan berkaitan dengan objek yang dihadapinya adalah

logis untuk mengharapkan bahwa sikap seseorang adalah

dicerminkan dalam bentuk tendensi perilaku.26

(Azwar S., 2000 : 23)

2.3.3 Ciri-Ciri Sikap

Sikap memiliki kecenderungan stabil, sekalipun sikap itu dapat

mengalami perubahan. Sikap itu dibentuk atau pun dipelajari

dalam hubungannya dengan objek-objek tertentu. Sikap

mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

26
Azwar S., 2000 : 23
1) Sikap bukan dibawa sejak lahir meainkan dibentuk atau

dipelajari sepanjang perkembangan itu dalam hubungannya

dengan objeknya. Sifat ini membedakannya dengan sikfat

motif-motif biogenis seperti lapar, haus,, kebutuhan akan

istirahat

2) Sikap dapat berubah-ubah karena itu sikap dapat dipelajari

dan sikap dapat berubah pada orang-orang bila terdapat

keadaan-keadaan dan syarat-syarat tertentu yang

mempermudahh sikap pada orang itu

3) Sikap tidak berdiri sendiri, tetapi senantiasa mempunyai

hubungan tertentu terhadap suatu objek dengan kata lain,

sikap itu terbentuk, dipelajari atau berubah senantiasa

berkenaan dengan suatu objek tertentu yang dapat

dirumuskan dengan jelas

4) Objek sikap itu merupakan suatu hal tertentu tetapi dapat juga

merupakan kumpulan dari hal-hal tersebut

5) Sikap mempunyai segi-segi motivasi dan segi-segi perasaan,

sifat alamiah yang membedakan sikap dan kecakapan-

kecakapan atau pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki

orang.27 (Heri Purwanto, 1998 : 63)

2.3.4 Tingkatan Sikap

Sikap terdiri dari berbagai tingkatan yakni :

1) Menerima (receiveing)

Menerima diartikan bahwa orang (subyek) mau dan

memperhatikan stimulus yang diberikan (objek)

27
Heri Purwanto, 1998 : 63
2) Merespon (responding)

Memberikan jawaban apabila diktanya, mengerjakan dan

menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi

sikap karena dengan suatu usaha untuk menjawab

pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan.

3) Menghargai (valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan

dengan orang lain terhadap suatu masalah adalah indikasi

sikap tingkat tiga, misalnya seorang mengajak ibu yang lain

(tetangga, saudaranya, dsb) untuk menimbang anaknya ke

posyandu atau mendiskusikan tentang gizi adalah suatu bukti

bahwa si ibu telah mempunyai sikap positif terhadap gizi anak.

4) Bertanggung jawab (responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya

dengan segala resiko adalah mempunyai sikap yang paling

tinggi. Misalnya seorang ibu mau menjadi akseptor KB,

meskipun mendapatkan tantangan dari mertua atau orang

tuanya sendiri.28 (Soekidjo Notoajmojo, 1996 : 132)

2.3.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap

Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap keluarga terhadap

objek sikap antara lain :

1) Pengalaman pribadi

28
Soekidjo Notoajmojo, 1996 : 132
Untuk dapat menjadi dasar pembentuka sikap, pengalaman

pribadi haruslah meninggalkan kesan yang kuat. Karena itu,

sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi

tersebut terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor

emosional.

2) Pengaruh orang lain yang dianggap penting

Pada umumnya, individu cenderung untuk memiliki sikap

yang konformis atau searah dengan sikap orang yang

dianggap penting. Kecenderungan ini antara lain dimotivasi

oleh keinginan untuk menghindari konflik dengan orang yang

dianggap penting

3) Pengaruh kebudayaan

Tanpa disadari kebudayaan telah menanamkan garis

pengarah sikap kita terhadap berbagai maslah. Kebudayaan

telah mewarnai sikap anggota masyarakatnya, karena

kebudayaan lah yang memberi corak pengalaman individu-

individu masyarakat asuhannya

4) Media massa

Dalam pemberitaan surat kabar maupun radio atau media

komunikasi lainnya, berita yang seharusnya factual

disampaikan secara objektif cenderung dipengaruhi oleh

sikap penulisnya, akibatnya berpengaruh terhadap sikap

konsumennya

5) Lembaga pendidikan dan lembaga agama

Konsep moral dan ajaran dari lembaga pendidikan dan

lembaga agama sangat menentukan system kepercayaan


tidaklah mengherankan apabila pada gilirannya konsep

tersebut mempengaruhi sikap

6) Faktor emosional

Kadang kala, suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang

didasari emosi yang berfungsi sebagai semacam penyaluran

frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan

ego.29 (Azwar, 2005)

2.3.6 Cara pengukuran sikap

Pengukuran sikap dapat dilakukan dengan menilai

pernyataan sikap seseorang. Pernyataan sikap adalah rangkaian

kalimat yang mengatakan sesuatu mengenai obyek sikap yang

hendak diungkap. Pernyataan sikap mungkin berisi atau

mengatakan hal-hal yang positif mengenai obyek sikap, yaitu

kalimatnya bersifat mendukung atau memihak pada obyek sikap.

Pernyataan ini disebut dengan pernyataan yang favourable.

Sebaliknya pernyataan sikap mungkin pula berisi hal-hal negatif

mengenai obyek sikap yang bersifat tidak mendukung maupun

kontra terhadap obyek sikap. Pernyataan seperti ini disebut

dengan pernyataan yang tidak favourable. Suatu skala sikap

sedapat mungkin diusahakan agar terdiri atas pernyataan

favourable dan tidak favourable dalam jumlah yang seimbang.

Dengan demikian pernyataan yang disajikan tidak semua positif

dan tikdak semua negatif yang seolah-olah isi skala memihak atau

tikdak mendukung sama sekali obyek sikap.30 (Azwar, 2005)

29
Azwar, 2005
30
Azwar, 2005
Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung atau tidak

langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana

pendapat / pernyataan responden terhadap suatu obyek. Secara

tidak langsung dapat dilakukan dengan pernyataan-pernyataan

hipotesis kemudian ditanyakan pendapat responden melalui

kuesioner.31 (Notoatmodjo, 2003)

Salah satu problem metodologi dasar dalam psikologissial

adalah bagaimana mengukur sikap seseorang. Beberapa teknik

pengukuran sikap antara lain :

1) Skala Thurstone (Methode of Equel-Appearing Intervals)

Metode ini mencoba menempatkan sikap seseorang pada

rentangan kontinum dari yang sangat unfavourable hingga

sangat favourable terhadap suatu obyek sikap. Caranya

dengan memberikan orang tersebut sejumlah aitem sikap

yang telah ditentukan derajat favourabilitasnya. Tahap yang

paling kritis dalam menyusun alat ini seleksi awal terhadap

pernyataan sikap dan perhitungan ukuran yang

mencerminkan derajad favourabilitas dari masing-masing

pernyataan. Derajat (ukuran) favourabilitas ini disebut skala.

2) Skala Likert (Methode of Summateds Rating)

Likert (1992) mengajukan metodenya sebagai alternatif yang

lebih sederhana dibandingkan dengan skala thurstone. Likert

menggunakan teknik konstruksi test yang lain. Masing-

masing responden diminta melakukan agreement atau

disagreement-nya untuk masing-masing aitem dalam skala

31
Notoatmodjo, 2003
yang terdiri dari 5 point (sangat setuju, setuju, ragu-ragu, tidak

setuju, sangat tidak setuju). Semua aitem favorable kemudian

diubah nilainya dalam angka, yaitu untuk sangat setuju

nilainya 5 sedangkan untuk sangat tidak setuju nilainya 1.

Sebaiknya, untuk aitem yang unfavorable niali skala sangat

setuju adalah 1 sedangkan untuk yang sangat tidak setuju

nilainya 5. Seperti halnya skala Thurstone, skala Likert

disusun dan diberi skor sesuai dengan skala interval sama

(equal-interval scale)

3) Unobstrusive Measures

Metode ini berakar dari suatu situasi dimana seseorang dapat

mencatat aspek-aspek perilakunya sendiri atau yang

berhubungan sikapnya dalam pertanyaan.

4) Multidimensional Scaling

Teknik ini memberikan deskripsi seseorang lebih kaya bila

dibandingkan dengan pengukuran sikap yang bersikfat

unidimensional. Namun demikian, pengukuran ini kadangkala

menyebabkan asumsi-asumsi mengenai stabilitas struktur

dimensional kurang valid terutama apabila diterapkan pada

lain orang, lain isu dan lain skala aitem.

5) Pengukuran Involuntary Behavior (pengukuran terselubung)

a. Pengukuran dapat dilakukan jika memang diinginkan atau

dapat dilakukan oleh responden

b. Dalam banyak situasi, akurasi pengukuran sikap

dipengaruhi oleh kerelaan responden


c. Pendekatan ini merupakan pendekatan observasi

terhadap reaksi-reaksi fisiologis yang terjadi tanpa disadari

dilakukan oleh individu yang bersangkutan

d. Observer dapat menginterpretasikan sikap individu mulai

dari fasial reaction, voice tones, body gesture, keringat,

dilatasi pupil mata,, detak jantung dan beberapa aspek

fisiologis lainnya.

2.4 Teori Perilaku

2.4.1 Pengertian Perilaku

Perilaku adalah respond individu terhadap suatu stimulus

atau suatu tindakan yang dapat diamati dan mempunyai frekuensi

spesifik, durasi dan tujuan baik disadari maupun tidak. Perilaku

merupakan kumpulan berbagai faktor yang saling berinteraksi.

Skinner (1938) seorang ahli perilaku mengemukakan bahwa

perilaku merupakan hasil hubungan antara perangsang (stimulus)

dan tanggapan (respon) dan respons. Skinner membedakan

adanya 2 respons, yakni :

a) Respondent respons atau reflexive respons

Respondent respons (reflexive respons) adalah respons yang

ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan tertentu.

;perangsangan-perangsangan semacam ini disebut electing

stimuli karena menimbulkan respons-respons yang relatikf

tetap.

b) Operant respons atau Instrumental respons

Operant respons (instrumental respons) adalah respons yang

timbul dan berkembangnya diikuti oleh perangsangan

tertentu. Perangsangan semacam ini yang disebut reinforcing


stimuli atau reinforcer karena perangsangan-perangsangan

tersebut memperkuat respons yang telah dilakukan oleh

organisme.32

2.4.2 Bentuk perilaku

Secara lebih operasional perilaku dapat diartikan suatu

respons organisme atau seseorang terhadap rangsangan

(stimulus) dari luar subyek tersebut. Respons ini berbentuk 2

macam yakni :

a. Bentuk pasif adalah respons internal yaitu yang terjadi

didalam diri manusia dan tidak secara langsung dapat terlihat

oleh orang lain, misalnya berpikir, tanggapan atau sikap batin

dan pengetahuan. Misalnya seorang ibu tahu bahwa

imunisasi itu dapat mencegah suatu penyakit tertentu

meskipun ibu tersebut tidak membawa anaknya ke

puskesmas untuk diimunisasi. Dari contoh tersebut terlihat

bahwa ibu telah tahu gunanya imunisasi namun belum

melakukan secara konkret hal tersebut. Oleh sebab itu,

perilaku ini masih terselubung (convert behavior)

b. Bentuk aktif yaitu apabila perilaku itu jelas dapat diobservasi

secara langsung. Misalnya pada contoh diatas, si ibu sudah

membawa anaknya ke puskesmas untuk diimunisasi. Perilaku

ibu sudah tampak dalam bentuk tindakan nyata. Oleh sebab

itu, perilaku ini disebut overt behavior.

32
Skinner (1938)
2.4.3 Faktor-faktor perilaku yang berhubungan dengan kesehatan

Perilaku yang mempengaruhi kesehatan dapat digolongkan

menjadi dua kategori, yaitu :

a. Perilaku yang terwujud secara sengaja dan sadar

b. Perilaku yang terwujud secara tidak sengaja atau tidak sadar

Adapun perilaku-perilaku yang disengaja atau tidak disengaja

membawa manfaat bagi kesehatan individu atau kelompok

kemasyarakatan sebaliknya ada yang disengaja atau tidak

disengaja berdampak merugikan kesehatan.

a. Perilaku sadar yang menguntungkan kesehatan

Mencakup perilaku-perilaku yang secara sadar oleh seseorang

yang berdampak menguntungkan kesehatan. Golongan

perilaku ini llangsung berhubungan dengan kegiatan-kegiatan

pencegahan penyakit serta penyembuhan dari penyakit yang

dijalankan dengan sengaja atas dasar pengetahuan dan

kepercayaan bagi diri yang bersnagkutan, atau orang-orang

lain, atau suatu kelompok sosial.

b. Perilaku sadar yang merugikan kesehatan

Perilaku sadar yang dijalankan secara sadar atau diketahui

tetapi tidak menguntungkan kesehatan terdapat pula

dikalangan orang berpendidikan atau professional, atau secara

umum pada masyarakat-masyarakat yang sudah maju.

Kebiasaan merokok, ketidakteraturan dalam pemeriksaan

kondisi kehamilan, alkoholisme, perkelahian, peperangan dan

sebagainya.
c. Perilaku tidak sadar yang merugikan kesehatan

Golongan masalah ini paling banyak dipelajari, terutama

karena penanggulangannya merupakan salah satu tujuan

utama berbagai program pembangunan kesehatan

masyarakat, misalnya pencegahan penyakit dan promosi

kesehatan kalangan usia subur, pada ibu hamil dan anak balita

dikota-kota.

d. Perilaku tidak sadar yang menguntungkan kesehatan

Golongan perilaku ini menunjukkan bahwa tanpa dasar

pengetahuan manfaat biomedis umum yang terkait, seseorang

atau sekelompok orang dapat menjalankan kegiatan-kegiatan

tertentu yang secara langsung atau tidak langsung memberi

dampak positif terhadap derajat kesehatan mereka.

2.5 Pengertian Sistem Casemix INACBG’s

Sistem casemix merupakan suatu sistem pengelompokan beberapa

diagnosis penyakit yang mempunyai gejala atau ciri yang sama serta

pemakaian sumber daya (biaya perawatan) yang sama dan prosedur atau

tindakan pelayanan di suatu rumah sakit kedalam grup-grup. Sistem

pembayaran pelayanan kesehatan diberikan secara paket, dimana

pembayaran atau biaya telah ditentukan sebelum pelayanan diberikan.

Sistem ini dikaitkan dengan pembiayaan dengan tujuan meningkatkan

mutu dan efektifitas pelayanan. Casemix merupakan penggabungan dari

komponen costing, coding, clinical pathway dan teknologi informasi.

Case Base Groups (CBG's), yaitu cara pembayaran perawatan pasien

berdasarkan diagnosis-diagnosis atau kasus-kasus yang relatif sama.

Sistem pembayaran pelayanan kesehatan yang berhubungan dengan

mutu, pemerataan dan jangkauan dalam pelayanan kesehatan yang


menjadi salah satu unsur pembiayaan pasien berbasis kasus campuran,

merupakan suatu cara meningkatkan standar pelayanan kesehatan rumah

sakit. Rumah Sakit akan mendapatkan pembayaran berdasarkan rata-rata

biaya yang dihabiskan untuk suatu kelompok diagnosis. Pengklasifikasian

setiap tahapan pelayanan kesehatan sejenis kedalam kelompok yang

mempunyai arti relatif sama. Setiap pasien yang dirawat di sebuah RS

diklasifikasikan ke dalam kelompok yang sejenis dengan gejala klinis yang

sama serta biaya perawatan yang relatif sama.

Sistem Casemix INA CBGs adalah suatu pengklasifikasian dari

episode perawatan pasien yang dirancang untuk menciptakan kelas-kelas

yang relative homogen dalam hal sumber daya yang digunakan dan

berisikan pasien2 dengan karakteristik klinik yang sejenis. Case Base

Groups (CBG's), yaitu cara pembayaran perawatan pasien berdasarkan

diagnosis-diagnosis atau kasus-kasus yang relatif sama. Rumah Sakit

akan mendapatkan pembayaran berdasarkan rata-rata biaya yang

dihabiskan oleh untuk suatu kelompok diagnosis. Pengklasifikasian setiap

tahapan pelayanan kesehatan sejenis kedalam kelompok yang

mempunyai arti relatif sama. Setiap pasien yang dirawat di sebuah rumah

sakit diklasifikasikan ke dalam kelompok yang sejenis dengan gejala klinis

yang sama serta biaya perawatan yang relatif sama.

INA CBGs merupakan kelanjutan dari aplikasi Indonesia Diagnosis

Related Groups (INA DRGs). Aplikasi INA CBGs menggantikan fungsi dari

aplikasi INA DRG yang saat itu digunakan pada Tahun 2008. Sistem yang

dijalankan dalam INA CBG menggunakan sistem casemix dari UNU-IIGH

(The United Nations University- International Institute for Global Health).

Dalam pembayaran menggunakan CBG's, baik Rumah Sakit maupun

pihak pembayar tidak lagi merinci tagihan berdasarkan rincian pelayanan


yang diberikan, melainkan hanya dengan menyampaikan diagnosis keluar

pasien dan kode DRG. Besarnya penggantian biaya untuk diagnosis

tersebut telah disepakati bersama antara provider atau asuransi yang

ditetapkan oleh pemerintah sebelumnya. Perkiraan waktu lama perawatan

(length of stay) yang akan dijalani oleh pasien juga sudah diperkirakan

sebelumnya disesuikan dengan jenis diagnosis maupun kasus

penyakitnya.

2.5.1 Sejarah Sistem Pembayaran INA CBGs di Indonesia

Sistem pembayaran di Indonesia pada awal mulanya

menggunakan sistem Fee For Service, dimana pasien yang

melakukan perawatan di pelayanan di rumah sakit harus

membayar secara out of pocket dengan besaran tarif yang berbeda

antara satu rumah sakit dengan rumah sakit yang lain, walaupun

hasil diagnosis dan pelayanan yang didapatkan pasien sama. Hal

tersebut disebabkan karena tidak adanya standar baku yang

berlaku secara nasional untuk menghitung dan mengevaluasi

pelayanan medis yang harus dikenakan pada masyarakat,

sehingga banyak institusi pelayanan medis yang mengambil jalan

pintas dengan menentukan tarif pelayanan medis secara

sembarangan.

Ketiadaan standar ini memang sangat merugikan konsumen

jasa pelayanan kesehatan, terlebih lagi bagi golongan masyarakat

miskin. Dibutuhkan sebuah solusi yang dapat menjamin

ketersediaan pelayanan kesehatan yang memadai, terjangkau,

dan dapat dijadikan sebagai sebuah standar tarif nasional.

Sehingga pada saat itu Indonesia menerapkan sistem pembayaran

INA DRG (Indonesia Diagnosis Related Group). INA-DRG


merupakan variasi dari sistem casemix yang diterapkan di

Amerika, sebuah system pembiayaan pelayanan kesehatan

berbasis kelompok penyakit yang homogen. Sistem ini mulai

dikenalkan pada tahun 2005 melalui Surat Keputusan Menteri

Kesehatan No.1663 / MENKES / SK /XII / 2005 tentang ujicoba

penerapan Sistem Diagnostic Related Group di 15 Rumah Sakit di

Indonesia. kemudian sistem INA DRG mulai diimplementasikan

pada pembiayaan jaminan kesehatan masyarakat 2008 melalui

SK Menkes nomor 125/MENKES/SK/II/2008. Kemudian

penggunaan sistem INA DRG di Indonesia berakhir lisensinya

pada tanggal 30 September 2010 dan digantikan dengan

penggunaan sistem INA CBG.

Penggantian penggunaan INA DRG menjadi INA CBG

dikarenakan ada beberapa kelemahan dai penggunaan sistem INA

DRG diantaranya, (1) sistem INA DRG hanya mencakup kasus-

kasus penyakit akut saja; (2) tarif tidak adekuat pada beberapa

kasus seperti, kasus sub akut dan kronik, prosedur khusus, MRI

(Magnetic Resonance Imaging), dan lain sebagainya.

Pada masa transisi antara INA DRG dan INA CBG yakni

pada tahun 2011, sistem yang digunakan masih menggunakan

sistem costing yang sama dengan INA DRG. Namun pada tahun

yang sama National Casemix Center Kementerian Kesehatan

melihat ketidakcocokan tarif INA CBGs bagi rumah sakit,

kemudian dilakukan evaluasi secara berkala dan menghasilkan

tarif sesuai dengan Kepmenkes Nomor 440 tahun 2012 tentang

Penetapan Tarif Rumah Sakit Berdasarkan Indonesia Case Based

Groups (INA-CBGs). Sampai tahun 2013, sistem INA CBG


masih digunakan dalam klaim program Jaminan Kesehatan

Masyarakat (Jamkesmas). Dan pada era Jaminan Kesehatan

Nasional, sistem INA CBGs masih digunakan dengan terus

dilakukan evaluasi tarif oleh NCC dan yang kemudian ditetapkan

oleh Kementerian Kesehatan.

2.5.2 Manfaat Sistem Casemix INACBG’s

Manfaat yang dapat diperoleh dari penerapan kebijakan

program Casemix INA CBGs secara umum adalah secara Medis

dan Ekonomi. Dari segi medis, para klinisi dapat mengembangkan

perawatan pasien secara komprehensif, tetapi langsung kepada

penanganan penyakit yang diderita oleh pasien. Secara ekonomi,

dalam hal ini keuangan (costing) jadi lebih efisien dan efektif dalam

penganggaran biaya kesehatan.Sarana pelayanan kesehatan

akan mengitung dengan cermat dan teliti dalam penganggaranya.

Menurut Kementerian Kesehatan RI (2012), manfaat kebijakan

program Casemix INA CBGs adalah sebagai berikut:

a. Manfaat Bagi Pasien

2. Adanya kepastian dalam pelayanan dengan prioritas

pengobatan berdasarkan derajat keparahan

3. Dengan adanya batasan pada lama rawat (length of stay)

pasien mendapatkan perhatian lebih dalam tindakan medis

dari para petugas rumah sakit, karena berapapun lama

rawat yang dilakukan biayanya sudah ditentukan.

4. Pasien menerima kualitas pelayanan kesehatan yang lebih

baik.
5. Mengurangi pemeriksaan dan penggunaan alat medis yang

berlebihan oleh tenaga medis sehingga mengurangi resiko

yang dihadapi pasien

b. Manfaat Bagi Rumah Sakit

1. Rumah sakit mendapat pembiayaan berdasarkan kepada

beban kerja sebenarnya.

2. Dapat meningkatkan mutu & efisiensi pelayanan rumah

sakit.

3. Bagi dokter atau klinisi dapat memberikan pengobatan yang

tepat untuk kualitas pelayanan lebih baik berdasarkan

derajat keparahan, meningkatkan komunikasi antar

spesialisasi atau multidisiplin ilmu agar perawatan dapat

secara komprehensif serta dapat memonitor QA (quality

assessment) dengan cara yang lebih objektif

4. Perencanaan budget anggaran pembiayaan dan belanja

yang lebih akurat.

5. Dapat untuk mengevaluasi kualitas pelayanan yang

diberikan oleh masing-masing klinisi.

6. Keadilan (equity) yang lebih baik dalam pengalokasian

budget anggaran.

7. Mendukung sistem perawatan pasien dengan menerapkan

Clinical Pathway.

c. Manfaat Bagi Penyandang Dana Pemerintah (Provider)

1. Dapat meningkatkan efisiensi dalam pengalokasian

anggaran pembiayaan kesehatan.

2. Dengan anggaran pembiayaan yang efisien, equity terhadap

masyarakat luas akan akan terjangkau.


3. Secara kualitas pelayanan yang diberikan akan lebih baik

sehingga meningkatkan kepuasan pasien dan provider atau

pemerintah.

4. Penghitungan tarif pelayanan lebih objektif dan berdasarkan

kepada biaya yang sebenarnya.33

2.6 Pengendalian Biaya (Cost Containment)

2.6.1 Pengertian Cost Containment

Boy Sabarguna (2007), dalam bukunya mengartikan cost

containment sebagai penghematan biaya, yaitu upaya

pengamanan biaya sampai pada tingkat rasional. Jadi menurut

Sabarguna, pengurangan biaya yang menyebabkan mutu

pelayanan turun bukanlah penghematan biaya atau cost

containment.34

Menurut Hanna Permana(2010), pengendalian biaya adalah

penekanan atau pengendalian pembiayaan terhadap berbagai sisi

bisnis rumah sakit dari mulai kepegawaian, infrastruktur,

peralatan, obat obatan, bahan habis pakai, dan seluruh aspek

bisnis lainnya di rumah sakit. Dimana biasanya yang dilakukan

dengan mengubah sistem pembiayaan, men-setting ulang

pembiayaan dan controlling pembiayaan.35

Pengendalian biaya merupakan proses pencatatan,

pengalaman, pengalokasian dan pelaporan yang dituangkan

dalam bentuk (Sabarguna, 2007) :

33
Kementerian Kesehatan RI (2012)
34
Boy Sabarguna (2007),
35
Hanna Permana(2010)
a. Anggaran Biaya

Anggaran biaya yang ditentukan menjadi dasar kesesuaian

pelayanan dijalankan.

b. Biaya standar

Biaya yang ditentukan sebagai patokan batas penggunaan

biaya pada waktu tertentu

c. Prosedur pencatatan

Prosedur pencatatan biaya dilaksanakan dalam rangka

menghindari pemborosan.36

2.6.2 Konsep Cost Containment

Di Amerika Serikat, pemerintah federal dan Negara bagian

mengeluarkan kebijakan cost containment karena biaya pelayanan

kesehatan yang terus meningkat. Perusahaan-perusahaan asuransi

juga mengajak provider pelayanankesehatan untuk mengendalikan

biaya. Dengan jalan membuat system review pasien.

Rumah sakit merupakah pengeluaran tertinggi dari sektor

pelayanan kesehatan. Sehingga rumah sakit merupakan target

utama regulasi untuk mengurangi biaya pelayanan kesehatan. Suatu

program cost containment haruslah terencana dengan baik, dapat

diimplementasikan dan dapat dimonitor.37 (Efraim Turban 1980).

Meningkatnya biaya pemeliharaan kesehatan dari 5% GDP

(Gross domestic product) pada tahun 1960 menjadi 14%s di Amerika

Serikat tahun 2002, membuat pemerintah Amerika Serikat

membentuk suatu organisasi Health Maintenance (HMOs) dengan

36
Sabarguna, 2007
37
Efraim Turban 1980
program Managed Care yang mengontrol peningkatan biaya

pemeliharaan kesehatan.38 (Mohaghegh, Saeed; 2007)

Leonard B. Fox dan Howard Mints dalam buku Cost

Containment in Hospitals (1980) menggambarkan proses strategi

cost containment berdasarkan gambaran model sistem.

Gambar 2.1 Model Sistem untuk Formulasi Strategi Cost


Containment (Leonard B. Fox dan Howard Mints, 1980)
Variable Konversi

Teknik Cost Containment

 Cost awareness : apa


saja yang termasuk cost
dan bagaimana cost itu Variable Output
Variable Input ada

 Cost monitoring :
 Komitment dimana, bagaimana dan  Hasil yang dicapai
berapa banyak yang
 Hasil yang ingin dicapai Text
dikeluarkan  Waktu

 Usaha-usaha  Cost management : apa  Hasil / usaha (imbalan)


dan siapa yang akan
melakukan
pengendalian biaya

 Cost incentive : kapan


dan dimana biaya akan
dikendalikan

Strategi Feedback

Modifikasi-modifikasi
strategi

Dari gambar diatas, yang dimaksud dengan variabel input

adalah elemen-elemen yang membuat kita terlibat dalam cost

containment, suatu komitmen untuk berusaha mencapai hasil yang

diharapkan dalam cost containment. Dengan konsekuensi, variabel

output sama dengan elemen-elemen input tetapi dengan fokus pada

hasilnya. Akankah komitmen dan usaha-usaha yang dilakukan

mencapai hasil yang diinginkan dalam waktu tertentu dan dengan

imbalan yang seimbang? Oleh karena itu, membuat keseimbangan

antara input dan output akan menentukan pemilihan variabel

konversi, dalam hal ini teknik cost containment, yang sesuai dengan

38
Mohaghegh, Saeed; 2007
keadaan. Formulasi strategi kemudian menjadi penyeimbang,

menurut teknik yang tepat dalam tingkat cost containment dalam

mencapai suatu hasil dalam suatu waktu dan dengan usaha-

usaha/tindakan yang dilakukan. Sebagai contoh; komitmen dari

dewan direktur rumah sakit adalah mengurangi peningkatan biaya

operasional tahunan dari 14% per tahun menjadi rata-rata kurang dari

7% dalam waktu tiga tahun mendatang. Pembatasannya adalah

kualitas pelayanan yang sudah ada tidak menurun dan proposal

untuk pembayaran kembali pengeluaran capital maksimum 2 tahun.

Komitmen untuk melakukan cost containment mengharuskan

penyusunan strategi dengan berbagai variasi alternatif teknik. Hasil

yang diinginkan tidaklah hanya sekedar memorandum yang

sederhana. Untuk mencapai hasil yang diinginkan, tahap strategi

organisasi harus konsisten dengan strategi cost containment, yaitu

tahap cost awareness, cost monitoring, cost management dan cost

incentives. Akan tetapi program pemeliharaan kesehatan yang

dibiayai oleh Negara, seperti Medicare dan Medicaid, menjadi beban

negara karena harga pelayanan pemeliharaan kesehatan terus

meningkat. Sehingga pemerintahan perlu membuat kebijakan cost

containment yang ditujukan pada biaya pemeliharaan kesehatan

yang meningkat tajam. Ironisnya, menigkatnya biaya pemeliharaan

kesehatan disebabkan oleh usaha pemerintah dalam menurunkan

inflasi.

Rumah sakit merupakan sasaran utama pemerintah dalam

penerapan kebijakan atau regulasi dalam usaha menahan

peningkatan biaya pemeliharaan kesehatan di rumah sakit. (Robert

W. Rutledge, 1996). Sesungguhnya inti dari pengendalian biaya


adalah bagaimana seluruh karyawan menjadi sadar biaya. Mereka

para manajemen rumah sakit mengetahui dengan persis, bahwa

biaya yang dibebankan kepada pasien adalah akibat dari

pekerjaannya. Dan mereka sebenarnya menyadari bahwa sedikit

atau banyak kesalahan yang mereka lakukan dan perilaku boros para

karyawan akan berakibat kepada meningkatnya biaya yang harus

ditanggung oleh pasien, dan pada akhirnya akan menjadi beban

pasien. Karenanya perlunya upaya rumah sakit membentuk budaya

sadar biaya dari seluruh karyawannya agar pemborosan bisa

dicegah dan pembiayaan bias ditekan sampai ketitik cost

effectiveness. Dimana seperti kita ketahui bahwa merubah budaya

dari karyawan rumah sakit yang terdiri dari kalangan tenaga medis

dan tenaga non medis yang memiliki latar belakang serta budaya

yang berbeda, akan mendapat tantangan yang sangat berat dan

menyita energi yang cukup besar.39

2.6.3 Tahap-tahap Cost Containment

Ada beberapa teknik dan metode dalam mengorganisasikan dan

melaksanakan program cost containment. Dimana secara umum,

yaitu ada 4 tahap dalam cost containment (Efraim Turban 1980;

Sabarguna, 2007), yaitu ;

1. Kesadaran biaya (cost awareness)

2. Pemantauan biaya (cost monitoring)

3. Manajemen biaya (cost management)

4. Hadiah biaya (cost incentives)40

39
Robert W. Rutledge, 1996
40
Efraim Turban 1980; Sabarguna, 2007
2.6.4 Kesadaran biaya (cost awareness)

Kesadaran biaya (cost awareness) yaitu setiap pelaku di rumah

sakit baik fungsional medik atau administratif, sadar bahwa

tindakannya mengandung biaya yang administratif, sadar bahwa

tindakannya mengandung biaya yang secara nyata harus dihemat.

Fokus utamanya adalah pada semua biaya dan oleh semua individu,

mulai dari petugas pembersihan sampai kepada anggota dewan

rumha sakit. Contoh : menulis pesan diatas kertas resep yang

tentunya berharga lebih mahal dibanding kertas biasa. Sadar biaya

adalah memahami tentang pentingnya arti, seluk beluk pembiayaan

dalam menjalankan suatu bisnis termasuk bisnis rumah sakit.

Hasilkan komoditas atau produk rumah sakit terdiri dari produk

barang atau produk jasa. Pengorbanan itu sendiri bisa dalam bentuk

uang, barang, tenaga, pikiran, kenyamanan, kesempatan dan lain

sebagainya yang diukur dengan nilai moneter. Pemahaman

karyawan rumah sakit akan klasifikasi biaya samgat perlu diketahui,

karena biaya besar kaitannya dengan apa yang mereka kerjakan dan

besar kaitannya dengan eksistensi perusahaan ditempat mereka

bekerja.41 (Subanegara, Dr. Hanna Permana, 2010)

Di era BPJS saat ini memunculkan semakin banyak program-

program seperti managed care, membuat pihak rumah sakit

berkompetisi dalam hal harga maupun pemberian diskon kepada

pasien asuransi, sehingga perlu adanya evaluasi akan pengeluaran-

pengeluaran rumah sakit dan perlu dicari cara pengendalian

41
Subanegara, Dr. Hanna Permana, 2010
pengeluaran dan pelayanan tanpa mengurangi mutu pelayanan. Hal-

hal yang berpotensi cost saving adalah penggunaan resources oleh

dokter, pengeluaran pasien, pengeluaran organisasi dan

operasional, biaya supplier dan biaya tenaga kerja.42 (Rutledge,

Robert W,1996).

Ziba Rechou (1992), dalam penelitiannya mengatakan bahwa

“cost awareness among staff level hospital nurses”, yang berarti

sadar biaya merupakan suatu sikap yang mempunyai 3 dimensi,

yaitu:

(1) Mengetahui akan biaya yang penting

(2) Pengetahuan akan biaya dan

(3) Berkomitmen untuk melakukan pengurangan biaya.

Dimensi-dimensi tersebut terpisah secara teoritis, akan tetapi

secara empiris dapat disimpulkan bahwa komitmen untuk merubah

prosedur-prosedur administrative dan professional yang dapat

mengurangi biaya-biaya juga memerlukan pengetahuan akan biaya-

biaya tersebut dan kesadaran akan pentingnya biaya-biaya tersebut

sebagai masalah dalam pelayanan kesehatan. Seseorang yang

“sadar biaya”(cost conscious) akan memandang biaya sebagai hal

yang penting, akan tetapi kesadaran akan biaya ini harus

direfleksikan dalam tingkah laku maupun pikiran.

Metode dalam pelaksanaan cost awareness

Cynthia Saver dalam jurnal OR Manager, (2010) menceritakan

bahwa managemen harus menbantu para staffnya untuk lebih sadar

(aware) akan keuangan kamar operasi / operation room (OR). Hal ini

42
Rutledge, Robert W,1996
dilakukan karena besarnya pengeluaran dari suplai OR. Pihak

manager ingin memberikan gambaran kepada para stafnya berapa

banyak uang yang dibuang saat mereka membuka sesuatu

alat/material dan kemudian tidak digunakan. Cara yang digunakan

oleh manager untuk mengedukasi para stafnya adalah dengan

melakukan permainan seperti “The Price isright” disaat waktu

istirahat atau membuat poster. Dan hal tersebut berhasil, dimana

para staff mulai menyadari betapa mahalnya biaya-biaya tersebut.

Tujuannya adalah untuk mengedukasi para staff akan biaya-biaya

sehingga rumah sakit dapat mengurangi / menghilangkan waste.

Untuk mendukung semuanya itu, pihak rumah sakit harus membagi

informasi / transparansi dengan para staf.43

Menurut David B. Levine, Brian J.Cole dan Scott A.Rodeo,

dikatakan sudah saatnya untuk seluruh personel pelayanan

kesehatan di rumah sakit untuk lebih sadar (aware) akan biaya untuk

penghematan biaya nantinya. Konsekuensinya adalah perlunya

program edukasi kepada seluruh staf rumah sakit tentang cost/biaya

material-material di rumah sakit. Sadar akan biaya di rumah sakit

berakibat pengendalian biaya saat ini dan pengurangan biaya di

masa depan.44

Clayton Petty (1988) menulis dalam Cost awareness is needed

for cost containment, bahwa pengendalian biaya tidak akan tercapai

tanpa adanya pengetahuan akan biaya. Sadar akan biaya yang

43
Cynthia Saver dalam jurnal OR Manager, (2010)
44
David B. Levine, Brian J.Cole dan Scott A.Rodeo
berhubungan dengan pekerjaan kita dapat meningkatkan sikap

profesioanlisme kita.45

Claudia Jorgenson (1994), mengatakan bahwa sebelum tahun

1990-an, para perawat dan dokter tidak dilibatkan dalam penentuan

unit budget. Akan tetapi, dikarenakan para perawat selalu

berhubungan dengan pasien dan berada pada posisi yang baik untuk

melakukan pengendalian biaya; membuat pihak managemen

menyadari bahwa penghematan dapat dilakukan pada saat

pemberian layanan.46

Penelitian yang dilakukan oleh Bovier et al, (2005) mengenai

kesadaran biaya, pola pelayanan praktek (spesialisasi, sektor public

atau swasta, jumlah pasien per minggu, waktu pelayanan tiap

pasien), kepuasan bekerja dan stress dari hal-hal yang tidak jelas,

terhadap dokter di Jenewa,Switzerland. Menunjukkan bahwa para

dokter menyadari bahwa pengendalian biaya merupakan tugas

mereka, dimana mereka harus mengetahui biaya atas pemeriksaan-

pemeriksaan dan prosedur yang mereka minta, sehingga mereka

harus membatasi penggunaan pemeriksaan yang tidak perlu.47

Menurut Racheli.Magnezi, et al (2010), yang mengatakan bahwa

kunci utama dalam pengendalian biaya kesehatan oleh para dokter

adalah menguatkan hubungan ‘good medicine’ dan efisiensi

keuangan. Dimana organisasi medis harus membangun suatu

lingkungan yang dapat mendorong perubahan ini, sekaligus

45
Clayton Petty (1988)
46
Claudia Jorgenson (1994)
47
Bovier et al, (2005)
melakukan program-program edukasi untuk melibatkan para dokter

dalam pengendalian biaya.48

Para dokter sebaiknya selalu update dalam perkembangan

medis terbaru. Intervensi pengendalian biaya diperlukan untuk

mengedukasi dokterdokter tentang harga obat-obatan dan layanan,

dan memberikan informasi-informasi yang mudah didapat sehingga

dapat diambil kesimpulan bahwa kesadaran biaya (cost awareness)

bertujuan mengubah sikap / perilaku dan cara berpikir dokter dan

perawat sampai ke level yang diinginkan, untuk meningkatkan

kualitas pelayanan kepada pasien dengan biaya rendah. Untuk

mencapai tujuan diperlukan koordinasi dan kerjasama yang baik,

dimana instrument utamanya adalah edukasi akan biaya-biaya dan

latihan, role modelling dan mempertahankan insentif.

2.6.5 Pemantauan biaya (cost monitoring)

Monitoring menurut kamus Webster adalah melihat, mencek

atau mengobservasi untuk tujuan tertentu. (To watch, check or

observe for aspecial purpose.) sedangkan menurut kamus Oxford,

monitoring adalah mengobservasi, supervisi atau melakukan review,

mengukur atau melakukan test pada jangka tertentu, terutama untuk

tujuan pengaturan atau kontrol, atau men-cek atau mengatur

sesuatu secara kualitas teknis. Suatu instrument atau alat untuk

memonitor suatu proses.

Menurut businessdictionary, monitoring adalah pemantauan

aktivitas-aktivitas yang sedang berjalan untuk memastikan bahwa

48
Racheli.Magnezi, et al (2010),
aktivitas-aktivitas tersebut sesuai dan tepat waktu, menurut tujuan

dan sasaran performance.49

Menurut Sondang Siagian (1997) pengawasan adalah proses

pengamatan daripada pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi

unutk menjamin agar supaya semua pekerjaan yang sedang

dilakukan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan

sebelumnya.50

Menurut Siswandi (2011) pengawasan adalah memantau atau

memonitor pelaksanaan rencana apakah telah dikerjakan dengan

benar atau tidak atau suatu proses yang menjamin bahwa tindakan

telah sesuai dengan rencana. Dari semua pengertian diatas dapat

disimpulkan bahwa monitoring (pemantauan/pengawasan) adalah

kegiatan pemantauan yang dilakukan agar dapat melihat/mengukur

apakah kegiatan yang telah dilakukan menunjukkan pergerakan ke

arah tujuan atau menjauh dari tujuan yang telah ditentukan

sebelumnya. Monitoring merupakan aktivitas yang dilakukan

pimpinan untuk melihat, memantau jalannya organisasi selama

kegiatan berlangsung, dan menilai ketercapaian tujuan, melihat

factor pendukung dan penghambat pelaksanaan program. Dalam

monitoring (pemantauan) dikumpulkan data dan dianalisis, hasil

analisis diinterpretasikan dan dimaknakan sebagai masukan bagi

pimpinan untuk mengadakan perbaikan. Monitoring hanya melihat

keterlaksanaan program, faktor pendukung, penghambatnya.51

49
businessdictionary
50
Sondang Siagian (1997)
51
Siswandi (2011)
2.7 Managed Care

Managed care adalah suatu konsep yang masih terus

berkembang, sehingga belum mempunyai definisi yang satu dan

universal. Namun secara umum managed care dapat didefinisikan

sebagai suatu sistem dimana pelayanan kesehatan terlaksana secara

terintegrasi dengan sistem pembiayaan yang mempunyai lima elemen

(Juanita, 2002), yaitu:

a) Penyelenggaraan pelayanan oleh provider tertentu

b) Memiliki kriteria khusus untuk penetapan provider

c) Memiliki program pengawasan mutu dan manajemen utilisasi

d) Penekanan pada upaya promotif dan preventif

e) Adanya financial insentive bagi peserta yang melaksanakan

pelayanan sesuai prosedur.

Menurut International Foundation of Employee Benefit Plans

(2003), managed care merupakan pengaturan perawatan/pelayanan

kesehatan yang mencakup strategi biaya, alokasi risiko antara proses

asuransi, penyedia dan pengusaha, serta klaim administrasi dan

pelaporan. Tujuan dari pengaturan ini adalah untuk membantu

masyarakat atau sekelompok orang untuk memenuhi kebutuhan dalam

pelayanan kesehatan.

Menurut WHO (2000), managed care adalah suatu sistem yang

mencoba mengintegrasikan antara pembiayaan dan pemberian

pelayanan kesehatan yang sesuai bagi anggotannya. Managed care

merupakan pendekatan komprehensif yang melibatkan perencanaan,

pendidikan, pemantauan, koordinasi, pengendalian kualitas, akses,

pembiayaan, serta kontrol pemanfaatan terlibat.


Menurut (Henny, 2007) Managed care adalah suatu sistem

pembiayaan pelayanan kesehatan yang disusun berdasarkan jumlah

anggota yang terdaftar dengan kontrol mulai dari perencanaan

pelayanan serta meliputi ketentuan :

a. Ada kontrak dengan penyelenggara pelayanan kesehatan

untuk pelayanan yang komprehensif

b. Penekanan agar peserta tetap sehat sehingga utilitasi berkurang

c. Unit layanan harus memenuhi standar yang telah ditetapkan

d. Ada program peningkatan mutu pelayanan.

Perlu dikembangkannya asuransi kesehatan nasional dengan

managed care sebagai bentuk operasional dengan cakupan asuransi

yang akan semakin luas maka diperlukan juga jaringan pelayanan yang

semakin luas pula. Akan semakin banyak tuntutan terhadap pelayanan

yang berkualitas baik terhadap penyelenggaraan asuransi kesehatan

maupun penyelenggaraan pelayanan kesehatan. Adapun factor-faktor

utama dalam managed care yaitu:

1. Mengelola pembiayaan dan pemberian jasa pelayanan kesehatan

2. Menggunakan teknik kendali biaya

3. Membagi risiko keuangan antara provider dan badan asuransi

Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa secara garis

besar pengertian managed care adalah suatu sistem penyelenggaraan

pelayanan kesehatan yang menyelaraskan kendali mutu dan kendali biaya

kesehatan untuk memberikan pelayanan kesehatan yang efektif dan

efisien.

2.7.1 Ciri-ciri managed care

Managed care mempunyai ciri sebagai berikut:

a. Adanya kerjasama antara pemberi layanan jasa kesehatan


(provider) dan lembaga penyelenggara asuransi.

b. Monitoring dan kontrol pelayanan yang diberikan.

c. Adanya pembatasan Penyelenggara Pelayanan Kesehatan

(PPK) atau Provider.

d. Menciptakan layanan kesehatan yang sesuai dengan

standar yang ditetapkan.

e. Menekankan pada pemeliharaan peserta untuk

mengurangi utilitas pelayanan.

f. Adanya program peningkatan mutu dan Utilization Review (UR).

g. sistem reimbursement yang membuat pelayanan kesehatan

(dokter, puskesmas, rumah sakit, dll) dapat mempertanggung

jawabkan biaya dan kualitas layanan kesehatan.

2.7.2 Bentuk managed care

Managed care terdiri dari 3 bentuk yaitu, Health Maintenance

Organization (HMO), Preferred Provider Organization (PPO), dan

Point of Servie (POS).

a. Health Maintenance Organization (HMO)

HMI merupakan suatu bentuk managed care yang mempunyai

ciri sebagai berikut :

1. Pembayaran premi didasarkan pada perhitungan kapitasi.

Kapitasi adalah pembayaran terhadap penyelenggara

pelayanan kesehatan berdasarkan jumlah sasaran

anggota, biasanya didasarkan atas konsep wilayah dan

bukan berdasarkan jumlah pelayanan yang diberikan.

2. Terikat pada lokasi tertentu.

3. Pembayaran out of pocket sangat minimal.

4. Mempunyai dua bentuk HMO, yaitu HMO merupakan


badan penyelenggara merangkap sebagai penyelenggara

pelayanan kesehatan sehingga control lebih baik dan

mengurangi utilisasi yang berlebihan. Kedua HMO

mengontrol penyelenggara pelayanan kesehatan.

5. Pilihan provider / penyelenggara pelayanan kesehatan

adalah terbatas, diperlukan waktu untuk menukar provider.

6. Ada pembagian risiko dengan provider / penyelenggara

pelayanan kesehatan.

7. Kendali biaya dan pemanfaatan tinggi.

8. Ada kemungkinan mutu pelayanan rendah.

Beberapa tipe HMO adalah :

a) Staff-model, dimana dokter secara langsung menjadi

pegawai HMO dan diberikan imbalan dengan system gaji.

b) Group-model, dimana HMO mengontrak dokter secara

kelompok dan biasanya didasarkan atas kapitasi.

c) Network-model, dimana HMO mengontrak lebih dari

satu grup dokter.

d) Individual Practice Assosiation (IPA), dimana HMO

mengontrak sejumlah dokter dari beberapa jenis praktik

dan biasanya didasarkan

pada fee for service

b. Preferred Provider Organization (PPO), dan Point of Servie

(POS)

PPO dan POS merupakan bentuk managed care yang

memberikan jaminan pilihan PPK yang lebih luas kepada

konsumen yaitu provider yang termasuk dalam jaringan dan

provider yang tidak termasuk dalam jaringan pelayanan


sehingga harus dibayar penuh. Ciri-ciri dari PPO dan POS

adalah sebagai berikut :

a) Pelayanan bersifat komprehensif

b) Kebebasan memilih

PPK.

c) Isentif untuk menggunakan PP murah.

d) Pembayaran PPK berdasarkan fee for service dengan

potongan harga.

e) Pengeluaran out of pocket sedang.

f) Inflasi biaya relative masih tinggi.

g) Ada kendali utilitas dan mutu.

h) Tumbuh paling cepat.

Menurut Sulastomo (2000), konsep dasar bentuk-bentuk

Managed Care Organization dapat dikenali sebagai berikut :

1. HMO (Health Maintenance Organization) adalah sistem

pemeliharaan kesehatan yang terorganisir, yang bertanggung

jawab atas pembiayaan kesehatan (financing of healthcare) dan

pemberian pelayanan kesehatan (the delivery of care) yang

komprehensif, terhadap sekelompok masyarakat yang menjadi

pesertanya (enrolled population) dengan pembayaran pradana

praupaya (prepaid) dalam jumlah yang tetap (fixeed fee). Adapun

prototipe dari HMO yang sering diperkenalkan adalah Kaiser

Permanente Health Plant, dimana Kaiser Permanente Health Plan

memiliki jaringan pelayanan kesehatan yang lengkap (RS,

laboratorium, klinik, apotik, dan lain-lainnya), dengan dokter-dokter

bekerja purna waktu (staf model) serta pembayaran berdasarkan

berdasar kapitasi (capitation basis). Sekarang dikenal 7 (model)


HMO dengan berbagai variasi karakteristik yang berbeda terhadap

kepemilikan serta hubungan dengan jaringan PPK (Health

Providers), sistem pembiayaan (financing of healthcare) dan

sistem pemberian pelayanan kesehatan (the delivery care).

2. Preferred Providers Organization (PPO) adalah sebuah

lembaga/organisasi dari sekelompok profesi/dokter dan institusi

kesehatan yang menyelenggarakan perjanjian (contract

arrangment) dengan perusahaan/Perusahaan Asuransi

Kesehatan/HMO serta third party administration lainnya, pada

sekelompok peserta sesuai dengan biaya yang disepakati

bersama. Meskipun dokter-dokter tidak dalam posisi menanggung

risiko seluruh pembiayaan kesehatan, dokter-dokter dapat

memperoleh pembayaran atas dasar kapitasi, khususnya

apabila terikat pada IPA model (Independent Practice

Association). Peranan dari PPO dalam hubungan dengan pihak

ketiga, misalnya MCO, adalah menetapkan/memilih PPK,

negosiasi tarif pelayanan, melaksanakan program penjaga mutu

dan pemanfaatan pelayanan (utilization review). Meskipun

demikian, dalam perkembangannya PPO juga memungkinkan

peserta untuk memilih PPK lain dengan menerapkan prinsip cost

sharing.

3. Independent Practice Association (IPA) juga sering dikenal sebagai

Individual Practice Association adalah sekelompok dokter

(yang jumlahnya tidak besar) yang menyetujui untuk dapat

melayani sekelompok peserta MCO. IPA dapat dalam bentuk not

for profit maupun for profit organization, sekedar partnership dan

lain sebagainya. Peranan IPA sering sangat penting dalam


penyelenggaraan sebuah program MCO, baik dalam memberikan

pelayanan kesehatan maupun menetapkan biaya pelayanan

kesehatan, misalnya pelaksanaan konsep kapitasi adanya IPA,

MCO juga dapat memperoleh garansi dalam pengendalian mutu

pelayanan kesehatan (quality assurance programme) melalui

(misalnya) program peer review dan bahkan penggunaan

pelayanan kesehatan (utilization review).

4. Independent Practitioner Organization (IPO) adalah sebuah

organisasi yang dibentuk oleh kalangan profesi dan masyarakat

kedokteran untuk mengevaluasi kepersertaan mereka dalam

program MCO, tetapi lebih berperan dalam kepesertaan seorang

dokter dalam program MCO, tetapi lebih berperan sebagai

semacam clearing house bagi anggotanya untuk memperoleh

informasi tentang perkembangan MCO dan lain-lainya.

Dengan perkembangan sebagaimana yang dikemukakan

diatas, managed care sesungguhnya lebih merupakan suatu

pendekatan untuk mengendalikan biaya pelayanan kesehatan,

melalui berbagai upaya pengembangan sistem pelayanan dan

pembiayaan yang efisien dan effektif, untuk memperoleh

pelayanan kesehatan yang optimal dan bermutu.

2.7.3 Teknik-teknik managed care

Managed care memiliki salah satu bentuk paling mendasar yaitu

Penyelenggara Pelayanan Kesehatan (PPK) untuk memberikan

perawatan dan pelayanan kesehatan kepada pasien. Sistem ini

dilakukan secara terpadu mencakup satu atau lebih terhadap hal

berikut ini:

a. Dokter dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya yang


ditunjuk sebagai Penyelenggara Pelayanan Kesehatan (PPK)

bagi pendaftar (pasien).

b. Standar yang jelas untuk memilih penyelenggara pelayanan

kesehatan.

c. Adanya program tinjauan pemanfaatan (utilization review) dan

program peningkatan kualitas.

d. Menekankan pada penanganan promotif dan preventif.

e. Adanya financial insentive untuk mendorong pasien

menggunakan pelayanan kesehatan secara efisien serta

Penyelenggara Pelayanan Kesehatan (PPK) dapat

mempertanggungjawabkan biaya dan kualitas layanan

kesehatannya.

Sebuah survei yang diterbitkan oleh America’s Health

Insurance pada tahun 2009 menyebutkan bahwa pasien yang tidak

mendaftar sebagai anggota pelayanan kesehatan terkadang

dikenakan biaya perawatan yang sangat tinggi dibandingkan yang

telah mendaftar sebagai anggota. Terdapat beberapa teknik

managed care yang dapat digunakan baik untuk program yang

berbasis PPK dan yang bukan berbasis PPK. Berikut adalah teknik-

teknik managed care :

1. Care and Disesase Management (C/DM)

C/DM adalah sebuah sistem intervensi kesehatan yang

terkoordinasi diperuntukkan bagi pasien yang memerlukan

upaya perawatan diri (self- care) yang signifikan. Menurut

Green (2009), care management merupakan suatu rancangan

program kesehatan yang menangani pasien dengan kondisi

kronis yang dianggap beresiko tinggi akibat kombinasi dari


berbagai masalah kesehatan, sosial, dan fungsional.

Sedangkan disease management merupakan program yang

mengelola pasien dengan penyakit tertentu seperti diabetes

atau hipertensi (Green, 2009). Dari kedua pengertian di atas

dapat disimpulkan bahwa care and disease management

sangat cocok diperuntukkan bagi pasien yang mengalami

masalah penyakit kronis seperti diabetes, gagal ginjal,

gagal jantung, dan hipertensi.

Konsep dari C/DM adalah saling berbagi pengetahuan,

membangun pengetahuan, tanggung jawab dan rencana

perawatan dengan praktisi kesehatan atau kerabat dekat

(keluarga, teman, pengasuh). Agar program ini efektif,

diperlukan implementasi sistem secara menyeluruh dengan

dukungan sosial masyarakat, profesional klinis selaku penyedia

pelayanan kesehatan bersedia untuk bertindak sebagai mitra

bagi pasien, serta sumberdaya yang memadai.

Secara keseluruhan, program C/DM berpotensi untuk

mengurangi biaya perawatan kesehatan dengan mengurangi

penggunaan pelayanan medis yang tidak perlu. Selain itu

program C/DM telah mampu meningkatkan kesehatan dan

kualitas pelayanan kesehatan bagi penderita penyakit kronis

dengan cara mencegah atau meminimalkan efek dari penyakit

melalui peningkatan pengetahuan, keterampilan, mengontrol

gaya hidup untuk meminimalkan gejala penyakit, dan

pemberian perawatan yang integratif. Jadi, manfaat yang

diperoleh pasien dengan teknik care and disease management

(C/DM) adalah meskipun dengan biaya perawatan kesehatan


yang minimal dan masa perawatan yang singkat namun

pasien akan memperoleh hasil perawatan yang optimal.

2. Case management

Menurut Powell (1996) dalam tesis Kgasi (2010), case

management adalah proses mendapatkan layanan yang tepat

terhadap klien yang tepat. Artinya, sebuah proses kolaboratif

yang menilai, merencanakan, mengimplementasikan,

mengkoordinasi, memonitoring dan mengevaluasi pilihan dan

layanan untuk memenuhi kebutuhan dan peningkatan

kesehatan individu melalui komunikasi dan ketersediaan

sumber daya. Proses pelayanan kesehatan ini betujuan untuk

memberikan kualitas kesehatan dan meningkatkan kualitas

hidup klien dengan biaya yang minimal.

Case management mengembangkan sistem untuk

mengidentifikasi dan menangani kasus beresiko tinggi dan

berbiaya tinggi. Kasus beresiko tinggi yang ditangani dengan

case management adalah kanker, HIV/AIDS, insiden pembuluh

darah otak, transplantasi organ, luka bakar parah, kehamilan

beresiko tinggi, neonatus resiko tinggi, luka bakar parah,

cedera tulang belakang dan penyakit neuromuskular. Kasus

beresiko tinggi ini telah meningkatkan potensi komplikasi

medis dan masa perawatan di rumah sakit yang

berkepanjangan sehingga meningkatkan biaya perawatan.

3. Utility Review

Utilization review merupakan suatu metode untuk

menjamin mutu pelayanan terkait penghematan biaya.

Mekanisme pengendalian biaya utilization review dengan


memeriksa apakah pelayanan secara medis perlu diberikan

dan apakah pelayanan diberikan secara tepat. Utilization

review memiliki keuntungan yang jelas untuk mengevaluasi

ketepatan penggunaan pelayanan kesehatan agar

menghilangkan dan mengurangi hal-hal yang tidak perlu serta

resiko potensial pasien (Kemenkes, 2014)

Berdasarkan waktu pelaksanaannya Utility Review

dapat dikelompokkan menjadi Prospective Review, Consurrent

Review dan Retrospektif. Prospective review merupakan Utility

Review yang digunakan untuk menentukan kebutuhan

pelayanan kesehatan yang dilakukan sebelum pelayanan

kesehatan diberikan, utamanya untuk penggunaan pelayanan

di rumah sakit. Concurrent review merupakan Utility Review

yang dilakukan ketika pelayanan diberikan kepada pasien.

Tekniknya yang digunakan adalah menilai Length of

stayed (LOS), Discharge planning dan continued stay Review.

Retrospective review adalah Utility Review yang dilakukan

setelah pelayanan diberikan kepada pasien.

4. Audit medis

Audit medis adalah upaya evaluasi secara professional

terhadap mutu pelayanan medis yang diberikan kepada pasien

dengan menggunakan rekam medisnya yang dilaksanakan

oleh profesi medis (Kemenkes, 2005)

2.8 Clinical Pathway

Definition of Clinical Pathway : Multidisciplinary management tool

based on evidence-based practice for a specific group of patients with a

predictable clinical course, in which the different tasks (interventions) by the


professionals involved in the patient care are defined, optimized and

sequenced either by hour (ED), day (acute care) or visit (homecare).

Outcomes are tied to specific interventions.

Rumah Sakit bergantung penuh pada uang yang dibayarkan

masyarakat atas jasa layanannya, semakin banyak masyarakat (“payers”)

yang datang mencari layanan maka semakin banyak uang yang didapatkan

dan semakin besar pula keuntungan yang diperoleh RS atau pemilik RS.

Sudah selayaknya bisnis dibidang RS mendapat keuntungan agar dapat

terus berjalan memberikan layanan kepada masyarakat, tetapi upaya

mendapatkan keuntungan hendaknya dilakukan secara wajar dan

terhormat serta tetap memperhatikan mutu layanan.

Survey yang dilakukan oleh institusi pajak di sebagian negara Eropa

membuktikan bahwa peningkatan besaran tarif Rumah Sakit diatas batas

kewajaran, ternyata tidak memberikan perbedaan secara bermakna pada

take homepay dokter atau perawat serta tenaga fungsional kesehatan lain

yang bekerja di RS tersebut. Hal ini disebabkan mekanisme bagihasil yang

dipakai cenderung menguntungkan pemilik RS, besaran nilai pajak yang

dikenakan terhadap penghasilan dokter, kecenderungan masyarakat

mencari Rumah Sakit yang sesuai dengan kemampuannya serta premi

asuransi profesi yang harus dibayar oleh dokter dari risiko gugatan

(merupakan prasyarat yang harus dimiliki oleh dokter untuk dapat diterima

bekerja di Rumah Sakit). Dari beberapa survey lain ternyata disimpulkan

pula bahwa penguasaan ilmu dan keterampilan kedokteran, peningkatan

mutu layanan rumah sakit secara keseluruhan, dukungan teknologi

kedokteran yang dilaksanakan secara efektif dan efisien disertai dukungan

kepercayaan dari pasien terhadap dokter yang merawatnya ternyata

berhasil dalam meningkatkan jumlah kunjungan rawat jalan dan rawat inap,
mengurangi insidensi tuntutan hukum dan dapat menjadi Rumah Sakit

yang disukai masyarakat dan favorit. Hal tersebut diyakini merupakan kunci

keberhasilan beberapa Rumah Sakit terkenal di Eropa dan Amerika dalam

meningkatkan kesejahteraan umum di Rumah Sakit tersebut. Di Indonesia

ilustrasi diatas bukan hanya terjadi di RS Swasta ataupun RS milik BUMN

akan tetapi juga terjadi di RSUD ataupun RSD yang nota bene adalah milik

Pemerintah Daerah, kondisi ini disadari oleh Pemerintah, sehingga pada

tahun 1993 terbitlah Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI, Nomor 436 /

Menkes / SK / VI / 1993 tentang berlakunya Standar Pelayanan Rumah

Sakit dan Standar Pelayanan Medis.

Menindaklanjuti permasalahan diatas, sejak beberapa tahun terakhir

Kementerian Kesehatan mulai memperkenalkan pendekatan yang diyakini

dapat mengatasi permasalahan tersebut melalui suatu “Sistem Pelayanan

Kesehatan Terkendali” yang efektif, efisien, berorientasi pada mutu,

dimana efektifitas dan cost containment dari layanan selalu mengacu pada

evidence based. Pendekatan ini dikenal dengan nama “Diagnosis Related

Groups (DRG’s) - Casemix”.

Konsep DRG’s-Casemix pada dasarnya merupakan

pengelompokkan layanan medik rawat inap ke dalam suatu besaran biaya

tertentu berdasarkan diagnosis penyakit (“Bundling of services into one

payment rate based on diagnosis”). Disain konsep ini berbentuk format

klasifikasi kombinasi jenis penyakit, tindakan medis dan sumber daya real

yang digunakan dikaitkan dengan dengan besaran biaya. Konsep ini

merefleksikan efektivitas, efisiensi dan mutu layanan. Titik awal dari upaya

pemberlakukan DRG’s Casemix ialah dengan membuat suatu Clinical

Pathway penyakit / kasus.

Kelebihan lain yang dimiliki, konsep ini dapat juga digunakan sebagai
acuan dalam menghitung penggunaan sumber daya yang diperlukan

dalam penyediaan layanan kesehatan di rumah sakit, oleh karena itu

metode perhitungan alokasi dana dan upaya yang hanya didasarkan pada

jumlah tempat tidur, tanpa mempertimbangkan efektifitas dan efisiensi

layanan selayaknya sudah harus ditinggalkan.

Hal-hal yang menjadi perhatian dalam sistem DRG-Casemix adalah

bauran kasus, yaitu “Diagnosis Utama” penyakit serta “Komplikasi” yang

mungkin terjadi. Diagnosis utama menjadi dasar dalam menghitung biaya

layanan, karena perhitungan biaya selalu berfokus pada variabel tersebut.

Sebagai konsekuensinya Rumah Sakit tidak boleh lagi mencantumkan hal-

hal yang tidak seharusnya ada dalam pembayaran. Penggunaan konsep

ini secara utuh akan berdampak pada:

1. “Good Clinical Governance & Good Corporate Governance” tidak ada

pembayaran untuk hal yang tidak berhubungan atau tidak perlu,

sehingga biaya RS dapat ditekan. Masyarakat tidak akan merasa ditipu

karena harus membayar biaya di luar layanan yang seharusnya.

2. “Appropriate” semua aspek layanan dilakukan berkesesuaian dengan

tingkat keparahan, prinsip efektifitas & efisiensi dan bermutu.

3. ”Transparency” perhitungan biaya dilakukan secara mudah,

sederhana dan dapat dimengerti sekalipun oleh masyarakat awam,

sehingga memberi kepastian sekaligus transparansi pada masyarakat

sebagai pengguna jasa layanan.

2.8.1 Tatacara Pembuatan Clinical Pathway

Clinical Pathway dapat didefinisikan sebagai “Pendekatan

multidisplin yang berbasis waktu yang digunakan untuk membantu


pasien & dokter mencapai luaran positif yang diharapkan”

(Middleton dan Roberts, 1998).

Dalam membuat Clinical Pathway & DRG Casemix, terdapat

14 variabel yang harus diinput dengan memperhatikan kasus yang

dihadapi. Ke 14 variabel tersebut adalah :

1. Identitas Pasien

2. Tanggal masuk rumah sakit

3. Tanggal keluar rumah sakit

4. Lama hari rawat

5. Tanggal lahir

6. Umur ketika masuk rumah sakit (satuan tahun)

7. Umur ketika masuk rumah sakit (satuan hari)

8. Umur ketika keluar dari rumah sakit (satuan hari)

9. Jenis kelamin

10. Status keluar rumah sakit (discharge disposition)

11. Berat badan baru lahir

12. Diagnosis utama

13. Diagnosis sekunder, seperti komplikasi dan komorbiditas

14. Prosedur atau pembedahan utama

2.8.2 Ciri dari Clinical Pathway

”Clinical Pathways document potential steps in the diagnosis

and treatment of a condition or procedure for individual patients.

These are predominantly management tools and are based on

clinical information developed in other guidelines or parameters.

They are specific to the institution using them”.


Aspek yang dicakup dalam Clinical Pathway dapat

bervariasi mulai dari:

1. Diagnosis,

2. Pemeriksaan penunjang,

3. Terapi dan rehabilitasi suatu penyakit.

Clinical Pathway digunakan sebagai perangkat tatakelola

kasus yang disesuaikan dengan bukti ilmiah yang terbaru dan

terbaik dan standar pelayanan medik berbasis bukti.

Tujuan penggunaan Clinical Pathway adalah sebagai

berikut:

1. Mengurangi variasi dalam pelayanan medik,

2. Meramalkan lama tinggal di RS dan jumlah pemeriksaan,

3. Sebagai panduan bagi seluruh staf medik RS yang terlibat dalam

pemberian layanan kesehatan / kedokteran.

Meningkatkan kepuasan pasien dengan memberikan

edukasi tentang rencana perawatan pasien disamping transparansi

pembiayaan.

Model format suatu Clinical Pathway adalah dalam bentuk

tabel-waktu yang berisi kegiatan-kegiatan pelayanan yang harus

dijalani oleh seorang pasien. Petugas yang terkait dengan

pelayanan pasien akan merujuk ke daftar tilik pasien dan

memberikan catatan pada daftar tilik tersebut. Segala bentuk varian

yang muncul pada proses layanan harus dicatat dan diberi

penjelasan demi menyempurnakan Clinical Pathway.

Sebuah Clinical Pathway pada umumnya ditunjang dengan

“algoritma tatakelola” dalam sebuah kerangka kerja yang disusun


berdasar kemungkinan skenario yang terjadi pada pasien. Langkah

pertama dalam pengembangan Clinical Pathway adalah pemilihan

topik Pathway. Pemilihan topik Pathway haruslah suatu kasus yang:

1. Memiliki Insidensi yang tingi

2. Berbiaya relatif mahal

3. Ada variasi dalam pelaksanaan layanannya.

Proses pemilihan topik Clinical Pathway, pada umumnya

didahului dengan membuat suatu Analisis Situasi (misal Analisis

SWOT). Sebuah Clinical Pathway seyogyanya dikembangkan oleh

Tim Multidisiplin yang terlibat aktif dalam tatakelola pasien,

keterlibatan semua anggota tim dalam pengembangan sebuah

Clinical Pathway merupakan jaminan suksesnya penerapan Clinical

Pathway itu nantinya. Dalam rangka pengembangan suatu Clinical

Pathway perlu dicapai kesepakatan melalui konsensus yang

disepakati bersama oleh semua anggota tim, sebab suatu

konsensus diperlukan untuk mengurangi hambatan dan resistensi

dalam pelaksanaan Clinical Pathway.

Clinical Pathways (Care Pathways, Critical Pathways,

Integrated Care Pathways, Care Maps) are one of the main tools

used to manage the quality in healthcare concerning the

standardization of care processes. It has been proven that their

implementation reduces the variability in clinical practice and

improves outcomes. Clinical Pathways promote organized and

efficient patient care based on the evidence based practice. Clinical

Pathways optimize outcomes in the acute care and homecare

settings.
“Clinical Pathway” merupakan perangkat bantu untuk

penerapan Standar Pelayanan Medik / SPM (evidence based

clinical practice guideline)”, olehkarenanya langkah dalam Clinical

Pathway seyogyanya dapat juga dilakukan pada sebagian besar

pasien dan mampu menghasilkan luaran yang diharapkan,

berdasarkan pada konsep diatas maka Clinical Pathway juga

merupakan perangkat penunjang bagi pemberlakuan SPM untuk

mendorong praktek klinik berbasis bukti. Kesimpulan dari

pengamatan yang dilakukan pada beberapa RS menunjukkan

bahwa sampai saat ini penerapan SPM masih belum sepenuhnya

dapat dilakukan, untuk mengatasi kesenjangan ini dapat dilakukan

upaya mengintegrasikan Clinical Pathway kedalam dokumen

rekam medis.

Selain sebagai perangkat bantu, Clinical Pathway juga

berfungsi sebagai perangkat koordinasi dan komunikasi bagi

semua petugas yang terlibat dalam tatakelola pasien.

Sebuah Clinical Pathway yang baik seyogyanya telah

mencakup 60%-80% populasi pasien, hal ini berarti bahwa Clinical

Pathway harus mampu mengantisipasi varians pada 20%-40%

pasien. Sebuah Clinical Pathway haruslah bersifat fleksibel untuk

mengantisipasi perubahan kondisi klinis pasien pada saat

perawatan, dengan kata lain Clinical Pathway harus mampu

mengakomodasi munculnya variasi dalam penerapannya.

Beberapa langkah dalam Clinical Pathway bisa saja tidak diambil

bila kondisi pasien diyakini sudah sangat baik, dan pada keadaan

tertentu dapat dilakukan tindakan ekstra bila kondisi klinis pasien

tidak menunjukkan perbaikan atau bahkan memburuk. Variasi yang


muncul dalam aplikasi Clinical Pathway harus dicatat dan

digunakan sebagai bahan evaluasi dari untuk meningkatkan

kesempurnaan Clinical Pathway.

2.9 Kerangka Teori

BPJS KESEHATAN
RUMAH SAKIT

BUDAYA
KERJA DOKTER

COST
PENGETAHUAN
CONTAINMENT

MANAGED
SIKAP
CARE

UTILITY
PERILAKU REVIEW

AUDIT
MEDIS
CASEMIX
INACBG’S

PROSES/ALUR CLINICAL
KLAIM PATHWAY

EFISIENSI
BIAYA PELAYANAN
KES EHATAN

Gambar 2.1 Kerangka Teori


BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Kerangka Konsep

Kerangka konsep yang dikembangkan dalam penelitian ini

adalah menganalisis tentang pengaruh budaya kerja dokter smf bedah

umum sebagai upaya dalam pengelolaan dan pengendalian biaya

pelayanan kesehatan sehingga terciptanya efisiensi biaya pelayanan

kesehatan rawat inap di Rumah Sakit Budi Kemuliaan Batam.

3.2 VARIABEL / OBYEK PENELITIAN

Variabel / obyek penelitian dalam penelitian ini adalah :

1. Budaya kerja dokter bedah umum

2. Pengetahuan dokter bedah umum tentang konsep ina-cbg’s

3. Pengetahhuan dokter tentang efisiensi biaya prosedur bedah

4. Kepatuhan terhadap clinical pathway

5. Pengetahuan tentang casemix

6. Pengendalian biaya dari prosedur tindakan

7. Manajemen klaim

3.3 DEFINISI OPERASIONAL

Tabel 3.2. Definisi Operasional Variabel

NO VARIABEL DEFINISI OPERASIONAL CARA UKUR INSTRUMEN


PENELITIAN
1 Budaya kerja Budaya kerja adalah suatu Skala Likert Kuesioner value
falsafah dengan didasari pasien
pandangn hidup sebagai nilai-
nilai yang menjadi sifat,
kebiasaan dan juga pendorong
yang dibudayakan dalam
suatu kelompok dan tercermin
dalam sikap menjadi perilaku,
cita-cita, pendapat, pandangan
serta tindakan yang terwujud
sebagai kerja. (Sumber : Drs.
Gering Supriyadi, MM dan Drs.
Tri Guno, LLM)
2 Pengetahuan Pengetahuan (knowledge) Skala Likert Kuesioner value
adalah suatu proses dengan petugas poliklinik
menggunakan pancaindra bedah umum
yang dilakukan seseorang
terhadap objek tetentu dapat
menghasilkan pengetahuan
dan keterampilan. (Hidayat,
2007).

3 Sistem Casemix System casemix adalah Observasi Pedoman Observasi


pengelompokan diagnosis dan Wawancara : Pedoman wawancara
prosedur dengan mengacu - Perawat
pada ciri klinis yang - Dokter
mirip/sama, pengelompokan bedah
dilakukan dengan software umum
grouper. - Coder
pelaksana
- Direktur
4 Clinical pathway Suatu cara untuk Telaah Dokumen Dokumen
menstandarisasikan praktik (peneliti dan dokter
klinis dan umumnya bedah umum)
dilaksanakan di rumah sakit.

5 Pengendalian biaya pengendalian biaya adalah Observasi Pedoman Observasi


(cost containment) penekanan atau pengendalian Perhitungan waktu Value Assesment
pembiayaan terhadap
berbagai sisi bisnis rumah
sakit dari mulai kepegawaian,
infrastruktur, peralatan, obat
obatan, bahan habis pakai,
dan seluruh aspek bisnis
lainnya di rumah sakit. Dimana
biasanya yang dilakukan
dengan mengubah sistem
pembiayaan, men-setting
ulang pembiayaan dan
controlling pembiayaan.
(Hanna Permana, 2010)
6 Managed care managed care adalah suatu Observasi Pedoman observasi
sistem yang mencoba (Value Added
mengintegrasikan antara Assesment / VAA)
pembiayaan dan pemberian
pelayanan kesehatan yang
sesuai bagi anggotannya.
Managed care merupakan
pendekatan komprehensif
yang melibatkan
perencanaan, pendidikan,
pemantauan, koordinasi,
pengendalian kualitas,
akses, pembiayaan, serta
kontrol pemanfaatan terlibat.
(WHO, 2000)

7 Efisiensi Efisiensi adalah tepat atau Observasi Pedoman observasi


sesuai untuk mengerjakan (Value Added
atau menghasilkan sesuatu Assesment / VAA)
(dengan tidak membuang-
buang waktu, tenaga, biaya),
mampu menjalankan tugas
dengan tepat dan
cermat, berdaya guna,
bertepat guna.

3.4 JENIS DAN RANCANGAN PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian yang bersifat

kuantitatif untuk menghitung kuisioner pengetahuan dokter dengan

skala likert dan deskriptif analitik dengan pendekatan kualitatif melalui

observasi, telaah dokumen dari tindakan bedah umum, wawancara

mendalam (in-depth interview) dan wawancara tidak terstruktur

dengan informan yang sudah dipilih dan ditentukan. Peneliti

senantiasa berusaha memahami lebih mendalam mengenai fenomena

yang terjadi dan permasalahan yang dialami informan dengan konsep

pembiayaan pasien BPJS.

3.5 SUBYEK PENELITIAN

Subyek penelitian (informan penelitian) dan atau responden

adalah dokter bedah umum penuh waktu dan paro waktu yang bekerja

di Rumah Sakit Budi Kemuliaan, koder dan kepala seksi casemix dan

direktur rumah sakit yang dapat diakses peneliti. Teknik ini juga

mempertimbangkan ketersediaan (availability) dan kesediaan

(willingness) individu untuk merespon penelitian. Prinsip yang di pakai

sebagai pertimbangan dalam pemilihan informan adalah sebagai

berikut :
1. Kesesuaian atau appropriateness, yaitu berdasarkan

pengetahuan yang dimilikinya serta kesesuaian dengan topik

penelitian

2. Kecukupan atau adequacy ,yaitu informan mampu

menggambarkan dan memberikan informasi yang cukup terhadap

topik penelitian yang di perlukan

3. Informan terlibat langsung dalam kegiatan yang diteliti

4. Informan memiliki waktu yang memadai untuk dimintai informasi

5. Informan tidak cenderung menyampaikan informasi atas hasil

pendapatnya sendiri

Tabel 3.3. : Tabel subyek penelitian yang di pilih

NO SUBYEK PENELITIAN JUMLAH KRITERIA

1 Pasien poliklinik bedah 6.567 - Umur diatas 17 th


umum rawat inap - Pasien datang pada jam
09.00 - 14.00
- Pasien poliklinik bedah
umum rawat inap
- Dapat membaca dan
menulis
- Bersedia untuk mengisi
angket penelitian

2 Pegawai poliklinik bedah 3 - Bekerja di poliklinik


umum (tenaga teknis bedah) bedah umum rawat inap
- Masa kerja di atas 2
tahun
- Status karyawan tetap
- Terlibat langsung di
pelayanan poliklinik
bedah umum rawat inap
Tabel 3.4. : Tabel informan triangulasi yang di pilih

NO SUBYEK PENELITIAN JUMLAH KRITERIA INFORMAN


TRIANGULASI

1 Dokter bedah umum 1 - Pejabat struktural


- Top level manajemen
- Pengambil keputusan
terhadap pelayanan
poliklinik bedah umum
rawat inap
- Masa kerja sebagai top
manajemen ≥ 5 tahun
2 Direktur 1

3 Coder pelaksana 1

3.6 ALAT DAN CARA PENGUMPULAN DATA

1. Alat Penelitian

Instrumen atau alat peneltian utama dalam penelitian

kualitatif adalah peneliti sendiri. Oleh karena itu, peneliti sendiri

perlu divalidasi yaitu berupa validasi mengenai pemahaman

metode penelitian kualitatif, penguasaan wawasan terhadap bidang

yang diteliti, dan kesiapan peneliti untuk memasuki obyek

penelitian, baik secara akademik maupun manajemennya.

Alat-alat penelitian yang lain adalah berupa :

a. Kuisioner yang berisi daftar pertanyaan untuk dokter bedah

umum dan koder pelaksana. Dokter bedah umum adalah dokter

yang bertugas di poliklinik bedah umum. Perawat bedah umum

adalah perawat yang bertugas membantu dokter di poiklinik

bedah umum.

b. Pedoman Wawancara yang berisi daftar pertanyaan yang

diajukan kepada informan terpilih dan kesesuaian pertanyaan

mencakup level manajerial dan operasional.


c. Pedoman Observasi atau panduan pengamatan berisi panduan

pengamatan terhadap fenomena kegiatan di pelayanan poliklinik

bedah umum dengan menghitung waktu seluruh aktivitas

pelayanan dan pengukuran fisik (denah dan jarak)

d. Check list kepatuhan clinical pathway

e. Alat bantu lainnya berupa : alat perekam, kamera, alat ukur

panjang, stop watch, kalkulator, alat tulis kantor dan sebagainya.

2. Cara Pengumpulan Data

a. Kuisioner

kuisioner berisi daftar pertanyaan untuk prosedur tindakan

bedah umum dan kriteria penilaian tingkat pengetahuan dokter

bedah umum yang disebarkan kepada responden (dokter bedah

umum dan koder pelaksana)

b. Telaah Dokumen

telaah dokumen dengan melakukan pencatatan terhadap data-

data pendukung yang diperlukan dan yang tersedia di RS. Budi

Kemuliaan Batam yang disebut sebagai data sekunder. Dokumen

ini berupa :

1. Data klaim BPJS

2. Resume medis

3. Utilisasi review tindakan bedah di RS. Budi Kemuliaan Batam

c. Observasi

Observasi merupakan dasar utk memperoleh data dan fakta yg

di perlukan. Observasi partisipatif adalah peneliti mengamati apa yg

dikerjakan dokter bedah umum dan koder pelaksana,

mendengarkan apa yg diucapkan dan berpartisipasi dalam aktivitas


yang diteliti. Peneliti memilih observasi partisipatif dengan alasan

mengharuskan peneliti terlibat langsung ke aktivitas yang akan

diteliti. Partisipasi aktif dilakukan dengan maksud dalam melakukan

observasi ikut melakukan apa yang di lakukan informan.

d. Wawancara

Wawancara mendalam (in-depth interview) dilakukan untuk

menggali informasi yang belum diperoleh atau belum secara penuh

diinformasikan kepada peneliti dengan menggunakan pedoman

wawancara.

3.7 SUMBER DATA PENELITIAN

1. Data Primer

Data primer merupakan data yang di peroleh langsung dari

sumber pertama baik secara individu seperti hasil interview maupun

pengisian kuesioner. Data primer yang di gunakan dalam penelitian ini

adalah data yang di peroleh melalui kuesioner dokter bedah umum

yang disebarkan kepada dokter bedah umum dan koder pelaksana di

RS. Budi Kemuliaan Batam yang memenuhi kriteria inklusi. Data

primer juga di peroleh dari obsevasi langsung terhadap proses

pelayanan di poliklinik bedah umum RS. Budi Kemuliaan Batam serta

wawancara mendalam dan wawancara tidak terstruktur dengan

informan terpilih. Informan tersebut dianggap akan memberikan

informasi secara cukup dan sesuai kebutuhan peneliti. Hasil dari

wawancara tersebut akan diteliti kembali melalui observasi ulang

dengan tujuan apakah sesuai apa yang sebenarnya terjadi di lapangan

namun dapat mengkoreksi data yang kurang sesuai jika di temukan.


2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data klaim pasien BPJS yang telah diolah lebih

lanjut dan disajikan baik oleh pihak pengumpul data primer atau pihak

lain. Dalam penelitian ini data sekunder diperoleh dari hasil pencatatan

unit terkait dan telaah dokumen sesuai standar prosedur operasional

alur pelayanan di poliklinik bedah umum, jurnal, buku acuan dan

sumber lainnya yang terkait dengan penelitian ini.

3.8 TEHNIK PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA

Setelah proses pengumpulan data dari berbagai metode yaitu

kuisioner, wawancara mendalam, observasi, telaah dokumen dan

dokumentasi maka dilakukan pengolahan data. Terdapat dua hal

penting yang dilakukan oleh peneliti dalam mengolah data yaitu data

reduction dan data display. Data reduction diperlukan apabila data

yang diperoleh di lapangan cukup banyak, karena semakin lama turun

ke lapangan akan diperoleh semakin banyak data maka akan semakin

kompleks dan rumit. Oleh karena itu dilakukan reduksi data dengan

segera.

Proses pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan melalui

beberapa tahapan sebagai berikut :

a. Persiapan penelitian

Persiapan penelitian dilakukan dengan mempersiapkansurat

perizinan, mempersiapkan checklist wawancara, kuesioner

terstruktur, peralatan tulis dan dokumentasi.

b. Tahap Pelaksanaan

1. Mengelompokkan data klaim pelayanan bedah

2. Mengevaluasi data klaim

3. Pembuatan utility review 5 (lima) tindakan bedah


4. Telaah dokumen resume medis

5. Pengecekan kepatuhan terhadap Clinical Pathway

6. Wawancara mendalam dengan dokter bedah umum dan koder

pelaksana.

Anda mungkin juga menyukai