Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH HAK ASASI MANUSIA

PELAYANAN KESEHATAN UNTUK MASYARAKAT MISKIN DAN


TIDAK MAMPU

Oleh
Hermin Hidayati Pratiwi
NIM : 20210620064

PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HANG – TUAH


SURABAYA TAHUN 2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Indonesia merupakan negara kepulauan yang terbentang dari Sabang hingga
Merauke. Indonesia juga memiliki keragaman suku, budaya, bahaya, serta agama.
Berdasarkan data dari Worldometers, Indonesia menempati peringkat 15 negara terbesar
atau terluas di dunia. Luas Indonesia adalah 1.904.569 Km² dan luas darat 1.811.570
Km². Luasnya adalah sekitar 1,2 persen dari luas daratan dunia1. Kemendagri melalui
Direktorat Jenderal Dukcapil baru saja merilis Data Kependudukan Semester II Tahun
2021 tanggal 30 Desember 2021. Isinya, diketahui jumlah penduduk Indonesia adalah
273.879.750 jiwa2 Dengan luasnya wilayah negara, serta banyaknya populasi penduduk,
tentunya menjadi permasalahan tersendiri bagi pemerintah Indonesia.i9asalah kesehatan
merupakan salah satu masalah yang harus dihadapi oleh pemerintah Indonesia. Karena
dengan banyaknya penduduk serta struktur geografis Indonesia yang merupakan negara
kepulauan, secara otomatis penyebaran fasilitas Kesehatan maupun tenaga Kesehatan
menjadi kendala untuk pemerataan pelayanan Kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Ditambah dengan tingkat ekonomi rakyat Indonesia, makin menambah peliknya masalah
Kesehatan di Indonesia.
Menurut data IMF pendapatan perkapita Indonesia dalam hal ini diukur dari
Produk Domestik Bruto, disingkat dengan PDB sangat jauh dibawah pendapatan PDB
negara maju3. Jadi untuk dikatakan Ekonomi Indonesia baik, jelas tidak mungkin.
Rendahnya pendapatan per kapita Indonesia menjadi salah satu hambatan pemerintah
dalam upaya meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup rakyatnya. Hal ini bisa
dilihat dari mutu pelayanan Kesehatan di Indonesia.
Tak dapat dipungkiri, kualitas pelayanan Kesehatan di Indonesia jauh tertinggal
bila dibandingkan dengan negara maju. Bahkan bila dibandingkan dengan negara
tetangga, misal Singapura dan Malaysia, mutu Kesehatan di Indonesia masih tertinggal.
Walaupun mutu Kesehatan Indonesia masih kalah dengan negara tetangga, akan tetapi
kualitas tenaga medis di Indonesia tidak kalah dari negara lain. Hal ini terlihat ada
1
Rendika Ferri Kurniawan, 10 Negara Terbesar di Dunia, Indonesia Posisi Berapa?,
www.kompas.com yang diakses pada 19 Mei 2022 Jam 20.00 WITA
2
Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, 237 juta Penduduk Indonesia Terupdate
Menurut Kemendagri, www.dukcapil.kemendagri.go.id yang diakses pada 19 Mei 2022 Jam 20.15 WITA
3
Dwi Hadya Jayani, Berapa Perbandingan PDB per Kapita Indonesia dan Negara Maju, dalam
www.databoks.katadata.co.id. yang diakses tanggal 18 Mei 2022 Jam 21.00 WITA
beberapa mahasiswa kedokteran berasal dari negara tetangga yang menimba ilmu di
beberapa Universitas di Indonesia.
Selain tingkat Pendidikan serta Ekonomi, Kesehatan juga merupakan ukuran
untuk menentukan mutu dari sumber daya manusia (Human Development Index ).
Kesehatan adalah hak dasar setiap individu dan semua warga negara berhak
mendapatkan pelayanan kesehatan termasuk masyarakat miskin4. Sebagaimana tertuang
dalam pasal 28 ayat (1) H Undang Undang Dasar 1945, yang berbunyi “Setiap orang
berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan
hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan Kesehatan”.
Untuk mewujudkan sebuah pelayanan kesehatan yang baik dibutuhkan sebuah
sistem atau perangkat jasa pelayanan kesehatan. Konsep keberlangsungan jasa pelayanan
kesehatan ini sudah tentu membutuhkan dukungan personel yang besar, teknologi
kesehatan yang tinggi, dan keahlian tenaga kesehatan yang memadai.
Sejatinya sistem Kesehatan di Indonesia sudah tampak sejak jaman Hindia
Belanda. Hal ini seperti yang disebutkan dalam jurnal Health Financing in
Indonesia (Bank Dunia, 2009) dipaparkan bahwa cikal-bakal jaminan biaya untuk
kesehatan masyarakat sudah ada sejak zaman Hindia Belanda. Pada 1938, pegawai
pemerintah dan keluarganya mendapat santunan biaya perawatan rumah sakit dari
pemerintah kolonial5.
Seperti kita ketahui bersama, sistem jaminan Kesehatan di Indonesia mengalami
perubahan dalam waktu ke waktu. Terakhir, pada masa pemerintahan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono, mengeluarkan Undang Undang No 40 tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional (selanjutnya disebut sebagai UU SJSN). Pada tahun 2011,
pemerintah menetapkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dan menunjuk PT Askes
(Persero) untuk menjadi penyelenggara program jaminan sosial dengan skema asuransi
sosial di bidang kesehatan dan namanya diubah menjadi Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS Kesehatan). Tepatnya 1 Januari 2014, terwujud transformasi dari PT Askes
menjadi BPJS Kesehatan melalui program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia
Sehat (JKN-KIS)6.

4
Ratu Ayu Pamularsih, Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Melalui BPJS di Rumah Sakit, Tesis,
program studi magister ilmu hukum Universitas Islam Indonesia, 2015, h.2
5
Kendar umi kulsum, perjalanan sistem jaminan Kesehatan di Indonesia, www.kompas.id, diakses
tanggal 18 Mei 2022 jam 21.30 WITA
6
ibid
Setelah jaminan Kesehatan di Indonesia berubah menjadi BPJS Kesehatan,
masalah terkait pelayanan Kesehatan di Indonesia tidak berkurang. Keluhan demi
keluhan baik dari sisi peserta BPJS maupun dari penyedia layanan, dalam hal ini rumah
sakit, klinik, dokter praktek mandiri, maupun puskesmas. Ada empat keluhan yang
paling sering dikeluhkan oleh peserta BPJS Kesehatan. Permasalahan yang pertama
adalah masalah antrian, kapan pasien akan dilayani, kapan pasien bertemu dokter. Kedua
ditolak di rumah sakit padahal sebagain merasa yakin padahal umum ada tapi BPJS
ternyata tidak melayani. Ketiga adalah masalah pelayanan tindakan tertentu seperti
operasi yang kerap mundur atau sulitnya mendapatkan jadwal Tindakan. Terakhir
masalahnya adalah perihal administrasi surat rujukan yang harus selalu diupdate
khususnya peserta dengan biaya penyakit yang butuh biaya besar seperti cuci darah atau
masalah ginjal7.
Selain dari peserta, keluhan juga berasal dari pemberi pelayanan. Dari klinik
sampai Rumah sakit pernah merasakan tunggakan pembayaran oleh BPJS. Rumah Sakit
sebagai fasilitas Kesehatan yang mempunyai fungsi salah satunya adalah sebagai
penyedia dan penyelenggara pelayanan medis, pelayanan perawatan, pelayanan
rehabilitasi, pencegahan dan peningkatan Kesehatan8. Rumah Sakit tentunya juga
memiliki kendala apabila pembayaran klaim yang tidak lancar. Selain itu klaim pending
maupun klaim dispute menjadi masalah tersendiri bagi RS.
Setelah adanya jaminan Kesehatan berdasarkan UU SJSN, pelayanan Kesehatan
bagi masyarakat tidak mampu tidak serta merta hilang. Hal ini disebabkan, masih banyak
masyarakat Indonesia belum mendaftarkan diri sebagai peserta BPJS. BPJS Kesehatan
mencatat, peserta JKN sebanyak 229,51 juta orang pada November 2021. Jika
dibandingkan dengan populasi Indonesia, maka 83,89% penduduk di dalam negeri telah
mengikuti program JKN. Sedangkan, sisanya sebanyak 16,11% penduduk Indonesia
masih belum terdaftar di program tersebut. Secara rinci, jumlah peserta aktif BPJS
Kesehatan mencapai 190,38 juta orang hingga November 2021. Sementara jumlah
peserta non-aktif BPJS sebesar 39,14 juta orang. Berdasarkan segmennya, peserta yang
masuk kategori penerima bantuan iuran (PBI) sebanyak 99,15 juta orang. Sebanyak
40,71 juta peserta masuk kategori pekerja penerima upah (PPU). Ada pula 30,92 juta

7
Apfia Tioconny Blly, Empat Keluhan Peserta Soal Layanan BPJS Kesehatan, www.tribunnews.com,
yang diakses pada tanggal 18 Mei 2022
8
Pitono Soeparto, et al, Etik dan Hukum di Bidang Kesehatan, cetakan ke-2 Edisi kedua, Airlangga
University Press, Surabaya, 2011 hal. 36
peserta yang merupakan pekerja bukan penerima upah (PBPU). Kemudian, 4,4 juta
peserta masuk kategori bukan pekerja (BP)9.
Sedangkan menurut data Kementerian Sosial (Kemensos) masyarakat yang
menerima PBI BPJS Kesehatan sekitar 74,4 juta identitas masyarakat miskin. Masih
terdapat 22,3 juta orang yang belum teregistrasi. Dengan kuota PBI sebanyak 96,8 juta
orang, berarti terdapat sekitar 24.179.655 juta jiwa yang belum terdaftar sebagai
penerima PBI. Tetapi di dapatkan data sebanyak 12.633.338 orang di antaranya sudah
teridentifikasi, tetapi identitas mereka belum masuk Data Terpadu Kesejahteraan Sosial
(DTKS). Dengan demikian, masih tersisa 9.746.317 kuota PBI yang belum terpakai.
Kuota tersisa ini, kata, nanti akan diisi setelah ada perbaikan data di daerah. Perbaikan
itu berupa data migrasi PBI daerah menjadi PBI nasional, data bayi baru lahir yang saat
ini belum memiliki NIK, dan data pekerja yang sudah enam bulan menganggur karena
PHK10.
Fakta di lapangan berkata bahwa, ada masyarakat yang tergolong tidak mampu,
tetapi tidak masuk dalam kepersertaan PBI BPJS Kesehatan. Hal ini bisa menjadi
masalah bagi Pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Masing-
masing daerah memilik kebijakan berbeda-beda. Sebagai contoh di daerah Lombok Barat
Provinsi NTB, masyarakat yang tidak mampu dan membutuhkan pelayanan Kesehatan
bisa memakai Bantuan Biaya yang diterbitkan oleh Dinas Kesehatan setempat dengan
dana yang berasal dari anggaran daerah. Akan tetapi tarif pelayanan yang disepakati
maksimal 7,5 juta, apabila tarif pelayanan melebihi kuota, maka dibebankan kepada
pasien. Bila ternyata pasien tidak mampu bayar kelebihan kuota, hal ini otomatis menjadi
beban bagi Rumah Sakit.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka pokok permasalahan yang akan
dibahas dalam penelitian ini meliputi :
1. Bagaimana Jaminan Sosial masyarakat kurang mampu yang bukan peserta BPJS di
Kabupaten Lombok Barat dalam mendapatkan pelayanan Kesehatan?
2. Bagaimana mutu pelayanan Kesehatan masyarakat Miskin dan tidak mampu di
Kabupaten Lombok Barat?
9
M. Ivan Mahdi, Peserta BPJS Kesehatan Capai 229,51 Juta Hingga November 2021,
www.dataIndonesia.id yang diakses pada 18 Mei 2022 Jam 23.00 WITA
10
Febryan A, Agus Raharjo, Sebanyak 22,3 Juta Warga Miskin Belum Teregistrasi PBI BPJS,
www.republika.co.id yang diakses pada 19 Mei 2022 Jam 20.00 WITA
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk menganalisa Jaminan Sosial masyarakat kurang mampu yang bukan peserta
BPJS di Kabupaten Lombok Barat dalam mendapatkan pelayanan Kesehatan.
2. Untuk menganalisa mutu pelayanan Kesehatan masyarakat Miskin dan tidak mampu
di Kabupaten Lombok Barat.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Jaminan Sosial masyarakat kurang mampu yang bukan peserta BPJS dalam
mendapatkan pelayanan Kesehatan
Sesuai amanat yang terdapat di dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28
ayat (1) huruf h bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat
tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan Kesehatan”. Maka pemerintah membuat UU SJSN serta
Undang-Undang Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(selanjutnya disebut UU BPJS) yang mengatur tentang jaminan Sosial bagi seluruh
Rakyat Indonesia.
Konsepsi itu dapat dilihat dalam Undang-Undang 1945 Pasal 28 ayat (1) huruf h
yang dengan tegas menyatakan bahwa, setiap orang berhak hidup sejahtera, lahir
bathin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat
serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan, dan berhak mendapatkan kemudahan
dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna
mencapai persamaan dan keadilan, serta berhak atas jaminan sosial yang
memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.
Menurut Mukti Ali Gufron, Asuransi Kesehatan adalah suatu sistem manajemen
resiko sosial berupa munculnya biaya kebutuhan medis karena sakit yang beresiko
dipadukan (pooled) atau dipindahkan dari individu ke kelompok dengan kepesertaan
yang bersifat wajib, dimana kontribusi diatur oleh peraturan tanpa memperhatikan
tingkat resiko individu, kontribusi terkait pendapatan (biasanya dalam bentuk
persentase pendapatan), berorientasi not for profit untuk meningkatkan kesehatan dan
kesejahteraan masyarakat, dikelola secara profesional dan suprlus dikembalikan
lagi ke masyarakat untuk memberikan pelayanan yang lebih baik11.
Tidak semua program pemerintah berjalan dengan keinginan masih banyak
masyarakat miskin yang mengeluh dan keluarga terlantar yang merasa terabaikan dalam
memperoleh pelayanan kesehatan karena tidak mampu membayar. Penolakan pasien
yang dilakukan oleh Rumah Sakit tidak sesuai dengan Amandemen Undang-Undang

11
Mukti AG, Reformasi Sistem Pembiayaan Kesehatan di Indonesia dan Prospek ke Depan, Magister
Kebijakan dan Manajemen Asuransi Kesehatan, Yogyakarta, 2007, hal. 33
Dasar 1945 kesehatan atau hak asasi. Tanggung jawab pemerintah sesuai dengan Pasal
34 Undang-Undang Dasar 1945 dibuat program pemenuhan perlindungan kesehatan
keluarga miskin. Di dalam Undang-Undang BPJS pun tidak di jelaskan secara rinci
pertanggung jawaban pemerintah terhadap masyarakat untuk memenuhi hak- hak
warga Negaranya sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945. Akan
tetapi dalam Undang-Undang No 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit dijelaskan
tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah.
Menurut UU SJSN, UU BPJS, serta Peraturan Presiden Nomor 82 tahun 2018
tentang Jaminan Kesehatan, kepesertaan BPJS PBI adalah fakir miskin serta orang tidak
mampu, yang kepesertaannya ditetapkan oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang sosial. BPJS PBI hanya akan dicairkan pemerintah kepada
orang-orang dari golongan fakir miskin dan orang tidak mampu. Menurut laman BPJS
Kesehatan, fakir miskin adalah orang yang sama sekali tidak memiliki sumber mata
pencaharian dan atau memilikinya tapi tidak pendapatannya tidak bisa dipakai
memenuhi kebutuhan dasar yang layak untuk diri dan atau keluarganya. Sementara itu,
orang tidak mampu merupakan orang yang memiliki mata pencaharian, gaji atau upah
namun hanya bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar yang layak. Dia tidak
bisa membayar iuran kepesertaan jaminan kesetan untuk dirinya dan keluarganya12.
Pada praktek nyata, masih banyak masyarakat miskin dan tidak mampu belum
menjadi peserta BPJS PBI. Hal ini bisa dimaklumi, karena sesuai dari data Kementerian
Sosial (Kemensos), bahwa masih ada kuota untuk dimasukkan menjadi peserta BPJS
PBI. Apalagi pada Agustus 2019 ada penon-aktifan peserta BPJS PBI oleh Kemensos.
Adapun Alasan penonaktifan tersebut menurut Kemensos dikarenakan sebanyak 5,1 juta
peserta memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK) tidak jelas. Tambah lagi, sejak
2014 para peserta tidak pernah menggunakan fasilitas layanan kesehatan. Selain itu,
sebanyak 114.000 jiwa telah meninggal, memiliki data ganda dan pindah pada segmen
kepesertaan lainnya13. Sedangkan untuk Kabupaten Lombok Barat sendiri masih
banyaknya warga miskin yang belum tercover BPJS. Pasalnya dari sekitar 121 ribu
penduduk miskin dan tidak mampu di Lombok Barat, yang mendapatkan bantuan
kesehatan untuk katagori Penerima Bantuan Iuran (PBI) hanya 92 ribu jiwa. Kemudian
dari 92 ribu jiwa data penerima PBI yang terverifikasi baru 74 ribu jiwa. Sehingga dapat

12
Yulaika Ramadhani, Apa Itu BPJS PBI dan Bedanya dengan BPJS Non PBI : Perbedaan Faskes,
www.tirto.id yang diakses 25 Mei 2022 Jam 22.00 WITA.
13
Locataru Foundatioan, Penonaktifan PBI Salah Sasaran, Masyarakat Miskin Jadi Korban,
www.locataru.id yang diakses 19 Mei 2022 Jam 23.00 WITA
disimpulkan, masih banyak masyarakat miskin dan tidak mampu yang belum
mendapatkan jaminan dalam mendapatkan pelayanan Kesehatan.
Untuk mensiasati permasalahan masyarakat miskin dan tidak mampu akan
kebutuhan terhadap pelayanan Kesehatan, maka Pemerintah Daerah (Pemda)
mempunyai kebijakan. Sebagai contoh, untuk Pemda Lombok Barat, mempunyai
Program Penjaminan Kesehatan dengan menggunakan Jaminan Kesehatan Sosial
(Jamkessos) yang diatur dalam Peraturan Bupati Lombok Barat Nomor 3B tahun 2019
tentang Bantuan Pelayanan Kesehatan Bagi Masyarakat Miskin dan Tidak Mampu yang
Tidak Memiliki Jaminan Kesehatan di Kabupaten Lombok Barat. Untuk mendapatkan
bantuan sosial Kesehatan ini gampang-gampang susah, karena harus melengkapi
persyaratan. Adapun persyaratan yang dimaksud sesuai dengan Perbup pasal 4 adalah
sebagai berikut:
1. Fotocopy Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau Kartu Keluarga (KK), bila tidak
ada dapat melampirkan Surat Keterangan Domisili dari Desa;
2. Surat Keterangan Tidak mampu (SKTM) dari Desa mengetahui Camat;
3. Surat Rekomendasi dari Kantor Dinas Sosial Kabupaten Lombok Barat; dan
4. Surat keterangan Rawat Inap dari Rumah sakit yang bekerja sama dengan Dinas
Kesehatan Lombok Barat.
Walaupun sudah ada Perbup Lombok Barat Nomor 3B tahun 2019, masalah
terkait pelayanan Kesehatan masyarakat Miskin dan tidak mampu tidak serta merta
hilang. Hal ini dikarenakan ada Batasan besaran klaim yang ditanggung. Besaran klaim
yang dibayarkan untuk tahun 2020 lalu maksimal Rp 5 juta. Tetapi pada tahun 2021 ini
biaya klaim itu dinaikan hingga angka maksimal Rp 7,5 juta 14. Dengan kata lain apabila
biaya klaim saat dirawat inap sudah mencapai angka maksimal, biaya dibebankan
kepada pasien dan keluarga, yang dalam hal ini adalah masyarakat miskin dan tidak
mampu. Padahal fakta dilapangan tidak sedikit masyarakat Miskin dan tidak mampu
yang memerlukan pelayanan Kesehatan intensif maupun pembedahan. Seperti kita
ketahui bersama bahwa biaya pengobatan Intensif maupun pembedahan itu tidak sedikit,
hal ini menyebabkan nilai klaim lebih sering menyentuh angka Rp 7,5 juta.
Banyak kasus yang dijumpai pasien yang dalam hal ini masyarakat miskin dan
tidak mampu yang tidak memiliki BPJS, tidak mampu melanjutkan perawatan di Rumah
Sakit karena tidak sanggup membayar selisih biaya. Dalam hal ini dimana tanggung
14
Yudina, Masih Banyak Warga Miskin di Lobar yang Belum Tercover PBI BPJS Kesehatan,
https://insidelombok.id/berita-utama/masih-banyak-warga-miskin-di-lobar-yang-belum-tercover-pbi-bpjs-
kesehatan yang diakses pada 9 Juli 2022 jam 20.00 WITA.
jawab Pemerintah dalam memenuhi hak warga Negara Indonesia terutama masyarakat
Miskin dan Tidak Mampu dalam memenuhi hak untuk mendapatkan pelayanan
Kesehatan? Padahal menurut data disebutkan sebelumnya masih ada kuota untuk
pendaftaran BPJS PBI. Ditambah banyak yang mengalami penon-aktifan sepihak BPJS
PBI dari kemensos, hal ini menambah derita Masyarakat Miskin dan Tidak Mampu
dalam menuntut pelayanan Kesehatan yang optimal dan setara dengan warga negara
lainnya.

B. Mutu Pelayanan Kesehatan Masyarakat Miskin dan Tidak Mampu di Kabupaten


Lombok Barat
Menurut kamus Bahasa Indonesia, mutu adalah ukuran, derajat, atau taraf
tentang baik buruknya suatu produk barang atau jasa. Mutu adalah perpaduan sifat-
sifat dan karakteristik produk atau jasa yang dapat memenuhi kebutuhan pemakai
atau pelanggan15. Menurut A.A. Gde Muninjaya, mutu adalah apa yang diharapkan atau
ditentukan oleh konsumen16.
Gaspersz mendefinisikan bahwa mutu adalah totalitas karakteristik suatu produk
barang dan jasa yang menunjang kemampuan untuk memenuhi kebutuhan yang
dispesifikasikan dan mutu seringkali diartikan sebagai segala sesuatu yang memuaskan
pelanggan atau kesesuaian terhadap persyaratan kebutuhan17. Sedangkan menurut
Jacobalis, sangat subyektif, tergantung pada persepsi, system nilai, latar belakang sosial,
pendidika, ekonomi, budaya, dan masih banyak factor lagi pada masyarakat atau pribadi
yang terkait dengan jasa pelayanan18. Dari beberapa definisi tersebut, maka dapat
diketahui bahwa mutu adalah ukuran yang dibuat oleh konsumen terhadap produk
atau jasa yang dilihat dari segala dimensi atau karakteristik untuk memenuhi tuntutan
kebutuhan, keamanan, dan kenyamanan konsumen.
Mutu Pelayanan Kesehatan adalah tingkat layanan kesehatan untuk individu dan
masyarakat yang dapat meningkatkan luaran kesehatan yang optimal, diberikan sesuai
dengan standar pelayanan, dan perkembangan ilmu pengetahuan terkini, serta untuk
memenuhi hak dan kewajiban pasien. Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah suatu alat
dan/atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan

15
Bustami. Penjamin Mutu Pelayanan Kesehatan dan Akseptabilitasnya. Erlangga, Jakarta, 2011
16
Muninjaya, Gde AA, Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan, EGC, Jakarta, 2011
17
Gaspersz, V., Manajemen Kualitas dalam Industri Jasa, Gramedia: Pustaka Utama, Jakarta, 2002
18
Jacobalis. Menjaga mutu pelayanan rumah sakit, PERSI, Jakarta, 2003
baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah
pusat, pemerintah daerah, dan atau masyarakat19.
Sehubungan dengan proses pemberian pelayanan, maka terdapat beberapa
dimensi atau ukuran yang dapat dilihat melalui kacamata mutu. Ukuran-ukuran inilah
yang kemudian menjadi karakteristik dari mutu pelayanan 20. Menurut Parasuraman,
Zeithaml, dan Berry (2007) melalui penelitiannya mengidentifikasi sepuluh dimensi
pokok, yaitu daya tanggap, kehandalan, kompetensi, kesopanan, akses, komunikasi,
kredibilitas, kemampuan memahami pelanggan, keamanan dan bukti fisik. Pada
penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Parasuraman, dkk (2010), diperoleh lima
dimensi utama yaitu bukti fisik, daya tanggap, kehandalan, jaminan, dan empati, yang
dikenal sebagai Service Quality (ServQual)21:
1. Bukti fisik atau bukti langsung (tangible), dapat berupa ketersediaan sarana dan
prasarana termasuk alat yang siap pakai serta penampilan karyawan /staf yang
menyenangkan.
2. Kehandalan (reliability), adalah kemampuan memberikan pelayanan Kesehatan tepat
waktu dan akurat sesuai dengan yang ditawarkan. Dari kelima dimensi kualitas jasa,
reliability dinilai paling penting oleh para pelanggan berbagai industry jasa.
3. Daya tanggap (responsiveness), yaitu keinginan para karyawan/staf membantu
semua pelanggan serta berkeinginan dan melaksanakan pemberian pelayanan
dengan tanggap.
4. Jaminan (assurance), artinya karyawan/staf memiliki kompetensi, kesopanan dan
dapat dipercaya, bebas dari bahaya, serta bebas dari risiko dan keragu-raguan.
5. Empati (empathy), dalam hal ini karyawan/staf mampu menempatkan dirinya pada
pelanggan, dapat berupa kemudahan dalam menjalin hubungan dan komunikasi
termasuk perhatiannya terhadap para pelanggannya, serta dapat memahami
kebutuhan dari pelanggan
Menurut Fitzsimmons dan Fitzsimmons (2009) mutu pelayanan terdiri dari lima
aspek yang mempengaruhi, yaitu22:
1. Realibility yang ditandai pemberian pelayanan yang tepat dan benar
19
Galih Hendradita, Indikator Mutu Nasional Rumah Sakit di Indonesia 2021,
www.galihendradita.wordpress.com diakses pada 24 Mei 2022 Jam 20.00 WITA
20
Ali Ghufron Mukti, Strategi Terkini Peningkatan Mutu Pelayanan Kesehatan: Konsep dan
Implementasi, Pusat Pengembangan Sistem Pembiayaan dan Manajemen Asuransi/ Jaminan Kesehatan
Fakultas Kedkteran Universitas Gajah Mada, 2007.
21
Loc. Cit.
22
Fitzsimmons, James A. dan Mona J. Fitzsimmons. 2009. Service Management for Competitive
Advantage. New York : McGraw-Hill Inc
2. Tangibles yang ditandai dengan penyediaan yang menandai sumber daya
manusia dan sumber daya lainnya
3. Responsiveness yang ditandai dengan keinginan melayani konsumen dengan cepat.
4. Assurance yang ditandai tingkat perhatian terhadap etika dan moral dalam
memberikan pelayanan
5. Empaty yang ditandai tingkat kemauan untuk mengetahui keinginan dan
kebutuhan masyarakat.
Kelima dimensi tersebut diatas dikenal sebagai Service Quality
(ServQual). Dimensi-dimensi ini diperoleh melalui wawancara terhadap para
pelanggan untuk mengetahui atribut apa saja yang diharapkan para pelanggan dari
perusahaan atau instansi tertentu. Inti dari ServQual adalah melakukan
pengukuran antara harapan (ekspektasi) dan persepsi (realitas) pelayanan yang diterima.
Dengan cara dibandingkan nilai antara harapan dan persepsi. Jika harapan sama
dengan persepsi layanan kesehatan yang diterima berarti mereka puas. ServQual
merupakan salah satu model yang banyak dipakai untuk mengukur kepuasan pelanggan
dengan cara membuat penilaian kepuasan pelanggan secara komprehensif bagi pelayanan
di bidang barang dan jasa yang mengutamakan aspek pelayanan. Model ini
menganalisis gap (kesenjangan) antara persepsi dan ekspektasi (harapan) pelanggan
terhadap kualitas layanan melalui beberapa dimensi yaitu tangible, responsiveness,
reliability, assurance, dan emphaty.
Menurut World Health Organization (WHO) mutu Kesehatan dapat dipenuhi
dengan memperhatikan dimensi mutu, yang meliputi :
1. Efektif / Effective, Pelayanan kesehatan yang erat pada basis bukti dan berhasil
dalam meningkatkan luaran kesehatan individu atau komunitas berdasarkan
kebutuhan.
2. Efisiensi / Efficient, Pelayanan kesehatan yang memaksimalkan sumber daya dan
menghindari pemborosan.
3. Mudah diakses / Accessible, Pelayanan kesehatan yang tepat waktu, wajar secara
geografis, dan disediakan dalam kerangka yang tepat dari sisi keterampilan dan
sumber daya untuk memeuhi kebutuhan.
4. Diterima / Accepted (Patient-centred), Pelayanan kesehatan yang
mempertimbangkan pilihan dan aspirasi individu pengguna layanan dan budaya
komunitasnya.
5. Tidak berpihak / Equity, Pelayanan kesehatan yang tidak berbeda dalam kualitas
karena karakteristik personal seperti gender, ras, etnis, lokasi geografis, dan status
sosio ekonomi23.
Menurut Ali Gufran, 2007; istilah mutu memiliki banyak penafsiran yang
mungkin berbeda-beda, ketika ia digunakan untuk menggambarkan sebuah produk atau
pelayanan tertentu. Bisa saja beberapa orang mengatakan bahwa sesuatu dikatakan
bermutu tinggi ketika sesuatu tersebut dianggap lebih baik, lebih cepat, lebih cemerlang,
lux, lebih wah dan biasanya lebih mahal dibandingkan produk atau layanan yang
mutunya dianggap lebih rendah. Hal ini tentu tidak sepenuhnya benar. Beberapa orang
mengartikan layanan kesehatan bermutu adalah layanan yang memuaskan pelanggan.
Padahal layanan yang diberikan tidak memenuhi standar pelayanan medis profesional.
Bahkan bisa terjadi di sebuah institusi layanan kesehatan seperti rumah sakit jika pasien
datang di Unit Gawat Darurat langsung ditangani “diinfus”. Pasien puas karena mereka
merasa langsung “ditangani” padahal infus tidak selalu diperlukan. Bahkan jika tidak
terkontrol dapat menimbulkan efek samping seperti oedem pulmo24.
Ada dilema dalam upaya untuk mewujudkan mutu dalam layanan kesehatan.
Pada satu pihak mutu juga diartikan sejauh mana layanan kesehatan yang diberikan
sesuai dengan standard operating procedure (SOP) atau prosedur tetap medis. Ketika
SOP tersebut dilaksanakan seperti misalnya di beberapa rumah sakit milik pemerintah,
dianggap oleh pasien terlalu lama dan berbelit-belit. Dari pihak lainnya, menurut
kacamata pasien, justru rumah sakit pendidikan milik pemerintah dianggap kurang
bermutu dibanding rumah sakit swasta yang bisa lebih cepat karena prosedur yang
diterapkan lebih fleksibel.
Lebih lanjut dalam uraian Ali Gufran, 2007; layanan bermutu dalam pengertian
yang luas diartikan sejauh mana realitas layanan kesehatan yang diberikan sesuai
dengan kriteria dan standar profesional medis terkini dan baik yang sekaligus telah
memenuhi atau bahkan melebihi kebutuhan dan keinginan pelanggan dengan tingkat
efisiensi yang optimal. Abstrak mutu dapat dinilai dan diukur dengan berbagai
pendekatan. Pendekatan maupun metode pengukuran yang digunakan dalam upaya
meningkatkan mutu tersebut telah tersedia baik dari dimensi input, proses dan output.

23
Robertus Arian Datusanantyo, Menyusun Indikator Mutu Rumah Sakit,
www.mutupelayanankesehatan.net yang diakses pada 25 Mei 2022 Jam 23.00 WITA
24
Fitzsimmons, James A. dan Mona J. Fitzsimmons. 2009. Service Management for Competitive
Advantage. New York : McGraw-Hill Inc
Mutu memiliki karakteristik melakukan pelayanan yang benar dengan cara yang benar,
pertama benar dan selanjutnya diharapkan benar25.
Pada tulisan ini kita akan membahas, bagaimana mutu pelayanan Kesehatan di
Kabupaten Lombok Barat. Untuk mengetahui apakah pelayanan Kesehatan yang
diterima oleh masyarakat itu sudah optimal atau tidak, setiap rumah sakit memiliki
Standar Operational Procedure serta ada clinical pathway untuk dapat mengedalikan
mutu dan biaya. Selain itu untuk meningkatkan mutu pelayanan Kesehatan, kementerian
Kesehatan mengeluarkan beberapa aturan, diantaranya:
1. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2019 tentang
Standar Teknis Pemenuhan Mutu Pelayanan Dasar pada Standar Pelayanan Minimal
Bidang Kesehatan.
2. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 129/Menkes/SK/II/2008
tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit.
Walaupun terkait tentang standar pelayanan Kesehatan sudah ada aturan hukum
yang mengatur, tetapi pada kenyataannya sering tidak sinkron. Hal ini terutama dialami
oleh pasien-pasien yang kurang mampu dan miskin tetapi tidak memiliki kartu BPJS
baik PBI maupun mandiri. Misalnya pada pasien yang di diagnosa Anemia Aplastik,
pasien memerlukan transfusi sampai 8 kantong darah bahkan bisa lebih, pada akhirnya
memilih tidak melanjutkan Rawat Inap, karena keuangan tidak mencukupi untuk
membayar sisa tagihan rumah sakit. Ditambah ada juga pasien yang tidak melanjutkan
pengobatan di pelayanan Rawat Jalan untuk penyakit kronisnya dikarenakan kuota
bantuan hanya diperuntukkan hanya 1 kali rawat inap saja. Ada juga pasien menolak
melanjutkan perawatan di ruang intensif, dikarenakan kuota bantuan sudah melebihi
limitnya. Selain itu ada pasien yang membutuhkan layanan kebidanan (terutama operasi
caesar) pada akhirnya harus membayar selisih biaya sebesar Rp 1-2,5 juta. Padahal
untuk masyarakat miskin dan tidak mampu, angka itu sangat banyak. Dan masih banyak
lagi keluhan dari masyarakat miskin dan tidak mampu di kabupaten ini terkait
pemenuhan layanan Kesehatan yang murah dan berkualitas.
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
129/Menkes/SK/II/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit, pelayanan
rumah sakit yang minimal wajib disediakan di rumah sakit meliputi:
1. Pelayanan gawat darurat,
2. Pelayanan rawat jalan
25
Djoko Wiyono, Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan, Airlangga University Press, 2000.
3. Pelayanan rawat inap
4. Pelayanan bedah
5. Pelayanan Persalinan dan perinatology
6. Pelayanan Intensif
7. Pelayanan Radiologi
8. Pelayanan Laboratorium Patologi Klinik
9. Pelayanan Rehabilitasi Medik
10. Pelayanan Farmasi
11. Pelayanan Gizi
12. Pelayanan Transfuse darah
13. Pelayanan Keluarga miskin
14. Pelayanan Rekam medis
15. Pengelolaan Limbah
16. Pelayanan Administrasi Manajemen
17. Pelayanan Ambulans/kereta jenazah
18. Pelayanan Pemulasaran jenazah
19. Pelayanan Laundry
20. Pelayanan Pemeliharaan sarana rumah sakit
21. Pencegahan Pengendalian Infeksi.
Sesuai dengan poin ketiga belas diatas, terdapat indikator terkait pelayanan
GAKIN. Pelayanan terhadap pasien GAKIN yang datang ke rumah sakit pada setiap
unit pelayanan, standarnya bisa 100 % terlayani. Akan tetapi untuk pemenuhan
pelayanan Kesehatan menggunakan bantuan sosial Kesehatan di Kabupaten Lombok
Barat, tidak bisa digunakan pada saat Rawat Jalan di Poliklinik. Untuk yang lain seperti
Pelayanan Intensif, sebenarnya terlayani walaupun tidak 100%. Hal ini dikarenakan
layanan untuk pelayanan di ruang intensif membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Kadang hanya 1-2 hari pasien GAKIN bisa merasakan manfaatnya. Sebab ketika nilai
klaim sudah mencapai limit Rp 7,5 juta, beberapa ada pasien yang lebih memilih untuk
menghentikan perawatan. Adapun sebab tersering penghentian perawatan intensif yang
dilontarkan keluarga pasien yaitu terkait pembayaran selisih nilai klaim. Ada juga
pasien yang harusnya dilakukan Operasi Laparatomi Eksplorasi, yang dimana untuk
biaya operasinya saja sekitar Rp 15 juta, otomatis apabila pasien GAKIN harus
dilakukan Operasi Laparotomi harus membayar selisih biaya yang tidak sedikit. Pada
akhirnya bila tidak ada bantuan dari Lembaga-lembaga kemanusiaan, pasien tersebut
tidak jadi dilakukan operasi, atau setelah operasi esoknya minta pulang dari rumah sakit.
Jadi apakah, hak untuk mendapatkan pelayanan Kesehatan yang baik dan
bermutu tidak bisa dipenuhi untuk masyarakat miskin dan kurang mampu? Padahal
menurut amanat Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 “ Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.”
Apakah pemerintah, dalam hal ini pemerintah Daerah paham atas amanat ini? Sebagai
praktisi Kesehatan, kadang penulis miris apabila ada pasien lebih memilih tidak
melanjutkan perawatan dikarenakan kurangnya dana. Tidak sedikit pada akhirnya
meminta bantuan kepada Lembaga-lembaga yang bergerak di bidang kemanusiaan atau
bahkan meminta iuran dari warga setempat. Pada akhirnya pasien memiliki hutang
kepada rumah sakit dan pemerintah seolah-olah lepas tangan atas hal ini.
Di satu sisi ada pasien dengan gaya yang mentereng, memilik telepon seluler
yang kekinian, bahkan memiliki kendaraan roda empat, ternyata berobat memakai kartu
BPJS PBI. Di sisi lain, ada orang dengan penampilan lusuh, tidak mempunyai telepon
seluler, bahkan untuk datang berobat dia hanya bisa jalan kaki atau menumpang
tetangga yang kebetulan arahnya sama dengan rumah sakit, ternyata tidak memiliki
kartu BPJS PBI. Dari sini harusnya pemerintah menarik kesimpulan, apakah pemberian
kartu BPJS PBI sudah tepat sasaran apa belum.
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan rumusan masalah dan latar belakang maka penulis
menarik beberapa kesimpulan, diantaranya:
1. Negara Indonesia sejatinya sudah mengatur terkait hak dalam mendapatkan
pelayanan Kesehatan seperti di dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 ayat (1)
huruf h.
2. Pemerintah membuat Undang-Undang No 40 tahun 2004 Sistem Jaminan Sosial
Nasional serta Undang-Undang Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial yang mengatur tentang jaminan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.
3. Asuransi Kesehatan adalah suatu sistem manajemen resiko sosial berupa munculnya
biaya kebutuhan medis karena sakit yang beresiko dipadukan (pooled) atau
dipindahkan dari individu ke kelompok dengan kepesertaan yang bersifat wajib,
dimana kontribusi diatur oleh peraturan tanpa memperhatikan tingkat resiko
individu, kontribusi terkait pendapatan (biasanya dalam bentuk persentase
pendapatan), berorientasi not for profit untuk meningkatkan kesehatan dan
kesejahteraan masyarakat, dikelola secara profesional dan suprlus dikembalikan
lagi ke masyarakat untuk memberikan pelayanan yang lebih baik .
4. Tidak semua program pemerintah berjalan dengan keinginan masih banyak
masyarakat miskin yang mengeluh dan keluarga terlantar yang merasa terabaikan
dalam memperoleh pelayanan kesehatan karena tidak mampu membayar. Penolakan
pasien yang dilakukan oleh Rumah Sakit tidak sesuai dengan Amandemen Undang-
Undang Dasar 1945 kesehatan atau hak asasi. Tanggung jawab pemerintah sesuai
dengan Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945 dibuat program pemenuhan
perlindungan kesehatan keluarga miskin.
5. Di dalam Undang-Undang BPJS pun tidak di jelaskan secara rinci pertanggung
jawaban pemerintah terhadap masyarakat untuk memenuhi hak- hak warga
Negaranya sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945. Akan tetapi
dalam Undang-Undang No 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit dijelaskan tanggung
jawab pemerintah dan pemerintah daerah.
6. Menurut UU SJSN, UU BPJS, serta Peraturan Presiden Nomor 82 tahun 2018
tentang Jaminan Kesehatan, kepesertaan BPJS PBI adalah fakir miskin serta orang
tidak mampu, yang kepesertaannya ditetapkan oleh Menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang sosial.
7. BPJS PBI hanya akan dicairkan pemerintah kepada orang-orang dari golongan fakir
miskin dan orang tidak mampu.
8. Masih banyak penduduk miskin dan tidak mampu di kabupaten Lombok Barat yang
belum terdaftar sebagai peserta BPJS PBI. Hal ini dibuktikan sekitar 121 ribu
penduduk miskin dan tidak mampu di Lombok Barat, yang mendapatkan bantuan
kesehatan untuk katagori Penerima Bantuan Iuran (PBI) hanya 92 ribu jiwa.
Kemudian dari 92 ribu jiwa data penerima PBI yang terverifikasi baru 74 ribu jiwa.
9. Mensiasati permasalahan masyarakat miskin dan tidak mampu akan kebutuhan
terhadap pelayanan Kesehatan, Pemda Lombok Barat mempunyai Program
Penjaminan Kesehatan dengan menggunakan Jaminan Kesehatan Sosial (Jamkessos)
yang diatur dalam Peraturan Bupati Lombok Barat Nomor 3B tahun 2019 tentang
Bantuan Pelayanan Kesehatan Bagi Masyarakat Miskin dan Tidak Mampu yang
Tidak Memiliki Jaminan Kesehatan di Kabupaten Lombok Barat.
10. Persyaratan persyaratan yang harus dipenuhi sesuai dengan Perbup pasal 4 adalah
sebagai berikut: Fotocopy Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau Kartu Keluarga
(KK), bila tidak ada dapat melampirkan Surat Keterangan Domisili dari Desa; surat
Keterangan Tidak mampu (SKTM) dari Desa mengetahui Camat; Surat
Rekomendasi dari Kantor Dinas Sosial Kabupaten Lombok Barat; dan Surat
keterangan Rawat Inap dari Rumah sakit yang bekerja sama dengan Dinas
Kesehatan Lombok Barat.
11. Terdapat batasan besaran klaim yang ditanggung oleh pemda, yaitu hingga Rp 7,5
juta. Hal ini menyebabkan Sebagian masyarakat miskin dan tidak mampu yang
memakai bantuan sosial Kesehatan tidak bisa mendapatkan pelayanan Kesehatan
yang optimal.

B. Saran
Berdasarkan uraian kesimpulan di atas, penulis memiliki saran atas
permasalahan yang terjadi terkait pelayanan Kesehatan masyarakat miskin dan kurang
mampu, khususnya di Kabupaten Lombok Barat, diantaranya:
1. Harusnya BPJS selaku Asuransi Kesehatan Negara Indonesia berorientasi not for
profit untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, dikelola secara
profesional dan suprlus dikembalikan lagi ke masyarakat untuk memberikan
pelayanan yang lebih baik.
2. Pemerintah baik pusat maupun daerah hendaknya lebih memperhatikan pemenuhan
hak masyarakat miskin dan tidak mampu atas pelayanan Kesehatan yang layak sesuai
amanat undang-undang
3. Membuat aturan terkait peran serta pemerintah pusat maupun daerah terkait
pelayanan Kesehatan bagi masyarakat miskin dan tidak mampu yang belum terdaftar
sebagai peserta BPJS PBI.
4. Pemerintah pusat maupun daerah dapat berkoordinasi serta menyamakan persepsi
dengan dinas sosial setempat terkait data masyarakat miskin dan tidak mampu di
daerah, agar seluruh warga yang tergolong miskin dan tidak mampu bisa mendapatan
kartu BPJS PBI tanpa ribet.
5. Apabila kuota terkait kepesertaan BPJS PBI pusat sudah terpenuhi, pemerintah
daerah dapat mendaftarkan masyarakat miskin dan tidak mampu di daerahnya ke
BPJS PBI dengan pembiayaan yang berasal dari APBD daerah. Karena hal ini
tentunya bisa lebih memenuhi hak masyarakat miskin dan kurang mampu atas
pelayanan Kesehatan yang layak. Terbukti bantuan sosial Kesehatan yang memiliki
limit hnaya memberatkan bagi Sebagian warga.
6. Dinas terkait dalam hal ini dinas sosial bekerja ekstra keras untuk mendata warga
Kabupaten Lombok Barat mana yang benar-benar miskin dan kurang mampu,
disesuaikan dengankriteria dari Permenkes nomor 28 tahun 2014. Untuk itu, dinas
sosial dapat berkoordinasi dengan camat, desa, bahkan kepala lingkungan setempat.
Agar benar-benar mendapatkan data yang real di lapangan.
DAFTAR BACAAN

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150. Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4456.

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Lembaran Negara Republik


Indonesia Tahun 2009 Nomor 144. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5063.

Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 153. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5072.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.


Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 116. Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5256.

Peraturan Menteri Kesehatan no 69 tahun 2013 Tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan
pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama dan Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan
Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2019 tentang Standar
Teknis Pemenuhan Mutu Pelayanan Dasar pada Standar Pelayanan Minimal Bidang
Kesehatan.

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 129/Menkes/SK/II/2008 tentang


Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit.

Buku

Pitono Soeparto et al, Etik dan Hukum di Bidang Kesehatan, Edisi kedua, Airlangga
University Press, 2006

Mukti AG, Reformasi Sistem Pembiayaan Kesehatan di Indonesia dan Prospek ke Depan,
Magister Kebijakan dan Manajemen Asuransi Kesehatan, Yogyakarta, 2007

Soerjono dan Abdurahman, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1997

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002
Jujun S Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif sebuah kumpulan karangan tentang hakekat
ilmu, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2006

Djoko Wiyono, Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan, Airlangga University Press,


Surabaya, 2000.

Fitzsimmons, James A. dan Mona J. Fitzsimmons. Service Management for Competitive


Advantage. McGraw-Hill Inc, New York, 2009

Ali Ghufron Mukti, Strategi Terkini Peningkatan Mutu Pelayanan Kesehatan: Konsep dan
Implementasi, Pusat Pengembangan Sistem Pembiayaan dan Manajemen Asuransi/
Jaminan Kesehatan Fakultas Kedkteran Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 2007.

Bustami. Penjamin Mutu Pelayanan Kesehatan dan Akseptabilitasnya. Erlangga, Jakarta,


2011

Muninjaya, Gde AA, Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan, EGC, Jakarta, 2011

Gaspersz, V., Manajemen Kualitas dalam Industri Jasa, Gramedia: Pustaka Utama, Jakarta,
2002

Jacobalis. Menjaga mutu pelayanan rumah sakit, PERSI, Jakarta, 2003

Tesis

Ratu Ayu Pamularsih, Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Melalui BPJS di Rumah Sakit,
Tesis, Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia, 2015, hal.2

Laman

Rendika Ferri Kurniawan, 10 Negara Terbesar di Dunia, Indonesia Posisi Berapa?,


www.kompas.com yang diakses pada 19 Mei 2022 Jam 20.00 WITA

Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, 237 juta Penduduk Indonesia
Terupdate Menurut Kemendagri, www.dukcapil.kemendagri.go.id yang diakses pada
19 Mei 2022 Jam 20.15 WITA

Dwi Hadya Jayani, Berapa Perbandingan PDB per Kapita Indonesia dan Negara Maju, dalam
www.databoks.katadata.co.id. yang diakses tanggal 18 Mei 2022 Jam 21.00 WITA

Kendar Umi Kulsum, Perjalanan Sistem Jaminan Kesehatan di Indonesia, dalam


www.kompas.id, yang diakses tanggal 18 Mei 2022 Jam 21.30 WITA

Apfia Tioconny Billy, Empat Keluhan Peserta Soal Layanan BPJS Kesehatan, dalam
www.tribunnews.com, yang diakses pada tanggal 18 Mei 2022 Jam 23.00 WITA

M. Ivan Mahdi, Peserta BPJS Kesehatan Capai 229,51 Juta Hingga November 2021,
www.dataIndonesia.id yang diakses pada 18 Mei 2022 Jam 23.00 WITA
Febryan A, Agus Raharjo, Sebanyak 22,3 Juta Warga Miskin Belum Teregistrasi PBI BPJS,
www.republika.co.id yang diakses pada 19 Mei 2022 Jam 20.00 WITA

Yulaika Ramadhani, Apa Itu BPJS PBI dan Bedanya dengan BPJS Non PBI : Perbedaan
Faskes, www.tirto.id yang diakses 25 Mei 2022 Jam 22.00 WITA.

Locataru Foundatioan, Penonaktifan PBI Salah Sasaran, Masyarakat Miskin Jadi Korban,
www.locataru.id yang diakses 19 Mei 2022 Jam 23.00 WITA

Galih Hendradita, Indikator Mutu Nasional Rumah Sakit di Indonesia 2021,


www.galihendradita.wordpress.com diakses pada 24 Mei 2022 Jam 20.00 WITA

Robertus Arian Datusanantyo, Menyusun Indikator Mutu Rumah Sakit,


www.mutupelayanankesehatan.net yang diakses pada 25 Mei 2022 Jam 23.00 WITA

Yudina, Masih Banyak Warga Miskin di Lobar yang Belum Tercover PBI BPJS Kesehatan,
https://insidelombok.id/berita-utama/masih-banyak-warga-miskin-di-lobar-yang-
belum-tercover-pbi-bpjs-kesehatan yang diakses pada 9 Juli 2022 jam 20.00 WITA

Anda mungkin juga menyukai