net/publication/333748763
CITATION READS
S
969
0
4 authors, including:
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
Building sustainable tourism in Karimunjawa National Park, Central Java View project
All content following this page was uploaded by Sukmaraharja Aulia Rachman Tarigan on 13 June 2019.
Hernawati
Sukmaraharja Tarigan
Fajar Ardiyansyah
M.D. Aryawan
Tezar Rafandi
Tasrif Kartawijaya
KEARIFAN LOKAL DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
tuntunan dan rahmat-Nya, Kajian Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Sumberdaya
Perikanan di Provinsi Nusa Tenggara Barat dapat terselesaikan. Kajian ini berisi
tentang gambaran umum lokasi kajian, sistem kearifan lokal mayarakat, termasuk
kelembagaan, tingkat pengetahuan masyarakat dan implementasi kearifan lokal.
Kajian ini dilakukan di empat belas kawasan dan desa pesisir di NTB yang memiliki
kerifan lokal tentang pengelolaan sumberdaya perikanan. Kondisi kearifan lokal
masing-masing kawasan berbeda-beda mulai dari yang memiliki kondisi baik hingga
buruk. Dokumen ini merupakan kajian awal yang masih jauh dari kata sempurna.
Kritik, saran dan masukan yang membangun sangat diperlukan untuk kesempurnaan
dokumen ini dimasa mendatang.
Tabel 1. Lokasi kajian kearifan lokal masyarakat desa pesisir di NTB ................................11
Tabel 2. Visualisasi model bendera untuk aspek efektivitas pengelolaan kawasan
konservasi perairan di Kabupaten Lombok Timur. ..............................................14
Tabel 3. Kondisi kesenjangan pengelolaan KKP berdasarkan pengelompokan nilai
komposit prioritas, skor, dan kategori kesenjangan ............................................63
Perairan Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan habitat yang potensial bagi
sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil terutama potensi sumberdaya hayati seperti
ekosistem hutan mangrove, padang lamun, terumbu karang, ikan karang, dan sumberdaya
perikanan lainnya. Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Provinsi NTB
mengacu pada Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah yaitu
dilakukan oleh pemerintah provinsi melalui Dinas Kelautan dan Perikanan. Pengelolaan
wilayah perairan, tidak hanya dilakukan oleh pemerintah, namun di perlukan juga sinergitas
dengan berbagai pihak termasuk di dalamnya masyarakat pesisir. Pelibatan masyarakat
pesisir dalam upaya pengelolaan tentu saja memberikan nilai yang lebih karena masyarakat
pesisir memanfaatkan potensi sumberdaya pesisir serta terdampak secara langsung.
Kearifan lokal merupakan tradisi yang diwariskan dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Kearifan lokal dapat berbentuk religi, budaya ataupun adat istiadat yang
umumnya bersifat lisan. Peran kearifan lokal sebagai hukum atau aturan yang dilaksanakan
di wilayah-wilayah pesisir ini sangat penting, mengingat dari sisi historinya yang diperoleh
melalui proses yang sangat panjang dan diturunkan secara lisan oleh masyarakat secara
turun menurun (Juniarta et al., 2013). Mengingat sifatnya yang normatif atau tidak tertulis,
diduga banyak sekali kearifan lokal masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya laut yang belum diketahui oleh banyak orang, terutama dalam konteks ilmiah
(Chilmy, 2015). Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan kajian tentang kearifan lokal
dalam pengelolaan sumberdaya perikanan yang dilakukan oleh masyarakat pesisir di Provinsi
NTB.
1.2 Tujuan
Tujuan dari kajian ini yaitu untuk mengetahui kearifan lokal masyarakat pesisir dalam
melakukan pengelolaan sumberdaya perikanan di Provinsi NTB.
Tabel 1. Lokasi kajian kearifan lokal masyarakat desa pesisir di Provinsi NTB
X i MinX i
SVi
MaxX MinX i
i
Keterangan:
SVi : Nilai standar parameter ke-i
Xi : Nilai indikator pada parameter ke-i
Min Xi : Nilai minimal pada parameter ke-i
Max Xi : Nilai maksimal pada parameter ke-i
Nilai komposit seluruh aspek pengelolaan untuk mendapatkan nilai skor prioritas setiap
kawasan konservasi perairan daerah adalah:
17
SVi
i1
DP
17
S DP x 21
Keterangan:
KP : Nilai komposit daerah prioritas
SVi : Nilai standar parameter ke-i
S : Skor
0.0-1.0 Buruk
1.1-2.0 Sedang
2.1-3.0 Baik
•adopsi awik - awik kedalam Surat Keputusan Kepala Desa Gili Indah Indah Nomor 12/Pem.1.1/06/1998
tentang Awik – awik Pemeliharaan dan Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang.
•Selain aturan pelarangan alat tangkap bom, dilakukan pengaturan zonasi
•Peraturan desa Gili Indah Nomor 3 Tahun 2014 Tenntang Pengelolaan Pesisir dan Laut
•Dukungan terhadap pengelolaan KKP TWP Gili Matra
•Adopsi zonasi TWP Gili Matra
2015 •Inisiasi Wildlife Conservation Society
Perkembangan lebih lanjut dari awik-awik adalah dibentuknya aturan lokal baru
yang diinisiasi oleh Lembaga Musyawarah Nelayan Lombok Utara (LMNLU), tepatnya pada
tanggal 19 Maret 2000 yang kemudian direvisi/disempurnakan pada tanggal 30-31 Agustus
2004 oleh berbagai pihak, baik nelayan, tokoh masyarakat/tokoh agama, Pemerintah
Desa/Kecamatan dan LSM. Dalam awik-awik ini memuat tentang pemeliharaan dan
pengelolaan terumbu karang kaitannya dengan pemanfaatan sektor perikanan dan sektor
pariwisata. Dalam awik–awik dijelaskan mengenai zonasi untuk beberapa jenis pengelolaan
3.1.2.3 Kelembagaan
Pembentukan aturan kesepakatan lokal (awik-awik) di Desa Gili Indah disertai
dengan kelompok penegak awik-awik tersebut. Pada era tahun 1990, awik-awik pelarangan
penggunaan bom sebagai alat tangkap ikan di wilayah Desa Gili Indah ditegakkan oleh kepala
dusun dan kelompok nelayan dengan struktur aturan dan kelembagaan yang tidak tertulis.
Kemudian pada era tahun 1998, setelah awik-awik diperkuat dengan Surat Keputusan Kepala
Desa Gili Indah Nomor 12/Pem.1.1./06/1998 tentang Awik-awik Pemeliharaan dan
•Kelembagaan Penegak Awiqk- awik tidak tertulis secara khusus, implementasi dilakukan
oleh kelompok nelayan yang dipimpin oleh kepala dusun dan penghulu desa.
1990
•Kelembagaan Masyarakat Penegak Awik- Awik dilakukan oleh Kelompok Pelestari Lingkungan
Terumbu Karang (KPLTK) yang terdapat di 3 dusun.
1998
•Kelembagaan masyarakat Penegak Awik - awik dilakukan oleh Yayasan Front Pemuda Satgas Gili
(YFPSG) yang terdapat pada setiap dusun (YFPSG Cabang Gili Air, Cabang Gili Meno dan Cabang
2001 Gili Trawangan)
•Penegakan dilakukan oleh Organisasi Pengelola Pesisir dan Laut (OPPL) desa Gili Indah yang
kemudian tugas dan wewenangnya dimandatkan kepada organisasi kemasyarakatan yang
terdapat di setiap gili (Kelompok Gili care di Dusun Gili Air, Kelompok Meno Lestari di Dusun Gili
2015 Meno dan Kelompok Front Masyarakat Peduli Lingkungan FMPL di Dusun Gili Trawangan)
3.1.2.4 Implementasi
Penegakan awik-awik di Desa Gili indah telah berhasil membebaskan perairan Gili
Indah dari penangkapan ikan dengan menggunakan bom dan potasium serta meurunkan
jumlah penangkapan ikan dengan menggunakan muroami. Sanksi tegas diberikan kepada
pelaku yang melanggar aturan, mulai dari aturan adat yaitu dikeluarkan dari wilayah desa
Gili Indah hingga pemberlakuan proses hukum pidana bagi pelaku. Namun demikian,
tantangan kedepan adalah ketegasan dalam pembatasan pemanfaatan kawasan, khususnya
pemanfaatan pariwisata.
3.2.2.3 Kelembagaan
Aturan lokal (awik–awik) Desa Rempek ditegakkan oleh Kelompok Nelayan Bahtera
Tunggal dengan jumlah anggota sebanyak 41 orang. Pelindung kelompok nelayan adalah
Kepala Desa Rempek, BPD dan Penghulu Desa Rempek. Ketua dari lembaga penegak awik-
awik Desa Rempek adalah Bapak Pilek Wijaya. Pada tahun 2010, lembaga penegak awik-awik
Desa Rempek telah dikukuhkan sebagai Kelompok Masyarakat Pengawas (POKMASWAS)
oleh Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTB melalui Surat Keputusan Kepala
Dinas Provinsi NTB Nomor 800.05/106/Dislutkan/2010 tentang Pengukuhan Kelompok
Masyarakat Pengawas (POKMASWAS) Perikanan ‘Bahtera Tunggal’ Dusun Lempenge, Desa
Rempek, Kecamatan Gangga, Kabupaten Lombok Utara.
3.3.2.4 Implementasi
Implementasi dari awik-awik Desa Batu Putih dari tahun 2015 hingga tahun 2017
telah berhasil membebaskan wilayah pesisir Desa Batu Putih dari aktivitas penangkapan ikan
dengan menggunakan alat tangkap jaring kerakat pantai. Nelayan yang sebelumnya
menggunakan kerakat untuk menangkap ikan rucah telah beralih menggunakan alat tangkap
bagan. Namun kegiatan penambangan pasir laut masih terjadi di Desa Batu putih, meskipun
skalanya kecil.
Keberhasilan implementasi awik-awik di Desa Batu Putih tidak lepas dari beberapa
factor, antara lain:
1. Proses pembentukan kesepakatan aturan lokal diinisiasi oleh tokoh-tokoh
masyarakat yang cukup dipandang oleh masyarakat di Desa Batu Putih.
2. Adanya dukungan dari pemerintah dalam memperkuat kelembagaan lembaga
penegak awik-awik.
3. Adanya dukungan dari mitra lain, seperti lembaga swadaya masyarakat, dalam
memfasilitasi penguatan kelembagaan penegak awik-awik
4. Terdapat mekanisme pendanaan operasional lembaga penegak awik-awik yang
cukup, berkelanjutan dan mandiri.
3.4.2.3 Kelembagaan
Lembaga penegak awik-awik Desa Buwun Mas adalah Forum Komunikasi
Masyarakat Sekotong (FKMKS). FKMKS berdiri pada tahun 2016 berfungsi menjadi wadah
komunikasi dan silaturahmi untuk menanggapi berbagai isu yang terdapat di wilayah
Kecamatan Sekotong, khususnya Desa Buwun Mas. Beberapa program utama dari FKMKS
adalah membangkitkan kembali awik-awik dan kearifan lokal Desa Buwun Mas,
mengembangkan destinasi wisata di Desa Buwun Mas dan kegiatan pengelolaan sampah
dengan metode bank sampah. Secara kelembagaan, FKMKS memiliki 8 divisi, antara lain
divisi adat dan sosial budaya, divisi pendidikan, pariwisata, anak dan perempuan, ekonomi,
kelestarian lingkungan, dan peningkatan keamanan.
3.4.2.4 Implementasi
Implementasi dari awik-awik yang dilakukan oleh FKMKS adalah melakukan
pengamanan wilayah pesisir Desa Buwun Mas dari ancaman pelaku pengeboman dan
tindakan pencurian dengan kekerasan. Hingga saat ini, FKMKS bekerjasama dengan Polsek
Sekotong telah melakukan penangkapan 7 orang pelaku pengeboman. Selain itu, kegiatan
rutin yang dilakukan oleh FKMKS adalah kegiatan bersih pantai serta pengelolaan sampah
dengan menggunakan bank sampah. Program penguatan sistem kearifan lokal dilakukan
dengan mengusulkan Kepala Desa Buwun Mas sebagai ketua adat Desa Buwun Mas yang
menjadi pemangku awik-awik, sehingga sistem saksi denda ataupun sanksi awik-awik dapat
dilakukan lagi. Beberapa sanksi awik-awik Desa Buwun Mas adalah: “Peluah lekan Gubuk”
(sanksi dikeluarkan dari desa dengan jangka waktu tertentu) jika melakukan penangkapan
ikan menggunakan bom di Desa Buwun Mas.
Faktor pengungkit implementasi awik-awik di desa Buwun Mas adalah:
1. Adanya ketokohan, yaitu tokoh masyarakat, FKMKS dan kepala desa yang berperan
sebagai kepala adat.
2. Adanya dukungan dari pemerintah dalam memperkuat kelembagaan lembaga
penegak awik-awik.
3. Adanya dukungan dari mitra lain, seperti lembaga swadaya masyarakat, dalam
memfasilitasi penguatan kelembagaan penegak awik-awik.
3.5.2.3 Kelembagaan
Lembaga penegak awik-awik Desa Sugian adalah Satgas Pade Angen yang berdiri
pada tahun 2011 dan ditetapkan oleh Kepala Desa Sugian. Lebih lanjut, Dinas Kelautan dan
Perikanan Kabupaten Lombok timur menetapkan Satgas Pade angen sebagai Pokmaswas
yang menjadi mitra Dinas Kelautan dan Perikanan dalam melakukan pengawasan
pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan di Desa Sugian.
D. Perlindungan mangrove, pasir pantai, batu laut dan biota laut lainnya
1. Hutan bakau, pasir pantai, karang dan batu laut yang ada disemua wilayah kawasan
harus dilestarikan.
2. Setiap orang dilarang menebang/merusak pohon bakau, mengambil pasir pantai,
karang dan batu laut, kecuali untuk kepentingan penelitian dengan mendapat izin
dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lombok Timur dan melapor kepada
KPPL.
3. Setiap orang dilarang mengambil kerang dan sejenisnya dengan merusak lingkungan.
4. Pengambilan jenis bakau hanya dapat dilakukan jika ada rekomendasi dari Dinas
Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lombok Timur berdasarkan masukan dari KPPL.
3.6.2.3 Kelembagaan
Pelaksana pengelolaan sumberdaya perikanan di wilayah Kecamatan Sambalia
dilakukan oleh Komite Pengelola Perikanan Laut (KPPL) yang berada di tingkat kecamatan.
Untuk memudahkan mekanisme pengelolaan,maka dibentuk KPPL yang berada di setiap
desa pesisir di Kecamatan Sambalia.
Pendanaan untuk pengelolaan sumber daya perikanan di peroleh dari:
1. Iuran anggota KPPL yang besarnya sesuai dengan anggaran dasar.
2. Sumbangan dari nelayan dan pengusaha yang ada dalam wilayah kawasan
Kecamatan Sambalia yang besarnya ditetapkan lebih lanjut dengan keputusan desa
berdasarkan masukan dari KPPL kawasan Kecamatan Sambalia.
3. Penjualan hasil budidaya pengelolaan suatu perikanan.
4. Pengenaan sanksi berupa denda akibat pelangaran awik-awik.
3.6.2.4 Implementasi
Dalam implementasi awik-awik pengelolaan perikanan di Kecamatan Sambalia,
terdapat sanksi bagi pelaku yang melanggar aturan awik-awik, antara lain:
1. Menangkap ikan melampaui batas zona dikenakan denda minimal Rp 50.000,- (lima
puluh ribu rupiah) untuk pelanggaran pertama; minimal Rp 50.000,- (lima puluh ribu
rupiah) untuk pelanggaran kedua; pelanggaran ketiga dan seterusnya dikenakan
sanksi maksimal hasil tangkapan ikannya diambil untuk keperluan sosial dan unit
penangkapan ikannya diambil untuk menunjang oprasional KPPL kawasan serta
didenda Rp 500.000.- (lima ratus ribu rupiah).
2. Menangkap ikan dengan menggunakan kompresor dikenakan denda minimal
Rp 1.000.000.- (satu juta rupiah).
3. Mengambil hasil tangkapan berupa ikan yang diindungi dikenakan denda minimal
Rp 300.000,- (tiga ratus ribu rupiah) dan ikan hasil tangkapan dilepas kembali atau
disita.
Implementasi dari awik-awik pengelolaan perikanan dilakukan oleh KPPL. Pada awal
implementasi dilakukan subsidi biaya operasional dari Dinas Kelautan dan Perikanan
Selain aturan-aturan tersebut, awik-awik juga mengatur hal yang sifatnya umum, seperti:
1. Dilarang membuang sampah di pantai
2. Dilarang melakukan pencurian di KJA atau tambak.
3. Setiap perahu yang berjalan/ beroperasi dimalam hari wajib menggunakan lampu.
Mekanisme pemungutan sumbangan dilakukan oleh petugas LPATJ dan hasil dari
pemungutan sumbangan dipergunakan untuk biaya operasional LPATJ dan pelaksanaan
program pengelolaan Teluk Jor. Aturan lokal (awik-awik) pengelolaan perikanan ini
ditetapkan pada tahun 2013 dengan sasaran pemanfaat kawasan Teluk jor (Perikanan dan
Budidaya), baik yang berasal dari dalam wilayah Teluk Jor maupun pemanfaat dari luar teluk
Jor.
3.7.2.4 Implementasi
Dalam implementasi awik-awik di Teluk Jor, terdapat sanksi yang diberikan bagi pelaku
yang melanggar awik-awik. Sanksi tersebut antara lain:
1. Pelaku yang melanggar tata penempatan bagan tancap wajib membongkar
bagannya.
2. Pelaku yang melanggar kesepakatan jumlah lampu yang digunakan di bagan tancap
akan dikenakan denda Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah) dan penyitaan lampu serta
perlengkapannya.
3. Pelaku yang melanggar penggunaan kerakat di Kawasan Teluk Jor dikenakan sanksi
denda minimal Rp.5.000.000,- (lima juta rupiah) dan penyitaan seluruh ikan hasil
tangkapan.
4. Pelaku yang melakukan kegiatan penangkapan ikan dengan kerakat oros atau jaring
yang merusak alat tangkap yang terlebih dahulu beroperasi akan dikenakan sanksi
berupa wajib mengganti alat tangkap yang dirusak.
5. Pelaku yang menggunakan alat tangkap kerakat teri terlalu dekat dengan bagan
akan dikenakan sanksi berupa harus keluar dari wilayah bagan tancap.
6. Pelaku yang memasang jaring dijalur pelayaran, mengoperasikan jaring dasar di area
terumbu karang, meninggalkan jaringnya saat beroperasi dan mengoprasikan jaring
permukaan pada malam hari tanpa lampu penanda di kedua ujung jaring akan
dikenakan sanksi berupa pemotongan/perusakan jaring.
7. Pelaku yang menggunakan bom/bahan peledak akan dikenakan sanksi denda uang
minimal Rp.25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah), dan apabila melanggar
kembali akan dikenakan sanksi dua kali lipatnya. Selain itu dilakukan penyitaan
terhadap ikan hasil tangkapan, perahu dan alat tangkap.
Keberhasilan implementasi awik-awik Teluk Jor tidak lepas dari beberapa faktor,
antara lain:
1. Proses pembentukan kesepakatan aturan lokal diinisiasi oleh tokoh-tokoh
masyarakat yang cukup dipandang oleh masyarakat di Desa Paremas dan Desa
Jerowaru.
2. Proses pembentukan awik-awik melalui proses yang partisipatif/melibatkan
masyarakat.
3.8 Kawasan Teluk Sunut, Cebing, Wengke dan Dalam Kecamatan Jerowaru
Kawasan Teluk Sunut, Teluk Cebing, Teluk Wengke dan Teluk Dalam merupakan
teluk-teluk kecil yang berada di Kecamatan Jerowaru. Teluk Wengke berada di dalam Teluk
Ekas dan masuk di wilayah Desa Batu Nampar Induk. Sedangkan Teluk Sunut, Teluk Cebing
dan Teluk Dalam merupakan bagian dari Teluk Jukung yang melingkupi beberapa desa
pesisir, antara lain Desa Tanjung Luar, Desa Maringkik, Desa Jerowaru, Desa Paremas, Desa
Pemongkong dan Desa Sekaroh. Secara umum, mata pencaharian penduduk yang tinggal di
sekitar teluk tersebut adalah bertani, berladang, nelayan dan berternak. Pada saat musim
hujan, para petani menanam padi dengan sistem gogo rancah, sedangkan pada saat musim
kemarau, sebagian petani menanam tembakau Virginia. Untuk menopang usaha pertanian
ini, para petani umumnya membangun semacam penampung air berukuran 0,5 - 2 hektar
yang disebut embung. Embung tersebut berfungsi untuk menampung air hujan saat musim
penghujan yang digunakan untuk mengairi sawah saat musim kemarau.
3.8.2.3 Kelembagaan
Pelaksana pengelolaan sumberdaya perikanan di wilayah Kecamatan Jerowaru
dilakukan oleh Komite Pengelola Perikanan Laut (KPPL). KPPL Kecamatan Jerowaru sebagai
3.8.2.4 Implementasi
Dalam implementasi awik-awik pengelolaan perikanan di Kecamatan Jerowaru terdapat
sanksi bagi pelaku yang melanggar aturan awik-awik, antara lain:
1. Menangkap ikan melampaui batas zona dikenakan denda minimal Rp 50.000,- (lima
puluh ribu rupiah) untuk pelanggaran pertama, minimal Rp 50.000,- (lima puluh ribu
rupiah) untuk pelanggaran kedua, pelanggaran ketiga dan seterusnya dikenakan
sanksi maksimal hasil tangkapan ikannya di ambil untuk keperluan sosial dan unit
penangkapan ikannya diambil untuk menunjang oprasional KPPL kawasan dan
didenda Rp 500.000.- (lima ratus ribu rupiah).
2. Menangkap ikan dengan menggunakan kompresor dikenakan denda minimal
Rp 1.000.000.- (satu juta rupiah).
Masyarakat nelayan yang berada di Kecamatan Lunyuk tidak memiliki kearifan lokal
dikarenakan nelayan yang berada di Kecamatan Lunyuk bukan merupakan penduduk asli,
melainkan penduduk pendatang. Penduduk asli lunyuk adalah Suku Samawa, dengan
bermata pencaharian sebagai petani ladang. Tidak ada aturan dan kesepatan (kearifan lokal)
yang dibuat oleh nelayan Lunyuk. Namun mereka membawa kepercayaan nenek moyang
nelayan yang mengadakan selamatan laut yang dilakukan 1 tahun sekali, tepatnya pada
bulan Sura. Dalam perayaan selamatan laut tersebut biasanya nelayan memotong kerbau
yang dananya didapat dari hasil iuaran bersama. Iuran tersebut diambil dari nelayan dalam
desa dan nelayan luar desa. Nelayan luar desa yang dimaksud yaitu nelayan yang berasal
dari luar Kecamatan Lunyuk yang mencari ikan di wilayah perairan Lunyuk. Adapun jumlah
pungutan tidak ditentukan, melainkan suka relawan.
Tidak adanya kearifan lokal yang mengikat tidak menyebabkan masyarakat
menangkap ikan dengan cara merusak di wilayah perairan Lunyuk. Selama ini, jika terdapat
aktivitas penangkapan ikan yang merusak lingkungan, maka masyarakat berkoordinasi
dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sumbawa melalui kelompok nelayan.
Munurut salah satu tokoh nelayan, “Pak Marahusin”, jika terdapat aktivitas perikanan yang
merusak, maka kasus ini akan didiskusikan di tingkat nelayan (kelompok nelayan) untuk
kemudian diputuskan. Tahap awal yang umumnya dilakukan adalah peneguran terhadap
pelaku. Namun jika teguran tidak dihiraukan, maka kasus ini akan dilaporkan ke Dinas
Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sumbawa.
Berdasarkan Buku Profil Desa Pesisir Kabupaten Sumbawa (2014), Desa Labuhan
Kuris termasuk dalam Desa Swasembada. Desa Labuhan Kuris merupakan desa pesisir yang
berada dalam wilayah Kecamatan Lape yang terdiri dari 9 dusun. Desa Labuhan Kuris
memiliki luas 138.29 km² dengan jarak ke ibu kota kecamatan sekitar 8 km. Sebagian besar
sumber mata pencaharian penduduk Labuhan Kuris adalah nelayan dan petani. Jumlah
nelayan yang terdapat di Labuhan Kuris sebanyak 416 jiwa. Sarana penangkapan ikan yang
digunakan oleh nelayan Labuhan Kuris adalah motor tempel, kapal motor dan jukung
dengan alat tangkap mayoritas adalah jaring tasi, jaring insang, bagan perahu, jaring insang,
pancing tonda, pancing ulur dan sero. Selain perikanan tangkap, terdapat pula aktivitas
budidaya rumput laut, budidaya ikan tambak, budidaya kerapu dan tambak garam rakyat.
3.10.2.3 Kelembagaan
Belum ada lembaga khusus yang memangku awik-awik di Desa Labuhan Kuris.
Implementasi dari aturan tersebut dipegang langsung oleh kepala adat/dukun laut (sandro),
kepala dusun, kepala desa dan Pokja pengelolaan perikanan Desa Labuhan Kuris.
3.10.2.4 Implementasi
Implementasi dari awik-awik Desa Labuhan Kuris cukup efektif dalam menjaga
sumberdaya perikanan di wilayah tersebut. Peran serta tokoh adat (sandro), kepala desa,
kepala dusun dan Pokja pengelolaan perikanan cukup memberikan dorongan kuat bagi
keberhasilan implementasi aturan tersebut. Sanksi yang diberikan apabila nelayan ketahuan
menangkap selama ritual berlaku yaitu perahu dari nelayan yang melakukan penangkapan
akan ditahan sampai waktu ritual selesai berlaku. Sedangkan nelayan luar yang melakukan
pelanggaran kesepakatan akan diusir dari wilayah penangkapan Desa Labuhan Kuris.
Jika terjadi pelanggaran aturan awik-awik, maka pelanggaran yang terjadi akan
dilaporkan kepada kepala dusun. Setelah itu, kepala dusun akan memutuskan bagaimana
menyelesaikan pelanggaran tersebut. Namun apabila kepala dusun tidak dapat
memutuskan, maka akan diteruskan ke kepala desa. Pemberian sanksi terhadap pelanggaran
aturan lokal Desa Labuhan Kuris cukup efektif dalam meningkatkan kepatuhan dari
penegakan aturan, mengingat masyarakat sangat menghormati aturan adat yang ada.
Keberhasilan implementasi awik-awik Desa Labuhan Kuris tidak lepas dari beberapa
faktor antara lain:
1. Awik-awik murni berasal dari norma adat dan budaya lokal yang dijunjung tinggi
oleh masyarakat.
2. Proses pembentukan kesepakatan aturan lokal lebih lanjut diinisiasi oleh tokoh-
tokoh masyarakat yang cukup dipandang oleh masyarakat.
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan, tidak ditemukan kearifan lokal di Desa
Labuhan Sangoro. Menurut salah satu anggota BPD Desa Labuhan Sangoro, kesepakatan
masyarakat Desa Labuhan Sangoro hanya berupa kesepakatan antar nelayan budidaya
rumput laut. Bentuk kesepakatan tersebut yaitu ketika seorang nelayan memasang
longline di suatu lokasi, maka nelayan yang lain tidak diperbolehkan untuk menanam
rumput laut di daerah tersebut. Tidak ada aturan khusus dan sanksi ketika ada yang
melanggar. Terdapat pula aturan penangkapan ikan dengan menggunakan bagan, yaitu
pengaturan jarak antara bagan yang satu dengan bagan yang lain agar tidak terlalu dekat.
Jika aturan tersebut dilanggar maka tidak ada sanksi bagi yang melanggar.
Secara administratif, Desa Labuhan Jambu berada dalam wilayah Kecamatan Tarano,
Kabupaten Sumbawa. Desa Labuhan Jambu terdiri dari 5 dusun. Desa Labuhan Jambu
memiliki luas 32.33 km² dengan jarak dari ibu kota kecamatan sekitar 4,3 km. Masyarakat
nelayan di Desa Labuhan Jambu menangkap ikan menggunakan sarana penangkapan seperti
kapal motor, kapal motor tempel dan jukung. Alat tangkap yang mayoritas digunakan oleh
3.12.2.3 Kelembagaan
Belum ada kelembagaan formal yang mengimplementasikan aturan lokal tersebut.
Selama ini, informasi pengaduan dari nelayan Labuhan Jambu diterima dan ditampung oleh
pemerintah desa Labuhan jambu.
3.12.2.4 Implementasi
Implementasi dari aturan lokal yang ada hanya sampai tingkat sosialisasi saja. Selain
itu juga, belum adanya sistem mekanisme pendanaan berkelanjutan dan dukungan dari
pemerintah dan pihak lain mengenai penguatan aturan lokal yang terdapat di Desa Labuhan
Jambu.
Keberhasilan implementasi awik-awik di Desa Labuhan Jambu tidak lepas dari
beberapa faktor antara lain:
1. Terdapatnya kebutuhan bersama masyarakat nelayan Desa Labuhan Jambu dalam
menjaga sumberdaya perikanan dan melindungi nelayan lokal Desa Labuhan jambu.
2. Proses pembentukan kesepakatan aturan lokal diinisiasi oleh tokoh masyarakat yang
berasal dari pemerintah desa Labuhan Jambu.
a. Zona I adalah wilayah laut sepanjang 3 mil yang diukur dari titik terendah pada saat
surut.
b. Zona II adalah wilayah laut dari batas 3 mil sampai dengan 6 mil.
c. Zona III adalah wilayah laut dari batas 6 mil sampai dengan 9 mil.
4. Nelayan yang menggunakan alat tangkap purse seine atau jala/kerakat purus, mini
purse seine/jala mini, jaring gondrong, long line/rawai apung tidak boleh melakukan
penangkapan ikan di zona I, dan hanya boleh melakukan penangkapan ikan di zona
II, dan zona III.
5. Penggunaan alat tangkap bagan tancap dan bagan terapung hanya boleh dilakukan
dalam wilayah yang tidak menganggu alur pelayaran.
6. Jumlah mata lampu yang dapat digunakan dalam melakukan penangkapan ikan
adalah 8 buah mata lampu untuk bagan tancap, maksimal 2 buah mata lampu untuk
penjaring, dan maksimal 2 buah mata lampu untuk penjala.
8. Nelayan dihimbau untuk tidak mengambil hasil tangkapan berupa anak ikan dan ikan
dalam keadaan bertelur. Jika ada bibit ikan yang tertangkap, harus dikembalikan ke
laut.
B. Budidaya laut
Kegiatan budidaya lobster, mutiara dan sejenisnya dapat dilakukan pada tempat-
tempat yang tidak mengganggu alur pelayaran. Pengaturan lebih lanjut mengenai
tempat budidaya laut ditetapkan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lombok
Timur setelah mendapat masukan dari KPPL dan harus mengacu pada perundang-
undangan yang berlaku.
3.13.2.4 Implementasi
Awik-awik pengelolaan sumber daya perikanan pantai juga telah mengatur jenis-jenis
kegiatan yang termasuk dalam pelanggaran, pemberian denda dan penegakan sanksi,
pelaksanaan sidang atas pelanggaran yang dilakukan, dan penyaluran denda. Jenis-jenis
pelanggaran ini antara lain, penangkapan ikan dengan bom dan potas, kegiatan
penangkapan ikan yang melampaui batas zona penangkapan yang telah disepakati, kegiatan
penangkapan ikan yang dilindungi, penggunaan bagan tancap yang tidak sesuai dengan
ketentuan yang disepakati, penggunaan lampu lebih dari yang telah ditentukan, kegiatan
budidaya yang tidak sesuai dengan ketentuan, pengambilan kerang dengan cara merusak
Masyarakat desa Tanjung Luar memiliki kearifan lokal yaitu upacara “Nyalamaq
Lauq/petik laut/ Selamatan Laut” dan upacara “Selamatan Sampan” Upacara ini tidak pernah
ditinggalkan karena sudah menjadi tradisi tahunan yang diselenggarakan oleh masyarakat
Tanjung Luar. Upacara ini dilakukan karena para nelayan yakin bahwa laut terdapat
penghuni yang tidak bisa dilihat dan berbentuk jin. Tujuan dilakukan upacara tersebut
supaya ikan banyak yang muncul dan para nelayan juga selamat ketika melaut dan
mendapat ikan yang banyak (Husain, 2011).
Selama 3 hari berlangsungnya prosesi upacara, para nelayan tidak boleh melaut.
Larangan ini menjadi simbol untuk memberikan kesempatan bagi ikan-ikan dan biota laut
untuk tumbuh besar sehingga terjaga keseimbangan ekosistem laut. Peralatan yang dipakai
dalam prosesi nyalamaq lauq memiliki makna. Adapun yang dibutuhkan di dalam upacara
tersebut adalah kepala kerbau, kemenyan, emas (seperti anting, cincin), ayam, beras hitam,
beras putih, beras kuning, empok-empok, tebu, semua jenis makanan tradisional, kain putih
dan alat pengiring yaitu gendang seruni. Upacara tersebut dipimpin oleh mangku/sandro.
Untuk dapat menjadi mangku/sandro harus dari keturunan asli bajo yang memiliki ilmu
tertentu yaitu mampu berbicara dengan makhluk halus jin/penghuni laut tersebut.
3.14.2.4 Implementasi
Keberadaan acara selamatan laut ini menguntungkan bagi kelestarian sumberdaya
perikanan karena secara ekologi memberikan waktu bagi ikan-ikan untuk memijah. Peran
serta tokoh adat (sandro), cukup memberikan dorongan kuat bagi keberhasilan
implementasi aturan tersebut. Acara selamatan laut ini sendiri merupakan ritual yang
panjang prosesnya. Tujuh hari sebelum upacara dimulai, kerbau sesembahan diajak jalan-
jalan di tepi pantai dengan diiringi oleh gedang seruni dan diikuti oleh para penari keturunan
Bajo asli. Acara ini biasanya dilakukan saat sore setelah sholat asar sampai saat magrib.
musik gendang seruni dibunyikan setiap malam sampai tiba pelaksanaan upacara tersebut.
Musik tersebut juga diikuti oleh tarian adat di panggung dekat rumah sandro. Kegiatan ini
disaksikan oleh banyak masyarakat sehingga dapat mengurangi jumlah nelayan yang melaut.
Upacara inti berlangsung selama tiga hari dengan proses mulai dari pemotongan
kepala kerbau hingga peneggelaman ke tengah laut. Setelah acara inti selesai dilanjutkan
dengan pesta selama 3 malam. Pesta ini berupa pesta kecil-kecilan dengan mengadakan
pertunjukan dan perlombaan permainan tradisional kuntauq atau joget silat. Setelah
upacara tersebut dilakukan, para nelayan tidak boleh pergi melaut hingga 1 minggu.
Setelah tiba saatnya melaut maka ikan akan lebih banyak didapat daripada sebelumnya.
Selama berlangsungnya upacara tersebut semua masyarakat ikut berpartisipasi dan ikut
terlibat dengan masing-masing keluarga mengeluarkan uang untuk membeli segala yang
dibutuhkan untuk ritual (Husain, 2011).
Kondisi kawasan yang memiliki sistem kearifan lokal dengan kategori baik perlu lebih
dipertahankan, terutama pengawasan dan penegakan awik-awik. Pelibatan semua
pemangku kepentingan sangat diperlukan, karena setiap pemangku kepentingan memiliki
peran dan fungsi masing-masing baik dalam proses penyusunan, pengawasan hingga
penegakan awik-awik. Penegakan sanksi awik-awik merupakan salah satu cara untuk dapat
mempertahankan eksistensi dari awik-awik tersebut.
4. Kawasan yang memiliki tingkat implementasi kearifan lokal baik adalah kawasan Teluk
Jor, Desa Sugian, Kecamatan Sambalia, Desa Gili Indah, Desa Tanjung Luar, Desa
Rempek, Desa Buwun Mas (Teluk Sepi) dan Desa Batu Putih.
5. Kawasan yang memiliki tingkat implementasi sedang adalah Desa Labuhan Kuris, Desa
Labuhan Haji, Kecamatan Jerowaru (kawasan Teluk Wengke, kawasan Teluk Cebing,
kawasan Teluk Dalam dan Teluk Sunut). Sedangkan kawasan yang memiliki tingkat
implementasi kearifan lokal kurang atau tidak ada sistem kearifan lokal adalah
Kecamatan Lunyuk dan Desa Labuhan Sangoro dan Desa Labuhan Jambu.
4.2 Rekomendasi
Astuti, P. 2008. Pola Hubungan Patron-Client dalam Upaya Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Desa
Tanjung Luar Kabupaten Lombok Timur Nusa Tenggara Barat. Semarang: Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan. Universitas Diponegoro.
Chilmy N W. 2015. Kearifan lokal masyarakat nelayan di Desa Brakas, Kecamatan Ra’as, Kabupaten
Sumenep. Paradigma Madani. 2(2): 23
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sumbawa. 2014. Profil Desa Pesisir Kabupaten Sumbawa. DKP
Kabupaten Sumbawa. Sumbawa
Husain Fadly. 2011. Sistem Budaya Bahari Komunitas Nelayan Lungkak Desa Tanjung Luar, Lombok
Timur, Nusa Tenggara Barat. Jurnal Komunitas. 3(1):40-50.
Juniarta H P, Susilo E, Primyastanto M. 2013. Kajian profil kearifan lokal masyarakat pesisir Pulau Gili
Kecamatan Sumberasih Kabupaten Probolinggo Jawa Timur. Jurnal ECSOFiM. 1(1):14.
Kartawijaya T, Retno A, Tezar R, Prayekti N, Yudi H. 2014. Aspek Sosial Ekonomi dalam Pengelolaan
Kawasan Konservasi Perairan Daerah Gita Nada Kabupaten Lombok Barat. WCS-IP. Bogor
Kartawijaya T, Retno A, Tezar R, Prayekti N, Yudi H. 2014. Aspek Sosial Ekonomi dalam Pengelolaan
Kawasan Konservasi Perairan Daerah Gili Sulat – Gili Lawang Kabupaten Lombok Timur. WCS-IP.
Bogor.
Lestari, W.P., Sayuti, M.N., Muhsin, Akbar, B.A., Sundari, E., Isnaini, Paridi, P.N., Rahmayanti, S. (2017).
Kajian Sosial Ekonomi Nelayan Hiu Tanjung Luar, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Bogor:
Wildlife Conservation Society – Indonesia Program
Murdi. 2010. Sejarah Sistem Kekerabatan Masyarakat Desa Jerowaru: Sebuah Kajian Sosial.
STKIP Hamzanwadi. Selong
Nisa Ayunda, 2014. Efektivitas Kelembagaan Awig-Awig Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Pantai Di
Kabupaten Lombok Timur. Thesis. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.