Anda di halaman 1dari 48

PENGELOLAAN BUAYA MUARA ( Crocodylus porosus) DAN

TINGKAT KESEJAHTERAANNYA DI TAMAN BUAYA


ASAM KUMBANG SUMATERA UTARA

SKRIPSI

OLEH:
BURJU OKTWO DLR
121201163/KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN


FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2018

Universitas Sumatera Utara


PENGELOLAAN BUAYA MUARA ( Crocodylus porosus) DAN
TINGKAT KESEJAHTERAANNYA DI TAMAN BUAYA
ASAM KUMBANG SUMATERA UTARA

SKRIPSI

OLEH:
BURJU OKTWO DLR
121201163/KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN

Skripsi merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar


Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan
Universitas Sumatera Utara

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN


FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2018

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK

BURJU OKTWO DLR:Pengelolaan Buaya Muara (Crocodylus porosus) dan


Tingkat Kesejahteraan Satwa Buaya Di Taman Buaya Asam Kumbang Sumatera
Utara. Dibimbing oleh PINDI PATANA dan MA’RIFATIN ZAHRA

Taman Buaya Asam Kumbang merupakan salah satu objek wisata yang
terdapat di Sumatera Utara . Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
pengelolaan buaya di Taman Buaya Asam Kumbang dan untuk mengetahui
tingkat kesejahteraan buaya di Taman Buaya Asam Kumbang. Metode penelitian
dilakukan dengan mengumpulkan data primer dan data sekunder, dengan
pengamatan secara langsung kegiatan pengelolaan, pengukuran serta wawancara.
Penilaian pengelolaan buaya muara di penangkaran Taman Buaya Asam
Kumbang kategori kesejahteraan satwa dilihat dari aspek bebas dari rasa lapar dan
haus 60, bebas dari rasa ketidaknyamanan lingkungan 48, bebas dari rasa sakit,
luka dan penyakit 40, bebas untuk berperilaku alami 40,5, bebas dari rasa takut
dan tertekan 43,5 dan dari indikator tersebut nilai kesejahteraan satwa memiliki
nilai 46,4 yang dikategorikan kurang.

Kata kunci : Buaya muara, penangkaran, komponen kesejahteraan satwa

Universitas Sumatera Utara


ABSTRACT

BURJU OKTWO DLR: Salwater crocodile(Crocodylus porosus) and Welfare


Rate in Crocodile Park of Taman Buaya Asam Kumbang Sumatera Utara.
Surpevised by PINDI PATANA and MA'RIFATIN ZAHRA

Taman Buaya Asam Kumbang is one of the attractions in Sumatra. The purpose of
this research is to know the management of crocodiles in Taman Buaya Asam
Kumbang and to know the level of welfare of crocodiles in Taman Buaya Asam
Kumbang. The research method was done by collect primary data and secondary
data, with direct observation of management activities, measurement and
interview. The results of management assessment of estuarine crocodiles in
Taman Buaya Asam Kumbangcategory of animal welfare in Taman Buaya Asam
Kumbang seen from the free aspect of hunger and thirsty 60, free from the sense
of environmental discomfort 48, free from pain, injury and disease 40, free to
behave naturally 40.5,and free from fear and distress 43.5 .Over all the a value
of crocodile welfare is 46.4 and categorized as less

Keywords: crocodile estuary, captive, animal welfare component

Universitas Sumatera Utara


RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Padang pada tanggal 02 Oktober 1994 dari Ayah

Parluhutan Nainggolan dan Ibu Launi Crishtina Situmorang. Penulis merupakan

anak pertama dari empat bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah

dasar di SD SwastaSetia Air Tawar Barat Koto Tangah pada tahun 2006, pada

tahun 2009 penulis lulus dari SMP Swasta Yos Sudarso Padang, dan pada tahun

2012 penulis lulus dari SMA Negeri 6 Sijunjung. Pada tahun yang sama penulis

lulus Seleksi Ujian Masuk Bersama (UMB) dan diterima sebagai mahasiswa

Program Studi Kehutanan, Fakultas Kehutanan, Universitas Sumatera Utara.

Selama menuntut ilmu di Universitas Sumatera Utara, penulis aktif di

sejumlah organisasi kemahasiswaan yaitu sebagai anggota Himpunan Mahasiswa

Sylva (HIMAS), Unit Kegiatan Mahasiswa Kebaktian Mahasiswa Kristen (UKM

KMK USU).

Penulis melaksanakan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) pada

tahun 2014 di Pulau Sembilan Kabupaten Langkat. Penulis melaksankan Praktek

Kerja Lapang (PKL) di Taman Nasional Siberut dari tanggal 14Juli 2016-13

Agustus 2016. Penulis melaksanakan penelitian dengan judul “Pengelolaan Buaya

Muara (Crocodylus porosus) dan Tingkat Kesejahteraannya Di Taman Buaya

Asam Kumbang Sumatera Utara” dibawah bimbingan Pindi Patana, S.Hut, M.Si.

dan Dr. Ir. Ma’rifatin Zahra, M.Si.

Universitas Sumatera Utara


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas

kasih karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul

“Pengelolaan Buaya Muara (Crocodylus porosus) dan TingkatKejesahteraan Di

Taman Buaya Asam Kumbang Sumatera Utara”.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Pindi Patana S.Hut., M.Sc dan

Dr. Ir. Ma’rifatin Zahra, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah mengarahkan

dan memberikan saran dan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi

ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada orang tua dan saudara-saudara

atas dukungan dan doanya kepada penulis serta kepada teman-teman yang

membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih jauh dari

sempurna. Oleh karena itu penulis menerima kritikan dan saran yang membangun

dari pembaca. Atas kritikan dan sarannya penulis ucapkan terimakasih.

Medan, Juli 2018

Penulis

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ......................................................................................................

.......................................................................................................................... iRI

WAYAT HIDUP ............................................................................................ ii

KATA PENGANTAR .................................................................................... iii

DAFTAR ISI ................................................................................................... iv

DAFTAR TABEL .......................................................................................... v

DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... vi

PENDAHULUAN
LatarBelakang ...................................................................................... 1
Perumusan Masalah ............................................................................ 2
Tujuan Penelitian ................................................................................. 3
Manfaat Penelitian ............................................................................... 3

TINJAUAN PUSTAKA
Satwa Liar ............................................................................................ 4
Konservasi Eks-situ ............................................................................. 5
Buaya Muara ....................................................................................... 7
Lokasi Penelitian ................................................................................. 10

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat ............................................................................... 11
Alat dan Bahan ..................................................................................... 11
Metode Pengumpulan Data .................................................................. 11

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pengelolaan buaya di TBAK............................................................................ 14
Pengelolaan pakan buaya ..................................................................... 14
Pengelolaan kandang............................................................................ 17
Pengelolaan kesehatan ......................................................................... 19
Pengeloaan lingkungan ........................................................................ 21
Faktor kesejahteraan......................................................................................... 23
Aspek bebas dari rasa haus dan lapar ................................................... 23
Aspek bebas dari rasa ketidaknyamanan lingkungan........................... 24
Aspek bebas dari rasa sakit, luka dan penyakit .................................... 25

Universitas Sumatera Utara


Aspek bebas untuk menampilkan perilaku alami ................................ 26
Aspek bebas dari takut dan tertekan..................................................... 29
Kategori kesejahteraan buaya .......................................................................... 31

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan .......................................................................................... 33
Saran ..................................................................................................... 33

DAFTAR PUSTAKA

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1. Bobot parameter kesejahteraan satwa ............................................... 13
Tabel 2. Klasifikasi penilaian kesejahteraan satwa ......................................... 13
Tabel 3.Penilaian komponen kesejahteraan satwa .......................................... 13
Tabel4. Komponen bebas dari rasa lapar dan haus .......................................... 23
Tabel5. Komponen bebas dari rasa ketidaknyamanan lingkungan ................. 24
Tabel6. Komponen bebas dari rasa saki, luka dan penyakit ............................ 25
Tabel7. Komponen bebas untuk memampilkan perilaku alami ....................... 26
Tabel8. Komponen bebas dari rasa takut dan tertekan .................................... 29
Tabel9. Penilaian kesejahteraan buaya muara Di TBAK................................. 31

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 1. Pakan buaya ................................................................................... 15
Gambar 2. Anakan buaya ................................................................................ 16
Gambar 3. Keadaan air pada danau.................................................................. 16
Gambar 4. Kandang pertunjukan .................................................................... 17
Gambar 5. Kandang anakan dan ember anakan buaya ................................... 18
Gambar 6. Buaya cacat ................................................................................... 19
Gambar 7. Buaya stress ................................................................................... 20
Gambar 8. Pembersihan kandang .................................................................... 21
Gambar 9. Keadaan danau ............................................................................... 22
Gambar 10. Keadaan daratan danau ................................................................ 27

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang terletak di garis khatulistiwa yang

memiliki 1585 jenis burung atau 17% dari burung dunia, 700 jenis mamalia atau

12% dari mamalia dunia, 511 jenis reptili dan 270 jenis amfibia atau 16% dari

amfibia dunia (Primack,2010). Saat ini keanekaragaman jenis satwaliar di

Indonesia dalam keadaan terancam punah karena banyak populasi yang menurun

dari tahun ke tahun. Penyebab terancamnya satwaliar adalah penurunan habitat

alami (Ehrlich danSodhi, 2010). Selain penurunan habitat, pemanfaatan satwaliar

secara berlebihan juga menjadi penyebab punahnya satwaliar (Cadman, 2007).

Manusia berburu satwaliar untuk dimakan dagingnya, diambil bagian-bagian

tubuhnya untuk obat, dijadikan hewan peliharaan, atau diperjualbelikan sebagai

barang komoditas (Soehartono dan Mardiastuti, 2003).

Buaya muara merupakan salah satu jenis reptil di Indonesia yang termasuk

hampir punah. Buaya muara termasuk dalam Appendix II CITES yang artinya

spesies yang tidak terancam kepunahan, tetapi akan terancam punah apabila

perdagangan terus berlanjut tanpa adanya pengaturan. Menurut IUCN buaya

muara termasuk dalam kategori least concern (LC), diperkirakan populasi buaya

muara yang hidup liar di alam sekitar 20.000 hingga 30.000 ekor. Keberadaan

buaya muara (Crocodylus porosus) di alam terancam punah yang diakibatkan oleh

adanya kerusakan habitat, berkurangnya habitat dan perburuan secara liar

(Ariantiningsih 2008).

Universitas Sumatera Utara


Dalam perundang-undangan Nomor 5 tahun 1990 salah satu kegiatan

konservasi ex situadalah penangkaran hewan yang bertujuan untuk melestarikan

dan diselamatkan dari kepunahan dengan upaya pelestarian diluar habitat alami.

Penangkaran dilakukan untuk memperbanyak populasi, sehingga dapat

meningkatkan kesejahteraan satwa.

P.9/IV-SET/2011 pasal 1 ayat 2, menyebutkan bahwa kesejahteraan satwa

standar minimum prinsip kesejahteraan satwa yang terdapat pada pasal 6 ayat 3

antara lain (1) bebas dari rasa lapar dan haus, (2) bebas dari ketidaknyamanan

lingkungan, (3) bebas dari rasa sakit, luka, dan penyakit, (4) bebas dari rasa takut

dan tertekan, (5) bebas untuk berperilaku alami. Kelima standar tersebut

merupakan kriteria yang menjadi indikator terhadap ketercukupan kesejahteraan

hidup satwa di suatu lembaga konservasi.

Taman Buaya Asam Kumbang Medan merupakan salah satu objek wisata

yang telah dikenal oleh masyarakat luas. Daerah ini merupakan salah satu fasilitas

konservasi ex situ yang banyak diminati oleh masyarakat, baik masyarakat yang

ada dikotamedan maupun dari luar Kota Medan.

Taman Buaya Asam Kumbang Medan merupakan taman satwa yang

artinya tempat atau wadah dengan fungsi utama ex situ yang melakukan usaha

perawatan dan penangkaran buaya dalam rangka membentuk dan

mengembangkan habitat baru sebagai sarana perlindungan dan pelestarian alam

yang dimanfaatkan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta

untuk sarana rekreasi alam yang sehat (Banyumurti, 2013).

Universitas Sumatera Utara


Rumusan Masalah

Tingkat kesejahteraan satwa ada 5 yaitu bebas dari rasa haus dan lapar,

bebas dari ketidaknyamanan lingkungan, bebas dari rasa sakit, luka dan penyakit,

bebas dari rasa takut dan tertekan, bebas untuk berperilaku alami. Penangkaran

Buaya Asam Kumbang dilihat tingkat kesejahteraan satwa buruk. Untuk

mendapatkan nilai tingkat kesejahteraan satwa di penangkaran dilakukan

penelitian di penangkaran buaya asam kumbang.

Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pengelolaan buaya di Taman Buaya Asam Kumbang

2. Untuk mengetahui tingkat kesejahteraan buaya di Taman Buaya Asam

Kumbang

Manfaat Peneletian

Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan informasi mengenai

pengelolaan kesejahteraan buaya yang baik dalam kegiatan konservasi dan

memberikan pertimbangan kepada pengelola untuk meningkatkan kesejahteraan

satwa

Universitas Sumatera Utara


TINJAUAN PUSTAKA

Satwa Liar

Kehidupan satwaliar di dunia ini semakin terdesak oleh kehidupan

manusia yang jumlahnya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Satwaliar

banyak yang diburu baik untuk perdagangan secara langsung maupun untuk

dimanfaatkan bagian-bagian anggota tubuhnya seperti daging, tanduk, gading,

kulit, bulunya bahkan minyak, telur dan sarangnya. Dalam hal ini pemerintah

telah menetapkankawasan konservasi seperti Taman Nasional, Suaka

Margasatwa, dan Cagar Alam. Selain sebagai tempat berlindung satwaliar,

kawasan konservasi tersebut juga dimanfaatkan untuk kegiatan penelitian,

pendidikan, pariwisata, dan rekreasi (Alikodra, 1990).

Satwa merupakan sebagian sumber daya alam yang tidak ternilai harganya

sehingga kelestariannya perlu dijaga agar tidak punah baik karena faktor alam

maupun perbuatan manusia seperti perburuan dan kepemilikan satwa yang tidak

sah. Pengembangbiakan jenis-jenis satwa liar yang dilakukan secara intensif

dalam kandang atau disuatu tempat yang diberi batas yang lazim sebagai

penangkaran, memiliki proses pemeliharaan yang ada pada dasarnya sama dengan

pengembangbiakan pada hewan ternak. Dalam usaha penangkaran suatu jenis

satwa liar, proses adaptasi dalam jangka waktu cukup panjang, mulai saat individu

satwa ditangkap dari alam sampai tahap dimana individu tersebut mampu

menyesuaikan diri dengan kondisi lokasi penangkaran dan lingkungan serta

perlakuan perlakuan yang diterima (Thohari, 1987).

Salah satu satwa liar yang banyak dieksploitasi adalah buaya. Di Indonesia

terdapat empat jenis buaya yaitu Tomistoma schlegelii, Crocodylus siamensis,

Universitas Sumatera Utara


Crocodylus novaeguineae (dilindungi berdasarkan SK Mentan No

327/Kpts/Um/5/1978) dan Crocodylus porosus dilindungi berdasarkanSK Mentan

No 716/Kpts/Um/105/1980. Keempatnya kemudian dilindungi berdasarkan PP

No. 7 Tahun 1999. Berdasarkan surat keputusan tersebut pemanfaatan semua jenis

buaya di Indonesia harus seijin Menteri Kehutanan Indonesia.

Konservasi Ex situ

Berdasarkan peraturan perundang- undangan Nomor 5 Tahun 1990 tentang

Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Pasal 1 ayat (2) disebutkan bahwa

konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan sumber daya alam hayati

yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan

persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas

keanekaragaman dan nilainya.

Upaya konservasi ex situ merupakan upaya pengawetan jenis tumbuhan

dan satwa liar yang dilakukan di luar habitat. Kegiatan konservasi ex situ ini

dilakukan untuk menghindarkan adanya kepunahan suatu jenis. Tempat yang

cocok untuk melakukan kegiatan tersebut misalnya di Kebun Binatang, Kebun

Raya, Taman Safari dan Penangkaran Hewan.

Upaya pemerintah Indonesia dalam mengatasi dan mencegah penurunan

populasi buaya akibat tingginya pemanfaatan yaitu dengan mengeluarkan SK

No.716/Kpts/Um/10/1980 tentang perlindungan buaya muara. Pemerintah

kemudian menetapkan buaya dan jenis satwa lain yang dilindungi dalam Undang-

Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan

Ekosistemnya yang tercantum dalam peraturan pemerintah No. 7 Tahun 1999

tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwaliar. Salah satu bentuk usaha

Universitas Sumatera Utara


pelestarian dan pemanfaatan buaya adalah dengan kegiatan penangkaran. Fungsi

penting penangkaran buaya adalah untuk menjaga kelestarian populasi buaya di

alam dan pemanfaatan secara lestari dengan tujuan ekonomi, antara lain

menghasilkan produk bernilai tinggi, sebagai objek rekreasi, sarana pendidikan,

penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, serta dapat memberikan

lapangan pekerjaan.

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 19/Menhut-II/2005 tentang

Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar dan Indikator yang harus dipenuhi kebun

binatang dalam mengelola satwa menurut Perhimpunan Kebun Binatang Se-

Indonesia (PKBSI) sebagai upaya mempertahankan kelestarian satwa liar.

Kegiatan penangkaran dilakukan dengan melalui cara pemeliharaan,

perkembangbiakan, pengkajian, penelitian dan pengembangan, rehabilitasi satwa

dan penyelamatan satwa yang bertujuan untuk menambah dan memulihkan

populasinya dan menyelamatkan sumberdaya genetik dan populasi jenis satwa.

Kondisi penangkaran juga harus disesuaikan dengan habitat aslinya agar satwa

dapat beradaptasi dan mencegah satwa stress. Selain itu, penangkaran harus bisa

memperhatikan kesejahteraan satwa itu sendiri.

Penangkaran merupakan pengembangbiakan yang dilakukan dalam

lingkungan buatan dengan menjaga kemurnian genetiknya dan merupakan salah

satu cara lain yang efektif tetapi kadang mahal untuk beberapa jenis satwa.

Harapannya, perkembangbiakan pada tingkat penangkaran dapat berlangsung

dengan cepat dengan kemungkinan adanya pelepasan ke alam selain dari

pemanfaatan langsung dari hasil tangkaran (Semiadi, 2007).

Universitas Sumatera Utara


Menurut Suwandi (1991), hal-hal yang perlu diperhatikan dalam usaha

penangkaran buaya antara lain: adanya kandang yang terbuka dan luas,

tersedianya air bersih yang cukup banyak dan sebaiknya mengalir, tersedianya

makanan yang cukup secara kontinyu, dan tersedianya tenaga pengelola yang

mengurus buaya tersebut.

Menurut PP No. 8 Tahun 1999, standar kualifikasi penangkaran bagi para

penangkar yang ingin menjual hasil penangkarannya didasarkan pertimbangan: (a)

batas jumlah populasi jenis tumbuhan dan satwa hasil penangkaran; (b)

profesionalisme kegiatan penangkaran; (c) tingkat kelangkaan jenis tumbuhan dan

satwa yang ditangkarkan. Hasil penangkaran satwaliar yang dilindungi yang 8

digunakan untuk perdagangan adalah satwaliar generasi kedua dan generasi

berikutnya.

Buaya Muara

Berdasarkan klasifikasi buaya secara taksonomi adalah :

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Class : Reptilia

Ordo : Crocodilia

Famili : Crocodylidae

Genus : Crocodylus

Spesies : Crocodylus porosusSchneider (1801)

Buaya muara termasuk masuk ke dalam Appendix II CITES (Convention

on International Trade of Endangered Spesies of Wild Flora and Fauna) yang

artinya spesies yang tidak terancam kepunahan, tetapi akan terancam punah

Universitas Sumatera Utara


apabila perdagangan terus berlanjut tanpa adanya pengaturan. Menurut IUCN

buaya muara termasuk dalam kategori least concern (LC).

Buaya muara (Crocodylus porosus) adalah jenis buaya yang hidup di

sungai-sungai dan dilaut dekat muara. Daerah penyebarannya dapat ditemukan di

seluruh perairan Indonesia. Moncong spesies ini cukup lebar dan tidak punya sisik

lebar pada tengkuknya, panjang tubuh sampai ekor bisa mencapai 12 meter seperti

yang pernah ditemukan di Kalimantan Timur. Penyebaranbuaya muara memiliki

wilayah perantauan mulai dari perairan Teluk Benggala (Sri Lanka,Bangladesh,

India) hingga perairanPolinesia (Kepulauan Fiji dan Vanuatu). Sedangkan habitat

favorit untuk mereka tentu saja perairan Indonesia dan Australia.

Buaya merupakan hewan ectotherms yang artinya mereka tergantung

kepada sumber panas dari luar untuk mengatur terperatur tubuhnya. Pada pagi hari

ketika sinar matahari sudah mulai muncul, sekitar pukul 07.15, buaya keluar dari

dalam sungai menuju ketepian untuk melakukan basking (berjemur). Hal ini

dimaksudkan untuk menaikkan suhu tubuhnya sehingga mencapai suhu uang

dibutuhkan untuk melakukan kegiatan normal dan untuk mengembalikan kalori

yang hilang selama di dalam sungai pada malam harinya. Buaya umumnya

membuka mulutnya sampai matahari terik sebagai mekanisme pendingin untuk

menjaga suhu tubuhnya. Kemudian buaya masuk kedalam semak-semak yang

lembab atau kembali ke sungai dengan kondisi setenga tubuhnya terendam

(Izzudin, 1989). Buaya di alam bersifat sectetive(suka bersembunyi) dan jarang

terlihat dalam kelompok. Pada sore hari buaya keluar untuk mencari makan dan

pada malam hari turun ke sungai (berendam di dalam air) karena suhu air lebih

tinggi (hangat) daripada di darat (Harto, 2002).

Universitas Sumatera Utara


Manusia berburu satwaliar untuk dimakan dagingnya, diambil bagian-

bagian tubuhnya untuk obat, dijadikan hewan peliharaan atau diperjualbelikan

sebagai barang komoditas (Soehartono dan Mardiastuti, 2003). Salah satu jenis

adalah buaya muara merupakan satwa liar yang mempunyai potensi besar yang

dapat dikembangkan menjadi sumber ekonomi bagi masyarakat. Barang-barang

yang dapat dihasilkan dari buaya muara dapat berupa daging, kulit dan bagian

tubuh buaya yang lain sperti lemak, empedu, tangkur, gigi, dan juga kuku. Kulit

buaya muara dapat digunakan sebagai kerajinan tangan seperti tas, ikat pinggang,

jeket, sepatu sandal, dompet, dan koper. Daging buaya muara dapat sebagai

sumber protein yang tinggi. Bagian kuku dan gigi buaya muara dapat dijadikan

sebagai aksesoris, sedangkan bagian empedu , tangkur, dan lemak dapat dijadikan

untuk obat tradisioanal (Arifin, 2008).

Nilai ekonomi tinggi yang menyebabkan permintaan terhadap buaya

muara (Crocodylus porosus) terus meningkat setiap tahunnya. Hal ini

menimbulkan rangsangan kepada masyarakat untuk mengeksploitasi buaya muara

sebanyak mungkin dari alam. Penangkapan dan perburuan terhadap buaya muara

merupakan salah satu penyebab utama kepunahan. Oleh karena itu perlu

dilakukan upaya-upaya perlindungan, salah satunya melalui kegiatan penangkaran

agar eksploitasi buaya muara dari alam dapat dikurangi sehingga kelestariannya

dapat terus terjaga (Sarwono, 2010).

Berkurangnya populasi buaya muara disebabkan oleh beberapa faktor

diantaranya, kerusakan habitat yang disebabkan pembalakan liar sehingga habitat

alami buaya mengalami degradasi, perburuan secara liar dan lemahnya

Universitas Sumatera Utara


pengetahuan dari masyarakat setempat mengenai pelestarian lingkungan

khususnya pada buaya muara (Ariantiningsih, 2008).

Lokasi Penilitian

Taman Buaya Asam Kumbang didirikan pada tahun 1959 yang berlokasi

di Jalan Bunga Raya, Kelurahan Asam Kumbang, Kecamatan Medan Selayang,

Medan Sumatera Utara. Ditempat ini terdapat 3000 ekor lebih buaya ekor lebih

buaya dengan jenis buaya muara dari yang kecil hingga yang besar. Penangkaran

buaya ini dibangun diatas tanah seluas 2 ha.Taman Buaya Asam Kumbang

merupakan penangkaran terbesar di Sumatera yang pemanfaatannya digunakan

sebagai objek wisata yang naungi oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata.

BKSDA berperan hanya sebagai mitra kerja sama antara pemilik penangkaran

dengan pemerintah, status kelembagaan konservasi TBAK adalah legal.

Penangkaran buaya Asam Kumbang merupakan taman reptil terbesar

diindonesia. Ditempat ini terdapat 3000 ekor lebih buaya dengan jenis buaya

muara dan buaya sungai dari yang kecil hingga yang besar. Penangkaran buaya ini

dibangun diatas tanah seluas 2 ha. Diperternakan ini telah menghasilkan ribuan

ekor buaya siap produksi (Banyumurti, 2013).

Universitas Sumatera Utara


METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan diTaman Buaya Asam Kumbang (TBAK) yang

berlokasi dijalan di Bunga Raya, Kelurahan Asam Kumbang, Kecamatan Medan

Selayang, Medan Sumatera Utara. Taman Buaya ini dibangun diatas tanah seluas

2 ha. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan bulan April

2017.

Alat dan Bahan


Alat yang digunakan adalah kamera, alat tulis dan panduan wawancara.

Objek yang dijadikan penelitian adalah buaya muara (Crocodylus porosus).

Metode pengumpulan data

Pengumpulan data primer yang akan dilakukan dengan metode observasi

(pengamatan),wawancara dan dokumentasi sedangkan data sekunder dilakukan

melalui data dari pemerintahan dan dari pengelola TBAK.

Metode pengamatan

Metode pengamatan yang akan dilakukan dengan mencakup aspek

kesejahteraan satwa. Pengamatan dilakukan dengan mengamati secara langsung

pengelolaan buaya muara di TBAK meliputi: pemberian pakan buaya, jumlah

pakan buaya, kegiatan pembersihan kandang, kegiatan pengelolaan kesehatan

buaya, kegiatan pengelolaan lingkungan.

Pengukuran

Kegiatan pengukuran yang akan dilakukan meliputi pengukuran semua

kandang dengan mengukur panjang, tinggi dan lebar kandang menggunakan

meteran.

Wawancara

Universitas Sumatera Utara


Metode wawancara menggunakan dengan pendekatan perposive sampling.

Wawancara dilakukan kepada pengelola penangkaran dan karyawan khusus yang

dipilih oleh peneliti sendiri, petugas penangkaran di Taman Buaya Asam

Kumbang Medan.

Analisis Data

Metode yang digunakan dalam menganalisis pengelolaan kesejahteraan

satwa di Taman Buaya Asam Kumbang yaitu dengan memberikan nilai pada

setiap variable yang ditetapkan. Nilai untuk setiap variable yaitu 1=buruk,

2=kurang, 3=cukup, 4=baik, 5=memuaskan. Nilai tersebut diberikan pada

parameter yang telah ditetapkan sebelumnya berdasarkan lima prinsip

kejeahteraan satwa. Skor penilaian akan dimasukkan kedalam klasifikasi penilaian

kesejahteraan satwa yang mengacu pada Peraturan Direktur Jendral Perlindungan

Hutan dan Konservasi Alam Nomor P.6/IV-SET/2011 tentang Pedoman Penilaian

Kesejahteraan Satwa. Penilaian dilakukan oleh pengamat dan pengelola agar

didapatkan hasil yang objektif untuk mendapatkan nilai terbobot dengan

menggunakan rumus :

Nilai terbobot =bobot ×skoring

Nilai kesejahteraan satwa menggunakan rumus:

∑ nilai terbobot
Skor penilaian= 5

Universitas Sumatera Utara


Tabel 1. Bobot parameter kesejahteraan satwa
No Komponen Bobot Skoring Nilai
Terbobot
1 Bebas dari lapar dan haus 30 1-5 30-150
2 Bebas dari ketidaknyamanan 20 1-5 20-100
3 Bebas dari rasa sakit, penyakit, dan luka 20 1-5 20-100
4 Bebas berperilaku alami 15 1-5 15-75
5 Bebas dari takut dan tertekan 15 1-5 15-75
Rataan 100

Tabel 2. Klasifikasi penilaian kesejahteraan satwa


No Klasifikasi penilaian Skor
1 Sangat baik 80,00-100
2 Baik 70,00-79,00
3 Cukup 60,00-69,00
4 Kurang < 60
Sumber: Peraturan Dirjen PHKA No. P.6/IV-SET/2011

Tabel 3. Penilaian komponen kesejahteraan satwa


Skor Keterangan
1 Buruk, apabila tidak ada pengelolaan
2 Kurang, apabila sudah ada pengelolaan tetapi tidak sesuai
3 Cukup, apabila sudah ada pengelolaan, sesuai tetapi belum dilaksanakan
4 Baik, apabila sudah ada pengelolaan dan sebagian sudah dilaksanakan
5 Memuaskan, apabila sudah ada pengelolaan dan sudah dilaksanakan

Universitas Sumatera Utara


HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengelolaan penangkaran buaya perlu dilakukan untuk menanggulangi

penurunan populasi buaya saat ini. Banyaknya kematian buaya diakibatkan

kerusakan habiatat dan lemahnya pemahaman masyarakat mengenai pentingnya

menjaga kelestarian buaya. Hal-hal penting yang dilakukan untuk mengelola

penangkaran buaya di TBAK adalah:

Pengelolaan Buaya di TBAK

1. Pengelolaan Pakan Buaya

Pakan merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi

kelangsungan hidup mahkluk hidup. Menurut Hardjanto dan Masyud (1991)

beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penyediaan makanan buaya yakni:

• Jenis-jenis makanan yang biasa dimakan buaya disesuaikan dengan umurnya.

• Jumlah makanan yang diperlukan buaya untuk mencapai pertumbuhan atau

produksi maksimal.

• Cara penyediaan ransum buaya sesuai umur, aktifitas buaya, dan tujuan

pemeliharaan (misalnya untuk pembesaran, pembibitan, dll).

Pakan yang tersedia di TBAK adalah pakan segar dan pakan yang mati.

Jenis pakan yang segaradalah bebek dan jenis pakan mati adalah kepala bebek,

kepala ayam, jeroan.Pakan yang hidup adalah bebek, (gambar 1b) dimana bebek

tersebut dijual kepada pengunjung dan untuk pakan yang mati terdiri dari kepala

bebek, kepala ayam, jeroan tergantung ketersedian yang ada dari pengelola.

Universitas Sumatera Utara


(a) (b)
Gambar 1.a. Pakan ayam ; b. Pakan kepala bebek

Pakan mati yang digunakan pengelola didapatkan dari rumah potong yang

ada di sekitar penangkaran. Berdasarkan pengamatan kualitas pakan mati yang

ada memiliki kualitas yang buruk. Hal itu dikarenakan pakan mati tersebut

merupakan sisa-sisa penjualan dan sudah menjadi bangkai dan berbau busuk.

Menurut Simanungkalit (1994) jumlah makanan yang diberikan pada

buaya anakan sebanyak 80 gram per ekor dengan frekuensi pemberian 4 kali satu

minggu, buaya remaja 700 – 1000 gram 3 kali satu minggu dan buaya indukan

1000 gram 2 kali dalam satu minggu.

Hal ini tidak sesuai dengan yang dilakukan oleh TBAK dimana jumlah

pakan yang diberikan pada buaya tidak tergantung pada umur dan bobot tubuh

buayahal ini tidak sesuai dengan pernyataan Iskandar(2009) bahwa sesuai dengan

tubuhnya buaya muara membutuhkan makanan dalam jumlah yang banyak pula

kebutuhan makannya. Jadi, jumlah makanan buaya muara disesuaikan dengan

ukuran tubuhnya.

Gumilar (2007) menyatakan bahwa anakan buaya yang baru menetas tidak

diberi makan hingga berumur 1-2 minggu. Hal ini karena anakan yang baru

menetas masih menggunakan persediaan kuning telur yang terdapat di dalam

Universitas Sumatera Utara


tubuhnya sebagai bahan makanan. Anakan buaya tersebut akan diberikan makan

setelah persediaan kuning telur dalam tubuhnya habis yakni pada umur 1-2

minggu.

Gambar 2. Anakan buaya

Pakan untuk buaya yang berada di dalam danau buatan TBAK tidak

disediakan oleh pengelola. Buaya dibiarkan mencari mangsanya sendiri. Sumber

makanan buaya yang didanau didapatkan dengan cara berburu burung kuntul yang

banyak bersarang dipohon-pohon di pinggir danau.

Gambar 3. Keadaan air pada danau

Air yang digunakan untuk air minum buaya merupakan air sumur yang

dipompa dengan mesin dan disalurkan menggunakan pipa kekandang buaya.

Kualitas air yang terdapat dalam kandang dapat dikatakan bagus karena air selalu

diganti dan dibersihkan tiap paginya.

Universitas Sumatera Utara


2. Pengelolaan Kandang

(a) (b)
Gambar 4. a. Tampak depan kandang ; b. Tampak dalam kandang

TBAK memiliki 15 kandang pertunjukan yang dapat dilihat oleh

pengunjung dengan jumlah 153 buaya yang dapat dilihat di kandang pertunjukan.

TBAK hanya memiliki 1 jenis kandang yaitu kandang terbuka. Pembagian

kandang terbuka dibagi berdasarkan umur diantaranya, kandang buaya yang

kandang untuk buaya yang berumur 5 tahun berukuran (2,5m x 5m x 1m), umur

13 tahun (5m x 5m x1m), umur 9 tahun dan umur 43 tahun (5m x 6m x 1m).Jenis

konstruksi pada kandang adalah semen dan pagar kawat yang ukuran nya 1 m dan

lantai nya terbuat dari semen. Kandang tersebut memiliki parit sesuai dengan

pernyataan Ganesa dan Aunurohim (2012) bahwa parit sangat penting sebagai

tempat pembuangan air setelah kandang selesai dibersihkan.

Didalam kandang terdapat parit-parit air yang digunakan sebagai tempat

berendam buaya. Dalam satu kandang terdapat buaya berjumlah 10 - 40 buaya

tanpa ada pembedaan buaya jantan dan buaya betina. Pada kandang dengan

jumlah buaya yang terlalu banyak, banyak terjadi persaingan mendapatkan

makanan dan kesulitan bergerak karena ruang pergerakan yang terbatas sesuai

dengan pernyataan Putra (2011) mengatakan kondisi kandang yang tidak baik

merupakan faktor yang dapat mempengaruhi perilaku sosial. Semakin terbatas

Universitas Sumatera Utara


ukuran kandang menyebabkan ruang dan kesempatan bermain menjadi terbatas.

Ukuran kandang yang sesuai yaitu ukuran kandang yang dapat memberikan ruang

satwa untuk bebas dari perilaku alami seperti di habitat alaminya.

(a) (b)
Gambar 5. a.Kandang Anakan ; b. Ember Anakan Buaya

Kandang untuk anakan yang berusia kurang lebih dari 9 bulan terletak

terpisah dari kandang lainnya. Sedangkan anakan yang baru menetas ditempatkan

didalam ember seperti pada gambar 5b. Anakan-anakan tersebut ditempatkan

didaerah yang tertutup untuk pengunjung dan hanya bisa dilihat oleh pengelola.

Selain itu anakan juga dipisah dari indukan untuk mempermudah perawatan serta

mengihindari resiko dimakan buaya lain yang lebih besar. Hal ini dikarenakan

anakan buaya sangat sensitif dengan lingkungan dan dapat menyebabkan

kematian diakibatkan stress dan terkejut. Menurut Bolton (1989) anakan buaya

bersifat penakut sehingga memerlukan tempat yang aman dan tersembunyi agar

mengurangi tingkat stress dan gangguan manusia dan kendaraan.

Selain kandang anakan, TBAK juga yang sudah disebutkan TBAK juga

mempunyai kandang untuk buaya yang sakit dan kandang untuk buaya buntung

yang ukuran kandangnya lebih kecil dari ukuran kandang yang lain. Buaya

buntung ini dikarenakan bawaan lahir dan dipisahkan dengan buaya lainnya.

Universitas Sumatera Utara


Kandang yang ada di TBAK berjumlah sebanyak 15 kandang. Ada

beberapa kandang dengan pembagian umur dan dibiarkan bercampur aduk dari

tahun ketahun sehingga mengurangi keberhasilan penangkaran.

Kegiatan pembersihan kandang dilakukan tiap pagi hari serta pengantian

air kandang. Menurut Mayori (2015) kolam yang kotor dan kurang bersih

kandang sangat mempengaruhi kesehatan buaya muara. Perawatan kandang

bertujuan untuk menjaga kebersihan kandang agar buaya muara dapat hidup sehat

dan terhindar dari berbagai penyakit.

3. Pengelolaan Kesehatan

Sakit, luka dan penyakit adalah hal yang tidak dapat dihindari dalam

pengeloaan penangkaran. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan ada

buaya yang megalami luka-luka, sakit, stress, cacat tubuh dan kematian. Pada

penelitian terdapat kematian buaya pada bulan April 2017 sebanyak 2 ekor karena

sakit dan kematian tiba-tiba. Satwa dapat tertekan dan stres disebabkan

ketidaksesuaian lingkungan dengan habitatnya asli satwa dan kondisi lingkungan

yang tidak nyaman (ISAW, 2013)

(a) (b)
Gambar 6. a. Buaya buntung ; b. Buaya cacat
Buaya muara sakit memiliki tanda-tanda khusus seperti menyendiri dari

kelompoknya, lemas, tidak nafsu makan. Berdasarkan tanda-tanda di atas,

Universitas Sumatera Utara


sebaiknya petugas di penangkaran harus peka terhadap perubahan yang terjadi

pada setiap perilaku dan keadaan tubuh buaya muara. Petugas juga harus

berkonsultasi dengan dokter hewan yang ahli dalam penyakit buaya, sehingga

buaya yang terserang penyakit dapat di diagnosa dengan cepat dan ditangani

dengan cepat (Enviromental Protection Agency, 2009).

Gambar 7. Buaya stres


Menurut Ratnami (2007) stres diakibatkan oleh jumlah populasi buaya

dalam kandang yang sangat banyak, adanya keramaian, perebutan wilayah,

perebutan makanan, perebutan pasangan. Apabila buaya mengalami stres yang

tinggi dapat menyebabkan kematian. Upaya untuk mengatasi satwa stress yaitu

mengurangi kontak (audiovisual), mengurangi cahaya dan air, mengurangi kontak

penciuman, isolasi, dan habituasi (Felisa, 2014).

Menurut Ecclestone (2009) untuk mencegah satwa kemungkinan jatuh

sakit dan luka, atau menderita luka-luka maka harus menjamin bahwa satwa itu

diperiksa oleh dokter hewan dan diobati hal ini tidak sesuai dengan yang

dilakukan oleh TBAK. Pemeriksaan kesehatan terhadap buaya yang luka dan sakit

belum dilakukan dengan baik. Pemeriksaan yang dilakukan hanya sekedar

mengamati perilaku dan keadaan fisik buaya tersebut. Jika ada buaya yang sakit

Universitas Sumatera Utara


didalam kandang akan dipisahkan dari buaya lainnya agar tidak menularkan

penyakit; sedangkan dalam danau buaya yang sakit dibiarkan atau diangkat

kedaratan jika memungkinkan. Penangkaran tidak memiliki fasilitas medis jika

ada buaya yang sakit biasanya mereka hanya membiarkan sampai sembuh sendiri

sehingga penangkaran tidak memiliki catatan kesehatan pada buaya tersebut.Di

TBAK pengelola tidak memberikan vitamin pada buaya dikarenakan kurangnya

dana pengelolaan

Faktor utama tidak adanya pemeriksaan dan pengendalian penyakit serta

fasilitas medis di TBAK dikarenakan kurangnya pengetahuan pengelola terhadap

penyakit dan cara pengobatan yang baik dan juga keterbatasan dana. Jadi dapat

disimpulkan bahwa pengelolaan kesehatan buaya yang ada di TBAK kurang

memadai dan perlu ditingkatkan lagi untuk kesejahteraan buaya kedepannya.

4. Pengeloaan Lingkungan

Kegiatan pembersihan dan perawatan kandang buaya dilakukan setiap hari

karena sangat mempengaruhi kesehatan buaya muara dan untuk menjaga agar

buaya muara dapat hidup dengan sehat dan terhindar dari berbagai penyakit.

(a) (b)
Gambar 8. a. Pembersihan kandang ; b. Saluran air

Universitas Sumatera Utara


Pengelolaan kandang, pakan, kesehatan dan lingkungan memberikan

pengaruh pada masa hidup satwa.Akibatnya banyak buaya yang terluka karena

berkelahi saat bersaing.

Danau yang terdapat di TBAK hanya mempunyai kedalaman ± 1m dengan

luas 0,5 ha. Air yang yang terdapat dalam danau dihasilkan dari limbah

pembersihan kandang yang dialirkan kedalam danau. Populasi buaya didalam

danau lebih dari 100 ekor buaya dengan kelas umur yang beragam. Danau

tersebut memiliki cover alami untuk bertelur. Kondisi air dari danau buatan di

TBAK sangat kotor dan berlumpur yang menyebabkan banyaknya parasit yang

berkembang disana dan menganggu buaya. Parasit yang ditemukan adalah lintah

dan parasit pada tubuh buaya (melekat pada tubuhnya).

(a) (b)
Gambar 9. a. Keadaan danau ; b. Buaya berjemur

Keberadaan Penangkaran Buaya Asam Kumbang memberikan dampak

terhadap lingkungan terhadap masayarakat sekitar. Dampak itu berupa

pencemaran lingkungan, baik itu berupa polusi udara berasal dari bau limbah air

danau yang tidak pernah dibersihkan dan diganti. Hal ini dikarenakan

penangkaran tidak mempunyai tempat pembuangan limbah kotoran buaya

kandang sehingga air yang terdapat didanau adalah hasil dari limbah kandang.

Universitas Sumatera Utara


Faktor Kesejahteraan

1. Aspek Bebas dari Rasa Haus dan Lapar


Pada aspek bebas dari rasa haus dan lapar terdiri terdapat 10 komponen
penilaian kesejahteraan. Setiap komponen tersebut memiliki skor seperti yang
disajikan pada table 4.
Tabel 4 komponen bebas dari rasa lapar dan haus
No Komponen Kesejahteraan Satwa Nilai
Bebas dari rasa lapar dan haus 1 2 3 4 5
1 Ketersedian pakan 
2 Ketersedian air bersih setiap saat dalam kandang 
3 Ketersedian bentuk pakan yang sesuai dengan 
kualitas
4 Ketersedian suplemen vitamin dan mineral 
5 Ketersedian jumlah pakan 
6 Pakan yang telah rusak dibuang 
7 Pemberian pakan bagi satwa yang bunting 
8 Kondisi pakan dan minum yang disimpan terjaga 
kualitasnya
9 Untuk penentuan pakan mempertimbangkan 
palabilitas pakan
10 Dilakukan kontrol pakan 
Total skor = 20
Rata-rata skor = 2
Ket: 1. Buruk 2. Kurang 3. Cukup 4. Baik 5. Memuaskan

Dalam komponen bebas dari rasa haus dan lapar komponen bernilai buruk

adalah pakan yang telah rusak dibuang dan pemberian pakan bagi satwa bunting

tidak sesuai dengan pelaksanaan yang dilakukan TBAK dimana pakan yang buruk

diberikan kepada buaya dan pemberian pakan pada buaya bunting tidak diberikan.

Komponen ketersedian air bersih dalam kandang, ketersedian obat, jumlah

pakan, kondisi pakan yang baik, ketentuan pakan sesuai dengan jumlah, dan

kontrol pakan dikatakan kurang karena sudah dilakukan namun tidak sesuai

dengan yang disarankan.

Universitas Sumatera Utara


2. Aspek Bebas dari Rasa Ketidaknyamanan Lingkungan
Pada aspek bebas dari rasa ketidaknyamanan lingkungan terdiri dari 17
komponen penilaian kesejahteraan. Setiap komponen tersebut memiliki nilai-nilai
yang disajikan pada table 5.
Tabel 5 komponen bebas dari ketidaknyamanan lingkungan
No Nilai
Bebas dari ketidaknyamanan 1 2 3 4 5
1 Ketersedian fasilitas untuk satwa 
2 Ketersedian cukup memadai (jumlah, kelamin
dan umur)
3 Ketersedian pagar yang sesuai
4 Ketersedian tipe kandang untuk mencegah 
satwa yang lepas
5 Ketersedian pagar kandang untuk mencegah 
satwa lepas
6 Ketersedian pintu bebas dari segala resiko 
7 Ketersedian permukaan tanah yang cocok 
8 Ketersedian peneduh dan material bangunan 
9 Ketersedian areal pemisah antara satwa betina 
dan anaknya
10 Ketersedian areal pemisah satwa betina dengan 
jantan
11 Areal luar dan dalam kandang rutin dibersihkan 
12 Ketersediaan kandang khusus untuk satwa 
bunting
13 Ketersedian cover 
14 Ketersedian ventilasi memadai 
15 Penyinaran yang tercukupi 
16 Ketersediaan sistem drainase yang cukup 
17 Ketersediaan permukaan lantainya terawat dan 
mudah dibersihkan
Total skor = 47
Rata-rata skor = 2,4
Ket: 1. Buruk 2. Kurang 3. Cukup 4. Baik 5. Memuaskan

Komponen bebas dari rasa ketidaknyaman yang bernilai buruk adalah

permukaan tanah yang cocok, peneduh bangunan dan kandang buaya bunting

tidak tersedia. Komponen yang bernilai kurang adalah fasilatas satwa kandang

yang memadai ukuran kandangdan drainase yang cukup.

Universitas Sumatera Utara


3. Aspek Bebas dari Rasa Sakit, Luka dan Penyakit
Pada aspek bebas dari rasa sakit, luka dan penyakit terdiri dari 8 komponen
penilaian kesejahteraan. Setiap komponen memiliki nilai seperti pada table 6.
Tabel 6 komponen bebas dari rasa sakit, luka dan penyakit
Nilai
No Bebas dari rasa sakit, penyakit, dan luka 1 2 3 4 5
1 Seluruh satwa dalam keadaan sehat 
2 Kondisi dan kesehatan satwa diperiksa secara rutin 
3 Satwa yang sakit segera diberi pengobatan 
4 Tindakan yang dilakukan untuk mencegah serangan 
penyakit
5 Ketersediaan pelayanan dokter hewan
6 Pemberian obat yang sesuai dengan dosis dan jenis 
penyakitnya
7 Ketersedian peralatan medis dalam melakukan 
pemeriksaan kesehatan
8 Pemisahan satwa yang sakit dengan satwa lainya 
Total skor = 42
Rata-rata skor = 2,4
Ket: 1. Buruk 2. Kurang 3. Cukup 4. Baik 5. Memuaskan

Komponen yang bernilai buruk adalah tindakan pencegahan penyakit, obat

yang diberikan, dan peralatan medis serta komponen yang bernilai buruk karena

berbagai macam kondisi kesehatan buaya muara dapat terganggu apabila kondisi

kandang dan danau itu kotor, dan pengaruh cuaca yang tidak baik. Oleh karena itu

pihak penangkaranharus melihat satwa yang sakit diberi pengobatan hal ini tidak

dilakukan sama sekali oleh pengelola dikarena kan keterbatasan dana yang

dimiliki oleh pengelola.

4. Aspek Bebas untuk Menampilkan Perilaku Alami

Aspek bebas menampilkan perilaku alami dimana satwa bebas berperilaku

alami seperti habitatnya. Dalam penangkaran TBAK terdapat danau yang dari ada

dari awal terbentuknya pengkaran tersebut dimana terdapat lebih dari 100 buaya

didalamnya. Disekitar danau ada tempat berjemur, tempat berlindung dinanungi

oleh pohon yang ada, tempat bersarang, tempat bertelur dan tempat kawin.

Universitas Sumatera Utara


Pada aspek bebas dari rasa haus dan lapar terdiri dari 9 komponen penilaian

kesejahteraan. Setiap komponen memiliki nilai seperti pada table 7.

Tabel 7 komponen bebas untuk menampilkan perilaku alami


Nilai
No Bebas untuk berperilaku alami 1 2 3 4 5
1 Ketersedian tempat sesuai dengan habitat aslinya 
(kolam, pohon, semak)
2 Ketersediaan pakan sesuai dengan habitat aslinya 
3 Satwa yang berperilaku tidak normal 
4 Terdapat enrichment kandang sehingga satwa 
mampu terangsang untuk bertindak alami
5 Ketersedian pagar pembatas antara satwa dengan 
pengunjung
6 Ketersedian ukuran kolam memenuhi satwa 
berperilaku secara alami
7 Ketersediaan kolam yang dirancang sesuai dengan 
habitat aslinya
8 Manajemen reproduksi dan breeding yang 
dilakukan (pemilihan bibit, determinasi sex ratio,
pilihan teknik/cara perkawinan alami/buatan,
bulan kawin dan lahir)
9 Ketersedian satwa pernah kabur lepas serta cara 
penanganannya
Total skor = 38
Rata-rata skor = 2,6
Ket: 1. Buruk 2. Kurang 3. Cukup 4. Baik 5. Memuaskan

Setiap satwa mempunyai kebiasaan atau perilaku yang khas masing-

masing jenis. Menurut Philips (2000) diacu dalam Islahuddin (2009) penyedian

ruang yang cukup, fasilatas yang benar dan teman bagi satwa dari sejenisnya akan

membantu satwa mendapatkan kebebasan menunjukan perilaku normalnya.

Pada kandang yang terbuka hanya memiliki tempat berjemur dan juga

tempat berendam yang ukurannya sedang sementara buaya yang ada didalam

kandang melebihi kapasitas. Sehingga mengakibatkan terjadinya perkelahian atau

perebutan tempat dimana yang lemah dibawah atau tempat berendam sedangkan

yang kuat berada ditempat yang berjemur. Keamanan kandang bagi satwa adalah

Universitas Sumatera Utara


keamanan yang disediakan oleh pengelola kepada pengunjung untuk menjaga rasa

aman. Kandang terbuat dari semen dan untuk pagar diatasnya terbuat dari kawat

dan juga terdapat pintu dibawah untuk jalan keluarnya air sanitas. Saluran sanitasi

tertutup dengan menggunakan pintu besi umtuk mencegah buaya keluar dari

kandang.

Aspek penting dari kandang penangkaran buaya yang harus diperhatikan

sesuai dengan kebiasaan buaya adalah areal di dalam kandang yang berfungsi

sebagai tempat berjemur dan berendam.

(a) (b)

Gambar 10. a.Kubangan ; bsarang bertelur buaya

Menurut Collen et al (2008) dan Brien et al (2012), bahwa aktivitas

berendam pada buaya dilakukan sebagai bagian dari penyesuai suhu badan buaya

muara sebelum beraktivitas yaitu berendam di pagi hari dan berjemur pada siang

hari.

Universitas Sumatera Utara


5. Aspek Bebas dari Rasa Takut dan Tertekan

Upaya pencegahan rasa takut dan tertekan dari gangguan yang ditimbulkan

pengunjung dengan memberikan papan peringatan agar tidak menganggu satwa.

Penjagaan atau tindakan dari pihak pengelolaan terkait gangguan yang diberikan

pengunjung terhadap sudah tergolong baik. Selain adanya papan peringatan, pihak

TBAK juga membuat pagar pengamanan. Semua satwa kurungan harus mendapat

porsi yang penting dalam rezim perilaku alaminya. Mereka harus diberi

kesempatan untuk memilih dan mengontrol, agar memungkinkan mereka untuk

membuat kontribusi yang berarti dalam kualitas hidup mereka sendiri (ISAW,

2018)

Moberg (2000) menyatakan stres berpengaruh terhadap kesejahteraan satwa

tergantung besar kecilnya kerugian biologis akibat stres tersebut. Meskipun

akomodasi atas stres mungkin terjadi, namun jika tidak maka stres dapat berakibat

kematian. Stres tidak hanya merupakan keadaan saat satwa harus beradaptasi

melebihi kemampuannya, tetapi juga pada saat satwa mempunyai respon yang

lemah bahkan terhadap rangsangan normal sehari-hari (Duncan dan Fraser 1997).

Persaingan akibat perebutan makanan tak jarang menimbulkan perkelahian

antara buaya yang tidak seumuran dalam satu kandang yang mengakibatkan buaya

stress dan menyendiri. Hal tersebut tidak sesuai dengan pernyataan Nuryanti

(2013) yaitu dalam satu kandang diperbolehkan memelihara buaya yang

berukuran relatif sama, hal ini agar dapat menghindari persaingan yang tidak

seimbang dlam mendapatkan makanan.

Universitas Sumatera Utara


Pada aspek bebas dari rasa takut dan tertekan terdiri dari 9 komponen

penilaian kesejahteraan serta nilai dari komponen tersebut diantaranya:

Tabel 8 komponen bebas dari rasa takut dan tertekan


Nilai
No Bebas dari rasa takut, dan tertekan 1 2 3 4 5
1 Satwa dapat berdampingan dan tidak ada 
interaksi yang mengalami stress
2 Adanya pemisahkan satwa bunting dan 
satwa dengan anaknya untuk menghindari
stress
3 Ketersediaankandang adaptasi sebelum 
satwa diletakkan dikandang aslinya
4 Adanya pemeliharaan staf dapat membuat 
satwa stress
5 Adanya penjagaan atau tindakan dari pihak 
pengelolaan terkait gangguan yang
diberikan pengunjung terhadap satwa
6 Adanya kontak langsung antara satwa dan 
pengunjung
7 Kondisi satwa di TBAK (pasif, pola makan, 
pola tidur)
8 Penanganan satwa yang stress 
9 Apakah TBAK mengadakan studi tingkah 
laku atau fisiologi untuk menentukan
penyebab stress dan usaha mengurangi
stress
Total skor = 26
Rata-rata skor = 2,9
Ket: 1. Buruk 2. Kurang 3. Cukup 4. Baik 5. Memuaskan

Universitas Sumatera Utara


Buaya muara yang ada di penangkaran di TBAK untuk kawin dilakukan

diluar kandangdan bertelur di semak yang jauh dari air yang

tergenang.Ketersediaan tempat bertelur di penangkaran ini sering menjadi

masalah karena sedikitnya lahan yang tersedia dan juga seringnya indukanakan

berkelahi untuk merebut tempat bertelur. Induk yang telah mempunya sarang

bertelur tidak akan pernah pndah karena telah menjadi teritori mereka, induk

tersebut akan menjaga sarang itu sampai menetas. Sedangkan induk yang baru

bertelur tidak mempunyai tempat bersarang akan bertelur dimana saja tetapi tidak

mengeraminya.

Menurut Kurniati (2008) pada dasarnya buaya yang hidup di alam bersifat

penakut. Sifat ini terus dibawa buayawalaupun mereka dibesarkan dalam

lingkungan buatan manusia seperti penangkaran atau tempat pembesaran buaya.

Untuk mengurangi sifat takut tersebut, tahap adaptasi terhadap lingkungan baru

sangat diperlukan untuk meminimalkan stress. Proses adaptasi perlu diberikan

kepada buaya di tempat pembesaran yang letaknya jauh dari keramaian. Adaptasi

yang harus adalah membiasakan buaya dengan suara-suara gaduh dengan cara

mendengarkan suara musik atau radio. Selain itu seringnya buaya dilihat oleh

pemeliharanya akan membiasakan buaya pada kehadiran manusia di lingkungan

pembesaran.

Pengelolan TBAK membuat kandang khusus anakan buaya dan melarang

pengunjung untuk kontak langsung. Hal ini dilakukan untuk mengindari rasa takut

dan tertekan pada anakan buaya. Kontak langsung buaya dengan pengunjung bisa

dilakukan dengan buaya khusus. Buaya ini adalah buaya sudah jinak dan sudah

aman bagi pengunjung.

Universitas Sumatera Utara


Kategori Kesejahteraan Buaya Muara di Penangkaran TBAK

Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan dan wawancara yang dilakukan

dapat diberikan penilaian kesejahteraan buaya muara di TBAK yang mengacu

pada 5 prinsip kesejahteraan Satwa pada tiap komponen dapat dilihat pada tabel9.

Tabel 9 Penilaian kesejahteraan buaya muara di TBAK


No Komponen Bobot Skoring Nilai Kategori
terbobot
1 Bebas dari 30 2 60 Cukup
lapar dan haus
2 Bebas dari rasa 20 2,4 48 Kurang
ketidaknyaman
lingkungan
3 Bebas dari rasa 20 2 40 Kurang
sakit, luka dan
penyakit
4 Bebas untuk 15 2,7 40,5 Kurang
berperilaku
alami
5 Bebas dari rasa 15 2,9 43,5 Kurang
takut dan
tertekan
Rata-rata 46,4 Kurang

Hasil dari rataan komponen kesejahteraan satwa di TBAK bernilai 46,4

yang dapat dikategorikan kurang dimana pada aspek bebas dari rasa haus dan

lapar memiliki nilai kategori cukup. Hal yang diperhatikan dalam aspek ini adalah

pemberian makan dan kuantitas makanan yag diberikan kepada satwa. Komponen

bebas dari rasa ketidaknyamanan lingkungan masih kurang dikarenakan hanya

masih ada jumlah kandang yang tidak disesuaikan dengan luas kandang dan tidak

adanya pembedaan kandang kandang untuk satwa yang bunting dan kandang

pembesaran untuk satwa.

Universitas Sumatera Utara


Komponen bebas dari rasa sakit, luka dan penyakit nilai kategorinya

kurang pengetahuan pengelolaan terhadap jenis penyakit buaya dan cara

pengobatannya selain itu juga keterbatasan dana yang merupakan hambatan

utama. Satwa yang terluka, sakit dan berpenyakit belum ditanggulangi dengan

baik dan penyedian fasilitas kesehatan belum ada masih dilakukan secara manual

oleh pengelola.

Kompenen bebas untuk menampilkan perilaku alami dikategorikan dalam

nilai kurang dimana buaya dalam kandang terbuka jumlah buaya nya melebihi

kapasitas sehingga Kompenen bebas untuk menampilkan perilaku alami

dikategorikan dalam nilai kurang dimana buaya dalam kandang terbuka jumlah

buaya nya melebihi kapasitas sehingga sering terjadi perkelahian sedangkan

buaya yang berada didanau juga sama dimana meraka saling merebut cover dan

shalter yang tersedia sangat minim rata-rata buaya berada dalam air. Dan terakhir

pada kompoenen bebas dari rasa takut dan tertekan memiliki nilai kurang menurut

Kurniati (2008) pada dasarnya buaya yang hidup di alam bersifat penakut. Oleh

karena itu pengelola harus menjamin kondisi dan memperlukukan satwa dengan

baik agar tidak stress dan takut.

Moberg (2000) menyatakan stres berpengaruh terhadap kesejahteraan satwa

tergantung besar kecilnya kerugian biologis akibat stres tersebut. Meskipun

akomodasi atas stres mungkin terjadi, namun jika tidak maka stres dapat berakibat

kematian. Stres tidak hanya merupakan keadaan saat satwa harus beradaptasi

melebihi kemampuannya, tetapi juga pada saat satwa mempunyai respon yang

lemah bahkan terhadap rangsangan normal sehari-hari (Duncan dan Fraser 1997).

Universitas Sumatera Utara


KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Pengelolaan kesejahteraan buaya muara di TBAK meliputi pengelolaan

pakan, pengelolaan kandang, pengelolaan kesehatan dan pengelolaan lingkungan.

Tingkat kesejahteraan buaya muara termasuk dalam kategori kurang dengan nilai

terbobot 46,4. Faktor kesejahteraan yang harus diperbaiki diantaranya aspek bebas

dari rasa ketidaknyamanan lingkungan, bebas dari rasa sakit dan luka dan

penyakit, bebas untuk menampilkan perilaku alami dan bebas dari rasa takut dan

tertekan.

Saran

Saran yang diberikan untuk pengelolan kesejahteraan buaya muara di

TBAK adalah jumlah pakan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan buaya, perlu

nya pemerikasaan kesehatan pada buaya agar terhindar dari penyakit dan

pengendalian jumlah buaya pada kandang, adanya penambahan pada kandang

serta penambahan ruang penangkaran ataupun pemindahan buaya ke penangkaran

yang lebih luas atau penangkaran yang populasi buaya yang sedikit agar tidak

melebihi kapasitas.

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PUSTAKA

[PHKA] Peraturan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam


Nomor: P.6/IV-SET/2011 tentang Pedoman Penilaian Lembaga
Konservasi.

[PHKA] Peraturan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam


Nomor: P.9/IVSET/2011 tentang Pedoman Etika dan Kesejahteraan Satwa
di Lembaga Konservasi.

[CITES] Convention on Internasional Trade in Endangered Spesies of Wild


Fauna and Flora. 2010. Appendices I, II, and III valid from 14 October
2010. http://www.cites.org/eng/app/appendices-E.pdf.

[ISAW] Indonesia Society for Animal Walfare. 2013. Prinsip Ksejahteraan satwa
di kebun binatang [internet]. (diunduh 05 April 2018]. Tersedia pada :
http://www.isaw.or.id

Alikodra, Hadi S. 1990.Pengelolaan Satwa Liar Jilid 1. Bogor. Yayasan Penerbit


Fakultas Kehutanan IPB.

Ariantiningsih, FA. 2008. Suaka Marga Satwa Singkil, Muatiara di Pantai Barat
Aceh. Program Kampaye Bangga. Medan

Arifin. 2008. Crocodile Husbandary in Papua New Guinea. FAO. Port Moresby.

Banyumurti. Penangkaran Buaya Terbesar di Dunia ada di Medan. 24 Desember


2017

Bolton, M. 1989. Monitor Lizard (Natural History. Biology, and Husbandry).


Thomas. W and Breck, B, Editor. Germany: Warlich Druck, Meckenheim.

Cadman M. 2007. Consuming Wild Life : The Illegal Exploitation of Wild Animals
In South Africa, Zimbabwe and Zambia. A Preliminary Report for Animal
Rights Africa and Xwe African Wild Life.

Departemen Kehutanan. 2007. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi harimau


Sumatera (Panthera tigris sumatrae) 2010 – 2017. Jakarta (ID):
Departemen Kehuatan.

Duncan, IJH, D Faster. 1997. Understanding Animal Welfare. Di dala: Appleby


MC dan BO Hughes. Animal Welfare. Wallingford: CABI Publishing.

Eccleston Kj. 2009. Animal walfare di jawa timur: Model Kesejahteraan Binatang
di Jawa Timur [skripsi]. Malang (ID): Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik. Universitas Muhammaduyah Malang

Universitas Sumatera Utara


Environmental Protection Agency. 2009. Code of Practice – Crocodyle Farming.
Nature Conservation.

Felisia. 2014. Pengelolaan Penangkaran Harimau Sumatera (Panthera tigris


sumaterae)di Taman Safari Indonesia Cisarua. Bogor (ID): Fakultas
Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Ganesa A, Aunurohim. 2012. Perilaku Harian Harimau Sumatera (Panthera tigris


sumaterae) dalam Konservasi ex-situ Kebun Binatang Surabaya. Jurnal
Sains dan Seni ITS.

Gumilar F. 2007. Studi Penetasan dan Pertumbuhan Telur Hatchling Buaya


Muara (Crocodylus porosus) di Penangkaran PT. Ekanindya Karsa
Cikande Kabupaten Serang [Skripsi]. Bogor: Departemen Sumberdaya
Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Hardjanto dan Masyud B. 1991. Analisis Kelayakan Fianansial Pengusahaan


Buaya di Irian Jaya. Bogor. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor

Harto, Juni. 2002. Budidaya dan Pelestarian Buaya Air Tawar Irian (Crocodylus
novaeguineae) [Skripsi]. Bogor : Fakultas Kedokteran Hewan. Institut
Pertanian Bogor.

Iskandar, DT. 2009. Turtles dan Crocodylus of Indonesia dan Papua Nugini. PAL
Media Citra. Bandung

Izzudin. 1989. Pengaruh Jenis dan Komposisi Ransum Terhadap Pertumbuhan


Anak-anak Buaya Muara (Crocodylus porosus) [Skripsi]. Bogor : Jurusan
Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian
Bogor.

Kurniati, Hellen. 2008. Buku Panduan Pembesaran dan Penangkaran Buaya Jenis
Buaya Muara (Crocodylus porosus) dan Buaya air Tawar Irian(Crocodylus
novaeguineae). Cibinong. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Cibinong.

Moberg, CP. 2000. Biological Response to Stress: Implication for Animal


Welfare. Di dalam; moberg GP dan Mench JA. The Biology of Animal
Stress. Wallingford oxon: CABI Publishing.

Nuryanti, RY. 2013. Teknik Penangkaran Buaya Muara (Crocodylus porosus) di


Penangkaran Taman Buaya Indonesia Jaya, Serang, Bekasi, Jawa Barat
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan


dan Satwa

Universitas Sumatera Utara


Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Pemanfaatan Jenis
Tumbuhan dan Satwaliar. Jakarta.

Putra AE. 2011. Kajian Musim Kawin Harimau Sumatera (Panthera tigris
sumaterae) pada lembaga Konservasi di Indonesia [skripsi]. Bogor (ID).
Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor.

Ratnami, B. 2007. Analisis manajemen penangkaran buaya pada PT Ekanindya


Karsa di Cikande Kabupaten Serang [skripsi]. Bogor. Departemen
Manajemen Sumberdaya Perairan. Institut Pertanian Bogor.

Sarwono. 2010. Pemanfaatan Crocodylus porosus. Indonesia. Pustaka Jaya.

Simanungkalit S. 1994. Tinjauan aktifitas penangkaran satwa buaya milik KSDA


Wilayah I Irian Jaya di Sorong. [Skripsi]. Manokwari: Fakultas Kehutanan
Universitas Cenderawasih.

Semiadi, Gono. 2007. Pemanfaatan Satwa Liar Dalam Rangka Konservasi dan
Pemenuhan Gizi Masyarakat. Puslit Biologi LIPI-Cibinong. Jakarta.

Soehartono T, Mardiastuti A. 2003. Pelaksanaan Konvensi CITES di Indonesia.


JICA. Jakarta.

Susanti Arie. 2011. Pengelolaan penangkaran buaya di CV Surya Raya


Balikpapan, Kalimantan Timur. [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan.
Institut Pertanian Bogor.

Suwandi. 1991. Pengaruh pemberian beberapa komposisi bahan makanan ikan teri
(Stolopherus spp.) dan udang (Penaeus spp.) terhadap pertumbuhan anak
buaya irian (Crocodylus novaeguineae). [skripsi]. Bogor (ID): Jurusan
Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian
Bogor.

Thohari M. 1987a. Upaya penangkaran satwaliar. Media Konservasi I (3): 23-25.


________. 1987b. Gejala Inbreeding dalam penangkaran satwaliar. Media
Konservasi IV (1): 3

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam


Hayati Ariantiningsih FA. 2008. Suaka Marga Satwa Singkil, Mutiara di
Pantai Barat Aceh. Program Kampanye Bangga. Medan.

Wayori, Hultrelda. 2015. Pengelolaan Kesejahteraan Buaya Muara (Crocodylus


porosus) dan Pemanfaatannya Sebagai Jasa Wisata Di Penangkaran Taman
Buaya Indonesia Jaya, Bekasi [Skripsi]. Bogor. Departemen Konservasi
Sumberdaya Hutan Dan Ekowisata Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian
Bogor.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai