Anda di halaman 1dari 23

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Diadema setosum merupakan salah satu spesies dari bulu babi atau landak

laut. Genus Diadema sp. termasuk dalam filum Echinodermata dan merupakan

hewan invertebrate (tidak bertulang belakang). Dari 600 spesies bulu babi, sekitar

80 spesies beracun jika terdapat kontak fisik dengan manusia. Duri hitam landak

laut D. setosum menimbulkan ancaman akibat duri rapuh yang pecah setelah

menembus kulit, namun pada gonad bulu babi terdapat kandungan senyawa

bioaktif yang bermanfaat salah satunya sebagai anti bakteri, anti inflamasi, anti

kanker, anti virus, dll.

Dari beberapa jurnal internasional telah melakukan percobaan menggunakan

sample bulu babi, namun tidak secara eksplisit menerangkan bahwa sumber bahan

bioaktif yang digunakan untuk melakukan uji anti inflamasi adalah bulu babi dari

spesies D. setosum, pada jurnal sumber bahan bioaktif yang digunakan adalah

bulu babi dari spesies Strongylocentrotus droebachiensis, penelitian tersebut

melakukan studi mengenai karakterisasi kimia dari gonad bulu babi, dimana

kandungan gonad bulu babi Strongylocentrotus droebachiensis diantaranya adalah

karotenoid dan polyhydroxylated naphthoquinones seperti echinochrome A, asam

lemak tak jenuh ganda (MUFAs) dan -karoten 7. PUFA terdiri dari

eicosapentaenoic acid [(EPA, C20: 5) (n-3)] dan docosahexaenoic Asam [(DHA

C22: 6) (n-3)]. Selain itu, -karoten dan beberapa xanthophylls mengandung pro-

vitamin A dan asam arakhidonat (AA) yang tinggi (Pozharitskaya, et al., 2015).

Pada percobaan lain, ekstrak sample D. setosum diaplikasikan sebagai bahan uji
2

anti bakteri menggunakan pelarut methanol dan kloroform dengan hasil pelarut

methanol lebih efektif untuk mengambat aktivitas bakteri (Marimuthu, et al.,

2015). Sedangkan metode ekstraksi dan induksi pada hewan uji yang dilakukan

pada penelitian dimana sumber bahan uji yang digunakan adalah Bunchosia

armeniaca yang berupa tumbuhan dan injeksi dilakukan pada radang selaput dada

yang diinduksi oleh satu intra-pleura (ipl.) injeksi 0,1 ml (NaCl 0,95%) ditambah

karagenan kemudian di uji dengan flavonoid dari ekstrak bahan uji berupa

senyawa bioaktif (Queiroz, et al., 2014).

Beberapa penelitian mengenai bulu babi atau landak laut juga dilakukan di

Indonesia. Penelitian yang dilakukan berupa uji aktivitas anti bakteri dari ekstrak

etanol bulu babi (D. setosum) terhadap bakteri Escherichia coli dan

Staphylococcus aureus dengan hasil uji berupa fraksi etil asetat memiliki aktivitas

anti bakteri yang terbaik terhadap bakteri S. aureus. Hasil uji aktivitas anti bakteri

fraksi etil asetat dan ekstrak etanol memiliki kemampuan aktivitas anti bakteri

terhadap E. coli (Siahaan, dkk., 2015). Pada penelitian yang lain, dilakukan uji

toksisitas dari bulu babi D. setosum terhadap mortalitas Nauplius artemia dengan

bagian tubuh yang digunakan yaitu cangkang dan duri, dimana bagian tersebut

dilapisi oleh pigmen cairan hitam yang stabil dan mengandung senyawa bioaktif.

Namun, ekstrak kloroform pada cangkang maupun duri landak laut memiliki

potensi bio aktifitas sebagai anti mikroba (Aprilia, dkk., 2015). Penelitian

mengenai uji anti inflamasi dari senyawa bioaktif bulu babi masih jarang

dilakukan, pada contoh penelitian ini dilakukan uji aktivitas anti inflamasi dari

ekstrak methanol teripang butoh keling (Holothuria leucospilota) dengan

menggunakan metode stabilisasi membran sel darah merah. Analisis fitokimia


3

ekstrak metanol H. leucospilota menunjukkan adanya kandungan senyawa

flavonoid, steroid dan triterpenoid yang diketahui memiliki aktivitas anti

inflamasi. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ekstrak metanol H.

leucospilota Brandt berpotensi sebagai agen anti inflamasi (Wiranto, dkk., 2016).

Oleh karena itu, dengan masih sedikit penelitian mengenai bulu babi

terutama pada pengaplikasian untuk uji aktivitas anti inflamasi, diharapkan

rencana penelitian ini dapat menjadi referensi tambahan mengenai senyawa

bioaktif dari bahan hayati laut. Penelitian ini juga bertujuan untuk melakukan uji

aktivitas anti inflamasi berupa radang pada kaki tikus putih yang diinduksi

karagenan setelah pemberian senyawa bioakif dari gonad bulu babi.

1.2. Perumusan Masalah

Bulu babi jenis D. setosum merupakan jenis yang paling banyak dijumpai di

Indonesia, namun belum ada penelitian yang secara spesifik melakukan uji

aktivitas anti inflamasi, beberapa penelitian hanya dilakukan karakterisasi

senyawa bioaktif dan uji aktivitas anti bakteri. Selain itu di kalangan masyarat

biota ini dianggap merugikan karena durinya yang tajam dan dapat mengeluarkan

racun apabila terkena kontak fisik dengan benda asing, sehingga dengan jumlah

yang banyak dan pemanfaatan yang kurang, bulu babi mudah untuk didapatkan.

Pada bidang farmasi, biota ini dapat dijadikan sebagai bahan alternatif pembuatan

obat anti radang.


4

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian sebelumnya, tujuan dilakukannya penelitian ini adalah:

a. Menentukan aktivitas anti inflamasi dari ekstrak gonad bulu babi (D. setosum)

dengan pelarut berbeda

b. Menentukan pengaruh yang sama atau berbeda pada satu perlakuan dengan

perlakuan lain

1.4. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan September-Desember 2016 dengan lokasi

pengambilan bahan uji di Pulau Karimunjawa dan selanjutnya dilakukan

pengujian eksperimental laboratoris di Laboratorium Terpadu Universitas

Diponegoro.
5

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Bulu Babi

Bulu babi merupakan biota laut penghuni ekosistem terumbu karang dan

padang lamun yang sangat umum dijumpai di perairan dangkal. Biota ini tersebar

luas mengikuti penyebaran terumbu karang (Sugiarto dan Supardi, 1995). Fauna

menyukai substrat yang agak keras terutama substrat di padang lamun campuran

yang terdiri dari pasir dan pecahan karang (Aziz dan Sugiarto, 1994). Di dunia

terdapat kurang lebih 6000 jenis fauna Echinodermata dan diperkirakan 950 jenis

diantaranya adalah bulu babi yang terbagi dalam 15 ordo, 46 famili dan 121 genus

(Aziz, 1987). Di Indonesia, terdapat kurang lebih 84 jenis bulu babi yang berasal

dari 31 famili dan 48 genus (Clark & Rowe, 1971).

Bulu babi mempunyai ciri lainnya adalah mulutnya yang terdapat di

permukaan oral dilengkapi dengan 5 buah gigi sebagai alat untuk mengambil

makanan. Hewan ini pada umumnya merupakan herbivora, yang memakan alga

dan lamun. Namun, pada kondisi perairan yang berbeda hewan ini dapat bersifat

omnivora (Aziz, 1987). Bentuk umum dari bulu babi marga Diadema

sebagaimana kelompok regularia lainnya adalah seperti bola tertekan yang

membulat-oval. Berbeda dari kelompok bintang laut dan bintang mengular, pada

biota ini tangan teredukasi sama sekali tetapi tetap memperlihatkan pola simetris

pentaradial (Sugiarto dan Supardi, 1995). Bulu babi marga Diadema terdiri dari

empat jenis yaitu D. antillarum, D. setosum, D. savignyi dan D. mexicanum. Biota

ini hidup tersebar pada kedalaman antara 0-30 meter. Di ekosistem terumbu
6

karang, bulu babi marga Diadema dapat menempati zona rataan pasir, zona

pertumbuhan algae, zona lamun dan daerah tubir (Birkeland, 1989).

Bulu babi marga Diadema termasuk ke dalam filum Echinodermata. Nama

echino berarti duri dan dermata/dermis berarti lapisan kulit. Jadi nama

Echinodermata kurang lebih berarti binatang yang mempunyai kulit berduri. Bulu

babi termasuk ke dalam kelas Echinoidea. Kelas Echinoidea ini mempunyai dua

anak kelas yaitu anak kelas Perischoechinoidea dan anak kelas Euechinoidea.

Anak kelas Euechinoidea ini mempunyai empat induk bangsa (super ordo) yaitu

induk bangsa Diadematacea, Echinacea, Guathostomata dan Atelostomata (Arnold

& Birtles, 1989). Bulu babi marga Diadema termasuk ke dalam induk bangsa

Diadematacea. Klasifikasi Bulu babi (D. setosum) menurut Clark & Courtman-

Stock (dalam Arnold & Birtles, 1989) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Phylum : Echinodermata

Kelas : Echinoidea

Ordo : Diadematoida

Famili : Diadematoidae

Genus : Diadema

Spesies : Diadema setosum

Famili Diadematidae mempunyai sekitar 6 Genus yaitu marga Astropyga,

Centrostephanus, Chaetodiadema, D. Echinothrix dan Lissodiadema. Genus

Diadema merupakan marga yang relatif kecil yaitu dengan 4 jenis. Keempat jenis

dari marga Diadema hidup di perairan tropis dan subtropics menurut Sugiarto dan

Supardi (1995), yaitu :


7

1. D. antillarum, hidup di Karibia

2. D. mexicanum, hidup di pantai barat Amerika

3. D. setosum, hidup di Indo Pasifik Barat

4. D. savignyi, hidup di Indo Pasifik Barat

2.2. Senyawa Bioaktif pada D. Setosum

Senyawa aktif yang berikatan dengan bahan akan ditarik oleh pelarut

berdasarkan tingkat kepolaran. Proses ekstraksi pada penelitian utama

menggunakan 3 jenis pelarut yakni n-heksana (non-polar), etil asetat (semi-polar),

dan metanol (polar). Pada beberapa penelitian proses ekstraksi menghasilkan

warna ekstrak yang berbeda. Ekstrak n-heksana berwarna coklat keemasan dan

agak cair. Ekstrak etil asetat berwarna coklat kehitaman dan berbentuk pasta.

Ekstrak metanol berwarna coklat kekuningan dan berbentuk pasta. Dengan

persentase rendemen ekstrak gonad bulu babi paling banyak dihasilkan dari

ekstrak etil asetat hal ini diduga karena gonad bulu babi mengandung senyawa-

senyawa semi polar yang tinggi sehingga larut dalam pelarut etil asetat.

Menurut Azmir et al. (2013) faktor-faktor yang mempengaruhi proses

ekstraksi adalah metode ekstraksi, karakteristik bahan yang diekstrak, dan jenis

pelarut. Pemilihan jenis pelarut merupakan faktor yang paling penting karena

berhubungan dengan sifat kepolaran komponen yang akan diekstraksi.

Berdasarkan kepolarannya, masing-masing pelarut memiliki kemampuan

mengekstrak komponen aktif yang berbeda, sehingga tingginya nilai rendemen

menunjukkan banyaknya komponen yang diekstrak. Rahayu (1999) menyatakan

bahwa pelarut semi polar mampu melarutkan senyawa-senyawa yang berasal dari
8

golongan alkaloid dan aglikon (alkoholik, fenolik, steroid, flavonoid dan saponin).

Pelarut n-heksana merupakan pelarut yang mampu melarutkan senyawa yang

bersifat non polar seperti asam lemak.

Untuk mengetahui komponen aktif pada gonad bulu babi dapat dilakukan

analisis dengan fitokimia berdasarkan Harborne (1984), ekstrak gonad bulu babi

menunjukkan bahwa ekstrak mengandung senyawa aktif dari golongan

steroid/triterpenoid dan saponin. Menurut Kristanti et al. (2008)

steroid/triterpenoid dan saponin merupakan komponen senyawa aktif yang berasal

dari golongan terpenoid. Secara umum senyawa yang berasal dari golongan

terpenoid bersifat mudah larut dalam lemak. Rosyidah et al. (2010) menyatakan

bahwa komponen ini lebih mudah menembus dinding sel bakteri dengan cara

menghambat sintesis protein sehingga menyebabkan perubahan komponen-

komponen penyusun sel bakteri. Keberadaan senyawa ini mengindikasikan bahwa

steroid/triterpenoid mudah larut dalam pelarut organik.

Hasil analisis komponen bioaktif gonad bulu babi Saponin (steroid

oligoglycosides) bersifat larut dalam air dan etanol, namun tidak larut dalam eter.

Senyawa lain selain steroid/triterpenoid, yakni saponin, memiliki peran sebagai

anti bakteri dengan mekanisme kerjanya mengganggu permeabilitas membran sel

bakteri sehingga terjadi bakterilisis pada sel bakteri yang ditandai dengan

pecahnya membran sel (Sikkema et al., 1995). Stonik dan Elyakov (1988)

menyatakan bahwa saponin terdapat pada tumbuhan terestrial. Saponin secara

ekslusif terdapat pada echinodermata. Fungsi biologi saponin pada echinodermata

berhubungan dengan sistem pertahanan diri terhadap fungi laut, predator dan

parasit. Senyawa ini lebih khusus berperan sebagai anti fungi pada echinodermata.
9

Disisi lain senyawa ini juga berperan dalam proses reproduksi untuk jenis lain

echinodermata yakni bintang laut dan teripang.

Pada beberapa penelitian menghasilkan senyawa fenol-hidrokuinon,

menurut Mamelona et al. (2011) senyawa fenol (asetonitril) lebih tinggi pada

gonad bulu babi dibandingkan dengan saluran pencernaan. Stonik dan Elyakov

(1988) menyatakan bahwa umumnya senyawa kuinon (naptokuinon dan

antrakuinon) terdapat pada mikroorganisme dan tumbuhan, sedangkan untuk

binatang secara khusus terdapat pada echinodermata. Senyawa ini merupakan ciri

khas dari bulu babi dan bintang laut. Pigmen memiliki peran penting bagi bulu

babi, khususnya echinochrome A, yang berperan penting dalam aktivitas fisiologi

yang mengandung komponen bakterisidal yang berasal dari cairan celomic dari

bulu babi. Flavonoid merupakan salah satu senyawa fenol yang bersifat polar

sehingga larut dalam pelarut-pelarut polar seperti metanol, etanol, butanol dan

aseton.

Menurut Heim et al. (2002) senyawa flavonoid memiliki kelebihan sebagai

anti oksidan dan pengkhelat. Middleton et al. (2000) juga menambahkan bahwa

aktivitas biologi lainnya dari flavonoid adalah sebagai anti bakteri, anti trombotik,

anti inflamasi, vasodilatasi dan anti kanker dengan mekanisme yang berbeda-

beda. Alkaloid merupakan golongan senyawa yang memiliki berat molekul

rendah, mengandung nitrogen dan 20% ditemukan pada tanaman yang berfungsi

sebagai pertahanan diri terhadap herbivora dan bakteri patogen. Keberadaan

senyawa alkaloid pada ekstrak metanol gonad bulu babi menunjukkan bahwa

senyawa ini mudah larut dalam pelarut polar, Septiadi et al. (2013) menyatakan

bahwa alkaloid bersifat basa sehingga sangat mudah larut dalam pelarut metanol
10

dan air. Harborne (1984) menyatakan bahwa secara umum prekursor alkaloid

adalah asam-asam amino, walaupun biosintesisnya lebih kompleks.

2.3. Inflamasi

Inflamasi merupakan suatu respon protektif normal terhadap luka jaringan

yang disebabkan oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak, atau zat mikrobiologi.

Inflamasi adalah usaha tubuh untuk menginaktivasi organisme yang menyerang,

menghilangkan zat iritan, dan mengatur perbaikan jaringan (Mycek et al., 2001).

Tubuh mendapat manfaat dari inflamasi ini yaitu dengan memperbarui jaringan,

melakukan pembersihan dan perbaikan, sehingga menyebabkan peningkatan

aliran darah dan pembangunan jaringan baru (Aaslid dan Schultz, 2001).

Inflamasi biasanya terbagi dalam 3 fase yaitu: inflamasi akut, respon imun

dan inflamasi kronis. Inflamasi akut merupakan respon awal terhadap cedera

jaringan hal tersebut terjadi melalui media rilisnya autacoid yang terlibat antara

lain histamin, serotonin, bradikinin, prostaglandin dan leukotrien. Respon imun

terjadi bila sejumlah sel yang mampu menimbulkan kekebalan diaktifkan untuk

merespon organisme asing atau substansi anti genik yang terlepas selama respon

terhadap inflamasi akut serta kronis. Akibat respon imun bagi tuan rumah

mungkin menguntungkan, misalnya menyebabkan organisme penyerang

difagositosis atau dinetralisir. Sebaliknya akibat tersebut juga dapat bersifat

merusak bila menjurus pada inflamasi kronis tanpa penguraian dari proses cedera

yang mendasarinya. Inflamasi kronis menyebabkan keluarnya sejumlah mediator

yang tidak menonjol dalam respon akut. Salah satu kondisi yang paling penting

yang melibatkan mediator ini adalah artritis rheumatoid, dimana inflamasi kronis
11

menyebabkan sakit dan kerusakan pada tulang dan tulang rawan yang bisa

menjurus pada ketidakmampuan untuk bergerak (Katzung, 2002).

Bila membran sel mengalami kerusakan oleh suatu rangsang kimiawi, fisik,

atau mekanis, maka enzim fosfolipase diaktifkan untuk mengubah fosfolipida

yang terdapat di situ menjadi asam arachidonat, kemudian untuk sebagian diubah

oleh enzim cyclo-oxygenase menjadi asam endoperoksida dan seterusnya menjadi

zat-zat prostaglandin. Bagian lain dari asam arachidonat diubah oleh enzym

lipooksigenase menjadi zat leukotrien. Baik prostaglandin maupun leukotrien

bertanggungjawab bagi sebagian besar dari gejala peradangan. Cyclo-oxygenase

terdiri dari 2 isoenzym yakni COX-1 dan COX-2. COX-1 terdapat di kebanyakan

jaringan, antara lain di pelat-pelat darah, ginjal, dan saluran cerna. Zat ini

berperan pada pemeliharaan perfusi ginjal, homeostase vaskuler, dan melindungi

lambung dengan jalan membentuk bikakbonat dan lendir serta menghambat

produksi asam. COX-2 dalam keadaan normal tidak terdapat di jaringan, tetapi

dibentuk selama proses peradangan oleh sel-sel radang dan kadarnya dalam sel

meningkat sampai 80 kali (Tjay dan Raharja, 2002). Lima ciri khas inflamasi,

dikenal sebagai tanda-tanda utama inflamasi yaitu :

a. Eritema (kemerahan), terjadi pada tahap pertama dari inflamasi. Darah

berkumpul pada daerah cedera jaringan akibat pelepasan mediator kimia tubuh

(kinin, prostaglandin, dan histamin) histamin mendilatasi arteriol.

b. Edema (pembengkakan), merupakan tahap kedua dari inflamasi. Plasma

merembes ke dalam jarngan intestinal pada tempat cedera. Kinin mendilatasi

asteriol, meningkatkan permeabilitas kapiler.


12

c. Panas, dapat disebabkan oleh bertambahnya pengumpulan darah. Mungkin

juga karena pirogen (substansi yang menimbulkan demam) yang mengganggu

pusat pengaturan panas pada hipotalamus.

d. Nyeri, disebabkan oleh pembengkakan pada pelepasan mediator-mediator

kimia.

e. Hilangnya fungsi, disebabkan oleh penumpukan cairan pada tempat cedera

jaringan dan karena rasa nyeri. Keduanya mengurangi mobilitas pada daerah

yang terkena (Kee dan Hayes, 1996).

Proses inflamasi merupakan suatu proses yang komplek melibatkan

berbagai macam sel, misalnya dalam beberapa jam sel-sel leukosit yang berfungsi

sebagai sel pertahanan tubuh menempel ke sel endotel pembuluh darah di daerah

inflamasi dan bermigrasi melewati dinding kapiler masuk ke rongga jaringan yang

disebut extravasasi. Keluarnya berbagai faktor plasma seperti immunoglobulin,

komplemen, sistem aktivasi kontak-koagulasi-fibrinolitik, sel-sel leukosit seperti

neutrofil, eosinofil, basofil, limfosit, monosit yang berinteraksi satu sama lain

dalam proses inflamasi. Sel sistem imun nonspesifik seperti neutrofil, basofil,

eosinofil, dan monosit ini diproduksi dan disimpan di sumsum tulang dan

diedarkan di dalam darah. Pada keadaan normal, leukosit hanya sedikit melekat

pada sel endotel, tetapi pada inflamasi adhesi antara leukosit dan sel endotel ini

sangat ditingkatkan sehingga meningkatnya sel mediator inflamasi ke dalam

jaringan (Mansjoer, 1997).


13

2.4. Anti Inflamasi

Anti inflamasi adalah sebutan untuk agen/obat yang bekerja melawan atau

menekan proses peradangan (Dorlan, 2002). Terdapat tiga mekanisme yang

digunakan untuk menekan peradangan yaitu pertama penghambatan enzim

siklooksigenase. Siklooksigenase mengkatalisa sintetis pembawa pesan kimia

yang poten yang disebut prostaglandin, yang mengatur peradangan, suhu tubuh,

analgesia, agregasi trombosit dan sejumlah proses lain. Mekanisme kedua untuk

mengurangi keradangan melibatkan penghambatan fungsi-fungsi imun. Dalam

proses peradangan, peran prostaglandin adalah untuk memanggil sistem imun.

Infiltrasi jaringan lokal oleh sel imun dan pelepasan mediator kimia oleh sel-sel

seperti itu menyebabkan gejala peradangan (panas, kemerahan, nyeri). Mekanisme

ketiga untuk mengobati peradangan adalah mengantagonis efek kimia yang

dilepaskan oleh sel-sel imun. Histamin, yang dilepaskan oleh sel mast dan basofil

sebagai respon terhadap antigen, menyebabkan peradangan dan konstriksi bronkus

dengan mengikat respon histamin pada sel-sel bronkus (Olson, 2003).

Sampai beberapa tahun yang lalu, ada dua jalan untuk mengurangi

peradangan secara farmakologi. Pendekatan yang pertama adalah kortikosteroid,

dan yang kedua adalah penggunaan obat anti inflamasi non steroid (AINS)

(Olson, 2003).

2.4.1. Anti Inflamasi Non Steroid (AINS)

Obat-obat anti inflamasi non steroid (AINS) merupakan suatu grup obat

yang secara kimiawi tidak sama dan berbeda aktivitas anti inflamasinya. Obat-

obat ini bekerja dengan jalan menghambat enzim siklooksigenase tetapi tidak

menghambat enzim lipooksigenase (Mycek et al., 2001). Walaupun demikian


14

obat-obat ini memiliki banyak persamaan dalam efek terapi maupun efek samping

(Wilmana, 1995 dalam Ganiswara, 2005). Anti inflamasi nonsteroid menghambat

siklooksigenase yang mengubah asam arakidonat menjadi PGG2 dan PGH2

(Nogrady, 1992).

Salah satu obat AINS adalah aspirin. Asam asetil salisilat yang lebih dikenal

sebagai asetosal atau aspirin adalah analgesik, anti piretik dan anti inflamasi yang

sangat luas digunakan dan digolongkan dalam obat bebas. Selain sebagai prototip,

obat ini merupakan standar dalam menilai efek obat sejenis (Wilmana, 1995

dalam Ganiswara, 2005).

Aspirin menghambat aktivitas siklooksigenase, maka aspirin mengurangi

pembentukan prostaglandin dan juga memodulasi beberapa aspek inflamasi dan

prostaglandin bertindak sebagai mediator (Mycek et al., 2001). Prostaglandin

diduga berperan penting dalam patogenesis inflamasi, analgesia dan demam.

Secara invitro terbukti bahwa prostaglandin E2 (PGE2) dan prostasiklin (PGI1)

dapat menyebabkan eritema, vasodilatasi dan peningkatan aliran darah lokal

(Wilmana, 1995 dalam Ganiswara, 2005).

2.4.2. Anti inflamasi Steroid

Golongan steroid bekerja dengan cara menghambat pelepasan prostaglandin

melalui penghambatan metabolisme asam rakhidonat. Dalam klinik umumnya

kortikosteroid dibedakan menjadi 2 golongan besar, yaitu glukokortikoid dan

mineralokortikoid. Efek terapeutik glukokortikoid yang paling penting adalah

kemampuannya untuk mengurangi respon peradangan secara dramatis. Efek ini

didapat dari proses penurunan dan penghambatan limfosit serta makrofag perifer

A2 secara tidak langsung yang menghambat pelepasan asam arakidonat, prekusor


15

prostaglandin dan leukotrien (Mycek et al., 2001). Setelah pemberian dosis

tunggal glukokortikoid bekerja singkat dengan konsentrasi neutrofil meningkat

yang menyebabkan pengurangan jumlah sel pada daerah peradangan (Katzung,

2002).

2.5. Karagen

Karagen merupakan polisakarida sulfat yang berasal dari tanaman

Chondrus crispus (Wattimena et al., 1991). Karagen merupakan suatu

polisakarida sulfat bermolekul besar sebagai induktor inflamasi (Corsini et al.,

2005). Penggunaan karagen sebagai penginduksi radang memiliki beberapa

keuntungan antara lain tidak meninggalkan bekas, tidak menimbulkan kerusakan

jaringan dan memberikan respon yang lebih peka terhadap obat anti inflamasi

dibanding senyawa iritan lainnya (Siswanto dan Nurulita, 2005).

Pada proses pembentukan edema, karagen akan menginduksi cedera sel

dengan dilepaskannya mediator yang mengawali proses inflamasi. Edema yang

disebabkan induksi karagen dapat bertahan selama 6 jam dan berangsurangsur

berkurang dalam waktu 24 jam. Edema yang disebabkan oleh injeksi karagen

diperkuat oleh mediator inflamasi terutama PGE1 dan PGE2 dengan cara

menurunkan permeabilitas vaskuler. Apabila permeabilitas vaskuler turun maka

protein-protein plasma dapat menuju ke jaringan yang luka sehingga terjadi

edema (Corsini et al., 2005).


16

III. MATERI METODE

3.1. Materi Penelitian

Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah bulu babi jenis

D.setosum yang diambil dari lokasi penelitian di Pulau Karimunjawa. Bahan uji

akan diekstraksi senyawa bioaktifnya kemudian dilakukan uji aktivitas anti

inflamasi pada tikus putih yang diinduksi oleh karagenan. Karagen adalah bahan

yang diekstrak dari Chondrus cripus yang digunakan untuk menimbulkan edema

pada telapak kaki tikus. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini dapat

dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian Uji Aktivitas Anti
Inflamasi Senyawa Bioaktif dari Gonad Bulu Babi (D. setosum) terhadap Tikus
Putih (Rattus norvegicus) yang Diinduksi Karagenan

No Nama Alat Kegunaan


1 Rotary vacum evaporator Mengekstraksi bahan uji
2 Plethysmometer Mengukur volume peradangan
3 Jarum suntik Menginjeksi iritan inflamasi
4 Neraca analitik Menimbang bahan uji
5 Kandang mencit Tempat pemeliharaan mencit
6 Ekstrak D. setosum Agen anti inflamasi
7 Larutan CMC Sebagai kontrol negatif
8 Natrium Diklonefak Sebagai kontrol positif
9 Karagen Agen inflamasi
17

3.2. Metode Penelitian


3.2.1. Pembuatan Simplisia

Bulu babi dipisahkan antara cangkang dan gonad, kemudian dicuci bersih di

bawah air mengalir dan tiriskan, setelah itu dikeringkan dalam oven pada suhu 40-

50 oC sampai kering. Simplisia yang sudah kering dihaluskan sampai menjadi

serbuk lalu diayak dengan menggunakan ayakan 65 mesh.

3.2.2. Ekstraksi Sampel

Ekstraksi sampel dilakukan dengan metode maserasi menggunakan larutan

etanol. Sebanyak 300 gram simplisia direndam dengan 2,5 L etanol di dalam

bejana maserasi, ditutup dan dibiarkan selama 24 jam disimpan dalam keadaan

terlindung dari cahaya matahari, lalu disaring. Ampas direndam lagi dengan

etanol dan dibiarkan selama 24 jam. Penyarian dilakukan sebanyak 3 kali. Ekstrak

etanol yang diperoleh dipekatkan dengan alat evaporator hingga diperoleh ekstrak

landak laut pekat kemudian dilakukan partisi. Partisi ekstrak berdasarkan

kepolaran (Harborne, 1987) Ekstrak yang telah didapatkan dari hasil di larutkan

menggunakan 500 ml pelarut etanol 96%. Setelah didapatkan hasil dilanjutkan

dengan proses partisi dengan pelarut n-heksan, methanol dan etil asetat.

3.2.3. Uji Anti Inflamasi

Mencit dibagi ke dalam tiga kelompok yaitu:

1. Kelompok 1 sebagai kontrol negatif yaitu CMC

2. Kelompok 2 sebagai kontrol positif yaitu Natrium diklofenak

3. Kelompok 3 ekstrak etanol n-heksan bulu babi 5%

4. Kelompok 4 ekstrak etanol methanol bulu babi 5%

5. Kelompok 5 ekstrak etanol etil asetat bulu babi 5%


18

Setelah 30 menit, karagen 1% sebanyak 0,05 ml diinjeksikan pada daerah

subplantar kaki kiri masing-masing mencit. Kemudian dilakukan pengukuran kaki

mencit menggunakan plethysmometer dimulai dari 30 menit pertama, selanjutnya

dilakukan setiap 60 menit.

Pengukuran volume radang untuk setiap kelompok dihitung dengan rumus

(%):

Persen radang = 100%

Keterangan : Vt = Volume radang setelah waktu t

Vo = Volume awal kaki tikus

Persen inhibisi radang dihitung dengan rumus di bawah ini:


Persen Inhibisi Radang = 100%

Keterangan : a = Persen radang rata-rata kelompok kontrol

b = Persen radang rata-rata kelompok perlakuan bahan uji atau

obat pembanding (Mansjoer, 1997).

3.2.4. Analisis Data

Data hasil penelitian dianalisis secara statistik menggunakan metode

ANOVA (Analisis of Variansi) dengan program SPSS dengan tingkat

kepercayaan 95% dilanjutkan dengan uji metode Duncan untuk mengetahui

kelompok mana yang mempunyai pengaruh sama atau berbeda satu dengan yang

lainnya.
19

3.3. Jadwal Pelaksanaan Penelitian

Tabel 2. Jadwal Pelaksanaan Penelitian


Bulan Ke
No Jenis Kegiatan
I II III IV V

1 Persiapan dan Perijinan X


2 Pengadaan Alat dan Bahan X
3 Pengambilan Sampel X
4 Ekstraksi Sampel X X
5 Uji Anti inflamasi X X
6 Analisis Data X X
7 Penulisan Laporan X X
20

DAFTAR PUSTAKA

Aaslid, Elisabeth and Schultz, Kate A. 2001. Healing Muscle Pain: Tools,
Techniques, and Tips to Bring Your Muscles Back to Health. USA: New
York John Willey Press

Aprilia, Hilda Ayu, Delianis Pringgenies, dan Ervia Yudiati. 2012. Uji Toksisitas
Ekstrak Kloroform Cangkang dan Duri Landak Laut (D. setosum)
Terhadap Mortalitas Nauplius Artemia sp. Semarang: Journal of Marine
Research. Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012, Halaman 75-83

Arnold, P.W and Birtles, R.A. 1989. Soft-Sediment Marine Invertebrates of


Southeast Asia and Australia: A Guide to Identification. Townsville:
Australian Institute of Marine Science, pp. 272.

Aziz A. 1987. Makanan dan Cara Makan Berbagai Jenis Bulu Babi. Journal of
Oseana. 29(4):91-100.

Aziz, A. dan H. Sugiarto. 1994. Fauna Ekhinodermata Padang Lamun di Pantai


Lombok Selatan. Puslitbang OseanologiLIPI, Jakarta: 52-63.

Azmir J, Zaidul ISM, Rahman MM, Sharif KM, Mohamed, A, Sahena F, Jahurul
MHA, Ghafoor K, Norulaini NAN, Omar AKM. 2013. Techniques for
Extraction of Bioactive Compounds From Plant Material: A Review.
Journal of Food Engineering. 117(4): 426-436.

Birkeland, C. 1989. The Influence of Echinoderms on Coral Reef Communities.


In: M. Jangoux, J. M. Lawrence (Eds.). Echinoderms Studies 3. Balkema.
Rotterdam. p. 79.

Clark, A. M. and F. W. E Rowe. 1971. Monograph of Shallow-water Indo West


Pasific Echinoderms. Trustees of the British Museum. London. p. 238.

Corsini, E., Paola R. D., Viviani, B., Genovese, T., Mazzon, E., Lucchi, L., Galli,
C.L., and Cuzzorcrea S. 2005. Increased Carragenan-Induced Acute Lung
Inflamation in Old Rats, Immunology, 115(2): 253-261.

Dewi, F. K. 2010. Aktivitas Anti bakteri Ekstrak Etanol Buah Mengkudu


(Morinda citrifolia, Linnaeus) Terhadap Bakteri Pembusuk Daging Segar.
Skripsi. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Dorland, W.A.N. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta: EGC. p 68-
556

Ganiswara, S. G. 2005. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Gaya Baru. p 231-236


21

Harborne JB. 1984. Phytochemical Methods: A Guide to modern Technique of


Plant Analysis. 2nd ed. London (UK): Chapman and Hall.

Harborne, J. B. 1987. Metode Fitokimia. Terjemahan K. Radmawinata dan I.


Soediro. Penerbit ITB. Bandung. 69-94, 142-158, 234-238. 11

Heim KE, Tagliaferro AR, Bobilya DJ. 2002. Flavonoid Anti oxidant Chemistry:
Metabolism, and Structure Activity Relationships. Journal of Nutritional
Biochemistry. 13(10):572-584.

Katzung, B.G. 1998. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi VIII. Alih Bahasa:
Dripa Sjabana dkk. p 432-455

Kee, Joyce. L dan Hayes, Evelyn R. 1996. Farmakologi Pendekatan Proses


Keperawatan. Dr. Peter Anugrah (Alih Bahasa). EGC, Jakarta.

Kristanti AN, Aminah NS, Tanjung M, Kurniadi B. 2008. Fitokimia. Surabaya


(ID): Universitas Airlangga.

Mamelona J, Pelletier , Lalancette KG, Legault J, Karboune S, Kermasha S.


2011. Anti oxidants in Digestive Tracts and Gonads of Green Urchin
(Strongylocentrotus drobachiensis). Journal of Food Composition and
Analysis. 24(2):179-183.

Mansjoer, S.1997. Efek Anti radang Minyak Atsiri Temu Putih (Curcuma
zeodaria Rosch). Media Farmasi Indonesia 8(1): p 35-36

Marimuthu, K., P. Gunaselvam, M. Aminur rahman, R. Xavier, J. Arockiaraj, S.


Subramanian, F.M. Yusoff, A. Arshad. 2015. Anti bacterial Activity of
Ovary Extract from Sea Urchin D. setosum. European Review for Medical
and Pharmacological Sciences (19).

Middleton JE, Kandaswami C, Theoharides TC. 2000. The Effects of Plant


Flavonoids on Mammalian Cells: Implications for Inflammation, Heart
Disease, and Cancer. The American Society for Pharmacology and
Experimental Therapeutics. 52(4):673-751.

Mycek, Mary J. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar. Jakarta: Widya Medika. p


280-409

Nogrady, T. 1992. Kimia Medicinal: Pendekatan Secara Biokimia. Bandung. ITB.


p 412-429

Olson, James. 2003. Belajar Mudah Farmakologi. Jakarta: EGC. p 166-167

Pozharitskaya, Olga N., Alexander N. Shikov, Into Laakso, Tuulikki Seppnen-


Laakso, Igor E. Makarenko, Natalya M. Faustova, Marina N. Makarova,
Valery G. Makarov. 2015. Bioactivity and Chemical Characterization of
22

Gonads of Green Sea Urchin Strongylocentrotus droebachiensis from


Barents Sea. Journal of Functional Foods 17 Page 227234: Elsevier.

Queiroz, Gustavo S., Melina Heller, Fbio Arruda-Silva, Marcus V. P. S.


Nascimento, Gustavo A. Micke, Eduardo M. Dalmarco, Moacir G.
Pizzolatti1 and Ines M. C. Brighente. 2014. Anti bacterial and Anti
Inflammatory Activities of Bunchosia armeniaca (Cav.) DC.
(Malpighiaceae). Rec. Nat. Prod. 9:3 Page 419-431: ACG Publications.

Rahayu WP. 1999. Kajian Aktivitas Anti mikroba Ekstrak dan Fraksi Rimpang
Lengkuas (Alpinia galanga l. Swartz) Terhadap Mikroba Patogen Perusak
Pangan [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Rosyidah K, Nurmuhaimina SA, Komari N, Astuti MD. 2010. Aktivitas Anti


bakteri Fraksi Saponin dari Kulit Batang Tumbuhan Kasturi (Mangifera
casturi). Alchemy. 1(2):53-103.

Septiadi T, Pringgenies D, Radjasa OK. 2013. Uji fitokimia dan aktivitas anti
jamur ekstrak teripang keling (Holothuria atra) dari pantai Bandengan
Jepara terhadap jamur Candida albicans. Journal of Marine Research.
2(2):76-84.

Siahaan, Mentari Risnauli, Andi Hairil Alimuddin, dan Harlia. 2015. Identifikasi
Metabolit Sekunder Ekstrak Landak Laut (D. setosum) dan Uji Aktivitas
Anti bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus. Pontianak: JKK,
Tahun 2015, Volume 4(4), halaman 53-60 ISSN 2303-1077

Sikkema LA, de Bont JA, Poolman B. 1995. Mechanism of membran toxicity of


hydrocarbons. Microbiological reviews. 59(2):201-222.

Siswanto, A. dan Nurulita, N.A. 2005. Daya Anti inflamasi Infus Daun Mahkota
Dewa (Phaleria macrocarpa Scheff. Boerl) pada Tikus Putih (Rattus
norvegicus) Jantan. Prossiding Seminar Nasional TOI XXVII, 177181,
Batu 1516 Maret 2005.

Stonik VA, Elyakov GB. 1988. Secondary Metabolites from Echinoderms as


Chemotaxonomic Markers. Scheuer PJ, editor. Bioorganic Marine
Chemistry. Hawai (US): Springer.

Sugiarto, H. dan Supardi 1995. Beberapa catatan tentang bulu babi marga
Diadema. Oseana XX (4): 35.

Tjay, T.H., dan Rahardja, K. 2002. Obat-obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan
Efek Sampingnya. Edisi 5. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. hal: 309-
310
23

Wattimena, J. R., Nelly C. Sugiarso, Mathilda B. Widianto, Elin Y. Sukandar,


Andreanus A. Soemardji, Anna R. Setiadi. 1991. Farmakodiamik dan Terapi
Anti biotik. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 19-23

Wiranto, Edi, Muhamad Agus Wibowo, dan Puji Ardiningsih. 2016. Aktivitas
Anti inflamasi Secara In-Vitro Ekstrak Teripang Butoh Keling (Holothuria
leucospilota Brandt) dari Pulau Lemukutan. Pontianak: JKK, Tahun 2016,
Volume 5(1), halaman 52-57 ISSN 2303-1077

Anda mungkin juga menyukai