Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN
Salah satu pasal dalam UUD 1945 Amandemen, yaitu Pasal 28H ayat 3 dan Pasal 34 ayat 2
UUD 45, menyatakan bahwa “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan
memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”.
Dengan demikian, maka pemerintah berkewajiban untuk mewujudkan hal tersebut dengan berbagai
upaya maupun cara. Salah satu sarana untuk perwujudan kewajiban pemerintah dalam bidang
kesehatan tersebut akhirnya dituangkan dalam penerbitan UU No. 40 Tahun 2004 Tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Pasal 5 UU tersebut menyebutkan bahwa badan penyelenggara
jaminan sosial yang sudah ada yaitu : PT Jamsostek (Persero), PT Asuransi Kesehatan Indonesia
(Askes) Persero, PT Taspen (Persero), dan PT Asabri (Persero) dinyatakan sebagai Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial. Apabila diperlukan badan penyelenggaraan jaminan sosial yang lain,
dapat dibentuk dengan undang-undang. Selanjutnya melalui UU No. 24 tahun 2011 dibentuklah
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang terdiri dari : 1) BPJS Ketenagakerjaan
menyelenggarakan : Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Kematian
(JKm), dan Jaminan Pensiun (JP); 2) BPJS Kesehatan : menyelenggarakan program Jaminan
Kesehatan. Pelayanan kesehatan yang memanfaatkan BPJS telah diketahui hampir seluruh
masyarakat Indonesia.

Namun, dalam pelaksanaannya di tahun 2014 yang lalu, masih banyak rintanganrintangan
dan permasalahan-permasalahan yang timbul di lapangan. Direktur Advokasi dan relawan Jamkes
Watch, Ade Lukman memaparkan permasalahan itu banyak terjadi dalam pelayanan kesehatan.
Diungkapkan oleh pemerhati sosial tersebut, beberapa masalah timbul dalam pelaksanaan BPJS di
lapangan, misalnya terdapatnya pembatasan pembuatan kartu kepesertaan BPJS di daerah. Ada juga
masalah praktek percaloan di Kantor Cabang BPJS dan rumah sakit yang marak. Sosialisasi BPJS juga
dirasakan oleh banyak kalangan kurang mengena dan tidak sesuai dengan kondisi masyarakat di
tingkat yang paling bawah. Masalah lain, yang tidak kalah penting, yaitu adanya perbedaan
pelayanan antara pasien umum dengan pasien program BPJS, pembatasan waktu rawat inap bagi
pasien BPJS, dan terbatasnya kuota kamar untuk pasien program BPJS. Dalam mematuhi
pelaksanaan BPJS, ada rumah-rumah sakit tertentu yang mengenakan perbedaan tarif di rumah sakit
type A, B, C, untuk penyakit-penyakit kronis. Sementara fasilitas NICU di rumah sakit type C dan D
juga berbeda tarif, sehingga rujukan eksklusif menjadi bermasalah. Biaya ambulance juga menjadi
permasalahan. Karena itu ditanggung sendiri oleh pasien pada saat dirujuk ke rumah sakit lain.
Pengamat mengatakan bahwa ada indikasi terjadi permainan dalam penetapan jenis dan merek obat
oleh dokter rumah sakit yang bersifat komersial. Pendapat dari pengamat tersebut ternyata tidak
sejalan dengan pendapat penyelenggara BPJS kesehatan. Direktur Pelayanan BPJS Kesehatan,
Fajriadinur, memastikan perkiraan itu tidak berlaku dalam BPJS Kesehatan karena pelayanan
kesehatan atau medis yang diberikan kepada peserta tidak melihat kelas perawatannya. Misalnya,
peserta menderita usus buntu. Ketika dilakukan operasi dan perlu dijahit maka tidak mungkin
peserta yang mengambil kelas I, II dan III dibedakan kualitas jahitannya. Begitu pula dengan biaya
tambahan yang dikenakan kepada peserta ketika mendapat pelayanan. Tak ada biaya tambahan
dimaksud kecuali peserta bersangkutan meminta sendiri tambahan pelayanan. Misalnya, setelah
dioperasi, pasien meminta obat yang tidak ada hubungannya dengan penyakit yang didera seperti
vitamin. Jika kebutuhan itu atas kemauan sendiri, peserta harus membayar biaya tambahan.
Penyelenggara BPJS menerangkan pula bahwa tidak ada plafon atau batas biaya tertinggi dalam BPJS
Kesehatan. Sebab, mekanisme pembayaran yang digunakan BPJS Kesehatan melalui INACBGS
(Indonesia Case Base Groups yaitu sebuah aplikasi/program komputer yang digunakan rumah sakit
untuk mengajukan tagihan biaya pada pemerintah). Tentu saja tarif yang tercantum dalam paket
INACBGs untuk kelas I dan II lebih tinggi dibanding kelas III. Walau begitu Fajri mengakui tarif INA-
CBGs akan terus disempurnakan oleh tim di bawah Kementerian Kesehatan. Kuncinya adalah
pemahaman yang baik dari tenaga medis dan penyedia pelayanan kesehatan (rumah sakit) atas
mekanisme pembiayaan. Pelaksana program BPJS Kesehatan menyadari bahwa program BPJS akan
didominasi oleh golongan masyarakat yang sangat membutuhkan pelayanan kesehatan. Misalnya
buruh lepas. Buruh lepas bisa mendaftarkan diri dan istrinya yang sedang hamil pada ruang
perawatan kelas III yang iurannya setiap bulan dengan biaya yang sangat terjangkau. Antusiasme
masyarakat untuk mendaftar menjadi peserta BPJS Kesehatan itu membuat kantor-kantor BPJS
Kesehatan di berbagai tempat dibanjiri pengunjung. Dua pekan setelah BPJS Kesehatan diluncurkan
1 Januari 2014, total peserta mencapai 116 juta orang di awal tahun 2015. Rata-rata 25 ribu orang
per hari yang daftar untuk mengikuti program BPJS. Mengevaluasi dua pekan berjalannya BPJS
Kesehatan, seorang pengamat mengatakan bahwa persoalan yang terjadi masih didominasi oleh
ketidaksiapan pemerintah dan BPJS Kesehatan. Seperti keterlambatan pemerintah membuat
regulasi operasional, berkontribusi memunculkan masalah di lapangan. Misalnya, sampai sekarang
masih banyak pengusaha yang tidak mengetahui berapa iuran yang harus dibayar dan manfaat serta
fasilitas seperti apa yang bakal diperoleh pekerja. Peralihan peserta JPK Jamsostek ke BPJS
Kesehatan belum dilakukan dengan baik.

Peserta JPK Jamsostek yang otomatis beralih ke BPJS Kesehatan harus mendaftar menjadi
peserta BPJS Kesehatan. Seharusnya, data peserta JPK yang dimiliki PT Jamsostek yang sekarang
menjadi BPJS Ketenagakerjaan dapat digunakan BPJS Kesehatan sebagai basis data membuat kartu
kepesertaan. Begitu pula purnawirawan Polri dan TNI, mestinya sudah mendapat kartu peserta BPJS
Kesehatan tanpa mendaftar baru. Lokasi pendaftaran hanya difokuskan pada kantor-kantor BPJS
Kesehatan sehingga terjadi penumpukan. Ia menyarankan agar pendaftaran sekaligus pemberian
kartu kepesertaan dilakukan lewat Puskesmas atau RS sehingga memudahkan rakyat. Seorang
anggota Komisi IX DPR menyatakan meragukan keseriusan pemerintah menggelar program Jaminan
Sosial Kesehatan Nasional (JSKN) yang digelar BPJS Kesehatan, atau ada kejanggalan dalam
pelaksanaan program tersebut. Masyarakat diuntungkan dengan membayar beban biaya kesehatan
secara bulanan melalui program BPJS dan hal itu merupakan hal yang sangat meringankan
konsumen di segi biaya. Rumah sakit sebagai pelaksana pelayanan kepada konsumen akan
dihadapkan kepada kesulitan berupa ketidakpastian jumlah dan jadwal pembayaran dari
pemerintah. Di sisi lain, masyarakat yang belum terdaftar melalui program BPJS harus mengeluarkan
biaya kepada rumah sakit sebagaimana tarif normal yang menguntungkan bagi rumah sakit
bersangkutan. Adanya perbedaan tersebut bisa mengindikasikan kemungkinan rumah sakit bisa
mengadakan kualitas pelayanan berbeda antara pasien dengan program BPJS dan pasien tanpa
program BPJS. Pasien dengan program BPJS bisa diperlakukan dengan kualitas pelayanan yang lebih
rendah dibandingkan dengan pasien-pasien lain yang menikmati layanan di rumah sakit tanpa
program BPJS. Berita di harian Jawa Pos (18 September 2014) memberitakan bahwa BPJS merupakan
lembaga publik yang paling banyak menerima pengaduan dari masyarakat. Hal ini menandakan
bahwa masih banyak problem dari pelaksanaan BPJS yang dirasakan oleh masyarakat Surabaya.
Misalnya, mengenai problem BPJS di Surabaya terungkap melalui berita di media sosial bahwa
penyelenggaraan BPJS diwarnai beberapa keburukan. Suatu contoh, bapak A bingung karena masih
timbul biaya bersalin di sebuah Puskesmas padahal istri bapak A ini sudah terdaftar sebagai peserta
dan memiliki bukti keanggotaan BPJS (http://www.antarajatim.com/, diakses 14 Januari 2015).
Setelah ditindaklanjuti oleh berbagai pihak, ternyata kejadian tersebut merupakan
ketidakbersediaan Puskesmas ataupun penyelenggara kesehatan untuk melayani pasien dengan
program BPJS, atau dengan kata lain bahwa pasien BPJS bisa mengalami penderitaan karena
dianaktirikan oleh lembaga penyelenggara layanan kesehatan masyarakat. Kesimpangsiuran aturan,
kesepakatan dan kerjasama antara pemerintah selaku penggagas dan para penyedia layanan
kesehatan tampak masih belum terorganisir dengan baik. Gejala-gejala ketidakberesan tersebut
dapat membuat rumah sakit cenderung lebih mengutamakan minatnya untuk melayani pasien
umum (non BPJS) dibandingkan dengan pasien dengan program BPJS.

Berdasarkan permasalahan dan fenomena-fenomena yang telah dijelaskan sebelumnya,


maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah : Apakah benar terdapat perbedaan pelayanan
kesehatan kepada pasien BPJS dan pasien umum (non BPJS) di RSUD Dr. Mohamad Soewandhie
Surabaya?
BAB II
Landasan Teori
Pengertian Jasa

Tjiptono (2006) memberi pengertian jasa sebagai “setiap tindakan atau perbuatan yang
dapat ditawarkan untuk suatu pihak kepada pihak lain yang pada dasarnya bersifat intangible (tidak
berwujud fisik) dan tidak menghasilkan kepemilikan tertentu”. Walaupun demikian, produk jasa bisa
berhubungan dengan produk fisik maupun tidak. Maksudnya ada produk jasa murni (seperti child
care, konsultasi psikologi dan konsultasi manajemen), ada pula jasa yang membutuhkan produk fisik
sebagai persyaratan utama (misalnya kapal untuk angkutan laut, pesawat dalam jasa penerbangan,
dan makanan di restoran).

Karakteristik Jasa

Menurut Tjiptono (2006:18) menyatakan bahwa jasa memiliki empat karakteristik utama
yang sangat mempengaruhi rancangan program pemasaran yaitu: 1) Tidak berwujud (intangibility)
Jasa tidak berwujud. Tidak seperti produk fisik, jasa dapat dilihat, diraba, didengar atau dicium
sebelum jasa itu dibeli. 2) Tidak terpisahkan (inseparability) Umumnya jasa dihasilkan dan
dikonsumsi secara bersamaan. Tidak seperti produk fisik yang diproduksi, disimpan dalam
persediaan, didistribusikan lewat beberapa penjual dan kemudian baru dikonsumsi. 3) Bervariasi
(variability) Karena tergantung pada siapa yang menyediakan serta kapan dan di mana jasa tersebut
dilakukan, jasa sangat bervariasi. 4) Mudah lenyap (perishability) Jasa tidak bisa disimpan. Mudah
lenyapnya jasa tidak menjadi masalah bila permintaan tetap karena mudah untuk mengaturnya. Jika
permintaan berfluktuasi, perusahaan jasa menghadapi masalah yang rumit.

Tipe Operasi Jasa

Nasution (2004:24) menyebutkan bahwa dalam sistem jasa, terdapat empat tipe operasi
yang banyak dijumpai, yaitu :

1) Proyek Dalam tipe ini ada sejumlah aktivitas yang saling terkait dan didefinisikan dengan jelas,
serta diselesaikan dalam tahap-tahap tertentu. umumnya aktivitas-aktivitas tersebut dikerjakan
dalam jangka waktu relatif singkat dan volumenya kecil/sedikit. Apabila aktivitas tersebut telah
selesai, maka dengan sendirinya proyek akan yang bersangkutan juga rampung.

2) Batch (job shop) Jasa disesuaikan dengan spesifikasi dan kebutuhan pelanggan. Oleh karena itu,
faktor terpenting dalam tipe ini adalah kemampuan untuk melaksanakan berbagai kombinasi dan
tahapan/rangkaian aktivitas yang berbeda bagi setiap konsumen. Dengan kata lain, fleksibilitas
merupakan faktor yang dominan.

3) Lini (Flow shop) Tipe ini berhubungan dengan penyampaian jasa yang telah distandarisasi,
sehingga rangkaian operasi yang dilakukan relatif sama (seperti aliran perakitan/assembling). Aliran
proses yang dilakukan mirip dengan suatu garis, karena itu sering disebut tipe lini/garis.

4) Proses berkesinambungan (on going process) Kepolisian dan barisan pemadam kebakaran
merupakan contoh jasa yang termasuk dalam tipe proses berkesinambungan (beroperasi 24 jam).
Selain menyediakan jasa seperti mencegah dan menangani kriminalitas serta bahaya kebakaran,
kedua contoh tersebut juga memberikan suatu jasa melalui keberadaannya (availability).

Manajemen Pelayanan Rumah Sakit

Manajemen Kesehatan

Pengertian kesehatan menurut UU no 36 tahun 2009, Kesehatan adalah keadaan sehat, baik
secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif
secara sosial dan ekonomis. Jika menyebut manajemen kesehatan, sebenarnya terdapat dua
pengertian di dalamnya yaitu pengertian menejemen di satu pihak dan pengertian kesehatan di
pihak lain. Yang dimaksud dengan menejemen kesehatan ialah menejemen yang diterapkan pada
pelayanan kesehatan demi terciptanya keadaan sehat (Azwar, 1996).

Pengertian Rumah Sakit

Beberapa pengertian rumah sakit yang dikemukakan oleh para ahli, diantaranya menurut
Assosiation of Hospital Care (1947), rumah sakit merupakan pusat dimana pelayanan kesehatan
masyarakat, pendidikan, serta penelitian kedokteran di selenggarakan. Sedangkan menurut
Permenkes Nomor : 1045/Menkes/Per/Xi/2006 Tentang Pedoman Organisasi Rumah Sakit Di
Lingkungan Departemen Kesehatan, Rumah sakit adalah suatu fasilitas pelayanan kesehatan
perorangan yang menyediakan rawat inap dan rawat jalan yang memberikan pelayanan kesehatan
jangka pendek dan jangka panjang yang terdiri dari observasi, diagnostik, terapeutik dan rehabilitatif
untuk orangorang yang menderita sakit, cidera dan melahirkan.

Mutu Pelayanan Rumah Sakit

Menurut Depkes RI (1992) Mutu Pelayanan Rumah Sakit merupakan suatu derajat
kesempurnaan rumah sakit untuk memenuhi permintaan konsumen akan pelayanan kesehatan yang
sesuai dengan standar profesi dan standar pelayanan dengan menggunakan potensi sumber daya
yang tersedia di rumah sakit dengan wajar, efisien dan efektif serta diberikan secara aman dan
memuaskan sesuai dengan norma, etika, hukum dan sosial budaya dengan memperhatikan
keterbatasan dan kemampuan pemerintah dan masyarakat konsumen. Menurut Parasuraman, dkk
(1988), terdapat 10 faktor yang menentukan mutu pelayanan rumah sakit yaitu:

1. kehandalan yang mencakup dua hal pokok yaitu konsistensi kerja dan kemampuan untuk
dipercaya.

2. Daya tangkap yaitu sikap tanggap para karyawan melayani saat dibutuhkan pasien.

3. Kemampuan yaitu memiliki ketrampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan agar dapat
memberikan jasa tertentu.

4. Mudah untuk dihubungi dan ditemui.

5. Sikap sopan santun, respek dan keramahan para pegawai.

6. Komunikasi yaitu memberikan informasi kepada pelanggan dalam bahasa yang dapat mereka
pahami, serta selalu mendengarkan saran dan keluhan pelanggan.
7. Dapat dipercaya dan jujur.

8. Jaminan keamanan.

9. Usaha untuk mengerti dan memahami kebutuhan pelanggan.

10. Bukti langsung yaitu bukti fisik dari jasa, bisa berupa fasilitas fisik, peralatan yang digunakan
representasi fisik dan jasa.

Fungsi Rumah Sakit

Menurut Permenkes Nomor : 1045/MENKES/PER/XI/2006 Tentang Pedoman Organisasi


Rumah Sakit Di Lingkungan Departemen Kesehatan, Rumah Sakit menyelenggarakan fungsi sebagai
berikut :

a. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan paripurna


tingkat sekunder dan tersier;

b. Pelaksanaan pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan dalam rangka meningkatkan


kemampuan sumber daya manusia dalam pemberian pelayanan kesehatan;

c. Pelaksanaan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi bidang kesehatan dalam
rangka peningkatan pelayanan kesehatan;

d. Pelaksanaan administrasi rumah sakit;


BAB III
PEMBAHASAN
Pasien RSUD Moch. Dr. Soewandhi Surabaya yang menjadi subjek penelitian ini terdiri dari
38 orang (58,46%) menggunakan fasilitas BPJS, dan sisanya menggunakan fasilitas biasa (nonBPJS)
sebanyak 27 orang (41,54%). Dari semua sampel tersebut, diketahui bahwa variabel-variabel
penelitian tersebut mendapatkan tanggapan yang beragam. Perhitungan statistika memberikan
angkaangka yang dapat diinterpretasikan sebagai berikut :

Uji Beda Variabel


Tangibles

Nilai rata-rata tanggapan variabel Tangibles pada pasien non BPJS adalah 4,469 dan pada
pasien BPJS adalah 3,404 sehingga responden pasien BPJS memberi opini rendah pada dimensi
tangibles yang disediakan oleh RSUD Moch. Dr. Soewandhi, atau dengan kata lain mean skor BPJS <
Non-BPJS, maka pasien dengan program BPJS mendapatkan pelayanan lebih rendah dari pada pasien
tanpa program BPJS. Hasil perhitungan pada dimensi Tangibles pada tabel di atas memperlihatkan
bahwa thitung sebesar 8,320 dengan signifikansi (p) sebesar 0,000. Karena thitung sebesar 8,320
didukung oleh p < 0,05 sehingga dimensi tangibles pada kualitas layanan RSUD Moch. Dr. Soewandhi
berbeda nyata antara pasien Non-BPJS dengan pasien BPJS.

Variabel Reliability

Nilai rata-rata tanggapan variabel Reliability pada pasien non BPJS adalah 4,185 dan pada
pasien BPJS adalah 3,296 sehingga responden pasien BPJS memberi opini rendah pada dimensi
reliability yang disediakan oleh RSUD Moch. Dr. Soewandhi, atau dengan kata lain mean skor BPJS <
Non-BPJS, maka pasien dengan program BPJS mendapatkan pelayanan lebih rendah dari pada pasien
tanpa program BPJS. Hasil perhitungan pada dimensi Reliability pada tabel di atas memperlihatkan
bahwa thitung sebesar 7,318 dengan signifikansi (p) sebesar 0,000. Karena thitung sebesar 7,318
didukung oleh p < 0,05 sehingga dimensi reliability pada kualitas layanan RSUD Moch. Dr. Soewandhi
berbeda nyata antara pasien Non-BPJS dengan pasien BPJS.

Variabel Responsiveness

Nilai rata-rata tanggapan variabel Responsiveness pada pasien non BPJS adalah 4,315 dan
pada pasien BPJS adalah 3,434 sehingga responden pasien BPJS memberi opini rendah pada dimensi
responsiveness yang disediakan oleh RSUD Moch. Dr. Soewandhi, atau dengan kata lain mean skor
BPJS < Non-BPJS, maka pasien dengan program BPJS mendapatkan pelayanan lebih rendah dari pada
pasien tanpa program BPJS. Hasil perhitungan pada dimensi Responsiveness pada tabel di atas
memperlihatkan bahwa thitung sebesar 6,344 dengan signifikansi (p) sebesar 0,000. Karena thitung
sebesar 6,344 didukung oleh p < 0,05 sehingga dimensi responsiveness pada kualitas layanan RSUD
Moch. Dr. Soewandhi berbeda nyata antara pasien Non-BPJS dengan pasien BPJS.

Variabel Assurance

Nilai rata-rata tanggapan variabel Assurance pada pasien non BPJS adalah 4,389 dan pada
pasien BPJS adalah 3,434 sehingga responden pasien BPJS memberi opini rendah pada dimensi
assurance yang disediakan oleh RSUD Dr. Soewandhi, atau dengan kata lain mean skor BPJS < Non-
BPJS, maka pasien dengan program BPJS mendapatkan pelayanan lebih rendah dari pada pasien
tanpa program BPJS. Hasil perhitungan pada dimensi Assurance pada tabel di atas memperlihatkan
bahwa thitung sebesar 6,243 dengan signifikansi (p) sebesar 0,000. Karena thitung sebesar 6,243
didukung oleh p < 0,05 sehingga dimensi assurance pada kualitas layanan RSUD Dr. Soewandhi
berbeda nyata antara pasien NonBPJS dengan pasien BPJS.

Variabel Empathy

Nilai rata-rata tanggapan variabel Empathy pada pasien non BPJS adalah 4,370 dan pada
pasien BPJS adalah 3,158 sehingga responden pasien BPJS memberi opini rendah pada dimensi
empathy yang disediakan oleh RSUD Moch. Dr. Soewandhi, atau dengan kata lain mean skor BPJS <
Non-BPJS, maka pasien dengan program BPJS mendapatkan pelayanan lebih rendah dari pada pasien
tanpa program BPJS. Hasil perhitungan pada dimensi Empathy pada tabel di atas memperlihatkan
bahwa thitung sebesar 7,181 dengan signifikansi (p) sebesar 0,000. Karena thitung sebesar 7,181
didukung oleh p < 0,05 sehingga dimensi empathy berbeda nyata antara pasien Non-BPJS dengan
pasien BPJS. Untuk memperkuat hasil uji beda pada lima dimensi kualitas pelayanan (Tangibles,
Reliability, Responsiveness, Assurance, dan Empathy) selanjutnya dapat dilihat pada hasil
perhitungan statistik pada Lampiran 6.

Interpretasi

Hipotesis penelitian ini yang menyatakan “Ada perbedaan kualitas pelayanan kesehatan
terhadap pasien BPJS dengan pasien umum (non-BPJS) di RSUD Moch. Dr. Soewandhi” terbukti
kebenarannya. Hal ini diketahui dari hasil analisis data dimana semua dimensi dari kualitas layanan
yaitu Tangibles, Reliabilities, Responsiveness, Assurance, dan Empathy memiliki hasil uji beda yang
signifikan. Dengan kata lain, semua dimensi pada kualitas layanan yang diuji pada penelitian ini
berbeda nyata, antara kualitas yang dirasakan oleh pasien nonBPJS dengan pasien BPJS. Temuan di
atas sejalan dengan pendapat Rambat Lupiyoadi (2001), dimana kualitas pelayanan terdiri dari 5
dimensi yaitu Reliabilities, Responsiveness, Assurance, dan Empathy. Temuan penelitian ini sejalan
dengan pengamatan peneliti dimana masih terdapatnya fenomena dimana rumah sakit sering
memperlakukan pasien BPJS kurang baik bilamana dibandingkan dengan NonBPJS. Program BPJS
sendiri masih mengalami kendala-kendala di lapangan. Pelayanan kesehatan yang memanfaatkan
BPJS telah diketahui hampir seluruh masyarakat Indonesia. Namun, dalam pelaksanaannya di tahun
2014 yang lalu, masih banyak rintangan-rintangan dan permasalahan-permasalahan yang timbul di
lapangan. Hal ini yang pernah diungkapkan Direktur Advokasi dan relawan Jamkes Watch, Ade
Lukman memaparkan permasalahan itu banyak terjadi dalam pelayanan kesehatan
(http://jaringnews.com/). Berita di harian Jawa Pos (18 September 2014) memberitakan bahwa BPJS
merupakan lembaga publik yang paling banyak menerima pengaduan dari masyarakat. Hal ini
menandakan bahwa masih banyak problem dari pelaksanaan BPJS yang dirasakan oleh masyarakat
Surabaya. Misalnya, mengenai problem BPJS di Surabaya terungkap melalui berita di media sosial
bahwa penyelenggaraan BPJS diwarnai beberapa keburukan. Suatu contoh, bapak A bingung karena
masih timbul biaya bersalin di sebuah Puskesmas padahal istri bapak A ini sudah terdaftar sebagai
peserta dan memiliki bukti keanggotaan BPJS (http://www.antarajatim.com/, diakses 14 Januari
2015). Setelah ditindaklanjuti oleh berbagai pihak, ternyata kejadian tersebut merupakan
ketidakbersediaan Puskesmas ataupun penyelenggara kesehatan untuk melayani pasien dengan
program BPJS, atau dengan kata lain bahwa pasien BPJS bisa mengalami penderitaan karena
dianaktirikan oleh lembaga penyelenggara layanan kesehatan masyarakat. Kesimpangsiuran aturan,
kesepakatan dan kerjasama antara pemerintah selaku penggagas dan para penyedia layanan
kesehatan tampak masih belum terorganisir dengan baik. Gejala-gejala ketidakberesan tersebut
dapat membuat rumah sakit cenderung lebih mengutamakan minatnya untuk melayani pasien
umum (non BPJS) dibandingkan dengan pasien dengan program BPJS.
BAB IV
PENUTUP
Berdasarkan hasil analisis data dan penelitian yang telah dilaksanakan, maka penelitian ini
mendapatkan hasil sebagai berikut :

a. Dimensi Kualitas pelayanan yaitu Tangibles berbeda nyata antara pasien Non-BPJS dan
pasien BPJS. Pasien BPJS merasakan dimensi tangibles yang lebih rendah dibandingkan dengan
pasien Non-BPJS.

b. Dimensi Kualitas pelayanan yaitu Reliability berbeda nyata antara pasien Non-BPJS dan
pasien BPJS. Pasien BPJS merasakan dimensi Reliability yang lebih rendah dibandingkan dengan
pasien Non-BPJS.

c. Dimensi Kualitas pelayanan yaitu Responsiveness berbeda nyata antara pasien Non-BPJS
dan pasien BPJS. Pasien BPJS merasakan dimensi Responsiveness yang lebih rendah dibandingkan
dengan pasien NonBPJS.

d. Dimensi Kualitas pelayanan yaitu Assurance berbeda nyata antara pasien Non-BPJS dan
pasien BPJS. Pasien BPJS merasakan dimensi Assurance yang lebih rendah dibandingkan dengan
pasien Non-BPJS.

e. Dimensi Kualitas pelayanan yaitu Empathy berbeda nyata antara pasien Non-BPJS dan
pasien BPJS. Pasien BPJS merasakan dimensi Empathy yang lebih rendah dibandingkan dengan
pasien Non-BPJS.

Anda mungkin juga menyukai